Anda di halaman 1dari 25

REFARAT

RABIES

Diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik


Senior di Poli Neurologi di RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai

Disusun Oleh:
MISNA MISI
`102119058

Pembimbing :
dr. Filemon Tarigan Sp.S

KKS ILMU PENYAKIT SARAF PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

RSUD DR. R.M. DJOELHAM KOTA BINJAI SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

izinnya penulis dapat menyelesaikan refarat ini yang berjudul “RABIES”. Refarat ini

di buat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan kepanitraan klinik

senior dibagian ilmu penyakit SARAF di RSUD. DR. R. M. Djoelham Binjai.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing

yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan agar refarat ini

lebih baik dan bermanfaat. Tentunya penulis menyadari bahwa refarat ini banyak

kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun dari para pembaca agar kedepannya penulis dapat memperbaiki dan

menyempurnakan kekurangan tersebut.

Besar harapan penulis agar refarat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta

dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk meningkatkan

keilmuannya.

Binjai, Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................ i

Kata Pengantar............................................................................................... ii

Daftar Isi.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. RABIES............................................................................................... 4

1. Defenisi Rabies................................................................................ 4

2. Epidemiologi Rabies........................................................................ 4

3. Etiologi Rabies................................................................................. 6

4. Patofisiologi Rabies......................................................................... 7

5. Manifestasi Klinis Rabies................................................................ 9

6. Diagnosa Rabies............................................................................... 14

7. Diagnosa Banding Rabies................................................................ 17

8. Penatalaksanaan Rabies................................................................... 17

9. Komplikasi Rabies .......................................................................... 18

10. Prognosis Rabies.............................................................................. 18

BAB III KESIMPULAN................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rabies disebut juga penyakit anjing gila adalah suatu penyakit infeksi akut

pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat

zoonosis atau zoonotik yaitu jenis penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke

manusia melalui gigitan hewan penular rabies. (Banyard, A.C., 2013.)

Rabies disebabkan oleh virus RNA, family Rhabdoviridae dari genus

Lyssavirus. Virus ini berbentuk seperti peluru atau silindris yang berukuran

dengan panjang 130-300µm dan diameter 70µm yang menular dan sangat ganas,

virus ini juga bersifat neurotropik yang dapat berkembang biak pada jaringan

saraf.

Sebagian besar kasus (98%) disebabkan oleh gigitan anjing, sedangkan

sisanya oleh hewan lain seperti, monyet, kucing dan kelelawar. Penyakit ini

sangat ditakuti karena prognosisnya yang sangat buruk baik pada manusia

maupun hewan, apabila sudah menunjukan gejala-gejala klinis rabies

(encephalomyelitis) akan diakhiri dengan kematian. (Budiman & Riyanto,

2013 ).

Menurut World Healt Organization (WHO) tahun 2015, distribusi rabies

tersebar hampir di semua benua kecuali benua Antartika, lebih dari 150 negara

telah terjangkit penyakit ini. Setiap tahun lebih dari 55.000 orang meninggal

1
akibat rabies dan lebih dari 15 juta orang di seluruh dunia mendapatkan

pengobatan profilaksis vaksin anti rabies untuk mencegah berkembangnya

penyakit ini. Sekitar 30-60% dari seluruh orang-orang yang digigit hewan

tersangka rabies merupakan anak dibawah usia 15 tahun. (WHO. 2015 )

Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser tahun 1884

pada seekor kerbau, kemudian oleh Pening tahun 1889 pada seekor anjing dan

oleh Eileris de Zhaan tahun 1894 pada manusia. Semua kasus terjadi di Provinsi

Jawa Barat dan setelah itu rabies terus menyebar ke daerah Indonesia lainnya.

