Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap suku bangsa di dunia mempunyai pengetahuan tentang alam sekitarnya, alam
flora dan fauna di daerah tempat tinggalnya dan tingkah laku sesama manusia dalam ruang
dan waktu. Dengan kata lain, manusia tidak bisa lepas dengan lingkungan hidupnya. Proses
interaksi antara manusia dengan lingkungan selalu terjadi secara terus-menerus sehingga
dapat menimbulkan pengalaman. Pada giliranya, pengalaman-pengalaman tersebut kemudian
diabstraksikan menjadi konsep-konsep, teori-teori, dan pendidikan atau pedoman- pedoman
tingkah laku bermasyarakat.

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, teknologi dan ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang pesat sehingga dapat berpengaruh pada lingkungan hidupnya. Namun,
yang terjadi kemudian adalah bahwa teknologi mulai disangsikan manfaatnya karena dapat
merusak tata lingkungan dan membawa bencana. Alam yang merupakan obyek pemenuhan
kebutuhan manusia. Tidak ada satupun kebutuhan manusia di dunia ini yang tidak tergantung
dari alam. Awalnya, manusia menyesuaikan dengan alam agar dia dapat bertahan hidup.
Berikutnya, sedikit demi sedikit alam dirubah agar sesuai dengan kebutuhan manusia di
dalamnya. Keserasian dan keseimbangan diberlakukan agar manusia bersahabat dengan alam.
Namun belakangan, keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadikan
manusia makin gencar melakukan eksploitasi alam.

Kearifan lokal dalam dekade belakangan ini sangat banyak diperbincangkan.


Perbincangan tentang kearifan lokal sering dikaitkan dengan masyarakat lokal dan dengan
pengertian yang bervariasi. Indonesia merupakan negara yang paling kaya dalam segi
budaya. Indonesia mempunyai banyak suku yang memliki kebudayaan masing-masing.
Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang
tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati,
dan seterusnya. Budaya adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam. Suku Baduy atau biasa disebut “masyarakat Kanekes” atau pula disebut
“masyarakat Rawayan” merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia, yang tinggal

1
sekitar kaki pegunungan Kendeng di desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten. Mereka itu tinggal didaerah-daerah bukit terpencil, didaerah-daerah
hutan wilayah pedesaan Banten Selatan.

Pada masyarakat Baduy terdapat hal yang menarik yaitu kearifan lokal mereka
mengenai pandangan terhadap alam semesta. Masyarakat suku Baduy sangat menjaga
keseimbangan dan keselarasan dengan alam. Maka dari itu, masyarakat suku Baduy selalu
menjaga ajaran tentang menjaga alam serta melestarikan. Hingga saat ini, masyarakat Baduy
masih terikat pada pikukuh atau adat yang kuat yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Hal tersebut yang menciptakan masyarakat Baduy hidup berdampingan dengan alam secara
harmonis. Selain itu. masyarakat Baduy tidak mengeksploitasi alam, mereka menggunakan
seperlunya yang ada di alam dan disertai dengan pelestarian.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian terhadap tingkah laku
mereka dalam memperlakukan lingkungan sesuai dengan pengetahuan lokal yang mereka
miliki secara turun menurun, sehingga mereka mampu hidup berdampingan selaras dengan
alam.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimanakah cara masyarakat suku Baduy Dalam menjaga kearifan lokal mereka
dari pengaruh budaya luar?
b. Bagaimanakah cara masyarakat suku Baduy Dalam menjaga kearifan lokal dari segi
bercocok tanam?

1.3 Batasan Konsep

Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka penelitian ini difokuskan pada


kemampuan masyarakat Baduy menjaga kearifan lokal dalam bercocok tanam dari masuknya
budaya luar. Dengan kata lain bagaimana kemampuan masyarakat Baduy menjaga kearifan
lokal dengan bercocok tanam.

2
1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan tujuan penelitian


ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk memperoleh gambaran tingkah laku masyarakat Suku Baduy berupa cara
mempertahankan kearifan lokalnya dari budaya luar.
b. Untuk menggali informasi terkait tingkah laku masyarakat Suku Baduy berupa
kearifan lokal mereka tentang bercocok tanam.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditemukan kegunaan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan terhadap
kearifan lokal masyarakat Suku Baduy Dalam.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan terhadap kearifan
lokal masyarakat Suku Baduy Dalam, khususnya dalam hal bercocok tanam.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Sejarah Awal Munculnya Masyarakat Baduy

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di
wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti
Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai
dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka
seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek a–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes
'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari
Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut
sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut
kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas
bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli
sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat
mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan
dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung
barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan

4
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu,
dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan
demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum
menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah
sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan
dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy
yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng
tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa
pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah
untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada
pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya
juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan
dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari
orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut
adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin: Lojor heunteu
beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung. (Panjang tidak bisa/tidak boleh
dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).

2.2 Kearifan Lokal


Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat
(local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local
genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran
tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal
dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai,
dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal akan mengusung jiwa
mereka semakin berbudi luhur.
Haryati Soebadio berpendapat bahwa kearifan lokal adalah suatu identitas/kepribadian
budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.

5
Menurut Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang
dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat.
Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan
belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat
pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang,
sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.

Konsep Kearifan Lokal :

a. Kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan sebagai petunjuk
perilaku seseorang.
b. Kearifan lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya.
c. Kearifan lokal itu bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan
dengan zamannya.

Kearifan lokal adalah bagian dari budaya. Kearifan lokal Jawa tentu bagian dari
budaya Jawa, yang memiliki pandangan hidup tertentu. Berbagai hal tentang hidup manusia,
akan memancarkan ratusan dan bahkan ribuan kearifan lokal.

Ruang Lingkup Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan
lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan
kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat
dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang
telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang
belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya denganlingkungan
alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain. Oleh karena itu, kearifan lokal
tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini dan karena itu
pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.

Untuk membedakan kearifan lokal yang baru saja muncul dengan kearifan lokal yang
sudah lama dikenal komunitas tersebut, dapat digunakan istilah: kearifan kini, kearifan baru,
atau kearifan kontemporer. Kearifan tradisional dapat disebut kearifan dulu atau kearifan
lama.

6
2.2.1 Kearifan Lokal Masyarakat Baduy
Suku Baduy sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni. Mereka selalu
menjaga dan merawat alam supaya dapat terus dikelola dengan baik. Efeknya, alam
memberikan hasil panen yang cukup dan melimpah untuk menghidupi kebutuhan hidup
mereka. Mereka tidak ingin merusak kelestarian alam yang ada.
Kearifan lokal dimasyarakat Baduy memberikan banyak pelajaran berharga untuk
masyarakat kita yang sudah banyak sekali termakan oleh modernitas. Oleh karena itu banyak
sekali baik individu atau kelompok yang datang dan berkunjung ke suku Baduy.

Kondisi alam Desa Kanekes ini terdiri dari bukir-bukit yang tersusun berjajar,
sehingga untuk berjalan dari satu desa ke desa yang lainnya membutuhkan waktu dan tenaga
yang cukup banyak. Belum lagi jika berkunjung saat musim hujan. Jalan menjadi sangat licin
dan perlu berhati-hati.

