Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN MODUL

“SESAK POST TRAUMA DAN TENGGELAM”

MODUL : SESAK POST TRAUMA DAN TENGGELAM

PENDAHULUAN
Modul ini merupakan bagian dari Blok Kegawatdaruratan dan Traumatologi yang
diberikan untuk mempermudah mahasiswa dalam kegiatan tutorial. Pada modul ini diberikan
skenario yang menunjukkan suatu gejala klinik dari kondisi pasca trauma pada beberapa
penyakit. Mahasiswa diharapkan mendiskusikan bukan hanya pada inti masalah tapi juga semua
hal yang berhubungan dengan permasalahan tersebut, misalnya patomekanisme penyakit yang
memerlukan pengetahuan anatomi, histologi, fisiologi, serta proses biokimia yang terjadi. Hal
yang ditekankan disini adalah bagaimana memecahkan masalah yang diberikan dan bukan untuk
diagnosisnya.
Mahasiswa harus membaca Tujuan Instruksional Umum (TIU) terlebih dahulu sehingga
diharapkan diskusi tidak menyimpang dari tujuan pembelajaran serta tercapainya kompetensi
yang diharapkan. Bahan untuk diskusi dapat diperoleh dari bahan perkuliahan yang telah
diberikan serta referensi yang diberikan oleh masing-masing dosen pemberi kuliah.
Penyusun mengharapkan modul ini dapat membantu mengarahkan mahasiswa
dalammemecahkan masalah dan menegakkan diagnosa penyakit sistem terkait serta bagaimana
penanganannya.

Ternate,12 Mei 2020


MODUL SESAK POST TRAUMA DAN TENGGELAM
BLOK KEGAWATDARURATAN DAN TRAUMATOLOGI

SKENARIO

Skenario 1
Seorang laki-laki usia 30 tahun dibawa ke Puskesmas dengan keluhan sesak napas.
Penderita terlihat pucat, dan kebiruan. Nadi teraba cepat dan lemah. Menurut orang yang
membawanya, pasien mengalami kecelakaan motor.
Skenario 2
Seorang anak laki-laki 8 tahun diantar ayahnya ke UGD keadaan tidak sadar, basar
kuyup, sesak nafas dan perut kembung. Dia ditemukan oleh ayahnya terjatuh kedalam sungai
dekat rumah 15 menit yang lalu

TENTUKAN PROBLEM KUNCI DENGAN MEMBUAT PERTANYAAN-


PERTANYAAN PENTING
KLARIFIKASI KATA / KALIMAT KUNCI
 SKENARIO I
1. laki-laki Usia 30 tahun
2. Dibawa ke Puskesmas dengan keluhan sesak napas.
3. Penderita terlihat pucat, dan kebiruan.
4. Nadi teraba cepat dan lemah.
5. Pasien mengalami kecelakaan motor.
 SKENARIO II
1. Anak laki-laki 8 tahun
2. Ke UGD: tidak sadar, basah kuyup, sesak napas dan perut kembung
3. Terjatuh kedalam sungai 15 menit yang lalu

PERTANYAAN
 SKENARIO I
1. jelaskan anatomi thorax!
2. jelaskan patomekanisme dari skenario!
3. jelaskan etiologi dan perbedaan dari sesak trauma dan non trauma !
4. bagaimana penanganan awal skenario?
5. bagaimana secondary survey dari skenario?
6. jelaskan deferensial diagnosis dari skenario !
 SKENARIO 2
1. Bagaimana penanganan korban pada skenario
2. Apa definisi dari tenggelam ?
3. Apa saja etiologi dari tenggelam?
4. Sebutkan klasifikasi tenggelam ?
5. Bagaimana patomekanisme tenggelam ?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari korban tenggelam ?
7. Pemeriksaan penunjang apa saja yang dilakukan pada korban tenggelam ?
8. Bagaimana komplikasi dan prognosis dari kasus tenggelam ?
JAWABAN PERTANYAAN
SKENARIO 1
1. ANATOMI THORAX
Dinding thorax membatasi cavitas thoracis yang berbentuk seperti ginjal, kecuali pada bayi
yang berbentuk agak bulat. Terdiri dari seperangkat tulang, articulus dan otot-otot. Dinding
thorax dapat bergerak bebas dengan mengikuti irama respirasi.
1) Skeleton Dibentuk oleh ossa thoracica yang terdiri dari :
 Vertebra thoracalis berjumlah 12 buah
 Costae sebanyak 12 pasang
 Sternum Pintu cranialis cavitas thoracis disebut apertura thoracis superior
dibentuk oleh
 Corpus vertebrae thoracalis I ;
 Costa I ;
 Manubrium sterni ( incisura jugularis sterni ).
Lubang ini berbentuk seperti ginjal dengan corpus vertebrae thoracalis I sebagai hilusnya.
Ukuran anterior-posterior kira-kira 5 cm dan diameter transversal kurang lebih 10 cm.
Apertura tersebut terletak dalam suatu bidang datar yang miring dari cranio-dorsal ke caudo-
ventral.
Pintu caudalis disebut apertura thoracis inferior dibentuk oleh :
 Corpus vertebrae thoracalis XII, disebelah dorsal ;
 Cartilaginis costa X – XII, disebelah lateral ;
 Pars cartilaginis costa X – XII, disebelah ventral, membentuk arcus costarum ;
 Processus xiphodeus, berada pada linea mediana anterior.
Diameter transversal dari apertura ini lebih besar dari ukuran anterior-posterior, dan berada
pada suatu bidang datar yang oblique dari ventro-cranial menuju ke dorso-caudal. Apertura
thoracis inferior ditutupi oleh diaphragma thoracis.
1) Articulus Terdiri dari :
a. Junctura costovertebralis.Terdiri atas dua buah articulationes, dan bekerja sebagai
satu kesatuan, yaitu:
a) articulus capituli, dibentuk oleh capitulum costae dengan corpus vertebrae
b) articularis costotransversarius, dibentuk oleh facies articularis tuberculi costae
dengan fovea costalis transversalis (processus transversus)

b. Junctura costosternalis, berada disebelah ventral, dibentuk oleh costae dengan


