PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang (1,2,3)
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah suatu kondisi inflamasi pada telinga
tengah yang disebabkan oleh perforasi gendang telinga dan mengakibatkan pengeluaran
sekret telinga yang berulang. Penyakit OMSK sendiri biasanya dimulai dari usia anak-
anak yang disebabkan oleh perforasi membran timpani yang spontan dari infeksi akut
telinga tengah yang dikenal dengan sebutan Otitis Media Akut (OMA) atau sebagai gejala
sisa dari otitis media yang lebih ringan yaitu otitis media dengan efusi.(1)
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan penyakit yang sering dijumpai di
masyarakat hingga saat ini, terutama di negara- negara yang sedang berkembang. Oleh
karena itu diperlukan penatalaksanaan OMSK secara optimal untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kehilangan pendengaran yang membutuhkan pembedahan. (1,2)
Penyakit ini berpotensi serius menyebabkan komplikasi ekstra dan intrakranial
seperti meningitis. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak- anak dengan sosial ekonomi
rendah. Penyebeb mikroorganisme terbanyak OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, Proteus mirabilis, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli,
Aspergillus spp dan Candida spp tetapi mikroorganisme ini dapat bervariasi sesuai dengan
letak geografis.(1,2)
OMSK dapat terbagi atas 2, yaitu otitis media supuratif kronik tubotimpani dan otitis
media supuratif kronik atikoantral. OMSK atikoantral merupakan bentuk yang paling
berbahaya karena sifatnya yang dapat mendestruksi jaringan sekitar sehingga dapat
menimbulkan komplikasi yang lebih berat.(1,3)
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri atas: membran timpani, kavum timpani, processus mastoideus,
dan tuba eustachius.(1,2)
2
2.1.2 Kavum Timpani (1,4,5)
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior atau vertikal 15 mm,
sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu :
bagian atap, lantai, dinding lateral, medial, anterior, dan posterior.
Kavum timpani terdiri dari :
a. Tulang-tulang pendengaran, terbagi atas: malleus (hammer/martil), inkus
(anvil/landasan), stapes (stirrup/pelana).
b. Otot, terdiri atas: otot tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan otot stapedius
(muskulus stapedius).
c. Saraf korda timpani. d. Saraf pleksus timpanikus.
5
Gambar 2. Patogenesis Otitis Media(2,3)
6
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media
akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan berkembangnya penyakit ke arah keadaan kronis.
4. Infeksi.
Proses infeksi pada otitis media supuratif kronis sering disebabkan oleh campuran
mikroorganisme aerobik dan anaerobik yang multiresisten terhadap standar yang ada
saat ini. Kuman penyebab yang sering dijumpai pada OMSK ialah Pseudomonas
aeruginosa sekitar 50%, Proteus sp. 20% dan Staphylococcus aureus 25%. Jenis
bakteri yang ditemukan pada OMSK agak sedikit berbeda dengan kebanyakan
infeksi telinga lain, karena bakteri yang ditemukan pada OMSK pada umumnya
berasal dari luar yang masuk ke lubang perforasi tadi.
5. Infeksi saluran nafas atas.
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya
daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga
tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun.
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insidens lebih besar terhadap
otitis media kronis.
7. Alergi.
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding
yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksintoksinnya, namun hal ini
belum terbukti kebenarannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius.
Hal ini terjadi pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh
edema.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada
OMSK :
a) Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi
sekret telinga purulen berlanjut.
b) Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada
perforasi.
7
c) Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme
migrasi epitel. Pada pinggir perforasi, epitel skuamous dapat mengalami
pertumbuhan yang cepat di atas sisi medial dari membran timpani yang hal ini juga
mencegah penutupan spontan dari perforasi.
8
labirin oleh kolesteatom. Pada penderita yang sensitif, keluhan vertigo dapat terjadi
karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga
akan menyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi
serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat
berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis
dan dari sana mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada
kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif
dan negatif pada membran timpani.
9
di daerah pedalaman provinsi Natal, Afrika Selatan, abses retroaurikuler merupakan
komplikasi ekstrakranial yang paling sering terjadi pada anak-anak di bawah 6 tahun yang
mengidap otitis media.
Pasien abses retroaurikuler mengeluh nyeri telinga, otorea, dan gangguan
pendengaran yang makin bertambah. Pada pemeriksaan otologik, akan tampak otorea
melalui perforasi membran timpani, kadang-kadang saging dinding posterior liang telinga.