Masyarakat Baduy ini sangat menjaga budaya dan adat istiadat yang diwariskan
nenek moyangnya sehingga banyak sekali pantangan-pantangannya dengan alasan untuk
menjaga alam atau pun menjaga tradisi seperti halnya, dilarang menggunakan trasportasi,
menggunakan listrik, menggunakan elektronik, menggunakan sabun, odol dsb. Masyarakat
Baduy sangat menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya.

Sistem ekonomi Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup. Artinya aktivitas


ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi
serta dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata pencaharian mereka pada umumnya
adalah bertani atau bercocok tanam. Adapula yang bekerja di hutan untuk mencari madu.

Hasil kerja mereka kemas dengan alat secukupnya dan dijual ke kota. Mungkin tidak
jarang orang-orang yang berada di Jakarta, Bogor, Tanggerang dsb menemukan masyarakat
Baduy menjual madunya atau kain tenunnya. Sementara wanita suku Baduy bekerja di rumah
seperti menenun kain, selendang, sarung, gantungan serta kerajinan lainnya seperti membuat
tas dari serat akar-akar pohon. Wanita Baduy sendiri diwajibkan untuk memiliki keahlian
menenun sebagai bukti bahwa dirinya sudah cocok untuk dipinang.

Nilai-nilai kearifan masyarakat Baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan


materi dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk
memenuhi kebutuhan primernya. Bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang
ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia.

7
Masyarakat Baduy memupuk tanamannya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari
bahan-bahan organik. Sebuah nilai kearifan lokal masyarakat Baduy yang tidak mau merusak
alam dengan menggunakan bahan kimia. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain
yang menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi
tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk
yang digunakan. Selain itu dalam menanggulangi hama padi, masyarakat Baduy memilih
mengusir daripada membunuh.

Dalam bertani, mereka selalu menjaga keselarasan dengan alam, bukannya


melawan alam. Maka dari itu, dalam penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy
menggunakan racikan biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan yang
dianggap dapat meracuni dan merusak lingkungan.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu’unan (kepu’unan) dilaksanakan oleh


jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan,
dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat
pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga,
mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro
dangka berjumlah sembilan orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut
sebagai jaro dua belas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.

Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara


masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh
pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Prinsip kearifan yang dipatuhi
secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah
masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika
badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di
awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat
kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.

Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh
yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.

8
2.3 Tinjauan Geografis

2.3.1 Peta Kawasan Baduy

2.3.2 Lokasi Absolut

Suku baduy terletak didaerah banten, secara geografis suku baduy terletak pada
kordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT.

2.3.3 Lokasi Relatif

Suku baduy bermukim tepatnya di kaki gunung kendeng didesa kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. suhu rat - rata disana adalah 20 °C. dan tiga desa utamanya adalah cikeusik,
cibeo, cikertawana.

2.3.4 Jarak Mutlak

Jarak mutlak dari kota Rangkasbitung menuju Cibeo cukup jauh yakni kurang lebih
sekitar 40 km.

2.3.5 Jarak Relatif

9
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai desa Cibeo dari kampung Ciboleger kurang
lebih menghabiskan waktu 3 jam.

2.3.6 Keadaan Morofologi

Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 –
600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan
bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah
vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian
selatan). suhu rata-rata 20 °C. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam
adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.

2.3.7 Diferensiasi Area

Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan
pikukuh atau aturan adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh
adat dan menjalankan aturan adat dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy
Luar. Selain itu ada terdapat pula perbedaan cara berpakaian serta pembuatan rumah suku
baduy dalam dan baduy luar.

2.3.8 Keterjangkauan

Untuk bisa sampai ke desa Cibeo dari kampung Ciboleger hanya bisa ditempuh
dengan berjalan kaki karena medan yang tidak memungkinkan untuk dilalui kendaraan.

2.3.9 Pola Pemukiman

Pola pemukimannya berpola mengelompok. Hal itu disebabkan karena kultur


penduduk masyarakat baduy yang cenderung mengisolir diri dari masyarakat lain. ola
pemukiman mengelompok di dalam baduy lebih dikarenakan relief tempat tinggal mereka
yang tidak datar. Begitu banyak bukit di dalam kampung baduy tersebut yang menyebabkan
mereka berkelompok kelompok di dalam tempat tinggal mereka. Pola pemukiman ini pun
cukup unik karena rumah masyarakat Baduy memiliki arah yang sama yaitu menghadap
utara-selatan.

2.3.10 Mata Pencaharian

10
Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi
huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula
aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.

2.3.11 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Baduy menitik beratkan pada wilayah tempat tinggal.
Hubungan kekerabatan bisa dilihat dari tiga sisi yaitu pertama, kampung Tangtu. Kedua,
kampung Panamping. Ketiga, Pajaroan. Dalam hal itu, seluruh masyarakat Baduy
menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Baduy adalah “Tangtu Teulu Jaro Tujuh” yang
memiliki arti seluruh penduduk di wilayah Kanekes Baduy merupakan satu kerabat yang
berasal dari satu nenek moyang. Selain itu, dalam masyarakat Baduy sistem kekerabatan
merujuk pada nama ibu (suku kata).

2.3.12 Interaksi Dengan Penduduk Luar

Dalam hal interaksi suku Baduy dengan masyarakat luar ditemukan di  suku Baduy
Luar, mereka menerima masyarakat luar untuk berinteraksi. Sedangkan, pada suku Baduy
Dalam tidak ada interaksi dengan masyarakat luar, ini disebabkan suku Baduy Dalam
menolak segala yang berhubungan dengan teknologi, budaya, dan interaksi dari masyarakat
diluar Suku Baduy Dalam.

2.3.13 Sistem Pemerintahan

Masyarakat Baduy mengenal dua system pemerintahan, yaitu Sistem Nasional, yang
mengikuti atauran Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sistem Adat yang mengikuti
adat istiadat yang dipercaya masayarakat tersebut. Kedua system tersebut digabungkan atau
diakulturasikan sedemikian rupa sehinga tidak terjadi pembenturan. Secara Nasional
penduduk kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai Jaro Pamarentah, yang
ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pemimpin data kanekes yang
tertinggi, yaitu “puun”.

11
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Cibeo Baduy Dalam. untuk mencapai lokasi
penelitian, diperlukan waktu kurang lebih 3 jam dikarenakan akses menuju tempat penelitian
itu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki melewati area perbukitan dan sungai. Jarak
tempuh yang dilalui sekitar 13 kilometer dari pintu masuk menuju perkampungan Baduy.
Sepanjang perjalanan akan tersaji pemandangan hamparan sawah dilereng-lereng bukit,
pohon-pohon duren, pemukiman warga dan aren, serta terlihat juga hutan-hutan. Hutan yang
sunyi ditumbuhi dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang.

Untuk mencapai perkampungan Suku Baduy, dibutuhkan waktu sekitar 90 menit


lamanya dari kota Rangkasbitung. Desa kanekes adalah suatu daerah yang hampir tanpa
dataran dan semata-mata terdiri dari bukit-bukit serta lembah- lembah yang curam dibeberapa
tempat dan sungai-sungai yang menyebabkan sulitnya mencapai kampung itu dalam waktu
singkat.

3.1.1 Jarak Absolut


Desa Kanekes Wilayah Baduy secara geografis terletak pada koordinat 60° 27’ 27”-
60° 30’ LS dan 108° 3’ 9” - 106° 4’ 55” BT.

3.1.2 Jarak Relatif


Pemukiman orang Baduy merupakan daerah berbukit yang makin kearah selatan makin
curam lereng-lerengnya. Tempat yang paling rendah dari daerah ini berada pada ketinggian
200 meter dari permukaan laut, sedangkan tempat yang paling tinggi merupakan puncak
pegunungan kendeng terletak pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan air laut.

