Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

ASMA EKSASERBASI AKUT DERAJAT SEDANG

Disusun oleh :
dr. Randy Adiwinata

Pembimbing :
dr. Maurits Marpaung, Sp.P

Pendamping :
dr. Normasari
dr. Elvi Agustina

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RSUD Dr. KANUJOSO DJATIWIBOWO
BALIKPAPAN
KALIMANTAN TIMUR
2016
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
Asma Eksaserbasi Akut Derajat Sedang

Disusun oleh:
dr. Randy Adiwinata

Telah dipresentasikan pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 4 Mei 2016


Mengesahkan dan menyetujui,
Pembimbing

dr. Maurits Marpaung, Sp.P


LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
Asma Eksaserbasi Akut Derajat Sedang

Disusun oleh:
dr. Randy Adiwinata

Telah dipresentasikan pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 4 Mei 2016


Mengesahkan dan menyetujui,
Pendamping Pendamping

dr. Normasari dr. Elvi Agustina


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang ditandai dengan batuk
berulang, mengi, dan sesak nafas. Hal ini terkait dengan hiperreaktifitas pada jalan nafas dan
menyebabkan obstruksi saluran nafas.1 Diperkirakan lebih dari 300 juta penduduk dunia
mengalami asma, dan jumlah penderita asma simptomatik pada negara-negara seperti Afrika,
Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia memiliki kecenderungan meningkat. Asma
diperkirakan menyebabkan mortalitas sebesar 346.000 jiwa per tahunnya.2 Hal ini tentu
menjadi masalah dunia. Selain itu, pada pasien usia produktif, serangan asma ini tentu
menyebabkan disabilitas dan pengurangan produktifitas. Di Indonesia sendiri dilaporkan
prevalensi sebesar 2,6% pada usia 13-14 tahun.2
Oleh karena, asma merupakan suatu penyakit kronik yang dapat berlangsung seumur
hidup, peran dokter sebagai penyedia layanan kesehatan sangatlah penting. Dokter wajib
membina hubungan dokter pasien dengan baik dan memberikan edukasi cara melakukan
control asma dengan baik. Selain itu, penanganan asma saat ini telah berkembang pesat
sehingga perlu dilakukan penyegaran. Dan pada saat asma eksaserbasi akut, penanganan awal
yang tepat tentu dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan ini ditujukan untuk mengetahui definisi, patogenesis, gejala, tanda, diagnosis,
penanganan, komplikasi serta prognosis dari asma pasien dewasa
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 21 Maret 2016
Identitas
Nama : Ny. K
Umur : 49 tahun
Alamat : Jl. Strat II RT 12 no. 80
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
RM : 311645

Keluhan Utama
Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang


Satu bulan SMRS, pasien mengeluhkan sesak nafas tiba-tiba disertai dengan bunyi mengi
saat bernafas yang muncul setiap malam hari, seminggu dapat terjadi 5-6x. Sesak nafas dapat
teratasi sempurna dengan menggunakan Salbutamol Inhaler, dan sehari-hari pasien
menggunakan Seretide (fluticasone dan salmeterol) diskus 2x sehari. Satu minggu SMRS,
pasien mengeluhkan batuk berdahak putih disertai dengan sesak nafas dan bunyi mengi yang
muncul tiba-tiba pada siang dan malam hari, hal ini dapat teratasi sebagian dengan
penggunaan Salbutamol Inhaler dan Seretide diskus. 12 jam SMRS pasien mengeluhkan
sesak yang bertambah berat. 1 jam SMRS, pasien mengeluhkan sesak nafas tiba-tiba dan
hanya terjadi perbaikan minimal dengan menggunakan Salbutamol Inhaler. Kemudian pasien
datang ke UGD RSKD Balikpapan. Sesak nafas tersebut membuat pasien sulit untuk
menyelesaikan satu kalimat (mampu berbicara beberapa kata). Sesak nafas dirasakan
membaik bila pasien duduk. Tidak ada keluhan seperti demam, nyeri kepala, dan nyeri dada.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien telah didiagnosis asma oleh dokter sejak usia 5 tahun. Pasien mengaku
mengalami asma sampai umur 17 tahun, kemudian tidak ada sesak nafas lagi. Pada usia 24
tahun, pasien mengeluhkan serangan asma kembali. Pasien berobat ke dokter paru dan
mendapatkan obat-obatan seperti aminofilin, salbutamol tablet, dan obat batuk. Dengan obat-
obatan tersebut pasien mengaku masih mengalami serangan asma. Pada usia 40 tahun, pasien
mulai menggunakan Salbutamol Inhaler, pasien mengaku hal ini membantu setiap kali
serangan. 2 bulan SMRS pasien dirawat di RSKD dengan serangan asma akut derajat sedang,
pasien dirawat 14 hari. Kemudian pasien dipulangkan dengan obat Seretide diskus 2x1.
Semenjak penggunaan Seretide diskus, pasien tidak pernah mengalami serangan pada siang
hari. Akan tetapi serangan tetap dirasakan 4-5x seminggu dan membuat pasien sulit tidur dan
mengganggu aktivitas. Sesak nafas dirasakan memberat apabila bekerja berat, terkena dingin,
dan debu. Dengan menggunakan skor kuisioner ACT pasien mengaku mempunyai skor 7.