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesi (Kemenkes)

tahun 2015, Hingga saat ini 25 provinsi tertular rabies dan hanya 9 (Sembilan)

provinsi di Indonesia yang masih tetap bebas rabies yaitu Nusa Tenggara Barat,

Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DIY, Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Dalam 5 (lima) tahun terakhir (2011 – 2015) rata-rata

kasus gigitan hewan penular rabies per tahun adalah 78.413 kasus dan rata-rata

sebanyak 63.534 kasus mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR). (Kementrian

Kesehatan RI. 2015 )

Berdasarkan Laporan Kasus Rabies Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera

Barat tahun 2014, daerah Kabupaten Sijunjung merupakan daerah yang memiliki

kasus gigitan hewan terbanyak di Provinsi Sumatera Barat tahun 2014. Dari 434

kasus gigitan diketahui bahwa 1 orang meninggal dan 3 orang dinyatakan positif

rabies. Sementara itu berdasarkan Laporan Kasus Rabies Dinas Kesehatan

Provinsi Sumatera Barat tahun 2015, jumlah kasus gigitan di Kabupaten

2
Sijunjung sebanyak 375 kasus dengan 1 orang meninggal dunia. Meskipun

jumlah kasus gigitan hewan mengalami penurunan di Kabupaten Sijunjung,

tetapi hal ini sangat jauh dari target Kementerian Kesehatan mengenai strategi

eliminasi rabies 2020 dimana 2 tahun terakhir tereliminasinya kasus rabies tidak

adanya kasus rabies pada hewan maupun manusia.

Mengingat akan bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman

masyarakat karena dampak buruknya yang selalu diakhiri kematian, maka usaha

pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan

seintensif mungkin. Penatalaksanaan profilaksis rabies sangat kompleks,

tergantung dari epidemiologi lokal, jenis dan sifat hewan pembawa rabies,

derajat kontak dan tes diagnostik yang tersedia di daerah tersebut. (Rahmadhani

I, Fitria Y, Certoma A. 2014 )

Pemberian vaksin anti rabies (VAR) atau VAR disertai serum anti rabies

(SAR) harus berdasarkan atas tindakan tepat dengan mempertimbangkan hasil-

hasil penemuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mencakup: adanya

kontak/ jilatan/gigitan, kejadian di daerah tertular/terancam/bebas, didahului

tindakan provokatif/tidak, hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies,

hewan yang menggigit hilang/lari dan tidak dapat ditangkap atau dibunuh, hewan

yang menggigit mati, tapi masih meragukan menderita rabies, penderita luka

gigitan pernah di VAR, hewan yang menggigit pernah di VAR, identifikasi luka

gigitan (status lokalis) serta temuan lain pada waktu observasi hewan dan hasil

3
pemeriksaan spesimen dari hewan. (Kresno S Boedina. 2010 )

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. RABIES

1. Defenisi Rabies

Rabies disebut juga penyakit anjing gila adalah suatu penyakit infeksi

akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit

ini bersifat zoonosis atau zoonotik yaitu jenis penyakit yang dapat ditularkan

dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular rabies.

Gambar 1. Contoh gigitan Hewan, kasus rabies

4
2. Epidemiologi

Menurut World Healt Organization (WHO) tahun 2015, distribusi rabies

tersebar hampir di semua benua kecuali benua Antartika, lebih dari 150

negara telah terjangkit penyakit ini. Setiap tahun lebih dari 55.000 orang

meninggal akibat rabies dan lebih dari 15 juta orang di seluruh dunia

mendapatkan pengobatan profilaksis vaksin anti rabies untuk mencegah

berkembangnya penyakit ini. Sekitar 30-60% dari seluruh orang-orang yang

digigit hewan tersangka rabies merupakan anak dibawah usia 15 tahun.

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesi

(Kemenkes) tahun 2015, Hingga saat ini 25 provinsi tertular rabies dan

hanya 9 (Sembilan) provinsi di Indonesia yang masih tetap bebas rabies

yaitu Nusa Tenggara Barat, Papua, Papua Barat, Bangka Belitung,

Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam 5

(lima) tahun terakhir (2011 – 2015) jumlah rata-rata kasus gigitan hewan

penular rabies per tahun adalah 78.413 kasus dan rata-rata sebanyak 63.534

kasus mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR).