12
3.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian kami adalah masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar
adalah kelompok terbesar yang disebut Urang Penamping yang tinggal di sebelah utara
Kanekes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak
kampung. Mereka tinggal di daerah Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, dan Cisagu
yang mengelilingi Baduy Dalam.

3.2.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah masyarakat suku Baduy Dalam dan Baduy Luar, kami
mengambil beberapa orang masyarakat suku baduy sebagai perwakilan dalam penelitian ini
untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat suku Baduy terhadap lingkuan.

3.2.2 Sampel
Teknik pengambilan sampel ini menggunakan sampel random yang artinya setiap
subjek penelitian memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi sampel. Artinya, semua
warga yang tinggal di Baduy bisa dijadikan responden. Alasan kita menggunakan responden
secara acak dikarenakan sifat responden yang heterogen sehingga membuat data yang
diperoleh beragam pula.

3.3 Pendekatan Penelitian


Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang menggunakan uraian dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Tujuan
dari penelitian ini adalah mengungkap fakta keadaan, fenomena, variabel dan keadaan yang
terjadi saat penelitian berjalan dan menyuguhkan apa adanya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini diperlukan teknik pengumpulan data yang sesuai agar
mendapatkan hasil yang sempurna, adapun teknik tersebut meliputi:

a. Teknik Observasi

Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang


kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Observasi

13
dilakukan melalui kegiatan keseharian yang dilakukan informan dalam melakukan aktivitas
bercocok tanam.

b. Teknik Wawancara

Wawancara adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian


dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau
orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara.18 Data
dikumpulkan dengan melakukan tanya jawab secara langsung terhadap narasumber.

c. Teknik Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan data dengan meneliti catatan-catatan penting yang


sangat erat hubungannya dengan obyek penelitian. Teknik ini dilakukan untuk memperoleh
data yang bersifat administrasi dan kegiatan yang terekomendasikan. Mencatat dan
mengumpulkan data yang diperoleh dari pengamatan terkait obyek yang diteliti.

3.5 Teknik Pengolahan Data

Ada tiga langkah pengolahan data kualitatif, yakni reduksi data (data reduction),
penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing and
verification).

 Reduksi Data (data reduction)

Peneliti melakukan pemilihan, dan pemusatan perhatian untuk penyederhanaan, abstraksi,


dan transformasi data kasar yang diperoleh.

 Penyajian Data (data display)

Peneliti mengembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Display data atau penyajian data yang lazim digunakan pada langkah
ini adalah dalam bentuk teks naratif.

 Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi (conclusion drawing and verification)

Peneliti berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan mencari makna
setiap gejala yang diperolehnya dari lapangan, mencatat keteraturan dan konfigurasi yang
mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena, dan proposisi.

14
3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis dan penafsiran data dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah
dengan penelaahan, kategorisasi, melakukan tabulasi data dan atau mengkombinasikan bukti
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Prosedur ini senada dengan prosedur yang
direkomendasikan, bahwa proses analisis data dimulai dengan :

1. Menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, dalam hal ini adalah dari
hasil wawancara, kuesioner, maupun analisis dokumen.
2. Setelah ditelaah maka langkah selanjutnya adalah mengadakan apa yang dinamakan
reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat rangkuman yang inti, proses dan
pernyataan-pernyataan kunci yang perlu dijaga agar tetap berada didalamnya.
3. Langkah berikutnya adalah menyusunnya kedalam satuan-satuan untuk kemudian
dikategorisasikan.
4. Melakukan pemeriksaan keabsahan data dengan teknik tertentu.
5. Diakhiri dengan penafsiran data.

Cara lain dilakukan dengan teknik analisis pencocokan pola (pattern- matching), yaitu
membandingkan antara pola-pola yang diperoleh secara empirik dengan pola yang
diprediksikan. Terakhir adalah teknik analitis (explanation building), yaitu cara menganalisis
data studi kasus dengan membangun penjelasan tentang kasus tersebut.

15
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy sejak awal kelahiran dengan salah satu tugas pikukuh karuhun
“Ngasuh Ratu Ngajayak Menak” sudah sangat menyadari bahwa dalam menjalankan
kehidupan adatnya erat sekali hubungannya dengan yang namanya raja atau pejabat negara.
Masyarakat Baduy sangat respon dan peduli terhadap situasi, perkembangan dan keberadaan
pemerintah sekitar yang menaunginnya. Dalam hal ini mulai dari pemerintah tingkat
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bukti adanya respon dan kepedulian tersebut sangat jelas terlihat dengan
diadakannya secara rutin di kegiatan acara adat masyarakat Baduy untuk melakukan acara
seba setiap tahun. Seba adalah acara persembahan hasil panen kepada para pemimpin yang
berkuasa di kabupaten Lebak. Makna acara seba ini adalah menjalin silaturahmi untuk saling
mengingatkan, mendoakan, dan saling menitipkan agar kesukuan mereka, pemerintah, bangsa
dan negara selalu aman dan tentram, terhindar dari berbagai bencana alam, sehingga tercipta
kemakmuran dan keadilan.

4.1.1 Latar Belakang Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy merupakan sebutan yang diberikan bagi masyarakat Sunda yang
hidupnya mengasingkan diri dari keramaian di Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten. Sebutan lainya adalah orang Rawayan, orang Kanekes, atau asal
kampung mereka seperti Cibeo, urang Tangtu.

Masyarakat Baduy terbagi atas dua wilayah adat, yaitu Urang Tangtu (Baduy- Dalam)
yang bertempat tinggal di tiga kampung inti yaitu Kampung Cikeusik, Kampung Cibeo, dan
Kampung Cikartawarna, dan Urang Panamping (Baduy- Luar) yang tinggal dikampung-
kampung di luar ketiga daerah inti, seperti kampung Cipaler, Cikadu, Cigula, Cihandam,
Cikadu, Gajeboh, Karahkal, dan kampung Baduy-Luar lainnya.19 Selanjutnya, menurut
definisi yang diberikan oleh beberapa dongeng dan cerita rakyat di Banten, Baduy datang dari
nama sebuah tempat yang dijadikan tempat huniannya.

16
Berdasarkan pengakuan orang Baduy Dalam, masyarakat Baduy merupakan
keturunan langsung dari manusia pertama yang diciptakan Tuhan di muka bumi ini yang
bernama Adam Tunggal.

“Baduy itu masyarakat yang mempunyai tugas melindungi alam ini. Kami merupakan
keturunan langsung dari Adam Tunggal. Kami ada didunia ini untuk melindungi alam ini”

Mereka meyakini bahwa suku-suku bangsa lain di dunia ini adalah bagian atau
keturunan-keturunan lanjutan dari masa lalu mereka yang mengemban tugas berbeda-beda
sesuai dengan hasil musyawarah awal di waktu penciptaan dunia ini.

Menurut sejarahnya orang Baduy pindah di daerah Gunung Kendeng pada abad 16,
bersamaan dengan runtunya Kerajaan Pajajaran. Duhulu sebelum Islam masuk ke Indonesia
dan Jawa, pengaruh agama Hindu dan Budha sangat kuat, termasuk Kerajaan Pajajaran. Pada
tahun 1579 masuklah Islam untuk menghancurkan Kerajaan Pajajaran dan masyarakat disana
berpindah ke agama Islam. Ada sekelompok masyarakat yang menolak untuk masuk Islam,
kemudian mereka berpindah tempat untuk mengasingkan diri. Kelompok tersebut yang
kemudian dinamakan Suku Baduy.

