Anda di halaman 1dari 14

Ida Sugiarti

Google

Reuters - Yahoo to stop user access of services with Facebook, Google IDs

powered by

Arsip Blog

▼ 2010 (7)

▼ Januari (7)

TINJAUAN FILOSOFI PERAN DAN FUNGSI PERAWAT DALAM P...

SEJARAH HUKUM DOKTRIN INFORMED CONSENT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 20...

PERMENKES REPUBLIK INDONESIA NOMOR 290/MENKES/PER/...

TINJAUAN YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG KETAATAN P...

SINOPSIS BUKU “PRANATA HUKUM SEBUAH TELAAH SOSIOL...

TEORI HUKUM MURNI (HANS KELSEN,1881-1973) Dirang...

Friend

SENIN, 18 JANUARI 2010

TEORI HUKUM MURNI

(HANS KELSEN,1881-1973)
Dirangkum Oleh :

IDA SUGIARTI

NPM : 20040009001 – 00844

Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Teori berasal dari bahasa latin, theoria (perenungan), dan berasal dari bahasa yunani, thea (cara atau
hasil pandang). Teori adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia (realitas in abstracto),
dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam
pengalaman (= alam yg tersimak bersaranakan indera manusia= realitas in concreto). Sedangkan teori
hukum, menurut JJH.Bruggink pada hakikatnya merupakan suatu keseluruhan pernyataan yang saling
berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem
tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Arief Sidharta memberikan definisi serupa,
menurutnya teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritis dan perspektif interdisipliner
menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum baik secara tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan,
baik dalam konsepsi teoritisnya maupun pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan memperoleh
pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih tentang bahan yang tersaji dan kegiatan
yuridis dalam kenyataan kemasyarakatan. Teori hukum yang dipelajari adalah teori hukum alam dan
teori hukum positif.

Positivisme merupakan salah satu aliran yang telah mendominasi pemikiran dan konsepsi-konsepsi
hukum di berbagai negara sejak abad XIX. Penganut paham ini akan senantiasa menggunakan parameter
hukum positif, bahkan cenderung mengagung-agungkan hukum positif untuk melakukan penilaian
terhadap suatu masalah dengan mekanisme hirarki perundang-undangan. Dengan penggunaan aliran ini
dimana penegakkannya mengandalkan sanksi bagi siapa yang tidak taat, para pengikutnya berharap
(bahkan telah memitoskan) akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum
dalam masyarakat. Aliran ini mendekonstruksi konsep-konsep hukum aliran Hukum Alam, dari
konsepnya yg semula metafisik (hukum sebagai ius atau asas-asas keadilan yg abstrak) ke konsepnya
yang lebih positif (hukum sebagai lege atau aturan perundang-undangan), oleh sebab itu harus
dirumuskan secara jelas dan pasti. Terdapat tiga aliran hukum positif, yaitu :Positivisme Hukum Analitis,
Positivisme Pragmatis dan Teori Hukum Murni. Pembahasan makalah ini tentang Teori Hukum Murni.

Hans Kelsen (Reine Recthslehre: I), menyatakan ada dua hal yang penting bagi seseorang yang
mempelajari Teori Hukum : pertama untuk memahami unsur-unsur penting dari teori hukum (teori
hukum murni), kedua untuk merumuskan teori tersebut agar dapat mencakup masalah-masalah dan
institusi-institusi hukum terutama berkaitan dengan tradisi dan suasana hukum sipil, anglo saxon. Teori
hukum umum menurut Kelsen adalah berguna untuk menerangkan hukum positif sebagai bagian dari
suatu masyarakat tertentu. Jadi teori ini berusaha untuk menerangkan secara ilmiah tentang tata hukum
tertentu yang menggambarkan komunitas hukum terkait (misalnya: hukum Perancis, hukum Amerika
dll). Ini berarti teori hukum umum bekerja secara analisis komparatf dari sejumlah hukum positif yang
berbeda-beda. Kajian utama dari teori hukum umum adalah norma-norma hukum, unsur-unsur hukum
(norma tersebut), interrelasinya (hubungan antara berbagai tata hukum), tata hukum sebagai satu
kesatuan, strukturnya termasuk hukum dalam pluralitas tata hukum positif.

Disebut teori hukum murni karena teori ini tidak boleh dicemari oleh motif-motif yang menggambarkan
keinginan atau kepentingan baik individu atau kelompok dari sipembentuk undang-undang. Jadi titik
beratnya adalah substansi serta analisis struktur hukum positif, bukan kepada kondidisi-kondisi atau
penilaian moral atau politik menyangkut tujuannya.

