Anda di halaman 1dari 30

Policy Paper

PERAN PRANATA SOSIAL DESA


DALAM MEWUJUDKAN GOOD
VILLAGE GOVERNANCE
Studi Kasus Peran Kiai di Kabupaten
Serang dan Kabupaten Pandeglang,
Banten

Rusman Nurjaman
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Lembaga Administrasi Negara
2017

PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH


Policy Paper

PERAN PRANATA SOSIAL DESA


DALAM MEWUJUDKAN GOOD
VILLAGE GOVERNANCE
Studi Kasus Peran Kiai di Kabupaten
Serang dan Kabupaten Pandeglang,
Banten

Rusman Nurjaman

Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah


Lembaga Administrasi Negara

A. Pendahuluan berkembangnya kewargaan aktif, yang dapat


dibagi ke dalam 4 (empat bagian). Pertama,
Salah satu pokok penting dalam UU No. 6 dalam Pasal 26 ayat 1 yang secara substansi
Tahun 2014 tentang Desa, dibanding UU terkait dengan mekanisme akuntabilitas lokal
sebelumnya yang pernah ada, adalah terkait desa. Pasal ini mengatur bahwa kepala desa
dengan dibukanya peluang dan saluran bertugas menyelenggarakan Pemerintahan
partisipasi masyarakat desa secara lebih Desa, melaksanakan Pembangunan Desa,
luas. Penilaian tersebut bukan tanpa alasan pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
mengingat adanya sejumlah ketentuan yang pemberdayaan masyarakat Desa, dimana
memberi ruang dan iklim yang kondusif bagi untuk pelaksanaan tugasnya tersebut di
persemaian dan bertumbuhnya kewargaan dalam ayat 4 butir p, kepala desa memiliki
yang aktif (active citizen) pada aturan desa kewajiban untuk memberikan informasi
yang baru tersebut. Studi yang dilakukan kepada masyarakat Desa selain bahwa
Pattiro (2016: 36-38) mengidentifikasi warga desa memiliki hak untuk memperoleh
adanya sejumlah Pasal yang terkait dengan pelayanan, menyampaikan aspirasi, memilih
penguatan partisipasi dan kontrol melalui dan dipilih, dan mendapatkan pengayoman

POLICY PAPER • PKDOD LAN


dan perlindungan dari gangguan lebih dari itu, kepala desa dapat dikenai
ketenteraman dan ketertiban. sanksi pemberhentian sementara hingga
pemberhentian tetap.
Kedua, Pasal 27 terkait dengan penye­
barluasan informasi. Pada prinsip­nya pasal Ketiga, Pasal 68 ayat 1 butir (a) mengatur
tersebut menegaskan kembali pokok bahwa akses atas informasi terkait
ketentuan di atas dengan menyebutkan penyelenggaraan pemerintahan desa
bahwa dalam melaksanakan tugas, kewe­ sebagai hak masyarakat desa. Dalam hal
nangan, hak, dan kewajiban seba­gaimana ini masyarakat desa berhak meminta
dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib informasi dari Pemerintah Desa dan
memberi dan atau menyebarkan informasi mengawasi implementasi kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan secara desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
tertulis kepada masyarakat Desa setiap desa, pelaksanaan pembangunan desa,
akhir tahun anggaran. Kebijakan tersebut pembinaan kemasyarakatan desa, dan
sangat membantu masyarakat untuk dapat pemberdayaan masyarakat desa.
berpartisipasi mengingat pengetahuan
merupakan prasyarat yang perlu dimiliki agar Keempat, terkait dengan pengawasan
seseorang dapat (mampu) berpartisipasi. dan pemantauan pembangunan Desa.
Dengan kata lain, melalui kebijakan Bukan hanya hak atas informasi, akan
tersebut secara legal formal masyarakat tetapi masyarakat juga berhak mengawasi
diberi ruang untuk dapat mengakses jalannya pemerintahan desa dan seluruh
informasi yang dibutuhkan dengan mudah, kegiatan pembangunan desa. Pengaturan
karena UU menempatkannya sebagai terkait hak masyarakat ini dipertegas
kewajiban kepala desa. Pengaturan hak dan kembali dalam Pasal 203 yang mengatur hal
kewajiban masyarakat desa pada gilirannya serupa dalam perencanaan dan pelaksanaan
memperkuat peran masyarakat desa sebagai pembangunan, dan pengelolaan anggaran
subjek pembangunan di wilayahnya sendiri, desa (APBDes). Sebagaimana kemudian
sehingga pengaturan ini diharapkan dapat diatur dalam butir (c), pasal dan ayat yang
membuka ruang bagi masyarakat untuk sama, masyarakat berhak menyampaikan
menjadi active citizen, terutama dalam aspirasi, baik secara lisan atau tulisan,
konteks pembangunan di wilayahnya. terkait penyelenggaraan pemerintahan
desa, pelaksanaan pembangunan desa,
Komitmen UU untuk memperkuat pembinaan kemasyarakatan desa, dan
akuntabilitas lokal desa tampaknya tidak pemberdayaan masyarakat desa. Tentang
main-main. Sebab, sebagaimana diatur peran masyarakat dalam pemantauan
dalam Pasal 28, setiap bentuk pelanggaran dan pengawasan pembangunan desa juga
atas pelaksanaan kewajiban tersebut dalam diatur dalam Pasal 54. Sementara Pasal 82
Pasal 26 ayat 4, memiliki konsekuensi mengatur pelibatan unsur masyarakat dalam
hukum karena kepala desa dapat dikenai musyawarah desa, sebagai forum tertinggi
sanksi. Bahkan, sanksi yang dimaksud tidak di desa guna memutuskan hal-hal yang
hanya berupa sanksi administratif, berupa bersifat strategis dalam penyelenggaraan
teguran lisan dan/atau tertulis, melainkan pemerintahan desa.

2 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


Namun demikian, besarnya ruang dan studi ini memilih pranata pesantren dengan
peluang partisipasi warga desa dalam figur kiai sebagai titik sentralnya. Hal ini
pembangunan desa tidak serta merta karena keberadaan kiai dan pesantren
berimplikasi pada tumbuhnya pembangunan memiliki peran yang dominan dalam
desa dengan baik. Hal ini karena konteks tatanan sosial budaya masyarakat
berkembangnya kewargaan aktif tersebut di kedua daerah tersebut.
sangat bergantung pada pranata sosial yang
tumbuh dan berkembang pada lingkugan B. Rumusan Masalah
budaya di desa setempat. Terkait dengan
peran pranata sosial dalam dinamika tata Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
kelola pemerintahan desa ini, pengalaman dapat dirumuskan permasalahan sebagai
desa-desa di Kabupaten Pandeglang berikut:
dan Kabupaten Serang, Provinsi Banten,
1. Bagaimana relasi antar pranata sosial
menjadi menarik untuk dikaji. Peran pranata
desa (kiai/ulama, pesantren, dan jawara)
sosial tersebut dapat dilihat terutama dalam
yang ada di Kabupaten Pandeglang dan
hubungannya dengan pemerintah lokal, baik
Kabupaten Serang?
provinsi, kabupaten/kota, dan terutama
2. Bagaimana relasi kiai/ulama dengan
pemerintah desa, dan hubungannya dengan
pemerintah desa pemerintah supra desa
pranata sosial desa lain yang ada di Banten,
di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
serta terutama dalam merespon isu-isu
Serang?
yang berkembang di masyarakat. Di sisi
3. Bagaimana peran kiai/ulama dalam
lain, sejauh ini belum ada suatu kebijakan
mendorong terwujudnya tata kelola
yang secara spesifik memberikan arah
pemerintahan desa yang baik di
dan pedoman bagi peranan pranata sosial
Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
dalam mendorong terwujudnya tata kelola
Serang?
pemerintahan desa yang baik.
4. Bagaimana strategi untuk meningkatkan
Analisis dalam tulisan ini berusaha efektivitas peran kiai/ulama dalam
menelisik sejauh mana peran pranata mendorong terwujudnya tata kelola
sosial yang ada dengan fokus pada peran pemerintahan desa yang baik di wilayah
Kiai (dan pesantren), sebagai wadah bagi Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
terbentuknya “kewargaan yang aktif” Serang?
(active citizenship) dalam menjawab
berbagai tantangan yang dihadapi desa C. Metode Pengumpulan Data
serta fungsi dan peran sosial apa yang
kemudian dimainkan oleh pranata tersebut Kajian yang disajikan dalam tulisan ini
di tengah dinamika kemasyaratan dan menggunakan metode kualitatif dengan
penyelenggaraan pemerintahan desa, varian studi kasus terkait peran pranata
dengan lokus di Kabupaten Serang dan sosial desa dalam mendorong terwjudnya
Pandeglang, Provinsi Banten. Dari beberapa tata kelola pemerintahan desa yang baik.
pranata sosial desa yang ada di Kabupaten Kajian ini mengambil lokus di Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Serang, fokus Pandeglang dan Kabupaten Serang di