Riwayat penyakit keluarga


Kakek pasien didiagnosis penyakit asma. Serta adik pasien juga mengalami asma.
Riwayat alergi
Antalgin
PEMERIKSAAN FISIK
Kesan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Gelisah
Tanda Vital
Nadi : 110 kali/menit
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Suhu badan : 36oC
Frekuensi nafas : 30 kali/menit
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor dekstra = sinistra (3 mm/3mm)
Hidung : Sumbat (-), sekret (-)
Telinga : Bersih, sekret (-)
Mulut : Bibir basah, faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-/-)
Leher
Pembesaran Kelenjar : (-)

Dada
Inspeksi : Gerakan simetris
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi (-/-), Wheezing (+/+)
Jantung
S1/S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas Akral hangat, edema (-),

PEMERIKSAAN PENUNJANG (saat di IRD)


21-04-2016

Leukosit (/mm3) 10.920


Eosinofil 2,0
Basofil 0,5
Segmen 59,3
Limfosit 26,3
Monosit 11,9
Hb (g/dl) 12,5
Ht (%) 39,4%
Trombosit (/mm3) 415.000
GDS 103

DIAGNOSIS KERJA SEMENTARA


Asma eksaserbasi akut derajat sedang
PENATALAKSANAAN :
Masker O2 8 lpm
Dexametasone 2 ampul
Nebulisasi dengan Salbutamol:Nacl=1:1 (setelah dilakukan dua kali, pasien tetap sesak
dan direncanakan rawat inap)

PENATALAKSANAAN DI RAWAT INAP:


Nebulisasi 3x sehari combivent: nacl= 1:1
Metilprednisolon IV 3x 62,5 mg
Drip D5+Aminofiin 1 ampul diberikan 20 tetes per menit
Cetirizine 1x1
Cefixime 2x200 mg oral

PROGNOSIS
Dubia

FOLLOW UP HARIAN

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT PENATALAKSANAAN


22-03-2016 S: Sesak Nafas (+) berkurang, batuk berdahak IVFD D5+Aminofilin 1
(+), Nyeri ulu hati (+) Dada panas terbakar ampul 20 tpm
(+) Cefixime 2x200 mg
O: N: 90x/menit; RR: 28x/mnt; to: 36oC, TD ; Metilprednisolon 3x62,5 mg
130/90 mmHg. Ves+/+, Rh -/-, Wh +/+. Cetirizine 1x1
A: Asma serangan akut derajat sedang Ondansetron 3x4 mg
+GERD
23-03-2016 S: Sesak Nafas (+) berkurang, batuk berdahak IVFD D5+Aminofilin 1
(+) berkurang, Nyeri ulu hati (+) Dada panas ampul 20 tpm
terbakar (+) Cefixime 2x200 mg
O: N: 90x/menit; RR: 28x/mnt; to: 36oC, TD ; Metilprednisolon 3x62,5 mg
130/90 mmHg. Ves+/+, Rh -/-, Wh +/+. Cetirizine 1x1
A: Asma serangan akut derajat sedang Ondansetron 3x4 mg
+GERD Sucralfat 3x1 c
24-03-2016 S: Sesak Nafas (+) berkurang, batuk berdahak ACC KRS
(+) berkurang, Nyeri ulu hati (+) Dada panas Obat pulang:
terbakar (+) Meptin mini 2x1
O: N: 90x/menit; RR: 28x/mnt; to: 36oC, TD ; Retapyl Sr 2x1/2
130/90 mmHg. Ves+/+, Rh -/-, Wh +/+. Metilprednisolon 3x8 mg
A: Asma serangan akut derajat sedang Cefixime 2x200 mg
+GERD Kontrol poli paru 29/3/2016
BAB III
Tinjauan Pustaka