Ada beberapa versi mengenai kata Baduy, salah satunya adalah nama tersebut diambil
dari sebuah suku di negara Arab yang bernama Badawi yang hidup secara nomaden di gurun
pasir. Orang-orang Belanda yang berada di Indonesia pada waktu itu memberi nama itu
kepada kelompok ini. Ada pula yang mengaikan bahwa kaum Badwi di Arab pada zaman
Nabi Muhammad merupakan suku yang tidak mau masuk agama Islam. Dikaitkan dengan
keberadaan Baduy di Indonesia pada waktu itu yang menola untuk masuk Islam, maka
muncul istilah Baduy. Versi lain menjelaskan bahwa nama Baduy diambil dari nama bukit
yang berada di selatan Desa Kanekes tempat mereka tinggal. Masyarakat Baduy sendiri
menyebut dirinya dengan sebutan orang Kanekes yang berarti orang Sunda, sehingga sampai
saat ini desa yang mereka tempati disebut Desa Kanekes. Seperti yang dikatakan salah satu
informan :

“Kanekes itu nama Desa, Baduy nama masyarakatnya. Selain dari itu berarti sebutan yang
diciptakan oleh orang luar Baduy”

Masyarakat Baduy tak peduli dengan sebutan yang banyak diberikan kepadanya.
Mereka enggan berkomentar banyak tentang nama-nama sebutan yang diberikan orang luar
kepadanya.

17
4.1.2 Geografi Desa Kanekes

Wilayah Baduy itu berdasarkan lokasi geografinya terletak kira-kira pada 60 27’ 27”-
60 30’ Lintang Utara dan 1080 3’ 9” - 1060 4’ 55” Bujur Timur. Wilayahnya berbukit-bukit,
tersusun oleh sambung menyambung bukit. Wilayah hutan yang luas dengan bentuk daratan
yang berbukit-bukit dari mulai desa Baduy Luar hingga Desa Baduy Dalam diperkirakan
mempunyai luas wilayah 5.136,58 hektar. Pemukiman biasanya berada pada daerah-daerah
datar dekat sumber air dibawah lembah. Suasana yang sejuk dan indah tersaji diatas dataran-
dataran tinggi. Air sungai yang mengalir jernih melintasi rumah-rumah masyarakat Baduy.
Sungai yang mengalir diwilayah ini adalah sungai Ciujung, yang hulunya berasal dari daerah-
daerah hutan di bagian selatan wilayah Baduy dalam. sedangkan aliran airnya mengalir
kebagian hilir melewati daerah-daerah Baduy, terus keluar melintasi ibu kota kabupaten, di
Rangkasbitung dan bermuara dipantai utara laut Jawa dekat wilayah Jakarta.

4.1.3 Administrasi Desa Kanekes


Wilayah Baduy atau biasa disebut wilayah Kanekes, berdasarkan administrasi
pemerintahan masuk kedalam desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten. Jarak dari ibu kota kabupaten di Rangkasbitung ke kecamatan Leuwidamar
lebih kurang 37 km. Jumlah penduduk masyarakat Baduy sendiri sekitar 11.620 jiwa.
Perjalanan menuju wilayah kecamatan ini dari ibukota kabupaten dapat ditempuh dengan
kendaraan motor ataupun mobil dengan cukup lancar, kecuali pada beberapa tempat jalanya
kurang bagus, khususnya diwaktu-waktu yang lampau. Sedangkan untuk menuju wilayah
Baduy, dari kecamatan Leuwidamar, dapat menggunakan motor ataupun mobil dengan
melintasi dua jalur perjalanan, yaitu melewati desa Cisemeut atau Cibungur sampai ke daerah
perbatasan Baduy di Ciboleger. Pada lintasan yang pertama, jalannya datar lebih pendek,
tetapi harus menyeberangi Sungai Cisemeut. Pada musim kemarau air dangkal, sehingga
mobil bisa melintasi sungai itu. Akan tetapi bila musim hujan, air sungai Cisemeut deras,
kendaraan mobil tidak bisa melintasi wilayah ini, hanya sampai ditepi sungai saja. Sedangkan
kendaraan motor ataupun pejalan kaki dapat melanjutkan perjalanan melintasi jembatan
gantung dari kayu. Sedangkan pada lintasan pertama, melintasi jalan desa berbatu-batu,
jaraknya agak jauh dan melintasi daerah-daerah perbukitan yang agak curam, tetapi walaupun
musim hujan, mobil masih dapat melintasi daerah ini.

18
4.1.4 Sistem Pemerintahan

Masyarakat Baduy mengenal organisasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.


Mereka mengakui adanya hierarki kepemimpinan dalam kehidupan bermasyarakat dan bagi
mereka kedudukan para pemimpin puncak sifatnya kekal serta memiliki peranan dan
kekuasaan luas terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya. Wewenang dan kedudukan itu
sudah ditentukan oleh aturan nenek moyangnya yang disebut karuhun.

Dalam hal sistem pemerintahan yang berlaku di masyarakat Baduy mengenal dua
sistem, yakni struktur pemerintahan adat dan struktur pemerintahan desa. Kedua struktur ini
sangat berbeda alur kerja dan kekuatan hukumnya. Strktur pemerintahan Adat lebih banyak
memiliki peran penting dibandingkan struktur pemerintahan Desa. Hal ini yang banyak
menyebabkan bertahanya kebudayaan-kebudayaan yang ada di masyarakat Baduy ini.
Kebudayaan itu meliputi pengetahuan mereka terhadap aturan-aturan adat yang tak pernah
berubah dan terus di taati oleh masyarakat Baduy.

Struktur Lembaga Adat Baduy

Pemimpin tertinggi struktur pemerintahan adat dipegang oleh tiga Puun atau bisa
dibilang raja yaitu Puun Cibeo, Puun Cikartawarna, dan Puun Cikeusik. Puun adalah
dpimpinan yang mengurus seala urusan amanat secara batiniah untuk mendoakan
keselamatan alam, lingkungan dan kehidupan seluruh umat manusia termasuk bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Puun tidak langsung mengurus atau memimpin semua
kegiatan kemasyarakatan secara operasional. Ketiga Puun ini mempunyai tugas yang

19
berbeda. Ruang lingkup dan gerak kehidupan Puun lebih sederhana dan terbatas dibanding
dengan kehidupan anggota masyarakatnya. Kehidupan puun lebih mendekati pada kehidupan
seorang begawan yang jauh dari nafsu kematerian.

Jaro Tangtu adalah wakil Puun yang memiliki amanat untuk melaksanakan
pemerintahan dan segala amanat hukum adat. Istilah tangtu sendiri memiliki pengertian.

