Pendahuluan
1.4 Manfaat
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Sistem Klasifikasi Tanah Nasional
Sistem klasifikasi tanah nasional yang telah dimiliki cukup mudah dipelajari
dan sudah dikenal dan digunakan selama lebih dari 50 tahunan. Nama-nama jenis
tanah yang digunakan sudah cukup dikenal pengguna dan sangat mudah diingat.
Sistem ini dibangun berdasarkan pendekatan morfogenesis (kualitatif) yang terdiri
dari sifat morfologi dan proses pembentukan tanah terutama faktor bahan induk tanah
sangat berpengaruh besar. Berdasarkan asal bahan pembentuk tanahnya, tanah di alam
dibedakan atas tanah organik (tanah gambut) dan tanah mineral. Tanah organik
dibedakan lebih rinci berdasarkan tingkat dekomposisi, komposisi bahan penyusun
dan kedalaman tanahnya. Sedangkan tanah mineral dibedakan berdasarkan
perkembangan morfologinya, terdiri atas:
1. Tanah-tanah dangkal atau belum berkembang seperti Litosol, Ranker, Renzina,
Aluvial, Regosol, Grumusol;
2. Tanah-tanah yang sudah berkembang, seperti Podsolik Merah Kuning, Mediteran,
Latosol, Andosol.
Tanah Aluvial terbentuk dari bahan endapan muda hasil dari aktivitas sungai
(aluvium), pada profilnya masih tampak jelas adanya lapisan-lapisan tanah yang baru
terbentuk. Tanah ini tersebar sepanjang jalur aliran sungai atau pada dataran aluvial.
Podsolik Merah Kuning dikenal sebagai tanah masam yang terbentuk dari batuan
sedimen masam (batuliat, batupasir, batuan volkan masam), umumnya bertekstur
halus (berliat), terdapat kenaikan liat yang nyata dan agak memadat di lapisan bawah,
struktur gumpal bersudut sedang sampai besar dan teguh. Mediteran berkembang dari
batuan sedimen bersifat basa (batukapur, batuliat berkapur), yang memiliki sifat
morfologi tanah mirip Podsolik, namun berbeda pada sifat kimia tanah, terutama pada
kejenuhan basa tinggi. Sedangkan Latosol berkembang dari batuan atau bahan
volkanik bersifat intermedier sampai basa (andesitik-basal), dan Andosol dari bahan
volkan muda (abu volkan dan tufa) yang umum dijumpai pada dataran tinggi volkan
dengan ketinggian tempat diatas 1000 m dpl
Sistem klasifikasi tanah nasional perlu dimiliki dan dibangun oleh setiap
bangsa sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu tanah di Indonesia. Dalam
Kongres Nasional HITI tahun 2011 di Surakarta telah disepakati oleh para pakar tanah
untuk menggunakan kembali sistem klasifikasi tanah nasional dan secara bertahap
sistem tersebut perlu disempurnakan untuk memenuhi kebutuhan pengguna sesuai
dengan kondisi sumberdaya tanah yang ada dan perkembangan iptek tanah di
Indonesia.
2.2 Konsep Dasar Klasifikasi Tanah Nasional (Subardja dan Hikmatullah, 2013)
Konsepsi dasar membangun sistem klasifikasi tanah pada awalnya lebih
ditujukan untuk keperluan pertanian dalam arti luas. Namun akhir-akhir ini klasifikasi
tanah tidak hanya untuk pertanian tetapi juga untuk tujuan non-pertanian, antara lain
untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jalan dan bangunan gedung
(enginering), pemukiman, safty tank, bahan tambang, bahan industri, dll. Sistem
klasifikasi tanah nasional yang dibangun harus sederhana, bermanfaat bagi
masyarakat luas, mudah difahami dan dipraktekkan oleh para pengguna terutama
petani di perdesaan, serta secara ekonomi relatif murah. Hal lain yang sangat penting
lagi adalah bahwa semua jenis tanah yang ada di Indonesia dapat ditampung dalam
sistem tersebut.
Sistem klasifikasi tanah yang telah dikenal dan digunakan secara luas untuk
keperluan pemetaan tanah dan praktek pertanian di Indonesia sebelumnya dikenal
sebagai sistem Dudal & Soepraptohardjo (1957), dan kemudian direvisi oleh
Soepraptohardjo (1961, 1978) dan terakhir oleh Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981)
untuk mendukung Proyek Transmigrasi di luar Jawa. Sistem ini dibangun dengan
pendekatan kualitatif berdasarkan morfogenesis tanah, yaitu sifat morfologi tanah
dan proses pembentukannya (genesis) terutama faktor bahan induk tanah mempunyai
pengaruh yang sangat dominan.
Berdasarkan asal bahan induk pembentuknya, tanah dibedakan dalam 2
kelompok besar, yaitu tanah organik (tanah gambut) dan tanah mineral. Tanah
organik dapat dibedakan lebih rinci berdasarkan tingkat dekomposisi atau
kematangannya. Sedangkan tanah mineral dibedakan berdasarkan tingkat
perkembangannya menurut susunan horison yang terbentuk, terbagi atas (1) Tanah-
tanah yang belum berkembang, memiliki susunan horison (A)-R dan atau A-C, dan
(2) Tanah-tanah yang sudah berkembang, memiliki susunan horison lengkap AB-C.
Tata nama tanah terbagi dalam 2 tingkatan/kategori, yaitu Jenis Tanah dan Macam
Tanah. Nama-nama Jenis Tanah mengacu pada nama-nama tanah yang telah
diperkenalkan sebelumnya dalam sistem klasifikasi D&S dengan sedikit modifikasi
dan penambahan yang disesuaikan dengan perkembangan klasifikasi tanah dunia.
Sedangkan pada tingkat/kategori Macam Tanah, sebelumnya menggunakan warna
tanah pada horison penciri bawah (B-warna).
Hasil kajian beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pemberian warna tanah
pada Macam Tanah kurang mencerminkan karakteristik dan potensi tanah yang
sesungguhnya. Oleh karena itu kemudian, Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981)
menggunakan nama-nama atau istilah dari sifat atau horison penciri dari Sistem
Taksonomi Tanah USDA dan atau Unit Tanah FAO/UNESCO
2.3 Kunci Jenis Tanah
Macam Tanah merupakan turunan atau tingkat kedua dari Jenis Tanah,
ditetapkan secara berurutan menurut kunci klasifikasi tanah. Nama Macam Tanah
sebagian besar mengambil dari istilah FAO/UNESCO dan Taksonomi Tanah
dengan sedikit modifikasi sesuai perkembangan IPTEK tanah di Indonesia.
PEMBAHASAN
5. LATOSOL
Tanah lain yang mempunyai distribusi klei tinggi, remah sampai
gumpal, gembur dan warna homogen pada penampang tanah dalam dengan
batas horison terselubung, kejenuhan basa 50% atau lebih (NH4OAc) , tidak
mempunyai horison penciri (kecuali jika tertimbun 50 cm atau lebih bahan
baru) selain horison A molik atau horison B kambik, tidak memperlihatkan
gejala plintit di dalam penampang 125 cm dari permukaan, dan tidak memiliki
sifat vertik.
B. Padanan Nama Tanah menurut Berbagai Sistem Klasifikasi Tanah
(disederhanakan), kecuali untuk sistem WRB.
BAB 4
PENUTUP
Daftar Pustaka