3.1. Definisi
Asma merupakan suatu penyakit heterogen, yang mempunyai karakteristik berupa
inflamasi kronik dari saluran pernafasan. Penyakit ini ditandai dengan riwayat bunyi mengi
(wheezing), episode sesak (terutama pada malam hari), batuk, dan limitasi aliran nafas
ekspirasi; hal tersebut bervariasi dari waktu ke waktu dan dalam hal intensitas.2 Variasi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor pemicu seperti olahraga, allergen, paparan iritan, perubahan
cuaca, atau infeksi virus.3
Asma seringkali diasosiasikan dengan inflamasi kronik dan hipereaktivitas dari faktor
pemicu diatas sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas sehingga menghalangi
pertukaran udara. Obstruksi saluran nafas bersifat reversibel, yaitu dapat menghilang secara
spontan maupun berespons terhadap pengobatan.3,4
3.2 Prevalensi asma
Menurut GINA 2015, diperkirakan sebesar 300 juta penduduk dunia mengalami asma.
Di negara-negara maju seperti Eropa barat, prevalensi serangan asma telah menerun. Hal ini
berbanding terbalik dengan negara-negara seperti Afrika, Amerika latin, Eropa timur, dan
Asia yang justru memiliki kecenderungan peningkatan asma simptomatik. Serta diperkirakan
346.000 kematian terjadi setiap tahunnya. Serangan asma ini menimbulkan beban dan
disabilitas. Dalam laporan pada tahun 2000-2003 pada anak usia 13-14 tahun. Indonesia
diperkirakan mempunyai prevalensi sebesar 2,6%.2
Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner
ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan
prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil
survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada
anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta
Pusat sebesar 5,8%.5 Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.
3.3. Fenotipe asma2,6,7
Fenotipe asma merupakan gambaran dari jenis-jenis asma yang telah diketahui
karakteristik tersendiri baik dari segi demografis, klinis, atau patofisiologis.
a. Asma alergi: Merupakan fenotipe asma yang paling sering ditemui. Seringkali muncul
pada masa kanak-kanak dan diasosiasikan dengan riwayat penyakit alergi dalam
keluarga seperti dermatitis alergi, rhinitis alergi, alergi terhadap makanan maupun
obat. Pemeriksaan sputum seringkali ditemukan sel eosinofil. Kelompok pasien ini
berespons baik terhadap pemberian kortikosteroid intranasal.
b. Asma non alergi: Asma yang tidak diasosiasikan dengan alergi (riwayat atopi). Dalam
hal ini sensitisasi tidak dapat dibuktikan (tes skin prick atau RAST mempunyai hasil
negative atau nilai IgE bersifat normal/rendah). Umumnya muncul pada saat dewasa
dengan predominasi pada wanita. Seringkali perjalanan penyakit menjadi lebih berat
dan tidak berespons terhadap steroid. Pemeriksaan sputum dapat menunjukkan sel
neutrofil, eosinofil atau hanya sedikit sel inflamasi (pangranulocytic)
c. Late-onset asthma. Asma yang muncul pertama kali pada saat dewasa, seringkali
dewasa dan wanita. Umumnya bersifat non alergi, dan refrakter terhadap steroid. IL-5
diduga sebagai dasar patofisiologi dari varian ini.
d. Aspirin-exacerbated respiratory disease: Tipe ini umumnya muncul pada dewasa dan
mempunyai karakteristik berupa adanya asma, rinosinusitis kronik dengan polip nasi,
serta reaksi akut terhadap obat-obatan anti inflamasi non steroid. Aspirin dalam dosis
kecil sekalipun dapat menyebabkan rhinorea, injeksi konjungtiva, flushing, dan
wheezing. Hal ini diduga berkaitan dengan predisposisi genetik yaitu peningkatan
produksi dari cys-leukotriene C4 sintase.
e. Allergic bronchopulmonary mycosis atau Bronchopulmonary aspergilosis. Merupakan
reaksi hipersensitivitas setelah menghirup spora aspergillus. Penyaktit ini bila tidak
diobati dapat mengakibatkan brokoektasis dan obstruksi jalan nafas permanen.
Pengobatan dapat diberikan oral steroid dan anti jamur.
f. Exercise Induced Astma/exercise induced brochoconstriction adalah Penyempitan
saluran nafas setelah berolahraga, umumnya muncul setelah 3-5 menit, dengan
puncak bronkoonstriksi pada 10-15 menit. Pada pengukuran spirometri dapat
didapatkan penurunan >10%% dari FEV1 Seringkali muncul pada atlet, yang
sebelumnya tidak ada diagnosis asma ataupun gejala respirasi lainnya. Mekanisme
pasti belum diketahui tetapi diduga adalah proses dari pendinginan dari saluran nafas
melalui udara yang terinspirasi dan penghangatan kembali setelah latihan. Dehidrasi
dari saluran nafas akibat peningkatan ventilasi, menyebabkan peningkatan osmolaritas
dari saluran nafas. Hal ini menginduksi pelepasan mediator seperti histamine,
prostaglandin, leukotrien, dan akhirnya menyebabkan konstriksi dan edema saluran
nafas. Selain itu, fase imunosupresi sementara yang terjadi setelah latihan berlebihan
diduga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi virus respirasi dan
menginduksi inflamasi.
g. Asthma with fixed airflow limitation: Beberapa pasien penderita asma lama dapat
terjadi limitasi aliran nafas permanen, hal ini diduga disebabkan oleh airway wall
remodeling.
h. Asthma with obesity: pada beberapa pasien obesitas seringkali terjadi asma dan
memiliki inflamasi kronik berupa eosinofil pada permukaan saluran nafas. Serta
kemungkinan terjadi komorbid metaboolik seperti GERD, atau OSA.
i. Asma pada kehamilan: Sepertiga dari pasien asma akan memiliki perbaikan pada saat
kehamilan, sepertiga menngalami perbaikan, dan sepertiga lainnya akan tetap. Obat-
obatan seperti salbutamol, kortikosteroid inhalasi, dan teofilin bersifat aman. Dan
tidak ada kontraindikasi pada saat pasien menyusui.

