Anda di halaman 1dari 6

Analisis Edukasi Dokter Mengenai Pola Hidup Penderita

Gout dalam Upaya Penurunan Risiko Kambuhnya Gout


Nahriyati Safira Salsabila
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
nahriyatiss@student.uns.ac.id

Abstract. In the last few years, many people have complained of suffering from gout
because the community does not know how to maintain uric acid levels in the body and the
lacking of patients’ adherence to the education provided by doctors. This study aims to find
out how doctors educate gout patients so that these patients carry out the instructions in
maintaining uric acid levels in the body so that the risk of gout recurrence can be overcome.
This is a descriptive qualitative research conducted by interviewing co-assistants and
doctors, and conducting observations when doctors provide education if there are gout
patients at the time of the study. Most gout patients already know the healthier lifestyle that
should be maintained after checking the pain to the doctor. However, these patients only
take the drugs given and do not maintain their life patterns so that the maximum benefits of
these drugs can not appear due to lack of concern to their lifestyle. Recommendation of the
lifestyle that the doctors suggest has not been widely applied to the patient's lifestyle.
Therefore, it is advisable for doctors to educate patients effectively and efficiently so that
patients actually carry out this instructions. In addition, patients should also carry out the
instructions about lifestyle that should be done so that their uric acid levels remain normal.