sternum. costa I membentuk articulus dengan incisura costalis I sterni, berupa suatu
synchondrosis. Costa II – VII mengadakan persendian dengan incisura costales II –
VII
c. Musculus Lapisan otot pada dinding thorax dibagi menjadi tiga lapisan, sebagai
berikut :
a) lapisan superficial, meliputi otot-otot yang selain melekat dan melindungi
dinding thorax juga berperan pada gerakan extremitas superior, serta
merupakan bagian dari dinding ventral abdomen, seperti :
 m.pectoralis major, m.pectoralis minor
 m.rectus abdominis
 m.obliquus externus abdominis
 m.serratus anterior
 m.latissimus dorsi
 m.trapezius
 m.rhomboideus major, m.rhomboideus minor
 m.levator scapulae
 m.serratus posterior
b) lapisan intermedia terdiri atas dua lapisan otot, yaitu m.intercostalis externus
dan m.intercostalis internus
c) lapisan profundus dibentuk oleh m.subcostalis dan m.transversus thoracis.
d. Vascularisasi
a) Arteria mammaria interna (= arteria thoracica interna) adalah cabang dari arteria
subclavia. Dalam spatium intercostalis VI arteria mammaria interna memberi dua
cabang, yaitu arteria epigastica superior dan arteria musculophrenica.
b) Arteria intercostalis posterior, berada di dalam ruang intercostalis I dan II
merupakan cabang tidak langsung dari arteria subclavia, yaitu melalui arteria
intercostalis suprema sedangkan yang berada di dalam ruang intercostalis lainnya
merupakan cabang dari aorta thoracalis. Vena intercostalis bearmuara kedalam
vena azygos dan vena hemi azygos
e. Innervasi
Nervus Intercostalis. Dibentuk oleh ramus anterior nervus spinalis thoracalis I – XII
yang berjalan di dalam ruang intercostalis I – XI, sedangkan saraf yang ke XII
berjalan di sebelah caudal costa XII sebagai nervus subcostalis, menuju ke dinding
ventral abdomen. Nervus intercostalis yang I menyilang costa I menuju ke plexus
brachialis.
Nervus intercostalis II – VI berjalan semata-mata di dalam ruang intercostalis,
sedangkan nervus intercostalis VII – XI, sebagian berada pada dinding thorax dan
sebagian lagi berada pada dinding abdomen. Letak vena, arteri dan nervus
intercostalis di dalam sulcus costae berturut-turut dari cranial ke caudal
SURFACE ANATOMY Pada dinding thorax dapat ditarik beberapa garis vertikal yang dipakai
sebagai suatu patokan tertentu :
 Linea sternalis lateralis = garis yang melalui tepi lateral sternum
 Linea pars sternalis = garis yang ditarik melalui titik tengah antara garis sternalis dan
linea medioclavicularis.
 Linea medioclavicularis = garis yang melelui titik dengan clavicula.
 Linea papillaris = garis yang melalui papilla mammae yaitu kira-kira satu jari di sebelah
lateral linea medioclavicularis (kira-kira 10 cm dari garis tengah badan).
 Linea axillaris anterior = garis yang melalui plica axillaris anterior.
 Linea axillaris media = linea axillaris = garis yang melalui puncak fossa axillaris atau
berada dipertengahan antara linea axillaris anterior dan linea axillaris posterior.
 Linea axillaris posterior = garis yang melalui plica axillaris posterior.
 Linea scapularis = garis yang melalui angulus inferior scapulae.
2. PATOMEKANISME SKENARIO
3. JELASKAN ETIOLOGI DAN PERBEDAAN DARI SESAK TRAUMA DAN NON
TRAUMA

Trauma
 Gangguan jalan nafas (obstruksi benda asing)
 Trauma thorax (trauma jatuh atau pukulan di dada)
 Trauma inhalasi (keracunan gas)
Non-trauma
 Syok anafilaktik (misalnya karena alergi)
 Gangguan paru (misalnya asma, bronchitis, dll)
 Gangguan kardiovaskuler (misalnya Atrial septal defect (ASD), penyakit jantung bawaan,
dll)
4. BAGAIMANA PENANGANAN AWAL PADA SKENARIO
Penanganan awal dengan primary survey
A. AIRWAY
1) Penilaian
a. Tanda-tanda objektif – sumbatan airway
 Look (lihat)melihat gerakan nafas/ pengembangan dada dan adanya retraksi sela iga.
 Listen (dengar) mendengar aliran udara pernapasan
 Feel (Raba) merasakan adanya aliran udara pernapasan
b. Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway bila terdapat obstruksi
a) OBSTRUKSI PARSIAL
I. Suara mendengkur (snoring)
a. Tanpa alat secara manual
Sumbatan jalan nafas karena pangkal lidah jatuh kebelakang, terdengar suara snooring
atau mendengkur. Lakukan pertolongan dengan cara :
 Head-tilt/chin lift
Bila tidak ada cedera kepala dengan cara head tilt atau chin lift
Cara melakukan:
a) Letakkan satu tangan pada dahi tekan perlahan ke posterior, sehingga kemiringan
kepala menjadi normal atau sedikit ekstensi (hindari hiperekstensi karena dapat
menyumbat jalan napas).
b) Letakkan jari (bukan ibu jari) tangan yang lain pada tulang rahang bawah tepat di
ujung dagu dan dorong ke luar atas, sambil mempertahankan cara 1.
 Jaw thrust
Bila tidak sadar dan ada cedera kepala dengan cara jaw thrust
Cara melakukannya:
a) Posisi penolong di sisi atau di arah kepala
b) Letakkan 2-3 jari (tangan kiri dan kanan) pada masing-masing sudut posterior
bawah kemudian angkat dan dorong keluar.
c) Bila posisi penolong diatas kepala. Kedua siku penolong diletakkan pada lantai
atau alas dimana korban diletakkan.
d) Bila upaya ini belum membuka jalan napas, kombinasi dengan head tilt dan
membuka mulut (metode gerak triple)
Untuk cedera kepala/ leher lakukan jaw thrust dengan immobilisasi leher.
(A) (B)
Gambar 1. (A) Head-tilt dan Chin-lift. (B) Jaw thrust

b. Dengan menggunakan alat


 Pipa orofaring
Cara pemasangan :
1. Pakai sarung tangan
2. Buka mulut pasien dengan cara chin lift atau gunakan ibu jari dan telunjuk
3. Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya
4. Bersihkan dan basahi pipa orofaring agar licin dan mudah dimasukkan
5. Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit (ke palatal)
6. Masukkan separuh, putar lengkungan mengarah ke bawah lidah.
7. Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat.
8. Yakinkan lidah sudah tertopang dengan pipa orofaring dengan melihat pola napas,
rasakan dan dengarkan suara napas pasca pemasangan.
II. Berkumur (gurgling)
 Sapuan jari (finger sweep)
Cara :
a. Pasang sarung tangan
b. Buka mulut pasien dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah
c. Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah yang bersih atau dibungkus dengan sarung
tangan /kassa untuk membersihkan dan mengorek semua benda asing dalam mulut.
 Cross finger
 Dengan suction
b) OBSTRUKSI TOTAL
a. Tanpa alat secara manual
 Back blows (kalau pasien sadar)
Pukulan punggung dilakukan 5 kali dengan pangkal tangan diatas tulang belakang diantara
kedua tulang belikat.Jika memungkinkan rendahkan kepala di bawah dada.
 Heimlich maneuver (pasien sadar)
Penolong berdiri di belakang korban, lingkarkan kedua lengan mengitari pinggang,
peganglah satu sama lain pergelangan atau kepalan tangan (penolong).
 Abdominal thrust(kalau pasien tidak sadar)
Letakkkan kedua tangan (penolong) pada perut antara pusat dan prosessus sifoideus,
tekanlah ke arah abdomen atas dengan hentakan cepat 3-5 kali.
b. Dengan menggunakan alat
 ETT (Endotrakhea tube)
B. BREATHING
Breating dilakukan apabila pemeriksaan airway telah dilaksanakan.Atau apabila tidak
terdapat tanda-tanda obstruksi.
a. Tanpa menggunakan alat:
 Mouth to mouth
Sambil mempertahankan posisi kepala (jalan nafas) lakukan tiupan nafas buatan dengan
mulut dengan cara tarik nafas dalam, tiup dan liat pengembangan dada. Dengan
konsentrasi oksigen 16%.
 Mouth to mask
Caranya :
a) Pasang sungkup dengan ukuran sesuai umur sehingga menutup mulut dan hidung,
lalu rapatkan
b) Sambil mempertahankan posisi kepala (jalan nafas) lakukan tiupan nafas dengan
menggunakan :
 Kanula oksigen : dengan oksigen 2-3 liter/menit, konsentrasi 30%
 Sungkup sederhana : dengan oksigen 6-8 liter/menit, konsentrasi 60%
 Sungkup berbalon : dengan oksigen >10 liter/menit, konsentrasi 100%
c) Kemudian liat pengembangan dada.
d) Evaluasi pernapasan, nadi dan warna kulit.

