Anda di halaman 1dari 14

Individualisme, Kolektivisme, dan Kejujuran

Membaca Persoalan Siami melalui Paradigma

Critical Theory et al

Makalah ini ditulis untuk melengkapi tugas matakuliah

Filsafat Hukum

oleh

AHMAD PORWO EDI ATMAJA

(NIM B2A008007)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
SEKAPUR SIRIH

Alhamdulillah, segala puji bagi Tuhan, akhirnya saya mampu menyelesaikan penulisan
makalah ini. Tidak mudah memang—tidak pula terlampau cepat, tetapi saya ingin dan, sekali
lagi alhamdulillah, rampunglah makalah ini.

Makalah dengan judul “Individualisme, Kolektivisme, dan Kejujuran: Membaca


Persoalan Siami melalui Paradigma Critical Theory et al” ini—sesuai dengan tajuknya—
hendak mengkaji persoalan yang baru-baru ini sempat menghebohkan dunia pendidikan kita,
yakni Kasus Sontekan di Surabaya, yang membuat beberapa orang harus dicopot dari jabatan
fungsionalnya sebagai guru. Saya mempergunakan kajian paradigmatik, melalui paradigma
Critical Theory et al, buat membaca kasus ini secara mendalam. Di bagian akhir, saya juga
mengajukan beberapa saran terhadap kasus ini.

Demikian makalah yang merupakan tugas untuk matakuliah Filsafat Hukum ini saya
tulis. Saya berterimakasih kepada banyak pihak yang, secara langsung maupun tak langsung,
turut memberikan andil sehingga makalah ini berhasil rampung. Tentu makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, masih banyak bopeng di sana-sini yang mesti diperbaiki. Oleh karenanya,
saya mohon maaf, dan semoga pembaca maklum.

Akhirnya, selamat membaca saya sampaikan. Semoga makalah ini mampu memenuhi
fungsinya.

Semarang, 4 Juli 2011

A.P. Edi Atmaja

2
DAFTAR ISI

SEKAPUR SIRIH ............................................................................................................ 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 4

1.1. Latarbelakang ……………………....................................................................... 4

1.2. Permasalahan …………….……………………................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 7

2.1. Berkenalan dengan Individualisme....................................................................... 7

2.2. Kolektivisme (Jadi-jadian) ……………………................................................... 9

2.3. Critical Theory et al sebagai Pisau Analisis......................................................... 10

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 12

3.1. Kesimpulan…………………………................................................................... 12

3.2. Saran ………………………….…………………............................................... 12

PUSTAKA ACUAN …….................................................................................................. 14

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latarbelakang

Rabu, 8 Juni 2011. Seratusan orang berkumpul di depan rumah Siami (32), di Desa
Gadel, Surabaya. Penduduk desa yang merupakan wali murid dan anak-anak Sekolah Dasar
Negeri Gadel II itu berteriak-teriak, menuntut maaf dari Siami. Karena ketakutan, Siami
mengunci diri di kamar.

Siami—penjahit gorden yang bekas buruh pabrik garmen dan sepatu—menjadi bulan-
bulanan tetangganya lantaran kejujuran. Ya, Siami adalah ibu rumah tangga biasa, yang
menyadari bahwa kejujuran mesti ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Dan betapa
sontek-menyontek adalah perilaku tak jujur yang mesti dilawan sekuat tenaga. Meski dengan
perlawanan itu, pengasingan sekaligus pengusiran dari tetanggalah yang diterimanya.

Kisah dimulai pada suatu hari. Anak sulungnya, Alif Achmad Maulana (12), mengadu
seraya menangis kepadanya. Siswa kelas VI SD Negeri Gadel II itu berkisah, ia dipaksa
gurunya “bagi-bagi” jawaban ujian kepada seluruh temannya. “Lif, kamu kan pinter? Kalau
mau balas jasa gurumu, gunakan kepintaran kamu untuk membantu teman-teman lulus ujian,”
kata sang guru, Fatkurohman, seperti ditirukan Alif.

Pada saat ujian, Pak Guru telah menyiapkan “distribusi” jawaban. Kertas jawaban Alif
ditunjukkan kepada teman yang duduk di belakangnya, yang lantas menyalin dan
memperbanyak jawaban itu di kertas buram. Kertas inilah yang kemudian diedarkan ke semua
kelas. Buat murid kelas sebelah, salinan lembar jawaban diserahkan di toilet atau ditaruh di
pot bunga.