Kedua hal tersebut di atas di latar belakangi oleh dua hal yang menjadi pertimbangan entitas
(realita),yaitu:

1. Antara hukum disatu pihak yang dipandang hanya sebagai norma (rechts als norm) dan hukum hukum
sebagai kenyataan (rechts als feit) dengan masing-masing metode pendekatan juridische dogmatisch
disatu pihak berhadapan dengan metode jurisdische histories in ruime zjin di lain pihak ;

2. Hukum bersifat non analytical dan hukum bersifat analytical.

Pendapat di atas dikemukakan tentunya dengan beberapa alasan yang menjadi dasar pertimbangan
timbulnya istilah tersebut. Pendapat pertama memiliki latar belakang yang diawali adanya suatu
pemikiran atau asumsi bahwa hukum adalah bersifat imperatif (pandangan yang bersifat dogmatis)
dengan pendapat lain, hukum bersifat fakultatif. Berangkat dari hal tersebut, maka teori hukum terbagi
atas:

1. Seperangkat gagasan tentang bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat atau gagasan bagaimana
seharusnya suatu bangunan hukum dalam masyarakat. Jadi teori ini berkaitan dengan substantif dari
suatu hukum yaitu lebih menekankan kepada kajian hukum normatif. Para ahli hukum menyatakan teori
hukum ini disebut teori hukum tradisional.

2. Seperangkat gagasan tentang bagaimana kenyataan hukum/perilaku kehidupan masyarakat atau


bagaimana hukum dalam kaitannya dengan interaksi masyarakat. Jadi teori ini berkaitan dengan
kenyataan hukum dalam bentuk perilaku, sikap, pendapat, atau dengan kata lain yuridis empiris. Teori
hukum ini disebut teori hukum modern.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimana Teori Hukum Murni Hans Kelsen?

2. Sejauh mana Teori Hukum Murni memandang hukum sebagai suatu sistem norma?

C. METODOLOGI PENULISAN

Penulisan ini terdiri dari tiga bab. Bab I, Pendahuluan berisi latar belakang masalah Teori Hukum Murni,
Identifikasi masalah dan metodologi penulisan. Bab II, Pembahasan, berisi tinjauan pustaka tentang
sekilas mengenal Hans Kelsen, Ajaran Hans Kelsen, Hukum sebagai Sistem Norma, dan Nilai Normatif
Hukum. Bab III, Penutup, terdiri dari simpulan dan saran.

BAB II
PEMBAHASAN

TEORI HUKUM MURNI

A. SEKILAS TENTANG HANS KELSEN

Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum
terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881.
Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen
mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.

Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi
hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di
satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan
bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah
bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.

Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya,
dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam
bidang hukum melalui The Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat
hukum, sosiologi, teori politik dan kritik ideologi. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam
dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of
International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum
internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan,
retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.

B. AJARAN HANS KELSEN

Kelsen menemukan bahwa filosofi hukum yang ada pada waktu itu telah terkontaminasi oleh ideologi
politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain,
dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk
kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas
hukum.Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang
berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu
dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga
substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka
metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya
sebatas permasalahan metodologi saja.

Ajaran dari Hans Kelsen ini menimbulkan reaksi terhadap mazhab-mazhab hukum lain yang telah
memperluas batas-batas Ilmu Pengetahuan hukum. Ajarannya didasarkan pada konsepsi Immanuel
Kant, yang memisahkan secara tajam antara pengertian hukum sebagai Sollen, dan pengertian hukum
sebagai Sien. Oleh karena itu ajaran dari Hans Kelsen disebut sebagai Neo Kantiaan.

Hans Kelsen ingin memurnikan hukum dari unsur-usnur pikiran yang filosofis-metafisis, dan ingin
memusatkan perhatianya pada teori hukum yang abstrak dengan maksud untuk memperoleh Ilmu
pengetahuan hukum yang murni. Ia tidak sependapat dengan definisi hukum yang diartikan sebagai
perintah. Karena itu ajarannya dianggap reaksi terhadap mazhab-mazhab lain.

Menurut Kelsen, hukum tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi menentukan
peraturan-peraturan tertentu yaitu meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus dilakukan orang.

Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang diciptakan hukum yaitu : sifat keharusan
untuk melakukan suatu perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok persoalan ilmu
pengetahuan hukum adalah : Norma hukum yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan semua
isinya baik dari segi etika maupun sosiologis. Karena itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni
(Reine Rechtslehre)

Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara. Suatu tertib hukum menjadi suatu
negara apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badan-badan atau lembaga-lembaga guna
menciptakan dan mengundangkan serta melaksanakan hukum. Dinamakan tertib hukum, apabila
ditinjau dari sudut peraturan-peraturan yang abstrak. Dinamakan negara, apabila objek diselidiki adalah
badab-badan atau lembaga-lembaga yang melaksanakan hukum, Setiap perbuatan hukum harus dapat
dikembalikan pada suatu norma yang memberi kekuatan hukum pada tindakan manusia tertentu itu.

Konstitusi menurut Kelsen kekuatan hukumnya berasal dari luar hukum. Yaitu dari hypotese atau
grundnorm yang pertama kali, maka kalau grondnorm itu telah diterima oleh masyarakat harus ditaati.

Jadi Ilmu Pengetahuan hukum menyelidiki :

1. Tingkatan Norma-norma.

2. Kekuatan berlakunya dari tiap norma yang bergantung dari hubungan yang logis dengan norma yang
lebih tinggi, sampai akhirnya pada suatu hypothese yang pertama.

Hyphothese yang pertama bersifat abstrak - Konkrit.

Abstrak

Konkrit
Pandangan Kelsen tentang tata hukum sebagai suatu bangunan norma-norma yang disusun secara
hierachis disebut : Stufenbau teori. Menurut teori ini, karena ada ikatan asas-asas hukum, hukum
menjadi suatu sistem, ilmu hukum memenuhi syarat sebagai ilmu dengan obyek yang bisa ditelaah
secara empirik, dengan analisa yang logis rational. Yang menjadi obyek studi adalah hukum positif.

Hans Kelsen (General Theory of Law and State), mengatakan bahwa grundnorm nya adalah suatu sains,
dan dia menyatakan dirinya sibagai positivist, padahal dengan cara dia menerangkan tentang
grundnorm, menunjukkan bahwa dia telah berfilsafat. Kelsen memulai teorinya dengan Ground Norm
atau yang dikenal dengan hukum dasar, yang intinya bersifat dasar-dasar hukum seperti keadilan,
keseimbangan, perlindungan. Semua itu merupakan konteks filsafat.

C. HUKUM SEBAGAI SISTEM NORMA

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume
yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume
bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga,
Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa
direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah. Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-
tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab
dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu.
Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya
merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.

Hans Kelsen berpendapat, bahwa suatu norma dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang
lebih tinggi ini pun, dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya sampai kita
berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi, melainkan ditetapkan terlebih
dahulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat. Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut
sebagai Grundnorm atau Basic Norm (Norma Dasar), dan Grund Norm pada dasarnya tidak berubah-
rubah. Grundnorm disebut juga sebagai “cita hukum”, seperti cita hukum bangsa Indonesia yaitu,
Pancasila yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945.

Untuk mengatakan bahwa hukum sebagai suatu sistem norma, maka Hans Kelsen menghendaki agar
obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis, sedangkan sumber yang mengandung
penilaian etis diletakkan di luar kajian hukum atau bersifat tanceden terhadap hukum positif, dan oleh
karenanya kajiannnya bersifat meta-yuridis.

Dengan adanya Grundnorm atau Basic Norm ini, maka Hans Kelsen mengatakan bahwa Basic Norm`s as
the source of validity and as the source of unity of legal system. Melalui Grundnorm inilah semua
peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara hirarkhis, dan dengan demikian ia juga
merupakan suatu sistem. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum, sehingga ia
merupakan “bensin” yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Di samping itu Grundnorm,
menyebabkan terjadinya keterhubungan internal dari adanya sistem. Sedangkan terminologi “norma”
itu sendiri, oleh Hans Kelsen, diartikan sebagai the expression of the idea...that a individual ought to
behave in a certain way. Fungsi norma adalah commando, permissions, authorizations and derogating
norms.

Hukum positip hanyalah perwujudan dari adanya norma-norma dan dalam rangka untuk menyampaikan
norma-norma hukum. Hans Kelsen mengatakan...every law is norm.... Perwujudan norma nampak
sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang mulai dari norma positip tertinggi hingga
perwujudan yang paling rendah yang disebut sebagai individual norm. Teori Hans Kelsen ini, membentuk
bangunan berjenjang tersebut disebut juga stufen theory. Norma-norma yang terkandung dalam hukum
positif harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Grundnorm. Oleh
karena itu, dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum
yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi, agar keberadaan hukum sebagai suatu sistem
tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu mewujudkan tingkat kegunaan (efficaces) secara
minimum Efficacy suatu norma ini dapat terwujud apabila;

1. Ketaatan warga dipandang sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh norma

2. Perlu adanya persyaratan berupa sanksi yang diberikan oleh norma.

Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norma moral lain dengan silogisme,
norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya
dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi
dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud
sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.

Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kelsen juga
tidak mengklain bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan
kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang
yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan
perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi
satu perspektif normatif.

Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose
Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan
sifatnya selalu optional.

C. NILAI NORMATIF HUKUM

Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama,
sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak
ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa
untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas
ketidakpatuhannya tersebut.

Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan
legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan
ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada
keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang
sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.

Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume
atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh
seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem
normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya
rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk
memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak
berdasar.

D. HUKUM DALAM PERSFEKTIF ISLAM

Dalam Islam, hukum selalu bersumber pada aturan hukum yang sudah ditetapkan oleh pembuat hukum
tertinggi yaitu Alloh, SWT yang Maha Adil. Terdapat dalam surat, diantaranya surat An Nisa (4) : 59 ;

       


           
         


59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Sumber hukum Islam diantaranya secara berurutan adalah :

a. Al Quran

b. As Sunnah (Al hadits)

c. Ijtihad

i. Ijmak
ii. Qiyas

iii. Istidal (menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan)

iv. Al masalih al mursalah (berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan


umum).

v. Istihsan (cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi
keadilan dan kepentingan sosial)

vi. Istishab (menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil
yang mengubahnya)

vii. Urf (adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap terus
berlaku bagi msyarakat yang bersangkutan).

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Hans Kelsen ingin memurnikan hukum dari unsur-usnur pikiran yang filosofis-metafisis, dan ingin
memusatkan perhatianya pada teori hukum yang abstrak dengan maksud untuk memperoleh Ilmu
pengetahuan hukum yang murni. Pandangan Kelsen tentang tata hukum sebagai suatu bangunan
norma-norma yang disusun secara hierachis yang disebut Stufenbau teori. Menurut teori ini, karena ada
ikatan asas-asas hukum, hukum menjadi suatu sistem, ilmu hukum memenuhi syarat sebagai ilmu
dengan obyek yang bisa ditelaah secara empirik, dengan analisa yang logis rational. Yang menjadi obyek
studi adalah hukum positif.

Hukum positip, menurut Hans Kelsen, harus dipahami sebagai suatu sistem norma. Pemahaman ini
penting artinya untuk mencegah terjadinya kontradiksi atau pertentangan antara norma hukum yang
lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah, sehingga hukum dapat berguna bagi masyarakat.
Norma-norma yang terkandung dalam hukum positif harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma
yang paling dasar yaitu Grundnorm.

B. SARAN

Menurut teori hukum murni tersebut, aturan hukum harus selalu berdasarkan kaidah yang lebih tinggi
yang akhirnya sampai pada Grundnorm, yang intinya bersifat dasar-dasar hukum seperti keadilan,
keseimbangan, perlindungan, dan lain-lain. Hans Kelsen mengatakan bahwa hal itu berada di luar ilmu
hukum. Oleh karena itu, para penegak hukum, terutama hakim, dalam bekerja menegakkan hukum
sebaiknya bukan hanya sebagai corong undang-undang saja, tetapi harus memperhatikan nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam Grundnorm.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku

Ahmad Tafsir. Filsafat Umum. Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Remajarosdakarya. Bandung.
2004.

Esmi Warassih. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. PT. Suryandaru Utama. Semarang. 2005.

E.Utrecht/M.Saleh D. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.1989.

Herman Soewardi. Roda Berputar Dunia Bergulir. Kognisi Baru Tentang Timbul tenggelamnya Sivilisasi.
Bandung. 2009.

M. Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Rajagrafindo
Persada. Jakarta. 2006.

Mochtar K & Arief S. Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu
Hukum. Alumni. Bandung. 2000.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Al Qur`anul Karim dan terjemahan dalam Al Qur`an Digital.

C. Internet

Nicoletta Bersier Ladavac. “Hans Kelsen (1881 - 1973) Biographical Note and Bibliography”
.http://www.ejil.org/journal/Vol9/No2/art11 .html, diakses tanggal 20 Desember 2009 jam 11.30 AM

Stanford Encyclopedia of Philosophy. The Pure Theory of Law.


www.wikipedia.com, diakses tanggal 20 Desember 2009 jam 12.00 AM

Diposkan oleh Ida Sugiarti di 22.31

1 komentar:

Roger5 Feb 2012 18.43.00

bagus jeng, dosen kesehatan namun bisa menerangkan teori hukum secara gamblang, saya malu jadinya
yang notabene mahasiswa hukum itu sendiri

Balas

Posting Lama Beranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Mengenai Saya

Foto Saya

Ida Sugiarti

Lihat profil lengkapku

Apakah anda setuju UU Keperawatan segera di sahkan?

