Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang (1,2,3)
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah suatu kondisi inflamasi pada telinga
tengah yang disebabkan oleh perforasi gendang telinga dan mengakibatkan pengeluaran
sekret telinga yang berulang. Penyakit OMSK sendiri biasanya dimulai dari usia anak-
anak yang disebabkan oleh perforasi membran timpani yang spontan dari infeksi akut
telinga tengah yang dikenal dengan sebutan Otitis Media Akut (OMA) atau sebagai gejala
sisa dari otitis media yang lebih ringan yaitu otitis media dengan efusi.(1)
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan penyakit yang sering dijumpai di
masyarakat hingga saat ini, terutama di negara- negara yang sedang berkembang. Oleh
karena itu diperlukan penatalaksanaan OMSK secara optimal untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kehilangan pendengaran yang membutuhkan pembedahan. (1,2)
Penyakit ini berpotensi serius menyebabkan komplikasi ekstra dan intrakranial
seperti meningitis. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak- anak dengan sosial ekonomi
rendah. Penyebeb mikroorganisme terbanyak OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, Proteus mirabilis, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli,
Aspergillus spp dan Candida spp tetapi mikroorganisme ini dapat bervariasi sesuai dengan
letak geografis.(1,2)
OMSK dapat terbagi atas 2, yaitu otitis media supuratif kronik tubotimpani dan otitis
media supuratif kronik atikoantral. OMSK atikoantral merupakan bentuk yang paling
berbahaya karena sifatnya yang dapat mendestruksi jaringan sekitar sehingga dapat
menimbulkan komplikasi yang lebih berat.(1,3)

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri atas: membran timpani, kavum timpani, processus mastoideus,
dan tuba eustachius.(1,2)

2.1.1 Membran Timpani (1,4,5)


Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan memisahkan
liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang vertikal rata-rata 9-
10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm
.Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang
arahnya dari belakang luar ke muka dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan
horizontal. Membran timpani berbentuk kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut
menonjol ke arah kavum timpani yang dinamakan umbo. Dari umbo ke muka bawah
tampak refleks cahaya (cone of ligt).
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu : a) Stratum kutaneum (lapisan
epitel) berasal dari liang telinga. b) Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum
timpani. c) Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan
mukosum.
Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian :
a. Pars tensa Bagian terbesar dari membran timpani yang merupakan permukaan yang
tegang dan bergetar, sekelilingnya menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada
sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.
b. Pars flaksida atau membran Shrapnell. Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis
dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu : Plika maleolaris anterior
(lipatan muka). Plika maleolaris posterior (lipatan belakang). Membran timpani
terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang dinamakan sulkus timpanikus.
Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus ini dan bagian ini disebut incisura
timpanika (rivini). Permukaan luar dari membran timpani disarafi oleh cabang nervus
aurikulo temporalis dari nervus mandibula dan nervus vagus. Permukaan dalam
disarafi oleh nervus timpani cabang dari nervus glossofaringeal. Aliran darah
membrana timpani berasal dari permukaan luar dan dalam. Pembuluh-pembuluh
epidermal berasal dari aurikula yang merupakan cabang dari arteri maksilaris interna.
Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh arteri timpani anterior cabang dari
arteri maksilaris interna dan oleh stylomastoid cabang dari arteri aurikula posterior.

2
2.1.2 Kavum Timpani (1,4,5)
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior atau vertikal 15 mm,
sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu :
bagian atap, lantai, dinding lateral, medial, anterior, dan posterior.
Kavum timpani terdiri dari :
a. Tulang-tulang pendengaran, terbagi atas: malleus (hammer/martil), inkus
(anvil/landasan), stapes (stirrup/pelana).
b. Otot, terdiri atas: otot tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan otot stapedius
(muskulus stapedius).
c. Saraf korda timpani. d. Saraf pleksus timpanikus.

2.1.3 Prosesus Mastoideus (1,4,5)


Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal.
Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii
posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah duramater pada daerah ini. Pada dinding
anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.

2.1.4 Tuba Eustachius (1,4,5)


Tuba eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani berbentuk seperti
huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan
nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke bawah, depan dan
medial dari telinga tengah dan pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm. Tuba terdiri
dari 2 bagian yaitu : a. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3
bagian). b. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).

