Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA Referat

FAKULTAS KEDOKTERAN Februari 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT : OBAT ANTIPSIKOTIK


LAPORAN KASUS : GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR EPISODE KINI DEPRESI
RINGAN ATAU SEDANG (F.31.3)

Disusun Oleh:
Cristopher Pienata
C11115538

Residen Pembimbing :
dr. Ahyani M.

Supervisor Pembimbing :
dr. Erlyn Limoa, Sp.KJ, Ph.D

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Cristopher Pienata
Stambuk : C11115538
Judul Referat : Obat Antipsikotik
Judul Lapsus : Gangguan Afektif Bipolar Episode Kini Depresi Ringan
atau Sedang (F.31.3)

Adalah benar telah menyelesaikan referat dan laporan kasus yang telah disetujui
serta telah dibacakan dihadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka
kepaniteraan klinik pada bagian ILMU KEDOKTERAN JIWA Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Februari 2019

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

dr. Erlyn Limoa, Sp.KJ, Ph.D dr. Ahyani M.

DAFTAR ISI

2
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................2
BAB I – PENDAHULUAN …………………………………………………...3
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA …………………….…..…………………..4
2.1 Pengertian obat antipsikotik ……………..………..……………………....4
2.2. Jenis-jenis obat antipsikotik ..……………………………………………..4
2.2.1. Antipsikotik generasi pertama ……..……………………...……...6
2.2.1.1. efek samping antipsikotik tipikal …………………….....9
2.2.2. Antipsikotik generasi kedua ………………………………….......16
2.2.2.1. Risperidone……………………………………..……....18
2.2.2.2. Clozapine…………………………………………….....20
2.2.2.3. Olanzapine……………………………………………...21
2.2.2.4. Quetipine…………………………………………….....23
2.2.2.5. Aripriprazole…………………………………………....23
BAB III – KESIMPULAN……………………………………………………...25
BAB IV –DAFTAR PUSTAKA………………………….………………….....26
LAPORAN KASUS.............................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN

3
Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya
halusinasi, waham, perilaku katatonik, perilaku kacau, pembicaraan kacau yang
pada umumnya disertai tilikan yang buruk. Obat antipsikotik merupakan obat yan
g ditujukan untuk sindroma psikosis.1,12
Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin
dalam berbagai jaras di otak. Obat-obatan antipsikotik dapat diklasifikasikan
dalam kelompok tipikal dan atipikal. Sindroma psikosis merupakan gejala berupa
hendaya berat dalam kemampuan menilai realitas, hendaya berat dalam fungsi-fun
gsi mental dan hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari.1
Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropika yang dapat
mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Antipsikotik tipikal
merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada reseptor pasca-
sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal
(dopamine D-2 receptor antagonist). Obat-obat antipsikotik tipikal merupakan
antagonis reseptor dopamine sehingga menahan terjadinya dopaminergik pada
jalur mesolimbik dan mesokortikal. Blokade reseptor Dopamine dapat
memberikan efek samping sindrom ekstrapiramidal. 1,2
Sedangkan, antipsikotik atipikal merupakan golongan yang selain
berafinitas terhadap Dopamine D-2 receptor juga berafinitas terhadap 5 HT2
Reseptor (Serotonin-dopamine antagonist). Pemberian obat antipsikotik tipikal
umumnya pada pasien dengan gejala positif seperti halusinasi, delusi, gangguan
isi pikir dan waham. Sedangkan untuk pasien psikotik dengan gejala negatif obat
tipikal hanya memberikan sedikit perbaikan. Sehingga pemberian obat psikotik
atipikal lebih dianjurkan karena obat atipikal memiliki kemampuan untuk
meningkatkan aktivitas dopaminergik kortikal prefrontal sehingga dengan
peningkatan aktivitas tersebut dapat memperbaiki fungsi kognitif dan gejala negatif
yang ada. 3,4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Obat Antipsikotik

4
Obat antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang
menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama untuk pemakaian
obat adalah terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya.3
Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama.
Clozapine adalah suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua
obat karena memiliki aktivitas pada reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini
dinamakan sebagai neuroleptik dan transkuiliser mayor. Istilah neuroleptik
menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat.1

2.2 Jenis-Jenis Antipsikotik 3


No Nama obat
1 Antipsikotik tipikal :
- Phenothiazine
 Rantai aliphatic : chlorpromazine
 Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine,
fluphenazine
 Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
2 Antipsikotik atipikal :
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole

Sediaan obat antipsikotik 4


No Nama obat Sediaan Dosis anjuran
1 Chlorpromazine Tab 25-100 mg 150-600mg/h
Amp 50mg/2cc 50-100 mg(im) setiap 4-6 jam
Anak anak >5 tahun ½ dosis
orang dewasa, anak anak < 5

5
tahun 1 mg/kgBB . bila perlu
diberikan 2x sehari.