Teori Hukum Murni Hans Kelsen (4) Norma dan Norma Dasar

Read Pure Theory of Law in English

Norma dan Norma Dasar

Norma adalah peraturan yang ditetapkan untuk mengatur bagaimana seseorang berperilaku dan oleh
karenanya hukum positif adalah tata tertib normatif yang mengatur tindakan manusia dalam cara
tertentu. Sebuah norma adalah sebuah proposisi “harus”: norma tidak mengekspresikan apa yang, atau
apa yang harus, namun apa yang harus akan terjadi, dalam keadaan-keadaan tertentu; keberadaannya
hanya dapat diartikan dari keberlakuannya, dan hal ini mengacu pada hubungannya dengan sistem dari
norma-norma yang menjadi bagian-bagiannya. Norma tidak dapat dibuktikan keberadaannya secara
faktual, namun norma semata-mata diturunkan dari norma lainnya, dan oleh sebab itu, menjadi absah.

Namun jika sebuah norma hanya dapat diturunkan dari norma lain, apakah ini berarti bahwa seseorang
dapat meneruskan penurunan ini ad infinitum? Secara teoritis, ya, namun, dalam praktiknya, sebab
norma berkaitan erat dengan tindakan manusia, maka haruslah ada sebuah norma mutlak yang
didalilkan sebagai dasar pijakan bagi norma-norma lainnya. Inilah yang menjadi norma dasar. Sejauh
yang dianut oleh sistem hukum norma dasar ini mesti bersifat sebagai hukum agung, sebab ex hypothesi
norma dasar ini tidak diturunkan dari norma hukum yang lain. Namun Kelsen tidak semudah itu
menuding bahwa pilihan norma dasar ini bukanlah sesuatu yang arbitrer. Justru sebaliknya, norma dasar
ini harus dipilih oleh para ilmuwan hukum berdasar prinsip keampuhan, yaitu bahwa aturan hukum
secara keseluruhan mesti berpijak pada asumsi bahwa pada kebanyakan kekuatan keampuhannya,
orang-orang akan bertindak sesuai dengan norma tersebut. Norma dasar bersifat non-positif dan oleh
karenanya bukanlah urusan ilmu hukum, namun norma dasar memang sesungguhnyalah ada untuk
memberi kesatuan terhadap sistem hukum dan dalam menarik garis batas untuk norma-norma yang
menjadi subjek ilmu hukum. Pilihan akan norma dasar juga memiliki implikasi penting dalam
menentukan relasi hukum nasional Negara hingga hukum internasional. Jika norma dasar sesuai dengan
undang-undang setiap Negara, maka tidak akan ada tumpukan pluralistik dalam sistem hukum mandiri.
Sementara jika norma tersebut dipilih sebagai dasar hukum internasional, maka akan tercipta sebuah
tata dunia monistik, yang akan menjadi dasar pijakan hukum nasional setiap Negara. Kelsen, meski
demikian, tidak menjabarkan secara jelas mengenai sejauh apa pilihan norma tersebut ditentukan
terlebih dahulu oleh prinsip kefektifan, meskipun fakta bahwa setiap Negara tunduk untuk menganggap
diri mereka sendiri terikat oleh hukum internasional (tunduk terhadap konstruksi mereka sendiri
mengenai apa yang seharusnya menjadi aturan), mungkin saja terdengar seperti mendengungkan sistem
monistik, tanpa diragukan lagi sangat didukung oleh Kelsen sendiri, dalam prinsip-prinsip ini.

Kelsen, sebagai positivis filsosofis sejati, menolak segala entitas metafisik, seperti Negara atau hak atau
kewajiban. Oleh sebab itu, imputasi sebuah tindakan terhadap Negara adalah sesuatu yang figuratif,
yang, dalam konteks hukumnya semata-mata mengacu pada norma-norma tata hukum. Namun istilah
“tatanan hukum” bermakna lebih luas daripada Negara, sebab Negara hanyalah sebuah tata tertib yang
dipusatkan dan diberi nama Negara, dan situasi ini menafikan, misalnya, masyarakat primitif dan tata
hukum internasional yang berlaku. Sekali lagi hak dan kewajiban bukanlah sebuah entitas yang berdiri
sendiri, namun semata-mata ekspresi norma-norma hukum yang terkait dengan tindakan konkrit
seorang individu.

Anda mungkin juga menyukai