Anda di halaman 1dari 32

Clinical science session (css)

*Kepanitraan Klinik Senior/G1A219001


** Pembimbing

DIABETES MELITUS DI BULAN RAMADHAN

Oleh:
Yesti Paramita
G1A219001

Pembimbing
dr. Merylla Filinty Sipayung, SpPD**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
DIABETES MELITUS DIBULAN RAMADHAN

Disusun Oleh :
Yesti Paramita
G1A219001

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima


Pada Mei 2020

Pembimbing

dr. Merylla Filinty Sipayung, SpPD


KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan clinical science session yang berjudul
“Diabetes Melitus dibulan Ramadhan” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Merylla Filinty Sipayung, SpPD yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum
Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan
referat ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Jambi, Mei 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Ibadah puasa selama ramadhan merupakan hal wajib bagi umat islam. Pengidap
penyakit kronis seperti kencing manis memang dapat mengganti puasa yang ditinggalkan
selama ramadhan di bulan lain atau membayar fidiah. Meski demikian, tidak sedikit yang
merasa sayang meninggalkan puasa ramadhan.
Diabetes melitus (DM) atau yang dikenal dengan istilah kencing manis merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik kadar gula darah tinggi yang terjadi
karena kelainan produksi insulin,kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes
Association 2010). Pasien dengan dm memiliki tiga gejala klasik yaitu polifagia (banyak
makan),polidipsia (sering merasa haus), dan poliuria (sering buang air kecil) disertai dengan
berkurangnya berat badan yang tidak jelas apa penyebabnya.
Studi EPIDIAR (Epidemiology of Diabetes and Ramadhan) yang meneliti 12.243
pasien diabetes dari 13 negara Islam mendapatkan 43% pasien diabetes melitus (DM) tipe 1
dan 79% pasien DM tipe 2 berpuasa selama Ramadhan. Diperkirakan terdapat 1,1 hingga 1,5
milyar penduduk muslim diseluruh dunia. Angka prevalensi diabetes diseluruh dunia sekitar
4,6%, dan bila diproyeksikan ke hasil studi EPIDIAR ini maka diperkirakan 40-50 juta
diabetes di seluruh dunia menjalankan puasa ramadhan setiap tahunnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melllitus


2.1.1 Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.2
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melllitus
Diabetes dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori berikut:
1. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):
a. Autoimun
b. Idiopatik.
Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent), lebih sering ternyata pada usia
remaja. Lebih dari 90% dari sel pankreas yang memproduksi insulin mengalami kerusakan
secara permanen. Oleh karena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau tidak langsung dapat
diproduksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes melitus menderita tipe 1.
Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa faktor
lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi dapat menyebabkan penghancuran
selpenghasil insulin di pancreas.6
2. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulindisertai
defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulindisertai resistensi insulin).
Diabetes tipe 2 (Diabetes Non Insulin Dependent) ini tidak ada kerusakan pada
pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin, bahkan kadang-kadang insulin pada
tingkat tinggi dari normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin,
sehingga tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe ini
sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi lebih umum dengan
peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama pada diabetes tipe 2. Sebanyak 80%
sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas dapat menyebabkan
sensitivitas insulin menurun, maka dari itu orang obesitas memerlukan insulin yang
berjumlah sangat besar untuk mengawali kadar gula darah normal.

3. Diabetes tipe lain.


1) Defek genetik fungsi sel beta:
2) DNA mitokondria.
3) Defek genetik kerja insulin.
4) Penyakit eksokrin pankreas:
a. Pankreatitis.
b. Tumor/ pankreatektomi.
c. Pankreatopati fibrokalkulus.
5) Endokrinopati.
a. Akromegali.
b. Sindroma Cushing.
c. Feokromositoma.
d. Hipertiroidisme.
6) Karena obat/ zat kimia.
7) Pentamidin, asam nikotinat.
8) Glukokortikoid, hormon tiroid.2
4. Diabetes mellitus Gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang muncul pada masa kehamilan dimana
perempuan yang tak pernah didiagnosis diabetes sebelumnya namun menunjukkan kadar
glukosa darah yang tinggi selama kehamilan. Diabetes gestaional merupakan diabetes melitus
yang terjadi hanya selama kehamilan dan hanya berlangsung hingga proses melahirkan.
Kondisi ini dapat terjadi di usia kehamilan berapa pun, namun lazimnya berlangsung di
minggu ke-24 sampai ke-28 kehamilan.7

