Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar

selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apapun

yang terjadi. Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,

analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan

pernapasan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi.

Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Anestesi umum

diberikan oleh dokter yang memiliki keahlian khusus yang disebut ahli anestesi,

ataupun dapat juga dilakukan oleh perawat anestesi yang kompeten.

Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang didapatkan

ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk

memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan

tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya

respon autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai.

Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan

ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan

menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga

komponen penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Anestesi umum (general anesthesia) merupakan keadaan yang


didapatkan ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu
untuk memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana
keadaan tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan
melemahnya respon autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai.
Komponen anestesia yang ideal terdiri: (1) sedasi atau hipnosis (hilangnya
kesadaran), (2) analgesia(hilangnya rasa sakit), (3) Arefleksia (hilangnya
reflex-refleks motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien), (4) relaksasi
otot, dan (5) Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur).

2.2. STADIUM ANESTESI


Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel) berasal
dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat,
walaupun tak lagi banyak digunakan karena anestesi modern cenderung
memperlihatkan masa induksi yang singkat.
Semua zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula
dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah
medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Adapun pembagian
stadium anestesi menurut Guedel dapat dibagi menjadi:
2.2.1. Stadium I
Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan ringan,
3

seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
2.2.2. Stadium II

Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan ditandai


dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan
diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
2.2.3. Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya
pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium ini dibagi
menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi napas
torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya
menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis
seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih
dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan refleks cahaya
menghilang, lakrimasi negafif, refleks laring dan peritoneal menghilang,
tonus otot makin menurun.
4

d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis


diafragma. Ditandai dengan paralisis otot interkostal, pernapasan lambat,
iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis diafragma.
Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks
cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.
2.2.4. Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan
segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

2.3. INDIKASI, KONTRAINDIKASI DAN TUJUAN ANESTESI UMUM

Indikasi anestesi umum diantaranya:


a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen
b) Pada bayi atau anak-anak
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum

Kontraindikasi relative anestesi umum dilakukannya anestesi umum yaitu


gangguan kardivaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol
(diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis.
Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum memiliki
beberapa tujuan, diantaranya:
a) Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
b) Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
c) Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
5

d) Kehilangan kesadaran
e) Relaksasi otot skeletal
2.4. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ANESTESI UMUM

Kelebihan:
a. Mengurangi kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
b. Memungkinkan relaksasi otot untuk jangka waktu yang lama
c. Dapat mempertahankan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi yang
adekuat
d. Dapat digunakan pada pasien yang sensitive terhadap agen anestetik lokal
e. Dapat dilakukan tanpa merubah posisi pasien dari posisi supine
f. Dapat dengan mudah disesuaikan pada durasi yang tidak terduga atau
lebih lama
g. Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible

Kerugian:
a. Membutuhkan perawatan yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar
b. Membutuhkan beberapa persiapan preoperative
c. Dapat menginduksi fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi aktif
d. Berhubungan dengan komplikasi seperti mual, muntah, sakit tenggorokan,
sakit kepala, menggigil dan lamanya perbaikan psikomotorik
6

2.5. KLASIFIKASI STATUS FISIK

Klasifikasi yang biasa digunakan adalah klasifikasi berdasarkan The American

Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi ini bukan alat perkiraan risiko

anestesi.

 Kelas I
Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Contoh: pasien sehat, tidak merokok, tidak meminum alkohol atau pengguna
minimal.
 Kelas II
Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Contoh: riwayat merokok hingga sekarang, peminum alkohol, obesitas ( 30 <
IMT < 40), DM/HT terkontrol, penyakit paru ringan.
 Kelas III
Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Contoh: DM/HT tidak terkontrol, obesitas dengan IMT > 40, PPOK, hepatitis
aktif, ketergantungan alkohol, penggunaan pacu jantung, gagal ginjal stadium
akhir yang sedang dalam dialisis rutin, bayi prematur, riwayat ( > 3 bulan) MI,
CVA, TIA, CAD/stents.
 Kelas IV
Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Contoh: riwayat MI, CVA, TIA atau CAD/stents dibawah 3 bulan, gangguan
katup jantung parah, sepsis, DIC, ARD atau ESRD yang tidak secara rutin
melakukan dialisis.
 Kelas V
Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.
Contoh: ruptur aneurisma abdominal/toraks, trauma masif, perdarahan
intrakranial dengan penekanan, kegagalan multipel organ – organ tubuh.
 Kelas VI
7

Pasien yang sudah dinyatakan mati batang otak yang organnya akan
didonorkan.