Keywords: education, gout, lifestyle, risk, uric acid

1. PENDAHULUAN
Pola hidup seseorang yang meliputi pola tidur, pola makan, dan aktivitas fisik sangat
berpengaruh pada kesehatan. Dalam kesehariannya, kesehatan penting untuk diperhatikan.
Kesehatan menurut UU Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Pasal 1 Tahun 2009
adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
seseorang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan manusia tidak
selamanya konstan. Salah satu yang mempengaruhi kesehatan adalah usai. Orang dewasa
memiliki risiko terkena penyakit degeneratif lebih besar dibandingkan dengan orang yang
lebih muda. Hal ini disebabkan karena jaringan tubuh sudah mulai rusak atau karena
penumpukan zat-zat yang merugikan dalam tubuh. Salah satu penyakit yang sering diderita
orang dewasa adalah gout[ CITATION Abi17 \l 1033 ].
Di Kabupaten Sumedang dari 10 besar penyakit jumlah kasus gout atau asam urat
mencapai 9%[ CITATION Abi17 \l 1033 ]. Gout adalah salah satu penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh peningkatan kadar asam urat diatas titik jenuh (Kuo, Grainge, Zhang &
Doherty, 2015). Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin. Asam urat merupakan
asam lemah dengan pKa 5,75 dalam darah dan 5,25 dalam urin. Pada pH fisiologis 7,4 di
kompartemen ekstraseluler terjadi reaksi asam urat. Dikarenakan konsentrasi natrium tinggi
di dalam kompartemen ekstraseluler, urat sebagian besar ada dalam bentuk monosodium
urat, dengan batas kelarutan rendah sekitar 6 mg / dL (360 umol / L). Ketika konsentrasi
urat melebihi batas ini risiko monosodium urat yang membentuk kristal
meningkat[ CITATION Des14 \l 1033 ]. Pengendapan kristal tersebut, bisanya terletak pada
sendi-sendi perifer dan jaringan yang ada di sekitarnya (Kuo, Grainge, Zhang & Doherty,
2015).
Asam urat merupakan suatu kadar dalam tubuh yang dapat diukur dengan suatu alat
bernama Easy Touch GCU. Kadar normal asam urat pada pria dewasa dan wanita
pascamenopause antara 3,5 sampai 7,2 mg / dL dan antara 2,6 sampai 6,0 mg / dL pada
wanita premenopause. Nilai ambang batas untuk kadar asam urat adalah <6,0 mg / dL (<360
umol / L). Maka dari itu, kadar tersebut harus dipertimbangkan untuk mengurangi risiko
terjadinya gout[ CITATION Des14 \l 1033 ].
Dalam kenyataannya, gout adalah penyakit yang banyak diderita oleh sebagian besar
masyarakat di dunia. Prevalensi dan kejadian gout sangat bervariasi, negara-negara maju
umumnya memiliki prevalensi lebih tinggi dari negara-negara berkembang. Hal tersebut
dikarenakan kombinasi faktor genetik dan lingkungan berkontribusi terhadap perkembangan
gout. Sebuah studi pada tahun 2007-2008, menetapkan bahwa 3,9% dari populasi orang
dewasa (usia ≥ 20 tahun) di Amerika Serikat mengalami gout sedangkan di Kanada, gout
mempengaruhi 3% dari populasi orang dewasa. Hal lain terjadi di Yunani dimana Negara
tersebut memiliki prevalensi yang dilaporkan tertinggi di Eropa, yaitu sebesar 4,75% dari
populasi orang dewasa (Kuo, Grainge, Zhang & Doherty, 2015). Selain dari data tersebut,
sebuah penelitian dari Italia menemukan hubungan dosis respons antara kadar serum asam
urat pada awal insiden gout. Mereka dengan tingkat serum urat kurang dari 6 mg / dL,
kemungkinan insiden gout adalah 1,75 sedangkan dengan kadar serum asam urat 6 sampai 7
mg / dL, naik ke 6,20 dan 15,31 pada mereka dengan kadar asam urat serum 7-9 mg / dL
dan 9 mg / dL atau lebih, masing-masing (Roddy & Choi, 2019).
Secara umum, kejadian gout pada pria 2-6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada
wanita. Sebagai bukti, sebuah studi melakukan akumulasi kejadian gout selama 14 tahun
dan melaporkan bahwa 2,8% terjadi pada pria dan 0,4% pada wanita (Kuo, Grainge, Zhang
& Doherty, 2015). Studi lain periode 2005-2008 juga melaporkan data prevalensi gout 8,2%
terjadi pada pria dan 2,3% pada wanita (Kuo et al., 2015). Meskipun begitu, sebuah studi
juga menemukan bahwa menopause meningkatkan risiko gout karena perbedaan kadar
hormon estrogen dalam tubuh (Kuo, Grainge, Zhang & Doherty, 2015). Gout merupakan
peradangan sendi yang paling umum di seluruh dunia dan merupakan satu-satunya jenis
arthritis kronis berpotensi untuk disembuhkan (Kuo et al., 2015). Namun, pengelolaannya