Berdasarkan Laporan Kasus Rabies Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera

Barat tahun 2014, daerah Kabupaten Sijunjung merupakan daerah yang

memiliki kasus gigitan hewan terbanyak di Provinsi Sumatera Barat tahun

2014. Dari 434 kasus gigitan diketahui bahwa 1 orang meninggal dan 3

orang dinyatakan positif rabies. Sementara itu berdasarkan Laporan Kasus

Rabies Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2015, jumlah kasus

5
gigitan di Kabupaten Sijunjung sebanyak 375 kasus dengan 1 orang

meninggal dunia. Meskipun jumlah kasus gigitan hewan mengalami

penurunan di Kabupaten Sijunjung, tetapi hal ini sangat jauh dari target

Kementerian Kesehatan mengenai strategi eliminasi rabies 2020 dimana 2

tahun terakhir tereliminasinya kasus rabies tidak adanya kasus rabies pada

hewan maupun manusia.

3. Etiologi

Agen penyebab rabies adalah virus dari genus Lyssavirus dan termasuk

ke dalam family Rhabdoviridae. Virus rabies terdapat dalam air liur binatang

yang telah terinfeksi melalui gigitan dan non gigitan (goresan cakaran atau

jilatan pada kulit terbuka/mukosa) oleh hewan yang terinfeksi virus rabies.

Virus rabies akan masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terbuka atau

mukosa namun tidak dapat masuk melalui kulit yang utuh.

Virus ini bersifat neurotropic berbentuk menyerupai peluru dengan

panjang 130 – 300µm dan diameter 70µm. Virus ini terdiri dari inti RNA

(Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal diselubungi lipoprotein. Pada selubung

luar terdapat tonjolan yang terdiri dari glikoprotein G yang berperan penting

dalam timbulnya imunitas oleh induksi vaksin dan penting dalam identifikasi

serologi dari virus rabies.

Virus rabies dapat bertahan pada pemanasan dalam beberapa waktu

6
lama. Pada pemanasan suhu 56oC, virus dapat bertahan selama 30 menit dan

pada pemanasan kering mencapai suhu 100oC masih dapat bertahan selama

2-3 menit. Di dalam air liur dengan suhu udara panas dapat bertahan selama

24 jam. Dalam keadaan kering beku dengan penyimpanan pada suhu 40 oC

virus dapat bertahan selama bertahun-tahun, hal inilah yang menjadi dasar

kenapa vaksin anti rabies harus disimpan pada suhu 2 o – 8oC. Pada dasarnya

semakin rendah suhunya semakin lama virus dapat bertahan.

Virus rabies mudah mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet,

pengaruh keadaan asam dan basa, zat pelarut lemak, misalnya ether dan

kloroform, Na deoksikolat, dan air sabun (Akoso, 2007). Oleh karena itu

sangat penting melakukan pencucian luka dengan menggunakan sabun

sesegera mungkin setelah gigitan untuk membunuh virus rabies yang berada

di sekitar luka gigitan.

Retrieved from : http://www.cdc.gov/rabies/transmission/virus.html

Gambar 2. Struktur Virus Rabies

7
4. Patofisiologi

Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan/cakaran, virus akan

menetap selama 2 minggu di sekitar luka gigitan dan melakukan replikasi di

jaringan otot sekitar luka gigitan. Kemudian virus akan berjalan menuju

susunan saraf pusat melalui saraf perifer tanpa ada gejala klinis. Setelah

mencapai otak, virus akan melakukan replikasi secara cepat dan menyebar

luas ke seluruh sel-sel saraf otak/neuron terutama sel-sel sistem limbik,

hipotalamus dan batang otak.

Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron otak, virus berjalan ke

arah perifer melalui serabut saraf aferen baik sistem saraf volunteer maupun

otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan

jaringan di dalam tubuh, dan virus akan berkembang biak dalam jaringan-

jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya.