POLICY PAPER • PKDOD LAN 3


Provinsi Banten. Pengumpulan data primer pengakuan umum dalam kalangan sarjana
dilakukan melalui wawancara mendalam sosiologi untuk menerjemahkan istilah
dan observasi. Wawancara dilakukan bahasa Inggris ‘social institution’. Ada yang
dengan perangkat desa, akademisi, ulama, menerjemahkannya dengan istilah ‘pranata’,
dan perangkat pemerintah daerah. Selain ada pula yang menyebutnya ‘bangunan
itu, untuk pengumpulan data sekunder, sosial’ (Soemardjan & Soemardi, 1964).
dilakukan studi kepustakaan atas berbagai
literatur yang relevan Dalam penggunaan sehari-hari, istilah pra­
nata memiliki pengertian yang ber­macam-
C. Kerangka Teori macam, namun umumnya merujuk pada
organisasi-organisasi yang berisi manusia-
Sebagai bagian dari pencarian kerangka manusia, seperti rumah sakit, penjara,
konseptual/teori, bagian berikut ini akan sekolah, dan sebagainya (Roy Wallis dalam
memaparkan beberapa konsep kunci. Adam dan Jessica Kuper, 2000). Menurut
Setidaknya terdapat dua konsep kunci Wallis, pengertian serupa ini diambil dari
yang, menurut hemat penulis, relevan rumusan Erving Goffman dalam karyanya
untuk dijadikan landasan teori yang menjadi tentang total institution (1961). Goffman
kerangka penjelas dalam tulisan ini, yaitu menjelaskan institusi sebagai suatu
pranata sosial, Good Village Governance, lingkungan di mana terdapat orang-orang
demokrasi komunitarian desa, dan kiai serta dengan situasi yang kurang lebih sama
pesantren. yang sengaja dikumpulkan dipisahkan dari
masyarakat luas atas dasar status mereka
1. Pranata/Kelembagaan Sosial Desa atau untuk tujuan tertentu. Selain yang
sudah disebutkan, Goffman menambahkan
Secara terminologi, masih terdapat silang beberapa contoh institusi yang mencakup
pendapat di antara para ahli tentang sekolah, pusat latihan tentara, dan kapal
pengertian lembaga atau pranata, sebagai selam. Dalam lingkungan tersebut setiap
definisi dari konsep yang dalam bahasa orang menghadapi masalah atau tantangann
Inggris disebut institutions (institusi). yang sama, dan masing-masing bergerak
Dalam banyak teori, istilah “pranata” searah untuk mencapai tujuan yang sama
(social institutions) selalu dipertukarkan pula.
dengan “organisasi” (social organization).
Maka tidak heran jika kedua kata ini Namun dalam sosiologi makna pranata
sering menimbulkan perdebatan di an­ kedualah yang sering dipakai. Pengertian
tara para ahli. Norman Uphof (1986) umum kedua dari pranata mengacu
menjelaskan bahwa, “What contstitutes pada entitas-entitas berskala besar yang
an ‘institution’ is a subject of continuing dimaksudkan untuk melayani kepentingan
debate among social scientist….. The term atau masalah-masalah sosial tertentu.
institution and organization are commonly Sebagai contoh, keluarga, hukum, negara,
used interchangeably and this contributes agama, dan sebagainya. Dalam tradisi
to ambiguity and confusion”. Walhasil, sosiologi fungsionalis, pranata sosial
belum terdapat istilah yang mendapat dipandang sebagai komponen-komponen

4 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


struktural dari suatu masyarakat yang pembahasan tentang social institution
melandasi pengorganisasian kegiatan- cenderung berbaur dengan pembahasan
kegiatan sosial dan pemenuhan kebutuhan- tentang social organization. Dalam buku Le
kebutuhan sosial. Wallis menenggarai Suicide yang ditulis oleh Emile Durkheim
bahwa pengertian pranata di sini bersifat pada tahun 1897, masalah nilai dan norma
teoritis. Kegunaan analitisnya baru muncul merupakan aspek yang dikaji dalam or­
jika kita memakai pendekatan fungsionalis ganisasi sosial. Demikian juga Cooley dalam
dalam upaya memahami masyarakat. buku Social Organization yang terbit tahun
1909. Dia memasukkan objek mental dalam
Lebih jauh, Wallis mengemukakan bahwa pembahasannya tentang grup primer. Baru
istilah pranata lebih tepat jika diartikan pada tahun 1950-an, terjadi perubahan
sebagai pola perilaku yang berulang-ulang yang mendasar, ketika istilah institution
dan selalu berperan dalam formasi identitas, semakin terfokus kepada aspek-aspek nilai,
atau dalam investasi energi atau pengejaran norma dan perilaku, sedangkan organization
kepentingan sosial. Jadi, kegiatan-kegiatan terfokus kepada struktur.
sosial atau pola-pola perilaku senantiasa
terinstitusionalisasi, atau sedikit banyak Dalam kajian ini, pranata sosial dipandang
selalu menggunakan formalisasi, warna nilai sebagai suatu sistem tata kelakuan dalam
atau emosi, cenderung menolak perubahan, hubungan yang berpusat kepada aktivitas-
serta berorientasi mempertahankan diri. aktivitas untuk memenuhi berbagai ke­
butuhan khusus dalam masyarakat. Da­
Pola perilaku yang sepenuhnya baru bisa saja lam konteks alam perdesaan di Banten,
muncul lewat berbagai wahana, mulai dari beberapa di antara bentuk pranata sosial
munculnya tokoh kharismatik yang tindak- yang paling dikenal adalah pesantren
tanduknya menjadi panutan, inovasi politik dengan kiai sebagai titik sentralnya, dan
dan sosial, atau pemberontakan budaya. jawara. Masing-masing mereka memainkan
Jika masyarakat mau menerimanya, maka peran dalam percaturan sosial, ekonomi,
pola-pola baru itu pun melebur ke pola- politik dan pemerintahan, baik di ranah
pola lama. Prosesnya sendiri disebut sebagai lokal maupun desa.
“institusionalisasi”, yang pengertiannya
me­­rujuk pada terciptanya suatu kebiasaan 2. Good Village Governance
seperti membaca koran atau minum
teh setiap makan siang. Maka institusi Apa yang dimaksud dengan good village
dipadankan dengan muncul dan mapannya governance? Apakah terdapat keterkaitan
sesuatu yang baru. Istilah ini kemudian antara good village governance dengan
dipakai dalam, misalnya, bagaimana gaya good governance? Bagaimana genealogi
hidup elite dijadikan acuan, menyebar, (silsilah) penerapan konsep ini dalam
dan menjadi unsur penting dalam struktur penyelenggaraan pemerintahan desa?
budaya dan sosial (Roy Wallis dalam Adam Apakah UU Desa mengadopsi prinsip-
dan Jessica Kuper, 2000: 503-504). prinsip good village governance? Konsep
good village governance atau tata kelola
Dalam literatur-literatur sosiologi klasik, pemerintahan desa yang baik dalam

POLICY PAPER • PKDOD LAN 5


konteks kajian ini merupakan hasil adopsi antar satu sama lain.
dari penerapan prinsip-prinsip konsep
good governance dalam penyelenggaraan Good governance memiliki sejumlah unsur
pemerintahan desa. Kemunculan good atau prinsip (Bappenas, 2007), yaitu:
governance tidak lepas dari kritik terhadap 1) wawasan ke depan (visionary), 2)
Program Penyesuaian Struktural (structural keterbukaan dan transparansi (openness
adjustment program), seperti deregulasi dan and transparency), 3) partisipasi masya­
debirokratisasi, pada dekade 1980-an. Pada rakat (participation); 4) tanggung gugat
saat itu ada semacam tuntutan kuat untuk (accountability); 5) supremasi hukum
mengurangi ketimpangan ekonomi dan (rule of law); 6) demokrasi (democracy);
kemiskinan masyarakat dan mewujudkan 7) profesionalisme dan kompetensi
pemerintahan yang bersih dari korupsi di (profesionalism and competency); 8) daya
satu sisi, serta tuntutan pelibatan pihak tanggap (responsiveness); 9) efisiensi dan
swasta dalam pembangunan. Di Indonesia, efektivitas (efficiency and effectiveness);
good governance mulai diintrodusir pada 10) desentralisasi (decentralization); 11)
dekade awal 1990-an oleh lembaga donor kemitraan dengan dunia usaha, swasta,
internasional (World Bank dan IMF) dan masyarakat; 12) komitmen pada
melalui program-program penanggulangan pengurangan kesenjangan (commitment
kemiskinan (seperti Program Inpres Desa to reduce inequality); 13) komitmen
Tertinggal (IDT), Pembangunan Pendukung pada perlindungan lingkungan hidup
Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Pro­ (commitment to environmental protection);
gram Pengembangan Kecamatan (PPK), 14) komitmen terhadap pasar yang adil
dan Program Nasional Pemberdayaan (commitment to fair market).
Masyarakat (PNPM)), desentralisasi dan
Dalam konteks desa, sebagaimana ditun­
reformasi birokrasi.
jukkan oleh Ivanovich Agusta (tt.) dalam
Penerapan good governance juga sekaligus analisisnya tentang UU No. 6 Tahun 2014,
menandai pergeseran makna dalam kemunculan good village governance
penyelenggaraan pemerintahan dari “pe­ merupakan penyesuaian terhadap hampir
me­rintah” (government) menjadi “tata seluruh prinsip-prinsip good governance
(kelola) pemerintahan” (governance). tersebut. UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa Desa antara lain mengatur tentang
posisi pemerintah (lembaga pemerintah, penataan desa dan penyelenggaraan
aparatur pemerintah) sebagai pihak yang pemerintahan desa. Bab III terkait Penataan
bertanggung jawab dalam mengurus negara Desa, Pasal 7 menyebutkan bahwa “Peme­
dan menjalankan kehendak rakyat mulai rintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
bergeser. Sebagai gantinya, paradigma good Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
governance menempatkan keterlibatan tiga dapat melakukan penataan Desa” (Ayat 1)
pilar (aktor), yaitu: pemerintah, swasta dan “Penataan bertujuan meningkatkan
dan masyarakat. Hubungan ketiga aktor kualitas tata kelola Pemerintahan Desa”
tersebut dalam posisi seimbang dan saling (Ayat 3 huruf d). Sedangkan Bab V terkait
mengontrol dan tidak boleh ada dominasi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

6 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


Pasal 26, Ayat (4) huruf f menyebutkan: berikut ini ketika berbicara tentang desa.
” Dalam melaksanakan tugas, Kepala “Di desa sistem demokratis masih kuat
Desa berkewajiban melaksanakan prinsip dan hidup sehat sebagai bagian adat-
tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, istiadat yang hakiki, dasarnya adalah
transparan, profesional, efektif dan efisien, pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap
bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan orang merasa bahwa ia harus bertindak
nepotisme” berdasarkan keputusan bersama, sewaktu
menyelenggarakan kegiatan ekonomi”
Lebih lanjut, UU Nomor 6 Tahun 2014 (Hatta, 1956; dalam Sutoro Eko, 2005:64-
Tentang Desa juga mengatur bahwa dalam 65 dan 2015:178). Lebih lanjut, menurut
penyelenggaraan pemerintahan desa, Sutoro, Hatta juga menegaskan bahwa
pemerintah desa terikat dengan beberapa struktur demokrasi yang hidup dalam diri
asas, yaitu (1) kepastian hukum, (2) tertib bangsa Indonesia harus berdasarkan pada
penyelenggara pemerintahan, (3) tertib tradisi demokrasi asli yang berlaku di desa.
kepentingan umum (4) keterbukaan, (5) Lalu apakah sesungguhnya demokrasi desa
proporsionalitas, (6) profesionalitas, (7) itu?
akuntabilitas, (8) efektivitas, (9) kearifan
lokal, (10) keberagaman, (11) partisipatif. Dari ungkapan Hatta tampak bahwa
Kesebelas asas inilah yang melandasi demokrasi desa tentunya berbeda dengan
penyelenggaraan pemerintahan desa demokrasi modern yang diterapkan di
yang dalam UU tersebut pelaksanaannya era sekarang. Tradisi demokrasi yang
ditujukan untuk membentuk sebuah selama ini hidup di desa adalah demokrasi
pemerintahan desa yang mandiri dan sosial komunitarian. Menurut Sutoro Eko,
demokratis. demokrasi komunitarian desa tersebut pada
prinsipnya bertumpu pada tiga substansi:
Penyelenggaraan pemerintahan desa 1) demokrasi politik dalam bentuk
meliputi beberapa aspek, seperti: peren­ pengambilan keputusan bersama melalui
canaan pembangunan desa, penataan aset musyawarah; 2) demokrasi sosial dalam
desa, pemilihan kepala desa, musyawarah wujud solidaritas bersama melalui gotong
desa, pengelolaan keuangan desa, dan royong, dan; 3) demokrasi ekonomi dalam
penyusunan peraturan desa, serta aspek wujud kepemilikan tanah secara komunal.
lainnya. Namun demikian, kajian ini hanya
akan memfokuskan diri pada peran pranata Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo
sosial desa, yaitu kiai, dalam kaitannya (1983), demokrasi komunitarian desa
dengan salah satu dimensi atau prinsip good tersebut, dibingkai dengan tiga tata yang
village governance, yaitu partisipasi. berbasis pada “kontrak sosial” masyarakat
setempat. Pertama, tata krama (fatsoen)
3. Demokrasi Komunitarian dan, kedua, tata susila (etika), sebagai
bentuk budaya demokrasi yang mengajarkan
Sutoro Eko, seorang pakar tentang desa, toleransi, penghormatan terhadap sesama,
selalu mengutip ungkapan seorang pendiri kesantunan, kebersamaan, dan lain-lain.
Republik Indonesia, Mohammad Hatta, Ketiga, tata cara atau aturan main sebagai