Di daerah retroaurikular, akan terlihat gambaran sesuai dengan stadium penyakit. Bila
belum terbentuk abses, akan terlihat daerah yang hiperemis disertai nyeri tekan. Bila telah
teraba fluktuasi di daerah retroaurikular, menandakan abses sudah terbentuk. Bila sulkus
retroaurikular sudah hilang, menandakan bahwa absesnya telah menembus periosteum
menjadi abses subkutis. Daun telinga akan terdorong ke depan dan ke bawah.
Walaupun insidens dan prevalensi kasus otitis media, termasuk abses retroaurikuler
telah menurun drastis, dokter tentunya harus mampu mendiagnosis dan melakukan
manajemen terhadap abses retroaurikuler terkait kegawatan kasus ini. Oleh karena itu,
dokter umum harus memiliki pemahaman secara menyeluruh tentang abses retroaurikuler.
10
adalah abses yang ruptur ke depan dinding prosesus mastoid menyebabkan perjalanan
abses di sepanjang m. Sternokleidomastoideus. Abses Citelli adalah abses subperiosteal
yang menyebar melalui aspek medial dari kavum mastoid ke dalam fosa digastrikus dan
merupakan perluasan dari infeksi pada mastoid. Lokalisasi penjebolan nanah pada
mastoiditis bergantung dari luasnya pneumatisasi. Beberapa abses yang berhubungan
dengan mastoiditis adalah abses retro-aurikuler, abses zygomaticus, abses Bezold dan
abses Luc.
Gambar 6. Daun telinga terdorong ke lateral dan inferior dijumpai pada kasus abses
retroaurikuler terkait dengan mastoiditis koalesens(1,2,5)
11
2.7.2 Curiga Suatu Keganasan (3,4)
Otitis media supuratif tipe maligna (tipe bahaya) merupakan otitis media supuratif
kronik yang disertai dengan kolesteatoma. Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang
berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga
kolesteatoma bertambah besar. Letak perforasi pada otitis media supuratif tipe bahaya
marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada otitis media
supuratif dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal
timbul pada otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Pada kasus yang sudah lanjut, dapat
terlihat abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga), polip atau jaringan granulasi di
liang telinga luar yang berasal dari dalam liang telinga tengah, terlihat kolesteatoma (sering
terlihat di epitimpanum), sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)
atau terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.
Abses retroaurikular akibat mastoiditis harus dibedakan dari limfadenitis
postaurikular yang disebabkan oleh infeksi pada kulit kepala. Limfadenitis postaurikular
tidak menyebabkan gangguan pada telinga tengah dan liang telinga. Erisipelas kadang-
kadang terjadi di daerah retroaurikular, namun tidak menyebabkan kelainan pada membran
timpani ataupun telinga tengah.
12
memberikan larutan peroksida 3% tetes telinga, kemudian membersihkan pus di liang
telinga dengan kapas lidi steril atau dengan penghisap.
Pengobatan medikamentosa meliputi antibiotika dosis tinggi dan analgetika. Bila
memungkinkan, sebaiknya diambil dulu sediaan untuk pemeriksaan mikrobiologi sebelum
pemberian antibiotik dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan tersebut.
Antibiotika tahap awal dapat diberikan ampisilin oral atau penisilin parenteral dosis tinggi.
Pemberian antibiotik tergantung pada berbagai keadaan, misalnya hipersensitivitas pasien
terhadap preparat penisilin, resistensi kuman, beratnya penyakit, dan sebagainya.
Insisi abses retroaurikula biasanya perlu dilakukan sebelum mastoidektomi. Insisi
abses dilakukan untuk melepaskan tekanan pus di telinga tengah untuk mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut. Pada pasien dengan prosesus mastoid sudah
berkembang, insisi dilakukan pada tempat fluktuasi paling nyata. Jika keluar pus,
sebaiknya diambil swab untuk pemeriksaan mikrobiologi, kemudian pus dievakuasi
sebaik-baiknya bila mungkin dengan alat penghisap. Di tempat insisi, dipasangkan salir
yang adekuat untuk menjamin kelancaran keluarnya pus. Pada anak kecil dengan prosesus
mastoid yang belum berkembang, insisi tersebut harus hati-hati dengan mengingat bahwa
letak nervus fasialis dangkal sehingga insisi dilakukan agak tinggi dengan menghindari
bagian bawah mastoid.
Pada kasus mastoiditis dengan abses retroaurikuler, insisi dan drainase abses diikuti
dengan mastoidektomi sangat dianjurkan. Pada keadaan tertentu, terapi abses
retroaurikuler hanya meliputi pengunaan antibiotik jangka panjang dan drainase abses
tanpa mastoidektomi. Pada otitis media supuratif kronik dengan abses retroaurikuler, terapi
medikamentosa harus diiringi dengan tindakan mastoidektomi.
