Anda di halaman 1dari 185

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPU

DI DESA TAMANSARI KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2013

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh :

ANNISA FATHMAULIDA

NIM : 109101000005

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1434 H/2013 M
xi'sxaan rum+irATAAN

Dengan inl saya menyatakan bahwa :

‘’ 1. Skripsi ini merupakan karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu

pcrsyaratan memperoleh gelar strata l di Fakultas Kedokteran dan llmu

Kcseliautn Uitiversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayautl!ah Jakarta,

2. Setnua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran

dan llmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayautllah

Jakarta.

3. Jika dikemudiall hari terbukti bahwa karya ir‹i bukan hasil katya asli saya

atau merupakan plagiarism- dari karye orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan llmu

Kesehatan Universitas lslarr Negeri (UIN) Syarif Hidayautllali Jakarta.

Tanggerang Selatan, Mei 2013


M.
NIP.19750215 200901 2 003 NIP.19650808 198803 1 002

PE61lNATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRA3I STUD I KESEHATAN 3IASYARAKAT
FA KU1.TA S KED OKTERAN DAN ILII U KESEHATAN
UhI8T.RSITAS ISL ¥hI NEGERI Sâ aRiF inna ATULLAII J.4KARTA
1434 H/2013 81
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAII JAKARTA

Jakarta, Juni 2013

Yuli Amé

Penguji 11,

Dewi U Kes Ph D.

enguji III,

Ir. Unt nq Su
V
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PRORAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Annisa Fathmaulida 109101000005


Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja
Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang Tahun 2013
xv+ 140 halaman, 3 bagan, 15 tabel, 7 gambar, 7 lampiran
ABSTRAK
Gangguan fungsi paru dari proses masuk dan keluarnya udara ke dalam paru adalah
restriksi dan obstruksi. Gangguan fungsi paru pada umumnya terjadi karena faktor individu
dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan sebanyak 12 dari 45 pekerja
pengolahan batu kapur mengalami gangguan paru seperti asma dan bronchitis. Selain itu
berdasarkan hasil penelitian pengukuran kadar PM 10 ambien di area pengolahan batu kapur,
diperoleh kadar PM10 melebihi nilai ambang batas dengan jumlah rata-rata sebesar 514
µg/m3. Kemudian hasil uji laboratorium kadar SiO 2 yang melebihi ambang batas OSHA
yaitu pada batu kapur sebelum di bakar sebesar 3,46%.
Tujuan penelitian ini diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan
fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur. Waktu penelitian dilakukan pada bulan
Januari-April 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan desain
cross sectional study, jumlah sampel 40 responden dan teknik pengambilan sampel adalah
quota sampling. Data diperoleh dari kuesioner (data responden), pengukuran PM 10 dengan
SKC-EPAM 5000 dan pengukuran suhu dan kelembaban dengan WBGT Quest. Analisis uji
statistik menggunakan uji t-test independen dan Chi-square dengan derajat kepercayaan
95%.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 40 responden pekerja batu kapur diperoleh
sebanyak 7 orang yang didiagnosis mengalami gangguan fungsi paru. Faktor yang memiliki
kemaknaan statistik terhadap gangguan fungsi paru adalah variabel umur (p:0,032). Faktor
lainnya yang tidak berhubungan secara statistik adalah masa kerja (0,932) dengan rata-rata
10 tahun bekerja; status gizi (0,842) dengan 32% kurus, 47% normal; konsumsi rokok
(0,285) dengan rata-rata 15 batang/hari; kadar PM10 ambien (0,783) mean 514 µg/m3; suhu
(0,963) mean 32oC dan kelembaban (0,854) mean 79%.
Penelitian ini diharapkan menjadi referensi studi dan kajian bagi beberapa pihak dan
steakholder. Pertama pada pekerja untuk lebih mewaspadai bahaya kesehatan dan
keselamatan bekerja. Kedua pada pemilik menghimbau untuk memperhatikan pekerja dari
bahaya dan turut mendukung terciptanya lingkungan yang sehat dari aktivitas pengolahan
batu kapur. Ketiga kepada UKK Puskesmas setempat melakukan pemantauan kesehatan dan
peningkatan pengetahuan akan bahaya pada pekerja, dan pihak pemerintah daerah
melakukan pemantauan kualitas udara ambien di sekitar Desa Tamansari sebagai sentra
pengolahan batu kapur yang akan memiliki risiko terjadinya gangguan kesehatan pada
pekerja dan masyarakat sekitar.

Kata kunci: gangguan fungsi paru, pekerja batu kapur, faktor lingkungan, faktor individu
Daftar Bacaaan : 1986-2013

iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduated Thesis, June 2013
Annisa Fathmaulida, NIM: 109101000005

Factors Associated with Impaired Lung Function in Limestone Processing


Workers In Tamansari Village, Pangkalan, Karawang 2013
xv+ 140 pages , 3 diagrams, 15 tables, 7 pictures, 7 attechments

Abstract
Pulmonary function impairment of the process of entry and exit of air into the lungs
is a restriction and obstruction. Lung problems generally occur due to individual factors and
environmental factors. Based on the results of preliminary studies as many as 19 of the 58
workers processing limestone pulmonary disorders such as asthma and bronchitis. Also
based on the results of measurements of ambient PM10 levels in limestone processing area,
obtained PM10 levels exceed a threshold value with the average number of 514 μg/m3. Then
the SiO2 content of the laboratory test was also performed on the limestone before it is
burned in excess of the OSHA limit of 3.46%.
The purpose of this study knowing what factors are associated with impaired lung
function in workers processing limestone. The time study was conducted in January-April
2013. This type of research is a epidemiology study with cross-sectional design, the number
of samples of 40 respondents and the sampling technique was quota sampling. Data obtained
from the questionnaires (data respondents), PM10 measurements with SKC-5000 EPAM and
temperature and humidity measurements with WBGT Quest. Statistical analysis using
independent t-test and Chi-square with degrees of 95% and alpha of 0.05.
The results, from 40 respondents limestone workers earned as much as 7 people in
diagnosis malfunction. Factors that have statistical significance for lung function impairment
is variable age (p:0.032). Other factors did not reach statistical significance are the tenure
variable (0,932) mean 10 years; nutritional status (0,842) in 32% thin,47% normal; cigarette
consumption (0,285) mean15/day; ambient PM10 levels (0,783) mean 514 µg/m 3;
temperature (0,963) mean 32oC and humidity (0,854) mean 79%.
This study is expected to be a reference for the study and review of some parties and
steakholder. First the workers more aware of the dangers to health and safety work. Both of
the owners are urged to pay attention to workers from hazards and contribute to the creation
of a healthy environment of limestone processing activity. Third to the UKK Puskesmas
Tamansari to monitor the health and increased knowledge of the dangers to workers, and
government area to monitor ambient air quality around the Castle Village Tamansari as
limestone processing centers that have a risk the occurrence of health workers and
surrounding communities.

Key Words: pulmonary function impairment, limestone processing workers, environment factors,
personal factors
Refferece : 1986-2013

v
CURRICULUME VITAE IDENTITAS PERSONAL
: Annisa Fathmulida
: Jl. Tampomas No. 15 D Perum Karang Indah, Karang Pawitan, Karawang.
Nama Alamt Asal : Subang, 16 September 1991
: Islam
TTL :O
Agama :
Golongan Darah Alamat
RIWAYAT Email
PENDIDIKAN

2009-2013 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Peminatan Kesehatan Lingkungan
2007-2009 : SMA Negeri 3 Karawang
2003-2006 : SMP Negeri 1 Karawang
2003 : SDN Negeri Karang Pawitan 1 Karawang

PENGALAMAN ORGANISASI DAN PELATIHAN


2009-2010 : Pokja Tobacco Control ISMKMI Wil. II
2010-2012 : Staff Departemen Komunikasi dan Informasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
2012 : Indonesian Leadership Devlopment Program 2012 oleh
Rektorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia
2012 :Training Integrated Management Systems ISO 9001:2008,
ISO 14001:2004&OHSAS 18001:2007
PENGALAMAN PRAKTEK KERJA
2011-2012 Pengalaman Belajar Lapangan Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) Pondok Jagung Timur , Tangerang Selatan.
2012 : Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering 2012
2013 : Kerja Praktek bidang Environment di
OE/HES PT. Chevron Pacific Indonesia

vi
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Berkat Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’la yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang serta dorongan yang kuat, akhirnya saya dapat menyelesaikan proposal
skripsi dengan judul “ Faktor- faktor yang Berhubungan terhadap Gangguan Fungsi
Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan
Kabupaten Karawang Tahun 2013”. Shalawat serta salam selalu terjunjun kepada
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah membawa umatnya dari
dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang akan
ilmu dan pengetahun.

Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S-1


pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas saya ingin mengucapkan terima kasih yang
kepada berbagai pihak, antara lain :

1. Ibu Minsarnawati,M.Kes dan bapak Dr.H.Arif Sumantri,M.Kes selalu


pembimbing I dan pembimbing II atas bimbingan dan arahan dalam
penelitian ini dan menyempatkan waktu di kesibukannya untuk
menyempurnakan penulisan skripsi.
2. Ibu Yuli Amran,M.KM, Ibu Dewi Utami,Ph.D., dan Bpk. Ir. Untung
Sryanto, M.Sc, selaku penguji sidang skripsi yang telah banyak
mengarahkan untuk pengayaan materi dan informasi pada skripsi ini
3. Pihak Puskesmas Pangkalan beserta staff UKK serta Dinas Kesehatan Kab.
Karawang yang mengizinkan dan mendukung penelitian ini berjalan.
4. Untuk saudara seperjuangan, jama’ah peminatan Kesehatan Lingkungan
2009 atas dukungan dan masukan penelitian; Rudi, Tari, Yudi, Ersa, Agung,

vii
Yeni, Ratna, Rahmi, Maya, Cita, Aan, Risma, Dila, Moris, Udin, Nita, Zia,
Reni dan Ratna beserta adik-adik angkatan 2010&2011 Kesling.
5. Sahabat dan Saudara terdekat serta rekan-rekan seperjuangan yang telah
membantu memberikan senyuman dan doa yang telah mendukung
kelancaran penyusunan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuan apapun,
yaitu Sarah, Fira, Depi, Tanjung, Heni, Lulu, Fahad, Dea, Lilik, Ka Ami, Ka
Egi, Vebria, Derie, Nurul, Iva dan lainnya yang tidak disebutkan satu
persatu.
6. Terakhir dan terpenting untuk papah yaitu Bpk.Rindu Putra, mamah ayi,
nenek Adung dan segenap keluarga yang mendukung, mendoakan dan
mencurahkan kasih sayangnya dari jauh dan tidak langsung di setiap
waktunya.
7. Especially for alm. Mamah yang sudah mendahului kami sekeluarga,
ketidak beradaan beliau menjadi kekuatan dan motivasi terbesar dalam
setiap prosesnya.

Semoga bantuan, petunjuk, bimbingan dan pengarahan yang diberikan dari


berbagai pihak kepada penulis mendapat balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’la.

Tanggerang Selatan, Juni 2013

Penulis

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN i
ABSTRAK ii
CURRICULUME VITAE iv
LEMBAR PENGESAHAN v
LEMBAR PERSETUJUAN vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI xi
DAFTAR BAGAN xiii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 6

1.3. Pertanyaan Penelitian 7

1.4. Tujuan 8

1.5. Manfaat 9

1.6. Ruang Lingkup 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fungsi Paru 12

2.2. Gangguan Fungsi Paru 13

2.3. Epidemiologi Gangguan Fungsi Paru 16


ix
2.4. Pemeriksaan Kapasitas Fungsi Paru 17

2.5. Sistem Pernapasan 18

2.6. Patofisiologi Pernapasan 21

2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukuran Kapasitas Paru 22

2.8. Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur 24

2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara 27

2.10. Baku Mutu Udara Ambien 37

2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan

Gangguan Fungsi Paru 38

2.12. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi

Konsentrasi Udara Ambien 44

2.13. Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan Kerja 47

2.14. Patogenesi Penyakit Berbasis Lingkungan 48

2.15. Kerangka Teori 52

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep 55

3.2. Hipotesis 59

3.3. Definisi Operasional 61

BAB IV METODELOGI PENELITIAN

4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian 65

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 65

4.3. Populasi dan Sampel 66

x
4.4. Metode Pengukuran Penelitian 68

4.5. Teknik Pengolahan Data 74

4.6. Analisis Data 75

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

5.1.1.Desa Tamansari 77

5.1.2. Profil Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 78

5.2. Hasil Analisis Univariat

5.2.1. Gambaran Kejadian Gangguan Fungsi Paru pada

Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 82

5.2.2. Gambaran Faktor Karakteristik Individu Pekerja

Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 83

5.2.3. Gambaran Lingkungan Udara Ambien di Pengolahan

Batu Kapur di Desa Tamansari 86

5.2.4. Gambaran Kandungan SiO2 pada Batu Kapur 88

5.3. Hasil Analis Bivariat

5.3.1. Hubungan antara Karakteristik Individu terhadap

Gangguan Fungsi Paru 93

5.3.2. Hubungan antara Faktor Lingkungan terhadap

Gangguan Fungsi Paru 95

xi
BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN

6.1. Keterbatasan Penelitian 97

6.2. Kejadian Gangguan Fungsi Paru pada Responden 98

6.3. Hubungan Karakteristik Individu terhadap 103

6.3.1. Hubungan Usia terhadap Gangguan Fungsi Paru 104

6.3.2. Hubungan Status Gizi terhadap Gangguan Fungsi Paru 108

6.3.3. Hubungan Konsumsi Merokok terhadap Gangguan

Fungsi Paru 114

6.3.4. Hubungan Masa Kerja terhadap Gangguan Fungsi Paru 119

6.4. Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru

6.4.1. Hubungan Kadar PM10 Ambien 122

6.4.2. Hubungan Suhu terhadap Gangguan Fungsi Paru 129

6.4.3. Hubungan Kelembaban terhadap Gangguan Fungsi Paru 132

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan 135

7.2. Saran

7.2.1. Saran Bagi Pekerja 138

7.2.2. Saran Bagi Pemilik 139

7.2.3. Saran Bagi Pemerintah Daerah 140

7.2.4. Bagi Peneliti Selanjutnya 140

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xii
DAFTAR BAGAN

No. Bagan Judul Bagan Halaman

Bagan 2.1. Klafikasi Penilaian Fungsi Paru 24

Bagan 2.2. Kerangka Teori 54

Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian 58

xiii
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 2.1. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru 23

Tabel 2.2. Kategori Indeks Masa Tubuh 43

Tabel 3.1. Definisi Operasional 61

Tabel 4.1. Tabel Perhitungan Sampel 67

Tabel 4.2. Drajat Kapasitas Fungsi Paru 73

Tabel 5.1. Distribusi Gangguan Fungsi Paru


pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur 82

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan 83

Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Individu Pekerja 84

Tabel 5.4. Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien


di Area Pengolahan Batu Kapur 86

Tabel 5.5. Distribusi Rata-rata Kadar Udara Ambien


di Area Pengolahan Batu Kapur 87

Tabel 5.6. Hasil Uji Kadar SiO2 pada Material Batu


Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013. 89

Tabel 5.7. Distribusi Rata-rata dan Analisis Hubungan 91


antara Karakteristik Lingkungan dengan
Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja

Tabel 5.8. Analisis Hubungan antara Karakteristik 92


Individu dengan Gangguan Fungsi Paru
pada Pekerja Batu Kapur Desa Tamansari

Tabel 6.1. Distribusi Responden yang Mengalami 105


Gangguan Fungsi Paru berdasarkan Umur

Tabel 6.2. Hasil Pengukuran Udara Ambien PM10 124


di Lingkungan Kerja
xiv
DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 1.1. Kondisi Lingkungan Pengolahan


Batu Kapur 5

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Pernapasan 20

Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pengolahan 26


Batu Kapur

Gambar 2.3. Teori Simpul 50

Gambar 4.1. SKC EPAM-5000 70

Gambar 4.2. Peta Wilayah Desa Tamansari dan Titik


Pengambilan Sampel Faktor Lingkungan 71
Gambar 5.1. Distribusi Responden Penelitian 80

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat

ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya

penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke

penyakit tidak menular (non-communicable disease). Perubahan ini dapat dilihat

dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei

Kesehatan Nasional Tahun 2000, dimana salah satu kelompok penyakit tidak

menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah

penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) (Kemenkes RI, 2008).

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukan bahwa pada tahun

1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia,

sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit

kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). Hasil survei penyakit tidak menular

oleh Direktorat Jendral PPM&PL di lima rumah sakit provinsi di Indonesia yaitu

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatra Selatan pada

tahun 2004, menunjukan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka

kesakitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan

lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).

1
2

Pada penelitian National Health Interview Survey dalam Aditama (1992)

di Amerika Serikat, terdapat 7,5 juta penduduknya mengidap bronkitis kronik,

lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan 6,5 juta orang menderita asma.

Kemudian penelitian di Inggris menemukan bahwa bronkitis kronik pada kaum

pria (50-64 tahun) adalah sebesar 17% dari jumlah populasi pria dan pada wanita

sekitar 8%. Di Inggris ini bronkitis merupakan penyakit paling banyak

menimbulkan hilangnya produktivitas. Salah satu faktor pencetus terjadinya

penyakit paru tersebut adalah adanya paparan gas emisi, partikulat seperti silikat

( SiO2) pun zat toksik lain yang terjadi secara akut maupun kronik pada orang

yang terpajan yang bersumber dari aktivitas transportasi, paparan asap rokok dan

aktifitas industri.

Aktivitas industri tersebut adalah salah satunya industri pengolahan batu

kapur. Batu kapur atau limestone, adalah sedimen yang banyak mengandung

organisme laut yang telah mati yang berubah menjadi kalsium karbonat

(CaCO2). Agar digunakan sebagai bahan baku, batu kapur harus dibakar

sehingga dihasilkan kapur tohor (CaO). Saat proses pembakaran ini diemisikan

gas-gas hasil pembakaran seperti Particulate Matter (PM), Sulfur Dioksida (SO2)

dan Nitrogen Dioksida (NO2) yang menambah beban pencemaran udara

(Nukman, 2005). Gas dan partikel pencemar udara ini lah yang dapat mengenai

pekerja di lingkungan sekitar pengolahan batu kapur. Demikian juga dengan

SiO2 yang menurut EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat


3

dapat menimbulkan penyakit paru bila diatas ambang batas 2%. Keadaan ini

dapat menimbulkan gangguan fungsi paru yang berdampak pada kesehatan

pekerja.

Penelitian sebelumnya dalam Rizal (2011) pada pengolahan batu kapur di

desa Padabeunghar Kabupaten Sukabumi. Diperoleh konsentrasi PM10 dengan

kadar rata-rata 0,282 mg/m3, sekitar 32% atau 107 responden mengalami

gangguan pernafasan. Dari hasil uji regresi logistik ganda menunjukan adanya

hubungan antara konsentrasi PM10 udara ambien dengan gangguan saluran

pernafasan. Pada penelitian kegiatan pengolahan batu kapur lainnya oleh Sucipto

(2007) di Desa Karangdewa Kabupaten Tegal, hasil pengukuran Total Suspended

Particulate (TSP) didaerah pemukiman sekitar pembakaran kapur, rata-rata

sebesar 893,25 µg/m3 yang melebihi ambang batas baku mutu Kepala Gubernur

Jawa Tengah yaitu 230 µg/m3.

Hal ini juga menguatkan bahwa menurut Fardiaz (1992) terdapat

hubungan antara ukuran partikel polutan dengan sumbernya. Partikel yang

berukuran diameter diantara 1-10 mikron biasanya termasuk tanah, debu dan

produk-produk pembakaran dari industri lokal. Salah satunya produk

pembakaran tersebut adalah dalam proses pengolahan batu kapur.

Menurut Ikhsan (2001) debu dan gas-gas yang disebabkan oleh proses

pengolahan batu kapur yang berada di lingkungan kerja, akan berakibat pada
4

tenaga kerja yang terpapar debu kapur dan asap-asap pembakaran pada

konsentrasi maupun ukuran yang berbeda-beda. Sedangkan dalam Material

Safety Data Sheet (MSDS) Calcium Carbonate, Solid bahaya debu batu kapur

yang didalamnya terkandung CaCO3 dan Silica (SiO2) memiliki bahaya

kesehatan apabila terpapar dan terhirup yang dapat menyebabkan peningkatan

mukosa di hidung dan sistem jalan nafas kemudian menyebabkan iritasi saluran

pernafasan. Paparan yang berlebihan dengan debu dapat menyebabkan

hiperkalsemia, silikosis, pneumokiosis dan dari kandungan silica memiliki sifat

karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker (Brentag Canada Inc,2007).

Kemudian dijelaskan dalam Mukono (2003), efek utama pembakaran

debu kapur terhadap tenaga kerja berupa gangguan fungsi paru baik bersifat akut

dan kronis. Gejala yang bersifat akut misalnya iritasi saluran pernapasan,

peningkatan produksi lendir, penyempitan saluran pernapasan, lepasnya silia dan

lapisan sel selaput lendir serta kesulitan bernapas. Selain itu dalam EPA (2001)

Amerika Serikat juga menyebutkan obstruktif paru ini dapat menimbulkan

gangguan kesehatan paru yang disebut pneumoniosis.

Dalam Epler (2000) penumpukan dan pergerakan debu pada saluran

napas dapat menyebabkan peradangan jalan napas. Peradangan ini dapat

mengakibatkan penyumbatan jalan napas, sehingga menurunkan kapasitas paru.

Dampak paparan debu yang terus menerus dapat menurunkan faal paru berupa

obstruktif paru (Mukono, 2003).


5

Akibat adanya gangguan-gangguan kesehatan ini dapat mempengaruhi

kondisi kesehatan pekerja. Apabila kondisi kesehatan pekerja mengalami

penurunan, maka dapat berpengaruh pada produktifitas kerja, mangkir jam kerja,

biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pekerja dan angka harapan hidup

yang menurun bahkan akan menimbulkan tingkat risiko yang lebih berat pada

penyakit serangan jantung dan hipertensi, yang menjadi penyebab kematian

nomor satu di Indonesia.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kepala bidang Upaya

Kesehatan Kerja (UKK) Puskesmas setempat pada bulan Oktober 2012, bahwa

kegiatan pembinaan dan balai pengobatan setiap bulan dilakukan secara rutin ke

kelompok Lio setempat. Dari data laporan pemeriksaan rutin bulanan tersebut

sampai Oktober 2012 sebanyak 12 pekerja di diagnosis menderita asma dan 4

pekerja yang dirujuk ke Puskesmas di diagnosis bronkitis paru dari total 45

pekerja yang terdata di puskesmas, kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata

pekerja berperilaku merokok dan tidak menggunakan alat pelingung diri (APD)

berupa masker dan sejenisnya.

Gambar 1.1. Kondisi Lingkungan Pengolahan Batu Kapur.


6

Selain itu, hasil observasi lapangan menghasilkan pemanfaatan bahan

bakar berupa limbah karet dan bahan anorganik lainnya memicu zat-zat

pencemaran semakin berbahaya, karena asap dan debu yang dihasilkan berupa

asap hitam pekat. Hal ini memberikan gambaran bahwa kegiatan proses

pengolahan batu kapur Desa Tamansari Pangkalan ini menjadi perlu untuk

dilakukannya penelitian, karena subjek penelitian ini memiliki risiko pencemaran

udara yang berbahaya bagi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitarnya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di lapangan pada pekerja pengolahan

batu kapur di Desa Tamansari, dari hasil pemeriksaan kesehatan dan pengobatan

pada 20 orang pekerja didapatkan 10 orang pekerja mengalami keluhan pada

pernafasannya. Adapun keluhan yang dirasakan para pekerja adalah batuk

berdahak kehitaman dan sesak nafas.

Kemudian diperkuat dengan telaah dokumen data dari unik UKK Puskesmas

Kec. Pangkalan didapatkan data pemeriksaan rutin bulanan dari September 2012

sampai Februari 2013 sebanyak 12 pekerja didiagnosis menderita asma dan 4

pekerja yang dirujuk ke Puskesmas didiagnosis bronkitis paru dari total 45

pekerja yang terdata di puskesmas.


7

Kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata pekerja berperilaku merokok

dan tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker dan

sejenisnya serta bertempat tinggal berdekatan dengan aktivitas pengolahan.

Penelitian kesehatan pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa

Tamansari Kabupaten Karawang ini belum ada yang melakukan penelitian

sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi

paru.Berdasarkan hal itu, maka perlu dilakukan penelitian secara lebih lanjut

mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada

pekerja penambang dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, Kecamatan

Pangkalan Kabupaten Karawang.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu

kapur di Desa Tamansari?

2. Bagaimana gambaran faktor karakteristik individu (host) (umur, masa kerja,

status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di

Desa Tamansari?

3. Bagaimana gambaran faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10 ambien,

suhu, kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan

sesudah proses pengolahan batu kapur di wilayah pengolahan batu kapur di

Desa Tamansari?
8

4. Apakah ada hubungan antara faktor karakteristik individu (host) (umur,

masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) terhadap gangguan fungsi

paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari?

5. Apakah ada hubungan antara faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10

ambien, suhu, kelembaban) di wilayah pengolahan batu kapur di Desa

Tamansari?

6. Apakah ada hubungan antara komposisi kimia batu gamping sebagai bahan

baku sebelum dan sesudah dibakar dengan kondisi kesehatan pekerja ?

1.4. Tujuan

1.4.1. Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan

fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari,

Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang tahun 2013.

1.4.2. Khusus

1. Diketahuinya gambaran kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan

batu kapur di Desa Tamansari Tahun 2013.

2. Diketahuinya gambaran karakteristik pekerja (umur, masa kerja, status

gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa

Tamansari.
9

3. Diketahuinya gambaran kondisi meteorologi (kadar ambien PM10, suhu,

kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan

sesudah proses pengolahan batu kapur .

4. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor karakteristik pekerja

(umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja

pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.

5. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor lingkungan (kadar

ambien PM10, suhu dan kelembaban) dengan gangguan fungsi paru pada

pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Peneliti

Menerapkan aplikasi teori dan keterampilan yang telah didapatkan sesuai

dengan kompetensi program studi Kesehatan Masyarakat peminatan

Kesehatan Lingkungan untuk diterapkan dalam menganalisis permasalahan

kesehatan masyarakat dalam penelitian ini.

1.5.2. Bagi Pemilik dan Kelompok Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai

adanya bahaya kesehatan yang ditimbulkan dari aktifitas

pekerjaannya. Penelitian ini juga dapat menjadi petimbangan pemilik “Lio”

untuk melakukan penanggulangan cemaran udara yang dihasilkan serta


10

dapat memperhatikan kesehatan pekerja dan lingkungan. Dengan begitu

pada pekerja yang masih berusia remaja maupun dewasa dapat menjadi

motivasi untuk melakukan pencegahan dari penyakit akut maupun kronis

yang lebih parah.

1.5.3. Bagi Dinas Kesehatan Kab. Karawang

Penelitian ini dapat menjadi penentu kebijakan perencanaan

kesehatan ditingkat daerah pada kelompok usaha informal ini, agar usaha

batu kapur dapat tetap menjadi sumber pendapatan daerah yang berpotensi

besar, namun tetap memperhatikan kearifan local daerah dan risiko penyakit

yang timbul pada pekerja atau masyarakat sekitar sebagai upaya

penanggulannya dalam melindungi masyarakat dari aktifitas tersebut.

1.5.4. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang

Penelitian ini dapat menjadi penentu kebijakan dibidang perencaan

dan pembangunan daerah di wilayah Kecamatan Pangkalan dari aktivitas

penambangan dan pengolahan batu kapur yang memiliki dampak kesehatan

pada masyarakat sekitar dan lingkungan serta mewujudkan kontribusi daerah

dalam menentaskan target Millenium Devlopment Goals pada point

Menjamin Kelestarian Lingkungan Hidup melalui memadukan prinsip

pembanguan berkelanjutan serta mengembalikan sumber daya lingkungan

yang hilang yaitu mineral kapur dan udara yang sehat dari aktivitas

penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.


11

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang

berhubungan dengan kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur

di wilayah Kelurahan Tamansari Kecamatan Pangkalan Kab. Karawang pada

tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret s.d. April 2013.