Mendengar penuturan putranya itu, Siami segera ambil tindakan. Pada Rabu, 18 Mei
2011, ia mendatangi Kepala Sekolah Sukatman. Sukatman mengaku tidak tahu-menahu soal
sontekan massal itu. Tidak puas, Siami lantas melapor kepada Ketua Komite Sekolah
4
Sudirman. Namun, sampai sini pun hasilnya nihil, karena tidak ada tindak lanjut dari komite
sekolah.

Atas saran kakaknya, Siami kemudian melaporkan persoalan ini ke radio Suara
Surabaya dan disiarkan pada 1 Juni 2011. Ditemani sang kakak, Siami juga menemui Kepala
Dinas Pendidikan Surabaya Eko Prasetyoningsih. Pada Jumat, 3 Juni 2011, Wali Kota
Surabaya Tri Rismaharini menyambangi rumah Siami. Ia pun menceritakan duduk persoalan
dari awal sampai akhir.

Wali Kota bertindak cepat dengan membentuk tim dari inspektorat dan dinas
pendidikan. Hasilnya, jabatan fungsional sebagai guru yang melekat pada Wali Kelas VI-A
Fatkurohman, Wali Kelas VI-B Suprayitno, dan Kepala Sekolah Sukatman dicopot dan
mereka dipindahkan ke Dinas Pendidikan Surabaya.

Masalah ternyata tak berakhir sampai di situ. Penduduk Gadel murka kepada Siami atas
pencopotan guru yang mereka nilai berlebihan. Buntutnya, mereka mendatangi rumah Siami,
meneriaki dan mencaci-makinya. Untung, kedua putranya lebih dulu telah diungsikan ke
rumah orangtuanya di Dusun Lumpang, Benjeng, Gresik—40 kilometer dari tempat
tinggalnya.

Pada 9 Juni 2011, Siami dipertemukan dengan perwakilan sekolah di balai rukun warga.
Agendanya, permintaan maaf Siami kepada sekolah dan seluruh penduduk Gadel. Akan
tetapi, acara jadi runyam karena Fatkurohman menyerobot mikrofon dan meminta maaf
duluan sembari terisak. Penduduk jadi marah karena yang mereka ingin dengar adalah justru
permintaan maaf dari Siami.

Pertemuan berakhir tak sesuai dengan harapan. Siami dan suaminya dibawa ke Kantor
kepolisian Sektor Tandes, Surabaya. Pasangan itu pun memutuskan mengungsi ke rumah
orangtuanya, menyusul kedua anak mereka, sampai keadaan menjadi lebih tenang. 1

Demikianlah, akhir yang ironis: seorang manusia terusir dari lingkungan dan
masyarakatnya karena memutuskan bertahan pada prinsip. Tentu masih banyak kasus seperti
yang dialami ibu muda ini. Cuma, barangkali, kurang terendus nyamuk pers.

Tempo melaporkan, kejadian serupa juga terjadi di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, baru-
baru ini. Aktornya antara lain Irma Winda Lubis (40) dan putranya, Muhammad Abrary

1
Kisah ini dinarasikan kembali dari pemberitaan di Tempo Edisi 20-26 Juni 2011.
5
Pulungan (12). Kasus mereka kini tengah sampai pada tahap investigasi oleh tim bentukan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

1.2. Permasalahan

Kasus Siami—dan kasus-kasus sontekan lain—sesungguhnya bukan barang baru bagi


dunia pendidikan kita. Yang membuat kasus Siami jadi menarik adalah dalam hal keberanian
yang muncul sebagai re-aksi individu atas aksi komunal. Itu bisa kita baca pula sebagai
wujud—perbedaan yang menghasilkan—pergesekan persepsi di dalam masyarakat.
Perbedaan persepsi atau pandangan tentang seberapa penting “kejujuran individual” mesti
bertahan manakala bersinggungan dengan kepentingan kolektif.

Masalah Siami adalah masalah tafsir yang hidup di masyarakat tentang individualisme
dan kolektivisme, serta sejauhmana kejujuran sebagai nilai luhur manusia yang universal
mesti memosisikan diri di antara kedua paham yang—secara keliru, selalu dianggap
sebagai—dikotomik itu.