2.1.3 Penegakan Diagnosis Diabetes mellitus


Diagnosis Diabetes Mellitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.8
Kriteria Diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori
minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara
100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;

b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl140

c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.3

Tabel 1. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetess dan prediabetes.
HbA1c (%) Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam
(mg/dl) setelah TTGO (mg/dl)
Diabetes ≥ ≥ 126 mg/dl ≥ 200 mg/dl
6,5
Prediabetes 5,7 – 100 -125 mg/dl 140 – 199
6,4
Normal < <100 <140
5,7
Cara pelaksanaan TTGO:
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang cukup) dan
melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa glukosa tetap diperbolehkan.
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. 8
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala
klasik DM yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang disertai
dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes mellitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya
diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO,
maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.7
Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah
plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel-2 di bawah ini.

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan


penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)3

Bu Belum Pasti DM
kan DM DM
Kadar Plasma Vena < 100 100 -199 ≥ 200
Glukosa Darah
Darah Kapiler
Sewaktu
(mg/dl)
<90 90 – 199 ≥ 200
Kadar Plasma Vena <100 100 -125 ≥ 126
Glukosa Darah
Darah Kapiler
Puasa
(mg/dl)
<90 90-99 ≥ 100

2.1.4 Tatalaksana Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan pasien diabetes mellitus dikenal 4 pilar penting dalam mengontrol
perjalanan penyakit dan komplikasi. Empat pilar tersebut adalah edukasi, terapi nutrisi,
aktifitas fisik dan farmakologi. Salah satu parameter yang dapat dipercaya sebagai indikator
keberhasilan pengontrolan kadar glukosa darah adalah kadar hemoglobin yang terglikosilasi
(HbA1c) dapat digunakan sebagai suatu indikator penilaian kontrol kadar glukosa darah pada
pasien diabetes dalam 2-3 bulan terakhir. 3,8

1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM
secara holistik .Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi
tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang
meliputi:
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.

 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan.

 Penyulit DM dan risikonya.

 Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.

 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia oral
atau

 insulin serta obat-obatan lain.

 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
 Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
 Pentingnya perawatan kaki.
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:
 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
 Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
 Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang
DM.
 Pemeliharaan/perawatan kaki.3

 Edukasi perawatan kaki


1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit
terkelupas,kemerahan, atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab pada kulit kaki yang kering.
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada
ujung-ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.3,4
c. Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi anjuran:
 Mengikuti pola makan sehat.

 Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur

 Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman dan
teratur.

 Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan


hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.

 Melakukan perawatan kaki secara berkala.

 Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut


dengan tepat.

 Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau


bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk
mengerti pengelolaan penyandang DM.

 Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.


Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:
 Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya
kecemasan.

 Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang sederhana


dan dengan cara yang mudah dimengerti.

 Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi.

 Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien.


Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan
yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium.

 Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.

 Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.

 Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.

 Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan
keluarganya.

 Gunakan alat bantu audio visual.3

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara komprehensif. Kunci
keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,
petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi
TNM. sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM. Prinsip
pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan
zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada
mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu
sendiri. 9,10

Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:


Karbohidrat
1. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Terutama karbohidrat
yang berserat tinggi.

2. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.

3. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain.

4. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

5. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).

6. Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan selingan
seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
1. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang dianjurkan:
a. lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.4

b. lemak tidak jenuh ganda < 10 %.

c. selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.


2. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream.

3. Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.

Protein
1. Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber protein yang baik
adalah ikan,

2. udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dan tempe.
3. Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg
BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi.
Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2
g/kg BB perhari.
Natrium
1. Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat yaitu <2300 mg
perhari.

2. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium


secara individual.

3. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat
1. Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang- kacangan, buah dan sayuran
serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.

2. Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber bahan
makanan.

Pemanis Alternatif
1. Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily
Intake/ADI). Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori.

2. Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari


kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa. Glukosa alkohol antara lain isomalt,
lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.

3. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena dapat meningkatkan


kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengandung fruktosa alami.

4. Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose,


neotame.3,10

Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang DM, antara
lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal.
Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu:
jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat
badan ideal adalah sebagai berikut:
Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang dimodifikasi:
1. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

2. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi:

 Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

 BB Normal: BB ideal •} 10 %

 Kurus: kurang dari BBI - 10 %

 Gemuk: lebih dari BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh
dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
 BB Kurang <18,5

 BB Normal 18,5-22,9

 BB Lebih ≥23,0

 Dengan risiko 23,0-24,9

 Obes I 25,0-29,9

 Obes II ≥30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
1. Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori basal perhari untukperempuan sebesar 25 kal/kgBB sedangkan


untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
2. Umur

 Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap


decade antara 40 dan 59 tahun.

 Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.

 Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi 20%.

Aktivitas Fisik atau Pekerjaan


 Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penambahan
sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat.

 Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan: pegawai kantor,
guru, ibu rumah tangga.

 Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industry ringan,


mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.

 Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet, militer dalam
keadaan latihan.

 Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak, tukang gali.

Stres Metabolik
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis, operasi,
trauma).
Berat Badan
 Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20- 30% tergantung
kepada tingkat kegemukan.

 Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan


kebutuhan untuk meningkatkan BB.

 Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk wanita dan
1200-1600 kal perhari untuk pria.
Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan komposisi tersebut
di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%),
serta
2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Tetapi pada kelompok tertentu perubahan
jadwal, jumlah dan jenis makanan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang
DM yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyerta.

3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak
disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150
menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.11 Dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah
<100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan jasmani.
Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari - hari bukan termasuk dalam latihan jasmani
meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50- 70% denyut jantung
maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung
maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220 dengan usia pasien.
Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang tidak
terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance training (latihan
beban) 2-3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada
penyandang DM yang relative sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang
disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing
individu.3
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua,
gangguan
faal hati, dan ginjal).
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin


Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak
boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan
hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping
yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.12

Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan
hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi
cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati
secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan


Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase
alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat,
irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan
gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada
awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1
(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas
GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung kadar
glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan
Linagliptin.

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat
approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin dan
agonis GLP-1

a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik

 Penurunan berat badan yang cepat

 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis


 Krisis Hiperglikemia

 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

 Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan


perencanaan makan

 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi



Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)

 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)

 Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)

 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)

 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)

 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin)
Efek samping terapi insulin
 terjadinya hipoglikemia

 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan
DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan
insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan
menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk
indikasi menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang,
obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini
adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide. Salah satu obat golongan
agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg
dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu
untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8
mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24
jam dan diberikansekali sehari secara subkutan.

3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian
obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian obat
antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda.
Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi
dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada
pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. (lihat bagan 2 tentang
algoritma pengelolaan DMT2) Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai
dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan
insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit.
Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar
glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.3,12
2.2 PERUBAHAN PADA PENDERITA DM SAAT BERPUASA
Pada diabetes yang gula darahnya masih tinggi (>250 mg), sumber energi dari hati tidak
mencukupi, sehingga lebih cepat dipergunakan cadangan energi dari lemak dan otot.
Akibatnya, penggunaan energi dari lemak menghasilkan keton, yang dalam jumlah besar
merupakan racun bagi tubuh.
2.2.1 Efek Puasa Terhadap Metabolisme Pasien Diabetes
Pada pasien dm tipe 1 dan kondisi defisiensi insulin berat akan terjadi proses
gilokogenosis, glukoneogenesis, dan ketogenesis yang berlebihan. Kondisi ini pada akhirnya
menyebabkan hiperglikemia dan ketoasidosis yang dapat mengancam nyawa. Selain itu,
pasien-pasien diabetes memiliki neuropati otonom yang dapat menyebabkan respons tidak
adekuat terhadap kondisi hipoglikemia.

