Anda di halaman 1dari 22

AKIBAT HUKUM PENGABAIAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA

DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL


(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1572 K/Pdt/2015)

Rafael Tunggu1, Kwee Steven Kwesal2


1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar
2
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar

ABSTRAK
Artikel ini adalah artikel penelitian yang berisi uraian tentang akibat hukum pengabaian penggunaan Bahasa
Indonesia dalam perjanjian internasional.Tujuan yang ingin dicapai adalah mengetahui dan menganalisis akibat hukum
pengabaian penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian internasional ditinjau dari keabsahan perjanjian.Metode
yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian hukum empiris, yakni studiterhadap penyelesaian sengketa
litigasi keperdataan dalam lingkup peradilan umum. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa bahan hukum
sekunder yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 1572 K/Pdt/2015.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah AgungNomor 1572 K/
Pdt/2015 adalah keliru karena menyatakan perjanjian (Loan Agreement) yangtidak dibuat dalam Bahasa Indonesia
adalah batal demi hukum. Menurut hakim, isi perjanjian bertentangan dengan causa yang halal seperti diatur dalam
Pasal 1320 ayat (4) yang berakibat batal demi hukum sesuai ketentuan Pasal 1335 juncto Pasal 1337 KUHPerdata,
Menurut penulis, keharusan menggunakan Bahasa Indonesia bukan merupakan syarat materil sahnya perjanjian seperti
dimaksudkan dalam pasal 1320 KUHPerdata, tetapi tergolong sebagai syarat formal sahnya perjanjian. Jadi alasan
kebatalan bukan karena syarat materil sahnya perjanjian yang tidak terpenuhi melainkan syarat formal. Keharusan
menggunakan Bahasa Indonesia dalam perjanjian internasional diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan,

Kata Kunci: Akibat Hukum, Pengabaian Penggunaan Bahasa Indonesia, Perjanjian Internasional, syarat materil, syarat
formal.

ABSTRACT
This research discusses about due to the law of waiving the use of Indonesian in international treaties in terms
of the validity of the agreement. This research aims to find out and analyze the effect of law abandoning the use of
Indonesian in international agreements in terms of the validity of the agreement in the Decision of the Supreme Court
Number 1572 K/Pdt/2015. The method for this research is l empirical legal research method, which is study of legal
documents form like legislation and decision of Supreme Court, especially those closely related to matters concerning
the legal consequences of abusing the use of Indonesian in international treaties in terms of the validity of the
agreement.
Research results show that the judge’s judgment in the Supreme Court Decision Number 1572 K / Pdt / 2015
which stipulates a Loan Agreement made by the parties because it is not made in Indonesian, is an agreement made
based on prohibited causes, so that it complies with Article 1335 In conjunction with Article 1337 of the Civil Code
the agreement is null and void is inappropriate. Indonesian language is not a legal cause in the terms of the validity of
an agreement, but language plays a role in writing, interpreting and interpreting an agreement, it is referred to as the
procedure for making an agreement. Therefore, the agreements made by the parties remain valid and not null and void.

Keywords: Legal Effects, Abandonment of Use of Indonesian Language, International Agreements, material
requirements, formal requirements.,

PENDAHULUAN
Di era globalisasi saat ini, perjanjian internasional yang mengandung unsur asing berkembang sangat
1 - Vol. 6 No. 2 - Desember 2016 Vol. 6 No. 2 - Desember 2016 - 1
Jurnal Hukum “PEMBERDAYAAN HUKUM” Jurnal Hukum “PEMBERDAYAAN HUKUM”

pesat.Menurut Sudargo Gautama bahwa ruang lingkup berlakunya suatu perjanjian terbagi ke dalam 2 (dua)
bagian yaitu perjanjian nasional dan perjanjian internasional.Perjanjian nasional maksudnya yaitu peraturan
perundang-undangan suatu negara baik yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan perjanjian,
sedangkan perjanjian internasional adalah perjanjian nasional yang di dalamnya ada unsur asing1.
Sah dan mengikatnya perjanjian berskala nasional wajib memenuhi syarat-syarat tertentu.Syarat-
syarat sahnya perjanjian tersebut dapat digolongkan menjadi syarat sah bersifat materil dan syarat sah bersifat
formal.Syarat sah bersifat materil diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sedangkan syarat sah bersifat formal
diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri yang tergolong sebagai lex spesialis.Syarat sah bersifat
materil terbagi dua yakni syarat subjektif dan syarat objektif.Syarat subjektif mencakup sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan, sedangkan syarat objektif mencakup
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Tidak terpenuhinya syarat subjektif mengakibatkan perjanjian
dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif berakibat perjanjian batal demi hukum. Tidak
terpenuhinya syarat sahnya perjanjian bersifat formal mempunyai akibat hukum yang sama dengan tidak
terpenuhinya syarat sahnya perjanjian bersifat materil objektif yaitu perjanjian dinyatakan batal demi hukum,
Batal demi hukum mengandung makna perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan untuk itu tidak
mendapat perlindungan hukum di Indonesia.
Masalah hukum yang bisa timbul dalam perjanjian internasional adalah penggunaan bahasa dalam
perjanjian, yaitu ketika para pihak hanya menggunakan Bahsa Inggris dalam perjanjian lalu timbul sengketa
yang hendak diselesaikan di Indonesia. Apakah perjanjian ini terkualifikasi sebagai perjanjian yang tidak
mempunyai kekuatan mengikat karena dipandang batal demi hokum ataukah perjanjian tersebut tetap
mempunyai kekuatan mengikat.
Penggunaan bahasa dalam suatu perjanjian internasional diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109, (selanjutnya disingkat UU No 24 Tahun
2009) yang menyatakan: “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaganegara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau
perseorangan warga negara Indonesia”2. Ini berarti bahwa setiap perjanjian baik yang berskala nasional
maupun internasional apabila dibuat di Indonesia menurut UU No 24 Tahun 2009 wajib menggunakan
Bahasa Indonesia.
Dalam tataran empiris, ditemukan fakta dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1572 K/Pdt/2015
yang menyatakan bahwa perjanjian Internasional (Loan Agreement) yang dibuat para pihak di Indonesia
dinyatakan batal demi hukum karena tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia, dan bertentangan dengan UU No
24 Tahun 2009 dan kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 1572 K/Pdt/2015 yang menyatakan perjanjian
internasional yang dibuat para pihak di Indonesia batal demi hukum karena tidak menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai perjanjian yang bertentangan dengan kausa yang halal seperti dimaksudkan dalam Pasal
1320 KUHPerdata, menimbulkan permasalahan yuridis yaitu apakah penggunaan Bahasa Indonesia tergolong
ke dalam syarat sahnya perjanjian bersifat materil atau bersifat formal.

PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PERJANJIAN PADA


UMUMNYA
Menurut Pasal 1233 KUHPerdata sumber perikatan salah satunya adalahperjanjian, di samping itu ada
sumber lain yaitu undang-undang.Istilah perjanjiandalam Bahasa Inggris disebut contractdan dalam bahasa
Belanda disebutovereenkomst.Menurut Munir Fuady bahwa istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian
merupakan kesepadanan dari kata (overeenkomst) dalam Bahasa Belanda atau istilah (agreement) dalam
Bahasa Inggris. Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”, karena dengan
istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur dalam KUHPerdata, jadi termasuk juga
baik
Jurnal Hukum “PEMBERDAYAAN HUKUM” Jurnal Hukum “PEMBERDAYAAN HUKUM”
1
http://stiebanten.blogspot.com/2011/05/hukum-kontrak-internasional.html
2
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, LNRI Tahun
2009
Nomor 109 ( selanjutnya disingkat UU No 24 Tahun 2009
perikatan yang terbit karena undang-undang maupun perikatan yang terbit dari perjanjian3.
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, “perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut Van Dunne yang dikutip oleh Salim H.S
bahwa “perjanjian adalah suatuhubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum”.4Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, “perjanjian adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”5. Henry Campbell Black
(dalam Munir Fuady) mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu kesepakatan diantara dua atau lebih pihak
yang menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.6
Menurut Abdulkadir Muhammad “perjanjian adalah suatu persetujuan dengandua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 7Menurut Subekti
bahwa suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal8.
Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara
pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan
hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-
undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil
kesepakatan para pihak, jadi sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat karena
adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara
orangtua dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah dan anak
tetapi karena perintah undang-undang.
Menurut Andi Nurdiansah bahwa perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada
konsekuensi hukumnya.Pada perikatan, masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut
pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah terikat. Sementara pada perjanjian, tidak
ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari
pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian dalam Pasal 1313
KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya merupakan perjanjian sepihak saja. Definisi dalam
pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat tetapi dapat pula
merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.9
Konsekuensi hukum lain yang muncul dari 2 (dua) pengertian itu adalah bahwa oleh karena dasar
perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan
ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan
konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum. Titik Triwulan Tutik “menurut para ahli hukum,
ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata memiliki beberapa kelemahan, antara lain: tidak jelas karena
setiapperbuatan dapat disebut perjanjian, tidak tampak asas konsensualisme, danbersifat dualisme”10.
Menurut Subekti bahwa dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara
timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan pihak yang
lain
3
Munir Fuady. 2014. Konsep Hukum Perdata, Cetakan I, Jakarta, hlm. 179.
4
Salim H.S. 2014.Perancangan Kontrak & Memorandum Of Understanding (MoU), Cetakan VI, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8.
5
Lihat, Pasal 1313 KUHPerdata.
6
Henry Campbell Black (dalam Munir Fuady). 2014. Konsep-konsep Hukum Perdata. hlm180.
7
Abdulkadir Muhammad. 1990. Hukum Perikatan, Cetakan II, Citra Aditya Bakti, Bandung,hlm. 78.
8
R. Subekti. 2001. Hukum Perjanjian, Cet 18, Intermasa, Jakarta.
9
http://andinurdiansah.blogspot.com/2011/01/perbedaan-perikatan-dan-perjanjian.html
10
Titik Triwulan Tutik. 2010. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cetakan II,Kencana, Jakarta, hlm.
221.
wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang mempunyai hak dari pihak lain disebut kreditor
atau pihak yang berpiutang, sedangkan pihak yang dibebani kewajiban untuk memenuhi tuntutan disebut
dengan debitor atau yang berutang. Dengan demikian dalam hubungan hukum antara kreditor dan debitor
berarti hak kreditor dijamin oleh hukum atau undang undang11.
Menurut Eghasyamgrint bahwa fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi
yurudis dan fungsi ekonomis.Fungsi yurudis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum para
pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang
lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi12.
Suatu perjanjian memiliki unsur yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur (essensialia)
dan bukan (essensialia).Terhadap yang disebutkan belakangan ini terdiri atas unsur (naturalia) dan
(accidentalia).
a. Unsur (Essensialia)
Eksistensi dari suatu perjanjian ditentukan secara mutlak oleh unsur (essensialia), karena tanpa unsur
ini suatu janji tidak pernah ada. Contohnya tentang ”sebab yang halal”, merupakan (essensialia)
akan adanya perjanjian. Dalam jual beli, harga dan barang yang disepakati oleh penjual dan pembeli
merupakan unsur (essensialia).
Dalam perjanjian riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan unsur (essensialia).Begitu pula
dalam bentuk tertentu merupakan unsur (essensialia) dalam perjanjian formal.
b. Unsur (Naturalia)
Unsur ini dalam perjanjian diatur dalam undang-undang, tetapi para pihak boleh menyingkirkan atau
menggantinya.Dalam hal ini ketentuan undang-undang bersifat mengatur atau menambah (regelend)
atau (aanvullendrecht).
Misalnya, kewajiban penjual menanggung biaya penyerahan atau kewajiban pembeli menanggung
biaya pengambilan. Hal ini diatur dalam Pasal 1476 KUHPerdata: biaya penyerahan dipikul oleh si
penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli.
Anak kalimat dari pasal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang mengatur berupa kebolehan
bagi pihak (penjual dan pembeli) menentukan kewajiban mereka berbeda dengan yang disebutkan
dalam undang-udang itu.Begitu juga kewajiban sipenjual menjamin (vrijwaren) aman hukum dan
cacat tersembunyi kepada si pembeli atas barang yang dijualnya itu.Hal ini diatur dalam ketentuan
Pasal 1491
KUHPerdata.
c. Unsur (Accidentalia)
Unsur ini sama halnya dengan unsur naturalia dalam perjanjian yang sifatnya penambahan dari para
pihak. Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal itu.Contohnya dalam perjanjian jual beli,
benda-benda pelengkap tertentu bisa ditiadakan.Menurut I Ketut Oka Setiawan “suatu perjanjian
memiliki unsur yang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu unsur (essensialia), unsur
(naturalia), dan unsur (accidentalia).”13 Eksistensi dari suatu perjanjian ditentukan secara mutlak
oleh unsur (essensialia), karena tanpa unsur ini suatu janji tidak pernah ada.Contohnya dalam jual
beli, harga dan barang yang disepakati oleh penjual dan pembeli merupakan unsur (essensialia).Unsur
(naturalia)dalam perjanjian diatur dalam undang-undang, tetapi para pihak boleh menyingkirkan atau
menggantinya. Misalnya, kewajiban penjual menanggung biaya penyerahan atau kewajiban pembeli
menanggung biaya pengambilan. Unsur (accidentalia) sama halnya dengan unsur (naturalia)dalam
perjanjian yang sifatnya penambahan dari para pihak. Contohnya dalam perjanjian jual beli, benda-
benda pelengkap tertentu dapat dihilangkan.

PENGERTIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


Perjanjian internasional semakin berkembang seiring berkembangnya transaksi
perdagangan.Perjanjian
11
R. Subekti. 2001.Op. Cit., hlm.. 4.
12
https://eghasyamgrint.wordpress.com/2011/05/21/fungsi-perjanjian/
13
I Ketut Oka Setiawan.2016. Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta. hlm 43.
internasional telah berkembang namun aturan hukum yang terumuskan formal belum cukup berkembang.
Perjanjian internasional adalah perjanjian nasional yang di dalamnya ada unsur asing.
Indikator suatu perjanjian internasional adalah perjanjian nasional yang ada unsur asingnya yaitu:
1. Kebangsaan yang berbeda
2. Para pihak memiliki domisili hukum di negara yang berbeda
3. Hukum yang dipilih adalah hukum asing termasuk prinsip perjanjian internasional
4. Penyelesaian sengketa perjanjian dilangsungkan di luar negeri
5. Pelaksanaan perjanjian tersebut di luar negeri
6. Perjanjian tersebut ditandatangani di luar negeri
7. Objek perjanjian di luar negeri
8. Bahasa yang digunakan dalam perjanjian adalah bahasa asing
9. Digunakannya mata uang asing dalam perjanjian
Subjek-subjek hukum perjanjian internasional yaitu :
1. Individu
2. Badan hukum (dalam hal ini perusahaan)
3. Organisasi internasional
4. Negara
Para pihak dalam perjanjian internasional yaitu:
1. Antara perusahaan dengan perusahaan asing lainnya
2. Antara negara dengan perusahaan asing
3. Antara negara dengan negara
4. Antara organisasi internasional dengan perusahaan14

KEWAJIBAN PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM BAHASA INDONESIA


Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN) menyatakan bahwa 15:
(1) Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, notaris wajibmenerjemahkan
atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
(3) Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
(4) Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), notaris wajib menerjemahkannya
kedalam bahasa Indonesia.
(5) Apabila notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkanatau
dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
(6) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pasal 43 dalam UUJN hanya menyebut kata “akta“ misalnya aktawajib dibuat dalam bahasa
Indonesia, jika para pihak menghendaki akta dapat dibuat dalam bahasa asing, dan seterusnya, yang
menjadi pertanyaan adalah bentuk akta yang manakah yang dimaksud oleh Pasal 43 tersebut?
Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009 mengenai Bendera, Bahasa, danLambang Negara serta Lagu
Kebangsaan menyatakan bahwa (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta
Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia; (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut
dan/atau bahasa Inggris.
Pasal tersebut secara tegas mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian dan bila
perjanjian tersebut melibatkan pihak asing maka perjanjian tersebut juga ditulis dalam bahasa nasional
14
http://stiebanten.blogspot.com/2011/05/hukum-kontrak-internasional.html
15
Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-UndangNomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
No- taris
pihak asing tersebut dan/atau Bahasa Inggris. Ketentuan pasal tersebut secara tersurat menyebutkan bahwa,
terhadap perjanjian yang melibatkan pihak asing, pembentuk undang-undang memberikan kedudukan yang
samaterhadap kewajiban penggunaan bahasa. Bukan hanya mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia, tetapi
juga bisa ditulis dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau Bahasa Inggris.
Menurut Yohanna Endang bahwa pihak pembuat undang-undang menggunakan frasa Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih luas dari frasa ditulis juga
sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan hanya ditulis tetapi juga ditafsirkan sehingga jelas
bahwa tidak dapat dilakukan pemilihan bahasa mana yang berlaku selain Bahasa Indonesia16.

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, yakni studi implementasihukum dalam tataran
praktik, yakni bagaimana norma-norma hukum dipraktikkan dalam masyarakat atau kelompok profesi
dengan menggunakan data sekunder berupadokumen-dokumen hukum baik bahan hukum primer,
sekunder maupun tersier.
Menurut Fokky Fuad penelitian hukum empiris adalah “sebuah metode penelitianhukum yang
berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapatdikatakan melihat, meneliti
bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat.17
Menurut Andi Rustandi metode penelitian hukum empiris ini pada dasarnyamerupakan
“penggabungan
antara pendekatan hukum normatif dengan adanyapenambahan berbagai unsur empiris dalam
melakukan penelitian”.18
Menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, bahwa “metode penelitian hukum empiris mencakup
penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektifitas hukum.19

B. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan adalah data sekunder dari 3 (tiga) jenis bahan hukum, yakni bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun pengelompokkannya sebagai
berikut :
1. Bahan hukum primer bersumber dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No
24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
2. Bahan hukum sekunder yang bersumber dariPutusanNomor 1572 K/Pdt/2015, buku-buku teks
hukum dan jurnal yang erat kaitannya dengan akibat hukum pengabaian penggunaan Bahasa
Indonesia dalam perjanjian internasional ditinjau dari keabsahan perjanjian.
3. Bahan hukum tersier, yaitu berupa Kamus Hukum dan Kamus Besar BahasaIndonesia.

C. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah studidokumen, yaitu dengan
melakukan penelusuran terhadap dokumen-dokumen hukum seperti peraturanperundang-undangan,
putusan pengadilan, buku-buku teks hukum, jurnal hukum dan bahan-bahan hukum.Bahan-bahan
hukum tersebut dikelompokkan berdasarkan muatan materi dan urutan relevansinya.

D. Teknik Analisis Data


Bahan hukum yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, selanjutnyadianalisis dan diuraikan
secara deskriptif kualitatif dengan langkah-langkahsebagai berikut :
1. Tahap pertama, mengkaji dan menjelaskan peraturan perundang-undangan mengenai kekuatan
16
Yohanna Endang, Ismail Navianto, Siti Noer Endah. Op. Cit., hlm. 17.
17
https://uai.ac.id/2011/04/13/pemikiran-ulang-atas-metodologi-penelitian-hukum/diakses pada tanggal 06Agustus 2018.
18
http://andirustandi.com/baca/386/Metode-Penelitian-Hukum-Empiris-dan-Normatif.html diakses pada tanggal 02 Juli 2018.
19
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm
2010.
mengikat perjanjian.
2. Tahap kedua, mengkaji dan menjelaskan peraturan perundang-undangan mengenai akibat hukum
pengabaian penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian internasional.
3. Tahap ketiga, menganalisis dan menjelaskan akibat hukum pengabaian penggunaan Bahasa
Indonesia dalam perjanjian internasional ditinjau dari keabsahan perjanjian.

PEMBAHASAN
A. Penyajian Bahan Hukum: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1572 K/Pdt/201520
1. Kasus Posisi
Nine Am LTD, sebuah perusahaan asing yang berkedudukan di Texas, USA kemudian disebut
sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat / Pembandingmelawan PT Bangun Karya Pratama Lestari,
merupakan perusahaan swasta yang berkedudukan di Jakarta Barat kemudian disebut sebagai
Termohon Kasasi dahulu Penggugat./ Terbanding.Hubungan hukum antara pembanding dan
terbanding didasarkan atas adanya perjanjian (Loan Agreement) tertanggal 30 July
2010.Terbanding merupakan sebuah badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas yang
didirikan berdasarkan hukum Negara Republik Indonesia, berkedudukan diJakarta Barat.
Pembanding merupakan suatu perusahaan kemitraan terbatas yang didirikan dan berdasarkan hukum
yang berlaku di Negara bagian Texas, Amerika Serikat. Berdasarkan (Loan Agreement)/ Perjanjian
pinjam meminjam tertanggal 30 Juli 2010 yang dibuat oleh dan antara pembanding dengan
terbanding, ( berdasarkan (Loan Agreement) yang telah yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh penterjemah resmi dan tersumpah). Pemohon kasasi telah memperoleh pinjaman
uang dari pembanding sejumlah US$ 4,999,500 ( Empat juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan
ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Loan Aggrement tersebut dibuat dan ditandatangani serta
tunduk pada hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Mengenai perjanjian dan segala akibatnya
debitur memilih domisili hukum tetap di kantor panitera Pengadilan Negeri Jakarta Barat, karena
yang mempersiapkan seluruh isi (Loan Agreement) adalah pihak pemohon kasasi maka bahasa yang
digunakan dalam (Loan Agreement) adalah Bahasa Inggris yang kemudian di terjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi dan tersumpah.
Sebagai jaminan atas hutang tersebut, antara pemohon kasasi dan termohon kasasi telah dibuat akta
perjanjian jaminan fidusia atas benda tertanggal 30 Juli 2010 yang dibuat dihadapan Notaris & PPAT
di Jakarta.Benda atau barang yang dijadikan sebagai jaminan fidusia tersebut adalah berupa 5 unit
Truck Caterpillar Model 777 D dengan nomor seri masing-masing berturut-turut, FKR 0035, FKR
0036, FKR
0037, FKR 0038 dan FKR 4064.
Pelunasan atau pembayaran kembali pinjaman beserta bunganya akan dilakukan sebagai berikut:
a. 48 kali angsuran bulanan sebesar US$ 179,550 ( seratus tujuh puluh Sembilan ribu lima ratus
lima puluh dollar Amerika Serikat) per bulan.
b. Pembayaran bunga akhir sebesar US$ 1.500.000 ( satu juta lima ratus ribu dollar Amerika
Serikat) yang wajib dibayar pada tanggal pembayaran terakhir angsuran pinjaman.
Termohon kasasi dahulu penggugat/ terbandingmemohon kepada pengadilan agar perjanjian
dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
karena (Loan Agreement) tidak memenuhi syarat formil tertentu sebagaimana diwajibkan
Pasal 31 ayat (1) UU No 24 Tahun 2009 bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota
kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik
Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah memberikan Putusan Nomor
450/Pdt.G/2012/PN Jkt.Bar., Tanggal 6 Maret 2004 dengan amar sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa (Loan Agreement) tertanggal 30 Juli 2010 yang dibuat oleh dan
antara penggugat dengan tergugat, batal demi hukum;
20
(http://putusan.mahkamahagung.go.id)
3. Menyatakan bahwa akta perjanjian jaminan fidusia atas benda yang merupakan perjanjian
ikutan (accesoir),batal demi hukum;
4. Memerintahkan pada penggugat untuk mengembalikan sisa uang dari pinjaman yang
belum diserahkan kembali kepada tergugat sebesar US$ 1.176.730,50
Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh pengadilan tinggi dengan Putusan Nomor
662/Pdt/2014/PT.DKI Tanggal 4 Desember 2014 sehinggs pembanding mengajukan kasasi. Alasan-alasan
yang diajukan oleh pemohon kasasi/ tergugat/pembanding dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya
sebagai berikut;
Dalam Eksepsi;
1. Majelis Hakim (Judex Facti) telah keliru dan salah menerapkan hukum dengan telah memutus
melampaui petitum dalam gugatan termohon kasasi;
2. Majelis Hakim (Judex Facti) telah salah dalam memberikan pertimbangan hukum karena termohon
kasasi telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu terhadap pemohon kasasi;
3. Majelis Hakim (Judex Facti) telah mengabaikan asas (Audi et Alteram Partem) sehingga telah tidak
tepat dalam memberikan pertimbangan hukum terkait dengan peristwiwa wanprestasi yang dilakukan
oleh termohon kasasi.
Dalam Pokok Perkara;
1. Dari ketentuan-ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata dapat dilihat dengan jelas bahwa
kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31
ayat(1) UU No 24 Tahun 2009 bukan merupakan persoalan mengenai sebab yang dilarang;
2. Bahkan Pasal 31 ayat(2) UU No 24 Tahun 2009 menyatakan bahwa dalam hal perjanjian dibuat
dengan pihak asing, perjanjian tersebut juga ditulis dalam bahasa asing yang bersangkutan atau
bahasa Inggris. Jadi bagaimana mungkin penggunaan bahasa inggris semata-mata dalam perjanjian
membuat perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum?
3. Yang dimaksud dengan sebab yang dilarang di undang-undang sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata adalah perjanjian yang isinya dilarang oleh Undang-undang
4. (Judex Facti) telah salah dalam memberikan pertimbangan hukum sehingga menyebabkan kesalahan
yang fatal dalam menerapkan hukum, karena (Judex Facti) tidak menganalisa secara lebih dalam
mengenai pengertian “(causa) yang halal”
5. Kehendak pembuat undang-undang untuk tidak membuat batal suatu perjanjian yang dibuat hanya
dalam bahasa asing atau inggris telah ditegaskan pula dalam undang-undang yang dibuat setelah
berlakunya UU No 24 tahun 2004, yaitu UU Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor
30 tahun 2004 tentang jabatan notaris (UUJN). UU Nomor 2 Tahun 2004 tidak memberikan sanksi
batal bagi suatu perjanjian yang dibuat dihadapan seorang notaris dalam bahasa asing.
Terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
1. Keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara seksama memori
kasasi tanggal 4 Maret 2015 dan konra memori kasasi tanggal 24 Maret 2015 dihubungkan dengan
pertimbangan (Judex Facti) dalam hal ini pertimbangan Pengadilan Tinggi yang menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri tidak salah dalam menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
2. Perjanjian yang dibuat para pihak ditandatangani pada Tanggal 30 Juli 2010, dibuat setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 Tertanggal 9 Juli 2009 yang mengsyaratkan
harus dibuat dalam Bahasa Indonesia;
3. Faktanya (Loan Agreement) tersebut tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia, hal ini membuktikan
bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 sehingga dengan demikian perjanjian/(Loan Agreement) a
quo merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang dilarang, sehingga sesuai ketentuan
Pasal 1335 juncto Pasal 1337 KUHPerdata perjanjian tersebut batal demi hokum.
4. Akta perjanjian jaminan fidusia atas benda yang merupakan perjanjian ikutan (accesoir) juga harus
dinyatakan batal demi hukum;
5. Selain itu alasan kasasi hanya pengulangan atas semua yang telah dipertimbangkan dengan benar oleh
(Judex Facti);
6. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi Nine
AM, LTD tersebut harus ditolak;
7. Menimbang karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi ditolak dan pemohon kasasi ada dipihak
yang kalah, maka pemohon kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari
pemohon kasasi Nine dan menghukum pemohon kasasi/tergugat/terbanding untuk membayar perkara
dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,00