Gambar 1. Anatomi Telinga(1)


3
2.2 Definisi (1,5)
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
atau yang biasa disebut “congek” adalah radang kronis telinga tengah dengan adanya
lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan riwayat keluarnya cairan
(sekret) dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul.
Sekret mungkin serous, mukous, atau purulen.
Otitis Media Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani dapat menjadi otitis
media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor yang
menyebabkan OMA menjadi OMSK, antara lain: terapi yang terlambat diberikan, terapi
yang tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh pasien yang rendah
(gizi kurang), dan higiene yang buruk.

2.3 Klasifikasi (1,2,5)


OMSK dapat dibagi atas 2 tipe, yaitu :
a) Tipe tubotimpani (tipe jinak/tipe aman/tipe rhinogen) Proses peradangan pada
OMSK tipe tubotimpani hanya terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak
mengenai tulang. Tipe tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars
tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa
faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi
saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien
dengan daya tahan tubuh yang rendah. Disamping itu campuran bakteri aerob dan
anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel
skuamosa juga berperan dalam perkembangan tipe ini. Sekret mukoid kronis
berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga tengah
pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.
b) Tipe atikoantral (tipe ganas/tipe tidak aman/tipe tulang) Pada tipe ini ditemukan
adanya kolesteatom dan berbahaya. Perforasi tipe ini letaknya marginal atau di atik
yang lebih sering mengenai pars flaksida. Karakteristik utama dari tipe ini adalah
terbentuknya kantong retraksi yang berisi tumpukan keratin sampai menghasilkan
kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega,
berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah mengalami nekrotik.
Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman, yang paling
sering adalah proteus dan pseudomonas. Hal ini akan memicu respon imun lokal
sehingga akan mencetuskan pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Sitokin yang
dapat ditemui dalam matrik kolesteatom adalah interleukin-1, interleukin-6, tumor
4
necrosis factor-α, dan transforming growth factor. Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-
sel keratinosit matriks kolesteatom yang bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan
mampu berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak organ
sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis
terhadap tulang diperhebat oleh reaksi asam oleh pembusukan bakteri.
Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
1. Kongenital
2. Didapat.
Kolesteatom didapat dapat terbagi atas :
Primary acquired cholesteatoma. Kolesteatom yang terjadi tanpa didahului oleh
perforasi membran timpani pada daerah atik atau pars flasida.
Secondary acquired cholesteatoma. Kolesteatoma yang terbentuk setelah terjadi
perforasi membran timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel
kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori
migrasi) atau terjadi akibat metaplasia mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang
berlansung lama (teori metaplasia).

2.4 Patofisiologi (2,4,5)


OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari OMSK
dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang disebabkan oleh
multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh virus atau bakteri, gangguan
fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh turun, lingkungan dan sosial ekonomi. Kemungkinan
penyebab terpenting mudahnya anak mendapat infeksi telinga tengah adalah struktur tuba
pada anak yang berbeda dengan dewasa dan kekebalan tubuh yang belum berkembang
sempurna sehingga bila terjadi infeksi jalan napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi
telinga tengah berupa Otitis Media Akut (OMA).
Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses inflamasi ini
tetap berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan merusak epitel.
Mekanisme pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan infeksi biasanya
menyebabkan terdapatnya jaringan granulasi yang pada akhirnya dapat berkembang
menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika lingkaran antara proses inflamasi, ulserasi,
infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi ini berlanjut terus akan merusak jaringan
sekitarnya.

5
Gambar 2. Patogenesis Otitis Media(2,3)

2.5 Faktor Risiko (1,2)


Faktor-faktor risiko OMSK antara lain :
1. Lingkungan.
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi terdapat
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosio ekonomi, dimana kelompok
sosio ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir
dipastikan, bahwa hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, dan
tempat tinggal yang padat.
2. Genetik.
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik.
Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum
diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.