3.4. Faktor-Faktor resiko asma2,4

Faktor resiko seseorang untuk menderita asma secara umum dibagi menjadi dua yaitu
faktor pejamu dan faktor lingkungan.
Faktor Pejamu Faktor Lingkungan
Genetik (Atopi, hipereaktivitas bronkus) Alergen serbuk sari, spora jamur, susu
telur, udang kepiting, obat-obatan
Obesitas Infeksivirus
Jenis kelamin laki-laki pada anak-anak. Iritanparfum
Pada menopause perempuan lebih banyak
Emosi/stress
Asap rokok Baik aktif maupun pasif
Polusi udara
Paracetamol
Dietrendah konsumsi vitamin C,
vitamin A, magnesium, selenium, omega
3, dan vitamin D.
3.5. Patofisiologi Asma2,4
Inflamasi saluran nafas
Pada pasien dengan asma, mukosa saluran nafas berada dalam kondisi inflamasi
kronik meskipun tidak tidak dalam serangan. Inflamasi kronik ini terjadi di sepanjang saluran
nafas, akan tetapi memberikan efek paling signifikan pada bronkus berukuran sedang. Pada
hasil patologi dari saluran nafas, ditemukan bahwa mukosa terinfiltrasi oleh sel eosinofil,
limfosit T, dan sel mast. Sel mast berperan dalam menyebabkan bronkokonstriksi akut saat
terdapat paparan allergen dan stimulus lainnya Sel mast teraktivasi oleh allergen melalui jalur
IgE. Saat teraktivasi, sel mast akan mengeluarkan mediator bronkokonstriktor seperti
histamin, prostaglandin D2, cysteinyl leukotrine. Jumlah makrofag sering ditemukan
meningkat pada saluran nafas pasien. Sel dendritik merupakan sel berupa makrofag yang
ditemukan di epitel saluran nafas dan berperan sebagai antigen presenting cell. Sel dendritik
akan mengambil antigen dan memproses peptida, dan migrasi ke nodus limfatik sehingga
memproduksi sel TH2 spesifik allergen. Eosinofil juga ditemukan dalam jumlah berlebihan
pada saluran nafas. Saat terjadi inhalasi allergen. Eosinofil akan melepasan protein dan
radikal bebas dari oksigen yang berpotensi dalam kerusakan sel saluran nafas. Sel limfosit T
akan melepaskan sitokin spesifik seperti IL-4,5,9,13 yang akan meningkatkan rekruitmen dari
eosinofil, produksi dari IgE dari limfosit B.