Makalah berjudul “Individualisme, Kolektivisme, dan Kejujuran: Membaca Persoalan


Siami melalui Paradigma Critical Theory et al” ini mencoba menjelaskan—dan sejauh bisa
mencari jalan keluar—kasus Siami dengan melakukan kajian paradigmatik, yakni dengan
mempergunakan paradigma Critical Theory et al sebagai pisau analisis.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Berkenalan dengan Individualisme

Pertama-tama, marilah kita awali bahasan ini dengan mengerti apa itu individualisme.
Pengertian yang diharap-dapatkan mestinya bukan pengertian yang dangkal, yang pada
akhirnya malah akan melahirkan distorsi pemahaman, sehingga muncul pandangan yang
berbagai-bagai.

Pengetahuan tentang individualisme saya letakkan dalam objek bahasan pertama untuk
menunjukkan—atau sebanyak-banyaknya, membela—sampai sejauhmana kita tersesat oleh
stereotip negatif yang dilekatkan orang pada paham ini.

Individualisme, oleh kebanyakan orang, dipahami sebagai paham yang memenangkan


kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Pengertian semacam itu memang benar, tetapi
tidak sepenuhnya tepat. Itu adalah pengertian individualisme secara negatif dan sempit,
karena menganggapnya tak lain sebagai egoisme. 2

Padahal, perkembangan individualisme selanjutnya di dalam masyarakat Barat


cenderung positif. Masyarakat Barat memandangnya sebagai sikap optimisme yang utama
dalam individu. 3 Saya hendak mengutip pendapat seorang sarjana Amerika Serikat, W.
Friedmann, yang, antara lain, pernah mengemukakan bahwa: 4

“Evolusi individu sebagai ukuran akhir segala sesuatu, dan pertimbangan-pertimbangan pemerintah dan
kekuasaan, tidak sebagai hak pemberian Tuhan atau tujuan dalam dirinya sendiri, tetapi sebagai alat untuk
mencapai perkembangan individu, dapat digambarkan sebagai dasar politik dan tujuan hukum dari
masyarakat Barat modern…”

2
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hal. 110.
3
John William Ward, “Individualism”, dalam ibid.
4
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum: Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer (Susunan III),
diterjemahkan dari “Legal Theory” oleh Mohamad Arifin (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 46.
7
Jelaslah, dalam masyarakat Barat, hak-hak individu adalah jaminan mutlak yang tak
bisa ditawar. Revolusi Prancis dan Amerika merupakan peristiwa bersejarah di Barat yang
membuktikan adanya pengakuan terhadap nilai-nilai individualisme.5 Sejarah kemunculan
demokrasi dan penghargaan atas hak asasi manusia pun tak lepas dari, bahkan dilandasi oleh,
semangat individualisme.

Dalam tinjauan keagamaan, individualisme mempunyai pijakan yang cukup kokoh.


Dalam Islam, misalnya, tidak ada pembatasan hak milik pribadi—setidak-tidaknya dalam
mazhab Syafii. 6 Sedangkan kita tahu, hak milik pribadi merupakan salah satu elemen penting
individualisme.

Ajaran Kristen juga menekankan, “wajah” manusia merupakan suatu citra “sewajah”
dengan Tuhan—bentuk adanya pengakuan atas eksistensi individual manusia. 7

Di lapangan kebudayaan kita, individualisme kurang menjadi perhatian khusus lantaran


stereotip “asing” yang memang disandangnya. Ia dikatakan sebagai bukan jatidiri bangsa,
bertentangan dengan nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong. Individualisme—se-“nasib”
dengan liberalisme—kurang populer di mata masyarakat kita yang masih berpedoman pada
nilai-nilai tradisi, bahkan ia dianggap sebagai momok menakutkan sehingga layu sebelum
berkembang.

Gagasan sentral individualisme yang memandang manusia memiliki kemerdekaan (atau


dalam bahasa lain: kehendak bebas 8) untuk merdeka terhadap dirinya sendiri 9 “tergadaikan”
oleh persepsi masyarakat bahwa orang mesti selalu memerhatikan kepentingan orang lain.
Dan sebagai individu yang “tergantung” pada orang lain, ia tak bisa lepas dari “kewajiban”
atas orang lain tersebut.