2.2.2 Efek Terhadap Berat Badan


Studi EPIDIAR menunjukkan bahwa secara umum tidak terdapat perubahan
berat badan bermakna pada pasien diabetes yang berpuasa. Namun, ada laporan yang
menyebutkan peningkatan atau penurunan berat badan setelah berpuasa Ramadhan tidak
adanya asupan makanan atau minuman antara waktu sahur dan waktu berbuka; seringnya
pasien tidak membatasi jumlah atau jenis asupan makanan saat malam; juga akibat
pembatasan aktivitas harian selama berpuasa karena kekhawatiran hipoglikemia, tampaknya
mungkin menjadi penyebab tidak hanya menurunnya berat badan tetapi juga peningkatan
berat badan.
2.2.3 Efek terhadap Kadar Glukosa
Beberapa studi menunjukkan tidak ada perubahan signifikan terhadap kendali
kadar glukosa. Variasi kadar glukosa mungkin disebabkan dari jumlah atau jenis makanan
yang dikonsumsi, keteraturan mengonsumsi obat, pola makan yang tidak terkendali saat
berbuka, atau menurunnya aktivitas fisik. Meski begitu, pasien diabetes yang berpuasa tetap
berisiko mengalami hipoglikemia, hiperglikemia ataupun ketoasidosis Studi EPIDIAR
menunjukkan peningkatan risiko hipoglikemia berat yang membutuhkan perawatan sekitar
4,7 kali lipat pada pasien DM tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada DM tipe 2. Disisi lain, risiko
hiperglikemia berat meningkat sekitar 5 kali lipat pada pasien DM tipe 2 dan 3 kali lipat pada
tipe 1.
2.2.4 Efek terhadap Profil Lipid
Beberapa studi menunjukkan tidak ada perubahan signifikan profillipid.
Dilaporkan terdapat penurunan ringan kadar kolesterol total dan trigliserida dan peningkatan
kadar HDL, yang menunjukkan penurunan risiko kejadian kardiovaskular.

2.3 RISIKO TERKAIT PUASA PADA DIABETES


Studi EPIDIAR menemukan peningkatan kompliasi saat berpuasa. Beberapa risiko
yang sering timbul pada diabetes saat puasa antara lain: hipoglikemia, hiperglikemia,
ketoasidosis diabetikum, dan dehidrasi serta trombosis.
2.3 Hipoglikemia
Menurut studi EPIDIAR dikatakan bahwa risiko hipoglikemia berat meningkat
4,7 kali lipat pada pasien DM tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada pasien DM tipe 2. Hipoglikemia
terjadi lebih sering pada pasien dengan perubahan dosis antidiabetik oral dan insulin, dan
pada pasien pasien yang melakukan perubahan gaya hidup signifikan selama puasa.

2.4 Hiperglikemia
Kondisi hiperglikemia sangat erat kaitannya dengan beragam komplikasi baik
mikrovaskular maupun makrovaskular. Banyak penelitian menemukan bahwa pasien diabetes
Yang menjalani puasa, pengendalian kadar glukosa darah dapat memburuk, membaik atau
tidak berubah. Studi EPIDIAR menunjukkan peningkatan lima kali lipat risiko hiperglikemia
berat badan pasien DM tipe 2 dan tiga kali lipat pada pasien DM tipe 1 yang menjalani puasa
ramadan. Diperkirakan kondisi hiperglikemia ini terjadi akibat pengurangan dosis pengobatan
yang berlebihan, yang sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah hipoglikemia. Juga pada
pasien diabetes yang meningkatkan pola konsumsi selama bulan puasa.

2.5 Ketoasidosis Diabetikum


Pasien diabetes tipe 1, yang menjalankan puasa ramadhan, mengalami
peningkatan risiko komplikasi ini, khususnya mereka dengan pengendalian glukosa yang
buruk sebelum ramadhan. Risiko ini makin meningkat dengan pengurangan dosis pengobatan
yang berlebihan.

2.6 Dehidrasi dan Trombosis


Saat puasa, terjadi pengurangan asupan cairan jangka panjang (11-16 jam)
yang berisiko menimnulkan dehidrasi. Kondisi ini dapat diperberat dengan pengeluaran
keringat berlebihan dikaitkan dengan kondisi cuaca terik dan aktivitas fisik yang berat. Selain
itu, hiperglikemia dapat mencetuskan terjadinya diuresis osmosis yangdapat menyebabkan
deplesi cairan dan elektrolit. Hipotensi ortostatik dapat terjadi , khusnya pada mereka dengan
neuropati otoom sehingga risiko sinkop, jatuh atau fraktur tulang penting diperhatikan.
Adanya kontraksi ruang intravaskular dapat memicu kondisi hiperkoagulabel. Peningkatan
viskositas darah akibat dehidrasi ini meningkatkan risiko trombosis dan stroke. Tetapi
Temizhan dkk melaporkan bahwa insiden perawatan rumah sakit akibat penyakit koroner
atau stroke tidak meningkat selama ramadhan.