2 Haloperidol Tab 0,5-1,5 mg- 5 mg 5-15 mg/h


Amp 5mg/cc 5-10mg(im) setiap 4-6 jam
Amp 50mg/cc 50 mg (im) setiap 2-4 minggu
3 Perphenazine Tab 2-4-8 mg 12-24 mg/h
4 Fluphenazine Tab 2,5-5 mg 10-15 mg/h
Vial 25 mg/cc 25 mg(im) setiap 2-4 minggu
5 Trifluoperazine Tab 1-5 mg 10-15 mg/h
6 Thioridazine Tab 50-100 mg 150-300 mg/h
7 Sulpiride Amp 100mg/2cc 3-6 amp/h
Tab 200 mg 300-600mg/h
8 Pimozide Tab 4 mg 2-4 mg/h
9 Risperidone Tab 1-2-3 mg 2-6 mg/h
Vial 25 mg/cc 25-50 mg(im) setiap 2
Vial 50 mg/cc minggu
10 Clozapine Tab 25-100 mg 25-100mg/h
11 Quetiapine Tab 25-100 mg 50-400 mg
200 mg
12 Olanzapine Tab 5-10mg 10-20 mg/h
13 Zotepine Tab 25-50 mg 75-100 mg/h
14 Aripiprazole Tab 10-15 mg 10-15 mg/h

2.2.1 ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA (APG I)


Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan
dalam dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan
antipsikotik generasi kedua (APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai
cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine
pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor
Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal.Dapat menurunkan
gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala
negative.1,5
Mekanisme kerja :Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah
memblokade dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di
sistem limbik dan sistem ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists),

6
sehingga efektif untuk gejala positif.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-
neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini
terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya
bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang
berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron-
neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan
serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari
sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus
anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat
pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh.Dengan menggunakan
antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang
berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat
berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik
tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara
menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.5,8
Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2
khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga
dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja
dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,5,8
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal,
dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan
dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan
terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan
menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.5,8
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya
gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik
dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur
nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal,

7
mengontrol movements atau pergerakan.2,8
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi
seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin
tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum,
aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.2,8
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada
keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor
kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut
kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1)
juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat
badan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,8

8
10

Kekurangan pemberian APG I:


1. Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia
2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
3. Peningkatan kadar prolaktin

2.2.1.1. Efek samping antipsikotik tipikal


Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine
ternyata memberi efek merugikan pada neurologis dan endokrinologi. Selain itu,
berbagai antipsikotik juga menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan
histaminergik jadi menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang
ditemukan pada obat-obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek
samping baik endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat
memanifestasikan dirinya sebagai galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan
efek samping ekstrapiramidal(EPS). Selanjutnya, penggunaan jangka panjang

9
dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari semua efek
samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup
pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .1,2,3

A. Efe
k

10
Samping Non neurologis1,5,8
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan
dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan
perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi
segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada
gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes
yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan
karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk
mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50
tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan
magnesium.1

2. Hipotensi ortostatik (postural)


Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic
yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya
chlorpromazine dan thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari
pertama terapi dan memiliki toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan.
Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien
terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM),
tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis
pertama dalam beberapa hari pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang
efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan sangat membantu pasien
sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada pasien
yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan
membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi
volume dengan cairan sangat membantu. Pemberian epinefrin
dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan
norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih.
Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak
menghambat adrenergic.1,5,8

11
3. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular
menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan
pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta
penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut
dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan
impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan
pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine
(bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione,
dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga
dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis
adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang
paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat
badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan
dislipidemia.Peningkatan berat badan juga didaptkan karena adanya blok pada
reseptor 5 HT2c1,5,8.

4. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah
kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan
antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi
kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah
dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama
dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai
proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan
tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih
dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan
chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit
pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1

B. Efek Samping Neurologis


Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang

12
mengganggu dan beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius.
Efek neurologis tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal.
Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada
DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok
tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi. 1,2

1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik


Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien
yang diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari
setelah awal terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau
rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel
rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes.
Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang
terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor
esensial mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor postural akibat
medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek
ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara
alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat
membiasakan diri dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng,
bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan
terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering
didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada
skizofrenia. 1,3,8
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme
akibat neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun
jarang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat
menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan
aktivitas antikolinergik yang rendah.Penghambatan transmisi dopaminergik
dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme akibat
neuroleptik. 1
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian
obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus

13
dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira
50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan
terapi.Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan
karena akan memperbuuk gejala psikotiknya.1,3,8
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala
parkinsonisme dapat terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3
bulan sehingga perlu meneruskan pemberian antikolinergik setelah
menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme pulih sepenuhnya. 1

2. Distonia Akut akibat Neuroleptik


Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi
antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi
dalam beberapa jam atau 90% pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia
disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus
yang dapat menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher
(tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang
menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan
keseluruhan tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis
okulorigik, ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe
distonia lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi.
Distonia lain berupa blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan
diartria, disfagia, dan kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis. 1,2
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin
tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada
semua antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi
tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas
dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP
mulai menurun diantara pemberian dosis. 1,3,8
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan
biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi
profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau

14
diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu menghilangkan gejala.
Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan
hipnosis dilaporkan juga efektif. 1,3

3. Sindrom Neuroleptik Maligna


Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan
yang dapat terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik.Hal ini
dapat terjadi karena reaksi idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada
long acting.1
Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia,
akinesia, mutisme, obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah
hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan
darah. Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung sel darah putih,
kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria,
kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal. 1,3
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan
suprotif dan berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x
sehari, l-dopa2x 100 mg/h atau amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan
lain, pengobatan dengan datrolene juga efektif dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb,
setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral dengan dosis 100-200
mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30 mg/hari dalam
4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada penanganan
SNM membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan kembali.1,3

4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan
peningkatan sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana
antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik
potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat
potensi tinggi. 1,3,5

5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor
dopamine tipe-1. Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling

15
menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur
biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek
merugikan tersebut dapat terjadi. 1,2

2.2.2 ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)


APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA)
atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi
antara serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang
menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi
gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat
memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor
serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah
clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.
Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 1,3,6
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:

11

1.

Mesokortikal Pathways

Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade


terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin
dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT 2A
dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas
menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan

16
APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari
reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT 2A dan
sedikit memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih
banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokortikal berkurang sehingga
menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.1,6,8

2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini
yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.1,6

3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin
dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan
serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi
akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin
menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.1,6

4. Nigrostriatal Pathways

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:


1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya
pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit

17
Alzheimer.1,6

Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:


First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping
yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga
mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik.
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan
kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya
dalam masyarakat.3

2.2.2.1 RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA
(Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Absorpsi
risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya
terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian
risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan
jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan.1
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan
APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat
memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada
penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP
2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4.
Hydroxyrisperiodne mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang
setara dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperiodne
dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini
menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian
bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk
meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini
dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4

18
sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama
carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah. 1,3,7

Indikasi :
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).1,8

Dosis :
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal 2- 6 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Dosis anjuran 25-50mg (im) setiap 2 minggu.
- Sediannya tab 1-2-3 mg. vial 25 mg, 50 mg/cc
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan
awal, jika belum terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian
oral.1,3

Efek samping: 1,3


- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi,
galaktorea, disfungsi seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi

2.2.2.2 CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya
EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi
peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang
telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal

19
bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik
yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat
mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak,
yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang
berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia
baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan
incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2
minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat
ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selam pengobatan.1,3
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna
pada pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam
setelah pemberian obat, dengan waktu paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam)
sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. Distribusi dari clozapine
dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas dari
clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga
cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8
Dosis :1,3
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan
pemberian terbagi.
- Dosis maksimal 150-600 mg / hari.
- Sediaan tablet 25 mg dan 100 mg

Efek samping : 1,3


- Granulositopeni, agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia,
leukositosis, leukemia.
- Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi,
delirium.
- Mulut kering atau hipersalivasi, penglihatan kabur, takikardi, postural
hipotensi, hipertensi.