B. Analisis Putusan
1. Kekuatan Mengikat Perjanjian
Kekuatan mengikat suatu perjanjian bergantung pada keabsahannya.Keabsahan suatu perjanjian diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri dari sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal.
a. Sepakat
Supaya perjanjian menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat
di dalam perjanjian dan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati.Pencantuman kata-kata setuju dan sepakat sangat penting
dalam suatu perjanjian.Tanpa ada kata-kata ini (atau kata-kata lain yang bermaksud
memberikan ikatan atau setuju saja atau sepakat saja), maka perjanjian tidak memiliki ikatan
bagi para pembuatnya.Setuju dan sepakat dilakukan dengan penuh kesadaran di antara para
pembuatnya, yang bisa diberikan secara lisan dan tertulis.
Suatu kesepakatan dianggap cacat atau dianggap tidak ada apabila:
1. Mengandung paksaan (dwang), termasuk tindakan atau ancaman atau intimidasi mental.
2. Mengandung penipuan (bedrog), adalah tindakan jahat yang dilakukan salah satu pihak,
misal tidak menginformasikan adanya cacat tersembunyi.
3. Mengandung kekhilafan/kesesatan/kekeliruan (dwaling), bahwa salah satu pihak memiliki
persepsi yang salah terhadap subjek dan objek perjanjian. Terhadap subjek disebut
(error in persona) atau kekeliruan pada orang, misal melakukan perjanjian dengan
seorang artis, tetapi ternyata perjanjian dibuat bukan dengan arti itu, melainkan hanya
nama yang sama. Terhadap objek disebut (error in substantia) atau kekeliruan pada
benda, misal membeli batu akik, ketika sudah dibeli, ternyata batu akik tersebut palsu.
b. Cakap
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal
1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
yakni:
1. Orang yang belum dewasa (dibawah 21 tahun, kecuali yang ditentukan lain) ;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or conservatorship); dan
3. Perempuan yang sudah menikah
Berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia
21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan Pasal 47
dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa
kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau
wali sampai dia berusia 18 tahun.
Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa masing-masing pihak
(suami atau isteri) berhak melakukan perbuatan hukum. Pasal ini sekaligus mengoreksi
ketetentuan Pasal 1330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa prempuan yang sudah
menikah dianggap tidak cakap.