2.6. METODE PEMBERIAN ANESTESI UMUM

Pemberian/induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari


sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Sebelumj memulai induksi anestesi disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan, sehingga jika terjadi keadaan gawat darurat dapat diatasi lebih cepat
dan lebih baik.
2.6.1 Induksi intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi jika


sudah terpasang jalur vena pada pasien. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu
diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
- Propofol

Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena

dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan

dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol

digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada

pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Obat ini

dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik
8

dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg). Mekanisme kerjanya sampai saat ini

masih kurang diketahui, tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di

reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid) dan reseptor glisin, yang

menyebabkan terhambatnya penutupan kanal ion. Digunakan secara intravena

dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma, eliminasi dari obat

ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol

diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis

jauh lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan

tepi. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan

kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Dapat menyebabkan nyeri selama

pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi

pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan

dengan menggunakan lidocain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan

1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat

suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah

juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol.

Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati

pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan

pankreatitis

- Etomidate

Etomidate merupakan agen anestetik intravena kerja cepat yang digunakan

sebagai induksi dan sedasi dalam prosedur operasi singkat, seperti reduksi
9

dislokasi sendi dan kardioversi. Etomidate merupakan derivat imidazol yang

mengalami karboksilasi, dengan potensi anestesi dan amnesi. Pada dosis

tipikal, etomidate bekerja dalam rentang 5 – 10 menit dan memiliki waktu

paruh 2-5 menit dan akan habis setelah 75 menit. Etomidate mengikat kuat

protein plasma dan dimetabolisme oleh enzim esterase plasma dan hepatik.

Dosis anestetik induksi rata-rata untuk dewasa adalah 0,3 mg/Kg intravena,

dengan dosis tipikal antara 20-40 mg. Dosis inisial adalah 0,2 – 0,6 mg/Kg

dengan masa kerja 30-60 menit. Dosis pemeliharaan adalah 5-20 µg/Kg/menit

intravena. Seperti halnya anestesi umum lainnya, etomidat menyebabkan

hilangnya kesadaran. Untuk prosedur kardioversi, dosis yang digunakan

adalah 10 mg dan pemberian ini dapat diulang

- Opioid
Fentanyl, sulfentanyl, alfentanyl, dan remifentanyl adalah opioid yang
lebih banyak digunakan dibanding morfin karena menimbulkan anelgesia
anastesia yang lebih kuat dengan depresi nafas yang lebih ringan. Walaupun
dosisnya besar, kesadaran tidak sepenuhnya hilang dan amnesia pasca
bedahnya tidak lengkap. Biasanya digunakan pada pembedahan jantung atau
pada pasien yang cadangan sirkulasinya terbatas. Opioid juga digunakan
sebagai tambahan pada anestesia dengan anestetik inhalasi atau anastetik
intravena lainnya sehingga dosis anastetik lain ini dapat lebih kecil. Bila
opioid diberikan dengan dosis besar atau berulang selama pembedahan, sedasi
dan depresi napas dapat berlangsung lebih lama, ini dapat diatasi dengan
nalokson.
Fentanyl yang lama kerjanya sekitar 30 menit segera didistribusi,
tetapi pada pemberian berulang atau dosis besar akan terjadi akumulasi.
10

Dengan dosis besar (50-100 mcg/KgBB), fentanyl menimbulkan analgesia


dan hilang kesadaran yang lebih kuat daripada morfin, tetapi amnesianya
tidak lengkap, instabilitas tekanan darah, dan depresi napas lebih singkat.
Oleh karena itu fentanyl lebih disukai daripada morfin, khususnya untuk
dikombinasi dengan anestetik inhalasi.
Alfentanyl dan sulfentanyl potensinya lebih besar daripada potensi
fentanyl dengan lama kerja yang lebih singkat.Keduanya lebih populer karena
stabilitas kardiovaskularnya sangat menonjol.

