Anda di halaman 1dari 26

A.

KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan
Menurut Muhith (2017), kekerasan (violence) merupakan suatu
bentuk perilaku agresi (aggressive behavior) yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain,
termasuk terhadap hewan atau benda-benda. Ada perbedaan antara agresi
sebagai suatu bentuk pikiran maupun perasaan dengan agresi sebagai
bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan,
kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang memancing amarah
yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai suatu cara
untuk melawan atau menghukum yang berupa tindakan menyerang,
merusak hingga membunuh. Agresi tidak selalu diekspresikan berupa
tindak kekerasan menyerang orang lain (assault), agresivitas terhadap diri
sendiri (self aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs abuse)
untuk melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan
suatu bentuk perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau perilaku agresi
merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang
secara fisik maupun psikologis.Berdasarkan definisi ini, maka perilaku
kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan
fisik. Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih
menunjuk kepada suatu perangkat perasaan tertentu yang biasanya disebut
dengan perasaan marah.
Resiko perilaku kekerasan adalah adanya kemungkinan seseorang
melakukan tindakan yang dapat mencederai orang lain dan lingkungan
akibat ketidakmampuan mengendalikan marah secara konstruktif (CMHN,
2018).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang
menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk
destruktif dan masih terkontol (Yosep, 2017).
Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman (Keliat, 2018).
Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan
individu tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau
seksual kepada orang lain (Herdman, 2017). Sehingga dapat dikatakan
bahwa perilaku kekerasan merupakan :
a) Respons emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang
meningkat dan dirasakan sebagai ancaman (diejek/dihina).
b) Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan
(kecewa, keinginan tidak tercapai, tidak puas).
c) Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Respon Adaptif adalah respon individu dalam penyesuaian masalah
yang dapat diterima oleh norma – norma sosial dan kebudayaan,
sedangkan respon maladaptive yaitu respon individu dalam penyelesaian
masalah yang menyimpang dari norma – norma sosial dan budaya
lingkungannya.
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa perilaku kekerasan merupakan ungkapan perasaan marah yang
mengakibatkan hilangnya kontrol diri yang mengakibatkan individu bisa
berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
2. Teori Risiko Perilaku Agresi
Menurut Muhith (2015) ada beberapa teori mengenai perilaku agresi, yaitu
:
1) Instinct theory, mengasumsikan bahwa perilaku agresi merupakan
suatu insting naluriah setiap manusia. Menurut teori tersebut, setiap
manusia memiliki insting kematian (tanatos) yang diekspresikan lewat
agresivitas pada diri sendiri maupun orang lain. Saat ini teori ini telah
banyak ditolak.
2) Drive theory, menekankan bahwa dorongan agresivitas manusia dipicu
oleh faktor pencetus eksternal intuk survive dalam mempertahankan
eksistensinya. Menurut teori tersebut, tanpa agresi kita dapat punah
atau dipunahkan orang lain, namun teori ini pun banyak disangkal.
3) Social learning theory, menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan
hasil pembelajaran seseorang sejak masa kanak-kanaknya yang
kemudian menjadi pola perilaku (learned behavior). Dalam
perkembangan konsep teori ini mengasumsikan juga bahwa pola
respon agresi seseorang memerlukan stimulus (impuls) berupa kondisi
sosial lingkungan (faktor psikososial) untuk memunculkan perilaku
agresi. Namun bentuk stimulus yang sama tidak selalu memunculkan
bentuk perilaku agresi yang sama pada setiap orang. Dengan kata lain,
pola perilakuagresi seseorang dibentuk oleh faktor pengendalian diri
individu tersebut (internal control) serta berbagai stimulus dari luar
(impulses). Saat keseimbangan antara kemampuan pengendalian diri
dan besarnya stimulus terganggu, maka akan membangkitkan perilaku
agresi.
Agresi sendiri dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu :
a) Irritable Aggression
Tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah. Biasanya diinduksi
oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada proses penerimaan
dan memahami informasi dengan intensitas emosional tinggi (directed
against an available target).
b) Instrumental Aggression
Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai suatu
tujuan tertentu (misalnya untuk mencapai suatu tujuan politik tertentu
dilakukan tindak kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan
terencana; seperti peristiwa penghancuran menara kembar WTC di
New York, tergolong dalam kekerasan instrumental).
c) Mass Aggression
Tindakan agresi yang dilakukan oleh massa akibat kehilangan
individualitas dari masing-masing individu. Pada saat massa
berkumpul, selalu terjadi kecenderungan kehilangan individualitas
orang-orang yang membentuk kelompok massa tersebut. Manakala
massa tersebut telah solid, maka bila ada seseorang memelopori tindak
kekerasan, maka secara otomatis semua akan ikut melakukan
kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasikan tindak kekerasan
tersebut bisa saja melakukan agresi instrumental (sebagai provokator )
maupun agresi permusuhan karena kemarahan tidak terkendali (Keliat,
2018).
3. Rentang Respon Marah
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan
mempersulit diri-sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal.
Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruktif pada waktu
terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti
perasaan yang sebenarnya. Oleh karenanya, perawat harus pula
mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah.
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman (Stuart dan Sundeen, 2017).
Secara umum,rentang respon adapatif dan maladaptif merupakan
bagian dari rentang respon sosial,dimana pembagian adalalah sebagai
berikut  :
1) Respon adaptif merupakan respon yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di
masyarakat dan individu dalam menyelesaikan masalahnya, dengan
kata lain respon adaptif adalah respon atau masalah yang masih dapat
di toleransi atau masih dapat di selesaikan oleh kita sendiri dalam batas
yang normal.
2) Respon maladaptif merupakan respon yang diberikan individu dalam
menyelesaikan masalahnya menyimpang dari norma - norma dan
kebudayaan suatu tempat atau dengan kata lain di luar batas individu
tersebut.