masih belum optimal dalam sebagian besar pasien. Studi terbaru melaporkan bahwa kurang
dari setengah jumlah pasien dengan gout menerima pengobatan yang efektif menurunkan
kadar asam urat. Sejak tahun 2006, hambatan untuk pengobatan dan penyembuhan asam
urat yang efektif yaitu kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan kepatuhan pasien
terhadap pengobatan telah yang ditekankan (Richette et al., 2016).
Kepatuhan terhadap terapi obat adalah penghalang untuk pengobatan. Tingkat
kepatuhan dengan terapi obat pada pasien gout antara 37-64%. Hal ini terutama bermasalah
karena orang-orang dengan beberapa kondisi komorbiditas serta kurangnya kesadaran untuk
mengunjungi seorang dokter perawatan primer secara rutin (Holland & McGill, 2015).
Sebuah penelitian menjelaskan bahwa diet paling cocok untuk pasien gout. Penelitian ini
telah menyelidiki pengurangan kadar asam urat dengan diet telah didominasi dengan
melihat perubahan pola makan besar dengan pengurangan asupan purin selama periode
waktu yang singkat. Namun diakhir penelitian, diyatakan bahwa pendidikan diet pada
pasien gout yang dilakukan tidak menyebabkan perbaikan yang signifikan kadar asam urat
meskipun peningkatan pengetahuan (Holland & McGill, 2015).
Pengelolaan gout berfokus pada penyediaan nyeri selama tahap akut dan kemudian
mempertahankan kadar asam urat pada tingkat yang akan mencegah dari pembentukan
kristal monosodium urat (Jeyaruban, Larkins & Soden, 2014). Metode yang paling efektif
untuk mencapai tingkat kadar asam urat yang normal ini adalah penggunaan terapi penurun
urat (ULT). ULT adalah komponen kunci dari terapi gout kuratif dan perlu sepenuhnya
dijelaskan kepada setiap pasien. Terapi jangka panjang ini dilakukan untuk menyembuhkan
gout dengan menurunkan kadar asam urat ke bawah titik jenuh setidaknya di bawah 6 mg /
dl. Sebelum dimulainya ULT, setiap pasien harus diberi penjelasan lisan yang jelas tentang
penyebab gout, didukung oleh informasi tertulis (misalnya buklet), bersama dengan
penjelasan individual faktor risiko yang relevan yang bisa meningkatkan kadar asam urat
dalam tubuh (Rees, Hui & Doherty, 2014).
Memahami prinsip-prinsip pengelolaan penanganan penyakit gout merupakan hal
penting bagi pasien gout karena rencana yang diperlukan adalah kompleks, jangka panjang
dan sulit untuk dipertahankan. Rencana tersebut meliputi diet, olahraga, serta kepatuhan
minum obat (Fields et al., 2019). Hampir semua pasien menerima saran gaya hidup atau
rekomendasi diet. Rekomendasi yang paling sering adalah pengurangan asupan protein
hewani, diikuti oleh konsumsi minimal 1,5 liter air per hari dan keterbatasan alkohol.
Sebagian besar pasien telah diobati dengan allopurinol. Namun, pengobatan ini terganggu
karena kurangnya pengurangan tingkat kadar asam urat dibawah 6 mg / dl [CITATION
RIC15 \l 1033 ].
Penelitian lain mengatakan bahwa saran gaya hidup sangat jarang diberikan kepada
pasien. Dua studi yang menjelajahi aspek ini menunjukkan kurang dari 50% dari pasien
mendapat intervensi nonfarmakologi. Kurangnya kepatuhan terhadap prinsip manajemen ini
bisa jadi karena kurangnya pencatatan saran gaya hidup ini dalam database elektronik
(Jeyaruban, Larkins & Soden, 2014). Stigma yang terkait dengan munculnya gout juga
mempengaruhi banyak orang untuk biasa melakukan gaya hidup yang tidak sehat (konsumsi
tinggi daging dan alkohol). Namun, terdapat hal lain yang menganggap tindakan pribadi
seperti pilihan gaya hidup bukan menjadi penyebab utama asam urat karena mereka
melihatnya sebagai suatu penyakit yang dihasilkan dari alam yaitu akumulasi metabolit
dalam tubuh. Seringkali, gejala gout dikaitkan bagian dari normal proses penuaan sehingga
menyebabkan pemberhentian diagnosis (Chandratre, Mallen, Roddy, Liddle & Richardson,
2015).
Penelitian ini menjelaskan mengenai edukasi pada pasien gout karena hingga saat ini
hampir sebagian orang dewasa memiliki risiko gout yang sangat berhubungan dengan pola
hidup masyarakat. Maka dari itu, gout merupakan salah satu penyakit yang bagus untuk
dibahas karena hingga saat ini pengelolaan gout masih membutuhkan peranan penting
penyedia layanan kesehatan untuk memberikan pendidikan terkait penyakit gout yang
berkaitan dengan pola hidup untuk mengoptimalkan pengelolaan gout.

2. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi objek yang alami, peneliti sebagai
instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, data yang dihasil
kan bersifat deskriptif, analisis data di lakukan secara induktif, dan penelitian ini lebih
menekankan makna daripada generalisasi (Sedarmayanti dan Hidayat, 2011: 33). Penelitian
ini dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap penyedia layanan kesehatan yaitu
dokter maupun dokter muda. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung kepada subjek penelitian
yang sebelumnya sudah disiapkan. Selain itu, penelitian ini juga melakukan pengamatan
ketika dokter memberikan edukasi kepada pasien. Namun, karena kendala waktu dan tidak
adanya pasien pada saat penelitian pengambilan data dengan cara tersebut tidak dilakukan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam penelitian kali ini, terdapat empat narasumber. Dua diantaranya adalah dokter
dan dua lainnya merupakan dokter muda. Dari hasil yang didapatkan melalui wawancara
dengan intrumen delapan pertanyan. Pembahasan yang pertama mengenai edukasi yang
baik, secara umum disampaikan bahwa edukasi yang baik ialah menggunakan bahasa secara
personal (face to face) yang mudah dipahami dengan tujuan agar konseling terhadap pasien
dapat lebih mendalam sehingga pasein dan kelurganya mampu memahami seluruh penyakit
yang sedang diderita. Selain itu, dalam edukasi yang baik, seorang dokter juga perlu untuk
mengetahui bagaimana pola hidup dari pasien sehingga dapat memberikan saran yang
sesuai atau yang diperlukan oleh pasien. Pembahasan selanjutnya terkait dengan kadar
normal asam urat dalam tubuh yang mempunyai banyak referensi. Seperti menurut CDC,
yaitu anak-anak usia 1-10 tahun memiliki kadar normal antara 1,9-5,4 mg/dL, untuk wanita
dewasa 5,9-7,5 mg/dL, dan untuk pria dewasa 3,6-8,4 mg/dL. Namun demikian, referensi
yang digunakan oleh setiap dokter berbeda-beda tergantung dengan situasi dan kondisi.
Instrumen ketiga mengenai penyebab meningkatnya kadar asam urat dalam tubuh.
Secara umum disampaikan bahwa penyebab meningkatnya kadar asam urat adalah dari
pengaruh faktor genetik dan pola hidup yang meliputi konsumsi makanan, pola diet, dan
lain sebagainya. Pola hidup yang baik dapat menurunkan risiko kambuhnya gout. Dari pola
makan, penderita gout harus mengurangi konsumsi makanan yang dapat menyebabkan
kadar asam urat dalam tubuh meningkat seperti daging, jeroan, makanan laut, dan kacang-
kacangan. Dengan demikian, makanan yang disarankan ialah yang mengandung rendah
purin seperti telur, susu rendah lemak, buah-buahan, gelatin, dan pasta. Tidak kalah penting,
mengonsumsi air putih sebanyak 1,5 liter perhari. Dari pola tidur, secara umum tidak ada
aturan khusus untuk pasien penderita gout. Namun, disarankan untuk tidur dengan durasi 6
sampai 8 jam perhari agar tubuh memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat. Pada
hakekatnya, pola tidur dari seseorang tidak bergantung pada kuantitasnya melainkan lebih
pada kualitasnya. Sedangkan, dari aktivitas fisik yang perlu diperhatikan penderita gout
adalah melakukan olahraga dan aktivitas ringan secara rutin selama 30 menit perhari dalam
seminggu. Contohnya, lari-lari kecil, renang, dan jalan sehat.
Selanjutnya, mengenai edukasi agar pasien patuh untuk menerapkan saran yang
diberikan oleh dokter yaitu dengan membangun komunikasi dan sikap yang dapat menarik
kepercayaan pasien gout. Sebab, bagi seorang dokter kepercayaan pasien merupakan hal
penting dan utama dalam menjalankan pekerjaannya. Selain itu, seorang dokter juga perlu
menanyakan pilihan terkait dengan perawatan pasien penderita gout. Hal terakhir yang
dibahas ialah mengenai waktu kontrol penderita gout. Dengan maksud, seberapa lama
rentang waktu antara periksa pertama sampai waktu untuk kontrol selanjutnya saat kadar
asam urat mulai menurun dari penderita gout. Dari hal ini, tentunya waktu yang diperlukan
oleh penderita gout berbeda-beda sesuai dengan proses penyembuhannya.