Evaluasi pernapasan, Bernapas Perawatan


nadi dan warna kulit observasi
Nadi > 100

Sianosis
Beri tambahan O2
Nadi < 100
Sianosis menetap
Ventilasi efektif
Berikan VTP Perawatan pasca
Nadi > 100 resusitasi

Nadi < 60 nadi > 60

 Berikan VTP
 Lakukan kompresi dada

Nadi < 60 nadi < 60

Berikan epinfrin

Pemberian Ventilasi Tekanan positif


a) Pilih ukuran masker yang cocok dengan wajah penderita
b) Pastikan jalan napas penderita bebas.
c) Tangan kiri memegang masker sedemikian rupa sehingga masker rapat ke wajah
penderita dan pastikan tidak ada udara yang keluar dari sisi masker pada saat dipompa.
Tangan kanan memegang bag dan memompa sampai dada penderita terlihat
mengembang.
d) Kecukupan ventilasi dinilai dengan melihat gerakan dada penderita.
C. CIRCULATION
Indikasi pijat jantung : bradikardia ( <60x/m atau henti jantung )
Lokasi pemijatan : 1/3 bagian bawah tulang dada (sternum) dengan kedalaman pijatan 1/3
tebal dada. Metode kompressi yaitu 1 pangkal telapak tangan dengan frekuensi pemijatan±
100x/menit. Koordinasi antara pijat jantung dan nafas buatan yaitu 5 : 1 dengan 20 siklus
D. DISABILITY (Neurologic Evaluation)
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. EXPOSURE / KONTROL LINGKUNGAN
1. Buka pakaian penderita
2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yangcukup hangat
BAGAIMANA SECONDARY SURVEY DARI SKENARIO
SECONDARY SURVEY
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat :
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
B. PemeriksaanFisik
1) Kepala dan Maksilofasial
a) Penilaian
 Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi, fraktur
dan luka termal
 Re-evaluasi pupil
 Re-evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS
 Penilaian mata untuk perdarahan, luka tembus, ketajaman penglihatan, dislokasi
lensa, dan adanya lensa kontak
 Evaluasi syaraf kranial
 Periksa telinga dan hidung akan adanya kebocoran cairan serebro-spinal
 Periksa mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan serebro-spinal,
perlukaan jaringan lunak dan gigi goyang.
b) Pengelolaan
 Jaga airway, pernafasan dan oksigenasi
 Cegah kerusakan otak sekunder
2) Vertebra servikalis dan leher
Penilaian
 Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
pernafasan tambahan
 Palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi
trakea, simetri pulsasi.
3) Toraks
Penilaian
 Penilaian dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma
tumpul ataupun tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks
bilateral.
 Auskultasi pada bagian depan dan basal untuk bising nafas (bilateral) dan bising
jantung.
 Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan,
nyeri tekan dan krepitasi.
 Perkusi untuk adanya hipersonor atau keredupan.
4) Abdomen
Penilaian :
 Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma tajam/tumpul dan
adanya perdarahan internal.
 Auskultasi bising usus
 Perkusi abdomen untuk menemukan nyeri lepas (ringan)
 Palpasi abdomen untuk nyeri tekan.
5) Perineum/rectum/penis
Penilaian :
 Penilaian perineum : perdarahan uretra, laserasi, dsb
 Penilaian rektum : perdarahan rektum
Tonus sfinkter ani
Utuhnya dinding rectum
Fragmen tulang
Posisi prostat
6) Muskuloskeletal
Penilaian :
 Inspeksi lengan dan tungkai akan adanya trauma tumpul/tajam, termasuk adanya
laserasi kontusio dan deformitas
 Palpasi lengan dan tungkai akan adanya nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal,
dan sensorik
 Palpasi semua arteri perifer untuk kuatnya pulsasi dan ekualitas
 Nilai pelvis untuk adanya fraktur dan perdarahan
 Inspeksi dan palpasi vertebra torakalis dan lumbalis untuk adanya trauma tajam/
tumpul, termasuk adanya kontusio, laserasi, nyeri tekan, deformitas, dan sensorik
7) Neurologis
Penilaian :
 Re-evaluasi pupil dan tingkat kesadaran
 Tentukan skor GCS
 Evaluasi motoric dan sensorik dari keempat ekstremitas
Tentukan adanya tanda lateralisasi
4. JELASKAN DIFERENTIAL DIAGNOSIS
A. PNEUMOTHORAX
1. DEFINISI
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga
potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal1,2,3. Pada keadaan normal rongga
pleura di penuhi oleh paru – paru yang mengembang pada saat inspirasi disebabkan
karena adanya tegangan permukaaan ( tekanan negatif ) antara kedua permukaan pleura,
adanya udara pada rongga potensial di antara pleura visceral dan pleura parietal
menyebabkan paru-paru terdesak sesuai dengan jumlah udara yang masuk kedalam
rongga pleura tersebut, semakin banyak udara yang masuk kedalam rongga pleura akan
menyebabkan paru –paru menjadi kolaps karena terdesak akibat udara yang masuk
meningkat tekanan pada intrapleura.
Secara otomatis terjadi juga gangguan pada proses perfusi oksigen kejaringan atau
organ, akibat darah yang menuju kedalam paru yang kolaps tidak mengalami proses
ventilasi, sehingga proses oksigenasi tidak terjadi.
2. PATOFISIOLOGI
Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk
melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang – tulang yang
menyusun struktur pernapasan seperti tulang klafikula, sternum, scapula. Kemudian
yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi dan
6
ekspirasi . Jika salah satu dari dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan
berpengaruh pada proses ventilasi dan oksigenasi. contoh kasusnya, adanya fraktur pada
tulang iga atau tulang rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaaan flail
chest atau kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma tumpul, serta adanya kerusakan
pada organ viseral pernapasan seperti, paru-paru, jantung, pembuluh darah dan organ
lainnya di abdominal bagian atas, baik itu disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat
senapan atau gunshot.
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan dapat
masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari udara pada
kapiler pembuluh darah rata-rata (706 mmHg). Pergerakan udara dari kapiler pembuluh
darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-36
cmH2O) yang sangat sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi yang menyebabkan
masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada
dan merobek pleura parietal atau visceral, atau disebabkan kelainan konginetal adanya
bula pada subpleura yang akan pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura.
3. KLASIFIKASI DARI PNEUMOTORAKS
Beberapa literatur menyebutkan klasifikasi pneumothoraks menjadi 2 yaitu,
pneumotoraks spontan dan pneumotoraks traumatik 4. Ada juga yang
mengklasifikasikannya berdasarkan etiloginya seperti Spontan pneumotoraks (spontan
pneumotoraks primer dan spontan pneumotoraks sekunder), pneumotoraks traumatik,
iatrogenik pneumotoraks. serta ada juga yang mengklasifikasinya berdasarkan
mekanisme terjadinya yaitu, pneumotoraks terbuka (open pneumotoraks), dan
pneumotoraks terdesak (tension pneumotoraks ).