Sasaran penelitian ini adalah pekerja yang beraktivitas langsung dengan proses

penambang dan pengolahan batu kapur yang berada di wilayah tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross

sectional study. Dalam pengumpulan data primer peneliti menggunakan alat

pengukur debu ambien berjenis PM10 yaitu Environmental Particulate Air

Monitor (EPAM) 5000 Primer dan pengukuran suhu, kelembaban oleh WBGT

Quest Digital dari laboratorium OHS FKIK UIN Jakarta. Untuk mengetahui

tingkat gejala penurunan fungsi paru menggunakan alat spirometri dari

Labolatorium Klinik Westrindo Jakarta. Data-data karakteristik pekerja

menggunakan kuesioner dengan metode wawancara. Data sekunder didapatkan

dari Kecamatan Pangkalan dan Puskesmas Pangkalan Kab. Karawang. Untuk

mengetahui kandungan SiO2 dilakukan dilaboratorium PT.CCIC Cengkareng

dengan menggunakan analisa kimia.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fungsi Paru

Fungsi paru yang utama dalam Yunus (2006) adalah proses respirasi

yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran napas

dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan

karbondioksida yang terbentuk pada proses terebut dikeluarkan dari dalam

darah ke udara luar. Proses respirasi di bagi ke dalam tiga tahap, yaitu:

a. Ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta

keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.

b. Difusi yaitu proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah,

serta keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.

c. Perfusi yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru

untuk di alirkan ke seluruh tubuh.

Depnakertrans 2005 dalam penelitian Rahman (2008), adapun

gangguan/kelainan fungi paru biasanya adalah :

a. Gangguan fungsi paru Restriktif

b. Gangguan fungsi paru Obstruktif

c. Gangguan fungsi paru campuran (Obstruktif-Restriktif)

Pada penyakit paru obstruktif tertentu misalnya asma dan emfisema,

ekspirasi mengalami gangguan dan jumlah udara yang dapat dihembuskan

secara paksa oleh individu, terutama secara cepat akan berkurang.

12
13

2.2. Gangguan Fungsi Paru

Menurut Pearce. E (1986) dalam Yulaekah (2007) pada individu normal

terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan

perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai pada fase

anak sampai kira – kira umur 22 – 24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga

pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan

umur. Beberapa waktu nilai fungsi parumenetap (stasioner) kemudian menurun

secara gradual (pelan – pelan), biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan,

berikutnya nilai fungsi paru (KVP = Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Volume

Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rerata sekitar 20 ml

tiap pertambahan satu tahun umur individu.

Gangguan fungsi ventilasi paru merupakan jumlah udara yang masuk

ke dalam paru akan berkurang dari normal. Gangguan fungsi ventilasi paru

yang utama dalam Lauralee (2001) adalah sebagai berikut:

1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun.

Dalam Lauralee (2001) penyakit paru obstruktif menahun (PPOM,

chronic obstructive pulmonary disease, COPD) adalah sekelompok penyakit

paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi saluran pernafasan akibat

penyempitan saluran pernafasan bagian bawah. Penyakit paru obstruktif

menahun mencakup tiga penyakit kronik (jangka panjang) yaitu asma,

bronkhitis kronis dan emfisema. Pada asma, obstruksi saluran pernafasan

disebabkan oleh pertama, konstriksi berlebihan saluran pernafasan halus


14

karena spasme otot polos di dinding saluran pernafasan tersebut yang

diindikasi oleh alergi; kedua, penyumpatan saluran pernafasan oleh sekresi

berlebihan mukus yang sangat kental; dan ketiga, penebalan dinding saluran

pernapasan akibat peradangan dan edema yang diindikasi oleh histamine.

2. Emfisema

Menurut Lauralee (2001) emfisema didefinisikan sebagai salah satu

pelebaran normal dari ruang-ruang udara paru disertai dengan destruksi dari

dindingnya. Beberapa ahli memperluas definisi ini memasukkan pelebaran

ruang-ruang udara dengan atau tidak disertai destruksi dari dindingnya.

Emfisema ditandai oleh kolapsnya saluran pernapasan halus dan rusaknya

dinding alveolus. Keadaan ireversibel ini dapat timbul melalui dua cara, yang

tersering, emfisema timbul akibat pengeluaran enzim-enzim destruktif,

misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai respons terhadap pajanan

berulang dari asap rokok atau bahan kimiawi iritan lainnya.

3. Penyakit Paru Restriktif

Penyakit paru interstisial merupakan istilah untuk semua penyakit

terutama yang ditandai dengan jelas pada dinding alveolar, proses dimulai

dengan peradangan interstisial terutama yang mengenai septasepta, sel

imunokompeten yang aktif kemudian terkumpul di dinding alveolar yang

menjadi penyabab kerusakan.


15

Akibat yang paling ditakutkan dari penyakit ini ialah penebalan fibrosis

dinding alveolar, yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi

pernapasan dan mengacaukan arsitektur paru. Bersamaan dengan itu pembuluh

darah halus menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran

dinding alveolar dan kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran

rongga udara dan paru menjadi berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran

gas mengalami gangguan. Dengan demikian penyakit paru restriktif merupakan

penyebab utama paru menjadi kaku dan mengurangi kapasitas vital dan

kapasitas paru.

4. Bronkitis Kronik

Bronkhitis kronik adalah peradangan kronik saluran pernapasan bagian

bawah, yang umumnya dicetuskan oleh pajanan berulang dari asap rokok, udara

berpolusi atau alergan. Sebagai respons terhadap iritasi kronik, saluran

pernapasan menyempit akibat penebalan edematosa kronik bagian dalam

saluran pernapasan, disertai produksi berlebih mukus yang kental. Walaupun

pengidap sering batuk karena iritasi kronik, mukus penyumbat sering tidak

dapat dikeluarkan, terutama karena ekskalator mukus lumpuh oleh bahan iritan.

Hal ini akan menyebabkan sering terjadi infeksi paru oleh bakteri, karena

mukus yang tertimbun merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan

bakteri.
16

2.3. Epidemiologi Gangguan Fungsi Paru

Menurut Simpson (1998) dalam Aviandari dkk (2008) penyakit saluran

napas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan erat dengan lamanya

pajanan terhadap debu tertentu. Di negara yang sedang berkembang ditemukan

masih banyak orang yang bekerja pada sector informal seperti pertanian dan

pertambangan non-formal, hal ini membuat problema akibat pajanan debu

dilingkungan kerjanya.

Kemudian dalam Loekita dkk (2003) studi epidemiologi secara cross

sectional menggambarkan tingginya gejala gangguan saluran napas diantara

pekerja yang terpajan langsung dengan debu dibandingkan dengan pekerja yang

tidak terpajan. Gangguan paru non-spesifik akibat iritasi diperkirakan juga

banyak berhubungan dengan para pekerja baik di pembakaran, karena intensitas

pajanan debu berada disekitar area pabrik maka kemungkinan terjadi perbedaan

prevalensi dan tingkat keparahan penyakit saluran pernapasan.

Gangguan pada sistem pernapasan merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernapasan jauh lebih sering

terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ tubuh lain dan berkisar

dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai

pneumonia berat.
17

Menurut Price (1995) pada tahun 1989, kira-kira 142.000 orang

meninggal dunia karena kanker paru-paru menduduki peringkat pertama dari

urutan kematian akibat kanker baik pada pria maupun wanita di Amerika

Serikat. Angka ini terus mencuat ketingkat yang membahayakan dan

prevalensinya saat ini kira-kira 25 kali lebih tinggi dibandingkan 25 tahun yang

lalu. Insidens penyakit pernapasan kronik, terutama emfisema paru-paru dan

bronkitis kronis semakin meningkat dan sekarang merupakan penyebab utama

gangguan serta cacat kronik pada pria dan penyakit jantung.

2.4. Pemeriksaan Kapasitas Fungsi Paru

Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) Kapasitas fungsi paru

merupakan kesanggupan atau kemampuan paru untuk atau dalam menampung

udara di dalam. Kapasitas paru adalah suatu kombinasi peristiwa-peristiwa

sirkulasi paru atau menyatakan dua atau lebih volume paru yaitu volume alun

nafas, volume cadangan ekspirasi dan volume residu. Adapun kapasitas paru

dapat di bedakan sebagai berikut:

a. Kapasitas total yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paruparu pada

inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang di dapat

tergantung dari beberapa hal yaitu kondisi paru, umur, sikap, dan bentuk

seseorang.

b. Kapasitas vital yaitu jumlah udara yang dapat di keluarkan setelah

ekspirasi maksimal (Syaifudin, 1997).


18

Menurut Lauralee (2001) Kapasitas paru dapat di bedakan empat yaitu:

a. Kapasitas inspirasi

b. Kapasitas residu fungsional

c. Kapasitas vital

d. Kapasitas paru total

Dari klasifikasi atau penggolongan kapasitas paru di atas, maka yang

dapat digunakan untuk pengukuran kapasitas vital paru merupakan pengukuran

kemampuan menghirup udara sekuat-kuatnya hingga menghembuskannya

dengan maksimal Lauralee (2001).

Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) pengukuran kapasitas

vital paru yaitu jumlah terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru setelah

inspirasi maksimum. Seringkali digunakan di klinik sebagai indeks fungsi paru.

Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan

otot-otot pernafasan serta beberapa aspek fungsi pernapasan lain yang

berhubungan dengan gangguan fungsi paru

2.5.Sistem Pernafasan

2.5.1. Anatomi Saluran Pernafasan


Dalam Lauralee (2001) sistem pernafasan adalah saluran yang

mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus, tempat terakhir yang

merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara udara dan

darah dapat berlangsung. Saluran pernafasan berawal di saluran hidung

(nasal). Saluran hidung berjalan ke tenggorokan (faring) yang berfungsi


19

sebagai saluran bersama bagi sistem pernapasan maupun sistem

pencernaan. Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring-trakea,

tempat lewatnya udara ke paru. Udara dalam keadaan normal masuk ke

faring melalui hidung tetapi udara juga dapat masuk melalui mulut jika

hidung tersumbat.

Setelah faring, laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk

trakea, memiliki penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun

bagi laki-laku. Pada saat pita suara udara mengalir cepat melewati pita

suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk menghasilkan

bermacam-macam bunyi.

Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus

kanan dan kiri, yang masing-masing ke paru kanan dan kiri. Di dalam

setiap paru, bronkus tersebut bercabang-cabang menjadi saluran napas

yang semakin sempit, pendek dan banyak seperti percabangan pohon.

Cabang terkecil dikenal sebagai bronkiolus. Diujung bronkiolus

terkumpul alveolus, kantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran

gas-gas antara udara dan darah.


20

Gambar 2.1. Anatomi sistem pernafasan.


Sumber : Lauralee,2001, Hal.413.

. Fisiologi Pernafasan
m Lauralee (2001) fungsi paru-paru yang utama adalah untuk proses respirasi, yaitu pengambilan dari udara luar masuk ke dala

nafas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme

dan korbondioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam

darah ke udara luar.

Adapun Proses respirasi dapat dibagi dalam 3 tahap utama yaitu:

1. Ventilasi adalah proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta

keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.

2. Difusi adalah berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah serta

keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.


21

3. Perfusi adalah distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru

untuk dialirkan ke seluruh tubuh.

Masuk keluarnya udara dari atmosfer ke dalam paru-paru dimungkinkan

oleh peristiwa mekanik pernafasan yang dikenal sebagai inspirasi dan ekspirasi.

Pada masa inspirasi paru-paru berkembang sedangkan pada masa ekspirasi

paru-paru menguncup. Otot terpenting dalam proses insiprasi adalah diafragma,

antariga eksternal dan otot leher. Proses inspirasi adalah proses yang aktif

karena dalam proses ini terjadi kontraksi otot dan mengeluarkan energi.

Sedangkan ekspirasi merupakan proses yang pasif karena dihasilkan akibat

relaksasinya otot-otot yang berkontraksi selama inspirasi, yaitu otot abdomen

dan antariga internal.

2.6. Patofisiologi Pernafasan

Ada tiga jenis kelainan fisiologis yang menimbulkan insuffiensi pernafasan

yaitu (Sanusi, 1986) :

1. Disebabkan oleh ventilasi yang tidak memadai di alveoli

2. Berkurangnya difusi gas melalui membran pernafasan

3. Berkurangnya transpor oksigen dari paru-paru ke jaringan.

Gejala gangguan fungsi paru, seperti sesak nafas, nyeri dada dan penurunan

yang cepat dari kapasitas ventilasi pada hari pertama masuk kerja memberikan

kesan bahwa debu terdapat bahan yang menyebabkan edema di bronchiolus.

Pada stadium lanjut edema ini akan bersifat menetap pada setiap hari kerja.
22

Kegagalan pernafasan dapat terjadi akibat kelainan paru yang

menyebabkan gangguan ventilasi atau aliran darah. Kelainan ventilasi yang biasa

terjadi adalah obstruktif dan restriktif. Keadaan fungsi paru ini dapat dinilai atau

diukur dengan menggunakan spirometri.

2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukur Kapasitas Paru

Spirometer adalah alat untuk mengukur volume udara yang dihirup dan

dihembuskan. Alat ini terdiri dari tong berisi udara yang terapung pada sebuah

wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara

keluar-masuk tong melalui sebuah selang penghubung, tong akan naik atau turun

yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram. Pencatatan tersebut dikalibrasi

ke besarannya perubahan volume dinamik. Adapun klasifikasi volume dinamik

sebagai berikut:

1. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume,

FEV1). Volume udara yang dapat diekspirasi selama satu detik pertama

pada penentuan Kapasitas Vital (KV) yaitu volume maksimum udara

yang dapat dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi

maksimum. Biasanya FEV1 adalah sekitar 80%, yaitu dalam keadan

normal 80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru-paru yang

mengembang maksimum dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama

(Ganong, 1998).
23

2. Maximum volumntary ventilation (MVV) adalah jumlah udara yang dapat

dikeluarkan secara maksimum dalam 2 menit dengan bernapas cepat dan

dalam secara maksimal (Ganong, 1998).

Kegunaan pemeriksaan paru lebih dari sekedar untuk pengetahuan

akademik. Pengukuran tersebut mendeteksi penyakit paru dengan gangguan

pernapasan sebelum bekerja, kemudian secara berkala selama kerja untuk

menemukan penyakit secara dini serta menentukan apakah seseorang mempunyai

fungsi paru normal, restriksi, obstruksi atau campuran (mixed). Tujuan

epidemiologis adalah menilai bahaya di tempat kerja dan mendapatkan standar

bahaya tersebut (Lorriane, 1995).

Tabel 2.1. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru

Nilai Normal KVP >80%, nilai prediksi untuk semua umur


Restriksi KVP < 80%; FEV1 > 75%
Obstruksi KVP > 80%; FEV1 < 75%
Restriksi Obstruksi KVP< 80%; FEV < 75%
(Mixed)
Sumber : American Thoracic Society, Medical Section of The Asian
Lung Association.Am. Rev Respir.
24

FEV1
RESTRIKSI NORMAL

75%
RESTRIKSI OBSTRUKSI

OBSTRUKSI

0 80% KVP

Bagan 2.1. Klafikasi Penilaian Fungsi Paru

2.8. Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur

Batu kapur adalah batuan sedimen berjenis khusus yang terbentuk dari

kerangka hewan-hewan kecil lautan. Penggunaan batu kapur sudah beragam

diantaranya untuk bahan kaptan, bahan campuran bangunan, industri karet dan

ban, kertas, dan lain-lain. Batuan kapur ini sangat penting artinya sebagai

bahan dasar dalam industri. Batuan kapur mempunyai sifat yang istimewa,

bila dipanasi akan berubah menjadi kapur yaitu kalsium oksida (CaO) dengan

terjadi proses dekarbonisasi (pelepasan gas CO2) (Curtis, 2000).

2.8.1. Proses Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur

Menurut Bappedal (2006) dalam Sucipto (2007) sebelum kapur mati

(kalsium karbonat) menjadi kalsium oksida (kapus hidup), terlebih dahulu


25

diawali dengan proses pengolahan batu kapur. Adapun proses pengolahan batu

kapur terdiri dari beberapa tahap yaitu :

a. Kegiatan Penambangan

Kegiatan penambangan batu kapur biasanya menggunakan bahan

peledak dinamit sederhadan dan peralatan penambangan penambangan

lainnya.

b. Kegiatan Pengangkutan dan Penimbunan

Kegiatan ini mengangkut batu kapur dari penambangan menggunakan

truk dengan kapasitas angkut 3 ton, kemudian batu kapur ditimbun ke

lokasi pembakaran di dalam tungku atau tobong pembakaran.

c. Kegiatan Pembakaran

Kegiatan pembakaram merupakan tahapan dimana batuan kapur

dibakar sampai menjadi kapur. Tungku pembakaran bias mencapai 3-5

ton. Bahan bakar yang digunakan biasanya berbeda-beda setiap

kelompok, ada yang menggunakan limbah karet, limbah kayu, limbah oil

sludge dan sebagainya. Lamanya proses ini bekerja kurang lebih selama

48 jam atau lamanya proses juga dipengaruhi bahan bakar yang

digunakan. Kegiatan pembakaran ini menghasilkan debu dan asap yang

hitam pekat.

d. Kegiatan Pemadaman

Batu kapur yang sudah hidup (matang) mencapai 88-90% sehingga

menghasilkan kalsium oksida (CaO) dipadamkan dalam bentuk padat


26

(bongkahan) maupun bubuk (powder) apabila sudah disiram oleh air yang siap dijual. Bentuk dari CaO tergantung perminta
e. Kegiatan Pengayakan dan Finishing Produk Kapur.

Batu kapur yang dipesan dalam bentuk bubuk perlu dilakukan pengayakan terlebih dahulu kemudian di masukan kedalam
pengemasan dan siap untuk dijual.

Batu Kapur Hail Penambangan sebagai Bahan Baku

Bahan Bakar: Tungku Gas Buang Emisi


Pembakaran Kapur
Ban bekas, Kayu Bekas, Oli bekas, Solar.

Kapur Matang (CaO)

Pemadaman Kapur
Air

Pengayakan& Finishing

Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pengolahan Batu Kapur


Sumber : Bappedal (2006) dalam Rizal (2010)
27

2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara


2.9.1. Gambaran Umum Pencemaran Udara

Menurut Sumantri (2010), udara adalah suatu campuran gas yang

terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas

tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi

adalah air dalam bentuk bentuk uap H2O dan Karbon Dioksida (CO2). Jumlah

uap air yang terdapat di udara bervariasi dari cuaca dan suhu. Udara di alam

tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali.

Beberapa gas polutan menurut Fardiaz (1992) seperti Sulfur dioksida

(SO2), Hidrogen sulfida (H2S), dan Karbon Monoksida (CO) selalu dibebaskan

ke udara sebagai produk sampingan dari proses-proses alami seperti aktivitas

vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan, dan sebagainya.

Selain itu partikel-partikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar

diudara oleh angin, letusan vulkanik atau gangguan alam lainnya. Selain

disebabkan polutan alami tersebut, polusi udara disebabkan oleh aktivitas

manusia.

Menurut Chandra (2007), pencemaran udara adalah dimasukkannya

komponen lain ke dalam udara, baik oleh kegiatan manusia secara langsung

atau tidak langsung maupun akibat proses alam sehingga kualitas udara turun

sampai ketingkatan tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang


28

atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannnya.

Sedangkan menurut Wardhana (2001) pencemaran udara juga diartikan

sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang

menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.

Selain itu, menurut Suma’mur (1986) pencemaran udara oleh partikel

dapat disebabkan oleh karena peristiwa alamiah dan dapat pula disebabkan

oleh aktifitas manusia, melalui kegiatan industri dan teknologi. Partikel yang

mencemari udara banyak macam dan jenisnya, tergantung pada macam dan

jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada.

Menurut Soedomo (2001), dilihat secara kimiawi, banyak sekali macam

bahan pencemar. Bahan pencemar yang yang menjadi perhatian adalah pencemar

utama (major air pollution) yaitu golongan oksida karbon (CO, CO2), Oksida

belerang (SO2 ,SO3), Oksida Nitrogen (N20, NO,NO3), senyawa hasil reaksi foto

kimia, partikel (asap, debu, asbestos, H2S, NH3, H2SO4, HNO3, Hidrokarbon

(CH4, C4H10), unsur radio aktif (Tritium, Radon), energi panas (suhu) dan

kebisingan.

Menurut Yulaekah (2007), pencemaran udara dapat mengakibatkan

bereaksinya bahan polutan dangan organ paru dan jika hal ini berlangsung terus-

menerus dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru, yang akhirnya dapat

meningkatkan kelainan faal paru obstruktif. Bahan pencemar udara yang dapat

menyebabkan gangguan pada saluran pernafasan dari udara ambien antara lain
29

gas SO2, O3, NO2 dan partikel debu (0,1-10µg. Bahan-bahan tersebut dapat

mempengaruhi fungsi paru yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya

kelainan paru obstruktif. Berikut ini gambaran pencemaran partikel debu (PM10)

dan asap (SO2, NO2) yang dapat berpengaruh terhadap gangguan kesehatan.

2.9.2. Gambaran Pencemaran Partikel Debu (PM 10) dan Asap (SO2, NO2)
terhadap Gangguan Paru.

2.9.2.1. Paparan Debu Partikulat Meter 10 (PM 10).

Menurut Slamet (2000) dalam Khumaidah (2009), debu adalah zat

padat yang dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari

proses pemecahan suatu bahan, berukuran 0,1-25 mikron dan termasuk kedalam

golongan partikulat. Partikulat adalah zat padat/cair yang halus, dan tersuspensi

diudara, misalnya embun, debu, asap, fumes dan fog. Partikulat ini dapat

terdiri atas zat organik dan anorganik.

Sedangkan dalam Environmetal Protection Agency (2001) debu

merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang

melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM). Suspended

particulare metter adalah partikel halus di udara yang terbentuk saat proses

pembakaran bahan bakar minyak. Terutama partikulat halus yang disebut PM10.

Particulat Matter 10 (PM10) adalah jenis pencemaran yang terdiri dari partikel

cair dan padat yang sangat kecil berdiameter 10 mikron untuk dihirup kebagian

terdalam
30

paru-paru. Diibaratkan, ukuran rambut manusia adalah 60 mikron, maka PM10

adalah 6 kali lipat dari sehelai rambut

Menurut Pudjiastuti (2002) partikel debu dapat menggangu kesehatan

manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan pernapasan dan

kanker paru-paru. Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada :

Solubity (mudah larut), komposisi kimia, konsentrasi debu dan ukuran partikel

debu

Kemudian, ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya

penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat

mencapai organ target sebagai berikut:

a. 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas.

b. 2-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah.

c. 1-3 mikron hinggap dipermukaan/ selaput lendir sehingga

menyebabkan vibrosis paru.

d. 0,1-0,5 mikron melayang di permukan alveoli.

Sedangkan dalam Fardiaz (1992) partikel-partikel yang masuk dan

tertinggal di dalam paru-paru mungkin berbahaya bagi kesehatan karena tiga

hal penting, yaitu:

a. Partikel tersebut mungkin beracun karena sifat-sifat kimia dan

fisiknya.
31

b. Partikel tersebut mungkin bersifat inert (tidak beraksi) tetapi

tinggal di dalam saluran pernafasan dapat menggangagu

pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya.

c. Partikel-partikel tersebut mungkin dapat membawa molekul-

molekul gas yang berbahaya, baik dengan cara mengabsorbsi

atau mengadsorbsi, sehingga molekul-molekul gas tersebut

dapat mencapai dan tertinggal di bagian paru-paru yang

sensitif. Karbon merupakan partikel yang umum dengan

kemampuan yang baik untuk mengabsorbsi molekul-molekul

gas pada permukaannya.

Dalam Pope III et al (2006) partikel PM10 yang berdiameter 10 mikron

memiliki tingkat kelolosan yang tinggi dari saringan pernafasan manusia dan

bertahan di udara dalam waktu cukup lama. Tingkat bahaya semakin

meningkat pada pagi dan malam hari karena asap bercampur dengan uap air.

PM10 tidak terdeteksi oleh bulu hidung sehingga masuk ke paru-paru. Jika

partikel tersebut terdeposit ke paru-paru akan menimbulkan peradangan

saluran pernapasan.

Menurut Church dalam Kelly et al. (1998), terjadi hubungan peningkatan

gejala asma dari kunjungan rumah sakit dan kematian akibat peningkatan PM10 di

udara. Serangkaian analisis time-series dari hubungan kematian sebesar 1% per

hari setiap harinya dengan peningkatan konsentrasi PM10 sebesar 10mg/m.


32

Hubungan kuat diamati dengan kejadian penyakit kardiovaskular dan peningkatan

konsentrasi PM10 sebesar 1,4% per 10 mg/m dan gangguan pernafasan sebesar

3,4% per 10 mg/m dengan gejala hidung berair, hidung tersumbat, sinusitis, sakit

tenggorokan, batuk kering dan berdahak, sesak napas dan dada tidak sakit.

Dalam Pudjiastuti (2002) gejala penyakit ini berupa sakit paru-paru,

namun berbeda dengan penyakit TBC paru. Partikel debu selain memiliki

dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai

berikut:

a. Gangguan estetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan

pelunturan warna bangunan dan pengotoran.

b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan

pori-pori tumbuhan sehingga jalnnya fotosintesis.

c. Merubah iklim global regional maupun internasional

d. Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya menganggu

kegiatan sosial ekonomi di masyarakat

Menurut Price (1995) mekanisme penimbunan debu dalam paru ; debu

diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap.

Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan.

Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan

yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet.

Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang

hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan
33

mokosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga

hidung dan kearah superior menuju faring dan menuju paru-paru.

Kemudian, partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan

membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini

akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag

akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi

magrofag yang terus-menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan

ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat yang membentuk

fibrosis.

Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan

jaringan ikat intertestial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas

jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan

pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi

penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan

menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke dalam

jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya sehingga hal ini

menjadi faktor risiko terjadinya serangan penyakit kardiovaskular.

Hal ini dibuktikan secara studi epidemiologi dalam Pope et al. (2003)

menunjukkan bahwa partikulat halus (PM) polusi udara memiliki efek yang

merugikan kesehatan manusia. Meskipun banyak penelitian telah difokuskan

pada titik akhir kesehatan pernapasan, ada bukti yang berkembang bahwa PM

merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular. Bukti ini berasal dari
34

studi yang telah mengamati peningkatan kematian penyakit kardiovaskuler

selama terjadinya polusi , asosiasi betwen perubahan harian di PM dan

kematian kardiovaskular, rawat inap dan peningkatan risiko mortalitas penyakit

cardiopulmonary pada dewasa yang terkait dengan perbedaan spasial dalam

konsentrasi PM ambien.

2.9.2.2. Paparan Sulfur Dioksida (SO2)

Dalam Soedomo (2001) SO2 terbentuk dari fungsi kandungan Sulfur

dalam bahan bakar fosil. Selain itu kandungan sulfur dalam pelumas juga

menjadi penyebab emisi SO2.

Reaksi kimia:

S2 + O2-  SO2

Udara yang telah tercemar SO2 menyebabkan manusia akan mengalami

gangguan pada sistem pernapasannya. Hal ini karena gas SO 2 yang mudah

menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan

dan saluran napas yang lain sampai ke paru-paru. Serangan gas SO 2 tersebut

menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Daya iritasi SO 2 pada

setiap orang ternyata tidak sama. Ada orang yang sensitif dan sudah akan

mengalami iritasi apabila terkena SO2 berkonsentrasi 1-2 ppm, namun ada

pula orang yang baru akan mengalami iritasi tenggorokan apabila terkena SO2

berkonsentrasi 6 ppm.
35

Gas SO2 merupakan bahan pencemar yang berbahaya bagi anak– anak,

orang tua dan orang yang menderita penyakit pernapasan kronis dan penyakit

kardiovaskular. Otot saluran pernapasan dapat mengalami kejang (spasme)

bila teriritasi oleh SO2 dan spasme akan lebih berat bila konsentrasi SO2 lebih

tinggi sementara suhu udara rendah. Apabila waktu paparan dengan gas SO 2

cukup lama maka akan terjadi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang

diikuti oleh paralysis cilia (kelumpuhan sistem pernapasan), kerusakan

lapisan ephitelium yang pada akhirnya diikuti oleh kematian.

Pajanan jangka pendek terhadap SO2 dapat menyebabkan konstriksi

saluran udara pernapasan pada penderita asma dan individu sensitif lainnya.

Sedangkan pajanan kronik dapat menyebabkan penebalan selaput lendir

trachea, mirip dengan bronkhitis kronik.