- Barbiturat

Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif

sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang, kecuali untuk beberapa

penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan

benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki

anti konvulsi yang masih banyak digunakan. Penggunaan barbiturat sebagai

hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek terhadap SSP kurang

spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine.

Penggunaan pada anestesi masih banyak obat golongan barbiturat yang

digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.

- Benzodiazepin

Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah

Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam

dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene

glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau


11

Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu

berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan

benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan pH 3,5.

Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri. Untuk

preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb. Dalam sistem saraf pusat, dapat

menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek

sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju

metabolisme. Pada sistem kardiovaskular, benzodiazepin menyebabkan

vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac output. Tidak

mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin

terjadi pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid. Pada

sistem respirasi, mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal,

depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru

atau pasien dengan retardasi mental. Benzodiazepin dapat menimbulkan

penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan spinal ,

sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.

- Ketamin

Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan tetapi efek

hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan keadaan

lingkungan yang salah (anestesi disosiasi). Ketamin merupakan zat anestesi

dengan aksi satu arah yang berarti efek analgesinya akan hilang bila obat itu

telah didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian pemakaian lama harus


12

dihindarkan. Dosis intravena ketamin, yaitu 1-4 mg/kgBB, dengan dosis rata-

rata 2 mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, dosis tambahan 0,5 mg/kgBB

sesuai kebutuhan. Ketamin merupakan analgesi yang sangat kuat, sehingga

meskipun penderita sudah sadar, efek analgesiknya masih ada. Anestetik ini

tidak mempunyai daya pelemas otot, kadang-kadang malah tonus otot

meningkat disertai gerakan-gerakan yang tidak terkendali, sehingga ketamin

tidak begitu baik bila digunakan sebagai obat tunggal, seperti pada operasi

intra abdominal dan operasi lain yang membutuhkan penderita diam. Anestesi

ini sering digunakan untuk induksi dan disusul dengan pemberian eter atau

N2O. Karena anestetik ini menimbulkan nistagmus, maka tidak dapat

digunakan untuk operasi mata khususnya strabismus. Ketamin juga berefek

gangguan psikis setelah siuman dan gejala kejang sewaktu dalam anestesi.

Efek ini dapat dicegah dengan pemberian valium. Ketamin menyebabkan

dilatasi bronkhus dan bersifat antagonis terhadap efek kontraksi bronkhus oleh

histamin. Baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkhus

pada anestesi umum yang ringan. Tekanan darah akan naik baik sistol maupun

diastol. Kenaikan rata-rata antara 20-25 % dari tekanan darah semula,

mencapai maksimal beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali

dalam 15 menit kemudian. Ketamin dapat meningkatkan gula darah 15 % dari

keadaan normal, walaupun demikian bukan merupakan kontraindikasi mutlak

untuk penderita dengan DM. Ketamin juga dapat menyebabkan hipersalivasi,

tapi efek ini dapat dikurangi dengan pemberian premedikasi antikolinergik.


13

Aliran darah ke otak, tekanan intrakaranial dan tekanan intra okuler

meningkat pada pemberian ketamin. Karena itu sebaiknya jangan digunakan

pada pembedahan pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat (edema

serebri, tumor intracranial) dan pasien pada pembedahan mata

2.6.2 Induksi intramuskular


Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
2.6.3 Induksi inhalasi

Efek farmakodinamik gas inhalasi didasarkan atas dosis. Dosis ini disebut

konsentrasi alveoli minimal (minimal alveolar concentration, MAC). Definisi

MAC minimal adalah konsentrasi alveoli pada tekanan 1 atmosfer yang dapat

mencegah 50% pasien saat dilakukan stimulus pembedahan.