Hal ini berkesuaian dengan tesis Takeo Dei tentang amae (ketergantungan)—ketika ia
berbicara soal nilai-nilai bangsa Jepang yang erat kaitannya dengan nilai-nilai bangsa

5
Op. cit., hal. 109.
6
Lihat, misalnya, esai-esai antropologis yang ditulis Abdurrahman Wahid soal pandangan kiai-kiai di
lingkungan pesantren Nahdlatul Ulama dalam Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
(Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 10.
7
Bertrand Russel, “A History of Western Philosophy”, dalam loc. cit.
8
Menurut Thomas Hobbes, kehendak adalah selera, satu dari “dorongan atas keamauan sendiri” (voluntary
motions) yang memiliki “awal interior” di dalam pikiran; itu merupakan kemampuan deliberatif manusia untuk
berbuat atau menahan diri. Lihat Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, diterjemahkan dari “The
Evolution of Rights in Liberal Theory” oleh Masri Maris (Jakarta: Freedom Institute, 2006), hal. 49.
9
Loc. cit.
8
Indonesia sebagai sama-sama bangsa Timur—bahwa “individu tetap tidak mampu untuk
melampaui kerangka hidup berkelompok”. 10

Membaca persoalan Siami, kita melihat ada semacam perlawanan individu atas
konsepsi amae itu. Betapa Siami berpegang pada prinsip kejujuran buat mendobrak nilai
kolektivisme yang membelenggu kemerdekaan pribadinya. Karena keberaniannya itu, ia
terpaksa menelan pil pahit kolektivisme: masyarakat berbondong-bondong memusuhinya.

Untuk melihat sejauhmana “kolektivisme” dipahami dan kemudian disalahpahami oleh


masyarakat, akan saya jelaskan pada subbab berikut.

2.2. Kolektivisme (Jadi-jadian)

Dalam pengertian sehari-hari, kolektivisme—yang tampil dalam beragam muka, seperti


kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan, komunalisme, dan sebagainya—selalu dipandang
secara positif. Seolah-olah, tiada cacat yang bakal timbul dari paham ini. Ia sering
dikontrakan dengan individualisme, yang kemudian membuat dua ide yang sesungguhnya tak
bisa dan tak boleh dipertentangkan begitu saja ini berkembang menjadi persoalan dikotomis
Timur-Barat, asing-pribumi, modern-tradisional, dan seterusnya.

Dalam tinjauan Indonesia, melalui rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian
tentang kolektivisme dipengaruhi oleh pemikiran Marxis, yakni bahwa kolektivisme adalah
“ajaran atau faham yang tidak menghendaki adanya hak milik perseorangan, baik atas modal,
tanah, maupun alat-alat produksi (semua harus dijadikan milik bersama, kecuali barang
konsumsi)”. 11

Tentu kolektivisme yang dirumuskan secara demikian sangat sempit karena cuma
dipandang dari sisi material yang ekonomis, menafikan faktor-faktor non-ekonomis.
Soepomo, misalnya, memberi pengertian lain dengan cara mengenalkan adanya konsep
menjunjung sifat-sifat kekeluargaan dan kesatuan hidup bersama dalam masyarakat adat, di
mana “tiap warga merasa dirinya satu dengan golongan seluruhnya”. 12

Ketika individu merasa dirinya satu dengan satu golongan, itu mengindikasikan mulai
terbentuknya rasa ketergantungan menurut Takeo Dei. Dengan menggantungkan diri,
kemerdekaannya sebagai pribadi akan lenyap, tergantikan oleh sikap menuruti kehendak
mayoritas. “Isolasi individu dari segi moral”, seperti dikemukakan Hobbes, pun lepas tatkala

10
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 38.
11
Anton M Moeliono dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam op. cit., hal 111.
12
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, dalam ibid., hal. 113.
9
orang lain menghambat upaya individu mengejar tujuan pribadinya. 13 Di titik inilah,
kolektivisme yang digembar-gemborkan sebagai selalu positif itu menampak-tampilkan
kebusukannya.

2.3. Critical Theory et al sebagai Pisau Analisis

Kita telah mencoba membahas seberapa jauh nilai individualisme memengaruhi


sekaligus dipengaruhi oleh nilai-nilai kolektivisme. Maka, kini saya akan mencoba
membaca—kemudian mencari jalan keluar—tatkala kedua paham itu bersitegang satu sama
lain saat—dalam konteks kasus Siami—“memperebutkan” nilai kejujuran. Jalan keluar itu
saya dapatkan dengan bentuan kajian paradigmatik, yakni melalui paradigma Critical Theory
et al.

Critical Theory et al adalah satu dari empat paradigma 14 yang ditawarkan oleh Guba
dan Lincoln dalam Competing Paradigms in Qualitative Research (1994). 15 Paradigma,
menurut keduanya, dipahami sebagai suatu sistem filosofis ‘payung’ yang meliputi ontologi,
epistemologi, dan metodologi tertentu; masing-masingnya terdiri dari serangkaian ‘belief
dasar’ atau worldview dari ontologi, epistemologi, dan metodologi paradigma lainnya. 16
Paradigma mengikatkan penganut atau penggunanya pada worldview tertentu dan memandu
setiap pikiran, sikap, kata, dan perbuatan penganut atau penggunanya. Dalam bidang
keilmuan, bisa dikatakan bahwa paradigma menaungi aliran/paham, aliran menaungi teori,
dan teori menaungi metode.