Penebalan selaput lendir trachea tersebut dapat menyelimuti dan

membuat tidak aktifnya getaran atau denyut lapisan rambut getar dari saluran

pernapasan atas, yang pada keadaan normal berfungsi mengeluarkan agen

infeksius dan partikel asing. SO2 merupakan senyawa yang cepat bereaksi

dengan jaringan paru dan menimbulkan efek yang sangat luas karena dapat

ditransportasikan sampai ke sum-sum tulang dan menimbulkan anemia

aplastik.

Pada konsentrasi 6-12 ppm, SO2 mudah diserap oleh selaput lendir

saluran pernapasan bagian atas (tidak lebih dalam daripada larynx). Dalam
36

kadar rendah, SO2 dapat menimbulkan spasme temporer otot-otot polos pada

bronchioli. Spasme ini dapat menjadi lebih hebat pada keadaan dingin. Pada

konsentrasi yang lebih besar, terjadi produksi lendir di saluran pernapasan

bagian atas dan apabila kadar SO2 bertambah tinggi lagi, maka akan terjadi

reaksi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang disertai dengan

paralysis cilia dan kerusakan lapisan epithelium. Bila kadar SO2 (6 - 12 ppm)

tetapi pemaparan terjadi berulang kali, maka iritasi selaput lendir yang

berulang – ulang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia dan metaplasia

sel-sel epitel. Metaplasia ini dicurigai dapat berubah menjadi kanker.

2.9.2.3. Paparan NO2 terhadap Gangguan Pernafasan

Selain terdapat di alam, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida

(NO2) berasal dari gas-gas yang dihasilkan oleh buangan kendaraan bermotor

dan pusat-pusat tenaga listrik. Tidak seperti carbon dan sulfur, NO tidak

terdapat dalam bahan bakar minyak, akan tetapi berasal dari udara dimana

terjadi proses pembakaran dari senyawa ini. Pengaruh NO terhadap lingkungan

yang utama adalah dalam pembentukan Smog.

Pengaruh langsung dari NO terhadap kesehatan tidak diketahui dengan

jelas, akan tetapi NO dalam kadar yang cukup tinggi dapat bereaksi dengan Hb

dan mempunyai sifat yang sama dengan CO, karena dapat menghalangi fungsi

normal Hb dalam darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa NO


37

memberikan efek menambah kelemahan terhadap infeksi bakteri paru–paru.

NO dapat menyebabkan iritasi pada mata, saluran pernapasan dan

pembengkakan pada paru-paru karena waktu paparan yang cukup lama pada

konsentrasi 1 ppm. Absorbsi gas NO 2 oleh mukosa dapat menyebabkan

peradangan saluran pernapasan bagian atas dan iritasi pada mukosa mata

(Soedomo, 2001).

Menurut Sunu (2001), organ tubuh yang paling peka terhadap

pencemaran gas NO2 adalah paru–paru. Paru–paru yang terkontaminasi oleh

gas NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernapas yang dapat

mengakibatkan kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya

sistem pernapasan dan dapat menjadi emfisema, bila kondisinya kronis dapat

berpotensi menjadi bronkhitis serta akan terjadi penimbunan NO2 dan dapat

merupakan sumber karsinogenik.

Sifat bahayanya terletak pada gejala yang tidak segera tampak setelah

menghirup sejumlah dosis berbahaya. Gejala kerusakan paru atau pulmonary

edema baru muncul setelah 72 jam. Konsentrasi 25 ppm dapat menimbulkan

pulmonary edema setelah 5-48 jam (Irhamkhasani, 2002).

2.10. Baku Mutu Udara Ambien

Baku mutu udara ambien (BMUA) merupakan ukuran batas atau kadar

zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau seharusnya ada dan/atau unsur
38

pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien (Permen

Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2010)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun

1999 Baku Mutu Udara Ambien Nasional, menyatakan bahwa kadar debu

partikel 10 mikron di udara yang memenuhi syarat adalah tidak melebihi dari

150 μg/m3. Sedangkan konsentrasi suhu dan kelembaban diatur dalam Kepmenkes

RI No.1405/Menkes/SK/XI/2002 lampiran II tentang Persyaratan Penyelenggaraan

Kesehatan Lingkungan Kerja Industri persyaratan suhu adalah 18-30 oC dan untuk

kelembaban adalah 65%-95% di lingkungan industry.

2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan Timbulnya Gangguan


Fungsi Paru

Selain dari paparan debu partikel dan asap dari faktor lingkungan, faktor-

faktor lain yang dapat meningkatkan risiko gangguan fungsi paru pada pekerja

pengolahan batu kepur, berikut pejelannya :

a. Umur

Faal paru tenaga kerja dipengaruhi oleh umur. Meningkatnya umur

seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya

gangguan saluran pernapasan pada tenaga kerja (Yunus,F, 1997). Faktor umur

mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh.

Walaupun tidak dapat dideteksi hubungan umur dengan pemenuhan volume


39

paru tetapi rata-rata telah memberikan suatu perubahan yang besar terhadap

volume paru. Hal ini sesuai dengan konsep paru yang elastisitas.

Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara paparan debu terhirup dengan gangguan fungsi paru pada

kelompok umur 31-40 tahun. Sedangkan pada kelompok umur 20-30 tahun

tidak ada hubungan antara paparan debu dengan gangguan fungsi paru.

b. Jenis Kelamin

Menurut Wikipedia, jenis kelamin dikaitkan pula dengan aspek gender,

karena terjadi diferensiasi peran sosial yang dilekatkan pada masing-masing

jenis kelamin. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistic/NCHS

(2003) dalam Sucipto (2007) jumlah wanita yang mengalami serangan asma

lebih banyak daripada lelaki

Selain itu dalam Sucipto (2007) penyakit paru dapat menjadi perhatian

utama bagi perempuan. Jumlah perempuan yang diidentifikasi memiliki

penyakit paru-paru meningkat. Lebih banyak perempuan juga meninggal akibat

penyakit paru-paru. Ada 3 jenis penyakit paru-paru yang sangat umum pada

wanita: asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan kanker paru-paru.

Perempuan memiliki variabilitas nilai arus puncak ekspirasi lebih rendah

daripada laki-laki menurut H.M Boezen dkk (1994) dalam Sucipto (2007).

Kecenderungan bahwa asma lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria

mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar hormon, demikian sebuah laporan


40

yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American College of Allergy,

Asthma and Immunology, di Anaheim, Calif. Menurut seorang peneliti dari

University of California and the Allergy & Asthma Medical Group and

Research Center di San Diego, wanita berusia antara 20-50 tahun ternyata 3

kali lebih sering dibanding pria untuk dirawat di Rumah Sakit akibat asma.

c. Masa Keja

Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja pada suatu kantor,

badan dan sebagainya (KBBI, 2001). Menurut (Suma’mur, 1996) masa kerja

adalah lamanya seorang tenaga kerja dalam (tahun) dalam satu lingkungan

perusahaan, dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung.

Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar

bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.

Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa pada kelompok

kerja 5-10 tahun ada hubungan yang bermakna antara paparan debu terhirup

dengan gangguan fungsi paru.

d. Lama Paparan

Dalam Yunus F (1997) berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya

penyakit atau gangguan pada saluran napas akibat debu. Faktor itu antara lain

adalah faktor debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya

larut dan sifat kimiawi dan lama paparan


41

Dalam Mengkidi (2006) lama paparan adalah waktu yang dihabiskan

seseorang berada dalam lingkungan kerja dalam waktu sehari. Kemudian dalam

Suma’mur (1998) menyatakan bahwa salah satu variabel potensial yang dapat

menimbulkan gangguan fungsi paru adalah lamanya seseorang terpapar polutan

tersebut dalam suatu lingkungan tertentu, selain itu menurut Bannet (1997)

dalam Nugraheni (2004) bahwa konsentrasi debu dan lama paparan terhadap

polutan berbanding lurus dengan gangguan fungsi paru.

e. Kebiasaan merokok.

Kebiasan merokok dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat

merokok terjadi suatu proses pembakaran tembakau dengan mengeluarkan

polutan partikel padat dan gas. Asap rokok merangsang sekresi lender

sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia sehingga fungsi pembersihan jalan

napas terhambat dan konsekuensinya terjadi penumpukan sekresi lendir yang

menyebabkan terjadinya batuk-batuk, banyak dahak dan sesak napas menurut

Ikhawn (2009) dalam Yuliani (2010). Kemudian, menyebutkan bahwa ada

pengaruh antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru, yaitu semakin

banyak jumlah batang rokok perhari yang dihisap, maka akan terjadi penurunan

fungsi paru yang bersifat restruktif.

Penelitian Gold et al (2005) dalam Suwondo (2013) menunjukan adanya

hubungan dose respon antara kebiasaan merokok dengan dan rendahnya leval

FEV1/FVC dan FEF 25-75% dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 10


42

batang perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEF 25-75%

disbanding orang yang tidak merokok.

f. Status Gizi

Status gizi secara teoritis dapat mempengaruhi daya tahan responden

terhadap efek debu, sehingga pada seseorang dengan status gizi baik

kemungkinan menderita penyakit pernafasan lebih kecil dari pada seseorang

yang mempunyai gizi kurang (Setyakusuma, 1997).

Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan menghitung

Indeks Masa Tubuh (IMT), dengan IMT akan diketahui apakah berat badan

seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk

orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi,

anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan (Almatsier, 2002).

Untuk menghitung nilai IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut :

Berat Badan (Kg)


IMT=
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi

berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara


43

berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk

Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2. Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT)

IMT Kategori

<18,5 Berat badan kurang/kurus


18,5-25 Berat badan normal
≥ 25 Obesitas
Sumber : WHO/FAO (2003) dalam Almatsier (2002)

g. Aktifitas Fisik

Menurut Giam (1996) dalam Mengkidi (2005) latihan fisik sangat

berpengaruh terhadap sistem kembang pernapasan. Dengan latihan fisik secara

teratur dapat meningkatkan pemasukan oksigen ke dalam paru. Kebiasaan

berolahraga memberi manfaat dalam meningkatkan kerja dan fungsi paru,

jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan ; denyut nadi istirat

menurun, isi sekuncup bertambah, kapasitas vital paru bertambah, penumpukan

asam laktat berkurang, meningkatkan pembulu darah kolesterol, meningkatkan

HDL kolesterol dan mengurangi aterosklerosis. Secara umum semua cabang

olahraga, permainan dan aktifitas fisik sedikit banyak membantu meningkatkan

kebugaran fisik. Namun terdapat perbedaan dalam tingkat dan komponen-

komponen kebugaran fisik yang ditingkatkan.


44

h. Riwayat Penyakit

Dalam Ganong (2002) beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa

seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru berhubungan

secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi paru. Kondisi kesehatan

dapat mempengaruhi nilai arus puncak ekspirasi seseorang. Kekuatan otot-otot

pernapasan dapat berkurang akibat sakit, seperti asma, pasca Tb, PPOK

(penyakit paru obstruktif kronik), penyakit sistemik.

2.12. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi Konsentrasi Udara Ambien

Menurut Achmadi (2011), kejadian penyakit itu dipengaruhi oleh

kelompok variabel supra sistem, yaitu iklim, topografi, temporal dan

suprasystem. Variabel ini dengan kata lain juga harus diperhitungkan dalam

setiap analisis kejadian penyakit.

Iklim menjadi salah satu peran dalam proses kejadian penyakit. Iklim

harus diperhitungkan dalam setiap analisis, baik prediktor antisipatif maupun

retrospektif dalam setiap kejadian penyakit.

Berikut variabel yang termasuk dalam faktor meteorologi dan iklim

dalam Laktin (2002) yang dapat mempengaruhi konsentrasi udara ambien

sebagai media transmisi, yaitu diantaranya temperature, kecepatan angina, arah

angina, curah hujan, kelembaban udara dan tekanan udara.


45

a. Temperatur

Pergerakan mendadak lapisan udara dingin ke suatu kawasan industri

dapat menimbulkan temperature tinggi. Dengan kata lain, udara dingin akan

terperangkap dan titik dapat keluar dari kawasan tersebut dan cenderung

menahan polutan tetap berada di lapisan permukaan bumi sehingga konsentrasi

polutan di kawasan tersebut semakin lama semakin meningkat. Keadan tersebut

di permukaan bumi dapat dikatakan tidak terdapat pertukaran udara sama

sekali. Oleh karena itu, udara yang penuh dengan polutan dengan kondisi

temperature tinggi akan dapat menimbulkan keadan lingkungan yang kritirs

bagi kesehatan.

b. Kecepatan Angin

Kecepatan angin dalam klimatologi adalah kecepatan angina horizontal

pada ketinggian 2 meter dari permukaan tanah yang ditanami rumput.

Kecepatan angin yang kuat akan membawa polutan terbang kemana-mana dan

dapat mencemari udara ke wilayah lain. Alat pengukur kecepatan angin yang

umum digunakan adalah anemometer.

c. Arah Angin

Massa udara yang bergerak disebut angin. Angin selalu bertiup dari

tempat dengan tekanan udara tinggi ke tempat yang tekanan udara rendah. Jika

tidak ada gaya lain yang mempengaruhi maka angin akan bergerak secara
46

mbunya akan menimbulkan gaya yang akan mempengaruhi arah pergerakan angin. Pola arah angin ini akan menentukan kema

hujan pembersihan atmosfer lebih efektif karena terjadi pengendapan bahan polutan yang lebih cepat (dengan adanya gaya g

e. Kelembaban Udara

Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di

dalam udara. Dalam klimatologi untuk menunjukan kelembaban udara adalah

kelembaban relative (relative humidity). Kelembaban relative adalah

perbandingan antara tekanan uap air actual (yang terukur) dengan tekanan uap

air pada kondisi jenuh, umumnya dinyatakan dalam persen. Kelembaban udara

yang relative rendah di daerah tercemar akan mengurangi efek korosif dari

bahan kimia pencemar. Pada kelembaban relatif tinggi didaerah tercemar akan

terjadi peningkatan efek korosif.


47

f. Jarak Rumah dengan Sumber Pencemar

Pencemaran udara dipengaruhi oleh iklim dan klimatologi serta

topografi, sehingga dapat diduga semakin jauh jarak dengan sumber semakin

rendah konsentrasi zat pencemar.

Hasil penelitian Rahman & Suryaman (2009) menyebutkan bahwa hasil

TSP dan PM10 menurun jaraknya dari sumber (pengolahan kapur mulai jarak

500 meter sampai 5.000 meter.

2.13.Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

Menurut Soeripto (1992) penyakit akibat faktor pekerjaan bisa

dihindarkan asal saja tenaga kerja mempunyai kemauan dan itikad yang baik

untuk mencegahnya. Disini tenaga kerja mempunyai peranan yang penting

dalam menghindarkan penyakit akibat kerja. Untuk penyakit akibat kerja yang

disebabkan golongan debu, upaya pengendaliannya dapat dilakukan :

a. Substitusi yaitu mengganti bahan yang memiliki bahaya dengan

bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.

b. Ventilasi umum yaitu mengalirkan udara ke ruang kerja agar kadar

debu yang ada dalam ruangan kerja menjadi lebih rendah dari kadar

nilai ambang batas (NAB).

c. Isolasi yaitu menutup proses, bahan atau alat kerja yang merupakan

sumber debu agar tidak tersebar ke ruangan lain.


48

d. Memodifikasi proses yaitu mengubah proses atau cara kerja

sedemikian rupa agar hamburan debu yang dihasilkan berkurang.

e. Mengadakan pemantauan terhadap lingkungan kerja yaitu

pemantauan terhadap lingkungan kerja agar dapat diketahui apakah

kadar debu yang dihasilkan sudah melampaui nilai ambang batas

yang diperkenankan

f. Alat pelindung diri yaitu upaya perlindungan terhadap tenaga

kerja agar terlindungi dari resiko bahaya yang dihadapi. Misalnya

masker, sarung tangan, kaca mata dan pakaian pelindung.

g. Penyuluhan kesehatan dan keselamatan kerja secara intensif agar

tenaga kerja tetap waspada dalam melaksanakan pekerjaannya.

2.14. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan

Pathogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat digambarkan dalam

suatu model atau paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan hubungan

interaksi antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit

dengan manusia. Hubungan interaktif tersebut sebagaimana digambarkan oleh

Achmadi (2008) yaitu paradigm kesehatan lingkungan.

Dengan mempelajari pathogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada

titik mana atau simpul mana kita bisa melakukan pencegahan. Tanpa

memahami pathogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan,

sulit melakukan pencegahan.


49

Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian penyakit merupakan hasil

hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen

lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Perilaku penduduk yang

merupakan salah satu representativ budaya merupakan salah satu variable

kependudukan, yaitu umur, gender, pendidikan, genetik, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, kejadian penyakit pada hakikatnya dipengaruhi oleh variable

kependudukan dan variable lingkungan. Dengan kata lain pula, gangguan

kesehatan merupakan resultant dari hubungan interaktif antara lingkungan dan

variable kependudukan.

Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan

dapat digambarkan dalam teori Simpul oleh Achmadi (2008) pada Gambar 2.2.

Dengan mengacu kepada gambaran skematik tersebut dibawah ini, maka

pathogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat diuraikan

ke dalam 5 simpul, yaitu simpul 1 sebagai sumber penyakit; simpul 2 adalah

komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit; simpul 3

adalah penduduk dengan berbagai variable kependudukan seperti umur, gender,

pendidikan, dll; sedangkan simpul 4 adalah penduduk yang dalam keadaan

sehat atau sakit setelah mengalami inteaksi atau exposure dalam komponen

lingkungan yang mengandung agen penyakit. Sedangkan simpul 5 adalah

semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap ke-empat simpul tersebut.

Sebagai contoh adalah kebijakan, iklim dan topografi lingkungan.


50

Manajemen Penyakit
Manajemen Penyakit

Simpul 2
Simpul 1: Sumber Penyakit (Alamiah/ Antropogenik) Udara Air
Simpul 3:

Jumlah Kontak Sehat/ Sakit


SimpulPemajanan
3:
Vektor penyakit Jumlah
Kontak
Sehat/
Manusia
Pemajanan Sakit

Agent Penyakit
Lingkungan Strategis/Politik, Iklim, Topografi, Suhu,dll.

Gambar 2.3. Teori Simpul (Achmadi, 2008).

Simpul-simpul tersebut pada dasarnya menuntun kita sebagai simpul

pencegahan atau simpul manajemen. Untuk mencegah penyakit tertentu agar

tidak perlu menunggu hingga simpul 4 terjadi. Dengan mengendalikan sumber

penyakit, kita dapat mencegah pada proses kejadian hingga simpul 3,4 atau 5.

Adapun uraian simpu-simpul sebagai berikut :

1. Simpul 1 : Sumber Penyakit

Sumber penyakit adalah titik yang mempunyai dan/atau mengadakan

agen penyakit serta mengemulsikan atau meng-emisikan agen penyakit. Agent


51

penyakit adalah komponen lingkungan yang menimbulkan gangguan penyakit

melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan).

Sumber penyakit dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar, yaitu :

a. Sumber penyakit alamiah, seperti gunung merapi dan proses pembusukan

karena proses alamiah.

b. Sumber penyakit hasil aktivitas manusia, seperti industri, rumah tangga,

knalpot kendaraan dan penderita penyakit menular.

c. Sumber penyakit dari reservoir penyakit, seperti Japanese Encephalitis,

virus Dangue dan sebagainya.

2. Simpul 2 : Media Transmisi Penyakit

Media transmisi tidak memiliki potensi penyakit jika di dalamnya tidak

mengandung agen penyakit. Mengacu pada gambar skematik komponen

lingkungan yang dapat memindahkan agen penyakit pada hakikatnya ada lima

komponen lingkungan, yaitu udara ambien, air yang dikonsunsi, tanah/pangan,

binatang/vector penyakit dan manusia melalui kontak langsung.

3. Simpul 3 : Perilaku Pemajanan

Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk

berikut perilakunya dapat diukur dengan konsep disebut sebagai perilaku

pemajanan atau behavioral exposure (Ahmadi, 1985). Perilaku pemajanan

adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang

mengandung agen penyakit.


52

Apabila kesulitan mengukur besaran agen penyakit, maka diukur dengan

cara tidak langsung yang disebut dengan biomarker atau tanda biologis pada

tubuh.

4. Simpul 4 : Kejadian Penyakit

Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara

penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan

kesehatan. Manifestasi hubungan tersebut menghasilkan penyakit pada

penduduk. Ada tiga gradasi penderita penyakit, yaitu akut, subklinik dan

penderita penyakit kategori samar dan masyarakat sehat yang harus dilindungi.

5. Simpul 5 : Variabel Supra Sistem

Iklim berperan dalam proses kejadian penyakit. Iklim termasuk

komponen variabel supra sistem. Iklim harus di perhitungkan dalam setiap

analisis, baik predictor antisipasi maupun retrospektif dalam kejadian penyakit.

Contoh lain yang diperhitungkan juga adalah kebijakan mikro seperti

keputusan politik yang dapat ditujukan untuk memengaruhi kondisi lingkungan

strategis dalam setiap analisis kejadian penyakit.

2.15. Kerangka Teori

Mengacu pada pathogenesis penyakit yang menguhungkan interaksi

antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan

manusia dalam sebuah teori simpul maka berdasarkan Ikhsan (2002), Rahman

dan Suryaman (2009), Pudjiastuti (2002), Soedomo (2001), dan Sunu (2001)
53

menyebutkan bahwa faktor lingkungan berupa paparan debu partikel, hasil

pembakaran seperti SO2 dan NO2 melalui udara ambien menjadi pencetus

gangguan fungsi paru. Sedangkan menurut Yunus F (1997), Yulaekah (2007),

Suma’mur (1996), Yuliani (2010), Setyakusuma (1997), Dorce (2005), Ganong

(2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor lain dari internal yang berhubungan

dengan gangguan fungsi paru adalah umur, jenis kelamin, status gizi, perilaku

merokok, masa kerja, lama paparan, penggunaan APD, riwayat penyakit dan

aktifitas fisik atau olahraga. Selain itu menurut Laktin (2002) adanya faktor-

faktor meteorologi sebagai eksternal faktor yang dapat mempengaruhi

konsentrasi udara ambien dari debu partikel, SO2 dan NO2.


54

Bagan 2.2.
Kerangka Teori

Manajemen Pengendalian

Simpul 2
Simpul 1: Aktivitas penambangan dan pengolahan Batu Kapur
Simpul 3: Jumlah Kontak Pemajanan dan Faktor Host lainnya.
Media Transmisi Penyakit:

Gangguan Fungsi Paru

Udara Ambien

Agent
PM10, SO2, NO2
Faktor Meteorologi: Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan, Arah angin

Sumber : Ikhsan, 2002; Rahman dan Suryaman, 2009; Pudjiastuti, 2002;


Price&Wilson, 1995; Sunu , 2001; Soedomo, 2001; Yunus F, 1997; Yulaekah, 2007;
Suma’mur, 1996; Yuliani, 2010; Setyakusuma,1997; Dorce, 2005; Ganong, 2002;
Laktin, 2002.
BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian ini ingin mengetahui hubungan faktor

lingkungan yaitu konsentrasi udara ambien akibat aktivitas pengolahan batu

kapur yang menimbulkan pencemaran udara dan menjadi agent penyakit.

Pencemaran udara yang berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan

gangguan fungsi paru. Adapun bahan pencemar dari aktivitas tersebut salah

satunya adalah partikel debu (PM10). Debu yang berukuran 5-10 mikron

dengan kadar berbeda dapat masuk ke dalam alveoli, meskipun memiliki

kapasitas yang rendah, namun apabila jumlahnya sudah terakumulasi tinggi

di udara dan terhirup secara terus menerus maka partikel debu akan

tertimbun dalam paru untuk terdeposit didalam alveoli. Akibat PM10 yang

masuk dalam jaringan alveoli dapat menyebabkan reaksi gangguan fungsi

paru yang akut dan kronik.

Konsentrasi udara ambien dari PM10 tersebut sangat dipengaruhi oleh

faktor meteorologi sebagai analisis prediksi terhadap terjadinya gangguan

fungsi paru. Faktor meteorologi tersebut antara lain suhu, kelembaban dan

arah angin.

Faktor risiko lainnya yang dapat menimbulkan gangguan fungsi paru

adalah faktor individu pekerja (host) yang diteliti berdasarkan keberagaman

karakteristik antara lain; umur, semakin bertambahnya umur, volume paru

55
56

dan elatisitas paru akan semakin menurun, sehingga menyebabkan kapasitas

vital paru menurun dan dapat mengakibatkan suplai oksigen dalam tubuh

berkurang.

Konsumsi merokok, efek dari ribuan zat kimia yang terkandung olah

rokok memicu timbulnya keluhan saluran pernapasan dan gangguan

ventilasi paru pada pekerja, karena saat merokok terjadi pembakaran

tembakau yang mengeluarkan polutan partikel dan asap yang akan

melumpuhkan silia sehingga pembersihan jalan napas terhambat, selain itu

dapat menyebabkan iritasi dan sekresi mukus yang berlebih pada bronkus,

keadaan seperti ini dan menimbulkan gangguan pernapasan.

Masa kerja, semakin lama seseorang bekerja mempengaruhi jumlah

expossure duration dari agent yaitu PM10 yang terhirup dari udara bebas

yang terakumulasi dalam paru-parunya, apabila masa kerja mencapai 70

tahun lebih akan menimbulkan efek karsinogenik dan non karsinogenik

dalam waktu 30 tahun sesuai dengan standard expossure duration untuk

orang dewasa yang dapat mempengaruhi fungsi paru.

Status gizi, dapat mempengaruhi imunitas dan anti bodi seseorang

sehingga mudah terserang infeksi, berkurangnya kemampuan tubuh

melakukan detoksifikasi terhadap benda asing yaitu PM10 dan

mempengaruhi reaksi efek polutan dalam paru yang dapat menimbulkan

gangguan paru.

Suhu atau temperatur lingkungan mempengaruhi kadar konsentrasi

bahan polutan di lingkungan kerja, saat suhu lingkungan tinggi akan terjadi
57

peningkatan konsentrasi bahan polutan semakin meningkat. Keadaan

tersebut juga akan tidak terjadi pertukaran udara, hal ini akan menimbulkan

kondisi lingkungan kerja yang kritis dan berisiko bagi kesehatan respirasi

pekerja.

Kelembaban udara di lingkungan kerja akan mempengaruhi reaktifitas

dari polutan pencemar yaitu debu terhadap tubuh. Kondisi yang tidak baik

yaitu saat kelembaban relative rendah, hal ini akan berisiko juga jangkitnya

bakteri yang berektif dengan bahan polutan yang dapat masuk ke saluran

pernafasan yang mempengaruhi saluran mukus.

Adapun variabel yang tidak diteliti dari faktor lingkungan adalah

udara ambien SO2 dan NO2, karena keterbatasan alat pengukuran dari

laboratorium. Variabel yang tidak diteliti lainnya adalah jenis kelamin,

karena hampir seluruh pekerja penambang dan pengolahan batu kapur

adalah laki-laki, sehingga akan bersifat homogen. Kebiasaan menggunakan

APD juga tidak diteliti karena saat studi pendahuluan pekerja tidak ada yang

menggunakan APD seperti masker, sehingga jika diteliti tidak ada

variasinya. Variabel aktifitas fisik olahraga juga tidak dimasukan, karena

hasil observasi dan pengamatan rata-rata aktivitas pekerja yang mereka

prioritaskan untuk bekerja dan beristirahat saja, hal ini kan terlihat ketidak

beragaman data, serta variabel lama paparan tidak diteliti karena para

pekerja rata-rata bertempat tinggal di sekitar lingkungan kerja dan cenderu

berada disekitar lokasi keja selama 24 jam.


58

Bagan 3.1.

Kerangka Konsep Penelitian

Umur

Status Gizi
Gangguan Fungsi Paru
Masa Keja

Konsumsi Merokok

Kadar PM10 Udara Ambien

Suhu

Kelembaban
59

3.2. Hipotesis

1. Ada hubungan antara umur terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja

penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten

Karawang tahun 2013.

2. Ada hubungan antara masa bekerja terhadap gangguan fungsi paru pada

pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari

Kabupaten Karawang tahun 2013.

3. Ada hubungan antara status gizi terhadap gangguan fungsi paru pada

pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari

Kabupaten Karawang tahun 2013.

4. Ada hubungan antara konsumsi merokok terhadap gangguan fungsi paru

pada pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa

Tamansari Kabupaten Karawang tahun 2013.

5. Ada hubungan antara konsentrasi PM10 di area lingkungan kerja terhadap

gangguan fungsi paru pada pekerja penambangan dan pengolahan batu

kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang tahun 2013.