Seperti dikatakan diatas pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan dasar
etiologinya seperti Spontan pneumotoraks, dibagi menjadi 2 yaitu, Spontan
Pneumotoraks primer (primery spontane pneumothorax) dan Spontan Pneumotoraks
Sekunder (secondary spontane pneumothorax), pneumotoraks trauma, iatrogenik
pneumotoraks.
 Pneumotoraks Spontan Primer ( primery spontaneous pneumothorax)
Dari kata “primer” ini dapat diketahui penyebab dari pneumotoraks belum
diketahui secara pasti, banyak penelitian dan terori telah di kemukakan untuk mencoba
menjelaskan tentang apa sebenarnya penyebab dasar dari tipe pneumotoraks ini. Ada
teori yang menyebutkan, disebabkan oleh factor konginetal, yaitu terdapatnya bula pada
subpleura viseral, yang suatu saat akan pecah akibat tingginya tekanan intra pleura,
sehingga menyebabkan terjadinya pneumotoraks.
Bula subpleura ini dikatakan paling sering terdapat pada bagian apeks paru dan juga
pada percabangan trakeobronkial. Pendapat lain mengatakan bahwa PSP ini bisa
disebabkan oleh kebiasaan merokok. Diduga merokok dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dari protease, antioksidan ini menyebabkan degradasi dan lemahnya
serat elastis dari paru-paru, serta banyak penyebab lain yang kiranya dapat membuktikan
penyebab dari pneumotoraks spontan primer.
 Pneumotoraks Spontan Sekunder ( Secondary Spontaneus Pneumothorax)
Pneumotoraks spontan sekunder merupakan suatu pneumotoraks yang penyebabnya
sangat berhubungan dengan penyakit paru-paru, banyak penyakit paru-paru yang
dikatakan sebagai penyebab dasar terjadinya pneumotoraks tipe ini. Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD), infeksi yang disebabkan oleh bakteri
pneumocity carinii, adanya keadaan immunocompremise yang disebabkan oleh
infeksi virus HIV, serta banyak penyebab lainnya, disebutkan penderita
pneumotoraks tipe ini berumur diantara 60-65 tahun .
 Pneumotoraks Trauma
Pneumotoraks trauma adalah pneumotoraks yang disebabkan oleh trauma yang secara
langsung mengenai dinding dada, bisa disebabkan oleh benda tajam seperti pisau,atau
pedang, dan juga bisa disebabkan oleh benda tumpul.
Mekanisme terjadinya pneumotoraks trauma tumpul, akibat terjadinya peningkatan
tekanan pada alveolar secara mendadak, sehingga menyebabkan alveolar menjadi
ruptur akibat kompresi yang ditimbulkan oleh trauma tumpul tersebut, pecahnya
alveolar akan menyebabkan udara menumpuk pada pleura visceral, menumpuknya
udara terus menerus akan menyebabkan pleura visceral rupture atau robek sehingga
menimbulkan pneumotorak.
Jika pada mekanisme terjadinya pneumotoraks pada trauma tajam disebabkan oleh
penetrasi benda tajam tersebut pada dinding dada dan merobek pleura parietal dan
udara masuk melalui luka tersebut ke dalam rongga pleura sehingga terjadi
pneumotoraks.
 Iatrogenik Pneumotoraks
Banyak penyebab yang dilaporkan mendasari terjadinya pneumotoraks iatrogenic,
penyebab paling sering dikatakan pemasangan thransthoracic needle biopsy.
Dilaporkan juga kanalisasi sentral dapat menjadi salah satu penyebabnya. 4 Pada
dasarnya dikatakan ada dua hal yang menjadi faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya pneumotoraks iatrogenic yaitu pertama adalah dalamnya pemasukan jarum
pada saat memasukannya dan kedua, ukuran jarum yang kecil, menurut sebuah
penelitian kedua itu memiliki korelasi yang kuat terjadinya pneumotoraks.
Berdasarkan mekanisme dari terjadinya pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi
pneumotoraks terdesak (tension pneumotoraks), dan pneumutoraks terbuka (open
pneumothorax),
 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothoraks)
Keadaan pneumotoraks terbuka ini tersering disebabkan oleh adanya penetrasi
langsung dari benda tajam pada dinding dada penderita sehingga meninmbulkan luka
atau defek pada dinding dada. Dengan adanya defek tersebut yang merobek pleura
parietal, sehingga udara dapat masuk kedalam rongga pleura. Terjadinya hubungan
antara udara pada rongga pleura dan udara dilingkungan luar, sehingga menyebabkan
samanya tekanan pada rongga pleura dengan udara di diatmosper. Jika ini didiamkan
akan sangat membahayakan pada penderita. Dikatakan pada beberapa literatur jika
sebuah defek atau perlukaan pada dinding dada lebih besar 2/3 dari diameter trakea
ini akan menyebabkan udara akan masuk melalui perlukaan ini, disebabkan tekana
yang lebih kecil dari trakea. Akibat masuknya udara lingkungan luar kedalam rongga
pleura ini, berlangsung lama kolaps paru tak terhindarkan, dan berlanjut gangguan
ventilasi dan perfusi oksigen kejaringan berkurang sehingga menyebabkan sianosis
sampai distress respirasi.
 Pneumotoraks Terdesak (Tension Pneumothorax)
Suatu pneumotoraks yang merupakan salah satu kegawat daruratan pada cedera dada.
Keadaan ini terjadi akibat kerusakan yang menyebabkan udara masuk kedalam
rongga pleura dan udara tersebut tidak dapat keluar, keadaan ini disebut dengan
fenomena ventil ( one –way-valve).
Akibat udara yang terjebak didalam rongga pleura ssehingga menyebabkan tekanan
intrapleura meningkat akibatnya terjadi kolaps pada paru-paru, hingga menggeser
mediastinum ke bagian paru-paru kontralateral, penekanan pada aliran vena balik
sehingga terjadi hipoksia.
Banyak literatur masih memperdebatkan efek dari pneumotoraks dapat menyebabkan
terjadinya kolaps pada sistem kardiovaskular. Dikatakan adanya pergeseran pada
mediastinum menyebabkan juga penekanan pada vena kava anterior dan superior,
disebutkan juga hipoksia juga menjadi dasar penyebabnya, hipoksia yang memburuk
menyebabkan terjadinya resitensi terhadap vaskular dari paru-paru yang diakibatkan
oleh vasokonstriksi. Jika gejala hipoksia tidak ditangani secepatnya, hipoksia ini akan
mengarah pada keadaan asidosis, kemudian disusul dengan menurunnya cardiac
output sampai akhirnya terjadi keadaan henti jantung.
4. Manifestasi klinik
Gejala klinis pneumotoraks spontan bergantung pada ada tidaknya tension
pneumotoraks serta berat ringan pneumotoraks. Pasien secara spontan mengeluh nyeri
dan sesak napas yang muncul secara tiba-tiba. Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala
yang sering muncul adalah:
a) Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
b) Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien
c) Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien ( Barmawi dan Budiono.
2006.)
Menurut Sudoyo (2006), Tanda dan gejala pneumothorak berupa :
a) Sesak napas
b) Dada terasa sempit
c) Gelisah
d) Keringat dingin
e) Sianosis
f) Tampak sisi yang terserang menonjol dan tertinggal dalam pernapasan
g) Perkusi hipersonor
h) Pergeseran mediastinum ke sisi sehat
i) Pola napas melemah pada bagian yang terkena
j) Suara amforik
k) Saat diperkusi terdengar hiperosa
l) Nyeri pleura
m) Hipotensi
Pemeriksaan radiologi: AGD : ↓ CO2, ↓ PO2, ↑ PCO2, ↑ pH

5. Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis. Jumlah udara di
luar paru dapat berubah dari waktu ke waktu. USG juga dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis. Diagnosis tension pneumotoraks kadang-kadang dibuat hanya
berdasarkan gangguan sirkulasi atau terdengarnya bunyi “hiss” akibat udara yang keluar
secara cepat saat insersi torakotomi.
6. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan pneumototrak bergantung pada jenis pneumotorak yang dialaminya,
derajat kolaps,berat ringannya gejala, penyakit dasar, dan penyulit yang terjadi saat
melaksanakan pengobatan yang meliputi :
a. Tindakan dekompresi

1) Membuat hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan luar dengan cara
; Menusukkan jarum melalui dinding dada hingga ke rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif. Hal ini disebabkan karena udara keluar melalui jarum tersebut. Cara
lainnya adalah melakukan penusukan ke rongga pleura memakai transfusion
set.
2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil :
a) Penggunaan pipa wter Sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (kateter thoraks) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan
perantara troakar atau dengan bantuan klem penjepit (pen) pemasukan
pipa plastic (kateter thoraks) dapat juga dilakukan melalui celah yang
telah dibuat dengan bantuan insisi kulit dari seala iga ke-4 pada garis
klavikula tengah. Selanjutnya, ujung sealng plastik di dada dan pipa kaca
WSD dihubungkan melalui pipa plastic lainyya. Posisi ujung pipa kaca
yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air
supaya gelembung udara dapat mudah keluar melalui perbedaan tekanan
tersebut
b) Pengisapan kontinu (continous suction)
Pengisapan dilakukan secara kontinu apabila tekanan intrapleura tetap
positif. Pengisapan ini dilakukan dengan cara memberi tekanan negatif
sebesar 10-20 cmH2O. Tujuannya adalah agar paru cepat mengaembang
dan segera terjadi perlekatan antara pleura visceral danpleura parietalis
c) Pencabutan drain
Apabila paru telah mengambang maksimal dan tekanan negatif kembali,
drain dapat dicabut. Sebelum dicabut, drain ditutup dengan cara dijepit
atau ditekuk selama 24 jam. Apabila paru tetap mengembang penuh, drain
dapat dicabut.
b. Tindakan bedah
Pembedahan dinding thoraks dengn cara operasi, maka dapat dicari lubang
yang kmenyebabkan terjadinya pneumotorak, lalu lubang tersebut di jahi. Pada
pembedahan,jika dijumpai adanya penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak
dapat mengembang, maka dapat dilakukan pengelupasan atau dekortisasi.
Pembedahan paru kembali dilakukan bila ada bagian paru yang mengalami
robekan atau bila ada fitsel dari paru yang rusak, sehingga paru tersebut tidak
berfungsi dan tidak dapat dipertahankan kembali
7. Komplikasi
a. Kegagalan respirasi
b. Kegagalan sirkulasi
c. kematian
8. Prognosis
a. ad vitam: ad bonam
b. ad Functionam: ad bonam
c. ad Santionam: ad bonam

B. FLAIL CHEST
1. Definisi
 Flail chest adalah area toraks yang”melayang”(flail) Biasanya kelainan tersebut
disebabkan oleh fraktur lebih dari dua tulang iga dengan lebih dari satu garis fraktur pada
iga yang sama.
 Fraktur iga multiple dapat menyebabkan ketidakstabilan dinding dada sehingga terjadi
pergerakan paradoks segmen dinding dada selama proses inspirasi dan ekspirasi yang
disebut flail chest
 Flail chest dapat diperburuk oleh kontusio pulmonal

Golden Diagnosis
Gerakan paradoksal dari dinding dada pada saat bernapas spontan.
2. Etiologi
Flail chest berkaitan dengan trauma toraks.biasanya sering disebabkan oleh trauma
tumpul pada toraks,misalnya akibat kecelakaan kendaraan bermotor,jatuh dari
ketinggian tindak kekerasan,atau benturan dengan energy yang besar.
3. Manifestasi Klinis
 Awalnya mungkin tidak terlihat,karena splinting(terbelat)dengan dinding dada
 Pada pasien dapat dijumpai pernapasan paradoks,yaitu pada saat inspirasi,segmen yang
bergerak bebas tersebut akan tertarik kedalam rongga dada
 Sesak napas
 Krepitasi iga,fraktur tulang rawan
 Takikardi
 Sianosis
 Os menunjukan trauma hebat
 Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain(kepala,abdomen,ekstremitas)
 .Rongga pleura tidak dapat mengembang sepenuhnya sehingga pertukaran gas di alveolus
tidak efektif.Apabila hal ini dibiarkan,maka akan terjadi anoksia berat,hiperkapnea,dan
kolaps paru.
4. Diagnosis
1) Anamnesis
Gejala: nyeri dada,sesak napas
Riwayat benturan keras yang mengenai dinding dada
2) Pemeriksaan fisik
Airway
-look : benda-benda asing dijalan napas,fraktur tulang wajah,fraktur laring,fraktur trakea
-listen : dapat bicara,ngorok,berkumur-kumur,stridor
-feel
Brithing
-look : pergerakan dinding dada asimetris,warna kulit,memar,deformitas,gerakan paradoksal
-listen : vascular paru,suara jantung,suara tambahan
Feel : krepitasi,nyeri tekan
Circulation
-Tingkat kesadaran
-Warna kulit
-Tanda-tanda laserasi
-Perlukaan eksternal
Disability
-Tingkat kesadaran
-Respon pupil
-Tanda-tanda kateralisasi
-Tingkat cedera spinal
Ekposure
3) Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen standar