POLICY PAPER • PKDOD LAN 7


mekanisme untuk mengelola pemerintahan, fungsi ekonomi kepala desa dan keterlibatan
hukum waris, perkawinan, pertanian, masyarakat dalam proses politik dan
pengairan, pembagian tanah, dan lain-lain. pembangunan desa.
Adapun dalam konteks pemerintahan,
sejak zaman dulu desa sesungguhnya sudah Menyusutnya praktik demokrasi desa
menerapkan pembagian kekuasaan yang terutama terjadi pada masa Orde Baru.
sejalan dengan konsep Montesqiue tentang Kuatnya nuansa korporatis dalam UU No.
Trias Politica: eksekutif yang diperankan oleh 5/1979 tentang Pemerintahan Desa telah
pemerintah desa, legislatif dalam bentuk secara masif menghilangkan demokrasi
rembug desa, dan yudikatif dalam bentuk desa. Meskipun ada Pilkades namun
dewan morokaki. demokrasi desa pada masa ini bersifat
artifisial belaka karena setiap proses elektoral
Namun demikian, sebagaimana dikemu­ selalu mendapat intervensi dari pemerintah
kakan oleh Yumiko M. Prijono dan Prijono supradesa. Dalam Pilkades, pihak kabupaten
Tjiptoherijanto (1983, dalam Sutoro Eko, hanya akan meloloskan kandidat yang telah
2005: 64; dan Eko, 2015: 181), demokrasi terbukti loyal kepada pembangunan dan
desa pernah mengalami kemunduran. partai penguasa maupun mereka yang
Menurut mereka, gotong-royong dan benar-benar dinyatakan “patuh” kepada
musyawarah, dua kata kunci dalam pemerintah. Kuatnya intervensi pemerintah
demokrasi tradisional desa yang dulu supradesa juga mendominasi lembaga
pernah hidup, kini makin surut. Kemunduran musyawarah desa (LMD). Walhasil, dalam
demokrasi desa, menurut mereka, dise­ praktiknya, lembaga ini hanya menjustifikasi
babkan oleh perubahan sosial-ekonomi dan kebijakan dari atas yang dikendalikan kades,
kepemimpinan kepala desa. Setidaknya serta bekerja tanpa berbasis pada aspirasi
terdapat empat bukti kemunduran demo­ lokal dan tantangan nyata yang ada di desa
krasi desa di era modern yang mereka (Sutoro Eko: 2005, 66-67).
catat. Pertama, lurah (kepala desa) tidak
lagi menggunakan cara demokrasi, tidak Setelah mengalami kemunduran, kini
lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya. Kades orang cenderung romantis ketika berbicara
lebih cenderung menjadi administrator tentang demokrasi desa. Demokrasi desa
ketimbang menjadi pemimpin. Kedua, tidak merupakan benteng terakhir demokrasi
ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah ketika demokrasi nasional telah mati.
secara komunal di desa karena keterbatasan Orang Minangkabau, misalnya, selalu
lahan akibat pertumbuhan penduduk yang membanggakan bahwa sejak lama
begitu pesat. Ketiga, berubahnya struktur nagari selalu merawat tradisi demokrasi
kekuasaan desa yang dipicu oleh masuknya komunitarian melalui musyawarah dalam
partai-partai politik ke ranah desa. Keempat, pengambilan keputusan kolektif. Begitu
timbulnya polarisasi masyarakat desa yang pula dengan keyakinan sebagian besar
disebabkan oleh dinamika sosial, politik, orang bahwa mereka masih meyakini
dan ekonomi pasca kemerdekaan, konflik adanya sisa-sisa demokrasi yang masih
land reform, dan meluasnya pembangunan terpelihara di desa-desa di Jawa. Beberapa
pedesaan, yang menyebabkan berubahnya indikatornya antara lain: pemilihan langsung

8 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


kepala desa, tradisi forum-forum RT sampai yang ahli dalam pengetahuan agama Islam.
rembug desa sebagai arena pembuatan Di Indonesia, terutama di Jawa Tengah dan
keputusan kolektif yang demokrasi, Jawa Timur, sebutan ulama dikaitkan dengan
terjaganya solidaritas komunal antar warga kiai. Dalam tradisi Jawa sendiri sebutan kiai
dalam bentuk gotong-royong, dan kini telah tidak hanya ditujukan bagi alim ulama atau
terbentuk badan permusyawaratan desa kaum cerdik pandai dalam agama Islam,
yang anggotanya dipilih secara demokratis. tetapi juga untuk menyebut nama benda
benda yang dianggap bertuah keramat
Namun demikian, dinamika kehidupan seperti keris gamelan dan sebagainya.
sosial masyarakat desa ternyata juga belum
atau bahkan tidak mampu mengembalikan Studi tentang kiai atau ulama pernah diteliti
nilai-nilai komunal yang pada masa-masa oleh beberapa peneliti, antara lain Hiroko
lalu masih menjadi acuan norma dan Horikoshi (1987) dan Zamakhsyari Dhofier
etika bermasyarakatnya. Pengaruh dari (1994). Dhofier menunjukkan bahwa
arus reformasi yang sangat kuat dalam pesantren bukanlah sekedar lembaga
perubahan arus politik, secara kuat pula telah tempat mempelajari masalah agama saja
menggeser perilaku sosial masayarakat desa yang terlepas dari masalah sosial dan
yang turut diintervensi oleh perilaku politik ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat
yang berkembang. Jargon demokrasi yang lingkungannya. Dhofier juga menunjukkan
dihembuskan sebagai suatu sistem yang adanya keterlibatan kaum tradisional dalam
lebih bermartabat dan cenderung memberi dunia politik. Bukti yang dia sodorkan
kebebasan kepada masyarakat untuk adalah perolehan Nahdhatul Ulama (NU)
dapat berpartipasi dalam pembangunan, dalam pemilihan umum tahun 1971 yang
justru telah merusak nilai-nilai demokratis mencapai 18, 67 %. Angka perolehan
masyarakat Desa selama ini. Parokhialisme ini menurutnya jauh di atas perolehan
dan fragmentasi sosial justru seringkali Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang
terjadi sebagai dampak dari adanya perilaku dianggap sebagai wakil Islam modern.
politik yang dikatakan lebih demokrastis ini. Walaupun demikian, Dhofier membenarkan
pendapat bahwa di dunia pesantren yang
4. Kiai (Ulama) dan Pesantren terjadi adalah proses satu arah. Seorang kiai
digambarkan sebagai guru yang tidak dapat
Siapa yang disebut ulama? Dalam bahasa dibantah oleh para santrinya dan akan ada
Arab kata “ulama” merupakan bentuk sanksi yang berat bagi para pelanggarnya.
jamak (plural) dari kata “alim” yang Tesis Dhofier ini dibangun berdasarkan hasil
berarti orang yang mengetahui. Secara penelitiannya di pesantren-pesantren di
umum, kata ulama dapat diartikan para Jawa Tengah dan Jawa Timur.
cendekiawan atau para ilmuwan. Akan
tetapi dalam bahasa Indonesia kata Ulama Sementara Horikoshi, berdasarkan pene­
menjadi bentuk tunggal yang berarti orang litiannya di pesantren Cipari Garut Jawa
yang ahli ilmu agama Islam. Sementara itu, Barat, berpendapat bahwa kiai mempunyai
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengaruh besar dalam masyarakat pedesaan
yang dimaksud dengan ulama adalah orang bukan karena perannya sebagai perantara