6
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media
akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan berkembangnya penyakit ke arah keadaan kronis.
4. Infeksi.
Proses infeksi pada otitis media supuratif kronis sering disebabkan oleh campuran
mikroorganisme aerobik dan anaerobik yang multiresisten terhadap standar yang ada
saat ini. Kuman penyebab yang sering dijumpai pada OMSK ialah Pseudomonas
aeruginosa sekitar 50%, Proteus sp. 20% dan Staphylococcus aureus 25%. Jenis
bakteri yang ditemukan pada OMSK agak sedikit berbeda dengan kebanyakan
infeksi telinga lain, karena bakteri yang ditemukan pada OMSK pada umumnya
berasal dari luar yang masuk ke lubang perforasi tadi.
5. Infeksi saluran nafas atas.
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya
daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga
tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun.
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insidens lebih besar terhadap
otitis media kronis.
7. Alergi.
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding
yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksintoksinnya, namun hal ini
belum terbukti kebenarannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius.
Hal ini terjadi pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh
edema.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada
OMSK :
a) Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi
sekret telinga purulen berlanjut.
b) Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada
perforasi.

7
c) Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme
migrasi epitel. Pada pinggir perforasi, epitel skuamous dapat mengalami
pertumbuhan yang cepat di atas sisi medial dari membran timpani yang hal ini juga
mencegah penutupan spontan dari perforasi.

2.6 Gejala Klinis (1,4,5)


1. Telinga berair (otorea).
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik
telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga
tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Suatu
sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran.
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai
tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin
ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun
kolesteatom dapat menghantar bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Pada OMSK
tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang
pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara
sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi
karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin
tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi
tuli saraf berat. Hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.
3. Otalgia (nyeri telinga).
Adanya nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada merupakan
suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya
drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan
pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman
pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya
otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK
seperti petrositis, subperiosteal abses, atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo.
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan
vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding

8
labirin oleh kolesteatom. Pada penderita yang sensitif, keluhan vertigo dapat terjadi
karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga
akan menyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi
serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat
berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis
dan dari sana mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada
kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif
dan negatif pada membran timpani.

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :


a. Adanya abses atau fistel retroaurikular
b. Jaringan granulasi atau polip di liang telinga yang berasal dari kavum timpani.
c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)
d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

Gambar 3. Perforasi M. Timpani(3,4) Gambar 4. OMSK(3,5)

2.7. Komplikasi dengan Ekstra Kranial (3,4,5)


Komplikasi ekstrakranial dan intrakranial dari otitis media dapat terjadi pada seluruh
kelompok usia, namun lebih umum dijumpai pada anak dalam dua tahun pertama
kehidupan. Data penelitian di daerah pedalaman provinsi Natal, Afrika Selatan
menunjukkan 80% komplikasi ekstrakranial dan 70% komplikasi intrakranial terjadi pada
anak-anak yang berusia antara 1-2 tahun. Komplikasi otitis media akut dan kronik dapat
menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Salah satu komplikasi
ekstrakranial dari otitis media adalah abses retroaurikuler/abses postaurikuler.
Abses retroaurikuler merupakan abses yang paling sering terbentuk di mastoid. Abses
retroaurikuler merupakan komplikasi mastoiditis yang paling sering terjadi. Dari penelitian

9
di daerah pedalaman provinsi Natal, Afrika Selatan, abses retroaurikuler merupakan
komplikasi ekstrakranial yang paling sering terjadi pada anak-anak di bawah 6 tahun yang
mengidap otitis media.
Pasien abses retroaurikuler mengeluh nyeri telinga, otorea, dan gangguan
pendengaran yang makin bertambah. Pada pemeriksaan otologik, akan tampak otorea
melalui perforasi membran timpani, kadang-kadang saging dinding posterior liang telinga.
Di daerah retroaurikular, akan terlihat gambaran sesuai dengan stadium penyakit. Bila
belum terbentuk abses, akan terlihat daerah yang hiperemis disertai nyeri tekan. Bila telah
teraba fluktuasi di daerah retroaurikular, menandakan abses sudah terbentuk. Bila sulkus
retroaurikular sudah hilang, menandakan bahwa absesnya telah menembus periosteum
menjadi abses subkutis. Daun telinga akan terdorong ke depan dan ke bawah.
Walaupun insidens dan prevalensi kasus otitis media, termasuk abses retroaurikuler
telah menurun drastis, dokter tentunya harus mampu mendiagnosis dan melakukan
manajemen terhadap abses retroaurikuler terkait kegawatan kasus ini. Oleh karena itu,
dokter umum harus memiliki pemahaman secara menyeluruh tentang abses retroaurikuler.