Sel struktural saluran nafas


Struktur dari sel saluran nafas berperan dalam memproduksi mediator inflamasi serta
berkontribusi dalam menyebabkkan inflamasi kronik. Seperti epitel sel saluran nafas, sel
endotel yang dapat melepaskan berbagai sitokin dan kemokin pada saat timbul allergen. Otot
polos saluran nafas, sel ini dapat terjadi hyperplasia dan hipertrofi dan mengalami
peningkatan reaktivitas terhadap bronkokonstriktor. Fibroblast dan myofibroblast yang dapat
memproduksi kolagen dan proteoglikan sehingga dapat menyebabkan airway remodeling.
Saraf kolinergik pada saluran nafas akan meyebabkan bronkokonstriksi dan sekresi mucus.
Mediator Inflamasi
Lebih dari 100 mediator inflamasi yang ditenggarai berkaitan dengan inflamasi kronik
pasien asma. Seperti kemokin yang dapat menarik sel inflamasi secara banyak pada saluran
nafas. Cysteinyl leukotriene yang berperan sebagai bronkokonstriktor poten dan pro
inflamasi, dihasilkan dari sel mast dan eosinofil. Sitokin (IL-1, Il-5, Il-4, IL-13). Histamin
yang secara utama dihasilkan oleh sel mast, berperan dalam bronkonkonstriksi dan respons
inflamasi. Prostaglandin D2 yang juga berasal dari sel mast dan berperan sebagai
bronkokonstriktor dan rekrut dari Th2.