-Rontgen toraks AP dan lateral dapat menentukan jumlah dan tipe costae yang fraktur
-Pada pemeriksaan foto toraks pasien dewasa dengan trauma tumpul toraks,adanya
gambaran hematotoraks,pneumotoraks atau kontusio pulmonal menunjukan hubungan
yang kuat dengan gambaran fraktur costa
 EKG
 Monitor laju napas,analisis gas darah
 Pulse oksimetri
5. Tata Laksana
Tujuan terapi adalah ventilasi adekuat,salah satunya dengan pemberian analgesic pada
penanganan awal.Stabilisasi dinding dada dilakukan dengan alatfiksasi,seperti pin dan
plat,dengan dirujuk ke spesialis bedah toraks.intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dengan
tekanan positif terkadang,dilakukan pada kelainan paru dengan takipnea,hipoksia,dan
hiperkarbia.
6. Prognosis
Dubia.
7. Komplikasi
Gagal napas,sebagai akibat adanya ineffective air movement,yang seringkali diperberat
oleh edema/kontusio paru,dan nyeri

C. HEMATHORAX
1. Definisi
Pengumpulan darah dalam rongga pleura. Apabila akumulasi darah melebihi 1500mL
atau sepertiga/lebih volume darah pasien, maka disebut hematotoraks masif. Jumlah ini dapat
dihitung dari darah yang keluar melalui selang dada atau WSD.
2. Etiologi
Penyebab utama hematotoraks adalah laserasi paru , pembuluh darah interkosta atau
arteri mamaria interna akibat trauma tajam atau tumpul. Penyebab lain berupa komplikasi
penyakit, Iatrogenik atau dapat muncul secara tiba-tiba (neoplasma, antikoagulan, emfisema
bolusa, infeksi TB, aneurisma dan lain-lain).
3. Manifestasi klinik
 Nyeri dada
 Sesak napas
4. Diagnosis
1) Anamnesis
 Perlu ditanyakan jenis trauma, mekanisme jejas, waktu terjadinya. Dsb
 Pertanyaan seputar non trauma lainnya
 Keluhan : nyeri dada dan sesak napas, serta waktu muncul dan progresi gejala.
2) Pemeriksaan fisik
 Inspeksi : gerakan napas tertinggal, pucat akibat perdarahan;
 Palpasi : fremitus sisi yang terkena lebih lemah
 Perkusi : pekak dengan batas seperti garis miring atau mungkin tidak jelas;
 Auskultasi : bunyi napas menurun atau menghilang
3) Pemeriksaan penunjang
 Rontgen dada
 Produksi cairan dari pleurosintesis atau WSD. Jumlah darah yang terkumpul
dapat dihitung dari produksi cairan tersebut.
5. Penatalaksanaan
Prinsip utama : dekompresi dengan pemasangan WSD. Pada hematotoraks masif perlu
dilakukan pengambilan volume darah dengan pemasangan akses intravena dan pemberian cairan
kristaloid cepat serta transfusi darah sambil dilakukan persiapan pemasangan WSD. Insersi
jarum (ukuran 38 French) dilakukan pada ICS 5 sebelah anterior linea midakxila ipsilateral.
Apabila keluarnya darah dari ronga pleura sebanyak 1500mL atau 200mL/jam selama 2-4
jam atau 3-5cc/kgBB/Jam selama 3 jam berturut-turut atau lebih dari 5cc/kgBB/jam harus
dilakukan torakotomi cito untuk menghentikan perdarahan karena dapat terjadi syok.
Kegawatdaruratan masif
Indikasi torakotomi adalah:
1. Perdarahan pada WSD >1500 Ml/cc
2. Perdarahan 200 cc/jam selama 2-4 jam
3. Trauma tembus torak pada daerah prekordial
4. Hemodinamik tidak stabil
5. Pasien tetap syok dengan penggantian cairan dan darah dan tidak terdapat
sumber pertdarahan di tempat lain.
JAWABAN PERTANYAAN
SKENARIO 2
1. Bagaimana penanganan korban pada skenario?

Prinsip pertolongan di air


Metode pertolongan di air adalah tindakan efektif yang diambil oleh tim
penyelamat ketika menghadapi kecelakaan di air. Terdapat 5 metode yaitu R- T - R -
G - T ( Reach - Throw -Row -Go -Tow/Carry ).
 Reach
Penolong berada di darat/pinggir dengan cara meraih/menjangkau korban
dengan atau tanpa alat.
 Throw
Penolong melemparkan alat/benda yang alat. Korban berada di dekat
penolong. mengapung ke arah korban dari darat/pinggir. Korban berada pada
posisi dimana tidak dapat dijangkau.
 Row
Penolong mendekati korban dengan alat (perahu, kano, dsb) kemudian
 Go
Penolong berenang mendekati korban dengan membawa alat bantu apung dan
akan berenang kembali ke pinggir/darat bersama dengan korban.
 Tow/Carry
Dapat dilakukan dengan (tow) atau tanpa (carry) menggunakan alat.
a. Penanganan korban di tempat kejadian

Berdasarkan AHA Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and


Emergency Cardiovascular Care 2010, RJP pada pertolongan korban near
drowning siklus A-B-C tetap dipertahankan oleh karena sifat hipoksia dari arrest
yang terjadi sehingga apabila korban hanya mengalami henti nafas dapat segera
merespon tindakan yang diberikan. Indikasi penghentian RJP adalah apabila
pasien sadar atau dapat bernafas spontan, pasien meninggal atau penolong
mengalami kelelahan.4-6
Korban terlebih dahulu dikeluarkan dari air secara hati-hati dengan praduga
cedera servikal. Para penolong tidak boleh mengansumsikan bahwa korban tidak
dapat ditolong kecuali korban sudah meninggal beberapa saat lalu. Panggil
bantuan dan defribilator (AED) jika ada, buka baju pasien, lakukan pengecekan
ABC (airway, breathing, circulation) kemudian segera lakukan RJP. Jika pasien
mengalami penurunan status mental, periksa jalur napas dari benda-benda asing
dengan manuver finger-sweep. Sesaat setelah AED datang, segera pasang alat
tersebut dengan mengeringkan badan pasien terlebih dahulu. Usahakan
pemasangan tidak mengganggu atau mengganggu kompresi seminimal mungkin.
Setelah pemberian kejutan, periksa kembali nadi dan pernapasan. Jika nadi dan
pernapasan kembali, posisikan pasien ke recovery position. Jika ritme
unshockable, RJP terus dilakukan hingga bantuan datang atau ritme shockable.5,6
Korban dapat muntah saat dilakukannya kompresi dada. Jika muntah,
miringkan tubuh korban dan bersihkan muntahannya dengan menggunakan jari,
pakaian atau disedot (suction). Jika curiga cedera spinal, korban digulingkan
sedemikian rupa sehingga kepala, leher dan badan berputar sebagai sebuah unit
untuk melindungi cedera spinal.6,8
b. Penanganan di rumah sakit

Sesampainya di IGD, pasien segera dioksigenasi untuk mencegah hipoksia.