2.4 TATALASANA PASIEN DIABETES YANG BERPUASA


Mengingat banyaknya risiko pada pasien diabetes saat menjalankan puasa, sangat
diperlukan pengetahuan pengelolaan yang baik. American Diabetes Association (ADA)
mengeluarkan rekomendasi tatalaksana puasa pada pasien diabetes pada tahun 2005 telah
diperbaharui padatahun 2010.
Penilaian sebelum ramadhan
Semua pasien diabetes yang hendak berpuasa ramadhan, hendaknya menjalani
penilainan medis 1-2 bulan sebelumnya. Pasien diabetes sering tetap ingin berpuasa
meskipun secara medis tidak memungkinkan. Peranan dokter, sekali lagi bukan sebagai
pemberi fatwa apakah seorang pasien boleh berpuasa atau tidak. Dokter hanya berperan
memberikan pandangan dan panduan mengenai dampak puasa terhadap kondisi medis pasien
dan bagaimana mengurangi risiko berpuasa bagi pasien penting dilakukan.
Dasar pertimbangan untuk memperbolehkan berpuasa, antara lain:
1. Penilaian kondisi fisik
2. Penilaian kontrol metabolik
3. Penyesuaian prosedur diet untuk berpuasa dibulan ramadhan
4. Penyesuaian regimen insulin dan dosisi obat
5. Anjuran untuk terus melakukan aktivitas fisik yang baik, dan
6. Identifikasi gejala dan tanda dehidrasi, hipoglikemia, dan komplikasi lain
yang mungkin timbul.
Ada 5 hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pasien diabetes yang
menjalankan puasa, yaitu:
 Tatalaksana bersifat individual
 Pemantuan teratur kadar glukosa darah
 Nutrisi tidak boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi harian
 Olahraga tidak boleh berlebihan
Pasien harus selalu diajarkan agar segera membatalkan puasa jika terdapat
gejala hipoglikemia (kadar glukosa darah <60 mg/dl) atau bila dalam kondisi
hiperglikemia. Pasien hendaknya lebih sering memeriksa kadar glukosa darah,
misalnya dalam 2 jam sesudah makan sahur. Puasa sebaiknya dibatalkan jika
kadar glukosa darah <70 mg/dl dalam 1-2 jam awal puasa, terutama bagi
pasien yang menggunakan insulin, sulfonilurea pada saat sahur.
Diabetes aman berpuasa apabila:
1. Kadar gula darah terkontrol (GD puasa 80-126 mg/dl, 2 jam setelah makan
80-180 mg/dl)
2. Tidak menggunakan suntikan insulin >2x sehari
3. Faal hati atu liver baik
4. Faal ginjal baik
5. Tidak ada gangguan pembuluh darah otak yang berat
6. Tidak ada kelainan pembuluh darah jantung
7. Cadangan lemak tubuh cukup
8. Tidak ada kelainan hormonal lain
9. Tidak demam tinggi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi pasien diabetes yang berpuasa
adalah:
1. Perencanaan makan, jumlah asupan kalori sehari selama bulan puasa kira-
kira sama dengan jumlah asupan sehari-hari yang dianjurkan sebelum
puasa. Pengaturan selama bulan ramadhan adalah dalam hal pembagian
porsi, 40% dikonsumsi saat makan sahur, 50% saat berbuka dan 10%
malam sebelum tidur (sesudah sholat tarawih)
2. Makan sahur sebaiknya dilambatkan.
3. Lakukan aktivitas fisik sehari-hari dengan wajar seperti biasa. Dianjurkan
beristirahat setelah sholat dzuhur (siang hari).
Diabetes yang sebaiknya tidak berpuasa:
1. Diabetes tipe 1 yang sulit terkendali
2. Diabetes yang menggunakan suntikan >2x sehari
3. Diabetes yang tipe 1 atau 2 yang GD nya tidak terkendali
4. Diabetes yang pernah mengalami koma ketoasidosis
5. Penderita diabetes yang sedang hamil
6. Diabetes usia lanjut yang diperkirakan sulit memahami komplikasi yang
mungkin timbul
7. Diabetes yang pernah mengalami >2x episode hipoglikemia/hiperglikemia
selama puasa.
8. Diabetes dengan penyakit lain yang berat (jantung, ginjal, liver, darah
tinggi)
Bila gula darah masih tinggi tidak disarankan puasa karena:
 Penggunaan cadangan energi dari lemak yang lebih awal dan
menyisakan benda keton yang dapat meracuni otak
 Tubuh kekurangan cairan karena banyak dikeluarkan melalui air
seni (sering BAK) dan tidak ada asupan minum selama puasa.