Perubahan struktural dari saluran nafas pada pasien asma


Akibat respons inflamasi yang terus menerus akan mengakibatkan terjadinya
remodeling dari saluran nafas. Seperti terjadinya fibrosis subepitel karena penumpukan
kolagen tipe 3 dan 5 pada membrane basalais. Hal ini diasosiasikan dengan peningkatan
jumlah penumpukan eosinofil. Akibat terjadinya hipertrofi dan hyperplasia sel otot polos,
akan mengakibatkan penyempitan saluran nafas. Peningkatan jumlah pembuluh darah pada
saluran nafas, hal ini menyebabkan peningkatan edema saluran nafas dan eksudasi plasma
pada lumen. Hipersekresi dari mucus, menyebabkan plug pada saluran nafas. hal ini
disebabkan oleh peningkatan jumlah sel goblet dan jumlah kelenjar submukosa.
Dua patofisiologi utama pada pasien asma adalah penyempitan dari saluran nafas dan
saluran nafas yang hiperesponsif. Penyempitan saluran nafas ini disebabkan oleh konstraksi
dari sel otot polos, edema saluran nafas (perembesan dari mikrovaskular), penebalan dari
saluran nafas (remodeling), dan hipersekresi mucus.
Hiperreaktifitas dari saluran nafas, akan menyebabkan bronkokonstriktsi yang
berlebihan saat terjadi paparan terhadap allergen, penebalan dari saluran nafas, dan refleks
dari sel sensorik.
3.7. Diagnosis Asma2,3,5
Gejala asma dapat bervariasi seperti batuk berulang, sesak nafas, rasa berat di dada,
nafas berbunyi (mengi). Beberapa hal yang mendukung karakterisktik asma adalah, lebih dari
1 gejala, gejala memberat pada malam hari atau menjelang subuh, gejala bervariasi dari
waktu ke waktu dan intensitas yang berbeda, terdapat faktor pencetus, dan bersifat reversibel
dan episodik.
Dari pemeriksaan fisik, pada saat stabil sering kali tidakditemukan apa-apa. Sering
kali ditemukan bunyi mengi (wheezing) pada saat ekspirasi. Pada beberapa pasien, bunyi
mengi baru terdengar saat pasien melakukan ekspirasi paksa. Pada obstruksi jalan nafas yang
berat, mengi dapat tidak terdengar, kesadaran pasien menurun dan terjadi sianosis. Hal ini
disebut sebagai silent chest.
Pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan adalah pemeriksaan faal paru, secara
umum dilakukan dengan spirometri. Pemeriksaan dengan spirometri sangan bergantung pada
kerjasama dengan pasien, usaha dengan subjek, maneuver yang tepat, dan pemeriksa yang
handal. Diharapkan dari pemeriksaan spirometri ditemukan obstruksi jalan nafas dengan
maneuver ekspirasi paksa untuk mendapatkan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1),
kapasitas vital paksa (KVP) dan arus puncak ekspirasi (APE). Nilai normal rasio VEP1/KVP
adalah >0,75-0,80 pada dewasa dan >0,90 pada anak-anak). Penilaian reversibilitas dapat
digunakan setelah pemeberian bronkodilator kerja cepat seperti salbutamol 200-400 ug
inhalasi. Peningkatan kadar VEP1>12% dan >200 ml dari nilai dasar menunjukkan tes yang
positif. Apabila tidak mempunyai spirometri dapat digunakan alat peak expiratory flow rate
meter (PEFR) untuk mengukur arus puncak ekspirasi (APE). Penentuaan dengan PEFR
daapat digunakan untuk menilai reversibilitas dan variabilitas. Penilaian reversibilitas dengan
terjadi perbaikan 20% atau 60L/menit setelah diberikan bronkodilator. Penilaian variasi
diurnal dapat dilakukan dengan meminta pasien mengukur APE pagi dan malam (untuk
mendapatkan nilai terendah dan tertinggi) setiap hari selama 1-2 minggu, kemudiaan dihitung
variasinya. Bilai nilai variasi diurnal APE>20% (selama 2 minggu) maka akan mendukung
diagnosis asma.
Beberapa pemeriksaan lain yaitu dengan menggukan tes provokasi bronchial, tes
alergi untuk menilai status alergi,dan mengukur serum IgE spesifik.
3.8 Diagnosis banding
Dapat seperti bronkioloitis, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), serangan panic,
sindroma hiperventilasi, obstruksi saluran nafas atas atau benda asing, disfungsi pita suara,
bronkitis kronik, dan penyakit paru interstitial.
3.9 Penilaian asma
Penilaian klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran gejala klinis hal ini
berkaitan dengan rencana pengobatan. Hal ini dilakukan pada saat sebelum diterapi.

Menurut GINA 2015, penilaian seseorang dengan asma perlu mencakup control asma
saat ini, faktor resiko pemberat, masalah penggunaan obat (cara teknik dan kepatuhan
penggunaan obat), efek samping, dan komorbiditas. Sebagai contoh penilaiaan asma yang
direkomendasikan adalah Ny. X memiliki control gejala asma yang buruk, Memiliki
kesulitan dengan menggunakan inhaler jenis diskus, serta memiliki resiko untuk terjadi
eksaserbasi berikutnya oleh karena fungsi paru yang rendah, perokok aktif, dan jarang
menggunakan obat.
Penggunaan kuisioner dapat membantu dalam penilaian control asma, salah satu yang
sering digunakan di Indonesia adalah Asthma Control Test (ACT). Bila nilai <=19 maka
dianggap tidak terkontrol, 20-24 dianggap terkontrool sebagian, dan bila 25 maka telah
terkontrol total.
Menurut GINA, penilaiaan derajat beratnya dapat dilakukan setelah pengematan
beberapa lama. Dikatakan asma ringan, bila pasien terkontrol dengan terapi tahap 1 dan 2
yaitu seperti penggunaan reliever saja atau ICS dosis rendah, atau antagonis leukortrien
reseptor. Derajat sedang bila pasien terkontrol dengan tahap 3 yaitu menggunakan dosis
rendah ICS dengan LABA. Dan asma derajat berat bila memerlukan tahap 4 dan 5.