6. Ada hubungan antara suhu terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja

penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten

Karawang tahun 2013.


60

ara kelembaban terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansar
61
3.3. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Defisini Operasional

Variable Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Dependen
Gangguan Hasil pengukuran ventilasi paru Pengukuran Sprirometer 0. Ada, (Restriktif, Ordinal
Fungsi Paru yang dinilai dengan menggunakan menggunakan Obstruktif,
parameter alat spirometer Mixed) jika FEV1
Normal : KVP > 80 %, oleh badan > 75 % dengan
nilai prediksi untuk semua teknis khusus. semua nilai KVP
umur, (RSUD atau KVP < 80 %
Restriksi : KVP < 80 %, Karawang/ dengan semua
FEV1 > 75, Biomedilab) nilai FEV1.
Obstruksi : KVP > 80 %, FEV1 < 1. Tidak ada
75%. (normal) jika
FEV1 < 75 %
dan KVP > 80%.
(Lauralee, 2001).
62

Variabel Independen
Umur Usia responden yang terhitung Kuesioner oleh Kuesioner dan Tahun Rasio
sejak tanggal lahir sampai waktu peneliti pengecekan
penelitian berlangsung dengan KTP.
wawancara
terpimpin
Masa kerja. Lamanya pekerja bekerja di Pengisian Kuesioner Tahun Rasio
pengolahan batu kapur, yaitu koesioner oleh
tahun di mulai bekerja sampai peneliti dengan
waktu wawancara dilakukan wawancra
dalam hitungan tahun. terpimpin.

Konsumsi Kebiasaan merokok dengan Pengisian Kuesioner Batang/hari Rasio


Merokok ukuran jumlah batang rokok per koesioner oleh
hari sampai waktunya penelitian. peneliti dengan
wawancra
terpimpin.
63

Status Gizi Hasil penimbangan berat badan Pengukuran Timbangan 0. Kurus jika IMT Interval
dan pengukuran tinggi badan, perhitungan Digital, < 18,5
dimana datanya digunakan IMT Microtoice dan 1. Normal, jika
sebagai pengukuran indeks masa IMT= Berat lembar isian. IMT 18,5-25
tubuh. badan/Tinggi 2. Gemuk, jika
badan2 IMT > 25
(FAO, 2003)
Kualitas debu Partikel padat yang dihasilkan Pengukuran EPAM - 5000 µg/m3 Rasio
partikulat metter dari kegiatan pengolahan batu menggunakan
(PM10) kapur, mulai dari penghancuran, alat EPAM pada
pembakaran, pembongkaran dan 2 titik berbeda
pengepakan (finishing), yang berdasarkan
diambil berdasarkan titik jangka waktu
aktivitasnya tersebut. pagi, siang dan
sore dalam
interval waktu
satu jam
pengukuran.
Suhu Drajat panas atau dingin di Tingkat suhu Wbgt Quest O
C Rasio
lingkungan kerja yang tercatat dalam satuan OC
pada alat ukur.
64

Kelembaban Jumlah uap air yang terkandung Tingkat Wbgt Quest % Rasio
didalam campuran air-udara kelembaban
dalam fase gas di lokasi kerja. dalam %.
56
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi dengan rancangan

cross sectional study (potong lintang). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko kejadian gangguan fungsi paru pada

pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, dimana data variabel bebas

(faktor risiko) dan terikat (efek) diamati pada waktu yang sama.

Studi cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika

korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan,

observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach).

Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran

dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal

ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama.

(Notoatmodjo, 2002).

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1. Lokasi

Lokasi penelitian ini di pengolahan batu kapur di Desa Tamansari,

Kec. Pangkalan, Kab. Karawang.

65
66

4.2.2. Waktu Peneleitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga April 2013.

4.3. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah semua pekerja pengolahan batu kapur

pada bagian lokasi pengumpulan batu kapur, penghancuran, pembakaran,

pembongkaran tobong, pengayakan & pengemasan/finishing. Jumlah pekerja

di industri batu kapur tidak diketahui secara pasti karena sifat pekerja tidak tetap.

Pada penelitian ini populasi peneliti menetapkan kriteria-kriteria tertentu untuk

mengambil populasi studi.

Sampel adalah sebagian individu yang diteliti atau diselidiki. Sampel

ditentukan berdasarkan metode non-probability sampling dengan quota

sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampel yang distratifikasikan secara

proporsional, berdasarkan peneliti saja dan besaran sampel dan kriteria telah

ditentukan terlebih dahulu namun tidak dipilih secara acak (Nasution, 2003),

dengan kata lain sampel penelitian ini ditentukan oleh peneliti sendiri sesuai

kebutuhan penelitian namun menurut pertimbangan kekriteria tertentu yang telah

ditetapkan sebelumya, yaitu sampel diambil berjumlah 40 responden dengan

perincian 20 responden dari titik sampel A dan 20 lainnya dari titik sampel B.

Adapun kriteria sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :


67

a. Pekerja pada pengolahan batu kapur yaitu pada kegiatan penghancuran,

pembakaran, pembongkaran dan pengepakan.

b. Pekerja berusia lebih dari 20 tahun, memiliki kebiasaan merokok dan

bertempat tinggal di area penelitian yaitu Desa Tamansari.

4.4. Metode Pengukuran Penelitian

4.4.1. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode wawancara, pengukuran dan

observasi. Adapun alat-alat untuk melakukan pengukuran kulitas lingkungan

yaitu kadar suatu debu dan kondisi fungsi paru pekerja batu kapur adalah :

1. Pengukuran kadar debu partikel menggunakan alat EPAM

(Environmental Particulat Air Monitor) dari laboratorium

OHS FKIK UIN Jakarta.

2. Pengukuran temperature udara mengguanakan Wbgt Quest

3. Pengukuran kelembaban udara menggunakan Wbgt Quest

4. Pengukuran fungsi paru menggunakan spirometer.

5. Pengukuran berat badan menggunakan timbangan berat badan

injak standart.

6. Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoice

7. Kuesioner terbuka untuk variabel umur, perilaku merokok dan

masa kerja.
68

4.4.2. Teknik Sampling Kualitas Udara Ambien

Teknik sampling kualitas udara dilihat lokasi pemantauannya terbagi

dalam dua kategori yaitu teknik sampling udara emisi dan teknik sampling udara

ambien. Untuk sampling kualitas udara ambien, teknik pengambilan sampel

kualitas udara ambien saat ini terbagi dalam dua kelompok besar yaitu

pemantauan kualitas udara secara aktif (konvensional) dan secara pasif. Dari sisi

parameter yang akan diukur, pemantauan kualitas udara terdiri dari pemantauan

gas dan partikulat (BPHLD Jabar,2009).

Penelitian ini melakukan pengukuran udara ambien pada partikulat meter

berukuran 10 mikron. Teknik pengumpulan PM berbeda dengan pengumpulan

gas, yang perlu diperhatikan adalah ukuran diameter dari partikulat tersebut.

Ukuran partikulat di dalam matrik gas/udara bervariasi dari ukuran molekul

sampai ukuran lebih besar. Pada penelitian ini mengkhususkan pengukuran PM 10,

yaitu debu partikel yang berukuran 10 mikron menggunakan alat SKC EPAM-

5000.

SKC EPAM-5000 adalah aplikasi monitoring kualitas udara partikel

secara in situ (real time) di lingkungan maupun ruangan secara ambien. Unit dari

ini mengkombinasikan antara teknik filter secara konvensional dengan metode

pemantauan secara in situ (real time). Partikel debu akan tergambarkan kedalam

sensor dan terdeteksi setiap detiknya. Konsentrasi debu dengan cepat akan

terkalkulasi dan terlihat di layar EPAM-5000. Semua data akan tersimpan dalam

memori untuk kebutuhan data selanjutnya.


69

Gambar 4.1. SKC EPAM-5000

Pengukuran EPAM memiliki tingkat sensitivitas tinggi, jenis partikel yang

dapat ditangkap mulai 1µg/m3 sampai 2000 µg/m3 . Data akan tersimpan dalam

interval waktu setiap 1 detik, 1 menit, 10 detik atau 30 menit, ini disesuaikan dengan

kebutuhan penggunanya.

Adapun tahapan pengukuran pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tahap persiapan

Tahap persiapan meliputi studi literatur awal terhadao objek yang akan

dibahas, dilanjutkan dengan survey lokasi studi dan persiapan alat yang

digunakan

2. Penentuan titik lokasi sampling


Pengukuran konsentrasi PM10 ditempatkan di titik lokasi aktivitas penambangan dan pengolahan
yang berbeda.

Gambar 4.2. Peta Wilayah Desa Tamansari dan Titik Pengambilan Sampel udara
Ambien

Keterangan :

:Jarak sentra pengolahan batu kapur di Desa Taman Sari

(4 km2 )

: Titik lokasi pengambilan sampel udara ambien di tempat

pengolahan batu kapur


71

Untuk mendapatkan data/nilai harian (24 jam) dilakukan pada salah satu

interval waktu seperti dibawah ini. Masing-masing interval waktu diukur 1 (satu)

jam. Interval waktu pengukuran adalah :

a. Pagi : interval waktu 06.00-10.00

b. Siang : interval waktu 10.00-14.00

c. Sore : interval waktu 14.00-18.00

(Permen LH No. 12 Tahun 2010)

Masing-masing pengambilan data dilakukan secara representatif dari standar

pengukuran udara ambien partikulat (24 jam). Adapun waktu pengukuran selama 1

jam pada masing-masing titik dengan pencatatan setiap 1 menit sekali pada data

yang tercatat oleh alat. Kemudian dilakukan pencatatan mean, median, lower dan

upper data.

4.4.3. Pengukuran fungsi paru

Digunakan alat spirometer elektrik dengan prosedur sebagai berikut :

a. Menyiapkan spirometer lengkap dengan kertas grafik.

b. Responden diminta untuk meniup selang yang ada pada spirometer.

c. Responden menarik napas kuat-kuat kemudian meniup ke alat secara kuat

tanpa menekan tombol grafik, sehingga dihasilkan garis vertikal yang

menunjukkan besarnya Vital Capacity.

d. Peniupan kedua, responden menarik napas dan meniupkan secara kuat

bersama dengan tiupan tersebut disertai penekanan tombol sehingga


72

menghasilkan garis lengkung kurva yang menunjukkan FEVl (Forced

Expiratory Volume In 1 Second).

e. Hasil yang diperoleh dari pengukuran fungsi paru adalah membandingkan %

FEV l : % KVP dengan kemungkinan hasil.

Tabel 4.2. Drajat Kapasitas Fungsi Paru

Gangguan Fungsi Paru


Parameter Fungsi
Tidak Ada Gangguan
Paru Ada Gangguan
(Normal)
FEV1 <75 %dengan semua  75%
nilai KVP
KVP <80 % dengan semua  80%
(FVC) nilai FEV1
Sumber: Epler (1997)

4.4.4. Pengukuran Kandungan Silika pada Batu Kapur

Batu kapur yang terdiri dari komponen kasium karbonat (CaCO3) dan

Silika (Si) (MSDS Brentag Canada, 2007). Untuk mengetahui risiko kesehatan

lainnya dari material batu kapur ini perlu dilakukan pengujian kandungan mineral

dari batu kapur, khususnya parameter Silika. Silika yang sudah teroksidasi di

udara menjadi silika dioksida (SiO2).

Pada penelitian ini ingin mengatahui kandungan silika dari batu kapur yang

belum mengalami pembakaran dan batu kapur yang sudah mengalami

pembakaran. Kemudian hasil pengukuran kandungan silika di bandingkan dengan


73

standar nilai ambang batas berdasarkan standar National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) yaitu tidak le
Pengukuran kandungan SiO2 di lakukan oleh laboratorium khusus
pertambangan dan mineral dengan standar ISO 11535-2010 oleh PT.CCIC Jakarta, Member of China Certification and Inspec

4.

olahan data secara statistik. Pengolahan data terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk dilakukan uji, analisis d

Pengecekan data untuk kelengkapan data, kesinambungan data,

keseragaman data sehingga validitas data dapat terjamin.

b. Coding

Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data serta menjadi

kerahasiaan identitas responden.

c. Scoring

Dilakukan untuk memberikan skor terhadap variabel yang akan dianalisis

berdasarkan skor, yaitu skor 1 untuk index category (kategori indeks) dan skor 0

untuk reference category (kategori pembanding).


74

d. Cleaning

Data yang dikumpulkan kemudian dilaksanakan cleaning (pembersihan)

data, artinya sebelum dilakukan pengolahan, dilakukan pengecekan data agar tidak

terdapat data yang tidak diperlukan.

4.6. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik. Pengolahan data dilakukan

menggunakan SPSS. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat. Analisis

univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi variabel penelitian.

Variabel tersebut meliputi konsentrasi PM10, suhu dan kelembaban serta

karakteristik individu pekerja seperti umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi

merokok.

4.6.1. Analisis Univariat

Hasil penelitian dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan tabel

distribusi frekuensi, mean, standard deviasi, minimum-maksimum, untuk melihat

distribusi frekuensi dan prosentase variabel dependen dan variabel independen,

antara faktor lingkungan (agent) yaitu konsentrasi debu PM 10,suhu dan

kelembaban. Sedangkan fakor host yaitu distribusi jumlah pekerja yang

mengalami gejala gangguan fungsi paru, umur, masa kerja, konsumsi merokok

dan status gizi.

Sebelumnya juga dilakukan uji normalitas data, untuk mengetahui

kenormalan suatu data numerik. Jika setelah dilakukan uji normalitas data
75

terhadap variabel diperoleh nilai p ≥ 0,05 maka sebaran data berdistribusi normal

dan nilai tengah yang digunakan adalah nilai rata-rata, namun jika sebaran data

tidak berdistribusi normal maka nilai tengah yang digunakan adalah nilai median.

Data-data ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

4.6.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen

dengan variabel independen yang telah dianalisis serta pengaruh masing-masing

variabel independen terhadap variabel dependen. Analisis uji bivariat

menggunakan uji t-test independen dan chi square dengan derajat kepercayaan

95% untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian terhadap dua

variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi.

Jika nilai P value ≤ 0,05, maka perhitungan secara statistik menunjukan

bahwa adanya hubungan bermakna antara variabel dependen dengan variabel

independen. Kemudian tabulasi silang dilakukan pada semua variabel yang akan

dianalisis. Adapun analisis uji bivariat ini pada variabel faktor lingkungan yaitu

konsentrasi PM10, suhu dan kelembaban serta variabel faktor individu pekerja

yaitu umur, masa kerja, konsumsi merokok dan status gizi terhadap gangguan

fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kab.

Karawang tahun 2013.


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

5.1.1. Desa Tamansari

Desa Taman sari merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan

Pangkalan Kabupaten Karawang. Luas wilayah Desa Taman sari kurang lebih

5.320 m2 dengan kondisi geografis sebagian besar memiliki sumber daya alam

yang sangat berpotensi secara ekonomi dan sosial yaitu dengan adanya gunung

kapur, hutan negara, sungai dan pesawahan. Adapun batas wilayah Desa

Tamansari sebagai berikut :

Sebelah Utara : Desa Taman Mekar

Sebelah Selatan : Desa Cipta Sari

Sebelah Timur : Hutan Negara

Sebelah Barat : Kabupaten Bekasi

Jumlah penduduk Desa Tamansari adalah 6.203 jiwa. Tingkat pendidikan

penduduk sebagian besar lulus sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama.

Mata pencaharian sebagaian besar adalah buruh penambangan dan pengolahan

batu kapur yang ada diwilayah Desa Tamansari yang sudah ada sejak puluhan

tahun lalu.

77
78

5.1.2. Profil Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari

Sejarah usaha pengolahan batu kapur di Desa Tamansari yang disebut

dengan istilah “Lio” sudah ada sejak tahun 1960-an. Sumber batu kapur berasal

dari gunung batu kapur yang menjadi milik negara yang menjadi batas wilayah

sebelah timur desa taman sari. Kurang lebih luas pegunungan batu kapur

mencapai 4.500 m2. Aktivitas pengolahan batu kapur yang ada di Tamansari

adalah sekala industri non formal yang masih jauh dari kemajuan teknologi,

pengelolaan lingkungan dan sumber daya manusia yang baik. Pertambangan

dan pengolahan batu kapur sendiri masih menjadi aktivitas yang menjadi salah

satu penyumbang pendapatan daerah Kabupaten Karawang setiap tahunnya

yang didapatkan dari hasil retribusi pemilik pengolahan batu kapur. Adapun

jumlah pemilik Lio yang ada di desa Tamansari adalah 18 orang, dengan

jumlah total tungku Lio aktif sekitar 113 Lio.

Usaha pengolahan batu kapur ini tidak hanya menjadi mata pencaharian

penduduk asli Desa Tamansari namun banyak juga penduduk luar daerah Kab.

Karawang seperti dari Kab. Garut dan Kab. Berebes. Masa kerja para buruh

batu kapur juga cukup lama bertahan sebagai penghasilan sehari-harinya, rata-

rata pekerja ada yang sudah bekerja lebih dari 5-20 tahun. Para pekerja buruh

yang cenderung untuk bertempat tinggal di area pembakaran batu kapur, karena

aktivitas pembakaran membutuhkan waktu 48 jam dan dilakukan pemantauan


79

bahan bakar saat pembakaran. Oleh karena itu rata-rata pekerja pada bagian

pembakaran bekerja selama 24 jam.

Rata-rata dalam satu tungku proses produksi memerlukan tenaga kerja

sekitar 7-8 orang yang bekerja bergantian mulai dari tahap penghancuran

sampai pengepakkan tepung kapur memerlukan waktu kurang lebih selama

empat hari. Namun, dikarenakan aktivitas pengolahan batu kapur ini masih

bersifat illegal, maka jumlah pasti dari buruh tenaga yang ada di desa

Tamansari ini tidak tercatat oleh petugas setempat maupun pemerintah daerah.

Selain itu sifat kerja para buruh ini tidak memiliki sistem kontrak kerja dengn

pemilik Lio, namun mereka cenderung untuk berpindah-pindah dari satu

pemilik ke pemilik lain yang bersifat kerja borongan.

Berdasarkan hasil penelitian yang diambil dari responden penelitian

sebanyak 40 pekerja, rata-rata asal daerah pekerja yang banyak terlibat dalam

aktivitas pengolahan batu kapur adalah warga setempat yaitu dari Kab.

Karawang sebanyak 30 orang (71,4%) dan dari luar daerah Kab. Karawang

sebanyak 10 orang (23,8%). Hal ini dapat dilihat pada gambar 5.


80

Gambar 5.1. Distribusi Responden berdasarkan Asal Daerah

pan proses, pengolahan batu kapur ini menggunakan metode


an sederhana yang membutuhkan lubang atau tungku pembakaran, atap dan sedikit lahan sebagai tempat penyimpanan has

itu, saat proses pembakaran membutuhkan komponen material dan bahan bakar.

Adapun material yang digunakan masih sangat sederhana yaitu seperti kapak

sebagai penghancur, katrol sumur dan ember sebagai alat pengangkut hasil

pembakaran dan scope. Bahan bakar yang digunakan saat proses pembakaran

adalah limbah padat seperti limbah ban, kain dan karet yang dibeli oleh pemilik

dari sentra-sentra limbah padat. Tidak ada kandungan bensin atau oli yang

digunakan sebagai bahan bakar.

Adapun tahapan proses produksi pengolahan batu kapur dimulai dengan :


1. Pemecahan bat

2. Pengisian batu

3. Pembakaran ba

dan kain) selama

4. Pemadaman ka

5. Pembongkaran

6. Pengayakan dan

Permintaan hasil pengolahan batu kapur yang hasil akhirnya menjadi semen putih dan bongkahan
dan Banten yang akan diolah kembali menjadi bahan campuran pembuatan

besi, baja, kaca dan material lainnya. Berdasarkan hasil wawancara salah satu

pemilik Lio, usaha pengolahan batu kapur ini bersifat “borongan” atau

berdasarkan pesanan dari pelaku usaha kapur lain. Biasanya dalam satu minggu

bisa menghasilkan produksi 13 ton/miggu dengan harga jual per kilo gram hasil

olahan batu kapur Rp 350,-/ kg.


82

5.2. Hasil Analisis Univariat

5.2.1. Gambaran Kejadian Gangguan Fungsi Paru Pekerja Pengolahan Batu


Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

Dalam penelitian ini gangguan fungsi paru diklasifikasi berdasarkan hasil

pengukuran fungsi paru menggunakan spirometri dari Laboratorium Klinik

Westrindo Jakarta. Kriteria yang digunakan untuk menentukan gangguan fungsi

paru yaitu kategori normal ≥ 80% dan kategori tidak normal < 80 % dari Force

Vital Capacity (FVC) yaitu kapasitas fungsi paru.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data gangguan fungsi paru dari 40

responden yang menunjukan adanya gangguan sebanyak 7 orang (17,5%)

dengan kategori restriksi ringan dan sedang sedangkan 33 orang (82,5%) tidak

ada gangguan fungsi paru dengan kapasitas vital paksa ≥ 80%. Daftar kapasitas

paru responden dan karakteristik individu ada pada lampiran 6. Hal ini

tersajikan pada tabel distribusi gangguan fungsi paru pada tabel 5.1. dibawah

ini :

Tabel 5.1.
Distribusi Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur
di Desa Tamansari Tahun 2013

Variabel Kategori Frekuensi Persentase


Gangguan Ada Gangguan 7 17,5
Fungsi Paru Tidak 33 82,5
Ada
Gangguan
83

5.2.2. Gambaran Faktor Karakteristik Individu (Umur, Masa Kerja, Konsumsi


Rokok dan Status Gizi) pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa
Tamansari Tahun 2013

Data jenis pekerjaan responden penelitian diperoleh dengan cara

pengisian kuesioner dengan wawancara terpimpin oleh peneliti. Distribusi jenis

pekerjaan dapat dilihat pada tabel 5.2. Dari 40 responden yang bekerja pada

bagian penghancuran batu kapur sebanyak 3 orang (7,5%), bagian pembakaran

sebanyak 14 orang (35%), bagian pembongkaran hasil pembakaran sebanyak

18 orang (45%) dan bagian akhir yaitu pengepakkan hasil pembakaran dan

pengayakan batu kapur yang sudah menjadi seperti tepung atau semen putih

adalah sebanyak 5 orang (12,5%).

Tabel. 5.2
Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan di Pengolahan Batu Kapur Desa Taman
Sari Tahun 2013

Variabel Kategori Frekuensi Persentase


Penghancuran 3 7,5%
Jenis Pembakaran 14 35 %
Pekerjaan Pembongkaran 18 45 %
Pengepakan 5 12,5 %
Jumlah 40 100%

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen dari faktor-faktor

yang mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru terdiri dari faktor

karakteristik individu pekerja yaitu umur, masa kerja, status gizi dan perilaku

merokok. Adapun distribusi faktor-faktor karakteristik individu yang tidak


84

dikategorikan adalah umur, masa kerja dan jumlah batang konsumsi rokok

perhari dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.3.
Distribusi Karakteristik Individu (Umur, Masa Keja, Konsumsi Rokok dan
Status Gizi) pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari
Tahun 2013

No. Variabel Mean SD Min-Maks


1. Umur 37 10,14 19 tahun-59 tahun
2. Masa Kerja 10 9,03 0 tahun-46 tahun
3. Konsumsi 13 6,23 1 batang-24 batang
rokok
Variabel Kategori Frekuensi Persentase
4. Status Gizi Kurus 13 29,5%
Normal 24 54,5%
Gemuk 3 6,8%
Total 40 100%

Data karakteristik individu pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa

Tamansari yang tidak dikategorikan adalah umur, masa kerja dan konsumsi

merokok. Umur diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden

dengan menanyakan waktu kelahiran responden kemudian dicocokkan dengan

KTP responden. Distribusi data dapat dilihat pada tabel 5.3. yang

menggambarkan jumlah sampel responden berdasarkan umur individu dapat

diketahui rata-rata usia responden adalah 37 tahun, usia pekerja termuda adalah

19 tahun dan usia pekerja sebagai responden tertua adalah 59 tahun.


85

Sedangkan, data masa kerja diperoleh dengan cara pengisian kuesioner

dengan wawancara terpimpin. Satuan masa kerja dihitung dalam satuan tahun.

Distribusi dapat dilihat pada tabel 5.3, menunjukan rata-rata masa kerja responden

adalah 10 tahun, dengan standar deviasi 9,03. Masa kerja minimum adalah 0 tahun

atau dari hasil wawancara baru 2 (dua) bulan dan masa kerja maksimum adalah 46

tahun.

Selain itu, data konsumsi rokok perhari pada 40 responden yang diperoleh

dari kuesioner dengan wawancara terpimpin. Satuan konsumsi rokok perhari dalam

satuan batang. Distribusi dapat dilihat pada Tabel 5.3. Diperolehnya rata-rata jumlah

konsumsi rokok per hari oleh responden sebanyak 13 batang/hari, dengan standar

deviasi 6,23 sedangkan jumlah minimum 1 batang/hari dan jumlah maksimum

konsumsi rokok 24 batang/hari.

Selanjutnya, data status gizi berdasarkan perhitungan IMT dari masing-

masing berat badan dan tinggi badan pekerja sebagai indikator IMT. Berdasarkan

hasil kategorisasi status gizi dalam 3 kelompok yaitu kurus jika IMT < 18,5, normal

jika IMT 18,5-25 dan gemuk jika IMT > 25, didapatkan kelompok status gizi kurus

13 orang (29,5%), normal sebanyak 24 orang (60%), gemuk sebanyak 3 orang

(6,8%). Data tersaji dalam tabel 5.3.


86

5.2.3. Gambaran Faktor Lingkungan Udara Ambien di Pengolahan Batu Kapur di


Desa Tamansari Tahun 2013
Faktor lingkungan dari udara ambien yang diduga sebagai faktor pencetus

gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan yang meliputi aktivitas penghancuran,

pembakaran, pembongkaran dan pengepakan batu kapur. Dibawah ini adalah hasil

pengukuran kualitas udara ambien berdasarkan jumlah responden dapat dilihat pada

Tabel 5.4. sebagai berikut :

Tabel 5.4.
Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien (PM10, Suhu dan Kelembaban ) di
Area Pengolahan Batu Kapur Desa Tamansari Tahun 2013

Aktivitas Hasil Pengukuran Jumlah


Pengolahan Batu PM10 Suhu Kelembaban Kec. Responden
Kapur (µg/m3) o
( C) (%) Angin
(m/s)
Penghancuran 177 33 78 0,5-1,0 3
Pembakaran 1 1.437 35 71 0,9-1,9 9
Pembakaran 2 419 36 74 1,1-1,9 5
Pembongkaran 260 30 87 0,6-1,1 18
Pengepakan 177 33 78 0,5-0,9 5
Hasil (Finishing)

Dari tabel diatas menunjukan distribusi kualitas udara ambien di lingkungan

kerja pengolahan batu kapur, mulai dari kadar PM10, suhu dan kelembaban. Data

kadar PM10 diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan alat EPAM SKC-5000,

pengukuran dilakukan selama 1 jam pada dua lokasi pengolahan batu kapur, pada

pagi hari antara pukul 06.00-10.00, siang hari antara pukul 10.00-14.00 dan sore hari

antara pukul 14.00-18.00. Waktu pengambilan sampel tersebut untuk mendapatkan


87

u dan kelembaban menggunakan alat Wbgt Quest Digital berdasarkan aktivitas pengolahan batu kapur dengan jumlah total 40

Tabel 5.5.
ra Ambien di Area Pengolahan Batu Kapur Desa Tamansari Tahun 2013 dan dibandingkan dengan NAB PP No.41 Tahun 1999

No. Variabel Mean SD Min-Maks NAB Ket.


1. Kadar PM10 524 502,14 177-1.437 150 >NAB
(µg/m3) (µg/m3) (µg/m3)
2. Suhu 32,3 oC 2,40 30-36 oC 18-30 oC > NAB
3. Kelembaban 80,3 % 6,86 71-87 % 65-95% < NAB

Tabel 5.5. menunjukan distribusi kualitas udara ambien di lingkungan kerja

pengolahan batu kapur. Dari hasil pengukuran kualitas udara ambien debu didapatkan

rata-rata kadar PM10 dari seluruh 6 titik lokasi tempat pengukuran berdasarkan

aktivitas kegiatannya adalah sebesar 524 µg/m3 dengan nilai standar deviasi 502,14

sedangkan kadar minimum 177 µg/m3 dan kadar maksimum 1.437µg/m3.