Adaptasi Maldaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

Menurut Stuart & Sundeen (2017) rentang respon marah yaitu :


1. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada
individu dan tidak menimbulkan masalah.
2. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan
karena tidak reakstis atau hambatan dalam proses percakapan tujuan.
3. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya,
pasien tampak pemalu, pendiam sulit diajak bicara karena rendah diri
dan merasa kurang mampu.
4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan
dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih
terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa : muka kusam , bicara
kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.
5. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan
kontrol diri, individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
4. Penyebab Risiko Perilaku Kekerasan
Menurut Muhith (2017), penyebab perilaku kekerasan ada dua faktor
antara lain.
a) Faktor Predisposisi
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dan dianiaya.,
sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai
tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi
frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika tidak mampu
mengendalikan frustasi tersebut maka dia meluapkannya dengan
cara kekerasan.

2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah,
semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permisive).
4) Biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorngan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobilogi mendapatkan
bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada
hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik) binatang
ternyata menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang
diberikan terutama pada neukleus periforniks hipotalamus dapat
menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat
ekornya, mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka
lebar, pupil berdilatasi, hendak menerkam tikus atau objek yang
ada di sekitarnya. Jadi, terjadi kerusakan fungsi sistem limbik
(untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran
rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuman
dan memori). Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan
perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepineprin, asetilkolin, dan
asam amino GABA. Faktor-faktor yang mendukung adalah ; 1)
masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan, 2) sering mengalami
kegagalan, 3) kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan 4)
lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)
b) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang
kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula
dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah
pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan
kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang
provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu
mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini
tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa
rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan
sebagainya. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian
diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal
diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan
negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal
mencapai keinginan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang rebut, padat,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai, pekerjaan dan kekerasan merupakan factor penyebab yang
lain. Intraksi social yang provokatif dan konflik dapat pula memicu
tindakan kekerasan.
5. Tanda dan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan
Stuart & Sundeen (2016) mengemukakan bahwa tanda dan gejala
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras

c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang
lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
6. Penatalaksanaan Medis
a) Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Jenis obat
psikofarmaka adalah :
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan
gejala-gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita
skizofrenia, mania depresif, gangguan personalitas, psikosa
involution, psikosa masa kecil.
2) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma
gilles de la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada
gangguan perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa
1-6 mg sehari yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat.
Kontraindikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma,
penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek
samping nya sering mengantuk, kaku, tremor lesu, letih, gelisah.
3) Trihexiphenidyl (TXP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya
gejala skizofrenia.
4) ECT (Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall
secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode
yang dipasang satu atau dua temples.Therapi kejang listrik
diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan denga terapi
neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5
joule/detik.
b) Tindakan Keperawatan
Penatalaksanaan pada pasien dengan perilaku kekerasanmeliputi
(VIdebeck,2017) :
1) Terapi Modalitas
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua pasien ketika mencoba mengurangi
atau menghilangkan agresif.Aktivitas atau kelompok yang
direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan
mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan
pasien kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu
ketika pasien tenang. Aktivitas juga melibatkan pasien dalam
proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan pasien
menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap pasien dan
kesiapan untuk mendengarkan masalah pikiran serta perasaan
pasien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan
rasa aman pasien (Videbeck, 2017).
b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, pasien berpartisipasi dalam sesi
bersama dalam kelompok individu. Para anggota kelompok
bertujuan sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada
kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat
bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan
harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Dengan menjadi
anggota kelompok, pasien dapat mempelajari cara baru
memandang masalah atau cara koping atau menyelesaikan
masalah dan juga membantunya mempelajari keterampilan
interpersonal yang penting (Videbeck, 2017).
c) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan pasien dan anggota keluarganya. Tujuannya
ialah memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi pasien, memobilisasi kekuatan dan sumber
fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga
yang maladaptive, dan menguatkan perilaku penyelesaian
masalah keluarga (Steinglass dalam Videbeck, 2017).
d) Terapi Individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap,
cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan
personal antara ahli terapi danpasien .Tujuan dari terapi
individu yaitu memahami diri dan perilaku mereka sendiri,
membuat hubungan personal, memperbaiki hubungan
interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit hati atau
ketidakbahagiaan.
Hubungan antara pasien dan ahli terapi terbina melalui
tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-pasien yaitu
introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya
yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan
lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat pasien
ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang
mungkin dari terapi (Videbeck, 2017).
7. Hal-hal yang Dapat dilakukan Apabila Mempunyai Keluarga dengan
Risko Perilaku Kekerasan
a) Mengadakan kegiatan bermanfaat yang dapat menampung potensi dan
minat bakat anggota keluarga yang mengalami perilaku
kekerasansehingga diharapkan dapat meminimalisir kejadian perilaku
kekerasan.
b) Bekerja sama dengan pihak yang berhubungan dekat dengan pihak-
pihak terkait contohnya badan konseling, RT, atau RW dalam
membantu menyelesaiakan konflik sebelum terjadi tindakan
kekerasan.
c) Mengadakan kontrol khusus dengan perawat /dokter yang dapat
membahas dan melaporkan perkembangan anggota keluarga yang
mengalami risiko pelaku kekerasan terutama dari segi kejiwaan antara
pengajar dengan pihak keluarga terutama orangtua.
8. Peran Keluarga dalam Penanganan Perilaku Kekerasan
a. Mencegah terjadinya perilaku amuk :
1) Menjalin komunikasi yang harmonis dan efektif antar anggota
keluarga
2) Saling memberi dukungan secara moril apabila ada anggota
keluarga yang berada dalam kesulitan
3) Saling menghargai pendapat dan pola pikir
4) Menjalin keterbukaan
5) Saling memaafkan apabila melakukan kesalahan
6) Menyadari setiap kekurangan diri dan orang lain dan berusaha
memperbaiki kekurangan tersebut
7) Apabila terjadi konflik sebaiknya keluarga memberi kesempatan
pada anggota keluarga untuk mengugkapkan perasaannya untuk
membantu kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
8) Keluarga dapat mengevaluasi sejauh mana keteraturan minum
obat anggota dengan risiko pelaku kekerasan dan mendiskusikan
tentang pentingnya minum obat dalam mempercepat
penyembuhan.
9) Keluarga dapat mengevaluasi jadwal kegiatan harian atas kegiatan
yang telah dilatih di rumah sakit.
10) Keluarga memberi pujian atas keberhasilan pasien untuk
mengendalikan marah.
11) Keluarga memberikan dukungan selama masa pengobatan
anggota keluarga risiko pelaku kekerasan.
12) Keluarga menyiapkan lingkungan di rumah agar meminimalisir
kesempatan melakukan perilaku kekerasan