“Yang memastikan terhadap suatu masalah, yang menentukan suatu keputusan atau
kepastian. Yang harus dilaksanakan”

Jaro Tangtu memiliki kedudukan sebagai tangan kanan Puun yang berkaitan dengan
pelaksanaan seluruh aspek kehidupan, baik yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan,
pelaksanaan dan penerapan hukum adat beserta penerapan sanksi, penentuan dan pengaturan
waktu kegiatan upacara-upacara adat, sosialisasi seputar tatanan hukum adat pada masyarakat
Baduy, dan penataan keamanan dan ketertiban. Jaro tangtu merupakan pusat pemecahan
masalah dan berkewajiban untuk mengambil sikap demi terjaminnya pelaksanaan hukum adat
dan keselamatan masyarakat Baduy. Jaro tangtu berhak mengambil keputusan untuk
menugaskan jajaran tokoh adat baik jajaran tokoh adat Baduy Dalam, maupun jajaran tokoh
adat Baduy Luar. Jaro tangtu berkewajiban mengawasi secara umum tentang pelanggaran
pelaksanaan hukum adat di masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar.

Dalam struktur lembaga hukum adat Baduy posisi girang seurat sejajar dengan jaro
tangtu, tetapi girang seurat memiliki tugas khusus yang spesifik yaitu sebagai pendahulu
dalam menentukan waktu pelaksanaan acara ngaseuk huma serang dari awal pembukaan
nyacar, nuaran, ngaduruk, ngaseuk, ngored, ngubaran huma sampai pada proses panen.
Girang seurat tidak memiliki kewenangan dan hak seperti jaro tangtu dalam pengambilan
keputusan hukum adat, tetapi dalam setiap acara musyawarah adat, girang seurat selalu hadir
menyaksikan termasuk memberikan saran atau nasihat.

Tangkesan adalah salah satu pemangku adat Baduy yang berasal dari warga Baduy
Luar berkedudukan di kampung cicatang, tangkesan ini memiliki kharisma, wibawa yang
cukup tinggi bahkan disegani oleh seluruh warga Baduy Dalam maupun Baduy Luar
termasuk dihormati oleh para pemimpin adat Baduy. Kewibawaan itu timbul karena tugas
dan wewenang tangkesan cukup besar, termasuk salah pada puun-puun dalam hal adat.
Tangkesan adalah tokoh adat yang memiliki pengaruh kuat dalam mengangkat, melantik, dan
memberhentikan para petugas adat yang berada di Baduy Luar, tetapi tidak untuk pemangku
adat Baduy Dalam, tangkesan juga memiliki kelebihan dan kemampuan berdoa dalam hal

20
keselamatan bumi alam, bangsa dan negara juga bagi warga atau masyarakat yang tertimpa
masalah termasuk mendoakan tentang masalah yang dihadapi puun.

Dalam struktur lembaga adat kedudukan jaro tanggungan dua belas sejajar dengan
tangkesan dan sama-sama merupakan pimpinan dari jaro tujuh. Tangkesan bertindak sebagai
bapaknya jaro tujuh sedangkan tanggungan dua belas lebih berfungsi sebagai saksi jaro tujuh.
Tugas utama jaro tanggungan dua belas adalah mengurus bidang keamanan dengan
memberikan perlindungan dan tindakan hukum kepada seluruh masyarakat Baduy atas segala
bentuk tindakan pelanggaran adat baik di wilayah Baduy Dalam maupun Baduy Luar.

4.1.5 Aktivitas Perekonomian

Orang Baduy tak bisa dipisahkan dari padi yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci
Sanghyang Asri yang harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan karuhun, yaitu seperti
bagaimana para nenek moyang mereka menanam padi. Padi ditanam dilahan kering dan tidak
boleh ditanam di hutan larangan.

Mata pencaharian masyarakat Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup, artinya


aktifitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi
serta dikonsumsi di lingkungan Baduy sendiri. Begitu juga pakaian, sandal dan peralatan
pertanian mereka buat sendiri dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di lingkungan
mereka. Hanya sebagian kecil kebutuhan didapatkan dari wilayah sekitar Baduy. Pertanian
merupakan aktivitas ekonomi utama dan penting, sedangkan aktivitas tambahan berupa
kerajinan seperti sarung, baju, dan membuat gula aren. Dengan prinsip bahwa aktivitas
ekonomi hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bukan memperkaya diri, maka
tidak banyak aktivitas jenis ekonomi yang dilakukan mereka seperti masyarakat modern pada
umumnya.

Hasil dari aktivitas ekonomi ini oleh mereka diutamakan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan untuk upacara-upacara, sedangkan sisanya mereka jual ke daerah luar untuk
dibarter dengan kebutuhan yang tidak mereka hasilkan seperti garam, minyak, serta bumbu-
bumbu. Madu Baduy sangat terkenal di daerah Banten karena tidak dicampur dengan bahan
lainnya, sehingga sering disebut madu asli. Mereka menjual madu dan hasil kerajinan lainnya
sampai ke kota. Saat pergi ke kota untuk menjual madu, masyarakat Baduy Dalam tidak
menggunakan alat transportasi seperti yang kita gunakan sehari-hari. Mereka hanya berjalan
kaki menyelusuri jalanan hingga sampai ditujuan yang mereka inginkan.

21
4.1.6 Religi dan Adat

Sistem religi yang dianut masyarakat suku Baduy adalah penghormatan ruh nenek
moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu dsebut
Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Konsep- konsep dan kegiatan-kegiatan
keagamaan lainnya ditujukan kepada pikukuh Baduy untuk bekerja menurut alur itu dalam
mensejahterahkan kehidupan Baduy dan dunia ramai. Seperti yang dikatakan salah satu
informan.

“Agama nu diagen ku masyrakat Baduy ngarana Agama Sunda Wiwitan, nabina Adam
Tunggal. Dina keyakinan Sunda Wiwitan kami mah teu kabagean parentah shalat seperti
dulur-dulur sabab wiwitan Adam tugasna memelihara kasaimbangan ieu alam, teu
ngabogaan kitabna da ajarana neurap jeung alam. Makana agama Slam Sunda Wiwitan
ngan ukur keur urang Baduy”

Masyarakat Baduy percaya, bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan
sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat
Baduy harus berpedoman kepada buyut karuhun (ketentuan adat) yang telah ditentukan
dalam bentuk pikukuh karuhun (larangan adat). Seseorang tidak berhak dan tidak boleh
melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun
menurun. Dalam kehidupannya, puun sebagai pimpinan tertinggi adat Baduy adalah
keturunan batara serta dianggap sebagai penguasa agama sunda wiwitan yang harus ditaati
segala perintah dan perkataannya. Rukun agama sunda wiwitan yang terdiri dari : ngukus,
ngawalu, muja, ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan, dan ngareksakeun sasaka pusaka harus
ditaati oleh seluruh masyarakat Baduy. Aturan dan tata cara pelaksanaan rukun Baduy ini
dipimpin oleh puun sebagai ketua adat masyarakat Baduy. Kedudukan para pimpinan adat
memiliki peranan dan kekuasaan luas terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya.
Wewenang dan kedudukan itu sudah ditentukan oleh karuhun dengan maksud untuk
menyelamatkan taneuh titipan yang merupakan intinya jagat. Jika taneuh titipan ini hancur
dan rusak, seluruh kehidupan di dunia akan rusak pula.