- Eter

Eter tidak berwarna , mudah menguap, dan berbau khas. Eter tidak bereaksi

dengan soda lime, mudah terbakar atau meledak, dan dapat terurai oleh

cahaya, panas, atau udara. Secara farmakologi klinis, eter mempengaruhi

sejumlah fungsi sistem organ tubuh. Eter mampu meningkatkan denyut nadi,

merangsang simpatis, dan mendepresi vagal. Keuntungan penggunaan eter

adalah harganya yang murah dan mudah didapat, tidak perlu digabung dengan

obat anestesi lain, karena memenuhi trias anestesi.


14

- Halotan

Halotan merupakan satu dari dua agen anestetik inhalasi yang terdaftar dalam

formulasi WHO 2004 untuk anestesi induksi dan pemeliharaan, selain eter.

Perbedaannya adalah halotan merupakan agen anestetik yang bersifat

terfluorinasi. Halotan memiliki karakter fisik bersih, tidak berwarna, tidak

mudah terbakar, dan tidak iritatif. Penggunaan halotan perlu

mempertimbangkan fisiologis hepar, karena halotan secara bermakna dapat

memicu hepatitis fulminan. Halotan juga bersifat mendepresi miokardial

sehingga menyebabkan bradikardi dan hipotensi.

- Enfluran

Induksi dengan enfluran terjadi secara cepat dan lancar. Jarang terdapat mual

dan muntah. Pemulihan paska anestesi enfluran juga cepat.Enfluran

merupakan anestesi poten, mendepresi SSP dan menimbulkan efek hipnotik.

Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan penurunan tekanan darah

disebabkan depresi pada miokard. Selain itu, enfluran juga mendepresi napas

dengan menurunkan volume tidal. Pada otot, terjadi efek relaksasi sedang dan

efek ini meningkatkan kinerja obat-obat relaksan otot. Enfluran tidak

memiliki efek hepatotoksik atau nefrotoksik. Namun, beberapa literatur

melaporkan adanya efek nefrotoksik dan kegagalan ginjal akut akibat

metabolit yang dihasilkan oleh metabolisme enfluran.

- Desfluran
15

Desfluran memiliki onset kerja yang sangat singkat dan kelarutan dalam

darahnya sangat rendah. Kelemahan desfluran adalah potensinya yang kurang

kuat, perih, dan harga yang mahal. Desfluran juga dapat menyebabkan

takikardi dan iritasi saluran napas bila digunakan pada konsentrasi lebih dari

10%.

- Isofluran

Isofluran mengikat reseptor GABA, reseptor glutamat, dan reseptor glisin,

serta menghambat konduksi kanal kalium. Penghambatan glisin akan

membantu menghambat fungsi motorik. Isofluran memiliki MAC 1,15.

isofluran juga mendepresi napas. Volume tidal dan frekuensi napas dapat

menurun menimbulkan dilatasi bronkus, sehingga baik untuk kasus penyakit

paru obstruksi menahun.Depresi terhadap jantung minimal dibandingkan

enfluran dan halotan. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan takikardi.

Isofluran memiliki efek relaksasi otot yang baik dan berpotensiasi dengan

obat relaksan otot, namun tidak terlalu merelaksasi otot uterus pada kasus

obstetri.

- Sevofluran

Sevofluran memiliki MAC 2. Onset kerja obat sangat cepat, dan

konsentrasinya dalam darah relatif rendah. Sevofluran dapat membentuk 2

senyawa hasil degradasi selama anestesi dilakukan, yaitu senyawa A dan

senyawa B, yang pembentukannya akan meningkat terutama bila suhu terlalu

tinggi atau soda lime telah rusak. Senyawa A dapat menyebabkan nekrosis
16

renal pada tikus, sedangkan pada manusia, derajat kerusakan jaringan ginjal

masih sedang dalam penelitian. Dengan memperhatikan hal ini, sevofluran

dianjurkan diberikan dengan minimum aliran gas 2 liter/menit, karena aliran

yang rendah akan memicu peningkatan temperatur soda lime.