3.10 Manajemen Asma2,3,5


Manajemen asma bertujuan untuk mencapai dan mempertahankan kondisi mengontrol
gejala, mempertahankan kemampuan beraktivitas normal, mempertahankan faal paru,
mencegah eksaserbasi akut, menghindari efek samping obat, mencegah kematian karena
asma.
Pertama yang harus dilakukan tentu dengan membangun hubungan komuniasi dokter
pasien, karena asma merupakan penyakit kronik. Sebagai dokter perlu juga membantu pasien
dalam mengidentifikasi dan mengurangi pajanan faktor resiko .
GINA menganjurkan manajemen asma berdasarkan ontrol pada pasien dan
merupakan pengabatan yang kontinyu.
Obat asma dibagi menjadi tiga kelompok. Yaitu obat reliever, controller, dan terapi
tambahan pada asma berat. Controller berarti obat yang digunakan sebagai maintenance
karena dapat berguna untuk mengurangi inflamasi di jalur nafas, mengontrol gejala,
mengurangi resiko terjadinya eksaserbasi dan penurunan fugsi paru. Reliever berarti obat
yang dipakai saat terjadi eksaserbasi. Obat-obat tambahan (Add on) merupakan obat-obatan
yang digunakan sebagai tambahan pada pasien yang telah mendapatkan terapi optimal akan
tetapi tetap bergejala. Pengobatan yang digunakan mengikuti tahapan seperti yang
dirangkumkan dalam tabel dibawah ini.

3.11 Manajemen asma eksaserbasi akut2,3,5


Penilaian secara cepat dilakukan pada saat awal maupun setelah pengobatan.
Pengobatan awak terdiri dari pemberian oksigen sampai saturasi >90 % pada dewasa dan
95% pada anak. Pemberian bronkodilator agonis beta 2 kerja singkat secara nebulisasi
sebanyak maksimal 3 kali dalam 1 jam dengan interval 15-20 menit. Pemberian
kortikosteroid sistemik pada pengobatan awal terutama dilakukan jika tidak ada respons
dengan bronkodilator, pasien sudah dalam pengobatan kortikosteroid oral tapi mengalami
eksaserbasi, ataupun pasien dating denga eksaserbasi berat. Setelah dilakukan penanganan
awal, kemudian akan dilakukan penilaian kembali untuk tindakan selanjutnya. Jika respons
baik dan stabil pasien dapat dipulangankan, sedangkan bila pasien berespons sebagian
sebaiknya observasi tetap dilnajutkan dan dianjurkan untuk rawat inap.

Pemberiaan brokondilator kerja singkat dapat diberikan dalam bentuk nebulisasi.


Pemberian bronkodilatorberupa agonis beta 2 kerja singkat ditambah dengan antikolinergik
kerja singkat (ipratopium bromide) dapat memberikan efek bronkodilatiasi yang lebih baik.
Bila respons kurang baik, maka pada pasien dapat diberikan aminofilin secara bolus 5-6
mg/kgBB yang dilanjutkan drip 0,5-0,9 mg/kg/jam. Pemberian secara bolus harus
dieencerkan sama banyak denganjumlah yang diberikan, diberikan secara intravena perlahan
selama 10 menit untuk menghindari efek samping. Akan tetapi pada GINA tidak dianjurkan
lagi penggunakan aminofilin IV. GINA menganjurkan penggunaan inhaled corticosteroid
didahulukan. Dosis kortikosteroid sistemik dapat diberikan secaar oral atau intravena,
pemberian secara oral sama efektifnya dengan intravena. Kortikosteroid sistemik
membutuhkan kurang lebih 4 jam untuk menghasilkan perbaikan klinis. Dosis kortikosteroid
yang dianjurkan adalah 1 mg/kg atau dapat diberikan 60-80 mg metilprednisolon. Setelah
pasien rawat jalan, kortikosteroid oral harus diberikan 5-7 hari dengan maksimum 50 mg/hari
tanpa tapering off.