Critical Theory et al, dalam studi Filsafat Hukum terdiri dari Critical Legal Theory,
Critical Legal Studies, dan Feminist Jurisprudence. Ketika berbicara tentang, misalnya,
hukum, maka paradigma Critical Theory et al akan melihatnya sebagai kenyataan ‘virtual’
atau sejarah. Karenanya, bagi penganut paradigma ini, hukum pada dasarnya adalah
kesadaran yang tidak benar atau, dengan kata lain, disadari secara salah. 17

Jika kita mencoba menarik tesis tersebut ke dalam bahasan kita tentang individualisme
dan kolektivisme, maka keduanya merupakan serangkaian struktur—sebagai suatu realitas
‘virtual’ atau historis—yang merupakan hasil proses panjang kristalisasi nilai-nilai politik,

13
Lihat Ian Shapiro, op. cit., hal. 52.
14
Paradigma lain adalah Positivisme, Pos-Positivisme, dan Konstruktivisme. Lihat Erlyn Indarti, Diskresi dan
Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Pidato Pengukuhan yang disampaikan di Upacara Penerimaan
Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 4 November 2010,
hal. 19.
15
Ibid.
16
Ibid., hal. 4.
17
Ibid., hal. 28.
10
ekonomi, sosial, etnik, gender, dan agama. Pada saat bersamaan, pemahaman umum—dan
pendikotomian—tentang individualisme dan kolektivisme adalah instrumen hegemoni yang
cenderung dominan, diskriminatif, dan eksploitatif.

Perjuangan Siami melawan kebobrokan institusi pendidikan dalam kasus sontek-


menyontek di SD Negeri Gadel II yang seolah-olah “dilegalkan” sekolah merupakan
semangat individual melawan belenggu kolektivitas. Siami sadar, “rasa kekeluargaan” yang
coba dihadirkan lewat keharusan berbagi jawaban ujian merupakan perspektif kolektivisme
yang keliru. Perspektif demikian, menurut Siami, justru tak akan memajukan individu melalui
rasa kebersamaan yang tulus akan eksistensi individu, melainkan bakal menenggelamkan,
memasung, dan mereduksi potensi dan kreativitas individu untuk sebuah “kepalsuan” yang
meruntuhkan nilai yang lebih luhur, yakni kejujuran.

Siami memandang bahwa kolektivisme yang dipahami sebagai demikian diciptakan


bukan demi meraih tujuan asalnya, yakni mengunggulkan kebersamaan buat kemajuan
individu-individu, melainkan dalam rangka memenuhi “syahwat” sosial, politik, budaya, dan
ekonomi sekolah.

Sebagaimana dikatakan Fatkurohman, wali kelas Alif, bahwa Alif mesti membantu
teman-temannya lulus ujian dengan berbagi jawaban, karena Alif dikenal sebagai siswa
terpintar di sekolah. Ekspektasi Fatkurohman ini jelas dilandasi oleh semangat untuk meraih
prestise sekolah. Karena dengan lulusnya seluruh siswa, prestasi sekolah akan menanjak,
popularitasnya terdongkrak, yang kemudian faktor ekonomilah muara penghabisannya:
banyak dana yang bakal diperoleh sekolah dari pendaftar yang membludak.

Jadi, musuh Siami sesungguhnya adalah kolektivisme salah-kaprah yang dilandasi oleh
kepentingan atau faktor-faktor di luar kolektivisme itu sendiri, seperti sosial, politik, ekonomi,
budaya, yang sengaja di-“ada”-kan oleh pihak berkuasa—dalam hal ini adalah sekolah.

Maka, ketika penduduk Gadel berbondong-bondong memusuhinya, itu juga satu lagi
kolektivisme yang salah-kaprah. Penduduk—yang di dalamnya antara lain wali murid dan
murid tempat Alif menuntut ilmu—bersatu-padu dalam “ikatan kebersamaan” yang dilatari
motif sosial-budaya. Mereka takut nama baik, status, atau kedudukan sosial mereka tercoreng
hanya karena persoalan sontek-menyontek. Kemarahan yang mereka tumpahkan kepada
Siami sekeluarga bisa kita katakan sebagai kejahatan mayoritas nan kejam. Saya kira, tak
pantaslah sikap-sikap mereka kita sebut sebagai semangat kolektivisme.