2.7.1 Etiologi (4,5)


Abses retroaurikuler sering kali menyertai mastoiditis koalesens pada anak-anak.
Infeksi meluas dari mastoid hingga ruang subperiosteum. Abses ini terjadi akibat perluasan
langsung infeksi yang menyebabkan destruksi tulang atau flebitis dan periflebitis vena-
vena mastoid. Lubang kecil pada tulang temporal dewasa yang membentuk area
kribriformis mastoid di sekitar lengkung Henle awalnya merupakan serangkaian
terowongan vaskuler terbuka di antara bagian inferior mastoid dan korteks.
Infeksi dapat langsung terjadi dari mastoid ke ruang subperiosteum hingga
terowongan ini tertutup. Pada bayi dan anak-anak, abses terbentuk di sekitar segitiga
MacEwen; pus pada kasus ini menyebar sepanjang terowongan vaskuler lamina kribrosa.
Infeksi jaringan lunak menyebabkan nekrosis jaringan dan pembentukan abses. Jaringan
lunak sekitar akan mengalami penebalan, inflamasi, eritema. Pada perabaan, dijumpai
adanya nyeri tekan dan fluktuasi.
Seiring dengan luasnya penggunaan antibiotik, abses mastoid, termasuk abses
retroaurikuler lebih sering terjadi pada otitis media supuratif kronik dengan kolesteatoma.
Abses retroaurikuler merupakan salah satu komplikasi ekstrakranial. Bila erosi tulang
berlangsung terus, akan terjadi abses subperiosteum. Bila abses ini menembus periosteum,
akan terbentuk abses dan fistula subkutis. Bila proses tersebut mengarah ke posterior dan
inferior, masing-masing akan terjadi abses retroaurikular dan abses Bezold. Abses Bezold

10
adalah abses yang ruptur ke depan dinding prosesus mastoid menyebabkan perjalanan
abses di sepanjang m. Sternokleidomastoideus. Abses Citelli adalah abses subperiosteal
yang menyebar melalui aspek medial dari kavum mastoid ke dalam fosa digastrikus dan
merupakan perluasan dari infeksi pada mastoid. Lokalisasi penjebolan nanah pada
mastoiditis bergantung dari luasnya pneumatisasi. Beberapa abses yang berhubungan
dengan mastoiditis adalah abses retro-aurikuler, abses zygomaticus, abses Bezold dan
abses Luc.

Gambar 5. (A) Abses mastoid 1. Abses retroaurikuler/postaurikuler; 2. Abses zigomatikus; 3.


Abses Bezold; (B) Gambaran abses Citelli, abses retroaurikuler/postaurikuler, dan abses
Bezold (tampak dari belakang)(1,3,4)

Gambar 6. Daun telinga terdorong ke lateral dan inferior dijumpai pada kasus abses
retroaurikuler terkait dengan mastoiditis koalesens(1,2,5)

11
2.7.2 Curiga Suatu Keganasan (3,4)
Otitis media supuratif tipe maligna (tipe bahaya) merupakan otitis media supuratif
kronik yang disertai dengan kolesteatoma. Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang
berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga
kolesteatoma bertambah besar. Letak perforasi pada otitis media supuratif tipe bahaya
marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada otitis media
supuratif dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal
timbul pada otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Pada kasus yang sudah lanjut, dapat
terlihat abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga), polip atau jaringan granulasi di
liang telinga luar yang berasal dari dalam liang telinga tengah, terlihat kolesteatoma (sering
terlihat di epitimpanum), sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)
atau terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.
Abses retroaurikular akibat mastoiditis harus dibedakan dari limfadenitis
postaurikular yang disebabkan oleh infeksi pada kulit kepala. Limfadenitis postaurikular
tidak menyebabkan gangguan pada telinga tengah dan liang telinga. Erisipelas kadang-
kadang terjadi di daerah retroaurikular, namun tidak menyebabkan kelainan pada membran
timpani ataupun telinga tengah.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang (2,4,5)


Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis adalah:
a) pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis;
b) foto polos mastoid menunjukkan tanda-tanda mastoiditis di mana tampak
perselubungan dari sel-sel mastoid disebabkan oleh terkumpulnya exudat. Partisi-
partisi tulang antarsel menjadi tidak nyata;
c) CT scan tulang temporal saat ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk
mengevaluasi mastoiditis. Pada CT scan dapat dilihat perluasan area pembentukan
abses, garis mastoid yang samar-samar atau berubah, serta kemungkinan adanya
defek pada tegmen atau korteks mastoid;
d) magnetic resonance imaging (MRI) bukan merupakan pilihan standar, akan tetapi
dapat dilakukan untuk mengevaluasi jaringan lunak yang berdekatan, terutama
berbagai struktur intrakranial.

2.7.4 Penatalaksanaan (2,4,5)


Pengobatan abses retroaurikular, meliputi pembersihan liang telinga untuk menjamin
drainase yang baik dari pus telinga tengah, medikamentosa, serta insisi abses
retroaurikular. Pembersihan liang telinga harus dilakukan secara teratur, misalnya dengan

12
memberikan larutan peroksida 3% tetes telinga, kemudian membersihkan pus di liang
telinga dengan kapas lidi steril atau dengan penghisap.
Pengobatan medikamentosa meliputi antibiotika dosis tinggi dan analgetika. Bila
memungkinkan, sebaiknya diambil dulu sediaan untuk pemeriksaan mikrobiologi sebelum
pemberian antibiotik dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan tersebut.
Antibiotika tahap awal dapat diberikan ampisilin oral atau penisilin parenteral dosis tinggi.
Pemberian antibiotik tergantung pada berbagai keadaan, misalnya hipersensitivitas pasien
terhadap preparat penisilin, resistensi kuman, beratnya penyakit, dan sebagainya.
Insisi abses retroaurikula biasanya perlu dilakukan sebelum mastoidektomi. Insisi
abses dilakukan untuk melepaskan tekanan pus di telinga tengah untuk mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut. Pada pasien dengan prosesus mastoid sudah
berkembang, insisi dilakukan pada tempat fluktuasi paling nyata. Jika keluar pus,
sebaiknya diambil swab untuk pemeriksaan mikrobiologi, kemudian pus dievakuasi
sebaik-baiknya bila mungkin dengan alat penghisap. Di tempat insisi, dipasangkan salir
yang adekuat untuk menjamin kelancaran keluarnya pus. Pada anak kecil dengan prosesus
mastoid yang belum berkembang, insisi tersebut harus hati-hati dengan mengingat bahwa
letak nervus fasialis dangkal sehingga insisi dilakukan agak tinggi dengan menghindari
bagian bawah mastoid.
Pada kasus mastoiditis dengan abses retroaurikuler, insisi dan drainase abses diikuti
dengan mastoidektomi sangat dianjurkan. Pada keadaan tertentu, terapi abses
retroaurikuler hanya meliputi pengunaan antibiotik jangka panjang dan drainase abses
tanpa mastoidektomi. Pada otitis media supuratif kronik dengan abses retroaurikuler, terapi
medikamentosa harus diiringi dengan tindakan mastoidektomi.