Masyarakat Baduy mempunyai struktur tatanan hukum adat yang tunduk dan patuh
kepada puun sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan adat dan pimpinan keagamaan yang
berada dikampung Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Sistem struktur hukum adat di
perkampungan masyarakat Baduy memegang peranan penting dalam mengayomi semua
lapisan warganya bak dalam bidang kemasyarakatan ataupun dalam mengelola lingkungan

22
alamnya. Tata cara pengerjaanya diatur oleh adat dan dipatuhi dengan seksama sehingga
dapat berjalan penuh keseimbangan. Adat telah mengatur kelestarian alam sebagai penopang
hidup dan kehidupan, serta mampu mewujudkan keakraban manusia dengan alam untuk
hidup berdampingan dan berkesinambungan, sehingga alam lingkungannya itu sendiri
memberikan kesuburan yang berlimpah. Tatanan aturan adat tersebut mengatur hubungan
antara masyarakat Baduy dengan Tuhannya, masyarakat Baduy sendiri, masyarakat Baduy
dengan masyarakat luar, dan masyarakat Baduy dengan lingkungan alamnya. Dalam
mengelola lingkungannya, secara garis besar aturan adat Baduy terbagi menjadi aturan
tentang pengelolaan lahan pertanian dan pelestarian lahan hutan. Oleh karena itu setiap
kegiatannya selalu diikuti oleh upacara-upacara adat.

4.2 Hasil Temuan dan Pembahasan

4.2.1 Aktivitas Bercocok Tanam Masyarakat Baduy

Sistem pertanian di Indonesia maupun dibeberapa negara pertanian di dunia sangat


jarang sekali menggunakan sistem berladang. Dengan jumlah penduduk yang terus
bertambah dan membutuhkan lahan, maka sistem berladang menjadi tidak efektif dan
cenderung merusak lingkungan. Masyarakat Baduy hanya mengenal istilah berladang dalam
bercocok tanam.

Menurut masyarakat Baduy berladang yang mereka kerjakan sesuai dengan


kepercayaan dan prinsip hidup mereka, yaitu untuk tidak membuat perubahan secara besar-
besaran pada alam, karena justru akan menimbulkan ketidakseimbangan alam. Dengan sistem
berladang mereka tidak melakukan perubahan bentuk alam, karena mereka menanam
mengikuti alam yang ada. Mereka menanam padi dan tumbuhan lainnya sesuai dengan lereng
disana, mereka tidak membuat terasiring. Sistem pengairan disana tidak menggunakan irigasi
teknis, tetapi hanya memanfaatkan hujan yang ada. Ada larangan pengggunaan air sungai
atau mata air untuk mengairi sawah. Seperti yang dikatakan salah seorang informan
:

“Jangan sekali-kali membelokkan aliran air untuk keladang. Nanti bisa ngerobah bentuk
tanah dan bisa menimbulkan kerusakan pada tanah”

Mereka memiliki keyakinan bahwa dengan membelokkan arah aliran air sungai
maupun mata air untuk pertanian akan mengubah bentuk alam dan dapat menimbulkan

23
ketidakseimbangan alam dan menimbulkan kerusakan alam. Semua masyarakat Baduy
Dalam dalam kesehariannya selalu melakukan aktivitas berladang, mulai dari pagi hari
hingga menjelang sore. Baik suami, istri maupun anaknya, semua melakukan aktivitas ini.

Kegiatan masyarakat Baduy dalam setiap bulanya dalam satu tahun, telah mengikuti
pola umum, yang diatur oleh adat. Kegiatan bercocok tanam atau kegiatan-kegiatan lainnya
di luar bercocok tanam bagi segenap masyarakat Baduy senantiasa mengikuti kalender atau
penanggalan yang telah mereka buat sendiri. Adapun jumlah bulan dalam penanggalan Baduy
terdiri dari 12 bulan. Namun jumlah hari hanya dihitung 360 hari. Jumlah hari hanya dihitung
360 hari, dikarenakan sisa hari yang berjumlah 4 sampai 5 hari itu digunakan untuk
menentukan perhitungan penanggalan berikutnya. Waktu luang tersebut tidak dihitung
kedalam jumlah hari pada tahun sebelumnya atau tahun yang baru ditinggalkan. Dasar
pemikiran adanya waktu luang tersebut ditetapkan menjelang akhir tahun. Salah satu
informan menjelaskan apa saja tanggalan yang ada di Baduy :

“Di Baduy itu ada penanggalan, penanggalannya hampir sama dengan tanggalan urang-
urang yang bukan urang Baduy. terdiri dari 12 bulan dan 360 hari. Kalau dipenanggalan
kalender kalian 365 hari, di Baduy sisa 5 harinya dipakai buat menentukan penanggalan
berikutnya. Nama-nama bulannya pun beda, awal bulan itu namanya Kasa, lalu karo,
katiga, safar, kalima, kanem, kapit u, kadalapan, kasalapan, kasapuluh, hapit lemah dan
namanya hapit kayu”

4.2.2 Lahan Bercocok Tanam Masyarakat Baduy

Berbicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sistem perladangan masyarakat


Baduy, tentu merupakan suatu rangkaian dan uraian yang amat panjang dan luas. Huma di
Baduy dapat dihubungkan dengan perladangan. Ladang di Baduy bagi penduduk Sunda
merupakan sistem pertanian yang dilakukan di dalam hutan dan lereng-lereng bukit. Hutan
yang dimaksudkan sebagai daerah perladangan masyarakat Baduy itu terletak jauh dari
pemukimannya. Menurut keterangan seorang penduduk Rangkasbitung yang dahulu
merupakan masyarakat Baduy yang pernah melakukan kegiatan berladang :

“Jarak ladang dengan rumah membutuhkan waktu antara setengah jam sampai satu
setengah jam. Hal itu sudah menjadi kebiasaan dari dulu dan wujud penghormatan pada
Dewi Padi. Saya tidak mengeluh bila berladang, karena dulu belum ada pekerjaan lain
seperti sekarang ini. Begitulah sekilas gambaran tentang berladang di Baduy”

24
Penduduk jaman dahulu telah memanfaatkan sumber daya alam sebaik mungkin.
Ditinjau dari segi ilmiah sistem perladangan jaman dahulu yang mereka lakukan mempunyai
arti ekologi yang cukup dalam, bahkan tersirat di dalamnya prinsip-prinsip pelestarian alam.

Masyarakat Baduy yakin bahwa dirinya diciptakan untuk menjaga tanah larangan
yang merupakan pusat bumi. Mereka dituntut untuk menyelamatkan hutan titipan dengan
menerapkan pola hidup seadanya yang diatur oleh norma adat. Oleh karena itu, kegiatan
utama masyarakat Baduy Dalam pada hakikatnya terdiri atas pengelolaan lahan untuk
pertanian atau ngahuma dan pengeolaan serta pemeliharaan hutan untuk perlindungan
lingkungan.

4.2.3 Masa Panen

Panen padi adalah hari-hari yang sangat dinantikan oleh semua masyarakat Baduy.
Pada bulan panen, sekitar tiga bulan, kawasan Baduy tertutup bagi masyarakat luar.
Berasamaan dengan bulan ini, dilakukan upacar besar masyarakat Baduy, yaitu upacara
Kawalu Akhir.

Sebelum panen padi juga dilakukan dulu suatu upacara khusus yag disebut acara mipit
pare. Pada upacara ini dilakukan pemotongan padi induk. Padi induk adalah padi yang paling
awal ditanam di ladang.

Cara menuai padi dilakukan secara tradisional dengan menggunakan etem. Potongan-
potongan tangkai padi diikat dengan menggunakan tali bambu. Sedangkan tangkai-tangkai
padi yang tercecer jatuh ditanah dikumpulkan pada keranjang kecil dari bambu yang
diikatkan dipinggang. Satu ikat padi itu dinamakan satu pocong. Pocongan-pocongan padi itu
dikumpulkan lalu disimpan pada lantayan. Lantayan adalah tempat untuk mengeringkan padi
sementara. Lantayan terbuat dari galah bambu dengan menggunakan tiang-tiang dari cabang
atau batang kayu yang bercagak.