- Dinitrogen Oksida (N2O)

Dinitrogen oksida merupakan gas inhalan yang digunakan sebagai agen

pemelihara anestesi umum. Penggunaan N2O bersama dengan oksigen atau

udara. Efek anestesi nitrous oksida menurun bila digunakan secara tunggal,

sehingga perlu pula penambahan agen anestetik lainnya dengan dosis rendah.

N2O nerupakan zat anestesi lemah, menimbulkan efek analgesia dan hipnotik

lemah. Efek kardiovaskular minimal, sehingga perubahan pada frekuensi

jantung, irama, dan curah jantung maupun EKG juga minimal. Pernapasan

tidak banyak dipengaruhi. Depresi napas terjadi pada pemakaian N2O tanpa

oksigen.

2.6.4 Induksi per rektal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi, menggunakan thiopental atau
midazolam.
2.6.5 Induksi mencuri
Induksi mencuri (steal induction) dilakukan pada anak atau bayi yang
sedang tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak masalah, tetapi pada yang
belum terpasang jalur vena, harus dikerjakan dengan hati-hati suapaya pasien
tidak terbangun. Induksi mencuri inhalasi seperti induksi inhalasi biasa hanya
sungkup muka tidak ditempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak
beberapa sentimeter sampai pasien tertidur baru sungkup muka ditempelkan.
17

2.7 MACAM-MACAM ANESTESI UMUM


a. Teknik anestesi dengan sungkup/ nasal kanul

Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke

jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika

digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak

bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.

Indikasi:

1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka rongga

perut.

2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).

3. Lambung harus kosong.

Urutan tindakan:

1. Periksa peralatan yang akan digunakan (seperti pada masa pra-

induksi).

2. Pasang infus dengan kanul intravena atau jarum kupu-kupu

3. Persiapan obat

4. Induksi, dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB

5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang,

sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan

atau sedikit ditarik ke belakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan


18

napas bebas dan pernapasan lancar. Pengikat sungkup muka

ditempatkan di bawah kepala.

6. Kalau pernapasan masih tidak lancar dicoba mendorong kedua

pangkal rahang ke depan dengan jari manis dan tengah tangan kiri

kita. Kalau perlu dengan kedua tangan kita yaitu kedua ibu jari dan

telunjuk yang memegang sungkup muka dan dengan jari-jari yang

lain menarik rahang ke atas. Tangan kanan kita bila bebas dapat

memegang balon pernapasan dari alat anestesi untuk membantu

pernapasan pasien (menekan balon sedikit bila pasien melakukan

inspirasi).

7. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk

memperdalam anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka sampai

1 % dan sedikit demi sedikit dinaikkan sampai 3-4 % tergantung

reaksi tubuh penderita.

8. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda – tanda mata (bola mata

menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak

banyak berubah.

9. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa

orofaring

10. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan

beberapa menit sebelum operasi selesai


19

11. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100%

beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.

b. Laringoskopi dan intubasi

Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop

merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung

supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara

garis besar dikenal dua macam laringoskop:

1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa

2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka

maksimal dan lidah dijulurkan maksimal.

Indikasi intubasi trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam

trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira

dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat

bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret

jalan napas, dan lain-lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi


20

Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan

efisien, ventilasi jangka panjang.