Sedangkan rata-rata suhu di lingkungan pengolahan batu kapur dari seluruh 6

titik lokasi pengukuran berdasarkan aktivitas kegiatannya adalah sebesar 32,3 oC

dengan standar deviasi sebesar 2,40, sedangkan suhu minimum 30 oC dan suhu

maksimum mencapai 36 oC. Kemudian, konsentrasi rata-rata kelembaban di


88

lingkungan pengolahan batu kapur adalah 80,3% dengan standar deviasi 6,86,

sedangkan konsentrasi minimum sebesar 71% dan konsentrasi maksimum sebesar

95%.

5.2.4. Gambaran Kandungan Silika Dioksida (SiO 2) dari Material Batu Kapur
(Calcium Carbonate) di Desa Tamansari
Pengujian kadar SiO2, diperolah dari hasil pengujian laboratorium

pertambangan dan kandungan mineral oleh PT. CCIC dengan standar ISO 11535-

2010 yang tertera pada Tabel 5.6. Pengujian pada tiga sampel batu kapur yaitu sampel

pertama berupa batu kapur murni/sebelum dilakukan pembakaran, sampel kedua

adalah batu kapur setelah dilakukan pembakaran secara sempurna, dimana batu yang

dibakar di dasar tungku. Jenis batu kapur ini, diolah menjadi tepung kapur yang

kemudian dimanfaatkan sebagai bahan baku semen, yang pengujian di beri kode satu

(I). Kemudian sampel ketiga yaitu batu kapur yang sudah dibakar namun tidak

sempurna karena pada saat diproses diletakan diatas tungku, batu kapur jenis ini tidak

bisa dijadikan tepung kapur karena pembakarannya tidak sempurna yang dapat dijual

sebagai bahan baku kaca, besi dan logam, diberi kode dua (II).
89

Tabel 5.6.
Hasil Pengujian kadar SiO2 pada Material Batu Kapur dari Pengolahan Batu
Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

No. Sampel Batu Kapur Parameter Hasil Satuan


1. Sebelum di bakar SiO2 3,46 %
2. Setelah di bakar (I) SiO2 1,03 %
3. Setelah di bakar (II) SiO2 0,60 %
Sumber : PT. CCIC , 2013

Dalam standar Occupational Safety and Health Administration (OSHA)

dalam Material Safety Data Sheet (MSDS) Calcium Carbonate, Solid bahwa ambang

batas dari Silika tidak boleh lebih dari 2%. Berdasarkan hasil pengujian SiO 2 dari

batu kapur yang sebelum dibakar diperoleh sebesar 3,46%, batu kapur setelah di

bakar (I) sebesar 1,03% dan batu kapur setelah di bakar (II) sebesar 0,60%. Maka

dapat di simpulkan jenis batu kapur yang memiliki bahaya kesehatan secara kronis

atau pun akut dari adanya paparan kandungan silika yang berlebih adalah berasal dari

batu kapur sebelum dibakar. Sedangkan pada batu kapur yang telah mengalami

pembakaran kadarnya menurun sampai 1%, dan dapat di simpulkan bahwa batu yang

telah mengalami pembakaran masih berada pada nilai ambang batas yang ditetapkan.

Adapun hasil pengujian ada pada lampiran 7.

Silika bebas (SiO2) yang terdapat pada debu dari bahan material yang

mengandung SiO2 dapat terhirup sehingga menyebabkan penyakit silicosis yang

termasuk dalam golongan pneumoconiosis. Penyakit silicosis ini sering ditemui pada

pekerja-pekerja diperusahaan yang menghasilkan batu-batuan yang mengandung


90

silica bebas di dalamnya. Masa inkubasi silicosisi adalah 2-4 tahun, dan sangat

tergantung dengan banyaknya debu dan kadar yang terhirup (Suma’mur, 1996).

Karakteristik penyakit silicosis ini ditandai dengan batuk, produksi sputum

berlebih, sesak nafas (dyspnea) ketika bekerja, mula-mula ringan kemudian

bertambah berat, pengembangan paru-paru sedikit terganggu. Tingkat yang lebih

parah dari silicosis dapat menimbulkan gejala demam, penurunan berat badan yang

drastis, menumbuhkan bakteri yang mungkin terjadi seperti TBC, atau pada tingkat

yang lebih parah lagi gejala klinis dapat terlihat hypertrofi jantung kanan menjadi

tanda-tanda kegagalan jantung kanan dan pada akhirnya menyebabkan kematian

karena komplikasi penyakit. Untuk mengetahui gejala yang lebih spesifik perlu

dilakukan pemeriksaan foto toraks oleh sinar-X (Brenntag Canada Inc., 2007).

5.3. Analisis Bivariat

Analisis uji bivariat pada variabel yang berskala rasio dilakukan uji normalitas

terlebih dahulu dengan uji non-parametrik one sampel K-S, hasilnya semua variabel

memiliki nilai Kolmogorov Smirnov-Z p value > 0,05 yang artinya variabel

berdistribusi normal. Selanjutnya untuk uji hipotesis pada variabel umur, masa kerja,

konsumsi merokok dilakukan uji T Independen sedangkan pada variabel status gizi

dilakukan uji chi square. Dibawah ini adalah hasil uji statistik variabel independen

yaitu umur, masa kerja, status gizi, kadar PM10 ambien, suhu dan kelembaban
91

terhadap variabel independed yaitu gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan

batu kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang.

Tabel 5.7.
bungan antara Karakteristik Lingkungan (PM10 Ambien, Suhu dan Kelembaban) dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja

Variabel Independen
Variabel Dependen N Mean SD
No. P value
Ada 7 0,783 514 591,682
Kadar PM10 Gangguan (µg/m3) 490,958
1. Ambien Tidak Ada 33 572
Gangguan (µg/m3)
Ada 7 0,963 32 oC 2,288
Gangguan 32 oC 2,457
2. Su hu Tidak Ada 33
Gangguan
Ada 7 0,854 79,8% 7,267
Gangguan 80,3% 6,878
3. Kelembaban Tidak Ada 33
Gangguan

Berdasarkan hasil uji T-independen pada varibabel faktor lingkungan terhadap

gangguan fungsi paru yaitu nilai p value kadar ambien PM10 adalah sebesar 0,783,

variabel suhu sebesar 0,963 dan kelembaban sebesar 0,854, maka dapat disimpulkan

semua nilai p value > 0,05 yang berarti secara statistik tidak memiliki hubungan

kemaknaan.
92

Tabel. 5.8.
Analisis Hubungan antara Karakteristik Individu Pekerja menurut (Usia, Status
Gizi, Masa Kerja, Konsumsi Rokok) dengan Gangguan Fungsi Paru pada
Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

Variabel Variabel N Mean SD


No. Independen Dependen P value
Ada 7 0,032 44 3,192
Gangguan Tahun 1,690
1. Usia Tidak Ada 33 35
Gangguan Tahun
Ada 7 0,932 10 7,913
Gangguan Tahun 9,367
2. Masa Kerja
Tidak Ada 33 10
Gangguan Tahun
Ada 7 0,287 15 5,855
Konsumsi Gangguan Batang/hari 6,600
3. Rokok Tidak Ada 33 13
Gangguan Batang/hari
Variabel Frekuensi P
Value
Ada gangguan Tidak ada Total
gangguan
Kategori N % N % N % 0,842

4. Status Gizi 2 15,4% 11 84,6% 13 100


Kurus
(IMT <
18,5)
Normla 4 21,1% 15 78,9% 19 100
(18,5-25)
Gemuk 1 12,5 7 87,5% 8 100
(IMT >25)
93

5.3.1. Hubungan antara Karakteristik Individu Pekerja dengan Gangguan Fungsi


Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

1. Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja


Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

Rata-rata usia pada kelompok responden mengalami gangguan adalah 44

tahun dengan standar deviasi 3,192. Sedangkan pada responden tidak ada gangguan,

rata-rata usia adalah 35 tahun dengan standar deviasi 1,690. Berdasarkan hasil uji

statistik t- test independen antara usia dengan gangguan fungsi paru didapatkan nilai

probabilitas atau pvalue yang dihasilkan adalah sebesar 0,032, artinya pada alpha 5%

terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan gangguan fungsi paru. Hasil uji

statistik tersebut tersaji dalam Tabel 5.6.

1. Hubungan Antara Status Gizi dengan Gangguan Fungsi Paru pada


Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

Berdasarkan hasil uji cross tabs antara variabel status gizi dan gangguan

fungsi paru dari pekerja sebagai responden, didapatkan responden yang mengalami

gangguan fungsi paru pada kelompok status gizi kurus sebanyak 2 orang (15,4 %),

normal sebanyak 4 orang (21,1%) dan status gizi gemuk sebesar 1 orang (12,5%).

Kemudian berdasarkan analisis uji bivariat chi square didapatkan nilai pvalue sebesar

0,842. Maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di

Desa Tamansari. Hasil uji statistik tersebut tersaji dalam Tabel 5.7.
94

2. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja
Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

Rata-rata masa kerja pada kelompok responden mengalami gangguan

adalah 10 tahun dengan standar deviasi 3,192. Sedangkan pada responden tidak

ada gangguan, rata-rata masa kerja adalah 10 tahun dengan standar deviasi 9,167.

Berdasarkan hasil uji t- test independen antara variabel masa kerja dan gangguan

fungsi paru dari pekerja sebagai responden, didapatkan nilai pvalue sebesar 0,932.

Maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa

Tamansari. Hasil uji statistik tersebut tersaji dalam Tabel 5.7.

3. Hubungan Antara Konsumsi Rokok dengan Gangguan Fungsi Paru pada


Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

Rata-rata konsumsi rokok pada kelompok responden yang mengalami

gangguan adalah 15 batang/hari dengan standar deviasi 5,85. Sedangkan pada

kelompok responden yang tidak ada gangguan, rata-rata konsumsi rokok adalah 13

batang/hari dengan standar deviasi 6,60. Berdasarkan hasil uji t- test independen

antara variabel konsumsi rokok dan gangguan fungsi paru dari pekerja pengolahan

batu kapurberdasarkan analisis uji bivariat didapatkan nilai pvalue sebesar 0,567.

Maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara lama paparan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa

Tamansari. Hasil uji statistik tersebut tersaji dalam Tabel 5.7.


95

5.3.2. Hubungan antara Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru pada
Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

1. Hubungan antara Kadar PM10 Udara Ambien dengan dengan Gangguan


Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari
Tahun 2013

Rata-rata kadar PM10 pada kelompok ada gangguan adalah 514 (µg/m3)

dengan standar deviasi 391,68. Sedangkan untuk responden yang tidak ada

gangguan, rata-rata kadar PM10 adalah 572 (µg/m 3) dengan standar deviasi

490,95. Hasil uji statistik t- test independen didapatkan hasilnya Pvalue yang

didapatkan dari hasil analisis antara suhu dengan gangguan fungsi paru adalah

sebesar 0,783. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara kadar PM10 dengan gangguan fungsi paru.

2. Hubungan antara Suhu Lingkungan Pengolahan dengan dengan Gangguan


Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari
Tahun 2013

Rata-rata suhu pada responden yang mengalami gangguan adalah 32 oC

dengan standar deviasi 2,28. Sedangkan pada responden tidak ada gangguan,

rata-rata suhu sama yaitu 32 oC dengan standar deviasi 2,245. Hasil uji statistik t-

test independen analisis antara suhu dengan gangguan fungsi paru di dapatkan p

value sebesar 0,287. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara suhu lingkungan dengan gangguan fungsi paru.


96

3. Tahun 2013
tu Kapur di Desa Tamansari

responden tidak ada gangguan adalah 80,3% dengan standar deviasi 6,87. Hasil uji statistik t-test independen analisis antara k
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian, yaitu:

1. Desain penelitian ini cross sectional study, yang mempunyai keterbatasan tidak

mampu menganalisi hubungan sebab atau akibat. Hal ini dikarenakan variabel

bebas dan terikat dilakukan pengukuran dalam satu waktu yang sama. Sehingga

antara sebab dan akibat sulit diketahui, mana yang mendahului sebab atau akibat

terlebih dahulu.

2. Pada variabel masa kerja, umur dan konsumsi merokok sebagai variabel

independen penelitian terdapat kemungkinan bias informasi karena variabel ini

tergantung kepada ingatan responden dan kejujuran responden.

3. Pada peneltian ini menggunakan pengukuran spirometri sebagai mendiagnosis

ada atau tidaknya gangguan fungsi paru, untuk lebih memperkuat diagnosis

seharusnya dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti sinar-X.

4. Pada pengukuran kadar debu PM10 tidak dilakukan secara personal atau hanya

dilakukan di lingkungan udara ambien, karena keterbatasan alat.

97
98

6.2. Kejadian Ganggu Fungsi Paru pada Responden

Fungsi paru yang utama adalah proses respirasi yaitu pengambilan oksigen

dari udara luar yang masuk ke dalam saluran pernafasan dan terus ke dalam darah.

Salah satu fungsi paru tersebut adalah ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya

udara ke dalam paru serta keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.

Kelainan ventilasi yang termasuk dalam gangguan fungsi paru biasa terjadi adalah

gangguan restriksi dan obstruksi (Yunus, 1992).

Dalam Yunus (1992), restriksi adalah keterbatasan pengembangan paru yang

ditandai dengan berkurangnya kapasitas volume paru, sedangkan obstruksi adalah

perlambatan atau gangguan kecepatan aliran udara yang masuk atau keluar dari

dalam paru.

Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan pemeriksaan diagnosis

penunjang alat spirometri untuk melihat volume dan kapasitas paru, diperoleh

responden yang mengalami gangguan fungsi paru dari 40 responden adanya

gangguan sebanyak 7 orang (17,5%) dengan kategori restriksi ringan dan sedang

dengan nilai kapasitas vital paksa (KVP/FVC) < 80% , sedangkan 33 orang (82,5%)

responden tidak ada gangguan fungsi paru dengan nilai KVP/FVC ≥ 80%.

Menurut Hinshaw et al. (1980) dalam Yunus (1992) hasil pemeriksaan

penunjang paru seperti spirometri dan foto toraksbertujuan untuk diagnosa kelainan

dari fungsi paru, selain itu juga berguna untuk menilai perkembangan dan
99

perjalanan penyakit serta deteksi dini penyakit paru tertentu juga untuk menilai

prognosis penyakit pada paru-paru.

Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 15 responden (37,5%) mengalami

riwayat asma dengan gejala sesak nafas. Menurut Curry (1946) dalam Yunus (1992)

fenomena ini disebut dengan hipereaktivitas bronkus. Hipereaktivitas bronkus ini

selain terjadi pada penderita asma, ditemukan juga pada penderita fibrosis kistik,

bronkiektasi dan penyakit paru obstruksi kronik.

American Thoracic Society (1987) dalam Yunus (1992), asma adalah

penyakit yang didasari oleh hipereaktivitas bronkus yang menimbulkan gejala

episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk

terutama pada malam menjelang dini hari. Sedangkan Menurut Deal et al. (1980)

dalam Yunus (1992) pada umumnya diagnosis asma dan penyakit obstruksi kronis

dapat mudah ditegakkan oleh karena penderita biasanya mempunyai gejala dan

tanda yang khas, dan obstruksi kronik dapat diketahui tanda dan gejala seperti sesak

napas, batuk kronik, produksi sputum, dengan riwayat pajanan gas/prtikel

berbahaya, disertai dengan pemeriksaan faal paru. Namun, apabila penderita tidak

dalam keadaan hiper responsif jalan nafas, pemeriksaan fisik dan spirometri dapat

tidak menunjukan kelainan, sehingga diagnosis sukar ditegakan walaupun secara

anamnesis menunjukan asma.


100

Dari teori tersebut peneliti berkesimpulan, bahwa dari hasil pemeriksaan

kapasitas vital paksa pada 40 responden, didapatkan sebanyak 7 (17,5%) responden

mengalami gangguan fungsi paru, dengan diagnosis restriksi sedang sebanyak 5

orang (11,4%) dan restriksi ringan 2 orang (4,5%). Sedangkan dari jumlah total

responden tersebut, sebanyak 10 (25%) responden mengalami riwayat penyakit

asma. Hal tersebut ada kecenderungan responden yang sedang tidak mengalami

rangsangan hipereaktivitas bronkus oleh bahan yang bersifat alergan tidak reaktif

atau yang memiliki riwayat penyakit asma tidak menunjukan adanya gangguan

fungsi paru, sehingga saat pemeriksaan spirometri kapasitas vital paksa responden ≥

80%.

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Ikhsan (2007),

dimana variabel dependen didapatkan prevalensinya sedikit, yaitu didadapatkan

pada pekerja pabrik semen sebanyak 18 orang (9,9%) ada kelainan klinis yang

ditemukan pada subjek penelitian, dan sebanyak 164 orang (90,1%) pekerja semen

ini tanpa kelainan. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan kelainan foto toraks,

didapatkan pada 9 orang (4,9%) mengalami kelainan foto toraks, sedangkan

sebanyak 173 (95,1%) tidak ditemukan kelainan foto toraks.

Menurut Herzog (1980) dalam Yunus (1992) rangsangan yang menimbulkan

hipereaktivitas bronkus ini dibedakan atas komponen endogen dan eksogen.

Komponen endogen kemungkinan bersifat genetik dan terdapat seumur hidup.

Sedangkan , komponen eksogen adalah rangsangan dari luar seperti infeksi, alergan,
101

mekanis, panas dan bahan-bahan kimia seperti sulfur dioksida, aldehid, ozon, debu

partikel dan asap rokok. Sedangkan, hasil pengukuran spirometri tersebut

menunjukan bahwa pekerja mengalami gangguan restriksi, yaitu gangguan yang

disebabkan karena menurunkan kapasitas vital paru seseorang. Curry (1946) dalam

Yunus (1992) gangguan restriksi paru ini menjadi prognosis terjadinya kelainan

fibrosis, atelectasis, tumor paru dan pneumonia.

Menurut Warpaji (1994) dalam Yuliani (2010) restriksi yaitu penyempitan

saluran paru yang diakibatkan oleh bahan yang bersifat alergi seperti debu, spora,

jamur yang mengganggu saluran pernafasan dan kerusakan jaringan paru, gejala-

gejalanya antara lain batuk kering, sesak nafas, kelelahan umum, banyak dahak dan

lain-lain. Paparan debu mineral seperti batu bara, tembaga dan lainnya diketahui

dapat menimbulkan perubahan khas dalam mekanik pernafasan dan volume paru

dengan pola restriktif. Sedangkan paparan debu organik seperti jamur, bakteri,

sayuran, binatang dapat menimbulkan asma dengan pola kerja obstruktif dengan

pola reversible atau obstruktif.

Berdasarkan jenis pekerjaannya yang ada pada lampiran 4, responden yang

didiagnosis mengalami gangguan restriksi paru yaitu pada bagian penghancuran

sebanyak 2 dari 3 orang, pembakaran sebanyak 4 dari 14 orang dan pembongkaran

1 dari 18 orang.
102

Pekerja yang mengalami gangguan restriksi paru pada proses penghancuran

diprediksikan karena adanya paparan SiO2 dari material batu kapur yang belum

melalui tahap pembakaran. Berdasarkan hasil uji laboratotium dari kadar SiO 2 pada

batu kapur ditunjukan dalam tabel 5.6. bahwa pada batu kapur yang belum

dilakukan pembakaran mengandung SiO2 lebih tinggi dibandingkan dengan batu

kapur yang sudah melalui proses pembakaran. Oleh karena itu, risiko gangguan paru

pada responden pekerja dibagian penghancuran memiliki risiko terkena silicosis.

Karena menurut Suma’mur (1996) silika bebas (SiO2) yang terdapat pada debu dari

bahan material yang mengandung SiO2 dapat terhirup yang dapat menyebabkan

penyakit silicosis yang termasuk dalam golongan pneumoconiosis. Penyakit

silicosis ini sering ditemui pada pekerja-pekerja diperusahaan yang menghasilkan

batu- batuan yang mengandung silica bebas di dalamnya. Masa inkubasi silicosisi

adalah 2-4 tahun, dan sangat tergantung dengan banyaknya debu dan kadar yang

terhirup.

Selain itu, hasil pengukuran udara ambien didapatkan kadar PM10 dilokasi

pembakaran sampel A sebesar 1.427 µg/m3 dengan nilai rata-rata keadaan suhu 35

C dan kelembaban 71 % serta kecepatan angin 0,9-1,9 m/s dan lokasi

pembakaran sampel B sebagai perbandingan didapatkan kadar PM 10 sebesar 419

µg/m3 dengan nilai rata-rata keadaan suhu 30 OC dan kelembaban 74% serta

kecepatan angin 1,1-1,9 m/s.

Berdasarkan data pengukuran udara ambien lingkungan kerja pengolahan

batu kapur tersebut, didapatkan kadar PM10 yang sudah melebihi NAB parameter
103

PM10 menurut PP No.41 Tahun 1999 yaitu sebesar 150 µg/m3. Hal ini yang

menjadi asumsi peneliti bahwa pekerja yang didiagnosis restriksi paru adalah

pekerja yang beraktivitas pada bagian pembakaran, dimana faktor lingkungan yaitu

udara ambien dari kadar PM10 sebagai faktor pemicu terjadinya gangguan restriksi

paru. Jenis gangguan restriktif ini akan mengarah pada jenis penyakit akibat kerja

yaitu golongan penyakit pneumokoniosis.

6.3. Hubungan Karakteristik Individu dengan Gangguan Fungsi Paru

Menurut Suma’mur (2000) gangguan fungsi paru dapat terjadi secara

bertahap dan bersifat kronis sebagai akibat frekuensi lamanya seseorang bekerja

pada lingkungan yang memiliki kadar debu tinggi dan faktor-faktor internal yang

terdapat dalam pekerja seperti jenis kelamin, usia, masa kerja, paparan debu, status

gizi, kebiasaan merokok, alat pelindung diri, kebiasaan olahraga dan lama paparan.

Responden dalam penelitian ini memiliki karakteristik yang beragam, yang

kemudian beberapa karakteristik individu pekerja dijadikan variabel bebas

penelitian, seperti usia, status gizi, konsumsi merokok, masa kerja untuk diketahui

apakah ada hubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu

kapur di Desa Tamansari tahun 2013. Adapun karakteristik jenis kelamin, kebiasaan

olahraga, kebisaan menggunakan alat pelindung diri dan lama paparan tidak

dimasukan dalam variabel peneltian akan bersifat homogen, karena semua pekerja

adalah laki-laki, tidak memiliki kebiasaan berolahraga secara rutin, tidak


104

menggunakan alat pelindung diri dan memiliki keterpaparan yang sama berdasarkan

keberadaan pekerja di lingkungan kerja yaitu rata-rata selama 24 jam karena pekerja

tinggal di sekitar pengolahan batu kapur. Dibawah ini adalah hasil uji statistik

analisis bivariat hubungan antara variabel karakteristik pekerja yaitu umur, status

gizi, konsumsi merokok dan masa kerja terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja

pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.

6.3.1. Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Fungsi Paru

Menurut Yunus (1997) faal paru dipengaruhi oleh umur. Meningkatnya

umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya

gangguan saluran pernapasan. Faktor umur mempengaruhi elastisitas bronkus paru

sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Walaupun tidak ditemukan hubungan

antara umur dengan pemenuhan volume paru tetapi rata-rata telah memberikan

suatu perubahan yang besar terhadap volume paru. Hal ini sesuai dengan konsep

paru yang elastisit. Selain itu meningkatnya umur seseorang maka kerentanan

terhadap penyakit akan bertambah berisiko lebih tinggi, khususnya gangguan

saluran pernafasan pada tenaga kerja.

Hasil penelitian rata-rata usia pekerja sebagai responden berusia 37 tahun

dengan standar deviasi 10,14 dan usia minimum responden adalah 19 tahun serta

usia maksimum responden adalah 59 tahun. Hasil uji statistik antara usia dengan

gangguan fungsi paru didapatkan P value sebesar 0,032, artinya pada alpha 0,05
105

ngan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013.
ngalami gangguan fungsi paru berdasarkan umur, didapatkan bahwa kelompok responden yang mengalami gangguan fungsi pa

Tabel 6.1.
Distribusi Responden yang Mengalami Gangguan Fungsi Paru berdasarkan Umur pada pekerja Pengolahan Batu Kapur di De
Tahun 2013

No.Responden Kapasitas Vital Paksa Usia Status


(KVP) (Tahun)
1 61,01 53 Restriksi Sedang
2 79,23 32 Restriksi Ringan
3 70,08 34 Restriksi Ringan
4 61,56 51 Restriksi Sedang
5 68,77 43 Restriksi Sedang
6 72,65 45 Restriksi Ringan
7 61,04 54 Restriksi Sedang

Dalam artikel kesehatan Mediastore.com (2008) dalam jumlah kantung

udara (alveoli) pada lanjut usia akan berkurang dibanding pada saat usia dewasa.

Penurunan daya tahan paru-paru karena merokok, polusi udara menjadikan lanjut

usia rentan terhadap berbagai gangguan paru-paru, seperti penyakit paru obstruksi

kronik dan bronkhitis. Selain itu, Guyton (2007) dalam Budiono (2007) dalam

penelitian Nugraheni pada pekerja penggilingan padi menunjukan rata-rata pada

umur 30-40 tahun seseorang akan mengalami penurunan fungsi paru. Pada usia 30
106

tahun ke atas rata-rata volume kapasitas paru seseorang adalah 3.000-3.500 ml

akan menurun seiring bertambahnya usia, dan pada usia 50 tahun kapasitas paru

akan semakin berkurang hingga dibawah 3.000 ml. Oleh karena itu, hal ini yang

menjadikan umur sebagai variabel yang memiliki hubungan terhadap gangguan

fungsi paru.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mengkidi (2006) bahwa dari 44

responden yang mempunyai umur > 40 tahun terdapat 29 orang mengalami

gangguan fungsi paru dan 15 orang tidak mengalami gangguan fungsi paru, dari

hasil uji statistik antara usia dengan gangguan fungsi paru menunjukan adanya

hubungan yang bermakna dengan nilai p value 0,015. Hal ini menunjukan umur

merupakan faktor risiko untuk terjadinya gangguan fungsi paru pada karyawan.

Kemudian, penelitian ini juga sejalan dengan Yuliani (2010) yaitu pada responden

pekerja industri tenun di Jepara tahun 2010 didapatkan bahwa ada hubungan

antara usia dengan kapasitas vitas paru dengan nilai p value sebesar 0,006.

Menurut Suyono (2002) semakin meningkat usia seseorang maka semakin

besar kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru. Kemudian menurut Efendi

(1998) dalam Yuliani (2010) pada usia diatas 40 tahun organ-organ tubuh

cenderung mengalami penurunan fungsi pada saluran pernafasan seperti trakea dan

penurunan elastisitas bronkus yang akan berpengaruh pada fungsi dan kapasitas

paru seseorang.

Pada penelitian ini apabila variabel usia pekerja pengolahan batu kapur

dikelompokan berdasarkan risiko usia terjadinya gangguan fungsi paru yaitu


107

kelompok usia ≥ 40 tahun sebanyak 21 orang (47%) dan kelompok usia < 40 tahun

(43,2%). Dari hasil penelitian kelompok usia ≥ 40 tahun memiliki risiko lebih

tinggi untuk mengalami gangguan fungsi paru.

Selain itu didapatkan 15 orang (37,5%) pekerja dengan kelompok usia yang

berisiko yaitu ≥ 40 tahun di analisis uji crosstab dengan masa kerja yang berisiko

yaitu masa kerja ≥ 10 tahun. Dari hasil analisis uji menunjukan sebayak 37,5%

pekerja memiliki risiko gangguan paru akibat lama paparan dari masa kerja.

Usaha pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini cenderung tidak

memperhatikan kelompok umur untuk bisa bekerja di pengolahan batu kapur. oleh

karena itu sebaiknya pekerja yang sudah memiliki usia risiko ≥ 40 tahun untuk

lebih menjaga pola aktivitas bekerja dengan memperhatikan beberapa faktor

seperti gaya hidup yaitu memproporsikan waktu kerja agartidak melebihi jam

kerja maksimal yaitu 8 jam kerja/hari dan memperhatikan kesehatan bekerja

dengan menggunakan masker sebagai pelindung diri serta menjaga pola hidup

sehat lainnya. Hal tersebut akan membantu menjaga kesehatan dan meningkatkan

kualitas hidup untuk lebih produktif baik di usia tua maupun produktif.

