Anda di halaman 1dari 3

5 Komplikasi Transfusi Darah Berulang

Transfusi darah merupakan suatu prosedur untuk menyalurkan darah atau produk darah kepada orang
yang membutuhkan darah, melalui pembuluh darah vena. Darah yang ditransfusikan dapat berupa
darah secara keseluruhan (whole blood) atau salah satu komponen darah saja seperti yang paling sering
adalah tranfusi sel darah merah (packed red cell/PRC), ataupun komponen lainnya seperti trombosit,
faktor pembekuan (cryoprecipitate), dan plasma darah (fresh frozen plasma).
Terdapat beberapa penyakit yang seringkali membutuhkan transfusi darah secara berulang,
seperti pasien dengan kondisi kelainan darah seperti thalassemia, anemia bulan sabit, anemia aplastik,
ataupun kondisi penyakit lainnya. Perlu diingat bahwa, transfusi darah sering kali menggunakan darah
dari orang lain, sehingga beberapa resiko seperti penyebaran infeksi ataupun ketidakcocokan imunologis
mungkin terjadi. Palang Merah Indonesia dan setiap bank darah di Indonesia telah menerapkan protokol
ketat untuk mengurangi resiko atau komplikasi yang tidak diinginkan akibat transfusi darah. Dalam
tulisan kali ini, kami akan membahas 5 komplikasi transfusi darah berulang yang mungkin terjadi.
1. Kelebihan zat besi
Pasien dengan thalassemia sering kali terjadi kekurangan sel darah merah (hemoglobin),
sehingga membutuhkan transfusi PRC secara periodik. Perlu diketahui bahwa satu kantong PRC
mengandung sekitar 250 mg besi. Tranfusi berulang akan menyebabkan penimbunan zat besi
dalam tubuh seperti pada hati, limpa, jantung, dan organ lainnya. Penumpukan zat besi dapat
organ-organ tersebut akan menyebabkan pembesaran organ tersebut dan mengganggu fungsi
organ. Sehingga pada pasien yang sering menjalani transfusi berulang dapat ditemukan perut
yang membesar akan pembesaran hati dan limpa, hal ini dapat menyebabkan rasa tidak nyaman
di perut. Penumpukan zat besi secara berlebihan di jantung, dapat menyebabkan gangguan
fungsi jantung. Oleh karena itu, pemantauan rutin terhadap kadar besi dan komponennya
sangat penting pada pasien yang menjalani transfusi darah berulang. Kelebihan besi dalam
tubuh dapat diatasi dengan pemberian obat kelasi zat besi (iron chelating agent).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4260299/
2. Terjangkit penyakit infeksi
Transfusi berulang dapat berisiko untuk terjangkit penyakit infeksi virus, bakteri ataupun parasit.
Resiko tersebut diminimalisir melalui pemeriksaan rutin yang dilakukan oleh setiap bank darah
atau pun PMI terhadap darah pendonor. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization)
telah merekomendasikan setiap darah yang didonorkan untuk dilakukan pemeriksaan terhadap
ada tidaknya infeksi virus HIV, Hepatitis B, Hepatitis C, dan sifilis. Ketatnya protokol penapisan
tersebut, menyebabkan penurunan angka transmisi penyakit infeksi akibat tranfusi. Di Amerika
Serikat, dilaporkan resiko terjadi penyakit infeksi menular tersebut sebesar 1:1.000.000 kasus
untuk HIV dan hepatitis C. Sedangkan untuk hepatitis B resiko sekitar 1:300.000 kasus.
3. Alloimunisasi
Salah satu efek samping yang mungkin dapat muncul akibat transfusi berulang adalah
alloimunisasi, yaitu terbentuknya antibodi terhadap sel darah merah asing. Hal ini menunjukkan
bahwa sistem tubuh pasien menganggap sel darah pendonor sebagai benda asing,, sehingga
akan terjadi reaksi/respon imunologi. Alloimunisasi akan menyebabkan umur sel darah
pendonor dalam tubuh menjadi lebih pendek, sehingga pasien sering kali membutuhkan jumlah
darah yang lebih banyak ataupun frekuensi transfusi darah yang lebih sering untuk mencapai
target hemoglobin. Selain itu, alloimunisasi juga akan menyebabkan seorang pasien untuk
kesulitan mencari darah pendonor, karena saat dilakukan crossmatch atau pencocokan darah
akan terjadi reaksi sehingga darah pendonor tidak dapat ditransfusikan. Alloimunisasi dilaporkan
terjadi pada 2,5-37% pasien thalassemia yang membutuhkan transfusi darah berulang.
Penelitian menunjukkan bahwa alloimunisasi lebih serig terjadi pada penderita dengan usia
lebih tua, berjenis kelamin wanita, mempunyai darah dengan rhesus negative.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5738786/
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29675950/
4. Kelebihan cairan tubuh akibat transfusi (transfusion-associated circulatory overload/TACO)
Pemberian transfusi berulang terutama dalam jumlah besar dapat menyebabkan kelebihan
cairan tubuh. Resiko ini meningkat terutama pada pasien dengan penyakit gagal jantung atau
gagal ginjal. Seperti sudah dibahas sebelumnya, bahwa transfusi berulang dapat menyebabkan
penumpukan zat besi pada jantung dan bila tidak diatasi akan terjadi gagal jantung. Penurunan
fungsi jantung menjadi tidak mampu memampu melakukan fungsi pompanya akibat
penambahan darah akibat transfusi dalam jumlah besar dan singkat. Cairan yang berlebihan di
dalam pembuluh darah akan keluar masuk ke jaringan tubuh sekitarnya, salah satunya adalah
paru-paru. Penumpukan cairan dalam jaringan paru akan membuat pasien merasa sesak nafas.
Beberapa cara pencegahan terjadinya TACO adalah dengan memperhatikan fungsi jantung dan
ginjal pada pasien yang akan menjalani tranfusi darah, transfusi darah dilakukan dengan durasi
yang lebih lama, pemberian obat diuretic sebelum dilakukan transfusi darah.
https://www.loyolamedicine.org/sites/default/files/gme/internal-medicine/transfusion-
associated_circulatory_overload_a_clinical_perspective.pdf
5. Reaksi transfusi
Beberapa reaksi transfusi dapat terjadi pada setiap proses transfusi, dalam hal ini reaksi darah
dapat terjadi akibat respon imun ataupun tidak, serta dapat terjadi secara mendadak saat
transfusi ataupun terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah transfusi selesai dilakukan.
Pemberian transfusi berulang dapat meningkatan resiko kumulatif terjadina reaksi transfusi.
Beberapa reaksi transfusi yang mungkin terjadi adalah reaksi hemolitik yaitu pecahnya sel darah
marah pendonor oleh sistem imun tubuh penerima transfusi, reaksi alergi hingga syok
anafilaktik, reaksi demam, dan kerusakan paru akut akibat transfusi (transfusion-related acute
lung injury/TRALI). Reaksi tranfusi yang melibatkan sistem imun dapat terjadi akibat
ketidakcocokan imunologis dari darah pendonor dengan penerima. Contoh sederhana adalah
ketidakcocokan golongan darah pendonor dan penerima darah.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482202/

Anda mungkin juga menyukai