2.5 TATALAKSANA PUASA PASIEN DM TIPE 1


Pasien DM tipe 1 memiliki risiko sangat tinggi saat berpuasa . risiko ini makin meningkat
pada pasien dengan kadar glukosa buruk, atau mereka yang terbatas aksesnya ke pelayanan
kesehatan, adanya hipoglikemia yang tidak disadari, atau riwayat perawatan dirumah sakit
yang berulang. Saran tepat bagi mereka dengan dm tipe 1 adalah anjuran untuk tidak
berpuasa, namun diperkirakan sekitar 43% pasien dm tipe 1 tipe 1 tetap berpuasa. Jika pasien
memutuskan untuk berpuasa ramadhan, sebaiknya mereka menggunakan terapi insulin dalam
rejimen basal bolus dan rutin memeriksa kadar glukosa darah.

2.6 TATALAKSANA PUASA PADA PASIEN DM TIPE 2


Pengaturan makanan:
1. Buka puasa : 50% kebutuhan energi sehari
a. Sebelum sholat maghrib: makanan ringan (10%)
b. Sesudah sholat maghrib: makanan utama(40%)
2. Sesudah sholat tarawih : makanan ringan (10%)
3. Pada saat sahur : makanan utama (40%)

2.6.1 pasien terkendali dengan diet


Kelompok pasien ini merupakan kelompok risiko rendah yang diharapkan
dapat menjalani puasa ramadhan tanpa masalah.asupan kalori dalam beberapa porsi
kecil daripada hanya satu porsi besar akan membantu mengurangi hiperglikemia post-
prandial. Kebutuhan cairan hendaknya dicukupi untuk mencegah risiko dehidrasi dan
risiko trombosis.
2.6.2 pasien dalam terapi obat hipoglikemia Oral
Metformin
Pasien dengan terapi metformin diharapkan dapat menjalani puasa mengingat risiko
hipoglikemianya kecil. Namun, pasien dianjurkan mengubah waktu mengonsumsi
obat dengan sepertiga dosis diberikan saat sahur dan dua pertiga dosis saat berbuka.
Tiazolidinedion
Penggunaa kelompok obat ini diketahui tidak menyebabkan kejadian hipoglikemia
meski dapat memperkuat efek hipoglikemik golongan sulfonilurea, glinid, dan insulin.
Tidak diperlukan penyesuaian dosis selama berpuasa.
Sulfonilurea
Kelompok obat ini diketahui sering berkaitan dengan kejadian hipoglikemia sehingga
perlu hati-hati digunakan selama berpuasa. Penggunaan glibenklamid dikaitkan
dengan risiko hipoglikemia yang lebih besar dibandingkan sulfonilurea generasi
kedua seperti gliklazid, glimepirid dan glipizid.
Belkhadir dkk mendapati penggunaan glibenklamid aman pada 591 pasien
diabetes yang berpuasa. Laporan lain menyebutkan penggunaan glimepirid pada 332
pasien diabetes yang berpuasa hanya menyebabkan kejadian hipoglikemia sebesar
3% pada pasien yang baru terdiagnosis dan 3,7% pada pasien yang telah diberi terapi.
Penyesuaian dosis bersifat individual dengan menimbang besar kecilnya risiko
hipoglikemia. Misalnya, pasien dengan sulfonilurea kerja panjang misalnya
glimepirid sekali sehari, slama puasa dianjurkan mengubah waktu minum obatnya
menjadi saat berbuka puasa. Dosis disesuaikan dengan penilaian kadar glukosa darah
pasien dan risiko hipoglikemia. Pada penggunaan sulfonilurea dua kali sehari
disarankan setengah dosis pada saat sahur,dan dosis biasa saat berbuka.
Glinid
Kelompok obat ini diketahui memiliki risiko hipoglikemia rendah karena sifat
kerjanya yang pendek. Dapat digunakan dua kali sehari yakni pada saat sahur dan
pada saat berbuka puasa.
Penghambat alfa glukosidase
Kelompok obat ini tidak dikaitkan dengan kejadian hipoglikemia sehingga aman
digunakan selama puasa yakni pada saat sahur dan pada saat berbuka puasa.
Terapi berbasis Inkretin
Kelompok obat ini misalnya penghambat enzim DPP-4 (dipeptidyl peptidase-4)
Dan analog GLP-1 (glucagob-like peptide-1) tidak dikaitkan dengankejadian
hipoglikemia sehingga aman digunakan selama puasa. Tidak dibutuhkan penyesuaian
dosis namun risiko hipoglikemia akan tinggi bila dikombinasikan dengan sulfonilurea.

