Anda di halaman 1dari 17

FIQIH MUAMALAH

Pengertian

Secara etimologis, Fiqh Mu’amalah berasal dari bahasa Arab, yaitu Fiqh dan
Mu’amalah. Fiqh adalah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Sumber lain menyebutkan definisi Fiqh adalah
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat mengenai perilaku manusia dalam
kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci.
Mu’amalah berasal dari kata ‘amala - yu’amilu - mu’amalatan, dengan wazan fa’ala -
yufa’ilu - mufa’alatan, yang artinya bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling
mengamalkan. Secara terminologis, muamalah mempunyai dua arti, yakni arti luas dan
arti sempit. Dalam arti luas mu’amalah berarti aturan-aturan hukum Allah untuk
mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan sosial. Dan
dalam arti sempit, mu’amalah berarti aturan Allah yang wajib ditaati, yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan
mengembangkan harta benda. Jadi mu’amalah adalah menyangkut af’al ( perbuatan )
seorang hamba. Menurut pendapat lain, Mu’amalah adalah hubungan kerja antar
manusia yang dibina atas perikatan-perikatan dan perjanjian-perjanjian yang saling
merelai demi mencapai kemaslahatan bersama.

Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas, seba-gaimana


dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa , yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus
diikuti dan dita’ati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”.
Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai aturan-
aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh
dan mengembangkan harta benda atau lebih tepatnya dapa dikaakan sebagai aturan
Islam tentang kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia.[1]

Fiqih Muamalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan
hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh
dari dalil-dalil islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan
muamalah manusia berdasarkan hukum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan
yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan
mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah
dalam kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya.[2]

Ruang Lingkup

Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti
social, ekonomi, politik hukum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih
sering disebut dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu
cara bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat
pilihan di antara berbagai pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga
kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan
yang terbatas.

Dalam kajian fiqih ruang lingkup muamalah yakni; Harta, Hak Milik, Fungsi Uang, Buyu’
(tentang jual beli), Ar-Rahn (tentang pegadaian), Hiwalah (pengalihan hutang), Ash-
Shulhu (perdamaian bisnis), Adh-Dhaman (jaminan, asuransi), Syirkah (tentang
perkongsian), Wakalah (tentang per-wakilan), Wadi’ah (tentang penitipan), ‘Ariyah
(tentang peminjaman), Mudharabah (syirkah modal dan tenaga), Musaqat (syirkah
dalam pengairan kebun), Muzara’ah (kerjasama per-tanian), Kafalah (pen-jaminan),
Taflis (jatuh bangkrut), Al-Hajru (batasan ber-tindak), Ji’alah (sayembara, pemberian
fee), Qaradh (pejaman), transaksi valas, ’Urbun (panjar/DP), Ijarah (sewa-menyewa),
Riba, konsep uang dan kebi-jakan moneter, Shukuk (surat utang atau obligasi), Faraidh
(warisan), Luqthah (barang tercecer), Waqaf, Hibah, Washiat, Iqrar, Qismul fa’i wal
ghanimah (pem-bagian fa’i dan ghanimah), Qism ash-Shadaqat (tentang pembagian
zakat), Ibrak (pembebasan hutang), Muqasah (Discount), Kharaj, Jizyah,
Dharibah,Ushur, Baitul Mal dan Jihbiz, Kebijakan fiskal Islam, Keadilan Distribusi,
Perburuhan (hubungan buruh dan ma-jikan, upah buruh), monopoli, Pasar modal Islami
dan Reksadana, Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain.[3]

Prinsip Dasar Fiqih Muamalah

Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan
manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-
nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme.
Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat
sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep
dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-
nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :

1. Hukum asal dalam muamalat adalah mubah

2. Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan

3. Menetapkan harga yang kompetitif

4. Meninggalkan intervensi yang dilarang

5. Menghindari eksploitasi

6. Memberikan toleransi

7. Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah


Sedangkan menurut Dr. Muhammad 'Utsman Syabir dalam al-Mu'amalah al-Maliyah al-
Mu'ashirah fil Fiqhil Islamiy menyebutkan prinsip-prinsip itu, yaitu:

1. Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh beberapa
nash  (QS. An-Nisa`: 29),  (QS. Al-Baqarah: 188, 275)

2. Pada asalnya, hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu
model/jenis muamalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash
shahih yang melarangnya, atau model/jenis muamalah itu bertentangan dengan prinsip
muamalah Islam. Dasarnya adalah firman Allah dalam (QS. Yunus: 59).

3. Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah. Tsubut artinya


tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah. Maknanya, prinsip-prinsip Islam baik dalam
hal akidah, ibadah, maupun muamalah, bersifat tetap, konsisten, dan tidak berubah-
ubah sampai kapan pun.
Namun demikian, dalam tataran praktis, Islam—khususnya dalam muamalah—bersifat
murunah. Murunah artinya lentur, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang tsubut.

4. Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan
disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya muamalah adalah menjaga
dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Prinsip-prinsip muamalah kembali kepada
hifzhulmaal (penjagaan terhadap harta), dan itu salah satu dharuriyatul khamsah
(dharurat yang lima). Sedangkan berbagai akad—seperti jual beli, sewa menyewa, dlsb.
—disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyingkirkan kesulitan dari
mereka.

Bertolak dari sini, banyak hukum muamalah yang berjalan seiring dengan maslahat
yang dikehendaki Syari' ada padanya. Maknanya, jika maslahatnya berubah, atau
maslahatnya hilang, maka hukum muamalah itu pun berubah. Al-'Izz bin 'Abdussalam
menyatakan, "Setiap aktivitas
yang tujuan disyariatkannya tidak terwujud, aktivitas itu hukumnya batal." Dengan
bahasa yang berbeda, asy-Syathibiy sependapat dengan al-'Izz.. Asy-Syathibiy berkata,
"Memperhatikan hasil akhir dari berbagai perbuatan adalah sesuatu yang mu'tabar
(diakui) menurut syariat."[4]

Konsep Aqad Fiqih Ekonomi (Muamalah)

Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada hakekatnya adalah kumpulan
transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam,
transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu
obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang
timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau
dilakukannya sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan kerjasama
di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah
pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:

Bekerja sama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi
pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari pembiayaan
tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha
100% melalui akad mudharaba maupun pembiayaan usaha bersama melalui akad
musyaraka. Kerjasama dalam perdagangan, di mana untuk meningkatkan perdagangan
dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan
obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak
pemberi fasilitas berhak untuk mendapatjan bagi hasil (keuntungan) yang dapat
berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.

Kerja sama dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari
penggunaan asset. Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam
bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun
adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara
bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah
adalah:

1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli,


penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.

2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.

3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab)


bersama dengan kesepakatan menerima (kabul).

Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya
menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang
melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau
tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.

Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa
dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi
dapat dibedakan kedalam: 1. obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang sudah
jelas keberadaannya atau segera dapat diperoleh manfaatnya. 2. obyek yang masih
merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak
tunai.

Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai berikut :

1. Aqad mudharaba ( Kerjasama Bagi Hasil )

I.  Pengertian
Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal dengan seseorang, yang pakar
dalam berdagang, di dalam fiqh islam disebut dengan mudharobah, yang oleh ulama
fiqh Hijaz menyebutnya dengan qiradh.

Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharobah atau qiradh dengan:

Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk


diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi
menurut kesepakatan bersama.

Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya
oleh pemilik modal. Definisinya ini menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja
(pakar dagang) itu adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.

II.           Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya

Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu
antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara
pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya,
sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal
untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam
memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan
seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.

Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini
adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:

…dan sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah…

Dan surat al-Baqarah, 2: 198 berikut:

   Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari
Tuhanmu…

   Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang
secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian
sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang
dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya:

   Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada
seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia
mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga
jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit
tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal
dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini
sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR ath-Thabrani).

III.        Rukun dan Syarat mudharabah

Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan


rukun akad mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan  bahwa rukun mudharabah
adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :

1.      Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )

2.      Modal, pekerjaan, dan keuntungan

3.      Shigat ( ijab qabul)

Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur
ulama di atas adalah:

a.       Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti
hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan
mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat
seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.

b.      Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas jumlahnya,


(3)tunai, (4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu,
jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk
menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh dijadikan
modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal
pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang
sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut
ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi,
ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik
modal, asal tidak menganggu kelancaran usaha itu.

c.       Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan


harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti
setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas,
menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik
modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah,
syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.

Atas dasar syarat – syarat di atas, ulama Hanafiyah membagi bentukbakad


mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah )
dan mudharabah fasidah ( mudharabah yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan
itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja
hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan
pedagang di daerah itu, sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal.
Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap
seperti dalam mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan bagian
keuntungan.

IV.        Macam-macam Mudharabah

Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama
fikih membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah
(penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah
muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam
mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama
profitable. Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-
ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal menentukan
barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.

   Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai
akibat sebagai berikut :

    Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi
seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
    Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal
selama profitable.
    Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan
keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal
tidak mendapatkan apa-apa.

2. Aqad musyarakah

I. Pengertian

Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu


dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan . Asy-syirkah termasuk salah satu
bentuk kerja sama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif
disebut dengan perserikatan dagang.

Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh para
ulama fiqh. Pertama dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, asy-syirkah
adalah :

Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama
terhadap harta mereka.

Kedua, definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Menurut
mereka, asy-syirkah adalah :
Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.

Pada dasarnya definisi – definisi yang dikemukakan para ulama fiqh di atas hanya
berbeda secara redaksioanl, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah
sama, yaitu ikatan kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam
perdagangan. Dengan adanya akad asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak,
semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu,
dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.

II.           Dasar hukum asy-syirkah

Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman
Allah dalam surat an-Nisa’, 4: 12 yang berbunyi :
...maka mereka berserikat dalam sepertiga harta...

Ayat ini menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian
warisan. Dalam ayat lain Allah berfirman :

 ...sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang – orang beriman dan
mengerjakan amal – amal saleh; dan amat sedikit mereka ini...

Atas dasar ayat dan hadis di atas para ulama fiqh menyatakan bahwa akad asy-syirkah
mempunyai landasan yang kuat dalam agama Islam.

III.        Macam – macam asy-Syirkah

Para ulam fiqh membagi asy-syirkah ke dalam dua bentuk, yaitu; 1) syirkah al-Amlak
( perserikatan dalam pemilikan ). (2) Syirkah al-‘Uquq ( perserikatan berdasarkan suatu
akad ).

1.      Syirkah al-Amlak

Syirkah dalam bentuk ini, menurut ulama fiqh, adalah dua orang atau lebih memiliki
harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy-syirkah. Asy-syirkah dalam
kategori ini, selanjutnya mereka bagi pula menjadi dua bentuk, yaitu:

a.       Syirkah ikhtiar ( perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat ), yaitu


perserikatan yang muncul akibat tindakan hokum orang yang berserikat, seperti dua
orang sepakat membeli sebuah barang, atau mereka menerima harta hibah, wasiat,
atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah, hibah,
wasiat, awakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini,
harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan, diwakafkan, atau yang diwariskan
orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
b.      Syirkah jabar ( perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan
orang yang berserikat ), yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau
lebih, tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari
seorang yang wafat. Harta itu menjadi milik bersama orang – orang yang menerima
warisan itu.

    Dalam kedua bentuk syirkah al-Amlak, menurut para pakar fiqh, status harta masing-
masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri
sendiri secar hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta
serikat itu, harus ada izin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan
atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan
syirkah al-amlak ini dibahas oleh para ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris,
hibah dan wakaf.

2.      Syirkah al-Uquq

Syirkah dalam bentuk ini maksudnya adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih
untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Terdapat
perbedaan pendapat para ulam fiqh tentang bentuk-bentuk serikat yang termasuk ke
dalam syirkah al-‘uquq.

Ulama Hanabilah membaginya ke dalam lima bentuk, yaitu :

a.       Syirkah al-‘inan ( penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang
tidak selalu sama jumlahnya ).

b.      Syirkah al-mufawadhah ( perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk


kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan
keuntungannya dibagi rata ).

c.       Syirkah al-abdan ( perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi


bersama).

d.      Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).

e.       Syirkah al-mudharabah ( bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang


yang punya kepakaran dagang, dan keuntungannya dibagi bersama)

Ulama Malikiyah dan dan Syafi’iyah membaginya ke dalam empat bentuk :

a.       Syirkah al-‘inan.

b.      Syirkah al-mufawadhah.

c.       Syirkah al-abdan.
d.      Syirkah al-wujuh.

Ulama Hanafiyah membagi syirkah ke dalam tiga bentuk yaitu :

a.       Syirkah al-anwal ( perserikatan dalam modal/harta ).

b.      Syirkah al-a’mal ( perserikatan dalam kerja ).

c.       Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).

IV.        Syarat – syarat asy-syirkah

Perserikatan ke dalam dua bentuknya di atas, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah
al-‘uquq mempunyai syarat – syarat umum, yaitu:

a.       Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah satu
pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu, dengan izin pihak lain.
Dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.

b.      Persentase pembagian keuntungan untuk masing – masing pihak yang berserikat


dijelaskan ketika berlangsungnya akad.

c.       Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta
lain.