Penanganan pada korban tenggelam pada umumnya diklasifikasikan menjadi
empat kelompok berdasarkan pada kondisi korban saat sampai di IGD.8
Tabel 2.2. Penanganan awal korban
tenggelam di IGD berdasarkan
kondisi

Penangan awal di gawat darurat

Klasifikasi
Kelompok 1: pasien tanpa inhalasi Lakukan observasi
yang jelas Analisis gas darah, monitor SaO2
Kaji hipotermia
Periksa elektrolit, apusan darah tepi,
glukosa
Rontgen dada
Kelompok 2: pasien dengan ventilasi Oksigen dengan masker atau sirkuit
yang adekuat CPAP
Pantau SaO 2 dan PaO 2
Infus infus cairan hangat
Kaji hipotermia dan asidosis
metabolik
Periksa rontgen dada, hitung darah
lengkap, urea, elektrolit, glukosa
Pindahkan ke ICU sedapat mungkin
Kelompok 3: pasien dengan ventilasi Intubasi dan ventilasi dengan oksigen
yang tidak adekuat 100%
Lanjutkan IPPV. Pertahankan PaO 2
>8 kPa
Infus intravena
Gunakan PEEP jika perlu
Pindahkan ke ICU
Kelompok 4: pasien dengan henti Bersihkan jalan napas
jantung IPPV segera
Kompresi dada
EKG segera mungkin
Kanulasi intravena
Kaji hipotermia

2. Apa definisi dari tenggelam ?

Hasil konsensus dari World Congress on Drowning tahun 2002, tenggelam diartikan
sebagai suatu proses yang menyebabkan kerusakan respirasi primer di dalam media
cair.7,8 Sementara World Health Organization mendefinisikan tenggelam sebagai suatu
proses kerusakan pernapasan akibat masuknya sebagian atau seluruhnya air ke dalam
sistem pernapasan.
3. Apa saja etiologi dari tenggelam?
Tenggelam bisa merupakan kejadian utama atau sekunder dari beberapa kejadian,
misalnya kejang, trauma kepala atau spinal, aritmia jantung, hipotermia, konsumsi
obat atau alkohol, pingsan, apneu, hiperventilasi, bunuh diri atau hipoglikemia
a. Pada infant dan anak-anak
 Kurangnya pengawasan orang dewasa
 Kolam yang kurang aman
 Kurangnya alat-alat penyelamatan air
 Kekerasan terhadap bayi dan anak-anak
b. Pada orang dewasa
 Konsumsi alcohol
 Tidak bisa berenang
 Memiliki riwayat penyakit emergency seperti penyakit
jantung,stroke,kejang
 Kelelahan saat berenang
 Kecelakaan saat menyelam, rafting, atau kegiatan di air lainnya
4. Sebutkan klasifikasi tenggelam ?
a. Berdasarkan Kondisi Paru-Paru Korban
1) Typical Drawning :Keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan
korban saat korban tenggelam.
2) Atypical Drawning
a) Dry Drowning
Keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan yang masuk ke dalam
saluran pernapasan.
b) Immersion Syndrom
Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin ( suhu
< 20°C ) yang menyebabkan terpicunya reflex vagal yang menyebabkan apneu,
bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan menyebabkan
terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral.
c) Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung
khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami trauma
kepala saat masuk ke air .
d) Delayed Dead
Keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam setelah
diselamatkan dari suatu episode tenggelam.
b. Berdasarkan Kondisi Kejadian
1) Tenggelam (Drowning)
Suatu keadaan dimana penderita akan meneguk air dalam jumlah yang banyak sehingga
air masuk ke dalam saluran pernapasan dan saluran nafas atas tepatnya bagian apiglotis akan
mengalami spasme yang mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup serta hanya dapat dilalui
oleh udara yang sangat sedikit.
2) Hampir Tenggelam (Near Drowning)
Suatu keadaan dimana penderita masih bernafas dan membatukkan air keluar.
5. Bagaimana patomekanisme tenggelam ?

Pada semua runtutuan peristiwa tenggelam di mulai dengan kepanikan dan keinginan
bernapas karena terlalu lama menahan napas. Refleks keinginan bernapas menyebabkan
air tertelan dan sebagian kecil air masuk ke paru. Aspirasi air menyebabkan spasme
laring yang leading asfiksia. Kehilangan kesadaran menyebabkan relaksasi otot dan
allows air masuk ke paru-paru. Adanya air di dalam paru menyebabkan berkembangnya
ketidakcocokan ventilasi/perfusi yang menyebabkan hipoksemia sistemik.9
Pada saat menahan napas di dalam air, gerakan spasme laring involunter terpicu
akibat adanya air di orofaring atau laring. Pada saat yang bersamaan, korban tidak dapat
menghirup udara menyebabkan kadar oksigen menurun dan retensi karbondioksida.
Akibat turunnya kadar oksigen di dalam darah, spasme laring pun terjadi, korban gasp,
hiperventilasi, memungkinkan aspirasi air lebih banyak. Hal ini jika dibiarkan terlalu
lama akan menyebabkan hipoksia.7
Seseorang yang tenggelam dapat mengalami disfungsi miokardium dan
ketidakseimbangan kadar elektrolit, henti jantung, serta iskemik SSP. Asfiksia
menyebabkan relaksasi saluran napas yang mengakibatkan air masuk ke paru semakin
banyak.
Secara teoritis, berdasarkan tonisitas cairan yang masuk ke ruang alveolus, kasus
tenggelam dibedakan menjadi tenggelam di air laut dan di air tawar.
Pada korban tenggelam di air tawar, terjadi perpindahan (absorpsi) air secara besar-
besaran dari rongga alveolus ke dalam pembuluh darah paru. Hal ini dikarenakan tekanan
osmotik di dalam pembuluh darah paru lebih tinggi daripada tekanan osmotik di dalam
alveolus. Perpindahan tersebut akan menyebabkan hemodilusi. Air akan memasuki
eritrosit, sehingga eritrosit mengalami lisis. Eritrosit yang mengalami lisis ini akan
melepaskan ion kalium ke dalam sirkulasi darah dan mengakibatkan peningkatan kadar
kalium di dalam plasma (hiperkalemi). Keadaan hiperkalemi ditambah dengan beban
sirkulasi yang meningkat akibat penyerapan air dari alveolus dapat mengakibatkan
fibrilasi ventrikel. Apabila aspirasi air cukup banyak, akan timbul hemodilusi yang hebat.
Keadaan ini akan menyebabkan curah jantung dan aliran balik vena bertambah, sehingga
mengakibatkan edema umum jaringan termasuk paru.1-3,11 Aspirasi air tawar hipotonik
dapat mengurangi konsentrasi surfaktan sehingga dapat menyebabkan instabilitas
alveolar sehingga terjadi kolaps paru.
Pada inhalasi air laut, tekanan osmotik cairan di dalam alveolus lebih besar daripada
di dalam pembuluh darah. Oleh karena itu, plasma darah akan tertarik ke dalam alveolus.
Proses ini dapat mengakibatkan berkurangnya volume intravaskular, sehingga terjadi
hipovolemia dan hemokonsentrasi. Hipovolemia mengakibatkan terjadinya penurunan
tekanan darah dengan laju nadi yang cepat, dan akhirnya timbul kematian akibat anoksia
dan insufiensi jantung dalam 3 menit. Keluarnya cairan ke dalam alveolus juga akan
mengurangi konsentrasi surfaktan. Selanjutnya, akan terjadi kerusakan alveoli dan sistem
kapiler, sehingga terjadi penurunan kapasitas residu fungsional dan edema paru. Akibat
lebih lanjut lagi, dapat terjadi atelektasis karena peningkatan tekanan permukaan alveolar.
Bila korban mengalami aspirasi atau edema paru, dapat terjadi acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Saluran respiratorik yang tersumbat oleh debris di dalam air akan
menyebabkan peningkatan tahanan saluran respiratorik dan memicu pelepasan mediator-
mediator inflamasi, sehingga terjadi vasokonstriksi yang menyebabkan proses pertukaran
gas menjadi terhambat.
Kematian akibat tenggelam di air laut, yakni 5-10 menit setelah tenggelam;Lebih lama
dibandingkan tenggelam di air tawar.
6. Bagaimana manifestasi klinis dari korban tenggelam ?
a. Basah kuyup