8
Dr. Richard Hunt. Rabies.Virology – Chapter Twenty. Retrieved from
http://pathmicro.med.sc.edu/virol/rabies.htm : Microbiology and
Immunology On-line University of South Carolina School of Medicine.
Gambar 3 : Perjalanan Virus Rabies

5. Manifestasi Klinis

a. Pada manusia

1. Stadium prodromal

Pada tahap awal gejala yang timbul adalah demam, lemas (malaise),

lesu, tidak nafsu makan / anorexia, insomnia, sakit kepala hebat,

sakit tenggorokan dan sering ditemukan nyeri selama beberapa hari.

2. Stadium sensorik

Pada tahap ini sering ditemukan pasien merasa nyeri, panas disertai

kesemutan (parestesi) pada tempat bekas luka, lalu disusul gejala

cemas dan reaksi berlebihan pada ransangan sensorik.

3. Stadium eksitasi

9
Pada tahap ini penderita mengalami berbagai macam gangguan

neurologik, penderita tampak bingung, gelisah, mengalami

halusinasi, tampak ketakutan disertai perubahan perilaku menjadi

agresif, serta adanya bermacam-macam fobia seperti hidrofobia,

aerofobia, fotofobia. Hidrofobia merupakan gejala ditemukan pada

penderita penyakit enchepalitis lainnya. Gejala lainnya yaitu

spasme otot, hiperlakrimasi, hipersalivasi, hiperhidrosis dan dilatasi

pupil. Setelah beberapa hari pasien meninggal karena henti jantung

dan pernafasan. Kontraksi otot faring dan otot pernafasan dapat

ditimbulkan oleh rangsangan rangsangan sensoris misal dengan

meniup udara ke wajah pasien. Dari seluruh penderita rabies

sebanyak 80% akan mengalami tahap eksitasi dan lamanya sakit

untuk tahap ini adalah 7 hari dengan rata-rata 5 hari.

4. Stadium paralisis

Bentuk lainnya adalah rabies paralitik, bentuk ini mencapai 30 %

dari seluruh kasus rabies dan masa sakit lebih lama dibandingkan

dengan bentuk furious. Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot

secara bertahap dimulai dari bagian bekas luka gigitan/cakaran.

Penurunan kesadaran berkembang perlahan dan akhirnya mati

karena paralitik otot pernafasan dan jantung. Pada pasien dengan

gejala paralitik ini sering terjadi salah diagnosa dan tidak

terlaporkan. Lamanya sakit untuk rabies tipe paralitik adalah 13

10
hari, lebih lama bila dibandingkan dengan tipe furious.

b. Pada hewan (anjing)

Gejala klinis pada anjing sesuai dengan manifestasinya dibagi dalam 3

tahap yaitu stadium prodromal, stadium eksitasi, dan stadium paralitik.

1) Stadium prodromal

Tahap ini merupakan tahap awal dari gejala klinis yang berlangsung

selama 2-3 hari. Terdapat perubahan perilaku hewan yaitu hewan

tidak mengenal tuannya, sering menghindar dan tidak mengacuhkan

perintah tuannya. Mudah terkejut dan cepat berontak bila ada

provokasi. Terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan refleks

kornea menurun terhadap rangsangan.

2) Stadium eksitasi

Tahap eksitasi berlangsung selama 3-7 hari, mulai mengalami

fotofobi sehingga hewan akan bersembunyi di kolong tempat tidur,

dibawah meja atau kursi. Anjing terlihat gelisah, adanya gerakan

halusinasi dimana anjing bersikap seolah-olah akan mencaplok

serangga yang terbang di udara. Sering mengunyah benda di

sekitarnya seperti lidi, kawat, kerikil, jeruji kandang, dan benda

lainnya yang tidak sewajarnya atau yang dikenal dengan istilah

pika. Bila dikandangkan anjing akan berjalan mondar-mandir

sambil menggeram. Perilaku anjing akan berkembang semakin

sensitif, beringas dan akan menyerang semua obyek yang bergerak.