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan intubasi

1. Leher pendek berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tak terlihat

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak vertebra servikal terbatas

Komplikasi intubasi

1. Selama intubasi

a. Trauma gigi geligi

b. Laserasi bibir, gusi, laring

c. Merangsang saraf simpatis

d. Intubasi bronkus

e. Intubasi esophagus

f. Aspirasi

g. Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi

a. Spasme laring
21

b. Aspirasi

c. Gangguan fonasi

d. Edema glottis-subglotis

e. Infeksi laring, faring, trakea

c. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT

Keuntungan penggunaan ETT adalah pengamanan total jalan


nafas (terutama jika menggunakan cuff) dan kemudahan penghisapan
secret. ETT termasuk invasive, pemasangannya dapat traumatic dan
bagi pasien dengan jalan nafas yang hipereaktif dapat mencetuskan
asma. Selain itu, jika penempatan ETT terlalu dalam di salah satu
bronkus (endobronchial intubation), justru dapat menyebabkan
atelektasis satu paru. Intubasi endotrakeal juga terkadang salah arah,
masuk ke esophagus. Hal ini harus segera diketahui dan diperbaiki
karena dapat berakibat fatal. Cara terbaik untuk deteksi dini intubasi
esophagus adalah dengan menggunakan kapnograf.
ETT yang seringkali digunakan adalah ETT No 7,5 untuk pipa

orotrakea dan No. 7 untuk pipa nasotrakea. Ukuran ETT untuk anak-

anak rata-rata sebesar jari kelingking.

Indikasi dari menggunakan teknik ETT ini seperti pada

operasi-operasi yang memerlukan waktu yang cukup lama dan

kesulitan mempertahankan jalan napas bebas pada anestesi dengan

sungkup muka.

Thiopental harus disediakan obat pelemas otot jangka pendek seperti

suksinil-kolin 2% atau alkuronium (allonefrin) 10mg/ampul.


22

Langkah-langkah ETT yang dilakukan adalah:

a.Pertama-tama dengan penginduksian dengan menggunakan

thiopental. Sungkup muka dipasang dengan oksigen 4-6 L/menit,

apabila perlu napas dibantu dengan menggunakan bagging. Refleks

bulu mata sudah menghilang diberikan suksinil kolin intravena 1-1,5

mg/kgBB.

b. Pemberian suksinil kolin akan mengakibatkan fasikulasi dan

apnue. Kemudian napas dikendalikan dengan menekan bagging

yang diisi dengan aliran O2 2 L. Katup ekspirasi harus sedikit ditutup

(untuk membocorkan sedikit tekanan lebih pada setiap kali

melakukan bagging).

c.Setelah fasikulasi menghilang, pasien kemudian diintubasi. Balon

pipa endotrakea dikembangkan agar tidak terjadi kebocoran pada

waktu melakukan napas buatan dengan bagging.

d. Pipa endotrakea harus masuk ke trakea dengan benar, tidak

terlalu dalam ataupun masuk ke esophagus.

e.Pipa Guedel kemudian dimasukkan ke dalam mulut supaya pipa

endotrakea tidak tergigit. Kemudian pipa endotrakea difiksasi

dengan plester.
23

f. Mata pasien kemudian ditutup dengan menggunakan plester supaya

mata pasien tidak terbuka dan kornea pasien tidak kering. Pipa

endotrakeal kemudian dihubungkan dengan konektor pada sirkuit

napas alat anestesi. N2O kemudian dibuka 3-4 L/menit dan O2 2

L/menit lalu halotan dibuka 1 vol % dan dengan cepat halotan

dinaikkan sampai 2 vol %. Napas pasien kemudian dikendalikan

dengan menekan balon napas (12-16 kali/menit).

g. Halotan kemudian dikurangi sampai 0,5-1,5% sebagai

pemeliharaan anestesi.

h. Napas dapat dibiarkan spontan kala usaha napas cukup kuat.

i. Kedalaman anestesi tetap dipertahankan dengan menggunakan

kombinasi N2O dan O2 masing-masing sebanyak 2 L/menit, serta

halotan sebanyak 1,5-2 vol%.

j. Operasi yang memerlukan relaksasi otot seperti operasi perut dan

ortopedi, teknik anestesi dengan napas spontan ini tidaklah cukup

dikarenakan otot pasien harus lemah selama pembedahan.