V.       Rukun – rukun Musyarakah

a.       Para pihak yang bersyirkah.

b.      Porsi kerjasama.

c.       Proyek/usaha ( masyru’ ).

d.      Ijab qabul ( sighat ).

e.       Nisbah bagi hasil.

3. Aqad Muzara’ah

I.  Pengertian

Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik


tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminology fiqh terdapat beberapa
definisi al-muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikan dengan:

Perserikatan dalam pertanian.

Menurut ulama Hanabilah mendefinisikan dengan:

Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi
berdua.

Kedua definisi ini dalam Indonesia disebut sebagai “paroan sawah”  Penduduk Irak
menyebutnya “al-Mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam
berasal dari pemilik tanah. Imam asy-Syafi’iyah mendefinisikan al-mukhabarah dengan:

Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan penggarap tanah.

Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah,
sedang dalam al-muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

II.           Hukum Akad al-muzara’ah

Dalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam
Abu Hanifah ( 80-150 H/699-767 M ) dan Zufar ibn Huzail ( 728-774 M ), pakar fiqh
Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-
muzara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal.

Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:

Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn
Abdillah ).

Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzara’ah, sekalipun dalam al-
mukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.

Dalam riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan:

Rasulallah melarang al-muzara’ah ( HR Muslim ).

III.        Rukun al-Muzara’ah

Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan


syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut
mereka adalah:

a.       Pemilik tanah.
b.      Petani penggarap.

c.       Obyek al-muzara’ah.

d.      Ijab dan qabul.

IV.        Syarat-syarat al-Muzara’ah

Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut


orang yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah yang dikerjakan, hasil yang akan
dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.

Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai
dengan kebiasaan tanah itu—benih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:

a.       Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan.
Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak dimungkinkan untuk
dijadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.

b.      Batas-batas tanah itu jelas.

c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila


disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah
tidak sah.

Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen adalah sebagai berikut:

a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihaki harus jelas.

b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada
pengkhususan.

c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat


sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan
penentuanya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu
kuintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh
dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui kumlah itu.

V.           Akibat akad al-Muzara’ah

Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah
memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:

a.       Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan


pertanian itu.
b.      Biaya pertanian seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan
tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanh sesuai dengan prosentase bagian
masing-masing.

Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

4. Aqad ijarah

Pengertian Ijarah                                            

      Menurut etimologi, ijarah adalah : menjual manfaat . demikian pula artinya menurut
etimologi syarat . untuk lebih jelasnya, dibawah ini dikmukakan beberapa definisi ijarah
menurut pendapat beberapa ulama fiqih.

a). Ulama hanafiah artinya akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.

b). Ulama Asy-Syafi’iyah artinya akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung
maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolhan dengan penganti
tertentu.

c). Ulama Malikiah dan Hanabilah artinya: Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang
mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.

      Ada yang menerjemahkan sebagai upah mengupah. Menurut penulis keduanya


benar, sebab penulis membagi ijarah menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan
ijarah atas benda.

2. Syarat Ijarah

a)      Syarat terjadinya akad

Syarat ini berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad. Syarat ini sering disebut
“inqad..menurut Ulama Hanafiah ,’aqid disyaratkan harus berakal dan mumayyiz
(minimal 7 tahun), serta tidak syaratkan tidak baliq. Akan tetapi, jika bukan barang
miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah, tetapi bergantung atas
keridhoan walinya.

b)      Syarat pelaksanaan Ijarah (An-Nafadz)

Agar izarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh Aqid atau ia memiliki kekuasaan
penuh  untuk akad (ahliah).

c)      Syarat sah Ijarah


      Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan aqid (orang yang aqad), ma’qud’alaih
(barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah) dan zat akad (nafs Al-‘Akad), yaitu :

1. Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad.

2. Ma’qud ‘alaih bermamfaat dengan jelas.

3. Ma;qud ‘alaih harus memenuhi secara syara.

4. Kemamfaatan benda dibolehkan menurut syara tidak menyewa untuk pekerjaan        


yang di wajibkan kepadanya.