13
BAB 3
KESIMPULAN

Definisi otitis media supuratif kronik (OMSK) menurut WHO adalah adanya otorea yang
menetap atau rekuren selama lebih dari 2 minggu dengan perforasi membran timpani. Berdasarkan
ICD-10, diagnosis OMSK ditegakkan jika terdapat perforasi membran timpani disertai pengeluaran
sekret terjadi selama minimal dalam 6 minggu dimana sekret yang keluar dari telinga tengah ke
telinga luar dapat berlangsung terus-menerus atau hilang timbul. Menurut Buku THT FKUI edisi
keenam, Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang
timbul yang berlangsung lebih dari 2 bulan.
Faktor risiko timbulnya OMSK adalah gangguan fungsi tuba eustachius akibat infeksi
hidung dan tenggorokan yang berlangsung kronik atau sering berulang, obstruksi tuba,
pembentukan jaringan ikat, penebalan mukosa, polip, adanya jaringan granulasi, timpanosklerosis,
OMSK juga lebih mudah terjadi pada orang yang pernah terkena penyakit telinga pada masa kanak-
kanak, perforasi membran timpani persisten, terjadinya metaplasia pada telinga tengah, otitis media
yang virulen, memiliki alergi, keadaan imunitas yang menurun.
Abses retroaurikuler merupakan abses yang paling sering terbentuk di mastoid. Abses
retroaurikuler merupakan komplikasi mastoiditis dan otitis media kronik supuratif yang cukup
sering terjadi. Pada mastoiditis, abses retroaurikuler terjadi akibat perluasan langsung infeksi yang
menyebabkan destruksi tulang atau flebitis dan periflebitis vena-vena mastoid. Infeksi jaringan
lunak menyebabkan nekrosis jaringan dan pembentukan abses. Jaringan lunak sekitar akan
mengalami penebalan, inflamasi, eritema. Pada perabaan, dijumpai adanya nyeri tekan dan
fluktuasi. Pada kasus otitis media kronik supuratif, abses retroaurikuler terjadi akibat perluasan
proses erosi tulang ke posterior.
Abses retroaurikuler dapat menyertai otitis media supuratif kronik tipe maligna yang
disertai dengan kolesteatoma dan letak perforasi umumnya marginal atau di atik. Pada kasus yang
sudah lanjut, dapat terlihat abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga), polip atau jaringan
granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam liang telinga tengah, terlihat kolesteatoma
(sering terlihat di epitimpanum), sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma) atau
terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.
Pengobatan abses retroaurikular, meliputi pembersihan liang telinga untuk menjamin
drainase yang baik dari pus telinga tengah, medikamentosa, serta insisi abses retroaurikular.
Pembersihan liang telinga harus dilakukan secara teratur, misalnya dengan memberikan larutan

14
peroksida 3% tetes telinga, kemudian membersihkan pus di liang telinga dengan kapas lidi steril
atau dengan penghisap. Pengobatan medikamentosa meliputi antibiotika dosis tinggi dan analgetika.
Pada kasus mastoiditis dengan abses retroaurikuler, kasus eksisi dan drainase abses diikuti
dengan mastoidektomi sangat dianjurkan. Pada keadaan tertentu, terapi abses retroaurikuler hanya
meliputi pengunaan antibiotik jangka panjang dan drainase abses tanpa mastoidektomi. Pada otitis
media supuratif kronik dengan abses retroaurikuler, terapi medikamentosa harus diiringi dengan
tindakan mastoidektomi.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. Helmi. Anatomi bedah regio temporal. Otitis media supuratif kronis, pengetahuan dasar,
terapi medik, masoidektomi, timpanoplasti. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. h. 4-12.

2. Sedjawidada R. Historia naturalis dari otitis media. Dalam: Makalah simposium manajemen
operatif pada otitis media kronik. Jakarta; 1981. h. 115.

3. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000. h. 62-74.

4. Djaafar Z.A., dkk, Kelainan Telinga Tengah. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

5. Soepardi, E.A, dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007. h. 64 – 74

16
DAFTAR ISI
BAB 1...................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1

BAB 2...................................................................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................................2

2.1 Anatomi Telinga Tengah.......................................................................................................2

2.1.1 Membran Timpani..............................................................................................................2

2.1.2 Kavum Timpani.................................................................................................................3

2.1.3 Prosesus Mastoideus..........................................................................................................3

2.1.4 Tuba Eustachius.................................................................................................................3

2.2 Definisi..................................................................................................................................4

2.3 Klasifikasi..............................................................................................................................4

2.4 Patofisiologi...........................................................................................................................5

2.5 Faktor Risiko.........................................................................................................................6

2.6 Gejala Klinis..........................................................................................................................8

2.7. Komplikasi dengan Retro Kranial.........................................................................................9

2.7.1 Etiologi.............................................................................................................................10

2.7.2 Curiga Suatu Keganasan..................................................................................................12

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang...................................................................................................12

2.7.4 Penatalaksanaan...............................................................................................................12

BAB 3.................................................................................................................................................14

KESIMPULAN..................................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................16

Anda mungkin juga menyukai