b. Tidak sadar

c. Peningkatan edema paru

d. Kolaps sirkulasi hipoksemia

e. Asidosis

f. Sianosis

g. Hiperkapnia

h. Hipotermi

i. Washer womens hand

7. Pemeriksaan penunjang apa saja yang dilakukan pada korban tenggelam ?


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada korban tenggelam adalah:
- Darah rutin : mengevaluasi elektrolit, kadar gula darah dan fungsi ginjal
- Analisis Gas Darah : menentukan oksigenasi dan keseimbangan asam dan basa
(asidosis, hipoksia dan hiperkapnia)
- Tes toksikologi : mengetahui adanya penggunaan alkohol/penyalahgunaan obat
- Rontgen dada dan leher : mengetahui adanya trauma/adanya cairan di paru-paru
- CT-Scan : mengetahui adanya kerusakan otak
- EKG : mengetahui fungsi jantung (iskemia, sinus takikardi/bradikardi, fibrilasi
ventrikel/asistol)
8. Bagaimana komplikasi dan prognosis dari kasus tenggelam ?
Komplikasi
Berbagai komplikasi yang dapat ditemukan pada korban tenggelam adalah
pneumonia, sindrom distres pernapasan akut, gangguan, elektrolit, cedera ginjal akut
(acute kidney injury – AKI), aritmia, rhabdomiolisis dan henti jantung
Prognosis
Korban yang dalam keadaan koma, menerima RJP terlambat, dilatasi pupil yang tetap
dan tidak respirasinya tidak spontan memiliki prognosis yang buruk. 35-60% yang
membutuhkan RJP hingga ke instalasi gawad darurat (IGD) meninggal dan 60-100%
yang selamat mengalami sekuele neurologis jangka panjang. Pada anak, kurang lebih
30% yang membutuhkan perawatan khusus di pediatric intensive care unit (PICU)
meninggal. Anak yang selamat 10-30% dapat mengalami kerusakan otak yang berat.
Morbiditas dan mortalitas tenggelam disebabkan terutama oleh spasme laring dan
cedera pulmoner akibat dari hipoksia dan asidosis. Resiko sekunder yang dapat
menyebabkan kematian pada korban tenggelam adalah sindroma distress pernapasan
akut.
Prognosis Baik bila :
- Durasi Tenggelam <5 – 10 menit
- Tidak terdapat aspirasi
- Mendapat BHD yang efektif dengan durasi <10 menit
- Respon pupil (+)
- Suhu inti tubuh 35 derajat celsius
- Nadi teraba
- TD terukur
Prognosis Buruk bila :
- Koma
- Nadi tidak teraba
- Memerlukan RJP
- Pupil Terfiksasi & Dilatasi
DAFTAR PUSTAKA

 Henry MM thompson JN, penyunting. Dalam: clinical surgery. Edisi ke-3.


Philadelphia:Elsevier Saunders, 2012.
 Broderick SR. Hemothorks. Etiology.diagnosis, and management. Thorac surg clin.
2013.
 American College of Surgeons(ACS)Committees on Trauma.Advanced trauma life
support (ATLS)student course manual.Edisi ke-9.2012
 Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-deJONG.Edisi ke-3.Jakarta :ECG
 American college of surgeons. 2004. Advance Trauma Life Support Program for
Doctors, 7th edition. USA (Diterjemahan dan dicetak oleh komisi trauma IKABI)
 Tambunan, Karmel L, dkk. 2003. Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat,
Jilid 1. Jakarta. FKUI
 Alsagaff, Hood dan Mukty Abdul H.2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Airlangga University Press : Surabaya.
 PDSPDI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan FKUI: Jakarta.
 Davey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Airlangga: Jakarta.
 Modul Departemen Kesehatan RI (DIT YANMED GIGI DASAR – PUSDIKLAT
KESEHATAN
 Stead Latha G. : First Aid For the Emergency Medicine clerkship, McGraw Hill
Companies,Inc, 2003
 Starfish Aquatics Institute: StarGuard 5th Edition: Best P ractices for Lifeguards.
2016
 Prawedana GHK and Suarjaya PP. Bantuan Hidup Dasar Dewasa Pada Near
Drowning Di Tempat Kejadian. E-Jurnal Medika Udayana 2013; 2(5):840-852.
 Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, Swor RA, Terry M, Bobrow BJ et al.
AHA Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care 2015 – Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Circulation 2015; 132: S414-S435.
 World Health Organization. Global Report on Drowning: Preventing A Leading
Killer. Geneva: World Health Organization; 2014.
 Bierens JJLM (eds.). Drowning: Prevention, Rescue, Treatment. 2nd edition. New
York: Springer; 2014.
 Drowning Causes, Symptoms, Treatment - Drowning Symptoms - eMedicineHealth
Ellar, S. 2011. Survival skills : how to survive in the wild, US, Captone Press
 Usaputro R and Yulianti K. Karakteristik serta Faktor Resiko Kematian Akibat
Tenggelam Berdasarkan Data Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah 2010 – 2012. E-Jurnal Medika Udayana 2014;3(5):551-561.
 Levin, D. L., F. C. Morriss, L. O. Toro, L. W. Brink and G. R. Turner (1993).
Drowning and near-drowning. Pediatric clinics of North America 40(2): 321
 Grenfell R. Drowning management and prevention. Australian Family Physician
2004; 31(12): 990-993.
 Cantwell GP. Drowning. Updated on [May 18, 2017]; accessed on [Dec 14, 2017].
Available URL: https://emedicine.medscape.com/article/772753-overview
 Kallas H. Drowning and near drowning. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007.
h. 321-30.
 Penanganan korban pasca tenggelam. Dr. novita intan. Yogjakarta.2009
 Pemeriksaan getah paru korbang tenggelam yang di otopsi di RSUP sanglah. Jurnal
vol.2 no 1. 2014
 Jurnal kedokteran forensik indonesia vol 14 no.3.2012
 Cantwell GP. Drowning. Updated on [May 18, 2017]; accessed on [Dec 14, 2017].
Available URL: https://emedicine.medscape.com/article/772753-overview
 Bierens JJLM (eds.). Drowning: Prevention, Rescue, Treatment. 2nd edition. New
York: Springer; 2014.

Anda mungkin juga menyukai