POLICY PAPER • PKDOD LAN 9


budaya seperti yang dikatakan Geertz. para ulama adalah pewaris para nabi.
Kedudukan kiai yang demikian tinggi justru
karena adanya kemampuan kiai dalam Gelar ulama dengan sebutan Kiai Haji
bidang lain, misalnya sebagai motivator (KH) merupakan identitas yang diberikan
dalam perubahan sosial dan politik. oleh masyarakat kepada seseorang yang
Horikoshi membedakan kiai dan ulama. Kiai dianggap berkualitas dan memenuhi
adalah seorang ahli agama dan mempunyai syarat atau kriteria tertentu untuk diberi
kemampuan yang cermat dalam membaca status ulama, meskipun sebenarnya tidak
pikiran para pengikutnya. Seorang kiai ada patokan baku atau formal. Ummat
dipandang sebagai lambang kewahyuan memberinya gelar ustadz atau kiai sebagai
yang mampu menjelaskan masalah teologi penghormatan kepada seseorang ulama
yang sulit kepada masyarakat kalangan yang mengandung makna keikhlasan dan
bawah sesuai dengan pandangan dan keutamaan. Yang memberikan status ulama
suara hati mereka. Sebaliknya Horikoshi adalah masyarakat.
menyebut ulama sebagai pejabat keagamaan
Secara umum masyarakat Islam memberikan
fungsionaris agama. Dia menjabat urusan
gelar ulama dengan sebutan Kiai Haji (KH)
keagamaan pada pranata keulamaan Islam
didasarkan pada tiga kriteria. Pertama, unsur
yang secara tradisional telah dilestarikan
kapabilitas: penguasaan ilmu agama Islam
oleh keluarga kalangan menengah pedesaan
yang cukup mendalam, tingkat kesalehan
yang kuat.
yang tinggi, mengasuh pondok pesantren
Horikoshi menganggap keberadaan ula­ majelis taklim atau lembaga pendidikan
ma berkaitan erat dengan keberadaan yang disebut madrasah, ber-akhlakul
pesantren. Artinya, tanpa adanya pesantren karimah, dan melaksanakan ibadah haji ke
ulama tidak mempunyai arti. Hal ini berbecla Mekkah; kedua, unsur akseptabilitas yang
dengan Dhofier yang berpendapat bahwa dilihat dari intensitasnya dalam memberikan
justru ulama yang merupakan elemen ceramah pengajian secara luas, dikenal
terpenting dalam suatu lembaga pesantren. masyarakat secara luas, dan diikuti banyak
Ulama menduduki peran sentral dalam orang santri; ketiga, unsur social, yang
keberadaan pesantren. dapat dilihat dari kepemimpinannya dalam
kegiatan kegiatan sosial keagamaan, dan
Untuk kepentingan tulisan ini pengertian dapat menjadi pengambil keputusan dalam
ulama atau kiai adalah para ahli agama masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
Islam, baik itu mempunyai pesantren dan masyarakat lingkungannya.
maupun tidak, yang menjadi tokoh
panutan lingkungan masyarakatnya. Di Namun juga, satu hal yang patut menjadi
sini, termasuk juga juru dakwah atau khatib catatan penting adalah bahwa kini otoritas
yang berceramah keliling ke berbagai kiai semakin berkurang seiring dengan arus
pelosok wilayah. Pengertian ulama yang modernisasi dan cara berpikir masyarakat
agak luas tersebut berdasarkan hadis Nabi
Muhammad SAW yang mengatakan al
ulama u waratsatul anbiya, yang artinya

10 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


yang kian rasional.1 Padahal dahulu, hampir dilihat berdasarkan pengklasifikasian bentuk
seluruh persoalan membutuhkan saran relasi berikut, yaitu (1) relasi pranata sosial
atau pandangan dari kiai, seperti memberi desa yang serumpun (kiai dengan kiai);
nama anak, mengobati anak sakit, dan (2) relasi pranata sosial desa yang tidak
sebagainya. Kiai dianggap bisa menghadapi serumpun (kiai dan jawara).
segala urusan. Kemunduran otoritas kiai ini
disebabkan arus baru yang menyebabkan Secara kultural, desa-desa di kedua
orang semakin rasional. Sekarang, ketika wilayah kabupaten tersebut memiliki
anak sakit tidak lagi meminta kiai untuk corak dan ekspresi kebudayaan yang khas
mengobati. Meskipun masih ada yang sebagaimana biasa ditemui di wilayah
berbuat demikian, namun sudah jarang. Banten. Secara historis, Banten dikenal
Termasuk dalam hal politik. Dahulu, jika sebagai salah satu daerah atau kawasan
ingin memilih parpol atau apapun, kiai dengan karakteristik budaya Islam yang
menjadi tempat bertanya bagi masyarakat sangat menonjol. Salah satu penanda hal
awam, sekarang tidak lagi demikian. Dahulu ini adalah banyaknya pondok pesantren
orang-orang masih menganggap bahwa sebagai pusat pendidikan Islam tradisional.
memilih pemimpin seolah persoalan sakral Keberadaan pondok pesantren di Banten
yang berkaitan dengan masalah ketuhanan. memiliki riwayat panjang karena sudah
Sekarang pemilihan itu menjadi bagian berkembang di sana sejak abad ke-15. Hal ini
dinamika sekuler yang lebih bertumpu pada menunjukkan bahwa keberadaan pesantren
pandangan manusia. Namun dalam hal di sana telah melampaui aneka tantangan
persoalan desa, kiai masih memiliki peran, zaman. Menurut data BPS (2016), saat
meskipun hal tesebut terbatas dalam konteks ini terdapat 3.267 pondok pesantren,
tertentu, seperti dalam pembangunan desa. baik pondok tradisional maupun modern,
Tulisan ini ingin mengeksplorasi peluang dengan 277.066 santri dan 6.892 kiai di
dan urgensi pemberdayaan dan peran yang wilayah Provinsi Banten. Sebagian besar di
dapat dijalankan kiai di ranah desa dalam antaranya terdapat di wilayah Kabupaten
konteks yang lebih spesifik, yaitu dalam Pandeglang, Lebak dan Serang.
pembangunan desa.
Pada gilirannya, lingkungan pesantren itu
sendiri kemudian berkembang sebagai sub-
E. Pembahasan
kultur. Secara sosiologis, sebuah sub kultur
setidaknya memiliki keunikan tersendiri
1. Relasi antar Pranata Sosial Desa
dalam sejumlah aspek, seperti cara hidup
di Kabupaten Pandeglang dan
Kabupaten Serang yang dianut, pandangan hidup, tatanan nilai,
dan hierarki kekuasaan di dalamnya (Wahid,
Relasi antar pranata sosial desa di Kabupaten 1974). Sebuah pondok pesantren dipimpin
Pandeglang dan Kabupaten Serang dapat oleh seorang kiai (ulama). Namun demikian,
seorang kiai memiliki otoritas dan kharisma
yang kuat dan cukup berpengaruh, tidak
hanya di lingkungan pesantren, melainkan
Wawancara dengan Dr. Rumadi Ahmad, Ketua
1
juga di tengah lingkungan sosial yang
Lakpesdam PBNU, 9 Oktober 2017 di Jakarta.

POLICY PAPER • PKDOD LAN 11


mengitarinya. kolonial, yang kemudian meletus menjadi
sebuah peristiwa pemberontakan petani
Dalam konteks desa, terdapat relasi yang Banten tahun 1888. Tesis ini sejalan dengan
cukup unik antara warga desa dengan konsepsi Zamakhsyari Dhofier (1994) yang
sang ulama. Ulama merupakan tokoh menyebutkan bahwa pesantren bukanlah
yang sangat berpengaruh di masyarakat sekedar lembaga tempat mempelajari
pedesaan. Umumnya masyarakat lebih masalah agama saja yang terlepas dari
mendengar ulama dibanding dengan pe­ masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi
me­rintah. Sebagai contoh, ketika peme­ oleh masyarakat di lingkungannya.
rintah mencanangkan program Keluarga
Berencana (KB). Pemerintah “tidak Selain itu, di Banten juga tumbuh gerakan
mampu” meyakinkan masyarakat untuk tarekat yang di masa lalu tumbuh menjadi
dapat mengikuti program KB karena sarana kelembagaan yang efektif dalam
masyarakat memandang KB adalah melawan pemerintah kolonial Belanda
haram karena telah menyalahi kodrat. (Kartodirdjo, 2015: 156). Menurut
Maka untuk mensukseskan program Kartodirdjo, gerakan tarekat merupakan
tersebut, pemerintah meminta bantuan ekspresi dari gerakan kebangkitan agama
ulama untuk meyakinkan bahwa KB (revivalis) yang paling dominan di Banten
dimungkinkan dengan alasan yang kuat, abad 19. Meskipun telah mengalami
misalnya alasan psikologis atau fisiologis. perkembangan sedemikian rupa, gerakan
Dampaknya, terjadi pergeseran nilai dimana tarekat masih berpengaruh kuat terhadap
sebagian masyarakat pada akhirnya mau corak dan karakteristik pranata sosial
mengikuti program tersebut. Dalam kasus keagamaan di Banten masa kini.
lain, misalnya tentang nikah dan talak.
Persyaratan sah tidaknya nikah atau talak Pesantren, ulama, dan tarekat, merupakan
tergantung kepada sampai sejauhmana manifestasi kelembagaan (pranata) sosial di
ketentuan syariat agama terpenuhi. Apabila desa-desa di Banten. Bagaimana kini peran
hal itu sudah terpenuhi, maka nikah atau sosial mereka di ranah lokal ketika adanya
talak tersebut sah adanya. Hal ini sangat tuntutan untuk membangun desa yang
dipengaruhi oleh pandangan para ulama, maju, kuat, mandiri, dan demokratis? Peran
sehingga masyarakatpun mengikutinya. apa yang mereka lakukan? Apakah berbagai
Di sisi lain, pemerintah mengharuskan pranata sosial tersebut turut berkontribusi
pengesahan tersebut harus melalui terhadap upaya penguatan tata kelola
pengadilan agama atau KUA setempat. pemerintahan desa yang akuntabel,
transparan, dan responsif? Dalam konteks
Dengan konstelasi demikian, ulama di ini, pendalaman terhadap peran pranata
Banten bisa berperan sebagai perantara sosial menjadi penting, terutama dalam
pembaharuan. Sartono Kartodirdjo (1984), mendorong terwujudnya tata kelola
ahli sejarah Indonesia, berhasil menunjukkan pemerintahan yang baik di desa.
bagaimana ulama dan petani memiliki
peran signifikan dalam membangkitkan a. Relasi Kiai dengan Kiai
gerakan sosial saat melawan pemerintah