k. Jika memakai teknik napas spontan, maka akan diperlukan obat

anestesi banyak yang dapat mendepresi pernapasan dan jantung

sehingga untuk mencegah hal tersebut, akan lebih baik

menggunakan teknik napas kendali dengan memberikan obat

pelemas otot jangka panjang agar dapat dicapainya relaksasi otot


24

yang baik tanpa menggunakan obat anestesi yang banyak dan juga

untuk menghindarkan anestesi yang terlalu dalam.

d. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT terkendali

1. Teknik anestesi maupun intubasi sama dengan teknik yang

dijabarkan di penggunaan ETT.

2. Sesudah pengaruh suksinil kolin mulai habis, kemudian diberikan

obat pelumpuh otot jangka panjang misalnya alkuronium dosis 0.1-

0.2 mg/kgBB.

3. Napas lalu dikendalikan dengan menggunakan respirator ataupun

secara manual. Apabila menggunakan respirator, maka setiap

inspirasi diusahakan ± 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10 – 14 kali

per menit. Jika nafas dikendalikan secara manual maka harus

diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang simetris. Kemudian

konsentrasi halotan sedikit demi sedikit dikurangi dan

dipertahankan dengan 0.5-1 %.

4. Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis jika pasien

sudah terlihat ada usaha untuk mulai bernafas sendiri.

5. Halotan dapat dihentikan jika lapisan fasi kulit sudah terjahit. N 2O

dihentikan apabila lapisan kulit mulai dijahit.


25

6. Ekstubasi dapat dilakukan apabila nafas spontan telah normal

kembali. O2 diberikan secara terus-menerus selama 2-3 menit untuk

mencegah terjadinya hipoksia difusi.

7. Jika napas sesudah ditunggu beberapa menit masih lemah, dapat

diberikan obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum di

ekstubasi yang terdiri dari kombinasi obat atropine 2 ampul (2 x

0,25 mg) dengan prostigmin 2 ampul (2 x 0,5 mg). Kombinasi obat

ini akan menghilangkan sisa efek obat pelumpuh otot.

e. Sungkup laring (Laryngeal Maska Airway)

Sungkup laring memiliki bentuk seperti pipa besar berlubang

dengan ujung yang menyerupai sendok. Sungkup laring standar hanya

memiliki satu pipa sementara jenis sungkup lain memiliki pipa

tambahan yang berhubungan dengan esophagus. Pemasangannya dapat

dilakukan dengan atau tanpa bantuan laringoskop. Oleh karena itu

LMA biasanya digunakan jika intubasi trakea diperkirakan akan

menemui kesulitan. Pemasangan LMA tetap membutuhkan kondisi

pasien yang tenang dan rileks seperti dalam keadaan teranestesi atau

ada henti jantung.

Indikasi
26

Indikasi penggunaan LMA adalah:

- Ventilasi efektif. Pada prosedur operasi dapat digunakan sebagai

alternatif dan terutama dipilih pada prosedur operasi dengan

durasi singkat yang tidak mengharuskan intubasi endotrakeal

- Jalan napas sulit. Jika intubasi gagal dilakukan, LMA dapat

dipasang sebagai penggantinya. Jika pasien tidak dapat diintubasi

namun masih dapat diberi ventilasi buatan, LMA lebih dipilih

daripada bag-valve-mask karena lebih mudah digunakan dalam

jangka waktu yang lama dan dapat mengurangi risiko aspirasi

dibandingkan tehnik bag-valve-mask.

- Pada pasien henti jantung. LMA dapat digunakan sebagai

alternative intubasi.

Kontraindikasi

- Kontraindikasi absolut : pasien dengan mulut tidak dapat dibuka

dan pada pasien dengan obstruksi total jalan napas atas.