c. Hal Tertentu
Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu
benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.Barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).Suatu perjanjian harus
memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of
terms), berarti harus jelas prestasi para pihak yakni hak dan kewajiban kedua belah
pihak.Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya
(determinable).
d. Sebab Yang Halal
Menurut Ius Yusep suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya
perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian
tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan, yang menjadi persoalan pokok dalam hal ini adalah apakah pengertian
perkataan sebab itu sebenarnya. Dari sejumlah interpretasi dan penjelasan para ahli, dapat
disimpulkan bahwa pengertian perkataan sebab itu adalah sebagai berikut:
1. Perkataan sebab sebagai salah satu syarat perjanjian adalah sebab dalam pengertian ilmu
pengetahuan hukum yang berbeda dengan pengertian ilmu pengetahuan lainnya.
2. Perkataan sebab itu bukan pula motif (desakan jiwa yang mendorong seseorang melakukan
perbuatan tertentu) karena motif adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum.
3. Perkataan sebab secara (letterlijk) berasal dari perkataan (oorzaak), bahasa Belanda atau
(causa), bahasa Latin yang menurut riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan
itu dalam perjanjian adalah tujuan yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua pihak dengan
mengadakan perjanjian. Dengan perkataan lain sebab berarti isi perjanjian itu sendiri.
4. Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan dalam Pasal 1335 KUHPerdata
adalah suatu kemungkinan yang tidak akan terjadi, karena perjanjian itu sendiri adalah isi
bukan tempat yang harus diisi.21
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dinyatakan bertentangan
dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan
undang- undang yang berlaku.Subekti menjelaskan, bahwa “(causa) sebab sebagaimana dimaksud
dalam syarat ke-empat Pasal 1320 KUHPerdata merupakan isi dari kontrak itu sendiri, sehingga
(causa) merupakan prestasi dan kontraprestasi yang saling dipertukarkan oleh para pihak” 22.Ahmadi
Miru menjelaskan bahwa “(causa) di dalam Pasal 1320 KUHPerdata berkaitan dengan isi perjanjian
tersebut, dalam hal ini isi dari perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang
kesusilaan dan ketertiban”23. Jadi (causa) yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata merupakan
isi dari perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang menjadi prestasi kedua belah pihak dan tidak
menyangkut bentuk atau formalitas kontrak.
Munir Fuady menggolongkan syarat-syarat perjanjian sebagai berikut:
a. Syarat sah yang umum, terdiri dari :
1) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yang terdiridari :
a) Kesepakatan kehendak;
b) Wewenang berbuat;
c) Perihal tertentu; dan
21
www. Ilmuhukum.com
22
R. Subekti. 1992.Op. Cit., hlm. 46
23
Ahmadi Miru.Op. Cit., hlm 34
d) Kausa yang legal.
2) Syarat sah umum di luar Pasal 1320 KUHPerdata, yangterdiri dari :
a) Syarat itikad baik;
b) Syarat sesuai dengan kebiasaan;
c) Syarat sesuai dengan kepatutan;
d) Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
b. Syarat-syarat yang khusus, yang terdiri dari :
1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu;
2) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;
3) Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu;
4) Syarat izin dari yang berwenang.24
Muhammad Syaifuddin membagi syarat sah suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu
syarat pertama dan kedua yang disebutkan di atas dinamakan syarat subjektif, karena menyangkut soal subjek
atau orang-orang yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat
objektif, karena menyangkut objek dari peristiwa yang dijanjikan itu.25
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan yang berarti
salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya.
Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum yang berarti dari
semula perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Keempat syarat sahnya perjanjian di atas diuraikan sebagai
berikut :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Di dalam KUHPerdata tidak terdapat pengertian mengenai sepakat.Oleh karena itu untuk
memperoleh pengertian sepakat yang diambil dari beberapa pendapat para sarjana.
Menurut I Ketut Oka Setiawan bahwa kesepakatan diperlukan dalam mengadakan perjanjian,
ini berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, artinya masing-
masing pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat dalam
mewujudkan kehendaknya.26
Menurut Mariam Darus Badrulzaman “pengertian sepakat dilukiskan sebagaipernyataan
kehendak
yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pihak yangmenawarkan dinamakan tawaran (offerte),
sedangkan pihak yang menerimatawaran dinamakan akseptasi (acceptatie)”.27
Mengingat kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela) maka KUHPerdata menyebutkan
ada 3 (tiga) sebab kesepakatan tidak diberikan secara sukarela yang akan menyebabkan
kesepakatan menjadi tidak sah yaitu karena adanya paksaan, kekhilafan (dwaling), dan penipuan
(bedrog). Hal ini diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Orang-orang atau pihak-pihak dalam membuat suatu perjanjian haruslah cakap menurut hukum,
hal ini ditegaskan dalam Pasal 1329 KUHPerdata yangmenyebutkan bahwa “setiap orang adalah
cakap untuk membuat suatu perikatan- perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak
cakap”.
Undang-undang yang dimaksud menyatakan tidak cakap itu adalah Pasal 1330 KUHPerdata yang
menyebutkan orang yang tidak cakap membuat perjanjian :
1) Orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang perempuan, dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang, dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-
24
Munir Fuady. 1999. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra AdityaBakti, Bandung, hlm. 33-34.
25
Muhammad Syaifuddin. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat,Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum
(Seri
Pengayaan Hukum Perikatan), CV Mandar Maju,Bandung, hlm. 110-111.
26
I Ketut Oka Setiawan.Op. Cit., hlm. 61.
27
Mariam Darus Badrulzaman. 1996. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, hlm. 98.
perjanjian tertentu.
Dalam hal orang-orang yang belum dewasa kriterianya ditentukan oleh Pasal 1330
KUHPerdata yaitu seseorang yang belum dewasa adalah mereka yang belummencapai umur
genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin.Bila perkawinan mereka
putus (cerai) sebelum umur mereka 21 (dua puluh satu) tahun maka mereka tidak kembali
lagi dalam status belum dewasa.
Mengenai ketentuan seorang perempuan tidak cakap membuat suatu perjanjian, Pasal
105, 108, dan 110 KUH Perdata menyebutkan bahwa istri tanpa bantuan suami tidak dapat
melakukan perbuatan hukum (termasuk membuat perjanjian) dengan kata lain seorang istri
kehilangan kecakapan tanpa bantuan suami telah dicabut melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung Republik Indonesia (SEMA RI) Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diseluruh Indonesia
dalam rangka pembinaan hakim-hakim bawahannya, agar tidak lagi merujuk pada ketentuan
Pasal 105, 108,
110 KUHPerdata, karena bunyi pasal tersebut diskriminatif ataubertentangan dengan bunyi
Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disingkat UUD 1945) yang menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
c. Suatu hal tertentu
Menurut I Ketut Oka Setiawan “syarat ketiga dari suatu perjanjian haruslah memenuhi “hal
tertentu”, maksudnya adalah suatu perjanjian haruslah memiliki objek (bepaard onderwerp)
tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan”.28
Salim H.S menyatakan “di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek
perjanjian
adalah prestasi (pokok perjanjian)”29.
Menurut Muhammad Syaifuddin, “prestasi adalah suatu kewajiban hukum yang dibuat dengan
persetujuan para pihak, di mana memperjanjikan mengenai hal tertentu sehingga jelas apa yang
menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian.”30
Objek perjanjian itu diatur dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “suatu
persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya.Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu
terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Dalam hal yang disebutkan Pasal 1333 KUHPerdata, maksudnya barang itu tidak selalu harus
sudah ada atau sudah harus ada ditangan salah seorang pihakpada waktu perjanjian
dibuat.Begitupula dengan jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung
atau ditetapkan.
d. Suatu sebab yang halal
Perkataan “sebab” yang dalam bahasa Belanda disebut oorzaak, dan dalam bahasa Latin disebut
causa, merupakan syarat keempat dari suatu perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320
KUHPerdata sebagai “sebab yang halal”.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bawha causa dalam hal ini bukanlah hubungan sebab
akibat, sehingga pengertian (causa) di sini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan
ajaran (causaliteit), bukan juga merupakan sebab yang mendorong para pihak untuk mengadakan
perjanjian. Karena apa yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak
menjadi perhatian.31
Berdasarkan pendapat Badrulzaman di atas dapat disimpulkan bahwa padaasasnya hukum tidak
menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorangatau apa yang dicita-citakan seseorang,
28
I Ketut Oka Setiawan.Op. Cit., hlm. 67.
29
Salim H.S. Op. Cit., hlm. 34.
30
Muhammad Syaifuddin. Op. Cit., hlm. 128-129.
31
Mariam Darus Badrulzaman. Op. Cit., hlm. 100.
yang menjadi perhatian hukum atauundang-undang adalah tindakan orang dalam masyarakat.
Adakalanya suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau
terlarang. Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa “sebab terlarang maksudnya adalah
sebab yang dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum”.Apabila suatu
perjanjian tidak mempunyai sebab yang halal maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
2. Akibat Hukum Pengabaian Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Perjanjian Internasional
Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009 mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan menyebutkan bahwa (1)
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga
Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan
warga negara Indonesia.(2)Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa
Inggris.
Pasal tersebut secara tegas mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian dan bila
perjanjian tersebut melibatkan pihak asing maka perjanjian tersebut juga ditulis dalam bahasa nasional
pihak asing tersebut. Ketentuan pasal tersebut secara tersurat menyebutkan bahwa, terhadap perjanjian
yang melibatkan pihak asing, pembentuk undang-undang memberikan kedudukan yang sama terhadap
kewajiban penggunaan bahasa. Bukan hanya mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia, tetapi juga
harus dituliskan dalam bahasa nasional pihak asing.
Akan tetapi jika diamati lebih lanjut, pihak pembuat undang-undang menggunakan frasa Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih luas dari frasa
ditulis juga sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan hanya ditulis tetapi juga ditafsirkan
sehingga jelas bahwa tidak dapat dilakukan pemilihan bahasa mana yang berlaku selain Bahasa
Indonesia. Selanjutnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan surat tanggapan
terhadap ketentuan Pasal 31 UU No24 Tahun 2009 sebagai berikut:
1. Penandatanganan perjanjian privat komersial dalam Bahasa Inggris tanpa disertai bahasa
Indonesia tidak melanggar persyaratan kewajiban sebagaimana dimaksud UU No 24 Tahun
2009 sehingga perjanjian tersebut tetap sah dan tidak batal demi hukum atau tidak dapat
dibatalkan;
2. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 31 Undang-Undang tersebut menunggu
sampai dikeluarkan Peraturan Presiden;
3. Kewajiban tersebut tidak berlaku surut sehingga perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelum
Peraturan Presiden diundangkan tidak perlu disesuaikan atau menyesuaikan penggunaan bahasa
Indonesia yang ditentukan di dalam Peraturan Presiden tersebut.
4. Terkait dengan penggunaan bahasa para pihak pada dasarnya bebas menyatakan bahasa mana
yang akan digunakan dalam kontrak dan jika Peraturan Presiden nantinya menetapkan para
pihak wajib menggunakan dua bahasa maka para pihak baru akan terikat terhadap kewajiban
penggunaan dua bahasa tersebut akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi para pihak untuk
memilih bahasa mana yang akan digunakan jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap kata
atau kalimat dalam perjanjian tersebut.
Poin pertama, perjanjian privat komersial dalam Bahasa Inggris tanpa disertai bahasa Indonesia
memang semestinya tidak menjadikan perjanjian tersebut secara serta merta menjadi tidak sah. Poin kedua
dan ketiga, terhadap pernyataan bahwa keberlakuan ketentuan Pasal 31 tersebut menunggu sampai
dikeluarkannya Peraturan Presiden. Hal tersebut kurang tepat sebab Pasal 50 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebutkan bahwa :
“peraturan perundangan- undangan mulai berlaku dan memiliki kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”, sehingga
UU No 24 Tahun 2009 seharusnya sudah berlaku pada tanggal 9 Juli 2009 sehingga terhadap perjanjian yang
dibuat pada tanggal 9 Juli 2009 dan sesudahnya wajib menggunakan Bahasa Indonesia dan bila perjanjian
tersebut melibatkan pihak asing maka
13 - Vol. 6 No. 2 - Desember 2016 Vol. 6 No. 2 - Desember 2016 - 13
Jurnal Hukum “PEMBERDAYAAN HUKUM”