12 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


Keberadaan Kiai dalam masyarakat dan berbudi pekerti luhur. Kedua,
Banten, termasuk di Kabupaten kiai lembur, yaitu kiai yang terkenal
Pandeglang dan Serang, memiliki kemasyhurannya dari kampung ke
hubungan yang sangat kental. Kiai yang kampung karena ceramah agamanya
merupakan gelar ulama dari kelompok Islam yang mampu menggugah masyarakat.
tradisional tidak hanya dipandang sebagai Ketiga, kiai catur, yaitu kiai yang masuk
tokoh agama, tetapi juga sebagai seorang dalam kehidupan politik praktis. Yang
pemimpin masyarakat yang kharismatik, terakhir ini, menurut sebagian pendapat,
kekuasaanya seringkali melebihi kekuasaan bukan tergolong kiai atau ulama, tetapi
pemimpin formal elit pemerintahan (Irfani, “mengulamakan diri”.
dalam Jurnal Hikamuna I Edisi 1 vo. 1
No. 1, 2016:78). Hubungan ini sudah Di Kabupaten Pandeglang, rata-rata kiai
terjalin sejak lama yakni sejak jaman memiliki karakteristik sebagai kiai dapur
kesultanan pada tahun 1520 M, masa yang hanya fokus memimpin pondok
kolonialisme tahun 1808 M (merujuk pesantren dan menggembleng para
pada masa dihapuskannya Kesultanan santri. Mereka menjaga jarak dengan
oleh Daendels), hingga masa sekarang. wilayah politik praktis. Itu sebabnya,
sebagian masyarakat menyebutnya
Seiring dengan perkembangannya, sebagai kiai santun. Selain kiai dapur,
peranan kiai dalam masyarakat Banten­ di Kabupaten Pandeglang juga banyak
pun mengalami pergeseran yang secara terdapat kiai lembur yang lebih banyak
langsung hal itu berpengaruh pula melakukan ceramah di masyarakat.
terhadap nilai-nilai yang ditimbulkannya.
Ketika pada mulanya kiai adalah gelar Adapun karakteristik kiai atau ulama di
yang sematkan masyarakat kepada Kabupaten Serang sebaliknya, karena yang
tokoh agama (ulama) sebagai ahli mendominasi adalah kiai catur dan kiai
kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin lembur. Hal ini karena kiai di Kabupaten
masyarakat yang berwibawa dan legitimate Serang lebih lekat dengan wilayah politik
berdasarkan kepercayaan masyarakat praktis di mana mereka turut memberikan
(Irfani, 2016:79), maka saat ini peran dukungan, bahkan terlibat dalam
kiai menjadi terkelompokan ke dalam 3 memobilisasi massa, untuk memenangkan
(tiga) klasifikasi yang oleh masyarakat elite politik tertentu dalam pemilihan kepala
Banten disematkan terhadap para kiai2, daerah (kabupaten/kota dan provinsi). Kiai
yaitu: Pertama, kiai dapur, yaitu kiai sering didudukkan sebagai pihak yang harus
yang memimpin pondok pesantren. dirangkul dalam upaya mengumpulkan
Tugasnya meracik para santri agar dukungan, termasuk dalam hal ini dukungan
menjadi manusia yang berakhlak mulia politik. Jika seorang kiai sudah memberi
‘fatwa’ untuk memilih calon tertentu, maka
dapat dipastikan seluruh komunitas tersebut
akan memilih calon yang disodorkan oleh
2
Wawancara dengan Bapak Mukhlison, dari
Bappeda Provinsi Banten, tanggal 5 September
2017 di Serang, Banten

POLICY PAPER • PKDOD LAN 13


sang kiai.3 Sebagai contoh, karakteristik Secara kelembagaan, peran kiai diwadahi
seperti ini ditunjukkan melalui kiprah melalui MUI, khususnya di level kecamatan.
pimpinan Pondok Pesantren Ciomas yang Kiai dapat memberikan fatwa melalui MUI.
secara terang-terangan berada di belakang Masyarakat desa menjalankan fatwa yang
elite politik tertentu yang bertarung dalam dikeluarkan oleh MUI, sehingga terjadi
arena elektoral Pilkada.4 hubungan timbal balik antara masyarakat
dengan ulama.
Bahkan, tidak hanya itu, beberapa sosok
kiai yang sekaligus merangkap sebagai Selanjutnya, pranata sosial yang juga
jawara juga kerap mengintervensi kebijakan penting di pedesaan Banten adalah pondok
dan program pemerintah daerah. Sebagai pesantren. Secara definisi, pesantren adalah
contoh, dalam proses peralihan status desa sebuah lembaga pendidikan tradisional
menjadi kelurahan di Cilegon, seorang yang para siswanya tinggal bersama dan
tokoh ulama lokal mengintervensi hasil belajar di bawah bimbingan guru yang lebih
perhitungan indikator dan variabel yang dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai
menentukan sejauh mana suatu kelurahan asrama untuk tempat menginap santri.
atau desa layak beralih status atau Di Banten sendiri terdapat sekitar 6.000
dimekarkan. Ilustrasi ini menggambarkan pesantren yang tergabung dalam Forum
bahwa seorang kiai atau ulama di Banten Silaturahmi Pondok Pesantren Banten
dapat mempengaruhi kebijakan di (FSPP). Peran FSPP menjadi control sosial
tingkat desa. Artinya, inilah potret yang dalam penyelenggaraan kepemerintahan di
menunjukkan keberadaan kiai catur di Provinsi Banten dan Kabupaten/Kota, serta
Banten. Kiai dapat memainkan peran menjadi mitra strategis.
tersebut karena kedudukannya sebagai
tokoh kharismatik yang tindak tanduknya Tipologi pondok pesantren yang terdapat
menjadi panutan dan ucapannya selalu di Banten tidak jauh berbeda dengan
diikuti. Namun harus diakui, tidak semua pondok pesantren di Jawa pada umumnya,
kiai mau dimanfaatkan untuk kepentingan yaitu pesantren salafiyah (tradisional) dan
pemerintah atau kepentingan politik modern. Pesantren salafiyah menerapkan
tertentu. Ada pula kiai yang didatangi metode pembelajaran tradisional yang
oleh pejabat atau pimpinan parpol untuk sudah dikenal demikian lama, seperti
meminta dukungan moral ataupun hanya sorogan dan bandongan dengan sumber-
sekedar meminta berkah. Sosok yang sumber pembelajaran yang bertumpu
terakhir ini mewakili profil kiai dapur. pada khasanah klasik (kitab kuning).
Kehidupan santri dan tata cara belajarnya
pun dilakukan secara tradisional pula.
Belajar kitab kuning misalnya, telah menjadi
ciri khas yang bertahan selama bertahun-
3
Wawancara dengan Prof. Sibli, pengurus Maje- tahun. Yang menarik dari kehidupan
lis Ulama Indonesia Provinsi Banten, Banten,
tanggal 6 September 2017 di Serang pranata sosial ini, terutama pada pesantren
4 Wawancara dengan Leo Agustino, Ph. D, ak- ini, adalah keyakinan bahwa mereka dapat
ademisi FISIP Untirta, tanggal 20 September hidup sendiri tanpa mendapat bantuan
2017 di Serang.

14 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


dari pemerintah. Apalagi dengan model perkembangan yang berbeda lagi, karena
pemberian bantuan yang cenderung sebagian justru mulai mengadopsi model
menyebabkan kemudharatan, seperti terjadi pendidikan formal tanpa meninggalkan
‘mark up’, menyebabkan mereka tidak aspek tradisionalnya. Model lembaga
bersedia menerima bantuan yang diberikan. pesantren serupa itu tentunya adalah hasil
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dialog para tokoh kiai, sebagai pemangku
pesantren salafiyah dalam konteks ini lembaga pesantren, dengan modernitas.
tentunya tidak memiliki keterkaitan apapun Seiring perkembangan zaman, muncul
dengan gerakan salafi yang belakangan pandangan untuk mengakomodir tuntutan
menjamur di awal abad 21 ini.5 Sedangkan, mengadopsi nilai-nilai modern yang
pesantren modern mengadopsi model terlembagakan dalam model pendidikan
pembelajaran pendidikan formal (sekolah). formal. Namun di sisi lain, dimensi tradisional
yang sudah mengakar sejak lama juga tidak
Namun pengkategorian pesantren dalam ditinggalkan. Alasannya, karena mereka
dua varian tersebut kini menjadi problematik menganggap orisinalitas lembaga pesantren
karena pada kenyataannya perkembangan justru terletak pada dimensi tradisionalnya.
pesantren kini menunjukkan adanya lebih Inilah yang menjadi ciri pokok pesantren
banyak varian. Dahulu memang tidak ada sebagai subkultur sebagaimana disebutkan
lembaga pesantren yang mengadopsi Abdurrahman Wahid.6
model pendidikan formal karena yang yang
terakhir ini adalah lembaga pendidikan
b. Relasi Kiai dengan Jawara
warisan kolonial. Sementara di belahan di
Nusantara agak berbeda. Di Minangkabau, Relasi kiai dan jawara tidak terlepas dari
misalnya, para tokoh kiai memiliki peran sosial yang dimiliki oleh masing-
pandangan lain, sehingga di sana tidak masing aktor tersebut (Asep Hilman,
ada lembaga lembaga pendidikan Islam dkk., 2015). Sejarah menunjukkan bahwa
tradisional. Sebaliknya, di Banten agak peran sosial kiai dan jawara mengalami
berbeda, sebagian besar pesantren bersikap perubahan seiring dengan perubahan rezim
emoh terhadap modernisasi. Hanya saja pemerintahan. Hal ini mengindikasikan
kondisi terkini menunjukkan dinamika bahwa kebijakan politik memberikan
pengaruh signifikan terhadap peran sosial
kiai dan jawara, dan ini mengindikasikan
juga adanya kepentingan politik negara
5
Dalam konteks kajian ini, pesantren bercorak untuk “mengarahkan” peran sosial politik
salafi yang dimaksud tidak memiliki keterkai- kiai dan jawara. Bukti yang paling gamblang
tan dengan gerakan salafiyah. Gerakan salafi
sebagaimana yang berkembang pada satu dua terkait hal ini adalah ketika Pemerintah Orde
dekade belakangan ini lebih menekankan pada Baru mengeluarkan kebijakan politik untuk
semangat pemurnian Islam (puritanisme). Se-
dangkan pesantren salafi, merupakan institusi
pendidikan Islam tradisional yang berkembang
di Indonesia khususnya Jawa, dengan metode
pembelajaran yang juga tradisional (bandongan
dan sorogan) dengan sumber yang bertumpu 6
Wawancara dengan Dr. Rumadi Ahmad, Ketua
pada khasanah klasik (kitab kuning). Lakpesdam PBNU, 9 Oktober 2017.