13
BAB 3
KESIMPULAN
Definisi otitis media supuratif kronik (OMSK) menurut WHO adalah adanya otorea yang
menetap atau rekuren selama lebih dari 2 minggu dengan perforasi membran timpani. Berdasarkan
ICD-10, diagnosis OMSK ditegakkan jika terdapat perforasi membran timpani disertai pengeluaran
sekret terjadi selama minimal dalam 6 minggu dimana sekret yang keluar dari telinga tengah ke
telinga luar dapat berlangsung terus-menerus atau hilang timbul. Menurut Buku THT FKUI edisi
keenam, Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang
timbul yang berlangsung lebih dari 2 bulan.
Faktor risiko timbulnya OMSK adalah gangguan fungsi tuba eustachius akibat infeksi
hidung dan tenggorokan yang berlangsung kronik atau sering berulang, obstruksi tuba,
pembentukan jaringan ikat, penebalan mukosa, polip, adanya jaringan granulasi, timpanosklerosis,
OMSK juga lebih mudah terjadi pada orang yang pernah terkena penyakit telinga pada masa kanak-
kanak, perforasi membran timpani persisten, terjadinya metaplasia pada telinga tengah, otitis media
yang virulen, memiliki alergi, keadaan imunitas yang menurun.
Abses retroaurikuler merupakan abses yang paling sering terbentuk di mastoid. Abses
retroaurikuler merupakan komplikasi mastoiditis dan otitis media kronik supuratif yang cukup
sering terjadi. Pada mastoiditis, abses retroaurikuler terjadi akibat perluasan langsung infeksi yang
menyebabkan destruksi tulang atau flebitis dan periflebitis vena-vena mastoid. Infeksi jaringan
lunak menyebabkan nekrosis jaringan dan pembentukan abses. Jaringan lunak sekitar akan
mengalami penebalan, inflamasi, eritema. Pada perabaan, dijumpai adanya nyeri tekan dan
fluktuasi. Pada kasus otitis media kronik supuratif, abses retroaurikuler terjadi akibat perluasan
proses erosi tulang ke posterior.
Abses retroaurikuler dapat menyertai otitis media supuratif kronik tipe maligna yang
disertai dengan kolesteatoma dan letak perforasi umumnya marginal atau di atik. Pada kasus yang
sudah lanjut, dapat terlihat abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga), polip atau jaringan
granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam liang telinga tengah, terlihat kolesteatoma
(sering terlihat di epitimpanum), sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma) atau
terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.
Pengobatan abses retroaurikular, meliputi pembersihan liang telinga untuk menjamin
drainase yang baik dari pus telinga tengah, medikamentosa, serta insisi abses retroaurikular.
Pembersihan liang telinga harus dilakukan secara teratur, misalnya dengan memberikan larutan
14
peroksida 3% tetes telinga, kemudian membersihkan pus di liang telinga dengan kapas lidi steril
atau dengan penghisap. Pengobatan medikamentosa meliputi antibiotika dosis tinggi dan analgetika.
Pada kasus mastoiditis dengan abses retroaurikuler, kasus eksisi dan drainase abses diikuti
dengan mastoidektomi sangat dianjurkan. Pada keadaan tertentu, terapi abses retroaurikuler hanya
meliputi pengunaan antibiotik jangka panjang dan drainase abses tanpa mastoidektomi. Pada otitis
media supuratif kronik dengan abses retroaurikuler, terapi medikamentosa harus diiringi dengan
tindakan mastoidektomi.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Helmi. Anatomi bedah regio temporal. Otitis media supuratif kronis, pengetahuan dasar,
terapi medik, masoidektomi, timpanoplasti. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. h. 4-12.
2. Sedjawidada R. Historia naturalis dari otitis media. Dalam: Makalah simposium manajemen
operatif pada otitis media kronik. Jakarta; 1981. h. 115.
3. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000. h. 62-74.
4. Djaafar Z.A., dkk, Kelainan Telinga Tengah. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
5. Soepardi, E.A, dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007. h. 64 – 74
16
DAFTAR ISI
BAB 1...................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
BAB 2...................................................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................................2
2.2 Definisi..................................................................................................................................4
2.3 Klasifikasi..............................................................................................................................4
2.4 Patofisiologi...........................................................................................................................5
2.7.1 Etiologi.............................................................................................................................10
2.7.4 Penatalaksanaan...............................................................................................................12
BAB 3.................................................................................................................................................14
KESIMPULAN..................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................16