11
Seringkali mulutnya berdarah akibat giginya tanggal atau akibat

mengunyah benda keras dan tajam.

Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot laring dan faring yang

menyebabkan perubahan suara menyalak anjing, suaranya akan

berubah menjadi parau. Juga terjadi kekejangan otot menelan

sehingga akan terjadi hipersalivasi, frekuensi nafas berubah cepat,

air liur berbuih kadang disertai darah dari luka di gusi atau

mulutnya.

3) Stadium paralisis

Tahap ini berlangsung sangat singkat sehingga gejalanya tidak

diketahui, terjadi kelumpuhan otot pengunyah sehingga rahang

tampak menggantung. Suaranya sering seperti tersedak akibat

kelumpuhan otot tenggorokan. Terjadi paralisis kaki belakang

sehingga saat jalan kaki belakang diseret.

12
Gambar 4 : Gejala Rabies pada Hewan (Anjing)

Dikenal terdapat 2 tipe rabies pada hewan yaitu:

1. Tipe Ganas (Forious rabies)

Tipe ganas apabila didominasi tahap eksitasi dimana anjing akan terlihat

beringas serta akan menyerang semua benda yang bergerak. Gejala

rabies pada anjing tipe ganas yaitu gelisah, hiperaktif, bersembunyi

ditempat gelap dan dingin, nafsu makan menjadi berkurang, menjadi

lebih sensitif terhadap suara dan cahaya, memakan benda-benda asing

seperti batu, kayu, dll. Lumpuh dan mati

2. Tipe Tenang Ddumb rabies)

Tipe tenang apabila hewan yang terinfeksi rabies setelah gejala

prodormal langsung masuk ke tahap paralisis. Gejala rabies pada anjing

13
dengan tipe tenang yaitu hipersaliva (mengeluarkan saliva yang

berlebihan), suara hewan menjadi berubah (menjadi parau), terjadi

kelumpuhan pada bagian wajah dan rahang bawah, lumpuh, kejang dan

mati.

Masa Inkubasi :

Masa inkubasi penyakit rabies 10 hari sampai 1 tahun. Umumnya antara 1-3

bulan. Perbedaan masa inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

a) Jenis/strain virus rabies.

b) Jumlah virus yang masuk.

c) Kedalaman luka gigitan, semakin dalam luka gigitan kemungkinan virus

rabies mencapai sistem saraf semakin besar.

d) Lokasi luka gigitan, semakin dekat jarak luka gigitan ke otak, maka gejala

klinis akan lebih cepat muncul. Oleh karena itu luka gigitan didaerah bahu

ke atas merupakan luka risiko tinggi.

e) Banyaknya persarafan di wilayah luka.

f) Daya tahan tubuh dari penderita.

6. Diagnosis

a. Anamnesis

14
1) Jenis hewan yang diduga memaparkan virus rabies

2) Mekanisme awal paparan virus rabies (gigitan atau cakaran)

3) Waktu dan lokasi kejadian

4) Lokasi gigitan atau cakaran dan jumlah gigitan

5) Tindakan awal pertolongan yang dilakukan pasien pasca gigitan atau

cakaran

b. Pemeriksaan fisik

1) Vital sign

2) Identifikasi luka gigitan atau cakaran yaitu, lokasi gigitan atau

cakaran didaerah mana, jumlah gigitan

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan mengambil sampel

biopsi kulit dari folikel rambut di leher belakang, cairan serebrospinal,

air liur, dan darah. Pemeriksaan isolasi virus atau RT-PCR dapat

dilakukan pada sampel air liur, sedangkan pemeriksaan antibodi dapat

dilakukan terhadap sampel serum dan cairan serebrospinal. Sementara

itu, spesimen dari biopsi kulit dapat diperiksa untuk pemeriksaan

antigen rabies.