Allah swt. berfirman Q.S. Al-A’raaf : 31 :

َ ‫لُم ْسزِف‬jْ‫وُه الٌَُِحّبُ ا‬jَ‫َوالَُت ْسِزُفىا ِإ‬


‫ٍه‬

“dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang berlebih-lebihan.”


108

Dalam Al-Qur’an dan Tafsirannya (2011), pada kosakata Al-Mufsiriin yaitu

berasal dari kata asrafa-yusrifu yang dapat di artikan dengan melampaui batas atau

berlebih-lebihan. Seseorang yang mengerjakan sesuatu atau menggunakan sesuatu

dengan sikap yang tidak wajar dan melebihi batas yang normal, dapat dikatakan ia

telah bersikap isra’f, demikian Allah swt. membolehkan manusia untuk makan dan

minum sesuai dengan ukurannya dan kemudian diikuti dengan celaan terhadap

orang yang makan dan minum secara berlebihan. Hal ini tentu disesuaikan dengan

kondisi masing-masing orang, karena kadar tertentu. Atas dasar itu dapat

dikatakan bahwa kata tersebut (isra’f) mengajarkan sikap proporsional dalam

semua aspek perbuatan, khusunya dalam beraktivitas kerja yang disesuaikan

dengan usia pekerja.

6.3.2. Hubungan Status Gizi dengan Gangguan Fungsi Paru

Menurut Setyakusuma (1997) status gizi dapat mempengaruhi daya tahan

responden terhadap efek debu, sehingga pada seseorang dengan status gizi baik

kemungkinan menderita penyakit pernafasan lebih kecil dari pada seseorang yang

mempunyai gizi kurang. Menurut Almeitser (2002) salah satu akibat dari

kekurangan gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan anti bodi sehingga orang

mudah terangsang infeksi seperti batuk, pilek, diare dan juga berkurangnya

kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing seperti

debu yang masuk dalam tubuh. Kemudian, menurut Karim (2002) dalam Mengkidi

(2006) status gizi tenaga kerja erat kaitannya dengan tingkat kesehatan tenaga
109

kerja maupun produktifitas. Status gizi yang baik akan mempengaruhi

produktifitas tenaga kerja yang berarti peningkatan produktifitas perusahaan, maka

status gizi memiliki pengaruh terhadap status kesehatan seseorang yang akan

mempengaruhi produkstifitasnya, namun terdapat faktor lain selain status gizi

yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang.

Pada penelitian ini status gizi diperoleh dari standar indeks masa tubuh

(IMT) responden, dimana berat badan dan tinggi badan sebagai indikator

perhitungan yang didapatkan dengan melakukan pengukuran langsung. Hasil uji

univariat diperoleh bahwa sebanyak 24 orang (54,5%) responden memiliki status

gizi normal. Sedangkan dari hasil crosstab dari 7 pekerja yang mengalami

gangguan fungsi paru didapatkan responden yang mengalami gangguan fungsi

paru pada kelompok status gizi kurus sebanyak 2 orang (15,4 %), normal

sebanyak 4 orang (21,1%) dan status gizi gemuk sebesar 1 orang (12,5%).

Kemudian hasil analisis statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,842, maka dapat

disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status

gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari.

Oleh karena itu, status gizi tidak menjadi variabel yang signifikan berhubungan,

karena rata-rata pekerja memilki status gizi normal. Namun, hal ini dapat

menunjukan bahwa kelompok status gizi kurus, normal dan gemuk memiliki risiko

untuk terjadinya gangguan restriksi.

Meskipun secara statistik tidak memiliki kemaknaan yang signifikan, namun

secara epidemiologi bahwa status gizi dan asupan makanan yang berhubungan
110

dengan kebutuhan energi seseorang berhubungan terhadap perkembangan anatomi

dan fisiologis tubuh khususnya saluran pernafasan, yang kemudian akan

mempengarhi kekuatan serta endurans masa otot pernafasan untuk memompa

oksigen secara maksimal ke seluruh tubuh, mengontrol laju pernafasan dan

terbentuknya juga mekanisme imunologi dalam tubuh untuk pencegahan serangan

penyakit paru lainnya.

Faktor risiko dari status gizi terhadap gangguan fungsi paru sejalan dengan

teori menurut Sridhar (1999) dalam Budiono (2007) bahwa secara fisiologis

seseorang dengan status gizi yang kurang maupun lebih dapat mengalami

penurunan kapasitas vital paru yang pada akhirnya akan mempengaruhi terjadinya

gangguan fungsi paru. Penelitian Benedict (1991) pada seseorang dalam keadaan

starvation yaitu keadaan dimana satu atau beberapa proses keadaan kelaparan

karena terus dan terus menunggu kebutuhan sumber dayanya dipenuhi , namun

ternyata tubuh mengalami perubahan fisiologis yaitu berupa penurunan resting

energy expenditure sebesar 20% dan dapat menurukan konsumsi O2 sebesar 18%.

Penelitian ini sejalan dengan Triatmo dkk (2006) yaitu berdasarkan hasil uji

statistik hubungan antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja

mebel didapatkan nilai p value sebesar 0,537, bahwa status gizi tidak memiliki

hubungan signifikan terhadap timbulnya gangguan fungsi paru. Kemudian sejalan

juga dengan penelitian Yuliani (2010) yaitu berdasarkan hasil uji statistik,

hubungan antara status gizi dengan kapasitas vital paru pada pekerja tenun

didapatkan nilai p value 0,154, ini berarti tidak ada hubungan signifikan antara
111

status gizi dengan kapasitas vital paru. Selanjutnya sejalan juga dengan penelitian

Khumaidah (2009) pada pekerja furniture, hasil penelitian menunjukan tidak ada

hubungan antara status gizi pekerja dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p

value 0,667.

Efek negatif dari penurunan status gizi terhadap fungsi ventilasi paru ini juga

diperkuat dalam penelitian Minesota oleh Keys et al (1950), kapasitas vital paru

menurun rata-rata 390 ml pada keadaan kelaparan. Penurunan tersebut akan

kembali normal dalam 12 minggu setelah seseorang kembali pada keadaan

normal. Penelitian yang lainnya menunjukkan peningkatan risiko kematian pada

penyakit tuberkulosis dan pneumonia apabila disertai keadaan kurang gizi tingkat

berat.

Hal ini diperkuat dari hasil perhitungan angka kebutuhan gizi (AKG)

berdasarkan kebutuhan energi kalori/hari pada responden. Data ini didapatkan dari

hasil wawancara terpimpin dengan menggunakan lembar food recall dalam 1x24

jam, kemudian jumlah kalori harian dihitung dengan panduan kalori makan dari

software Nutrisurvei. Hasil uji statistik didapatkan bahwa sebanyak 27 orang

(61,4%) responden berstatus kekurangan kebutuhan kalori/hari (<2000

kkalori/hari) dan sebanyak 13 orang (29,6%) berstatus memenuhi kebutuhan

kalori/hari (> 2000 kkalori/hari), kemudian dari hasil crosstab antara AKG

responden dengan gangguan fungsi paru didapatkan responden berkebutuhan AKG

kurang (< 2000 kkalori/hari) sebanyak 5 orang (18,5%) dan responden dengan

AKG (≥ 2000 kkalori/hari) sebanyak 2 orang (15,45). Dapat disimpulkan bahwa


112

status gizi tidak normal dan angka kebutuhan energi kurang memiliki risiko untuk

terjadinya gangguan fungsi paru.

Apabila dilihat dari karakteristik pekerja berdasarkan status sosial dan

ekonomi pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini berdasarkan hasil

wawancara mengenai pengeluaran bulanan didapatkan 50% pekerja mendapatkan

upah dari hasil pembakaran batu kapur yang bersifat borongan diatas upah

minimum regional Kab. Karawang yaitu sebesar Rp. 1.269.000, dengan upah

harian rata-rata mendapat Rp. 75.000, apabila dikali hari aktif bekerja selama 20

hari atau dikurangi hari libur 10 hari maka rata-rata pekerja pengolahan batu kapur

setiap bulannya mendapat pemasukan sebesar Rp. 1.500.000 setiap bulannya.

Dapat disimpulkan tingkat ekonomi para pekerja tersebut bisa mencukup

kebutuhan sehari-harinya, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti

makanan untuk memenuhi kebutuhan energi.

Namun, dari hasil hasil wawancara juga didapatkan, pengeluaran bulanan

tersebut tidak hanya untuk kebutuhan primer pada makanan saja, namun

memenuhi kebutuhan lainnya seperti kebutuhan keluarganya di daerah asal

masing-masing dan pengeluaran pada konsumsi rokok juga oleh pekerja menjadi

sebuah prioritas, karena dari proporsi kebiasaan merokok rata-rata 13 batang/hari

mencapai 85% dari jumlah responden, sedangkan proporsi kebutuhan energi yang

masih belum mencukupi (AKG < 2000 kkalori/hari) sebanayk 67,5% dari jumlah

responden, dimana dari AKG tersebut menjadi gambaran pola konsumsi makan

sehari-hari.
113

Dari proporsi antara pengeluaran bulanan yaitu rata-rata diatas UMR, AKG

yang rata-rata < 2000 kkalori/hari, serta status gizi sebesar 40% tidak normal

ditambah 85% pekerja mengkonsumsi rokok > 10 batang/hari. Maka, sebenarnya

para pekerja pengolahan batu kapur ini memiliki tingkat ekonomi yang cukup,

namun terdapat faktor sosial lainnya seperti kebisaan merokok, pengeluaran untuk

keluarga menjadi faktor berkurangnya anggaran untuk memenuhi kebutuhan

makan sehari-hari pada pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya pekerja bisa

mengurangi jumlah konsumsi rokok hariannya dengan menggantinya untuk

membeli kebutuhan makanan pokoknya untuk memenuhi kebutuhan energi

hariannya dan mulai mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung

energi dan kalori tinggi pada kelompok pekerja yang memiliki IMT kurus dan

menjaga pola makan dan aktivitas fisik pada pekerja yang memiliki IMT gemuk.

Firman Allah swt. memerintahkan kita untuk menkonsumsi makanan yang

halal juga baik (Halalan Thoyyiban), sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S.

Al-Maidah ayat 88 sebagai berikut :

ِ‫ِبه‬ ‫هلل اَلِذي َأوُتْم‬


َ ‫با َوقَات ُىا ا‬jً‫ط‬
ٍَِ ‫ال‬
ً ‫هلل َحَال‬
ُ ‫قُكُم ا‬jَ‫َر َس‬ ِ ‫َوكُلىا‬
‫ُمْؤِمُىىن‬ ‫م‬
‫َما‬

“dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang telah di
rizkikan kepada mu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman
kepadaNya”

Dalam tafsir Syaikh Nashir as-Sa’dy (2005) makanan yang halal adalah yang

diproses maupun diperoleh atau sumbernya dengan cara yang halal, yaitu tidak
114

dari hasil curian, korupsi dan mendzlimi orang lain atau apabila hewan potong

harus menyebut asma Allah swt. saat dilakukan pemotongan. Selain itu makanan

juga harus baik, yaitu cukup bergizi, makanan yang lengkap dan seimbang porsi

dengan kebutuhan aktivitas bekerja, tidak mengandung zat-zat membahayakan,

alami dan tidak berlebihan.

6.3.3. Hubungan Antara Konsumsi Merokok dengan Gangguan Fungsi Paru

Menurut Ikhwan (2009) dalam Yuliani (2010) kebiasan merokok dapat

mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat merokok terjadi suatu proses

pembakaran tembakau dengan mengeluarkan polutan partikel padat dan gas.

Asap rokok merangsang sekresi lendir sedangkan nikotin akan melumpuhkan

silia sehingga fungsi pembersihan jalan napas terhambat dan konsekuensinya

terjadi penumpukan sekresi lendir yang menyebabkan terjadinya batuk-batuk,

banyak dahak dan sesak napas. Gejala tersebut dapat disebabkan karena paparan

partikel dan gas pembakaran tembaku tersebut.

Penggunaan tembakau saat ini pada populasi umum maupun pekerja terjadi

kecenderungan peningkatan diseluruh dunia juga khususnya di Indonesia, karena

menurut berita online yaitu Kompas.com yang diakses pada Mei 2013, pada tahun

2011 sekitar 270 milyar batang konsumsi rokok di Indonesia, angka ini terus

meningkat dari tahun 1970 dimana konsumsi rokok masih sekitar 30 miliar batang,

hal ini menunjukan terjadi peningkatan 7 kali lipat dalam kurun waktu 40 tahun.
115

Kebiasaan merokok ini mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan

terutama pada organ paru-paru dan pernafasan. Berbagai penyakit paru timbul

akibat rokok antara lain kanker paru dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Penelitian Gold et al (2005) dalam Suwondo (2013) menunjukan adanya

hubungan dose respon antara kebiasaan merokok dengan dan rendahnya leval

FEV1/FVC dan FEF 25-75% dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 10 batang

perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEF 25-75% disbanding orang

yang tidak merokok.

Hasil penelitian uji statistik analisis uji T independen pada responden dengan

variabel kategori konsumsi merokok dengan gangguan fungsi paru didapatkan

nilai p value sebesar 0,283, maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara konsumsi merokok dengan gangguan fungsi paru

pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Apabila nilai p value variabel

kebiasaan merokok dibandingkan dengan variabel karakteristik individu yang

tidak berhubungan lainnya yaitu status gizi (p=0,504), masa kerja (p=0,932), p

value dari kebisaan merokok lebih kecil dari status gizi dan masa kerja, maka

meskipun secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna dan signifikan

antara variabel kebiasaan merokok terhadap gangguan fungsi paru, mamun secara

epidemiologi, proporsi semua pekerja yang terdiagnosis gangguan fungsi paru

adalah pekerja yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi rokok.


116

Berdasarkan pengelompokan variabel jumlah batang rokok/hari persentase

pekerja yang memiliki karakteristik mengkonsumsi rokok ≥ 10 batang rokok/hari

sebanyak 34 orang (85%) dan pekerja yang memiliki karakteristik mengkonsumsi

rokok < 10 batang/hari hanya 6 orang (15%). Meskipun hanya 7 orang yang sudah

terdiagnosis terkena gangguan fungsi paru, namun sebanyak 27 orang (67,5%)

memiliki risiko yang sama untuk terjadinya gangguan fungsi paru.

Selain itu, dari hasil analisis uji crosstab antara variabel usia berisiko yaitu ≥

40 tahun dengan variabel konsumsi rokok ≥ 10 batang rokok/hari didapatkan

sebanyak 16 responden (40%) dari total responden yang mengalami gangguan

fungsi paru.

Berdasarkan hal itu, asumsi peneliti bahwa prevalensi pekerja yang memiliki

karakteristik mengkonsumsi rokok ≥ 10 batang/hari yang cukup tinggi dan

pekerja memiliki risiko lingkungan dari aktivitas pembakaran batu kapur yang

berkadar debu tinggi akan memberikan dampak kumulatif terhadap risiko

timbulnya gangguan paru, karena partikel dan asap rokok seperti karbon dioksida,

nitrogen dioksida, tar dan bahan kimia lainnya akan merangsang sekresi lendir

dan melumpuhkan bulu-bulu silia di saluran pernafasan yang sebenarnya berfungsi

sebagai penyaring udara yang masuk ke hidung sehingga mekanisme pengeluaran

debu paru dapat teganggu.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ikhsan dkk (2007) pada pekerja

terpajan debu semen, didapatkan tidak memiliki hubungan yang bermakna antara

variabel kebiasaan merokok dengan kelainan faal paru dengan nilai p value
117

sebesar 0,396. Kemudian sejalan juga dengan penelitian Yuliani (2010) pada

pekerja yang mengkonsumsi rokok > 10 batang/hari sebanyak 60% mengalami

kelainan paru restriksi, namun dari hasil uji statistik tidak ada hubungan antara

kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada pekerja di industri

tenun dengan nilai p value sebesar 0,682. Selain itu juga sejalan dengan penelitian

Aviandari dkk (2008) bahwa tidak ada hubungan anatara variabel kebiasaan

merokok dengan gangguan obstruksi paru dengan nilai p value sebesar 0,567.

Meskipun secara statistik tidak memiliki hubungan, namun secara teori dari

penelitian ini bahwa kebiasaan merokok menjadi faktor risiko untuk terjadinya

gangguan pernafasan yaitu fungsi paru, khususnya pada proporsi responden yang

memiliki kebiasaan konsumsi rokok ≥ 10 batang rokok/hari pada 24 orang

(67,5%).

Merokok bukanlah sebagai penyebab utamasuatu penyakit, tetapi dapat

memicu terjadinya suatu penyakit. Dalam Komisi Fatwa MUI ke III menetapkan

dugaan yang bersifat anni (dugaan/masih umum) merokok untuk golongan yang

tidak termasuk pada anak-anak, ibu hamil dan perokok di tempat umum tidak

disebut haram, melainkan makruh. Sedangkan sebagaimana Islam melarang

perbuatan yang dapat membahayakan diri, salah satunya adalah merokok. Allah

swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 195 :


118

......‫هل َكة‬
ُ ْ ‫ت‬jَ‫ َواَل ُتْلُقىا ِبأٌَِْدٌُكْم إَِلى ال‬.…
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”

Dalam tafsir Syaikh Nashir as-Sa’dy (2005) atas ayat tersebut, firman Allah

swt..” “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” ,

menyiratkan pada dua hal: pertama, meninggalkan apa yang seharusnya

diperintahkan kepada seorang hamba, jika meninggalkannya itu mengandung

konsekuensi atau hampir mendekati binasanya badan atau jiwa. Kebinasaan yang

termasuk disini adalah melakukan maksiat terhadap Allah swt. dan perbuatan yang

dapat merugikan diri secara jasmani maupun rohani, serta berputus asa untuk

bertaubat.

Oleh karena itu meninggalkan sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri

khususnya pada kesehatan jasmani seperti mengkonsumsi rokok lebih baik untuk

menghindari konsekuensi yang dapat mengakibatkan kerugian diri di masa yang

akan datang.

Pencegahan dapat dilakukan pada pekerja yang memiliki faktor risiko

terkena gangguan pernafasan dan paru dengan mengkonsumsi buah maupun

sayuran yang mengandung antioksida yang mudah dan murah untuk didapatkan,

dari kelompok buah dapat juga mengkonsumsi jeruk, apel dan manggis, dari

kelompok sayuran seperti tauge, tomat dan bahan kacang-kacangan seperti kedelai

dan makanan olahan seperti tempe dan tahu. Hasil penelitian pada artikel online di

Jepang tim studi di pimpin oleh Fumi Hirayana pada 300 pasien sesak nafas dan
119

340 orang sehat yang mengkonsumsi kedelai, ditemukan hasil bahwa mereka yang

mengkonsumsi produk yang mengandung kedelai ada hubungannya dengan

membaiknya fungsi paru dan turunnya risiko terkena sesak nafas. selain itu banyak

mengkonsumsi air minum akan membantu mengeluarkan racun dan nikotin yang

telah terakumulai dalam tubuh.

6.3.4. Hubungan Masa Kerja dengan Gangguan Fungsi Paru


Menurut Suma’mur (1996) masa kerja adalah lamanya seorang tenaga kerja

dalam (tahun) dalam satu lingkungan perusahaan, dihitung mulai saat bekerja

sampai penelitian berlangsung. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka

semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja

tersebut.

Selain itu, menurut Morgan dan Parkes dalam Faidawati (2003) dalam

Budiono (2007), waktu yang dibutuhkan seseorang terpapar oleh debu untuk

terjadinya fungsi paru lebih dari 10 tahun. Kemudian, penelitian Sumanto (1999)

dalam Budiono (2007) menunjukan bahwa semakin lama seseorang bekerja pada

lingkungan berdebu, maka dapat menurunkan kapasitas vital paru. Dimana setiap

penambahan masa kerja dalam satu tahun akan terjadi penurunan kapasitas paru

sebesar 35,39 ml. Diperkuat dengan peneltian Sugeng dkk (2003) dalam Yulaekah

(2007) berdasarkan studi menunjukan bahwa masa kerja lebih dari 10 tahun

mempunyai risiko terjadinya obstruksi paru pada pekerja industri yang berdebu.
120

Pada penelitian ini hasil analisis uji t-test independen pada variabel masa

kerja terhadap gangguan fungsi paru dengan nilai p value sebesar 0,932, maka

pada alpha 5% menunjukan tidak ada hubungan antara variabel masa kerja dengan

gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari

tahun 2013. Dari hasil crosstab antara kategori masa kerja ≥ 10 Tahun sebanyak 3

orang (16,7%) di diagnosis adanya gangguan fungsi paru dan 15 orang (83,3%)

tidak mengalami gangguan fungsi paru, sedangkan pada katagori lama paparan <

10 tahun hanya terdapat 4 orang (18,2%) yang mengalamani gangguan dan 18

orang (81,8%) tidak mengalami gangguan fungsi paru. Hasil crosstab tersebut

menggambarkan proporsi pekerja dengan masa kerja < 10 tahun dan masa kerja ≥

10 sama-sama memiliki risiko terkena gangguan fungsi paru.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yulaekah (2007) yaitu tidak adanya

hubungan antara masa kerja terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja industri

batu kapur dengan nilai p value sebesar 0,192. Kemudian penelitian ini sejalan

dengan penelitian Aviandari (2008) yaitu tidak adanya hubungan antara masa kerja

dengan riwayat asma pada pekerja pabrik gandum dengan nilai p value 0,520.

Berdasarkan proporsi antara variabel masa kerja terhadap gangguan fungsi

paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013 bahwa

kategori masa kerja kerja < 10 tahun dan masa kerja ≥ 10 sama-sama memiliki

risiko terkena gangguan fungsi paru, meskipun pada hasil uji statistik tidak

menunjukan hubungan yang signifikan.


121

Menurut asumsi peneliti bahwa, sebanyak 33 orang (75%) responden

adalah penduduk asli daerah setempat yang juga jarak rumah dengan aktivitas

pembakaran batu kapur cukup berdekatan, dimana jarak antara rumah dan tempat

pembakaran kurang lebih berjakar ≤ 1.000 m2, sehingga aktivitas pengolahan batu

kapur di Desa Tamansari ini memiliki risiko paparan polutan partikel debu tinggi,

karena aktivitas pengolahannnya masih sangat sederhana dan minim akan

teknologi, dibuktikan dengan hasil pengukuran udara ambien PM10, rata-rata semua

titik pengolahan batu kapur melebihi NAB berdasarkan PP No.41 Tahun 1999

tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Menurut asumsi peneliti variabel masa

kerja ini akan terjadi bias analisis dengan lama tinggal pekerja yang berjarak

≤ 1.000 m2 dari aktivitas pengolahan batu kapur, karena menurut Rahman (2009)

menyebutkan kadar TSP dari PM10 menurun jaraknya dari sumber mulai jarak 500

m samapi 5.000 m. Apabila sebanyak 75% pekerja bertempat tinggal ≤ 1000 m 2

dari lingkungan kerjanya, maka akan ada risiko paparan dari lama tinggal dan

jarak rumahnya. Hal ini dapat dijadikan studi lanjutan mengenai analisis risiko

kesehatan lingkungan pemukimanan dari adanya aktivitas pengolan batu kapur di

Desa Tamansari.
122

6.4. Hubungan Antara Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru pada
Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013
6.4.1. Hubungan Antara Kadar PM10 Ambien terhadap Gangguan Fungsi Paru
Aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini merupakan proses

pengolahan batu kapur yang bersifat industri non formal, yaitu hasil tambang

batu kapur kemudian dilakukan pemecahan menjadi bongkahan yang lebih kecil,

dimana proses pembakaran selama 48 jam, pembongkaran, pemadaman,

pengadukan dan pengayakan sehingga menjadi serbuk atau partikel seperti

tepung atau semen. Dari aktivitas pengolahan tersebut lah menjadi sumber utama

dihasilkannya polutan udara yang salah satunya adalah komponen debu berjenis

particullat metter (PM) berukuran 10 mikron atau PM10.

Menurut EPA (2001) Particulat Matter 10 (PM10) adalah jenis

pencemaran yang terdiri dari partikel cair dan padat yang sangat kecil berdiameter

10 mikron untuk dihirup kebagian terdalam paru-paru. Diibaratkan, ukuran

rambut manusia adalah 60 mikron, maka PM 10 adalah 6 kali lipat dari sehelai

rambut. Dalam Pope III et al. (2006) partikel PM10 yang berdiameter 10 mikron

memiliki tingkat kelolosan yang tinggi dari saringan pernafasan manusia dan

bertahan di udara dalam waktu cukup lama. Tingkat bahaya semakin

meningkat pada pagi dan malam hari karena asap bercampur dengan uap air.

PM10 tidak terdeteksi oleh bulu hidung sehingga masuk ke paru-paru. Jika partikel

tersebut terdeposit ke paru-paru akan menimbulkan peradangan saluran

pernapasan.
123

Data epidemiologi dalam Sydbom et al. (2001) dalam Ikhsan dkk (2010)

menunjukan hubungan antara kadar partikel dan meningkatnya morbiditi

termasuk gejala respirasi, eksaserbasi alegi, asma, menurunnya fungsi paru dan

perawatan pada pasien PPOK. Di Eropa dalam artikel The Air Pollution and

Health menunjukan angka rawat asma dan PPOK meningkat 1,0% per 10 mg/m 3

PM10. Pajanan terhadap PM memperburuk penyakit respirasi kronik dan

kardiovaskular, merubah pertahanan tubuh dan merusak jaringan paru hingga

menambah kemungkinan terjadinya kanker paru-paru.

Menurut Price (1995) mekanisme penimbunan debu dalam paru yaitu

pertama debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran

dan asap. Kedua udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan

dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran

pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel

goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada

lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan

mokosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung

dan kearah superior menuju faring dan menuju paru-paru.

Kemudian, partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk

fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis

oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang

terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-


124

menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan

pengendapan hialin pada jaringan ikat yang membentuk fibrosis.

Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan

jaringan ikat intertestial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas

jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan

pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi

penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru menurun dan

mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan otak, jantung dan bagian-

bagian tubuh lainnya sehingga ini menjadi faktor risiko terjadinya serangan

penyakit kardiovaskular.

Berdasarkan hal itu, pengukuran udara ambien di lingkungan aktivitas

pengolahan batu kapur di Desa Tamansari perlu dilakukan sebagai penunjang

hipotesis penelitian. Pengukuran udara ambien kadar debu dilakukan pada

beberapa dua titik sampel (2 pemilik pembakaran) yang di ukur berdasarkan

tahapan proses aktivitasnya dan waktu representatif selama 24 jam yaitu pada

pagi hari, siang hari dan sore hari, masing-masing pengambilan sampel PM 10

diukur selama 1 jam dan direkama setiap 10 detik yang kemudian data rata-rata

disajikan pada tabel 6.1. di bawah ini :


125

Tabel 6.2.
Hasil Pengukuran Udara Ambien PM10 di Lingkungan Kerja Pengolahan Baru Kapur Desa Tamansari Tahun 2

No. Aktivitas Pengolahan Batu Kadar PM10 Jumlah Responden


Kapur Ambien
(µg/m3)
1. Penghancuran 177 3
2. Pembakaran 1 1.437 9
3. Pembakaran 2 419 5
4. Pembongkaran 260 18
5. Pemadaman dan Pengayakan 177 5
(Finnishig)

ra dapat dilihat pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.13 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergera

9 tentang

Pengendalian Pencemaran Udara, sedangkan NAB kadar PM 10 dilingkungan kerja

adalah sebesar 10 mg/m3 berdasarkan Kemenakes No. 1405 Tahun 2002 Tentang

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Berdasrkan

tabel 6.2. hasil pengukuran udara ambien PM10 di lingkungan pengolahan batu

kapur di Desa Tamansari melebihi nilai ambang batas secara kadar udara ambien

nasional, namun berdasarkan berdasarkan NAB di lingkungan industri tidak

melebihi NAB yang di tetapkan. Hal ini dikarenakan aktivitas pengolahan batu

kapur tidak pada suatu industri atau pabrik yang memiliki tempat khusus,
126

melainkan pengolahannya berada pada ruang terbuka dan belum dilegalitaskan

secara resmi menjadi sebuah aktivitas indusrti oleh pemerintah setempat.Oleh

karena itu, variebl kadar PM10 ambien tidak memiliki hubungan dengan terjadinya

gangguan fungsi paru pada responden.