- Kontraindikasi relative : pasien dengan obesitas morbid,

kehamilan trimester ke-2 atau ke-3, belum puasa, atau dengan

perdarahan gastrointestinal

f. Teknik Anestesi dengan menggunakan Intravena

Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA) merupakan

teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi


27

yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk ketiga

trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik maupun relaksasi otot.yang

lengkap.

Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup 2

komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempunyai trias anestesi.

Kelebihan TIVA adalah :

1. TIVA dapat dikombonasikan atau terpisah dan dapat dititrasi

dalam dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya.

2. Tidak menggangg jalan nafas pada pasien

3. TIVA mudah untuk dilakukan

Untuk indikasi TIVA sendiri antara lain digunakan sebagai berikut

1. TIVA digunakan sebagai obat induksi anestesi mum

2. TIBA digunakan sebagai Obat tunggal untuk anestesi

pembedahan singkat

3. TIVA ebagai tambahan obat inhalasi yang kurang kuat

4. TIVA sebagai obat tambahan anestesi regional

5. TIVA dapat menghilangkan keadaan patologis akibat

ransangan sistem saraf pusat (SSP).

Cara pemberian TIVA ini sendiri diberikan dengan:

1. Suntikan tunggal, untuk operasi singkat


28

2. Suntikan yang berulang sesuai dengan kebutuhan

3. TIVA diteteskan lewat infuse.


BAB 3

KESIMPULAN

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai


hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Indikasi anestesi umum
yaitu pada pasien yang memungkinkan tidak dapat bekerja sama, pasien yang
memiliki fobia, anak-anak, pembedahan yang membutuhkan waktu lama,
pembedahan luas atau ekstensif, pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap
anestesi lokal, dan pasien yang memilih untuk anestesi umum. Kontraindikasi
dilakukannya anestesi umum yaitu adanya gangguan atau kelainan organ yang dapat
dipengaruhi oleh efek dari obat-obat anestesi umum seperti, jantung, hepar, ginjal,
dan paru.
Trias anestesi terdiri dari sedasi, analgesi, dan relaksasi. Stadium anestesi
dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV. Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi
umum antara lain, respirasi, sirkulasi, jaringan dan zat anestesi. Metode anestesi
umum dilihat dari cara pemberian obat melalui parenteral, perektal, dan perinhalasi.
Anestesi umum dapat dilakukan dengan teknik anestesi spontan dengan sungkup
muka atau dengan pipa endotrakea, dan dapat juga dilakukan dengan teknik anestesi
pipa endotrakea, napas kendali dan juga teknik anestesi menggunakan intravena
(TIVA).
30

DAFTAR PUSTAKA

1. American Society of Anesthesiologists (ASA). 2011. Continuum of Depth of

Sedation Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia.

ASA Web site.

2. Butterworth John F et al. 2013. Morgan and Mikhail’s Clinical

Anesthesiology. Edisi 5. USA: Mc. Graw Hill. Hlm. 153-220; 1261-1271.

3. Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness.

Dalam Clinical Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA :

Lipincott Williams and Wilkins.

4. Garden, O. James et al. 2012. Principles and Practice of Surgery: With

Student Consult. USA : Elsevier Health Sciences. Hlm. 75.

5. Healy TH dan Knight PR. 2003. A Practice of Anesthesia. Edisi 7. USA:

Taylor and Francis Group. Hlm. 604.

6. Jenkins, K dan Baker AB. 2003. Consent and Aneaesthetic Risk. Original

Article. Anaesthesia (10). Hlm. 962-984.

7. Latief SA et al. 2011. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta:

Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Hlm. 29-90.

8. Muhiman, M., Thaib M. R., dan Sunatrio S. 2004. Anestesiologi Edisi

pertama. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

9. Soenarjo,Sp. An., Djatmiko, H, Sp.An. 2010. Anestesiologi. FK UNDIP


31

10. Zunilda DS dan Elysabeth. 2011. Anestetik Umum. Dalam Farmakologi dan

Terapi, Edisi 5, Sulistia et al. (editor). Jakarta: FKUI. Hlm. 122-137.

Anda mungkin juga menyukai