2.6.3 pasien dalam terapi Insulin


Saran umum bagi pasien pengguna insulin kerja panjang (misalnya , glargin dan
detemir) adalah mengurangi dosis sebesar 20% untuk mengurangi risiko
hipoglikemia. Kelompok insulin kerja panjang ini disarankan diberikan saat makan
besar saat berbuka puasa. Insulin kerja cepat prepandial tetap dapat diberikan selama
berpuasa, tanpa dosis siang hari. Untuk insulin kerja campuran, dosis pagi hari
diberikan pada saat berbuka dan setengah dosis malam hari diberikan pada saat sahur.
BAB III
KESIMPULAN

Kebudayaan dan agama memberikan dampak terhadap tatalaksana penyakit kronik


seperti diabetes. Puasa ramadhan merupakan salah satu pilar (rukun) Islam bagi umat muslim
diseluruh dunia. Banyak pasien DM tetap ingin menjalankan ibadahnya meski secara medis
tidak dianjurkan, misalnya mereka dengan kadar glukosa belum terkendali, perempuan
diabetes yang hamil, mereka dengan riwayat ketoasidosis atau koma hiperosmolar, dan
pasien dengan komplikasi serius seperti penyakit jantung koroner, gagal ginjal kronik, pasien
diabetes usia lanjut, dan pasien dengan riwayat berulang hipoglikemia atau hiperglikemia
sebelum dan selama puasa.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pasien diabetes yang
menjalankan puasa, yaitu: Tatalaksana bersifat individual, teratur kadar glukosa darah,
Nutrisi tidak boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi harian, Olahraga tidak boleh berlebihan,
dan pasien harus tahukapan membatalkan puasa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Hall Je. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Terjemahan). 11 Ed. Rachman Ry,
Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N, Editors. Jakarta: EGC; 2007.
2. Eliastam, M., Sternbach, G., & Bresler, M. Buku Saku : Penuntun Kedaruratan
Medis.Jakarta: Egc.1998
3. Ndonesia, P. E. (2015). Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Di Indonesia 2015. Jakarta: Pb Perkeni.
4. Setyohadi B, Arsana Pm, Suryanto A, Soeroto Ay, Abdullah M. EIMED PAPDI :
Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Interna Publishing : Jakarta 2012
5. Guillermo E. Umpierrez, Mary Beth Murphy. Diabetic Ketoacidosis And Hyperglycemic.
Diabetes Spectrum, 50.2016
6. Akram T Kharroubi, Hisham M Darwish. Diabetes mellitus: The epidemic of the century.
World J Diabetes, 851. 2015
7. American Diabetes Association. Standards Of Medical Care In Diabetes—2019. Clinic
Diabetes, 1. 2018
8. Natasha B. Khazai, Osama Hamdy. Inpatient Diabetesmanagement In Thetwenty-First
Century. Boston : Oslin Diabetes Center. 2016
9. Adair R Gosmanov, Elvira O Gosmanova, Abbas E Kitabchi, Hyperglycemic Crises:
Diabetic Ketoacidosis (Dka), And Hyperglycemic Hyperosmolar State (Hhs). California :
South Darkmouth. 2018.
10. Indonesia, U. K. (2017). Diagnosis Dan Tata Laksanadiabetes Melitus Tipe-1 Pada Anak
Dan Remaja. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
11. Martinus, Adrian.1001 Tentang Diabetes.Bandung:Nexx Media.2005
12. Athiyah U., Riskayanti E., Rakhmawati F.D., Nugraheni G. Dan Nita Y., 2015. Profil
Informasi Obat Pada Pelayanan Resep Metformin Dan Glibenklamid Di Apotek Di Wilayah
Surabaya. Jurnal Farmasi Komunitas Vol.1(1):5-10.
13. Huang, I. (2016). Patofisiologi Dan Diagnosis Penurunan Kesadaran Pada Penderita
Diabetes Mellitus. Medicinus, 50 -53.
14. Maya Fayfman, Francisco J. Pasquel, Guillermo E. Umpierrez, . (2018). Management Of
Hyperglycemic Crises: Diabetic Ketoacidosis And Hyperglycemic Hyperosmolar State.
Pubmed Central .
15. Semarawima, G. Status Hiperosmolar Hiperglikemik. Medicina , 48 - 50. 2017

Anda mungkin juga menyukai