POLICY PAPER • PKDOD LAN 15


Tabel 1.
Evolusi Peran Sosial Politik Kiai dan Jawara di Banten

Periodisasi Peran Sosial Politik


No
Pemerintahan Ulama/Kiai Jawara
1 Kesultanan Banten • Pejabat pemerintahan • Pengawal ulama/kiai
• Penasehat agama
• Pelaksana syiar/dakwah
2 Kolonialisme • Aktor utama perlawanan • Pengawal perlawanan
Belanda • Suksesor kepemimpinan • Pejabat pemerintahan
elite desa desa (jaro)
• Pelaksana syiar/dakwah • Bandit sosial
3 Awal Kemerdekaan • Pejabat pemerintahan • Guru ngaji
• Pejabat militer • Guru silat
• Perekat (unsur pemersatu) • Ahli pengobatan
NKRI tradisional
• Pimpinan pejuang pembela • Laskar pejuang pembela
kemerdekaan kemerdekaan
• Pelaksana syiar/dakwah
• Guru supra natural
4 Orde Baru • Vote getter politik • Guru ngaji
pemerintah • Guru silat
• Pelaksana syiar/dakwah • Ahli pengobatan
tradisional Vote getter
politik pemerintah
5 Pasca Orde Baru • Vote getter politik • Guru silat
(Era Otonomi pemerintah • Ahli pengobatan
Daerah) • Pelaksana syiar/dakwah tradisional
• Vote getter partai politik
• Political broker
• Economic broker
• Pejabat politik
Sumber: Asep Muslim, dkk., 2015

membentuk satkar kiai/ulama dan jawara murid yang sekaligus menjadi pengawal
sebagai salah satu pilar politik penyokong ulama. Tihami (dalam Irfani, 2016:79)
Golkar sebagaimana terlihat dari Tabel 1. menyatakan bahwa “kiai memiliki dua varian
murid, diantara muridnya tersebut ada yang
Tabel 1 memperlihatkan bahwa peran sosial memiliki kecenderungan bakat pada ilmu
kiai dan jawara mengalami pergeseran pengetahuan agama. Tapi, adapula di antara
secara gradual (evolusi). Pertama, di era muridnya yang memiliki kecenderungan
kesultanan Banten, ulama/kiai memiliki kearah perjuangan. Pada akhirnya murid
peran dan posisi cukup strategis di mana yang cenderung pada ilmu agama disebut
mereka menempati posisi selain sebagai santri, sedangkan yang cenderung pada
penasehat sultan dalam bidang keagamaan kekuatan fisik dan bernuansa magis adalah
juga sebagai pejabat pemerintahan.
Sedangkan, jawara pada masa itu adalah

16 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


jawara.” Posisi jawara yang mulanya adalah guru ngaji perlahan mulai luntur. Namun,
murid atau pengawal ulama ini kemudian perannya sebagai guru beladiri dan ahli
berkembang menjadi landasan pembentuk pengobatan tradisional tetap melekat.
relasi patron-klien di antara keduanya Belakangan, jawara juga berperan sebagai
yang masih berlangsung hingga kini, meski vote getter—baik untuk kepentingan politik
seiring waktu masing-masing peran mereka pemerintah (era Orde Baru) maupun untuk
mengalami pergeseran. kepentingan partai politik (era pasca Orde
Baru)— makelar politik dan ekonomi, dan
Kedua, di masa kolonial, sebagaimana pejabat politik (Hilman, dkk., 2015).
ditunjukkan Kartodirdjo (1984), kiai
menjadi aktor perlawanan terhadap Dengan demikian, jelaslah bahwa dinamika
pemerintah kolonial. Selain itu, kiai juga hubungan ulama dan jawara menjadi faktor
menjadi suksesor kepemimpinan elite desa. penting dalam perkembangan pranata
Sedangkan, jawara pada masa ini berperan sosial di Banten yang dipengaruhi oleh
sebagai pengawal perlawanan, pejabat kebijakan politik sebagai faktor determinan
pemerintahan desa (jaro), dan bandit sosial. terhadap relasi tersebut, sehingga dalam hal
ini tidak hanya faktor sosial-kultural yang
Ketiga, memasuki fase awal kemerdekaan, memberikan pengaruhnya. Secara politik,
kiai memainkan peran dan posisi yang peran jawara kini memang lebih dominan.
berbeda lagi. Kali ini tak sedikit di antara Namun hal tersebut tidak mengubah peran
mereka yang masuk ke ranah birokrasi sosial ulama yang lebih kuat. Hal ini terjadi
dan militer mengingat masa itu adalah era karena masih terjalinnya relasi patron-klien
revolusi fisik dalam rangka mempertahankan di antara keduanya (Hilman, dkk., 2015).
kemerdekaan yang telah diraih. Kiai juga
menjadi unsur perekat persatuan bangsa, 2. Relasi Kiai dengan Pemerintah
memimpin perjuangan melawan tentara
Belanda sekaligus menjadi guru spiritual. Relasi pranata sosial dengan pemerintah lokal
Sementara, jawara memainkan peran yang di Banten dapat disimak pada hubungan kiai
tak kalah kompleks, sebagai guru ngaji, dengan pemerintah lokal baik pemerintah
guru silat, ahli pengobatan tradisional, dan provinsi, pemerintah kabupaten dan kota
menjadi bagian dari laskar pejuang pembela maupun pemerintah desa. Orientasi para
kemerdekaan. kiai (tradisional) selama ini lebih ke arah
lembaga pendidikan, bercocok tanam untuk
Keempat, di era Orde Baru hingga era memenuhi kebutuhan sendiri, dan sebagai
pasca Orde Baru, peran kiai mengalami pekerja. Dalam praktiknya, antara kiai dan
penyempitan. Seperti yang disinggung pemerintah memerlukan dialog dua arah
di muka, kiai kini kadang dimanfaatkan terkait apa yang diperlukan oleh pemerintah
oleh elite-elite politik pemerintah dan dan apa yang diperlukan oleh entitas ulama/
partai politik sebagai vote getter. Namun kiai. Pesantren sebagai ‘rumah’ para kiai dan
ada satu peran yang selalu melekat sejak
era kesultanan hingga kini pada kiai, yaitu
sebagai pelaksana dakwah atau syiar Islam.
Adapun pada jawara, perannya sebagai

POLICY PAPER • PKDOD LAN 17


santri-santrinya perlu diperhatikan.7 Oleh warisan kolonial sehingga negara dianggap
karena itu, ada kebutuhan untuk menjaga tidak bersih. Sebagian kiai menganggap
populasi pesantren di Banten melalui bahwa dengan dibantu negara, akan meng­
regulasi daerah yang dapat membentengi halangi keberkahan. Namun demikian, kini
dan memayungi keberadaan pesantren pandangan serupa itu telah mengalami
sebagai lembaga pendidikan keagamaan banyak pergeseran. Sebagian besar kiai atau
dan budaya. pondok pesantren kini sudah membuka diri
untuk bekerja sama dengan pemerintah
Kajian ini menemukan setidaknya terdapat sebagai penyelenggara negara.
tiga bentuk relasi antara kiai maupun
komunitas pondok pesantren yang me­ Ketiga, relasi yang bersifat harmonis dan/
naunginya dengan pemerintah desa dan atau sinergis. Bentuk relasi ini menunjukkan
pemerintah supradesa. Pertama, relasi yang bagaimana kiai berperan dalam mendorong
bersifat konfliktual. Bentuk relasi serupa ini keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan
muncul karena posisi kiai sebagai panutan pembangunan atau melakukan kontrol dan
masyarakat terkadang muncul sebagai pengawasan terhadap penyelenggaraan
pesaing pemerintah desa. Sebagai pihak pemerintahan. Sebaliknya, baik pemerintah
yang memiliki otoritas, dalam konteks desa dan supradesa dapat memiliki
masyarakat Banten yang terkenal lebih ketergantungan terhadap kiai, mengingat
islami, fatwa kiai lebih didengar, tidak posisinya sebagai panutan masyarakat,
hanya oleh para santri melainkan juga oleh untuk mensosialisasikan dan mendukung
masyarakat luas, ketimbang arahan atau keberhasilan kebijakan dan program peme­
kebijakan pemerintah desa. Kedua, relasi rintah, baik terkait pembangunan atau
yang bersifat apatis di mana antara kiai dan penguatan tata kelola pemerintahan.
pemerintah masing-masing seolah hidup di Sing­katnya, kiai menjadi satu simpul
dunia yang berbeda. Relasi demikian biasanya pra­nata penting dalam menciptakan
terkait dengan karakteristik kiai atau ulama transformasi untuk mewujudkan tata
salafiyah yang seringkali menjaga jarak dari kelola pemerintahan desa yang baik. Dalam
wilayah politik praktis dan pemerintahan konteks kajian ini, bentuk relasi terakhir
dengan memilih untuk fokus dalam kegiatan inilah yang akan dielaborasi lebih jauh pada
keagamaan dan mengasuh santri di pondok bagian selanjutnya.
pesantren. Selain itu, masih ada pula yang
bersikap “anti negara”. Mereka tidak mau 3. Peran Kiai dan Pesantren dalam
mendapat bantuan dari pemerintah. Hal Tata Kelola Pemerintahan dan
ini tidak lepas dari cara pandang terhadap Pembangunan Desa
negara yang masih diwarnai dengan cara
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian
pandang yang melihat negara sebagai
awal tulisan ini bahwasanya UU Desa
membuka peluang yang lebih besar bagi
partisipasi masyarakat desa dalam setiap
aspek penyelenggaraan pemerintahan desa.
7
Wawancara dengan Ikhsan Ahmad, Dosen FI-
SIP Untirta Serang, tanggal 7 September 2017 UU ini mengatur bahwa kepala desa dalam
di Serang.

18 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


menjalankan tugasnya memiliki kewajiban urusan-urusan kepublikan yang terkait
untuk memberikan informasi kepada dengan tata kelola pemerintahan desa?
masyarakat Desa selain bahwa warga desa Bagaimana peran kiai dalam mendorong
memiliki hak untuk memperoleh pelayanan, terwujudnya tata kelola pemerintahan desa
menyampaikan aspirasi, memilih dan yang baik?
dipilih, dan mendapatkan pengayoman dan
perlindungan dari gangguan ketenteraman Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas
dan ketertiban. Selain itu, kepala desa juga tidak bersifat tunggal bila merujuk pada
wajib memberi dan atau menyebarkan aneka karakteristik kiai di Banten. Memang
informasi penyelenggaraan pemerintahan tidak dipungkiri bahwa masih terdapat
secara tertulis kepada masyarakat Desa pesantren dan kiai yang lebih menyibukkan
setiap akhir tahun anggaran. Kebijakan diri dengan kegiatan keagamaan dan
tersebut jelas sangat membantu masyarakat meng­gembleng para santrinya di pondok.
untuk dapat berpartisipasi mengingat Sementara terhadap isu atau problem
pe­ngetahuan merupakan prasyarakat sosial politik yang dihadapi masyarakatnya,
yang perlu dimiliki agar seseorang dapat mereka cenderung mengambil jarak.
(mampu) berpartisipasi. Dengan kata lain, Namun, di Kabupaten Pandeglang, se­
melalui kebijakan tersebut secara legal ba­gaimana akan kita lihat, kajian ini
formal masyarakat diberi ruang untuk dapat menemukan karakteristik kiai dapur yang
mengakses informasi yang dibutuhkan jauh berbeda mengingat perannya sosialnya
dengan mudah, karena UU menempatkannya mendorong tata kelola pemerintahan desa
sebagai kewajiban kepala desa. Pengaturan yang baik.
hak dan kewajiban masyarakat desa pada
Sebagai daerah yang dikenal dengan
gilirannya memperkuat peran masyarakat
karakteristik di mana nilai-nilai keagamaan
desa dalam mengawasi penyelenggaraan
tertanam begitu kuat, baik di Pandeglang
pemerintahan di wilayahnya sendiri melalui
dan Serang seorang kiai selaku pemimpin
mekanisme akuntabilitas lokal desa.
kegiatan keagamaan ataupun pesantren
Sehingga, pengaturan ini diharapkan dapat
memainkan peran yang tidak kecil, termasuk
membuka ruang bagi masyarakat untuk
dalam di level desa yang berkaitan dengan
menjadi active citizen, terutama dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa. Peran
konteks penyelenggaraan pemerintahan
tersebut diawali dalam bidang keagamaan,
desa di desanya.
kemudian juga merambah ke bidang lain
Dalam konteks membangun dan menum­ dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu
buhkan tradisi berdesa yang ditandai dengan bidang pendidikan, sosial, dan politik,
“kewargaan yang aktif” tersebut, di manakah hingga penyelenggaraan pemerintahan
peran kiai sebagai representasi salah satu (Ikhsan, 2016: 111).
pranata sosial desa? Benarkah kiprah kiai
Sebagai daerah yang dikenal dengan
lebih cenderung berorientasi “ukhrawi”
karakteristik di mana nilai-nilai keagamaan
(rohani, spiritual, dan mengutamakan
tertanam begitu kuat, baik di Pandeglang
ibadah untuk meraih kebahagiaan hidup di
dan Serang seorang kiai selaku pemimpin
akhirat) ketimbang melibatkan diri dalam