Padi yang telah kering kemudian disimpan pada lumbung padi di sekitar pemukiman.
Kegiatan membawa padi dari lantayan menuju leuit disebut nunjal. Pengangkutan padi
dilakukan oleh seluruh anggota keluarga mulai dari suami, istri, dan anak-anaknya. Lumbung
padi masyarakat Baduy pintunya diatas. Oleh karena itu, memasukan atau mengambil padi
harus menggunakan tangga.

Kearifan lokal dalam bercocok tanam terlihat pada saat memanen padi. Sebagai
contoh alat yang digunakan untuk memanen, berbeda dengan alat-alat yang digunakan pada

25
umumnya. Selain itu cara mengikat dan menjemur padi juga berbeda dengan masyarakat luar
Baduy. Tempat penyimpanan padi atau leuit pun berbeda dengan tempat penyimpanan padi
pada umumnya.

4.2.4 Konsumsi Makanan

Komposisi makanan yang utama bagi masyarakat baduy setiap harinya, khususnya
Baduy Dalam adalah nasi, ikan asin, petai, rebung, dan lalapan. Selain itu mereka juga
mempunyai kebiasaan ngopi dan makan makanan ringan.

Pada masyarakat Baduy Dalam, merokok tidak diperkenankan, yang boleh hanyalah
makan sirih, baik untuk perempuan dan juga laki-laki. Sedangkan pada masyarakat Baduy
Luar, merokok sudah umum. Tidak ada larangan bagi masyarakat Baduy Luar untuk
merorok.

4.2.5 Hubungan Masyarakat Baduy Dengan Lingkungannya

Seperti telah dikemukakan diatas, masyarakat Baduy dalam bercocok tanam dari
waktu ke waktu senanstiasa mengadakan interaksi dengan alam lingkungan sekitarnya.
Masyarakat Baduy Dalam mempengaruhi alam sekitarnya dan masyarakat Baduy juga
terkena pengaruh alam sekitarnya. Hubungan timbal balik antara masyarakat Baduy dengan
alam lingkunannya dalam bercocok tanam ini telah membentuk suatu interaksi antara
masyarakat Baduy dengan berbagai kkomponen di alam, misalnya masyarakat Baduy
mengetahui berbagai macam jenis tumbuhan dengan segala fungsi dan cara merawatnya.

Kearifan lokal dalam hal ini merupakan strategi untuk bercocok tanam yang baik
karena mempertimbangkan aspek-aspek tertentu, dengan melihat kondisi alam dan
masyarakat. Komponen utama yang menyusun sistem bercocok tanm pada masyarakat Baduy
itu adalah penduduk aau masyarakat, makanan, lahan pertanian dan hutan, hasil pertanian,
dan kesuburan lahan. Semua komponen itu saling berinteraksi dan membuat satu kesatuan.
Interaksi antara masyarakat Baduy dengan lingkungannya dalam praktek bercocok tanam
adalah abstraksi atau penyederhanaan dari hubungan yang kompleksbdan rumit dari keadaan
sesungguhnya yang terjadi di alam wilayah Baduy itu. Berubah salah satu komponennya,
maka akan menyebabkan perubahan pada komponen-komponen lainnya.

4.2.6 Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Bercocok Tanam

26
Kearifan lokal masyarakat Baduy merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia
yang telah berkembang sejak lama. Kearifan lokal masyarakat Baduy lahir dari pemikiran
dan nilai yang diyakini suatu masyarakat Baduy terhadap terhadap alam dan lingkungannya.
Di dalam kearifan lokal masyarakat Baduy tentunya terkandung nilai-nilai, norma-norma,
sistem kepercayaan, dan ide-ide masyarakat setempat. Kearifan lokal pada masyarakat Baduy
berkaitan erat dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang fungsinya untuk
konservasi dan pelestarian alam.

Masyarakat Baduy tidak sembarangan dalam memulai atauoun melaksanakan


kegiatan bercocok tanam. Masyarakat Baduy memiliki kearifan lokal sendiri dalam
menentukan waktu untuk memulai kegiatan bercocok tanam. Munculnya bintang kidang
pertanda bagi masyarakat Baduy untuk bersiap-siap turun ke ladang.

Tata cara tahapan-tahapan pengerjaan ladang di daerah Baduy dimulai dari narawas
yaitu mencari daerah hutan untuk ladang. Setelah narawas, kemudian menyiapkan lahan
dengan cara nyacar atau menebang semak belukar, nuku atau mengusir makhluk pengganggu
hutan, nuar atau memangkas ranting-ranting dan cabang pohon, nyasap atau membersihkan
rumput dan tunas-tunas pengganggu di lahan bekas nyacar, ngahuru atau membakar sisa-sisa
tebangan. Lalu memulai menanam dengan cara ngaseuk atau tanam padi dan tanaman
lainnya. Selanjutnya pemeliharaan dengan cara ngored 1 atau menyiangi tumbuhan
pengggangu tahap pertama, ngored 2 atau menyiangi tumbuhan pengganggu tahap kedua,
ngubaran pare atau mengobati padi dari serangan hama dan penyakit. Tahap terakhir
memanen dan menyimpan hasil dengan cara dibuat atau panen padi di ladang,dielep atau
menyimpan dan menyusun padi di dangau, dan nunjal atau mengangkut padi ke leuit di
kampung.

Masyarakat Baduy akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan


kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besaran atau dikomersialkan.
Sumber daya lokal ini sudah dibagi peruntukannya seperti hutan, kebun, sumber air, lahan
pertanian, dan pemukiman. Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif.
Kolektif disini adalah untuk mencegah pengurangan lahan Baduy. Kearifan yang berada pada
masyarakat Baduy dalam pengelolaan lahan bercocok tanam yaitu berladang adalah cerminan
dari perilaku ramah lingkungan yang bertujuan untuk keberlanjutan dan kelestarian
lingkungan. Perilaku ramah lingkungan ini dilakukan untuk menjaga keadaan alam yang telah
mereka andalkan untuk bertahan hidup. Kondisi lingkungan menyediakan segala kebutuhan

27
mereka. Semua itu mereka lakukan sebagai bentuk balas budi, karena alam menyediakan
segala sesuatu yang mereka butuhkan.

Daerah Baduy karena lokasinya yang berbukit-bukit dan terisolasi dimana masyarakat
Baduy menjauhkan diri ketempat terpencil, serta masyarakatnya memiliki konsep
perlindungan dengan cara tradisional terhadap wilayah-wilayah tertentu, membuat daerah
Baduy masih memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Adanya keanekaragaman
hayati ini memiliki berbagai keuntungan, baik untuk kualitas lingkungan ataupun fungsi
sosial ekonomi penduduk.

4.2.7 Mewariskan Kearifan Lokal

Masyarakat Baduy termasuk masyarakat adat yang terisolasi yang menjaga tradisi
nenek moyang dari pengaruh luar. Pendekatan pendidikan di Baduy Dalam adalah secara
informal yang dilakukan dalam keluarga. Sedangkan pendekatan pendidikan di Baduy Luar
adalah dilakukan di rumah-rumah maupun di lapangan secara langsung. Tidak ada
pendidikan formal disana, meskipun demikian sebagian masyarakatnya dapat membaca dan
menulis.