selain wajib menggunakan Bahasa Indonesia juga ditulis menggunakan bahasa nasional pihak asing tersebut
dan/atau Bahasa Inggris.
Mengenai bunyi ketentuan Pasal 40 UU No 24 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa ketentuan
lebih lanjut tentang penggunaan Bahasa Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden, ketentuan
ini seharusnya diinterpretasikan bahwa Peraturan Presiden hanya akan mengatur detail penggunaan Bahasa
Indonesia dalam perjanjian akan tetapi bukan berarti penangguhan berlakunya kewajiban penggunaan Bahasa
Indonesia dalam perjanjian tersebut.
Poin keempat, terhadap kebebasan memilih bahasa mana yang berlaku jika terdapat sengketa, terlepas
dari pengakuan terhadap asas kebebasan berkontrak, seharusnya hal tersebut tidak dapat dilakukan. Sebab,
esensi dari ketentuan pengaturan mengenai bahasa dalam UU No 24 Tahun 2009 ini adalah kewajiban
penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian, sehingga sudah seharusnya untuk kontrak yang dibuat di
Indonesia dan memilih penyelesaian hukum di Pengadilan Indonesia jika terjadi sengketa harus nebggunakan
Bahasa Indonesia.
Penulis tidak sependapat dengan pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa faktanya (Loan
Agreement) tersebut tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 31
ayat (1) UU No 24 Tahun 2009. Dengan demikian perjanjian/(Loan Agreement) a quo merupakan perjanjian
yang dibuat berdasarkan sebab yang dilarang, sehingga sesuai ketentuan Pasal 1335 juncto Pasal 1337
KUHPerdata perjanjian tersebut batal demi hukum.
Menurut penulis, tidak dipenuhinya penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian tersebut tidak
berkaitan dengan syarat materil sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tetaoi berkaitan
dengan syarat formal sahnya perjanjian yang oleh beberapa penulis dimaknai sebagai syarat khusus.Menurut
Subekti, bahwa (causa) sebab sebagaimana dimaksud dalam syarat ke-empat Pasal 1320 KUHPerdata
merupakan isi dari kontrak itu sendiri, sehingga (causa) merupakan prestasi dan kontraprestasi yang saling
dipertukarkan oleh para pihak. Sama halnya dengan Subekti, Ahmadi Miru menjelaskan bahwa (causa) di
dalam Pasal 1320 KUHPerdata berkaitan dengan isi perjanjian tersebut, dalam hal ini isi dari perjanjian
tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban. Dari kedua pandangan para
ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa substansi dari kausa yang halal seperti dimaksud dalam Pasal
1320
KUHPerdata berkaitan dengan isi perjanjian yaitu hak dan kewajiban (prestasi) para pihak, tidak berkaitan
dengan formalitas perjanjian. Penulis pun tidak sependapat dengan Hakim yang menyatakan bahwa
perjanjian a quo adalah batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat karena berdasarkan
pendapat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, efektifitas Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009
menunggu terbitnya Peraturan Presiden.