Keberadaan kadar PM10 ambien yang ada di lingkungan pengolahan batu

kapur dan area Desa Tamansari ini memiliki risiko paparan debu tidak hanya pada

pekerja dan masyarakat sekitar. Pengukuran PM10 di ikuti dengan pengukuran

kecepatan angin, hasil pengukuran cukup fluktuatif, mimum kecepatan mulai 0,5

sampai maksimum 1,9 m/s, artinya udara di lingkungan kerja terjadi pergerakan

mengikuti arah angin yaitu ke arah timur dengan arah menjauh dari pemukiman

Desa Tamansari.

Berdasarkan hasil analisis uji t-test independen didapatkan P value antara

PM10 dengan gangguan fungsi paru adalah sebesar 0,783. Hal ini berarti pada alpha

5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar PM 10 dengan gangguan

fungsi paru.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mengkidi (2006) yaitu tidak

adanya hubungan kadar TSP ambien semen dengan gangguan fungsi paru dengan

nilai p value sebesar 0,244. Kemudian penelitian ini sejalan dengan Ikhsan (2007)

pada pekerja pabrik semen, hasil uji statistik menunjukan tidak adanya hubungan

antara kadar pajanan debu dengan kelainan klinis paru dengan nilai p value 0,298.

Untuk mengetahui adanya dampak paparan debu dari tempat kerja terhadap

gangguan fungsi paru pada individu pekerja, banyak variabel yang harus lebih
127

spesifik di teliti, yaitu kadar debu terhirup menggunakan personal dust sampler

untuk mengetahui secara spesifik jumlah paparan debu terhirup, kemudian faktor

kerentanan dan imunitas serta fisiologis dari individu pekerja yang sulit untuk

diukur harus melalui penelitian yang lebih medis dan kedokteran kesehatan kerja,

hal ini juga menjadi keterbatasan dari penelitian pekerja batu kapur di Desa

Tamansari.

Secara teori diketahui bahwa debu berperan dan berhubungan terhadap

gangguan pernafasan dan risiko penyakit kronik yang mematikan, namun seorang

pekerja yang berada di lingkungan kerja dengan konsentrasi yang sama, durasi

paparan dan karakteristik perilaku lainnya yang sama namun akan mengakibatkan

kelainan klinis yang berbeda. Menurut asumsi peneliti hal ini disebabkan karena

kerentanan tubuh dan fungsi organ masing-masing individu yang berbeda dan

akhirnya menyebabkan status dan gangguan kesehatannya berbeda. Selain itu,

paparan kadar udara ambien ini di lingkungan kerja pengolahan batu kapur ini

tidak bergerak ditempat seperti dalam sebuah ruangan, tetapi pergerakan debu dan

arah angin menjauh dari aktivitas pembakaran dan proses lainnya, karena sifat

debu yang mudah diterbangkan oleh angin.

Namun, yang dapat dicanangkan dari aktivitas pengolahan batu kapur ini

sebaiknya lebih ramah lingkungan dan melindungi pekerja dan masyarakat sekitar,

agar selain menjadi mata pencaharian, asset daerah juga menjadi kegiatan kearifan

lokal daerah. Sebagimana dalam Firman Allah swt. dalam Q.S. Al-A’raaf : 56 :
128

.......‫ض َبْعَد ْ ِح َها‬


ِ ‫َوَالُتفِْسُدوا ًِف ْاألَْر‬
‫ِإ ص‬
‫ال‬
َ

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan)

dengan baik.”

Dalam Al-Quran dan Tafsirnya (2011) menerangkan ayat ini Allah melarang

manusia agar tidak membuat kerusakan di muka bumi. Larangan membuat

kerusakan ini mencakup semua bidang, seperti pergaulan, jasmani, rohani orang

lain, kehidupan dan sumber penghidupan, lingkungan dan sebaginya. Bumi ini

sudah diciptakan Allah dengan segala kelengkapannya, baik di daratan, gunung,

lautan dan sebagainya, yang semuanya ditujukan untuk keperluan manusia, agar

dapat diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan

manusia, maka dapat ditegaskan adanya larang pada manusia untuk membuat

kerusakan di muka bumi.

Oleh karena itu, segala bentuk penciptaan yang ada di muka bumi seperti

salah satunya dalam bentuk pertambangan sumber daya alam dapat diolah dan

dikelola dengan sebaik-baiknya agar terciptanya keseimbangan alam dan

kelestarian lingkungan.

Berdasarkan hal itu, peneliti menginisiasikan untuk adanya hubungan kerja

sama yang baik antara Pemda Kab. Karawang dan pemilik pengolahan batu kapur

ini untuk di adakannya pelatihan pengelolaan batu kapur berwawasan lingkungan

perlu segera direalisasikan dengan teknologi tepat guna dan sederhana. Menurut

Soerjani dkk (1987) dalam Hadi dkk (2008) bahwa dalam pembangunan
129

berwawasan lingkungan, manusia harus berani menunjukan keterbatan dirinya

dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pengelolaan lingkungan, diperlukan adanya

sentuhan keterampilan yang berbasis teknologi baik secara sederhana maupun

modern. Oleh karena itu, pelatihan dan kunjungan lapangan yang dapat disediakan

oleh Pemda setempat maupun lembaga lainnya baik dari akademis maupun sosial

kepada kelompok usaha pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.

Selain itu, sebaiknya kepada Pemerintah Dearah Kab. Karawang khususnya

pada Dinas Kesehatan, Badan Lingkungan Hidup Daerah Kab. Karawang dan lintas

sektor lainnya dapat memperhatikan aktivitas pengolahan batu kapur di Desa

Tamansari ini dengan melakukan pemantauan kualitas udara di area kerja maupun

pemukiman, dan dilakukannya sosialisasi yang lebih massif terkait pentingnya

penggunaan APD pada pekerja sebagai upaya pencegahan timbulnya penyakit

akibat kerja yang akan berpengaruh terhadap produktifitas pekerja dan

pembangunan daerah.

6.4.2. Hubungan Antara Suhu terhadap Gangguan Fungsi Paru


Menurut Suharsono (1985) dalam Subaid (2002) cuaca dan iklim bukan

penyebab polusi udara, tetapi keadaan atmosfer mempunyai pengaruh yang besar

terhadap laju difusi (penyebaran) bahan pencemar, baik secara horizontal

maupun vertikal. Faktor meteorologis yang memegang peran dalam proses

penyebaran bahan pencemar di udara adalah faktor angin (kecepatan dan arah),

turbulensi, stabilitas atmosfer dan inversi. Selain itu ada pula faktor-faktor
130

meteorologi sekunder yang mempengaruhi polusi udara, antara lain hujan, kabut

dan radiasi surya. Maka, dapat disimpulkan bahwa faktor iklim dan meteorologi

mempengaruhi konsentrasi dan kadar bahan polutan pada suatu lingkungan

tertentu. Salah satunya adalah suhu atau temperatur.

Dalam Ikhsan (2010) suhu yang ekstrim baik dingin maupun panas berada

pada kondisi perubahan polusi udara seperti kebakaran hutan dan hujan debu,

berpotensi menyebabkan penyakit respirasi baik jangka pendek maupun panjan.

Penelitian di Itali oleh Atkinson et al. (2001) dalam Ikhsan (2010), selama

musim panas tahun 2003, penduduk yang berusia > 65 tahun mempunyai risiko

34% kematian dan risiko penyakit respirasi. Angka kematiannya cukup tinggi pada

pasien PPOK dan pada kelompok gender perempuan. Polusi udara seperti debu

partikel, NO2, SO2 dan ozon dibumi dapat meningkat sebagai adaptasi terhadap

suhu yang memanas. Polusi udara seperti ozon dan partikel menyebabkan

meningkatnya kasus respirasi dan menurunya fungsi paru. Seperti di lingkungan

kerja suatu industri atau tempat tertentu yang memiliki sumber pencemar udara,

dimana konsentrasi bahan polutan akan dipengaruhi oleh konsentrasi suhu,

sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan fungsi paru dan menimbulkan

risiko keluhan pernafasan terutama pada orang-orang yang berisiko.

Namun berdasarkan hasil analisis statistik bivariat pada variabel suhu

lingkungan kerja pada uji t-test independent diperoleh nilai p value antara suhu
131

dengan gangguan fungsi paru adalah sebesar 0,963. Hal ini berarti pada alpha 5%

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara suhu lingkungan dengan gangguan

fungsi paru. Apabila dari hasil uji statistik univariat di dapatkan dengan melakukan

pengukuran secara langsung, dimana waktu dan tempat disesuaikan saat

pengukuran PM10 berlangsung, dari dua titik sampel di dapatkan nilai rata-rata

suhu di aktivitas pengolahan batu kapur sebesar 32 oC, di peroleh suhu minimal 30
o
C dan suhu maksimal 36 oC. Berdasarkan baku mutu Kepmenkes No. 1405 Tahun

2002 NAB suhu lingkungan industri adalah antara 18-30 oC, dapat disimpulkan

bahwa suhu lingkungan di aktivitas pengolahan batu kapur juga melebihi ambang

batas, yang akan menjadi bahaya untuk terjadinya gangguan kesehatan lainnya.

Namun, faktor suhu juga dapat dipengaruhi oleh keberadaan dan turbulensi

angin. Didapatkan hasil pengukuran kecepatan angin di area sampel penelitian

rata-rata kecepatan angin 1,1 m/s dengan kecepatan minimum 0,5 m/s dan

kecepatan maksimum 1,9 m/s, kecepatan angina cukup kuat karena area

pengolahan batu kapur berada pada ruang terbuka bukan pada suatu ruangan

khusus. Keberadaan angin ini akan menurunkan suhu yang cukup tinggi di

lingkungan pengolahan batu kapur sehingga meminimalisir kadar debu sebagai

sumber polutan. Hal ini lah yang menjadi asumsi peneliti bahwa suhu lingkungan

tidak berpengaruh terhadap kondisi kadar polutan yang berhubungan dengan

gangguan fungsi paru pada responden.


132

Sebagai pencegahan dalam aktivitas bekerjanya tidak mendekati area

pengolahan yang bersumber panas seperti saat proses pembakaran. Sebaiknya

pekerja mengkontrol jarak aktivitas kerja dengan tungku pembakaran, dimana di

area proses pembakaran ini lah terdapat yang suhu tinggi.

6.4.3. Hubungan Antara Kelembaban terhadap Gangguan Fungsi Paru


Sebuah studi dalam Arundel et al. (1986) ingin mengetahui efek kesehatan

dari kelembaban relatif di lingkungan indoor menunjukkan bahwa kelembaban

relatif dapat mempengaruhi kejadian infeksi pernapasan dan alergi. Studi

eksperimental pada infeksi bakteri yang ditularkan melalui udara dan virus telah

menunjukkan bahwa kelangsungan hidup atau infektivitas organisme diminimalkan

dengan paparan kelembaban antara 40%-70% .

Sembilan studi epidemiologi meneliti hubungan antara jumlah infeksi

pernapasan dari kehadiran bekerja dan kelembaban relatif di kantor, tempat tinggal,

atau sekolah. Didapatkan insiden infeksi pernafasan dengan melihat absensi harian

di kantor, ditemukan kejadian infeksi pernafasan lebih rendah di antara orang yang

bekerja atau tinggal di lingkungan dengan kelembaban relatif menengah rendah

dibandingkan dengan orang bekerja dengan kelemababan relatif tinggi. Hal ini akan

mempengaruhi perkembangbiakan organisme seperti bakteri dan jamur.

Keberadaan tungau, bahan alergan dan populasi jamur secara langsung

tergantung pada kelembaban relatif. Populasi tungau diminimalkan ketika

kelembaban relatif di bawah 50% dan mencapai ukuran maksimal pada kelembaban
133

relatif 80%. Sebagian besar spesies jamur tidak bisa tumbuh kecuali kelembaban

relatif melebihi 60%.

Hasil pengukuran dan analisis pada kelembaban di lingkungan aktivitas

pengolahan batu kapur, rata-rata kelembaban mencapai 80,3% dengan kelembaban

minimal sebesar 71% dan kelembaban maksimal 87%. Dalam Kepmenkes No. 405

Tahun 2009 tentang NAB Faktor Fisik dan Kimia di Tempat Kerja, kelembaban di

lingkungan pengolahan batu kapur masih di antara batas ambang batas yaitu 65-

95%. Kemudian, dari hasil analisis uji statistik t-test independent, nilai Pvalue yang

didapatkan dari hasil analisis antara kelembaban dengan gangguan fungsi paru

adalah sebesar 0,854. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara kelembaban lingkungan dengan gangguan fungsi paru.

Dalam artikel Healthcare Inc. (2005) kelembaban yang tinggi juga

merupakan penyebab meningkatnya keluhan sesak napas. Ada beberapa

kemungkinan penjelasan untuk fenomena ini. Pertama, karena kelembaban udara

meningkat maka densitas atau massa jenis udara meningkat, maka udara tidak

banyak terjadi aliran di udara sehingga meningkatnya saluran nafas dan

mengakibatkan meningkatnya kerja pernapasan yang menyebabkan sesak napas.

Penjelasan lain bahwa ketika kelembaban meningkat, maka jumlah alregan udara

ikut meningkat, seperti debu, jamur bahkan tungau meningkat pada kelembaban

yang tinggi.
134

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kondisi

kelembaban berdasarkan hasil pengukuran di lingkungan pengolahan batu kapur

pada dua titik sampel didapatkan rata-rata sebesar 80,3% dengan kelembaban

minimal 71% dan kelembaban maksimal 87%, maka kadar kelembaban masih

berada pada kadar kelembaban relatif normal, sehingga kelembaban di lingkungan

pengolahan batu kapur tidak menjadi faktor yang berhubungan langsung terhadap

gangguan fungsi paru pada pekerja, karena saat penelitian dilakukan pada bulan

April, dimana keberadaan cuaca tidak dalam curah hujan yang tinggi. Namun,

ketika kondisi kelembaban meningkat yaitu pada saat curah hujan sedang tinggi

maka hal ini perlu diwaspadai turbulensi udara yang sedikit sehingga kondisi udara,

debu dan asap di sekitar pengolahan batu kapur akan meningkat, kondisi seperti ini

menjadi faktor pemicu gangguan pernafasan seperti sesak nafas dan terjadinya

reaksi hipereaktivitas dari bahan alergan yang meningkat pada pekerja yang

memiliki riwayat penyakit asma dan gangguan pernafasan lainnya.


BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil

kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Gambaran pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kab.

Karawang tahun 2013, didapatkan dari 40 responden penelitian yang

mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 7 orang (17,5%) dengan

kategori restriksi ringan dan sedang sedangkan 33 orang (82,5%) tidak

ada gangguan fungsi paru dengan kapasitas total paru ≥ 80%.

2. Gambaran faktor karakteristik individu (usia, masa kerja, konsumsi

merokok dan status gizi) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa

Tamansari adalah sebagai berikut :

a. Rata-rata usia pekerja adalah 37 tahun dengan standar deviasi 10,14,

usia minimum 19 tahun dan usia maksimum 59 tahun.

b. Rata-rata masa kerja adalah 10 tahun dengan standar deviasi 9,03,

masa kerja minimum 0 tahun dan masa kerja maksimum 46 tahun.

c. Rata-rata konsumsi merokok pekerja adalah 13 batang/hari dengan

standar deviasi 6,23 , konsumsi rokok minimum 1 batang/hari dan

maksimum 24 batang/hari.

135
136

d. Frekuensi status gizi pekerja pada kelompok gizi kurus 13 orang

(29,55), gizi normal 24 orang (54,5%) dan gizi lebih atau gemuk (3

orang (6,8%).

3. Gambaran faktor karakteristik lingkungan (PM10 ambien, suhu dan

kelembaban) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari

adalah sebagai berikut :

a. Rata-rata kadar PM10 berdasarkan aktivitas pengolahan yaitu pada

aktivitas penghancuran adalah 177 µg/m3, pembakaran 1 adalah

1.437 µg/m3, pembakaran 2 adalah 419 µg/m3, pembongkaran 419

µg/m3 dan pengepakan hasil adalah 177 µg/m3, dapat dirata-ratakan

total kadar PM10 di area pengolahan batu kapur adalah 524 µg/m3

yang melebihi NAB kadar PM10 ambien berdasarkan PP No.41

Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

b. Rata-rata suhu di lingkungan pengolahan batu kapur berdasarkan

aktivitasnya yaitu penghancuran adalah 33 C, pembakaran 1

adalah 35 C, pembakaran 2 adalah 36 C C

dan pengepakan hasil adalah 33 C, dapat dirata-rata

C yang melebihi NAB

faktor fisik yaitu pada 18-30 C di lingkungan keja berdasarkan

Kepmenkes No. 405 Tahun 2002.


137

c. Rata-rata kelembaban di lingkungan pengolahan batu kapur

berdasarkan aktivitasnya yaitu penghancuran adalah 78%,

pembakaran 1 adalah 71%, pembakaran 2 adalah 74%,

pembongkaran 87% dan pengepakan hasil adalah 78%, dapat dirata-

ratakan kelembaban di area pengolahan batu kapur adalah 80,3%

yang tidak melebihi NAB faktor fisik yaitu pada 65-95% berdasarkan

Kepmenkes No. 405 Tahun 2002.

4. Gambaran kadar kandungan SiO2 pada material batu kapur di desa

Tamansari adalah :

a. Sebanyak 3,46% SiO2 pada batu kapur yang belum dibakar.

b. Sebanyak 1,03% SiO2 pada batu kapur yang setelah dibakar I.

c. Sebanyak 0,60% SiO2 pada batu kapur yang belum dibakar II.

5. Berdasarkan hasil uji statistik bivarit faktor-faktor yang

berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja

pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013 adalah

sebagai berikut :

a. Ada hubungan antara faktor usia dengan gangguan fungsi paru

dengan nilai p value 0,032.


138

b. Tidak ada hubungan antara faktor masa kerja dengan gangguan

fungsi paru dengan nilai p value 0,932.

c. Tidak ada hubungan antara faktor konsumsi rokok dengan

gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,287.

d. Tidak ada hubungan antara faktor status gizi dengan gangguan

fungsi paru dengan nilai p value 0,842.

e. Tidak ada hubungan antara faktor kadar PM10 ambien dengan

gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,783.

f.Tidak ada hubungan antara faktor suhu dengan gangguan

fungsi paru dengan nilai p value 0,963.

g. Tidakadahubunganantarafaktorkelembabandengan

gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,854.

7.2. Saran

7.2.1. Saran Bagi Pekerja

1. Sebaiknya pekerja yang sudah memiliki risiko terkena gangguan fungsi

paru yaitu pada kelompok > 40 tahun dapat menjaga pola aktivitas kerja

yaitu dengan melakukan aktivitas kerja sesuai jam kerja harian yaitu

maksimal 8 jam/ hari, sadar akan penggunaan pelindung diri yaitu


139

pemakaian masker saat bekerja dan memilih bagian pekerjaan yang tidak

memiliki risiko tinggi yaitu sebaiknya tidak pada bagian penghancuran

atau pembakaran.

2. Sebaiknya pekerja memperhatikan asupan makan sehari-hari, mengingat

aktivitas pengolahan batu kapur ini banyak membutuhkan energi karen

aktivitas fisik yang harus dikerjakan, seperti memecah batu dan

pembakaran pada suhu yang tinggi.

3. Sebaiknya pekerja yang memiliki kebiasaan konsumsi merokok > 10

batang/hari mulai mengurangi, yaitu dengan mengganti pengeluaran rokok

dengan mengkonsumsi makanan yang lebih lebih bergizi untuk memenuhi

kebutuhan kalori, karena perilaku ini akan menurunkan risiko terkena

gangguan par dan penyakit kronis lainnya seperti stroke, hipertensi dan

serangan jantung, dimana pada kelompok usia yang masih produktif dapat

meningkatkan angka harapan hidupnya.

7.2.2. Saran Bagi Pemilik

1. Pemilik pengolahan batu kapur sebaiknya memperhatikan jam kerja

dengan melakukan shift jadwal kerja, karena masih ada sebagian

pekerja yang bekerja selama 24 jam/hari.

2. Pemilik pengolahan sebaiknya lebih memperhatikan teknik pengolahan

atau pembakaran yang lebih ramah lingkungan agar paparan debu yang
140

dihasilkan tidak menjadi sumber pencemar polusi udara di lingkungan

kerja maupun ke area pemukiman warga.

3. Selain itu pemilik juga sebaiknya lebih memperhatikan aspek kesehatan

dan keselamatan pekerjanya dengan selalu menghimbau untuk tetap

menggunakan masker khususnya yang sudah disediakan pihak UKK

Puskesmas setempat.

7.2.3. Saran Bagi Pemerintah Daerah Kab. Karawang

1. Sebaiknya kepada Pemerintah Dearah Kab. Karawang khususnya pada

Dinas Kesehatan, Badan Lingkungan Hidup Daerah Kab. Karawang

dan lintas sektor lainnya dapat memperhatikan aktivitas pengolahan

batu kapur di Desa Tamansari ini dengan melakukan pemantauan

kualitas udara di area kerja maupun pemukiman, serta memperhatikan

teknologi tepat guna dan sederhana yang dapat diterapkan.

2. Sebaiknya dilakukannya sosialisasi yang lebih massif lagi terkait

pentingnya kesehatan dan keselamatan pada pekerja agar aktivitas

pengolahan batu kapur ini menjadi kearifan lokal setempat dan daerah,

antara lain dengan mewajibkan para pemilik tambang dan pengolahan

untuk menyediakan masker yang dipakai seluruh pekerjanya.


Bagi Peneliti Selanjutnya

Pengukuran kadar debu pada pekerja sebaiknya dilakukan pengukuran dengan personal dust samp
Diagnosa gangguan fungsi paru pada pekerja yang sudah diindikasi memiliki riwayat gangguan par
lebih lanjut dengan sinar-X atau foto toraks.
Lampiran 1

DAFTAR RESPONDEN PENELITIAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI DESA TAMANSARI TAHUN
2013
Pelaksana : Prodi. Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jkt & PKM Pangkalan
Sabtu, 6 April 2013
FEV/KVP
Stat. Masa Kerja
No. Nama Alamat TB BB Umur (Kapasitas Ket. Fungsi
Gizi/IMT (Tahun)
Vital Paru) Paru
1 KOSIM CIBIUK 159 41,5 16,4 54 83 Normal 46
2 DEDE BUNDER 158 51,5 20,6 32 121 Normal 7
3 IKANG PARUNGLAKSANA 140 45,7 23,3 45 73 Restriksi ringan 7
4 AMIN CIBIUK 167,5 50,5 18,0 35 84 Normal 25
5 SARIFUDIN CITAMAN 159 70 27,9 37 111 Normal 0
6 ENDANG SONGGONG 166 52,5 19,1 37 101 Normal 5
7 SLAMET CITAMAN 164 50,4 18,7 19 117 Normal 6
8 IDAN BOJONG 169 58,2 20,4 23 95 Normal 0
9 MEMED PANGKALAN 161,2 57,7 22,2 40 105 Normal 1
10 OTOY BEKASI 157 59 23,9 38 99 Normal 9
11 AHMAD TAMANSARI 169 57,7 20,2 42 69 Restriksi 15
Sedang
12 OCEN TAMANSARI 158 66,5 26,6 40 85 Normal 8
13 ENDANG KARAWANG 163,8 49,7 18,5 51 62 Restriksi 25
Sedang
14 DENI PANGKALAN 161,5 46,9 18,0 25 82 Normal 5
15 SYARIFUDIN PANGKALAN 171,9 52,6 17,8 34 70 Restriksi ringan 7
16 SARWITA PANGKALAN 158 76,3 30,6 50 108 Normal 10
17 ASEP CIBIUK 160,8 61,8 23,9 24 126 Normal 10
18 TAMAN CITAMAN 158,8 48 19 40 88 Normal 5
19 KUSNAEDI TAMANSARI 168 51,1 18,1 26 111 Normal 6
20 UDING CITAMAN 153,7 53,9 22,8 46 95 Normal 20
21 ZAITAR CITAMAN 158,3 54,6 21,8 35 104 Normal 10
22 KARLAN JATI 159 51,15 20,2 45 84 Normal 20
23 NURYANA BUNDER 160 62,9 24,6 26 122 Normal 6
24 DATIN CIBIUK 158 52,4 13 40 92 Normal 20
25 ADE CIBIUK 162,6 53,2 14 43 131 Normal 15
26 INEN CIBIUK 163,9 53,15 14,8 50 99 Normal 20
27 IWAN CITAMAN 160 45,4 17,7 23 99 Normal 3
28 FIRMAN CITAMAN 164 52,2 19,4 23 109 Normal 8
29 MARWAN CITAMAN 165 60 22 22 125,13 Normal 0
30 ENUNG PANGKALAN 156 48 19,7 45 117 Normal 15
31 APID TAMANSARI 166 63,5 23,0 53 61 Restriksi 5
Sedang
32 SURYANA CITAMAN 165,9 59,4 21,6 32 79 Normal 2
33 UWANG SONGGONG 162 58 22,1 19 122 Normal 5
34 ENDA BUNDER 150 46,3 20,6 40 91 Normal 15
35 DARTO PANGKALAN 161 52,6 20,3 35 102 Normal 4
36 ASMAN PANGKALAN 166 55,45 20,1 35 125 Normal 15
37 AMAN CIBIUK 162 55,9 14,7 28 116 Normal 10
38 KOMAR BUNDER 162 48,8 18,6 51 61 Restriksi 5
Sedang
39 ADANG S BUNDER 154 54,4 22,9 53 61 Restriksi 23
Sedang
40 NASIM PARUNGLAKSANA 173,6 82,75 27,5 39 111 Normal 17
Lampiran 2
No Responden Tanggal

KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI


PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI DESA TAMAN
SARI, KEC. PANGKALAN KAB. KARAWANG TAHUN 2013
Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya Annisa Fathmauldia, mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan


Kesehatan Lingkungan Universitas Islam Negeri Jakarta. Saat ini saya sedang
melakukan pengumpulan data mengenai keluhan kesehatan yang saudara rasakan saat
bekerja, dimana pengumpulan data ini adalah sebagai salah satu bahan dalam
penyusunan tugas akhir (skripsi). Sumua data dan informasi yang saudara berikan
akan dijaga kerahasiannya dan kuesioner ini akan dimusnahkan apabila tidak
digunakan lagi. Atas perhatian dan kerjasama saudara saya ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Form Kesediaan Responden Penelitian

Apakah saudara bersedia?