Cara mewariskan kearifan lokal diajarkan sangat sederhana sekali, hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup saja. Dituturkan oleh pemimpin adat bahwa kita mendidik
masyarakatnya bukan untuk menjadi pintar tetapi menjadi jujur. Mereka berpikir bahwa
orang pintar identik dengan modern, sehingga orang pintar berkeinginan untuk melakukan
perbuhan di lingkungan Baduy, sedangkan orang jujur bisa mematuhi aturan yang ada
dikalangan Baduy dan cenderung mengikuti aturan tersebut. Kearifan lokal dalam hal ini
adalah sebagai bentuk kesadaran akan budaya yang mereka miliki dan untuk mencegah
masuknya budaya-budaya luar yang dapat merusak kehidupan masyarakat Baduy.

4.2.8 Nilai-nilai Luhur dalam Kearifan Lokal Suku Baduy

Kearifan lokal masyarakat Baduy berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal
itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Sampai batas tertentu ada nilai-nilai yang
berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya. Dalam bingkai kearifan lokal inilah,
masyarakat Baduy bereksistensi dan berkonsistensi antara satu dan lainnya.

Disamping berfungsi sebagai pembentuk dan penguat identitas kesukuan, kearifan


lokal masyarakat suku Baduy juga bisa digunakan sebagai penyaring bagi nilai-nilai yang

28
berasal dari luar, dan dapat juga dijadikan pijakan dalam pengembangan nilai-nilai luhur
yang hendak diinternalisasikan dalam pendidikan karakter.

Beberapa nilai-nilai luhur dalam kearifan lokal masyarakat Suku Baduy yang dapat
distransmisikan kepada anak-anak atau siswa-siswa dalam rangka membentuk karakternya.
Nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat Baduy adalah :

a. Peduli Lingkungan

Adalah tidak mengubah dan merusak alam agar tetap terjaga keseimbangan fungsi
dan manfaatnya demi kesejahteraan dan keharmonisan kehidupan seluruh manusia.

b. Suka Bekerjasama

Tolong menolong atau kerjasam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ciri khas
masyarakat Baduy. Hampir setiap kegiatan kemasyarakatan atau kebutuhan individu selalu
dikerjakan dengan semangat gotong royong saling membantu, yang dalam bahasa mereka
diistilahkan rereongan.

c. Taat Pada Hukum

Keihklasan dan ketaatan masyarakat Baduy dalam menerapkan hukum adat dalam
kehidupan sehari-harinya betul-betul telah mengakar dan mengikat batinya, sehingga hukum
adat bagi mereka bukanlah suau teori atau pendapat untuk diperdebatkan. Namun, hukum
merupakan aturan hidup yang harus ditaati dan sekaligus untuk diaplikasikan dalam setiap
aspek kehidupan mereka sehingga hukum adat adalah hiasan dan pakaian yang melekat erat
dalam kehidupan sehari-hari mereka tanpa terkecuali.

d. Sederhana dan Mandiri

Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang menganut pola hidup sederhana yang
secara mandiri berusaha memenuhi segala kebutuhannya. Kemandirian mereka lebih tampak
dari cara mereka menyikapi sesuatu dari “luar” dan memberdayakan apa yang ada di
“dalam”.

e. Demokratis

Nuansa demokratis di masyarakat Baduy tampak dari cara mereka mentradisikan


bermusyawarah dalam kehidupan sehari-hari seperti saat menentukan pemimpin atau tokoh
adat suku Baduy.

29
f. Suka Bekerja Keras

Masyarakat Baduy termasuk masyarakat yang produktif, dalam arti selalu


memanfaatkan waktu dengan diisi oleh kegiatan-kegiatan yang menghasilkan dan
bermanfaat.

g. Jujur

Bagi masyarakat Baduy kejujuran adalah harga diri. Artinya, seseorang dihargai dan
dihormati oleh masyarakat karena kejujurannya. Orang tidak jujur tidak ada harga dirinya.

4.3 Hasil Wawancara

1. Apa saja hal-hal yang harus diperhatikan pada saat bercocok tanam?
Jawaban : Hal-hal yang berhubungan dengan bercocok tanam itu sudah diatur
oleh adat, seperti kapan mulai menanam dan kapan mulai memanen.
Dalam bercocok tanam kami tidak menggunakan pupuk yang berasal
dari luar. Pupuk dari luar banyak mengandung bahan kimia yang bisa
merusak kesuburan tanah kami.

2. Bagaimana cara bercocok tanam yang baik?


Jawaban : Cara becocok tanam yang baik adalah mengikuti cara adat. Selama
kami mengikuti cara adat, hampir tak pernah mengalami gagal panen.

3. Bagaimana pola pertanian masyarakat Baduy pada zaman dahulu?


Jawaban : Pola pertanian masyarakat Baduy zaman dahulu masih sama dengan
zaman sekarang. Tidak ada bedanya.

4. Apa pikukuh adat yang ada di daerah Baduy?


Jawaban : Pikukuh adat Baduy itu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu
meunang disambung. Gununng teu meunang dilebur, lebak teu
meunang dirusak. Buyut teu meunang dirobah”. Pikukuh ini
menjelaskan aturan tanpa perubahan apapun.

30
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, kesimpulan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :

1. Cara masyarakat Baduy untuk mempertahankan kearifan lokalnya dari buday aluar
adalah dengan terus menjaga amanat leluhur yang diajarkan secara turun-temurun
kepada setiap anggota masyarakatnya. Amanat leluhur ini diturunkan dari generasi ke
generasi melalui peran lembaga adat yang didalamnya terdapat nilai-nilai luhur yaitu
tentang cara menjaga alam, merawat alam, dan hidup harmonis selaras dengan alam.
Dengan aturan adat ini, masyarakat Baduy dapat mempertahankan kearifan lokalnya
dari pengaruh budaya luar.
2. Cara masyarakat Baduy menjaga kearifan lokalnya dari segi bercocok tanam adalah
dengan menerapkan sistem perladangan. Perladangan yang dilakukan masyarakat
Baduy mengikuti penanggalan-penanggalan yang ditentukan oleh adat. Dalam
aktivitas perladangan masyarakat Baduy, terdapat kearifan-kearifan lokal sebagai
strategi ketahanan mereka dari pengaruh budaya luar yang mengcancam. Hal ini
membuat masyarakat Baduy mampu mempertahankan kearifan lokalnya. Berladang
bagi masyarakat Baduy merupakan cara penghormatan mereka terhadap leluhur.
Bentuk kearifan lokal dari bercocok tanam ini merupakan strategi untuk bertahan dari
masuknya pengaruh budaya luar.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka saran dari kami adalah sebagai berikut :

1. Dinamika kearifan lokal semakin berubah secara signifikan sehingga perlu kebijakan
pemerintah untuk memberikan solusi terkait faktor ekonomi yang menjadi faktor
utama perubahan kearifan lokal tersebut. Pemerintah diharapkan mampu menjaga
kearifan-kearifan lokal yang ada di Indonesia khususnya di wilayah Baduy.

31
2. Persepsi masyarakat menjadi pola pikir yang cepat berubah seperti pola tanam
monokultur sehingga perlu program pemerintah mengantisipasi pola tanam tersebut
sebelum dampak pola tanam menyebar terhadap masyarakat sekitar hutan Baduy.
3. Kearifan lokal masyarakat Baduy diharapkan digunakan untuk kajian ilmu pendidikan
dalam bidang sosiologi, geografi, sejarah, dan lingkungan.

32

Anda mungkin juga menyukai