b. Mengontrol Perilaku Kekerasaan dengan mengajarkan pasien :


1) Menarik nafas dalam
2) Memukul-mukul bantal
3) Bila ada sesuatu yang tidak disukai anjurkan pasien mengucapkan
apa yang tidak disukai pasien
4) Melakukan kegiatan keagamaan seperti sembahyang.
5) Mendampingi pasien dalam minum obat secara teratur.
6) Bila pasien dalam Perilaku Kekerasan
Meminta bantuan petugas terkait dan terdekat untuk membantu
membawa pasien ke rumah sakit jiwa terdekat. Sebelum dibawa
usahakan dan utamakan keselamatan diri pasien dan penolong.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Risiko Perilaku Kekerasan
1. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa factor
presipitasi, penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki klien. Setiap
melakukan pengajian ,tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi
pengkajian meliputi :
a. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
pekerjaan, pendidikan, tangggal MRS, informan, tangggal pengkajian,
No Rumah klien dan alamat klien.
b. Keluhan utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain)
komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak
interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari-hari,
dependen.
c. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok
sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba
misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus sekolah,
PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan,
tituduh kkn, dipenjara tiba-tiba) perlakuan orang lain yang tidak
menghargai klien/perasaan negatif terhadap diri sendiri yang
berlangsung lama.
d. Pemeriksaan Fisik
a. Rambut: Keadaan kesuburan rambut, keadaan rambut yang mudah
rontok, keadaan rambut yang kusam, keadaan tekstur.
b. Kepala: Adanya botak atau alopesia, ketombe, berkutu, kebersihan.
c. Mata: Periksa kebersihan mata, mata gatal atau mata merah
d. Hidung: Lihat kebersihan hidung, membran mukosa
e. Mulut: Lihat keadaan mukosa mulut, kelembabannya, kebersihan
f. Gigi: Lihat adakah karang gigi, adakah karies, kelengkapan gigi
g. Telinga: Lihat adakah kotoran, adakah lesi, adakah infeksi
h. Kulit: Lihat kebersihan, adakah lesi, warna kulit, teksturnya,
pertumbuhan bulu.
i. Genetalia: Lihat kebersihan, keadaan kulit, keadaan lubang uretra,
keadaan skrotum, testis pada pria, cairan yang dikeluarkan
e. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan, TB, BB) dan
keluhan fisik yang dialami oleh klien.
f. Aspek Psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
a) Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau
yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh,
persepsi negatif tentang tubuh.Preokupasi dengan bagian tubuh
yang hilang, mengungkapkan keputusasaan, mengungkapkan
ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan
dan tidak mampu mengambil keputusan.
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya :
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat,
mencederai diri, dan kurang percaya diri.
3) Hubungan social
Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat, hambatan dalam
berhubungan dengan orang lain.
4) Spiritual
Nilai dan keyakinan, kegiatan beribadah.
g. Status mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak
mata, kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan
kurang mampu berhubungan dengan orang lain, adanya perasaan
keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
h. Kebutuhan persiapan pulang
1) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
2) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan
WC, membersikan dan merapikan pakaian.
3) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
4) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas
didalam dan diluar rumah
5) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
i. Mekanisme koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau
menceritakan nya pada orang orang lain (lebih sering menggunakan
koping menarik diri).
j. Masalah psikososial dan lingkungan
Data dapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya. Pada tiap
masalah yang dimilki klien, beri uraian spesifik, singkat dan jelas.
k. Pengetahuan
Data dapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya. Pada tiap
item yang dimiliki oleh klien simpulkan dalam masalah.
l. Aspek medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,
Psikomotor, therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.
Analisa Data
Data Fokus Masalah Keperawatan
Data Subjetif : Risiko Perilaku Kekerasan
- Pasien mengatakan pernah
melakukan tindak kekerasan
- Pasien mengatakan sering
merasa marah
- Suara keras dan bicara ketus
- Nada suara tinggi
Data Objektif
- Pasien tampak tegang saat
bercerita
- Pembicaraan pasien kasar jika
menceritakan marahnya
- Mata melotot, Pandangan
tajam
- Nada suara tinggi
- Tangan mengepal
- Berteriak
- Mudah tersinggung
Data Subjektif Ketidakmampuan Koping Keluarga
- Pasien mengatakan merasa
diabaikan
Data Objektif
- Mengabaikan anggota
keluarga
- Tidak memenuhi kebutuhan
anggota keluarga
- Perilaku menyerang
- Perilaku menghasut
- Perilaku menolak
- Perilaku bermusuhan
Data Subjektif Resiko mencederai diri sendiri,
- Pasien mengatakan memiliki orang lain, dan lingkungan
riwayat dianiaya oleh ayahnya
dan menganiaya istrinya.
- Pasien mengatakan jalan
untuk mengatasi masalah
adalah dengan cara kekerasan.
Data Objektif
- Hubungan pasien dengan
keluarga tampak sangat tidak
harmonis