3.12. Asthma-COPD Overlap syndrome (ACOS)7


Seringkali pada pasien lansia atau dengan perokok, perbedaan antara COPD dengan asma
menjadi sulit, dan memiliki karakteristik dari kedua penyakit ini. ACOS dikarateristikkan
dengan terjadinya limitasi jalan nafas persisten dengan karakterstik asma dan PPOK. Hal
pertama yang harus dilakukan adalah mengenali apakah pasien tersebut memiliki penyakit
saluran nafas kronik, melalui anamnesis. Riwayat batuk kronik, dengan produksi sputum,
dispnea, atau wheezing, riwayat infeksi saluran nafas akut berulang, penggunaan obat-obatan
inhalasi, penggunaan rokok, dan paparan terhadap polutan yang berbahaya. Atau dari
pemeriksaan fisik ditemukan hiperinflasi atau tanda penyakti kronik paru. Dari radiologi
ditemukan hiperinflasi, penebalan dinding saluran nafas, hiperlusen, air trapping. Kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri.
BAB IV
PEMBAHASAN

Ny. K memiliki presentasi yang khas untuk asma eksaserbasi akut derajat sedang.
Penentuan asma dapat dilakukan melalui hasil anamnesis dimana pasien mengalami serangan
sesak nafas berulang disertai dengan bunyi mengi. Dan dengan menggunakan salbutamol,
dapat mengurangi sesak hingga sempurna. Selain itu, pasien juga mengaku memiliki riwayat
alergi dan atopi dalam keluarga. Asma pada Ny. K juga muncul sejak masa kanak-kanak dan
telah mendapatkan obat controller asma berupa seretide. Dari pemeriksaan fisik juga
menunjang diagnosis asma yaitu dari hasil auskultasi paru yaitu didapatkan bunyi wheezing
pada kedua lapangan paru. Pengkategorian dari derajat berat serangan akut Ny. K adalah
derajat sedang, hal ini terlihat oleh karena pasien masih dapat berbicara walaupun hanya
beberapa kata. Dan pasien harus posisi duduk untuk mendapatkan kenyamanan bernafas.
Pasien juga tampak gelisah. Dari pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi nafas 36x dan
denyut nadi 110x. Pemicu serangan asma episode kali ini diduga berasal dari infeksi saluran
nafas yang diderita 1 hari SMRS.
Penanganan awal pada pasien ini di IGD meliputi nebulisasi dan diberikan steroid
sistemik. Dengan kedua hal tersebut, pasien masih mengalami sesak, oleh karena itu
dianjurkan pasien untuk dirawat dan dilakukan observasi lebih lanjut. Setelah terjadi
perbaikan sesak nafas, pasien diperbolehkan rawat jalan, dan kemudian perlu dilakukan
penilaiaan ulang dari derajat kontrol asma pada pasien ini sehingga bisa didapatkan terapi
yang tepat.
BAB IV
KESIMPULAN

1. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien ini maka diagnosanya adalah asma eksaserbasi akut derajat sedang.
2. Penatalaksanan pada pasien ini sesuai dengan teori.
3. Kondisi pasien saat pulang telah dalam keadaan perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis I. Diagnosis and Management of Bronchial Asthma. Journal of the Indonesian


Medical Association. 2011;58(11).
2. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention.
2015, Accessed March 2016. Available from: http://www.ginasthma.org
3. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket Guide for Asthma Management and prevention.
2016, accessed April 2015. Available from: http://www.ginasthma.org
4. Barnes PJ. Asthma. In: Kasper DL et al, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine.
19thed. McGraw Hills;2015. P. 1669-81.
5. Dewan Asma Indonesia. Pedoman Tatalaksana Asma. Jakarta:2011.
6. Lockey RF. Defining Phenotypes: Expanding Our Understanding of Asthma Challenges in
Treating a Heterogeneous Disease. Accessed March 2016. Available from:
http://www.worldallergy.org/UserFiles/file/NHLBI%20Asthma%20Phenotypes-Lockey.pdf
7. Corren J. asthma phenotypes and endotypes an evolving paradigm for classification. Discov
Med. 2013. 15(83):243-249.
8. Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) and Global Initiative for
Asthma (GINA). Asthma, COPD, and Asthma-COPD Overlap Syndrome. 2015. Accessed
March 2016. Available from: http://www.goldcopd.org/asthma-copd-overlap.html.

Anda mungkin juga menyukai