5. Tidak mengambil manfaat bagi diri orang disewa. Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai
dengan keadaan yang umum.

d)     Syarat barang sewaan.

e)      Syarat ujrah.

v  Berupa harta tetap yang dapat diketahui.

v  Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah
untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.

f)       Syaratyang kembali pada rukun akad.

g)      Syarat kelaziman

1. Ma’qud ‘alaih terhindar dari cacat.

2. Tidak ada ujur yang dapat membatahkan akad.

3.   Rukun Ijarah

            Menurut Ulama hanafiah, rukun Ijarah adalah Ijab dan Qobul, antara lain
dengan menggunakan kalimat al-ijarah, alistigfar, al-ikhtiar, dan al-ikra. Menurut Jumhur
Ulama, rukun Ijarah ada 4, yaitu: Aqid, Shighat akad, Ujrah(upah), Manfaat.

4. Sifat dan Hukum Ijarah                             

1.      Sifat Ijarah

Menurut ulama hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman Allah
SWT :                                              
yang boleh dibatalkan, pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya bukan didasarkan
pada pemenuhan akad.
2.       Hukum Ijarah

Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemamfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah
bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk jual
beli pertukaran hanya saja dengan kemamfaatan. Hukum ijarah rusak, menurut ulama
hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan
atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad, ini bila
kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan
penyewa tidakmemberi tahukan jenis pekerjaan perjanjiannya upah harus diberikan
semestinya.

5. Pembagian dan Hukum Ijarah

Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa dan ijarah atas
pekerjaan atau upah mengupah.

a.       Hukum Sewa-menyewa

Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah kamar, dan lain-lain, tetapi,
dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.

1. Ketetapan hokum akad dalam ijarah

2. Cara memanpaatkan barang sewaan.

3. Perbaikan barang sewaan.

4. Kewajiban penyewa setelah hais masa sewa

b.  hukum upah-mengupah

            Upah mengupah atau ijrah ‘ala al’a’mal yakni jual beli jasa, biasanya berlaku
dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah dan lain-lain.
Ijarah ‘alal-a’mal terbagi dua yaitu:

1. Ijarah khusus

            Ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang  


bekerjatidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberikan upah.

2. Ijarah musytarik

            Ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama.


Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.
 

Penutup

Secara etimologis, Fiqh Mu’amalah berasal dari bahasa Arab, yaitu Fiqh dan
Mu’amalah. Fiqh adalah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Muammalah sendiri berasal dari kata ‘amala -
yu’amilu - mu’amalatan, dengan wazan fa’ala - yufa’ilu - mufa’alatan, yang artinya
bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan. Secara terminologis,
muamalah mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas
mu’amalah berarti aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya
dengan urusan duniawi/pergaulan social.

Kajian fiqih ruang lingkup muamalah diantaranya melewatiSyirkah (tentang


perkongsian), Wakalah (tentang per-wakilan), Wadi’ah (tentang penitipan), ‘Ariyah
(tentang peminjaman), Mudharabah (syirkah modal dan tenaga), Musaqat (syirkah
dalam pengairan kebun), Muzara’ah (kerjasama per-tanian), Kafalah (pen-jaminan),
Qaradh (pejaman), Ijarah (sewa-menyewa), dan lain sebagainya.

Semua akad dan ruang lingkup pada muammalah mempunyai prinsip kaidah,
diantaranya: Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh
beberapa nash  (QS. An-Nisa`: 29),  (QS. Al-Baqarah: 188, 275), Pada asalnya, hukum
segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu model/jenis muamalah pun yang
tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash shahih yang melarangnya, atau
model/jenis muamalah itu bertentangan dengan prinsip muamalah Islam, Fiqh
mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah, Fiqh muamalah dibangun
di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan disyariatkannya suatu hukum).

 
DAFTAR PUSTAKA

1.      Mas’adi, Ghufron. 2002. Fikih Muamalah Kontekstual. Pt. Raja Grafindo Persada :
Jakarta

2.      H.Hendi Suhendi,Msi. Fiqh Muamalah, Raja grafindo persada.Jakarta2007

3.    Lihat:Mas’adi, Ghufron. 2002. Fikih Muamalah Kontekstual. Pt. Raja Grafindo


Persada : Jakarta.

4.      Drs. M. Yatimin Abdullah, MA, Studi Islam Kontemporer, Cet I, Amzah, Jakarta.

5.      Latif Azharudin. 2005. Fiqh Muamalat. UIN Jakarta Press: Jakarta.

6.      Haroen Nasrun . 2000. Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama: Jakarta.

7.      http://hadypradipta.blog.ekonomisyariah.net/2009/01/06/fiqih-muamalah/
8
http://an-nuur.org/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=14&Itemid=30

9.      H Ibrahim Lubis. 1995. Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Kalam Mulia: Jakarta.

10.  Azhar Basyir, Ahmad. 2004. Asas-asas Hukum Muamalah. Uii Press: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai