Anda di halaman 1dari 4

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan nathania (2015), tentang hubungan pola asuh

orang tua dengan kepercayaan diri siswa smp kristen rano tongkor kabupaten minahasa . Hasil
penelitian menunjukkan sebanyak 28% responden mendapatkan gaya pengasuhan otoriter dari
orang tua mereka. bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter cenderung bersikap kaku
dan keras, suka memaksakan kehendak dan selalu menuntut kepatuhan anak. Otoritas yang
ditunjukkan orang tua tersebut membuat anak sedikit mendapatkan kesempatan untuk
mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan sehingga anak cenderung menjadi penurut,
lebih tertutup, tidak berinisiatif dan pemalu. Hal ini sesuai dengan hasil tabulasi silang yang
mendapati bahwa terdapat 4 responden (26,7%) dengan pola asuh otoriter yang memiliki tingkat
kepercayaan diri cukup dan 1 responden (33,3%) dengan tingkat kepercayaan diri rendah. Pola
asuh permisif juga ditemui pada beberapa anak di SMP Kristen Ranotongkor. Pada penelitian
terlihat sebanyak 22% orang tua menerapkan pola asuh permisif pada anak-anak mereka.
Baumrind menyatakan orang tua dengan pola asuh permisif bersikap tidak peduli serta
memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai keinginan anak.
Orang tua menganggap anak seperti orang dewasa yang dapat mengambil tindakan atau
keputusan sendiri. Contohnya orang tua yang membiarkan anak pulang larut malam. Menurut
Wong dkk dalam penelitiannya, tidak adanya arahan dan aturan dalam pola asuh ini
mengakibatkan anak menjadi tidak patuh, manja dan tidak bertanggung jawab. Selain itu, tidak
adanya kontrol dari orang tua mengakibatkan anak merasa cemas dengan tindakan yang mereka
lakukan apakah salah atau benar, sehingga keyakinan akan kemampuan diri anak tersebut tidak
berkembang dan anak cenderung menjadi kurang percaya diri.10 Hal ini didukung dengan hasil
tabulasi silang yang diperoleh yaitu sebanyak 8 responden (53,3%) memiliki rasa percaya diri
cukup, 2 responden (66,7%) dengan tingkat kepercayaan diri rendah dan hanya 1 responden
(3,1%) yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Dengan demikian dikatakan bahwa
pola asuh demokratis lebih efektif untuk diterapkan dibandingkan dengan pola asuh otoriter atau
permisif. Dan ada beberapa faktor yang terlibat dan mempengaruhi pola asuh orang tua pada
anak mereka, antara lain latar belakang pola pengasuhan orang tua yaitu model pengasuhan yang
diterima oleh orang tua sebelumnya dan dipandang berhasil, tingkat pendidikan orang tua serta
status ekonomi dan pekerjaan orang tua juga menjadi faktor yang mempengaruhi pola asuh
seseorang. Namun demikian, pembentukan kepercayaan diri seseorang tidak hanya dipengaruhi
oleh pola asuh orang tua. Liendenfield mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pembentukan kepercayaan diri seseorang seperti status sosial ekonomi, penampilan fisik, dan
tingkat pendidikan. Faktor-faktor tersebut yang dapat menjadi penyebab anak dengan pola asuh
orang tua otoriter ataupun permisif tetap memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi.Terlihat
dalam hasil tabulasi silang dari penelitian yang telah dilakukan di SMP Kristen Ranotongkor,
terdapat 9 responden (28,1%) yang mendapat pola asuh otoriter dari orang tua memiliki rasa
percaya diri yang tinggi. Itu berarti rasa percaya diri siswasiswa tersebut tidak hanya terbentuk
lewat pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, namun ada hal-hal lain yang ikut berperan
didalamnya.
Remaja awal adalah transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja awal
mulai berpikir secara egosentris, memandang diri unik dan tidak terkalahkan. Perubahan dalam
sosio-emosional pada remaja awal meliputi tuntutan mencapai kemandirian, adanya konflik
dengan orangtua, serta keinginan untuk menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Respon
yang dapat diberikan orangtua terhadap perubahan-perubahan tersebut adalah dengan
memberikan tanggung jawab yang lebih besar pada remaja untuk membuat keputusan (David,
2015)
Menurut Hurlock (2012), perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional pada remaja
bersifat universal, ada empat hal yang menandainya. Pertama, meningginya emosi yang
intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan biologis dan psikologis. Kedua, perubahan
tubuh, minat dan peran sesuai harapan kelompok sosial. Ketiga, perubahan nilai-nilai karena
berubahnya minat dan pola perilaku. Keempat, sikap ambivalensi remaja terhadap perubahan-
perubahan tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa remaja dapat mencapai tugas
perkembangannya dengan cara menyelesaikan proses belajarnya di pendidikan formal, sehingga
kegiatan belajar merupakan hal penting bagi remaja. Namun pendidikan formal memiliki
tuntutan tersendiri, banyak lembaga pendidikan di Indonesia masih menekankan pencapaian
target kurikulum sehingga sembilan mata pelajaran yang dipersyaratkan di dalam kurikulum