4. SIMPULAN
Setelah dilakukan pendekatan analisis isi dapat disimpulkan bahwa edukasi pada
pasien gout sangatlah penting karena gout sangat berhubungan dengan pola hidup penderita,
terutama pola makan. Banyak faktor yang menyebabkan kadar asam urat dalam tubuh
meningkat, salah satunya adalah banyak mengonsumsi makanan kaya purin (daging,
kacang-kacangan, jeroan, melinjo, dan lain-lain). Kemampuan edukasi seorang dokter juga
memengaruhi kepatuhan pasein dalam menjalankan setiap saran dari dokter tersebut.
Edukasi yang biasa diberikan oleh dokter pada pasien gout adalah dengan mengurangi
makanan kaya purin dan rajin olahraga untuk melatih sendi agar bisa menopang tubuh
sehingga tidak merasakan nyeri yang berarti.

5. SARAN
Masyarakat saat ini memiliki berbagai pilihan untuk mengikuti pola hidup yang
sehat atapun tidak. Para penderita gout tidak semuanya memiliki pengetahuan menganai
gout. Kurangnya pengetahuan ini menyebabkan angka penderita gout tinggi. Maka dari itu,
penyedia layanan kesehatan penting untuk memberikan edukasi secara efektif dan efisien
mengenai gout. Akan tetapi, hal tersebut harus diimbangi dengan penderita yang mau untuk
menjalankan pola hidup sehat yang disampaikan seperti mengonsumsi makanan rendah
purin dan rajin berolahraga untuk melatih sendi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
meningkatnya kadar asam urat dalam tubuh. Apabila hal tersebut dapat dicegah maka, risiko
terjadinya gout dapat dikurangi.

6. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sedarmayanti dan Hidayat, Syarifudin. (2011). Metodologi Penelitian. Bandung: Mandar
Maju.

Jurnal
Abiyoga, A. (2017). Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gout pada Lansia
di Wilayah Kerja Puskesmas Situraja Tahun 2014. Jurnal Darul Azhar, 47-56.
Chandratre, P., Mallen, C., Roddy, E., Liddle, J., & Richardson, J. (2015). “You want to get
on with the rest of your life”: a qualitative study of health-related quality of life in
gout. Clinical Rheumatology, 35(5), 1197-1205. doi: 10.1007/s10067-015-3039-2
Desideri, G., Castaldo, G., Lombardi, A., Mussap, M., Testa, A., Pontremoli, A., et al.
(2014). Is it time to revise the normal range of serum uric acid levels? European
Review for Medical and Pharmacological Sciences, 1295-1306.
Fields, T., Rifaat, A., Yee, A., Ashany, D., Kim, K., & Tobin, M. et al. (2019). Pilot study
of a multidisciplinary gout patient education and monitoring program.
Holland, R., & McGill, N. (2015). Comprehensive dietary education in treated gout patients
does not further improve serum urate. Internal Medicine Journal, 45(2), 189-194. doi:
10.1111/imj.12661
Jeyaruban, A., Larkins, S., & Soden, M. (2014). Management of gout in general practice—a
systematic review. Clinical Rheumatology, 34(1), 9-16. doi: 10.1007/s10067-014-2783-
z
Kuo, C., Grainge, M., See, L., Yu, K., Luo, S., Zhang, W., & Doherty, M. (2015).
Epidemiology and management of gout in Taiwan: a nationwide population
study. Arthritis Research & Therapy, 17(1), 13. doi: 10.1186/s13075-015-0522-8
Kuo, C., Grainge, M., Zhang, W., & Doherty, M. (2015). Global epidemiology of gout:
prevalence, incidence and risk factors. Nature Reviews Rheumatology, 11(11), 649-662.
doi: 10.1038/nrrheum.2015.91
Rees, F., Hui, M., & Doherty, M. (2014). Optimizing current treatment of gout. Nature
Reviews Rheumatology, 10(5), 271-283. doi: 10.1038/nrrheum.2014.32
Richette, P., Doherty, M., Pascual, E., Barskova, V., Becce, F., & Castañeda-Sanabria, J. et
al. (2016). 2016 updated EULAR evidence-based recommendations for the management of
gout. Annals Of The Rheumatic Diseases, 76(1), 29-42. doi: 10.1136/annrheumdis-2016-
209707
Richette, P., Flipo, R., & Patrikos, D. (2015). Characteristics and management of gout
patients in Europe: data from a large cohort of patients. European Review for Medical
and Pharmacological Sciences, 630-639.

Roddy, E., & Choi, H. (2019). Epidemiology of Gout.

Anda mungkin juga menyukai