20
Kontra indikasi :
- Ada riwayat toksik/hipersensitif.
- Gangguan fungsi Sumsum tulang.
- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.
- Koma.
- Depresi SSP.
- Ganguan jantung dan ginjal berat.
- Gangguan liver.

2.2.2.3 OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan
Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak
olanzapine dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada
pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31
jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 1,3
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai
afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D 1-D4), serotonin (5HT2A/2c),
Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik
muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan reseptor
GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di sitokrom
P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang
merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine
atau antibiotik ciprofloxacin. 1
Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar
sehingga dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek
pada EPS Olanzapine juga agonis pada 5HT1a sehingga baik untuk antianxietas
dan antidepresi. 1

Indikasi :1,3
- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.

21
Dosis :1,3
- Dosis anjuran 10-20mg/ hari.
- Sedian tablet 5-10mg
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.

Efek samping:
- Penigkatan berat badan
- Somnolen
- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor α1
- EPS dan kejang rendah
- Insiden tardive dyskinesia rendah

2.2.2.4 QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A),
reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan
α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin.
Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu
penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50% pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat,
carbamazepin dan antijamur ketokonazole.1,2,3
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood.
Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi
pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian
pada pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk
mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi postural.Waktu untuk konsentrasi
penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu paruh berkisar 3-5 jam,
setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1
Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan
300mg tablet XR (50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering
adalah somnolen, hipotensi postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi,

22
dan hipertensi. 1,3

2.2.2.5 ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada
reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin
5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya
menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-
dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya
lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter
dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan
hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter
dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin. 3,7,8
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6
dan CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini
mirip dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari
keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga
pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi
plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole
sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai
keluhan dispepsia, mual dan muntah.3,7

Indikasi : Skizofrenia.

Dosis : dosis anjuran 10—15mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg).
Pemberuannya dapat 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.

23
BAB III

KESIMPULAN

Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang


menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2).
Efek samping yang sering ditimbulkan pada pemakaian antipsikotik tipikal
seperti : gangguan pergerakan seperti distonia, tremor, bradikinesia, akatisia,
koreoatetosis, anhedonia, sedasi, peningkatan berat badan yang sedang,
disregulasi tempertur, hiperprolaktinemia, dengan galaktorea dan amenorea pada
wanita dan ginekomastia pada pria, serta disfungsi seksual pada pria dan wanita,
hipotensi postural (ortostatik), interval QT memanjang, risiko terjadi fatal aritmia.
Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal
seperti: gangguan pergerakan yang sedang, sedasi, hiperkolesterolemia,
peningkatan berat badan sedang sampai berat, hipotensi postural,
hiperprolaktinemia, kejang.

24
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
2013.Bab 12. Skizofrenia; p. 173-195.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry :
Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia :
Lippincott Williams and WOLTERS Kluwer business.2007.Bab
13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi
ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3.
Penggolongan obat psikotropik; p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi
ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3.
Obat antipsikosis; p.14-22.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin
Dunitz Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical
neuroleptics;p.35-47.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin
Dunitz Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine
Antagonism;p.50-62.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin
Dunitz Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism
concept : how individual atypical antipsychotic differ;p.63-96.
8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY. Singapore: McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome

25
and their treatments in adult psychiatric: schizophrenia and other psychotic
disorders; p.260-89.
9. Psychopharmacology Institute. First Generation of Antipsychotic.
Accessed on : 7 Februari 2019. Available at :
http://psychopharmacologyinstitute.com/antipsychotics/first-generation-
antipsychotics/
10. Medlibes online medical library. Dopamine Pathways. Accessed on : 7
Februari 2019.Available at : http://medlibes.com/entry/dopamine-
pathways
11. Episodes Self-Negotiated Unit: Side Effects of Atypical Antipsychotic
Drugs..Accessed on 9 February 2019.Available at :
http://followpics.co/episodes-self-negotiated-unit-side-effects-of-atypical-
antipsychotic-drugs
12. Sylvia M, Laurence B, Carine B, Brandt PY, Christiane G, Philippe H.
Delusions with religious content in patients with psychosis. Psychiatry.
2010;73(2):158.

26

Anda mungkin juga menyukai