POLICY PAPER • PKDOD LAN 19


kegiatan keagamaan ataupun pesantren tradisional tanpa membebani kemampuan
memainkan peran yang tidak kecil, termasuk finansial santri alias tidak dipungut bayaran.
dalam pembangunan desa. Peran tersebut Kemampuan pesantren yang mandiri dalam
tidak hanya dalam bidang keagamaan, membiayai dirinya tersebut telah menarik
melainkan juga merambah ke bidang lain minat banyak santri, terutama dari kalangan
dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu miskin desa dan perkotaan, untuk belajar.
bidang pendidikan, sosial, dan politik Tujuan yang ingin dicapai di sini adalah
(Ikhsan, 2016: 111). Pertama, dalam terselenggaranya pendidikan keagamaan
bidang budaya dan keagamaan, kiai sebagai secara utuh untuk masyarakat tanpa ada
pemimpin pesantren adalah juga adalah kendala biaya dan aspek teknis lainnya. Oleh
pemimpin informal di wilayah sekitarnya. karena itu, karakter dan motovasi utama
Di luar pesantren, kiai menjadi pemimpin yang mendorong komunikasi dan interaksi
keagamaan di mana pesantren tersebut di dalamnya adalah nilai-nilai keikhlasan.
menjadi dan dijadikan tempat pengajian dan Hasilnya, banyak lulusan pesantren yang
pusat kajian keagamaan. Kiai juga menjadi menjadi intelektual muslim yang mengisi
panutan, tempat bertanya (dari mulai semakin banyak ruang sosial, budaya, dan
masalah keluarga dan politik) serta teladan keagamaan di masyarakat, yang kemudian
masyarakat. Dalam konteks pembangunan, berperan sebagai pemimpin keagamaan,
kiai seringkali menjadi juru bicara pengusaha, syiar agama dan sebagainya.
masyarakat, karena mampu menjembatani Banyaknya lulusan pesantren juga turut
penyampaian aspirasi masyarakat kepada mewarnai kualitas kehidupan masyarakat,
pemerintah terkait isu-isu pembangunan. terutama dalam aspek kehidupan sosial
Dalam hal ini, kiai dan pesantren menjadi keagamaan (Ikhsan, 2016: 131).
paket simbol dari keberadaan agama dan
budaya yang mengedepankan nilai-nilai Ketiga, dalam bidang sosial, kiai dan pesantren
agama (Islam) sebagai pijakannya. Tentunya diakui dan hingga saat ini memegang nilai-
perlu dipahami pula bahwa peran kiai dan nilai keagamaan di masyarakat terutama
pesantren dilandasi oleh semangat untuk dalam hal mencontohkan kualitas kehidupan
membangun tatanan masyarakat yang dan perilaku yang ikhlas sesuai nilai-nilai
islami berdasarkan ajaran-ajaran sunnah. agama. Keseharian santri dalam perilaku
Instrumen untuk mewujudkan tujuan sosial dilatarbelakangi oleh motivasi dan
tersebut adalah pesantren sebagai lembaga karakter dasar untuk mencari ridho Illahi
pendidikan dan lembaga budaya (Ikhsan, dalam kehidupan sosial dengan cara menjadi
2016: 128). manusia bertaqwa. Dinamika keseharian
kiai dan pesantren yang fokus dan
Kedua, dalam bidang pendidikan, kiai dan terbiasa dengan kehidupan sederhana dan
pesantren adalah salah satu pihak yang pembelajaran ibadah tiada lelah menjadikan
mempunyai perhatian dan berfokus dalam pesantren dan kiai sebagai tumpuan
pendidikan keagamaan dan pembentukan masyarakat terhadap arus perubahan
karakteristik akhlak anak didiknya. Peran ini dalam perkembangan pembangunan dan
bahkan telah dimulai sejak beberapa abad perubahan zaman, termasuk berada dalam
ke belakang melalui lembaga pendidikan garis depan dalam upaya pemberdayaan

20 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


masyarakat agar senantiasa memiliki daya daruroh atau pemimpin yang harus ditaati
tahan dan berusaha. Dengan kata lain, karena keadaan darurat. Sebab, faktanya
pesantren menawarkan solusi alternatif Sukarno memiliki otoritas kenegaraan.
masa depan dari perspektif keagamaan.
(Ikhsan, 2016: 135-136). Dengan segenap peran yang dijalankannya
tersebut niscaya kiai berperan dalam
Keempat, dalam bidang politik, kiai dan penyelenggaraan pemerintahan desa. Peran
pesantren sesungguhnya menghindari kiai dapat dilihat dari dua sudut pandang
wilayah politik praktis karena persepsi yang yang berbeda. Pertama, berdasarkan
terbentuk dalam politik itu sendiri yang dorongan dari bawah, kiai menjadi juru bicara
korup, mementingkan kepentingan sendiri, masyarakat karena mampu menjembatani
dan tidak mencerminkan perilaku amanah penyampaian aspirasi masyarakat
karena antara ucapan dan perilaku politisi kepada pemerintah desa terkait isu-isu
sering tidak sejalan. Namun demikian, pemerintahan dan pembangunan di tingkat
tidak sedikit elite-elite politik yang lokal desa. Dalam hal ini, kiai dan pesantren
memanfaatkan posisi kiai untuk meminta menjadi paket simbol dari keberadaan
dukungan maupun doa. Simbol kiai dan agama dan budaya yang mengedepankan
pesantren menjadi legitimasi moralitas dan nilai-nilai agama (Islam) sebagai pijakannya.
kepercayaan masyarakat yang kemudian Tentunya perlu dipahami pula bahwa peran
sering dimanfaatkan dunia politik untuk kiai dan pesantren dilandasi oleh semangat
pencitraan. Selain itu, luasnya jaringan yang untuk membangun tatanan masyarakat
dimiliki pesantren, terutama jaringan kiai dan yang islami berdasarkan ajaran-ajaran
santri, juga menjadi salah satu pertimbangan sunnah. Instrumen untuk mewujudkan
penting dalam memanfaatkan posisi tujuan tersebut adalah pesantren sebagai
strategisnya untuk tujuan tertentu, tidak lembaga pendidikan dan lembaga budaya
terkecuali dalam ranah politik. Pesantren (Ikhsan, 2016: 128).
memiliki jaringan yang berada dalam sub-
kultur yang kuat dan mengakar, terlebih Kedua, berdasarkan dorongan dari atas,
pesantren yang cukup tua. Pesantren pemerintah desa pun dapat melibatkan ulama
seperti itulah yang dimanfaatkan oleh para dalam pembahasan rencana pembangunan
politisi dalam berbagai urusan. Misalnya, desa. UU Desa mengatur bahwa pelaksanaan
seperti yang terjadi pada era Orde Baru, musyawarah perencanaan pembangunan
mereka membutuhkan legitimasi kiai dan desa harus melibatkan unsur masyarakat,
pesantren untuk mensukseskan program yang antara lain diwakili oleh tokoh agama.
KB. Pada era Sukarno pun demikian. Dengan kata lain, kiai dengan segenap posisi
Sebagai pemimpin republik muda, posisi istimewa yang dimilikinya di masyarakat,
Sukarno sempat dipertanyakan oleh para dapat menyampaikan aspirasi pribadi
kiai: apakah Sukarno termasuk pemimpin maupun masyarakat yang diwakilinya
yang harus ditaati mengingat beliau tidak secara langsung agar terakomodir dalam
memiliki otoritas keagamaan. Oleh karena dokumen perencanaan pembangunan desa.
itu, para ulama pada masa itu memberikan Dalam praktiknya, pemerintah desa juga
gelar pada Sukarno sebagai waliyul amri ad- membutuhkan legitimasi kiai dan pesantren

POLICY PAPER • PKDOD LAN 21


untuk mensukseskan program-programnya. strategi utamanya. Selain itu, perlu juga
Di masa lalu, hal ini pernah terjadi di era penguatan dari aspek kelembagaan dan
Orde Baru, misalnya, ketika pemerintah aspek etik.
membutuhkan legitimasi kiai dan pesantren
untuk mensukseskan program KB. Menimbang peran dan posisinya yang
strategis dalam mendorong keberhasilan
Dengan demikian, benang merah dari pembangunan desa, kiranya perlu dilakukan
peran kiai dalam hal ini adalah sebagai upaya terencana untuk meningkatkan
penggerak atau pendorong partisipasi efektivitas peran kiai tersebut yang
masyarakat, setidaknya dalam dua hal. Kiai bertumpu pada beberapa strategi
menjadi pendorong partisipasi masyarakat sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.
dalam melakukan kontrol, pengawasan, dan
penyampaian aspirasi masyarakat terkait Berdasarkan Gambar 1 setidaknya terdapat
isu-isu penyelenggaraan pemerintahan, tiga strategi yang perlu dilakukan.
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, Pertama, penguatan kelembagaan kiai
dan pemberdayaan masyakarat desa. dalam mendorong terwujudnya good
Kiai juga menjadi penggerak keterlibatan village governance. Sebagai tokoh panutan
masyarakat dalam pelaksanaan program- masyarakat, seorang kiai tidak hanya
program pemerintah desa, seperti kerja dituntut untuk mumpuni dalam bidang ilmu
bakti, membangun jalan desa, dan menjaga keagamaan dan sikap perilaku keseharian
kebersihan dan pemeliharaan kelestarian tetapi juga dituntut untuk menjaga
lingkungan alam desa. independensi dan sikap kritisnya dalam
menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap
F. Strategi Penguatan Peran Kiai penyelenggaraan pemerintahan desa. Oleh
dalam Mewujudkan Good Village karena itu, agar dapat menjalankan peran
Governance dan fungsinya secara optimal, sudah saatnya
kiai kini, selain memiliki kompetensi di
Dalam UU Desa banyak kata kunci yang bidang sosial dan spiritual, juga perlu lebih
mengarah pada keterpaduan pembangunan memahami tentang konstelasi kebijakan
desa. Hal tersebut menegaskan bahwa dalam pemerintahan. Selain itu, perlu juga
secara substansial, UU Desa sesunguhnya melibatkan kiai dalam forum pengambilan
dapat dijelaskan dalam perspektif jaringan keputusan di tingkat lokal yang bersifat
(paradigma jaringan sosial). Jika mengacu strategis, seperti musyawarah desa dan
pada perspektif jaringan dalam memandang musyawarah antar desa sebagai unsur
masyarakat, maka jaringan lebih penting aktif. Ke depan, perlu didorong lahirnya
ketimbang kekuasaan. Artinya, pihak regulasi lokal yang menjamin kelestarian
yang memiliki jaringan lebih luas akan eksistensi pondok pesantren, sebagai basis
lebih berharga ketimbang pihak yang kelembagaan kiai, di Banten.
berkuasa. Oleh karena itu, dalam konteks
pemberdayaan dan penguatan peran kiai Kedua, penguatan kolaborasi antara kiai
dalam pembangunan desa selayaknya dan pemerintah desa. Upaya ini dilakukan
bertumpu pada kekuatan kolaborasi sebagai melalui komunikasi yang intens antara kiai