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan dalam pembahasan, dapatdisimpulkan bahwa
pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1572 K/Pdt/2015 yang menetapkan perjanjian
(Loan Agreement) yang dibuat oleh para pihak karena tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia, merupakan
perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang dilarang, sehingga sesuai ketentuan Pasal 1335 juncto Pasal
1337 KUHPerdata perjanjian tersebut batal demi hukum adalah tidak tepat. Penggunaan Bahasa Indonesia
bukan merupakan kausa yang halal sebagai syarat materiil sahnya suatu perjanjian, tetapi kewajiban
menggunakan Bahsa Indonesia merupakan syarat formal sahnya perjanjian. Kekeliruan lain bahwa hakim
tidak mempertimbangkan Pendapat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Penerapan Pasal 31 ayat
1 UU No 24 Tahun 2009.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran penulis adalah sebagai berikut :
1. Hakim lebih teliti dalam menganalisa suatu perkara, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian
Jurnal Hukum “PEMBERDAYAAN HUKUM”

hukum bagi para pihak.


2. Hakim dalam memutuskan perkara seharusnya memerhatikan asas keadilan bagi para pihak.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Teks
Abdulkadir Muhammad. 1990. Hukum Perikatan, Cetakan II, Citra Aditya Bakti,Bandung,
Ahmadi Miru. 2008. Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1436 Bw, Rajawali Pers,
Makassar.
I Ketut Oka Setiawan. 2016. Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta.
Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung.
---------. 1996. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.
Muhammad Syaifuddin. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori,
Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV Mandar Maju,
Bandung.
Munir Fuady. 1999. Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bakti,
Bandung.
---------.2014.Konsep Hukum Perdata, Cetakan I, Jakarta.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif danEmpiris,
Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
R. Subekti. 1992. Aneka Perjanjian, Cetakan IX, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
---------- 2001. Hukum Perjanjian, Cet 18, Intermasa, Jakarta.
Salim H.S. 2004a. Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet 2, Sinar Grafika,
Jakarta.
---------. 2004b. Perancangan Kontrak & Memorandum Of Understanding (MoU), Cetakan VI, Sinar
Grafika, Jakarta.
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Titik Triwulan Tutik. 2010. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cetakan II, Kencana,
Jakarta.

B. Kamus
Ahmad A.K. Muda. 2008. Kamus Saku Bahasa Indonesia. Gitamedia Press. Jakarta
J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta
Subekti dan Tjitrosoedibio. 2002. Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta

C. Sumber Elektronik
kbbi.kemendikbud.go.id (http://putusan.mahkamahagung.go.id)
https://uai.ac.id/2011/04/13/pemikiran-ulang-atas-metodologi-penelitian-hukum/
diakses pada tanggal 06Agustus 2018.
http://andirustandi.com/baca/386/Metode-Penelitian-Hukum-Empiris-dan-Normatif.
html diakses pada tanggal 02 Juli 2018.
www. Ilmuhukum.com

Anda mungkin juga menyukai