1) Uji Direct Fluorescent Antibody / Fluorescent Antibody Test (dFA

atau FAT)

Uji dFA merupakan pemeriksaan yang didasarkan pada keberadaan

antigen protein virus rabies pada jaringan. Mengingat rabies

15
merupakan jenis virus yang dominan ditemukan di jaringan saraf,

maka sampel jaringan ideal untuk pemeriksaan antigen rabies

adalah jaringan otak. Saat antibodi yang telah berlabel diinkubasi ke

dalam jaringan otak yang dicurigai terinfeksi rabies, maka terjadi

ikatan antigen dan antibodi. Antibodi yang tak terikat akan tersapu

dalam salah satu proses penyiapan spesimen, sedangkan antigen

yang terikat antibodi akan terlihat berdasarkan prinsip fluoresensi

sebagai area berwarna hijau apel pada mikroskop fluoresens. Jika

tak ditemukan virus rabies, maka tak akan ada gambaran fluoresensi

di bawah mikroskop.

Sumber: Openi, 2014

Gambar 4 : Tampilan mikroskopik sampel jaringan otak yang

terinfeksi virus rabies berdasarkan pemeriksaan direct

fluorescent antibody (A) dan rapid immunohistochemical test (B)

2) Uji Amplifikasi Virus

16
Uji amplifikasi virus bertujuan untuk memperbanyak asam nukleat

yang berasal dari virus rabies dengan menggunakan metode

biokimiawi. Dengan teknik reverse-transcriptase polymerase chain

reaction (RT-PCR), RNA disalin menjadi molekul DNA yang

kemudian diperbanyak jumlahnya. Pemeriksaan amplifikasi virus

dapat mengkonfirmasi hasil dFA dan mendeteksi keberadaan virus

rabies dari sampel liur dan biopsi kulit.

3) Uji Direct Rapid Immunohistochemical (dRIT)

Uji dRIT mengandalkan teknik imunoperoksidase dalam

mendeteksi virus rabies. Pemeriksaan dRIT menggunakan antibodi

monoklonal antinukleokapsid terhadap virus rabies yang kemudian

divisualisasi dengan menggunakan 3-amino-9-etilkarbazol. Pada

kondisi ideal, sensitivitas dan spesifisitas dRIT dibandingkan dFA

dalam mendiagnosis rabies mencapai 100%. Walaupun

pemeriksaan ini memerlukan urutan teknik khusus sebelum hasilnya

dapat diinterpretasi, dRIT memiliki kelebihan dibandingkan dFA

berupa pemeriksaan yang memerlukan mikroskop cahaya tanpa

fluoresens. Pemeriksaan dRIT memiliki potensi penggunaan yang

besar pada area urban dengan prevalensi rabies tinggi dengan

fasilitas terbatas untuk melakukan dFA.

7. Diagnosis Banding

17
a) Ensefalitis

b) Tetanus

c) Poliomyelitis

d) Histerikal pseudorabies

8. Penatalaksanaan

Pencegahan penularan rabies pada manusia adalah dengan memberikan

tatalaksana luka gigitan hewan penular rabies, sebagai berikut :

a) Fase awal

Luka gigitan harus dicuci dengan sabun selama kurang lebih 15 menit,

kemudian bilas dengan air bersih. Kemudian berikan antiseptic

diantaranya povidon iodine, alkohol 70%, dan zat antiseptik lainnya.

b) Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) Dan Serum Anti Rabies

(SAR)

1) Pemberian SAR ( serum anti rabies )

Serum heterolog dosis 40 IU/kgBB disuntikan infiltrasi pada luka

sebanyak-banyaknya lalu sisanya dimasukan secara IM, waktu

pemberiannya yaitu bersamaan dengan pemberian VAR hari ke-0.

Bila serum homolog diberikan 20 IU/kgBB dengan cara yang sama.

2) Pemberian VAR (vaksin anti rabies )

Pemberian VAR yaitu Purified Vero Rabies Vaccine/PVRV

(Verorab®) dilakukan dengan 4 kali pemberian, yaitu hari ke-0 2x

18
pemberian sekaligus (deltoid kanan dan kiri , hari ke-7 dan hari ke-

21.

9. Komplikasi

Pada pasien yang dapat bertahan hidup dari rabies, komplikasi yang

dapat ditemukan lebih didominasi oleh gejala sisa neurologis akibat infeksi

virus rabies. Komplikasi ini mencakup distonia, balismus, koreoatetosis,

gangguan motorik halus, gangguan pola berjalan, gangguan komunikasi

verbal dan nonverbal, dan perubahan kekuatan motorik pada lengan dan

tungkai.

10. Prognosis

Rabies merupakan penyakit infeksi dengan prognosis yang buruk dengan

tingkat mortalitas yang tinggi, yang berakibat fatal dengan kematian.

19
BAB III

KESIMPULAN

Rabies disebut juga penyakit anjing gila adalah suatu penyakit infeksi akut pada

susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonosis

atau zoonotik yaitu jenis penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia

melalui gigitan hewan penular rabies.

Rabies disebabkan oleh virus RNA, family Rhabdoviridae dari genus Lyssavirus.

Virus ini berbentuk seperti peluru atau silindris yang berukuran dengan panjang 130-

300µm dan diameter 70µm yang menular dan sangat ganas, virus ini juga bersifat

neurotropik yang dapat berkembang biak pada jaringan saraf.

Sebagian besar kasus (98%) disebabkan oleh gigitan anjing, sedangkan sisanya

oleh hewan lain seperti, monyet, kucing dan kelelawar. Penyakit ini sangat ditakuti

karena prognosisnya yang sangat buruk baik pada manusia maupun hewan, apabila

sudah menunjukan gejala-gejala klinis rabies (encephalomyelitis) akan diakhiri

dengan kematian.

Pada pasien yang dapat bertahan hidup dari rabies, komplikasi yang dapat

ditemukan lebih didominasi oleh gejala sisa neurologis akibat infeksi virus rabies.

Komplikasi ini mencakup distonia, balismus, koreoatetosis, gangguan motorik halus,

gangguan pola berjalan, gangguan komunikasi verbal dan nonverbal, dan perubahan

kekuatan motorik pada lengan dan tungkai. Rabies memiliki n penyakit infeksi

dengan prognosis yang buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi, yang berakibat

fatal dengan kematian.

19
DAFTAR PUSTAKA

Banyard, A.C., 2013. Control and Prevention of Canine Rabies: The Need for

Buildinglaboratory-based Surveillance Capacity. Antiviral Research. 98:357-

364.

Budiman & Riyanto, 2013. Kapita Selekta Kuesioner: Pengetahuan dan Sikap dalam

Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba medika pp. 4-7.

Centre For Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS), 2014. Rabies.

http://civas.net/2014/02/24/rabies/4/, diakses 1 September 2015.

Dahlan, M.S., 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel untuk Penelitian

Kedokteran dan Kesehatan.Jakarta: Salemba Medika.

Datstkhosh M, Rahimi P, Haghighat S, Biglari P, Howaizin N, Saghiri R, Roohaudeh

A, 2014. Cell culture Extraction and purification of Rabies Nucleoprotein.

Jundishapur J Microbiol, ahvaz Jundishapur University of Medical Science

Tehran, Iran.

Hampson K, dkk. Estimating the Global Burden of Endemic Canine Rabies. Jurnal

PLOS Neglected Tropical Diseases. 2015.

Kementrian Kesehatan RI. 2015. Data Rabies di Indonesia . Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia. Jakarta.

Kresno S Boedina. 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Badan

Penerbit FK UI.

Nugroho J. Bali Krisis Vaksin Anti-Rabies. antaranewscom. 2015.

Rahmadhani I, Fitria Y, Certoma A. 2014. Aplikasi Metode Rabies Indirect Antigen

19
Detection (RIAD) untuk mendeteksi antigen Virus Rabies Jaringan Otak.

Prosiding Dit jenakeswan Kementrian Pertanian, 32-36.

WHO. 2015. Rabies. Updated July 2015.

19

Anda mungkin juga menyukai