11
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Persoalan Siami ini, sebagaimana telah disinggung di bab terdahulu, menjadi menarik
lantaran tiga alasan. Pertama, ia mengekspresikan bagaimana seorang ibu rumah tangga
biasa, dengan taraf pendidikan yang kurang bisa dikatakan bagus (Siami adalah tamatan
sekolah menengah pertama), bisa memiliki semangat dan keberanian yang barangkali jarang
dimiliki oleh perempuan seusianya, bahkan perempuan dengan taraf pendidikan lebih tinggi.
Apalagi, keberanian ini adalah keberanian individual melawan kepentingan komunal.

Kedua, konflik yang terjadi antara Siami dan sekolah serta masyarakat Gadel
sebenarnya hanya konflik yang dilatari perbedaan perspektif soal individualisme,
kolektivisme, dan kejujuran. Namun, perbedaan perspektif itu menghasilkan konsekuensi
yang jauh ketika norma-norma represif yang datang dari luar (baca: pemerintah)
mengintervensinya (konflik dimulai dengan pencopotan jabatan fungsional ketiga guru), dan
tidak mengindahkan mekanisme dialog para pihak sebagai awalan.

Ketiga, perbedaan perspektif dalam menyikapi ketiga hal tadi rupanya tidak selamanya
membiarkan konflik berlarut-larut. Dalam kasus Siami, akhirnya masyarakat Gadel mau
menerima Siami kembali berkumpul bersama mereka dan teman-teman Alif secara beramai-
ramai meminta maaf kepadanya.

3.2. Saran

Ada beberapa saran yang bisa dikemukakan dalam persoalan Siami ini. Pertama,
semestinya mekanisme pencopotan jabatan fungsional menjadi alternatif terakhir yang
dilakukan. Karena persoalan yang terjadi sesungguhnya adalah persoalan perbedaan
perspektif dalam memandang individualisme, kolektivisme, dan kejujuran. Hal itu bisa
diselesaikan melalui mekanisme paradigmatik, yakni melalui dialog di antara para pihak.
12
Yang perlu dicari adalah sisi kebaikan dari tindakan yang mungkin oleh pihak lain
dipahami sebagai sesuatu yang buruk. Tentu saja tujuan Fatkurohman baik karena ia ingin
melihat semua siswanya lulus. Ini harapan yang lumrah bagi setiap pengajar dan pengelola
institusi pendidikan. Cuma, yang disayangkan, ia tidak melihat, bagi manusia lain, sikapnya
yang demikian bertentangan dengan nilai luhur yang pasti dimiliki setiap insan, yakni
kejujuran. Maka, di sini kita menghadapi ambiguitas: akankah kita melaksanakan kebaikan
dengan melakukan keburukan.

Kedua, dikotomi individualisme-kolektivisme selalu menimbulkan kerancuan dalam


masyarakat modern seperti sekarang ini. Tidak selamanya individualisme itu buruk, seperti
tidak selamanya kolektivisme baik. Selalu saja ada sisi baik dan buruknya masing-masing
dalam porsi tertentu. Kenapa kita selalu menggembar-gemborkan kepentingan umum mesti
berada di atas kepentingan individu? Kasus yang dialami Siami membuktikan bahwa anjuran
itu tidak selamanya efektif. Dan bahwa adakalanya justru kepentingan umumlah yang
memasung kreativitas individu. Keberadaan nilai-nilai itu harus ditempatkan secara
berpasangan sehingga tercapai suatu orientasi nilai hidup manusia. []

13
PUSTAKA ACUAN

Friedmann, W. 1990. Teori dan Filsafat Hukum: Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer
(Susunan III), diterjemahkan dari “Legal Theory” oleh Mohamad Arifin. Jakarta:
Rajawali Pers.

Indarti, Erlyn. Diskresi dan Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Pidato Pengukuhan
yang disampaikan di Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 4 November 2010.

Manullang, E. Fernando M. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat


dan Antinomi Nilai. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.

Shapiro, Ian. 2006 Evolusi Hak dalam Teori Liberal, diterjemahkan dari “The Evolution of
Rights in Liberal Theory” oleh Masri Maris. Jakarta: Freedom Institute.

Wahid, Abdurrahman. 2010. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Yogyakarta: LKiS.

14

Anda mungkin juga menyukai