harus ditanggung peserta didik dengan banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang kapasitasnya
melebihi kemampuan dan kebutuhan hidup remaja pada masanya
Ciri-ciri remaja yang kecadnuan game online yaitu lebih banyak menghabiskan waktu
bermain game diluar sekolah, tertidur disekolah, melalikan tugas, nilai disekolah menurun,
berbohong, memilih bermain game dari pada bermain dengan teman, menjauhkan diri dari
kelompok social, merasa cemas dan ,udah marahjika tidak bermain game online (Rachmat,
2012).
Menurut Permana (2017). peneliti lakukan juga didapati bahwa disatu sisi game online
bisa menjadi sarana pelepas penat dalam rutinitas sehari-hari, namun disisi lain ketika game
online ini dimainkan dalam intensitas yang tinggi maka bisa berpengaruh pada psikologis
pemain. Beberapa warnet yang telah dikunjungi didaerah Denpasar menunjukkan bahwa pada
remaja yang yang berkunjung ke warnet dengan tujuan bermain game online sebagian besar
sudah mengalami fase kecanduan untuk bermain game online. Fase ini merupakan fase ketika
pemain game online sering menampilkan beberapa model perilaku agresif.
Game online menjadi tren yang banyak diminati tidak hanya oleh kalangan anak-anak,
remaja, bahkan juga dewasa. Game online banyak diminati dikarenakan pemain tidak lagi
bermain sendirian, tetapi dapat bermain dengan banyak orang sekaligus dari berbagai tempat
yang berbeda diseluruh penjuru dunia. Pesatnya perkembangan teknologi internet diikuti juga
oleh peningkatan game online yang terlihat dari munculnya berbagai jenis permainan online
seperti GTA V (Grand Theft Auto V), DotA 2 (Defense of the Ancients), CS:GO (Counter
Strike:Global Offensive), Point Blank dan masih banyak lagi game online lainnya (Haqq, 2016).
Penelitian yang dilakukan di dalam negeri oleh Fauziah (2013), mengungkapkan bahwa
mengakses game online membuat siswa SMP Negeri 1 Samboja cenderung dapat berinteraksi
dengan temannya dan mampu bertukar pikiran sehingga wawasan siswa menjadi bertambah,
namun interaksi tersebut hanya ada dalam ruang lingkup dunia game saja. Dampak negatifnya
adalah siswa pemain game online menjadi kesulitan bersosialisasi di dunia nyata di luar lingkup
dunia game yang diminati. Siswa lebih memilih menghabiskan banyak waktu dengan
berkomunikasi satu arah di depan layar komputer saja sehingga cenderung menjadi pribadi yang
tertutup, cuek dan sulit mengekspresikan diri ketika beradadi lingkungan nyata. Sebagai
tambahan, para remaja pengguna game online yang terlampau sering bermain game online akan
susah berkonsentrasi dan malas untuk sekolah dan pada akhirmya memutuskan untuk membolos.
Menurut Juandika tri (2015), faktor-faktor yang dapat mengakibatkan remaja mengalami
kecanduan game online, yaitu pola asuh orang tua yang tidak tepat. Faktor-faktor yang
dipaparkan menunjukkam bahwa remaja yang mengalami kecanduan game online tidak terlepas
dari pengaruh keluarga. Keluarga memiliki komponen-komponen yang membentuk organisme
keluarga. Komponen-komponen itu adalah anggota keluarga. Masing-masing anggota keluarga
memiliki system terbuka (open system) yaitu suatu system yang dpaat dipengaruhi dan
mempengaruhi dunia luar.
Menurut permasih (2014), pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak
akan mempengaruhi kesiapan mereka menjalankan pengasuhan, seperti terlibat aktif dalam
setiap pendidikan anak, sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh
masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam
mengasuh anak serta lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak
mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang
tua terhadap anaknya
Peran orangtua sangat dibutuhkan dalam pengawasan anak ketika bermain game online.
Pemantauan anak ketika bermain ini juga termasuk dalam kaitannya dengan pola asuh. Orangtua
yang cenderung memanjakan anak-anaknya memiliki peranan yang cukup besar jika dikaitkan
dengan intensitas bermain game online dan pengaruhnya terhadap agresivitas. Orangtua yang
mendidik anak-anaknya dengan cara memanjakan dan memenuhi segala keinginan anaknya
memiliki dampak negatif terhadap perkembangan anak. Pola asuh yang kurang memiliki kendali
dan kurangnya aspek hukuman dalam kejelasan komunikasi orangtua dengan anak disebut pola
asuh permisif (Sanjiwani, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian, teori serta konsep di warung internet seberang Ulu II Plaju
Palembang Tahun 2019 di asumsi peneliti ditinjau dari teori penelitian terkait, bahwa
kebanyakan remaja yang bermain game online pola asuh orang tua mereka bertipe pola asuh
permisif karena pola asuh orang tua mereka yaitu bertipe yang diterapkan orangtua berarti Dan
pola asuh permisif tipe pola asuh yang dilakukan dengan memberikan kebebasan terhadap anak.
Anak bebas melakukan apapun sesuka hatinya. Sedangkan orang tua kurang peduli terhadap
perkembangan anak. Pengasuhan yang didapat anak cenderung di lembaga formal atau sekolah.
Pola asuh semacam ini dapat mengakibatkan anak menjadi egois karena orang tua cenderung
memanjakan anak dengan materi.

Anda mungkin juga menyukai