(lingkari pada pilihan dibawah ini)

a. Ya

b. Tidak

Karawang, April 2013

Tanda Tangan Responden

(…...................................)
Identitas Responden
Nama
Alamat

Asal Daerah a. Pendudukasli Karawang


b. Lainnya ….
Jika bukan penduduk asli karawang sejak tahun berapa
migrasi ke karawan? ………
Bagian pekerjaan a. Penambangan
b. Pembakaran
c. Pembongkaran
d. Pengangkutan/pengepakan
Status Kesehatan TB : ………
BB : ………
TD : ………
Pendidikan terakhir a. SD
b. SMP
c. SMA
Lainnya…….
Pengeluaran Bulanan Rp . ………………….
Pengeluaran apa saja a. Sandang
untuk setiap bulannya b. Pangan
c. Papan
d. Lain-lain …..
Fasilitas MCK a. Pribadi b. Umum
Pertanyaan penelitian
No. Pertanyaan Kode
A Aktivitas Kerja
A1 Apakah anda sudah memiliki keterikatan kerja/kontrak
dengan pemilik Lio?
a. Ya [ ]
b. Tidak
A2 Apakah anda merasa nyaman/betah berada
dilingkungan kerja ini?
a. Ya [ ]
b. Tidak
B Masa Kerja
B1 Sudah berapa lama anda bekerja di
penambangan/pengolahan batu kapur ini
………. Tahun
Sejak Usia berapa ?
….. tahun.
B2 Berapa jam anda bekerja dalam satu hari?
……jam/hari
B3 Berapa hari anda bekerja dalam satu minggu?
……hari/minggu.
C Jarak Rumah
C1 Apakah tempat tinggal anda dengan tempat bekerja
relative : a. Dekat b. Jauh
C2 Berapa jarak tempat tinggal anda dengan lokasi
pembakaran batu kapur...............meter

C3 Ada berapa tempat pembakaran yang ada di dekat


rumah anda?..............tempat
C3 Sudah berapa lama anda tinggal di tempat tinggal yang
anda tinggal saat ini?
…… bulan/tahun.
D Umur
D1 Berapakah usia anda saat ini ?
Tanggal lahir…… bulan lahir…. Tahun lahir ……
E Perilaku Merokok
E1 Apakah menurut bapak merokok dapat mengganggu [ ]
kesehatan?
a. Ya
b. Tidak
E2 Apakah anda perokok? [ ]
0. Ya
1. Tidak
Jika “ya” lanjut ke pertanyaan E3, jika “tidak”
langsung ke pertanyaan E6.
E3 Sudah berapa lama anda merokok?
……………. Minggu/bulan/tahun (Dilingkari yang
perlu)
E4 Sudah sejak usia berapa tahun anda merokok?
….. tahun
E5 Berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi
dalam.satu hari.....................batang/hari.
E6 Jika saat ini anda tidak merokok, apakah sebelumnya [ ]
pernah merokok?
0. Ya
1. Tidak
Jika, “ya” lanjut ke D5, jika tidak langsung ke
pertanyaan F1.
E7 Jika anda sudah tidak merokok saat ini, sejak kapan
anda mulai berhenti merokok?
……. (hari, minggu,bulan,tahun) lalu.
F Status Kesehatan
F1 Apakah anda merasakan keluhan gangguan kesehatan?
a. Ya
b. Tidak
Jika “Ya” sebutkan jenis keluhan/sakit apa saja?
F2 Apakah anda pernah menjalani pengobatan khusus [ ]
oleh diagnosis tenaga medis?
a. Ya
b. Tidak
Jika “ Ya” jenis penyakit apa yang didagnosis oleh
tenaga medis? ……..
F4 Apakah ada pernah berobat/dirujuk ke Rumah Sakit? [ ]
a. Ya
b. Tidak
Jika “Ya” apa diagnosis penyakitnya ? ………..
F6 Apakah menurut anda keluhan kesehatan anda [ ]
disebabkan oleh lingkungan kerja seperti adanya
debu/asap dari pembakaran ?
a. Ya
b. Tidak
Jika “Tidak” lanjut ke pertanyaan F7
F7 Apakah menurut anda keluhan kesehatan anda
disebabkan oleh perilaku sehat anda seperti merokok,
menggunakan APD saat bekerja ?
a. Ya
b. Tidak

Hasil Pengukuran lingkungan kerja


A. Debu partikulat (PM10) di Pengolahan Batu Kapur
A1. Aktivitas kerja Hasil Pngukuran
Pengolahan
1.Titik 1 1. Titik 1
a. Pagi : 06.00-10.00 a............µg/m3–
b. Siang : 10.00-1400 b.............µg/m3
c. Sore : 14.00-18.00 c............µg/m3
0. Titik 2
a. Pagi : 06.00-10.00
b. Siang : 10.00-1400 2.Titik 2
c. Sore : 14.00-18.00 a............µg/m3
a. b.............µg/m3
c............µg/m3
a.
B. Suhu
Penambangan
1.Titik 1 a. …… 0C
a. Pagi : 06.00-10.00 b. …… 0C
b. Siang : 10.00-1400
c. Sore : 14.00-18.00
a.
Pengolahan
1.Titik 1 a. …… 0C
a. Pagi : 06.00-10.00 b. …… 0C
b. Siang : 10.00-1400 c. …… 0C
c. Sore : 14.00-18.00
0. Titik 2
a. Pagi : 06.00-10.00
b. Siang : 10.00-1400 d. …… 0C
c. Sore : 14.00-18.00 e. …… 0C
f. …… 0C

C. Kelembaban
Penambangan
1.Titik 1 a. …… %
a. Pagi : 06.00-10.00 b. …… %
b. Siang : 10.00-1400 c. …… %
c. Sore : 14.00-18.00
a.
Pengolahan
a1.Titik 1 a. …… %
a. Pagi : 06.00-10.00 b. …… %
b. Siang : 10.00-1400 c. …… %
c. Sore : 14.00-18.00
0. Titik 2
a. Pagi : 06.00-10.00
b. Siang : 10.00-1400
c. Sore : 14.00-18.00 d. …… %
e. …… %
f. …… %

Kecepatan Angin :

Pengolahan
a1.Titik 1
a. Pagi : 06.00-10.00
b. Siang : 10.00-1400
c. Sore : 14.00-18.00
0. Titik 2
a. Pagi : 06.00-10.00
b. Siang : 10.00-1400
c. Sore : 14.00-18.00
Lampiran 3
DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA PRIMER

Dok. Pengukuran PM10 Ambien di Titik Sampel 1

Dok. Pengukuran PM10 Ambien di Titik Sampel 2

Dok. Pemeriksaan Antropometri Responden

Dok. Kondisi Asap Debu Pembakaran Batu Kapur di


Desa Tamansari
Lampiran 4

Tabel 5.6. Distribusi Responden Berdasarkan Bagian Kerja dan Kondisi Lingkungan dan
Gangguan Fungsi Paru
NAMA BAGIAN PEKERJAAN SUHU KELEMBABAN PM10 FVC Status
ITA PENGHANCURAN 33 78 177 116 Normal
AMAN PENGHANCURAN 33 78 177 61 Restriksi Sedang
KOMAR PENGHANCURAN 33 78 177 61 Restriksi Sedang
CEBRON PEMBAKARAN 35 71 1437 92 Normal
DATIM PEMBAKARAN 35 71 1437 131 Normal
ADE PEMBAKARAN 35 71 1437 99 Normal
INEM PEMBAKARAN 35 71 1437 99 Normal
IWAN PEMBAKARAN 35 71 1437 109 Normal
FIRMAN PEMBAKARAN 35 71 1437 125 Normal
MARWAN PEMBAKARAN 35 71 1437 117 Normal
ADANG PEMBAKARAN 35 71 1437 61 Restriksi Sedang
UDIN PEMBAKARAN 35 71 1437 70 Restriksi Ringan
SURYANA PEMBAKARAN 36 74 419 79 Restriksi Ringan
UWANG PEMBAKARAN 36 74 419 91 Normal
ENDA PEMBAKARAN 36 74 419 102 Normal
DARTO PEMBAKARAN 36 74 419 125 Normal
AHMAD PEMBAKARAN 30 87 260 69 Restriksi Sedang
KOSIM PEMBONGKARAN 30 87 260 121 Normal
IKONG PEMBONGKARAN 30 87 260 73 Restriksi Ringan
DEDE PEMBONGKARAN 30 87 260 84 Normal
SLAMET PEMBONGKARAN 30 87 260 111 Normal
ENDANG PEMBONGKARAN 30 87 260 101 Normal
DENI PEMBONGKARAN 30 87 260 117 Normal
UDIN PEMBONGKARAN 30 87 260 95 Normal
MEMED PEMBONGKARAN 30 87 260 105 Normal
OTOY PEMBONGKARAN 30 87 260 99 Normal
ASMAN PEMBONGKARAN 30 87 260 89 Normal
OCEN PEMBONGKARAN 30 87 260 85 Normal
SARWITA PEMBONGKARAN 30 87 260 81 Normal
IDAN PEMBONGKARAN 30 87 260 82 Normal
ENDANG PEMBONGKARAN 30 87 260 84 Normal
NURYANA PEMBONGKARAN 30 87 260 108 Normal
KARLAN PEMBONGKARAN 30 87 260 126 Normal
SARIFUDI PEMBONGKARAN 30 87 260 88 Normal
AMIN PEMBONGKARAN 30 87 260 111 Normal
KUSNAEDI PENGEPAKAN 33 78 177 95 Normal
APID PENGEPAKAN 33 78 177 104 Normal
ZAITAR PENGEPAKAN 33 78 177 84 Normal
ASEP PENGEPAKAN 33 78 177 122 Normal
Lampiran 5

HASIL PENGUKURAN KUALITAS UDARA AMBIEN(PM10, SUHU, KELEMBABAN) BERDASARKAN AKTIVITAS KERJA

HASIL PENGUKURAN
AKTIVITAS WAKTU PENGUKURAN JUMLAH SAMPEL
PM10 (µg/m3) SUHU ( ͦC) KELEMBABAN (%)
Penghancuran PAGI (08.15-09.15) 177 33 78 4
Pembakaran 1 PAGI (09.20-10.00) 1437 35 71 9
Pembakaran 2 SIANG (12.30-13.30) 419 36 74 5
Pembongkaran SORE (15.10-16.10) 260 30 87 17
Pengepakan Hasil PAGI (08.15-09.15) 177 33 78 5
Rata-rata 494 33 78 40
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan, Rajawali Pers,


Jakarta.

Aditama, T. Yoga. 1992. Situasi dan Dampak Penyakit Paru pada Pusat Kesehatan
Masyarakat. Kumpulan Rujukan Modul Respirasi 2007-2008. FKIK UIN
Syarif Hidayatullah. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Almatsier. S, 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

American Thoracic Society. Standard for The Diagnosis And Care Of Patient With
Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) and Asthma. Am. Rev.
Respir Dis, 1995 : 225 - 43.

Anonim, Teknik Sampling Kualitas Udara, [http://www.bplhdjabar.go.id]. diakses


pada 16 Januari 2013.

Anonim. Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits Surat Al -Baqarah: 194-
195 (Jangan Jerumuskan Dirimu Ke Dalam Kebinasaan).2005. Diakses dari
[http://www.alsofwah.or.id] pada 23 Mei 2013.

Anonim. Al-Qur’an dan Tafsirnya. 2011. Widya Cahaya. Perpustakaan Nasional RI :


Katalog Dalam Terbitan. Jakarta.

Arundel V. Sterling M et al 1986. Indirect Health Effect of Relative Humidity Indoor


Enironments. Vol. 65. pp 351-361. Environment Health Perspectives.

Aviandari, G., Budiiningsih S, Ikhsan, M. 2008. “Prevalensi Gangguan Obstruksi


Paru dan Faktor-faktor yang Berhubungan pada Pekerja Dermaga&Silo
Gandum di PT.X Jakarta 2008”, Jurnal Respirogi diakses dari
(http://jurnalrespirologi/jurnal/april09/microsoft/jurnalrespirologi/graita.pdf)
pada 25 Januari 2013.
Budiono, Irawan. 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja
Pengecatan Mobil (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang).
Tesis. Undip. Semarang.

Brenntag Canada Inc. 2010. Material Safety Data Sheet Calcium Carboate Solid.
Website Accsess: http://www.brenntag.ca. Toronto.

Curtis, N. 2000. Batu dan Mineral, Menyelidiki dan Memahami Geologi, Interaksara,
Jakarta.

Environmental Protection Agency (EPA). 2001. Air Quality Criteria for Particulate
Metter, Volume 1: Secound External Review Draft.

Depanjan, Majumdar, S.P.M. Prince Williams. 2008. Chalk dustfall during classroom
teaching: particle size distribution and morphological characteristics.Environ
Monit Assess.

Epler. G.R. 1997. Environmental and Occupational Lung Disease. In : Clinical


Overview Of Occupational Diseases, Return To Epler. Com.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius: Jakarta.

Ganong. W.F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review Of Medical


Physiology). Terjemahan dari M. Djauhari Widjajakusumah, Edisi I7, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Guyton, AC. 2001. Buku Tesk Fisiologi Kedokteran, Alih Bahasa Adji Dharma dan
Lukmanto. EGC. Jakarta.

Hadi, B.S., Khotimah N., Sudarwanto. 2008. Pelatihan Pengelolaan Dapur


Pembakaran Kapur (Tobong Gamping) yang Berwawasan Lingkungan di Kec.
Jetis Kab. Bantul. FISE UNY. Yogyakarta.

Healtcare Inc Rotech. 2005. Weather and Breathing. Volume , Issue 1. Article of
Breathe Easy.
Huboyo, H S, Sutrisno E, Analisis Konsentrasi Particulate Metter 10 (PM10) pada
Udara Diluar Ruangan (Studi Kasus-Stasium Tawang Semarang). Jurnal
TEKNIK – Vol. 30 No. 1 Tahun 2009, ISSN 0852-1697.

Ikhsan M. Yunus F. Damayanti T. Sutjahyo K. 2007. Hubungan Penggunaan Masker


dengan Gambaran Klinis, Faal Paru dan Foto Toraks pada Pekerha Tepajan
Debu Semen. Vol. 57. Nomor:9. Artikel Penelitian IDI. Jakarta.

Ikhsan M. Wahyuni T D. 2010. Perubahan Iklim dan Kesehatan Paru. Departemen


Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan. Jakarta.

Kelly, F.J. et al. 1998. PM10 and The Respiratory Tract: What Do We Know?
Cardiovascular Research, The Rayne Institute, St. Thomas' Hospital, London
SE1 7EH, United Kingdom.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1022/Menkes/SK/XI tentang Pedoman
Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
Khumaidah. 2009. “Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan
Fungsi Paru pada Pekerja Mebel PT. Kota Jati Furnindo Desa Suwawal
Kecamatan Milongggo Kabupaten Jepara”, Tesis Pascasarjana Magistert
Kesehatan Lingkungan Undip, Semarang.

Kusnoputranto, H. 1999. Toksikologi Lingkungan Zat Kimia dan Medan


Elektromagnetik. FKM UI Jurusan Kesehatan Lingkungan, Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/MenKes/SK/XI/2002 Tentang Nilai Ambang


Batas Kesehatan Lingkungan Kerja Industri.

Laktin, B., Dasar-dasar Klimatologi, PT. RajaGrafindo Perkasa, 2002.

Lauralee.S. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2, EGC, Jakarta.

Loekita E, Yunus F, Sudarsono S. 2003. Hubungan antara debu tepung dengan Faal
paru pada tenaga kerja Pabrik Tebung Terigu PT IB. Respir Indo
2003:.23;1120.
Lorriane. M.W, Sylvia A.P. 1999. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit. Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Mengkidi, D. 2006. “Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-faktor yang


Mempengaruhinya pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi
Selatan”, Tesis pada Pascasarjana Magistert Kesehatan Lingkungan Undip,
Semaranng.

Mukono, H. J. 2003. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University


Press, Surabaya.

Nasution, Rozaini. 2003. Teknik Sampling. Digitized by USU Digital Library. FKM
USU. Medan.

Notoatmodjo. 2002. Metodelogi Penelitian Kesehatan, PT.Rineka Citra. Jakarta.

Nugraheni, F.S. 2004. Analisis Faktor Risiko Kadar Debu Organik di Udara terhadap
Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Industri Penggilingan Padi di Kab. Demak.
Tesis. Megister Ilmu Kesehatan Lingkungan Pascasarjana UNDIP. Semarang.

Nukman. A. 2005. Analisis Manajemen dan Komunikasi Risiko Kesehatan


Pertambangan Kapur. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran


Udara.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan


Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Nilai Ambang Batas Faktor Fisik dan Kimia di Tempat Kerja.

Pujiastuti, W. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar Yang Membahayakan Kesehatan


Kerja. Pusat Kesehatan Kerja. [http://www.docstoc.com], diakses pada 15
Oktober 2012.

Prince, W. 1995. Patofisiologi. Edisi 4. EGC. Jakarta.


Pope, Arden C et al. 2003. Cardiovascular Mortality and Long Term Exposure to
Particulate Air Pollution (Epidemiological Evidence of General
Pathophysiological Pathways of Disease. Brigham Young University.

. 2006. Journal of the air & waste management association: Health Effect
of Fine Particulate Air Pollution: Lines that Connect. Department of
Economics, Brigham Young University, Provo, UT, USA.

Rahman, A., Suryaman, U.S. 2009. Health Risk Assessment and Management for
Particulare Dusts from Traditional Limestone Mining in Sukabumi, West Java,
Indonesia. In Environmental Health Specialist Association (EHSA): Bogor.

Rizal M. “Pajanan PM 10 terhadap gangguan iritasi dan infeksi saluran pernafasan


(studi di Daerah Pengembangan Kapur Desa Padabeunghar Kab. Sukabumi
Tahun 2011”, Skripsi pada FKM UI Jakarta: 2011. Tidak dipublikasikan.

Sanusi, C. 1986. Kelainan – kelainan Sistem Pernafasan, EGC, Jakarta.

Setyakusuma , Darma, et al. Pengaruh Debu Besi Terhadap Kesehatan Paru Pekerja
Pabrik Baja Pt. Krakatau Stell Cilegon, Jurnal Respirologi Indonesia, Januari
1997, Vol 17, No 1,Hal .16-230

Soedomo. M. Dr. Ir. M.Sc.DEA. 2001. Kumpulan Karya Ilmiah mengenai


Pencemaran Udara. Penerbit ITB. Bandung.

Soemarwoto, O. 2005. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, UGM Press,


Yogyakarta.

Subaid M S. 2002. Pengaruh Suhu Udara, Curah Hujan, Kelembaban Udara dan
Kecepatan Angin Terhadap Fluktuasi Konsentrasi Gas-gas NO2, O3 dan SO2
di Area PLTP Gunung Salak Sukabumi. Skripsi. FMIPA IPB. Bogor.

Sucipto, E. 2007. “Hubungan Pemaparan Partikel Debu Pada Pengolahan Batu Kapur
Terhadap Penurunan Kapasitas Fungsi Paru (Studi Kasus Di Desa Karangdawa
Kecamatan Margasari Kabupaten Tegal)”, Tesis pada Pascasarjana UNDIP
Semarang.

Suwondo A. Rahayu N S. Wahyuni I. 2013. Hubungan antara Kadar Debu Batubara


Total dan Terhirup serta Karateristik Individu dengan Gangguan Fungsi Paru
pada Pekerja di Lokasi Coal Yard PLTU X Jepara. Jurnal Kesmas Vol. 2 No.2
April 2013. FKM Undip. Semarang.

Soeripto M. 2008. Higein Industri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta.

Suma’mur P.K.. 1986. Higene Perusahaan dan Keselamatan Kerja cetakan kelima,
Gunung Agung, Jakarta.

Sunu. P. 2001 Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Grasindo,

Jakarta.

Suyono. 2002. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. EGC: Jakarta.

Triatmo W., Sakundarno M., Hanani Y. 2006. Paparan Debu Kayu dan Gangguan
Fungsi Paru pada Pekerja Mebel di PT. Alis Jaya Ciptatama. J.Kesling. Vol. 5
No. 2 Okt. Undip. Semarang.

Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkunan Hidup.

Departement Of Health and Human Services. 1995. Occupational Safety and Health
Guideline for Calcium Carbonate. Occupational Safety and Health
Administration. U.S.

Wardhana, A.W. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. ANDI,Yogyakarta.

Yunus. F. 1992. Uji Provokasi Bronkus. Kumpulan Rujukan Modul Respirasi 2007-
2008. FKIK UIN Syarif Hidayatullah. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Yulaekah, S. 2007., Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada
Pekerja Industri Batu Kapur. Tesis. Pascasarjana Undip. Semarang.
Yuliani, S. dkk. 2010. Hubungan Beberapa Faktor dengan Penurunan Kapasitas Fungsi Paru pada Peker
UJI NORMALITAS

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

jmlhbtngrokkperh
statusgizi masakerja ari suhu kelembaban pm10 usia

N 40 40 40 40 40 40 40
a
Normal Parameters Mean 19.9000 10.7000 13.0250 32.3250 80.3000 5.2412E2 36.7250

Std. Deviation 3.49212 9.03611 6.50242 2.40072 6.85453 5.02142E2 9.99484

Most Extreme Differences Absolute .139 .206 .338 .309 .311 .376 .108

Positive .139 .206 .338 .309 .164 .376 .108

Negative -.118 -.118 -.237 -.192 -.311 -.245 -.103

Kolmogorov-Smirnov Z .876 1.302 2.135 1.952 1.966 2.375 .685

Asymp. Sig. (2-tailed) .426 .067 .000 .001 .001 .000 .735

a. Test distribution is Normal.

UJI T- INDEPENDEN

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of


Variances t-test for Equality of Means

Mean Std. Error 95% Confidence Interval of the


F Sig. t df Sig. (2- Differenc Differenc Difference
tailed)
e e
Lower Upper

statusgizi Equal variances assumed .262 .612 .674 38 .504 .98701 1.46342 -1.97553 3.94955

Equal variances
.562 7.534 .590 .98701 1.75614 -3.10664 5.08066
not assumed

masakerja Equal variances assumed .040 .842 -.086 38 .932 -.32900 3.80893 -8.03979 7.38178

Equal variances
-.097 9.933 .925 -.32900 3.40657 -7.92629 7.26828
not assumed

jmlhbtngrokkperhari Equal variances assumed .088 .768 1.079 38 .287 2.91342 2.70014 -2.55273 8.37957

Equal variances
1.168 9.541 .271 2.91342 2.49364 -2.67923 8.50607
not assumed

suhu Equal variances assumed .698 .409 -.047 38 .963 -.04762 1.01203 -2.09637 2.00113

Equal variances
-.049 9.192 .962 -.04762 .96508 -2.22385 2.12861
not assumed

kelembaban Equal variances assumed .082 .776 -.186 38 .854 -.53680 2.88832 -6.38389 5.31030

Equal variances
-.179 8.440 .862 -.53680 2.99630 -7.38410 6.31051
not assumed

pm10 Equal variances assumed .755 .390 .278 38 .783 58.72294 211.47102 -369.37775 486.82363

Equal variances
.245 7.849 .813 58.72294 239.40937 -495.20821 612.65410
not assumed

usia Equal variances assumed .322 .573 2.225 38 .032 8.8181 3.9632 . 16.84128
8 1 79508
Equal variances
2.441 9.696 .035 16.90145
not assumed 8.8181 3.6123 .
8 8 73491
CROSSTAB ANTAR VARIABEL

usia2 * paparan1 Crosstabulation

paparan1

>= 10 Tahun < 10 Tahun Total

usia2 > 40 tahun Count 15 4 19

% within usia2 78.9% 21.1% 100.0%

% within paparan1 57.7% 28.6% 47.5%

% of Total 37.5% 10.0% 47.5%

< 40 tahun Count 11 10 21

% within usia2 52.4% 47.6% 100.0%

% within paparan1 42.3% 71.4% 52.5%

% of Total 27.5% 25.0% 52.5%

Total Count 26 14 40

% within usia2 65.0% 35.0% 100.0%

% within paparan1 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 65.0% 35.0% 100.0%

usia2 * rokok3 Crosstabulation

rokok3

<= 10
> 10 batang/hari batang/hari Total

usia2 > 40 tahun Count 16 3 19

% within usia2 84.2% 15.8% 100.0%

% within rokok3 50.0% 37.5% 47.5%

% of Total 40.0% 7.5% 47.5%

< 40 tahun Count 16 5 21

% within usia2 76.2% 23.8% 100.0%

% within rokok3 50.0% 62.5% 52.5%


% of Total 40.0% 12.5% 52.5%

Total Count 32 8 40

% within usia2 80.0% 20.0% 100.0%

% within rokok3 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 80.0% 20.0% 100.0%

kerja3 * FEV2 Crosstabulation

FEV2

Tidak Ada
Ada gangguan Ganggua Total
n

kerja3 > 10 tahun Count 2 11 13

% within kerja3 15.4% 84.6% 100.0%

% within FEV2 28.6% 33.3% 32.5%

% of Total 5.0% 27.5% 32.5%

< 10 tahun Count 5 22 27

% within kerja3 18.5% 81.5% 100.0%

% within FEV2 71.4% 66.7% 67.5%

% of Total 12.5% 55.0% 67.5%

Total Count 7 33 40

% within kerja3 17.5% 82.5% 100.0%

% within FEV2 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 17.5% 82.5% 100.0%


UJI STATISTIK
DESKRIPTIF
kalori1

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid < 2000 27 61.4 67.5 67.5

> 2000 13 29.5 32.5 100.0

Total 40 90.9 100.0

kalori1

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid < 2000 27 61.4 67.5 67.5

> 2000 13 29.5 32.5 100.0

Total 40 90.9 100.0

Jrkrumah2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid <= 1000 m 33 75.0 82.5 82.5

> 1000 m 7 15.9 17.5 100.0

Total 40 90.9 100.0

Total 40 100.0

PT. CCIC
JAKARTA
Member of China Certification and
Inspection Group

Job to. SG 0. 1 .1 3.(J6.2


() 1. 8
Date O7 June 2(J13
REPORT OF ANALYSIS
Applicant Uin Sx arif Hidayatullali Jakarta (Aruiisa Fathmaulida)
“O4JliiCI
Ms Annisa
Phone/ 08191041 f)387
Handplionc nisaiusavem!/ñ Email corn
Email
P i sa ng,an.
Address Kcrtamukti.
C“ipMtat Tangcrang
Description Selatan
of‘Goods V*cis M
ht/Condition i
Data Recei›’i»c n
Datc of Tcstin¿u e
r
a
l

t

ñ
G

G
r
a
i
n
i34 J time 2f) 13
85 June 2013

Sample Marking Parameter Rcsult Unit Test Method

SiOi ISO 11535 - 2t) 1 ()

J. This I cQort iriust not i cproduced exccpt ii4di written approval froiii tic aiith‹›rizcd
personncl.

2. This rcport is onlj \ ahd if it is signed bj authorized pcrsoiricl

3. Thc rcsults rctér to samples i ccoived and tested out;

Fo
r
an
d
on
be
ha
lf
of
P
T.
C
CI
C
Ja
ka
rta

Indonesia HQ:
Menara Citiccn, JI. Letjen S. Parman Kav 72 Lantai 10 Suite E-F, Slipi - Jakarta 1/3
Barat 11410, Indonesia Tel: (Hunting) +62 21 2930 8g11, 21.2930. 8922, Fax:
+62 21 2930 8933, Website : www.ccicsg.com

Tangerang Branch:
Pergudangan Bandara Benda Permai, Blok M/1, Benda-Tangerang 15125, JI. Raya Perancis
No. 68, Indonesia Telp: (Hunting) +62 21 5591 0851, Fax: +62 21 5591 0852

PT. CCIC
JAKARTA
Member of China Cert1’fication and
Inspection Group

Date 07 June 2(I13

REPORT OF ANALYSIS

Weight/Condition Date Receiving

Phona/
Handphonc
Eiiiatt
Addrees

Description or’
Goods
U karta (Annisa Fathmaulida) Ms. Aniiisa
i 0b ] 91()4 1 f)587
n nisanisavemfi
Email.com Pisangan.
S Kertamukti. Ciputat
i I’inigcrang Sclatan
1
a '
r v
i t
f i
n
H c
i i
d
a a
l

a 1
n .
i
l 1
l 9
a
h K
u
J "
a fi4 June 21)13
0s June 2() 13

Sample Marking Parameter Re•sult Unit Test Method

ISO 11535 - 2f) 1 ()

1 I“his rLpon must not reproduced except i ’ith \s’rittcn approval front the authoi’ized
persoruicl

. Tlus report is only valid it’ it is sis • d b; authorized persoiuicl

3. The results refer to samples rcceii’ed and tested onlj

4 Samples tested at PT CC.IC Jakarta Laboratom .

Fo
r
an
d
on
be
hal
f’
o(
P
M’
.
CC
Cl
Jak
ai
ta

Indonesia HQ:
Menara Citicon, JI. Letjen S. Parman Kav 72 Lantai 10 Suite E-F, Slipi - Jakarta Barat 11410,
Indonesia *'* Tel: (
www.ccicsg.com

Tangerang Branch:
Pergudangan Bandara Benda Permai, Blok M/1, Benda-Tangerang 15125, JI. Raya Perancis
No. 68, Indonesia Telp: (Hunting) +62 21 5591 0851, Fax: +62 21 5591 0852

PT. CCIC
JAKARTA
Member of China Certification and
Inspection Group

J‹ib No . SG t) I lo f)6 2.0 I


S
Date 07 June 2013

Applican liii S›arif tidak atullali Jakarta (Aiinisa


t Fatlmiaulida) Ms. Amusa
Contact 08191 ()41 US 87
Phone/ nisanisavein.n,gmail.
Handphoiie
coin Pisangan,
Email
Kertamukti. Ciputat
Addrees
Tangerang Selatan
S4 ineral
Sample Mai’king Parameter Result Unit Test Method

0 /›0

This report rluist not rcprt›driced except »ith uittco approval from the authorized personnel

2 This i’eJ3ort is onl; valid if it is signed b; autlsoi‘ized } crsonnel

? The results rcficr to siuiiplcs i ccerved and

tested out Samples tested at PT. C CIC

Jakarta Laboratoo .

For
and
on
beh
alf
of’
PT.
CC
IC
'Jak
arta

Indonesia HQ:
Menara Citiccn, JI. Letjen S. Parman Kav 72 Lantai 10 Suite E-F, Slipi - Jakarta Barat
11410, Indonesia /? Tel:
8933, Website : www.ccicsg.com
Tangerang Branch:
Pergudangan Bandara Benda Perma!, Blok M/1, Benda-Tangerang 15125, JI. Raya Perancis
No. 68, Indonesia Telp: (Hunting) +62 21 s5g‹ o 51, Fax: +62 21 5591 0852

Anda mungkin juga menyukai