22 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


Gambar 1.
Strategi Penguatan Peran Kiai dalam Mewujudkan Good Village Governance

Sumber: Nata Irawan, 2017

dan pemerintah desa. Kiai dapat berperan dari pemanfaatan sumber daya alam,
sebagai pendamping atau mitra kepala penggunaan sumber daya manusia, dan
desa dalam pelaksanaan pembangunan pengelolaan aset desa. Arah dari kolaborasi
dan tata kelola pemerintahan desa. Selain ini adalah guna mengakselerasi terwujudnya
itu, kolaborasi juga dilakukan melalui kemandirian desa.
dialog dua arah (knowledge sharing)
antara kiai dan pemerintah desa. Dengan Ketiga, penguatan peran etik kiai dalam
demikian kedua belah pihak, selain dapat pembangunan desa. Hal ini dilakukan
saling belajar tentang pengetahuan dan dengan cara melibatkan kiai dalam
gagasan yang dimiliki masing-masing pihak memelihara kebersamaan dan menjaga
terkait pembangunan desa, juga dapat semangat kegotong royongan masyarakat
meningkatkan kesalingpengertian dan desa, memelihara perdamaian di desa, pe­
empati di antara keduanya. Kolaborasi juga mantauan penyelenggaraan pe­merintahan
perlu dilakukan dengan aktor lainnya yang desa, dan pemanfaatan sumber daya alam
ada di desa, seperti pihak LSM, lembaga desa yang berlandaskan pada kearifan lokal
kemasyarakatan desa, dan pelaku swasta. yang tumbuh di masyarakat setempat.
Kolaborasi tersebut dilakukan dalam Memposisikan kiai sebagai penghubung
berbagai aspek pembangunan desa, mulai antara unsur pemerintahan dengan
masyarakat/desa. Posisi kiai sebagai

POLICY PAPER • PKDOD LAN 23


figur yang memberi keteladanan dalam dan penyelenggaraan pemerintahan dan
berperilaku juga dapat memberi inspirasi pembangunan desa. Kiai dapat menjadi
bagi masyarakat dan pemerintah desa dalam pendorong keterlibatan masyarakat desa
menjalankan amanah yang diembannya dalam pelaksanaan pembangunan desa dan
sesuai peran yang dimilikinya. mengawasi penyelenggaraan pemerintahan
desa. Peran tersebut terkait dengan posisi
G. Penutup kiai selaku pemimpin informal di ranah desa
atau kawasan pedesaan yang tidak berlaku
1. Simpulan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan
juga merambah ke bidang lain dalam
Berpijak pada paparan di atas, temuan kehidupan bermasyarakat, yaitu bidang
dari kajian ini menegaskan bahwa kiai pendidikan, sosial, dan bahkan politik.
turut memiliki peran dalam mendorong
terwujudnya tata kelola pemerintahan Ke depan, menimbang peran dan posisinya
desa yang baik dan dalam pelaksanaan yang strategis dalam mendorong keber­
pembangunan desa, baik dalam bidang hasilan pembangunan desa, kiranya per­
pendidikan, sosial, dan budaya atau lu dilakukan upaya terencana untuk
pembangunan secara umum. Peran kiai meningkatkan efektivitas peran kiai tersebut
ditentukan oleh sejauhmana pengaruh yang yang bertumpu pada beberapa strategi, baik
dimilikinya. Kendati cenderung berhati-hati dari segi kelembagaan, kerjasama, dan peran
dan bahkan menjaga jarak, pada umumnya etik dalam menjaga arah dan efektivitas
mereka bukan kelompok yang tidak mau pembangunan desa agar berjalan secara
berkorban untuk orang lain. Berlawanan inklusif, demokratis, dan dapat menjawab
dengan anggapan bahwa kiprah kiai lebih segala tantangan pembangunan di ranah
cenderung berorientasi ukhrawi (rohani, desa.
spiritual, dan mengutamakan ibadah untuk
meraih kebahagiaan hidup di akhirat), 2. Rekomendasi
kajian ini justru menunjukkan mereka
mau melibatkan diri dalam urusan-urusan Berdasarkan kepada kasus kajian ini, maka
kepublikan di desa kendati hal tersebut tidak tim memandang perlu adanya kebijakan
dilakukan secara langsung atau terbuka. yang dapat menjadi acuan sekaligus menjadi
dasar pengakuan dan pelembagaan yang
Tidak dipungkiri pula bahwa masih lebih tegas pada tingkat teknis terkait
terdapat pesantren dan kiai memilih dengan:
untuk memfokuskan diri dalam kegiatan
keagamaan dan menggembleng para 1. Peranan pranata sosial dalam me­
santrinya di pondok. Sementara terhadap laksanakan partisipasinya guna men­
isu atau problem sosial yang dihadapi dorong pembangunan desa, baik yang
masyarakatnya, cenderung mengambil jarak. dirumuskan pada tingkat nasional
Namun, kajian ini menemukan dinamika maupun lokal sesuai dengan kultur
yang agak berbeda mengingat peran sosial
kiai dalam keseharian hidup masyarakat

24 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


dan nilainya masing-masing. Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran saat ini dimana
pemerintah telah begitu banyak menggelontorkan dana APBN ke desa;
2. Konsepsi Good Village Governance dan Implementasinya yang antara lain mencakup
tentang prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan unsur-unsur di dalamnya beserta peranan dan
fungsinya masing-masing;
3. Pada tataran operasional, perlu dirumuskan program dan kegiatan yang dapat dijadikan
sebagai dasar untuk memberikan pembekalan kepada segenap pranata sosial dalam upaya
mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan desa yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Referensi

Agusta, Ivanovich. Tt. Good Governance dalam UU No. 6/2014 tentang Desa.
Ahmad, Ikhsan. 2016. Komunikasi Pembangunan Pesantren Kobong: Realitasnya di Banten.
Serang: Pustaka Alumni.
Bappenas. 2007. Penerapan Tata Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Bappenas.
Dhofier, Zamahksyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta:
LP3ES.
Horikoshi, Hiroko. 1987. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat.
Eko, Sutoro, “Memperdalam Demokrasi Desa” dalam Sugeng Bahagijo dan Rusdi Tagaroa
(Ed.). 2005. Orde Partisipasi: Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran.
Jakarta: Perkumpulan Prakarsa.
Eko, Sutoro. 2015. Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kupper, Adam dan Jessica Kuper. 2003. Ensiklopedia Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali
Press.
Pattiro. 2016. Praktik Baik dalam Implementasi Undang-Undang Desa. Jakarta: Pattiro.
Muslim, Asep, dkk. 2015. Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang
Banten. Jurnal Mimbar, Vol. 31, No. 2, hal. 461-474.
Nurjaman, Rusman. 2017. “Melawan Korupsi dari Bawah: Strategi Penguatan Akuntabilitas
Lokal Desa dalam Pengelolaan Keuangan Desa”. Makalah dipresentasikan dalam
Konferensi dan Seminar HUT LAN ke-60 “Rekonstruksi Reformasi Administrasi
untuk Membangun World Class Government”, di Jakarta, 21-22 Agustus.
Soemardjan dan Soemardi. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit

POLICY PAPER • PKDOD LAN 25


Fakultas Ekonomi UI
Tantri, Erlita. 2016. Letusan Krakatau 1883: Pengaruhnya terhadap Gerakan Sosial Banten
1888. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 16, No. 1, hal. 191-213.
Wahid, Abdurrahman. 1974. “Pesantren sebagai Sub-Kultur”, dalam Abdurrahman Wahid
dan M. Dawam Rahardjo. Pesantren dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES.

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Wawancara
Wawancara dengan Ikhsan Ahmad, Dosen FISIP Untirta Serang, tanggal 7 September 2017
di Serang.
Wawancara dengan Mukhlison, Bappeda Provinsi Banten, tanggal 5 September 2017 di
Serang, Banten
Wawancara dengan Prof. Sibli, pengurus Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten, Banten,
tanggal 6 September 2017 di Serang
Wawancara dengan Leo Agustino, pengamat politik lokal FISIP Untirta, tanggal 20 September
2017 di Serang.
Wawancara dengan Dr. Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PBNU, 9 Oktober 2017 di Jakarta.

26 PERAN PRANATA SOSIAL DESA


Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
adalah unit eselon II di Kedeputian bidang kajian
kebijakan, Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia yang memiliki tugas dan
fungsi melakukan kajian administrasi negara
khususnya kebijakan di bidang desentralisasi
dan otonomi daerah.

Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah


Kedeputian Bidang Kajian Kebijakan
Lembaga Administrasi Negara
Jalan Veteran No. 10, Gedung B Lantai 3
Jakarta Pusat 10110

Tel : 021-3455021
Faks : 021-3865102
Web : dkk.lan.go.id
Email : pkdod@lan.go.id
pkdod.lanri@gmail.com
Twitter : @PKDOD_LANRI
@DeputiKajianLAN
Facebook : @PKDODLANRI
@deputi1lanri

PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Anda mungkin juga menyukai