Pohon Masalah
Risiko Mencederai diri Effect
Sendiri, Orang lain dan Lingkungan

Defisit perawatan Harga diri rendah


diri

Risiko Perilaku Kekerasan Core problem

Halusinasi Waham

faktor predisposisi : psikologis, perilaku


sosoal budaya, biologis Cause
faktor presipitasi : diri sendiri,
lingkungan, orang lain
Daftar Masalah
Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada
perilaku kekerasan yaitu :
a. Risiko Perilaku Kekerasan
b. Ketidakmampuan koping keluarga
c. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
2. Diagnosa Keperawatan
Risiko Perilaku Kekerasan

3. Rencana Tindakan Keperawatan


Tgl/Wa Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan
ktu Kep. Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Senin, Perilaku TUM : Setelah diberikan SP I :
10 Kekerasan Pasien tidak lagi melakukan tindakan keperawatan 1 1. Identifikasi
Septem tindakan kekerasan. x 20 menit diharapkan tanda dan ge
ber TUK 1 : pasien dapat akibat
2018 Pasien dapat mengidentifikasi kekerasan
08.00 mengidentifikasi penyebab dan tanda dirasakan pasi
penyebab dan tanda perilaku kekerasan
perilaku kekerasan dengan kriteria hasil : 2. Latih cara m
yang dirasakan pasien. 1. Pasien teknik fisik 1
menyebutkan
a. Penyebab
perilaku
kekerasan
b. Tanda dan gejala 3. Masukkan
perilaku jadwal harian
kekerasan,
c. Akibat dari
perilaku
kekerasan
2. Pasien dapat
memperagakan
cara mengontrol
perilaku kekerasan
dengan cara
melakukan teknik
nafas dalam.

TUK 2 : Setelah diberikan SP II :


- Menyebutkan jenis- tindakan keperawatan 1 1. Evaluasi kegi
jenis perilaku x 20 menit diharapkan lalu (SP 1)
kekerasan yang pasien dapat
pernah dilakukan menyebutkan jenis-
jenis perilaku
kekerasan yang pernah 2. Latih cara ver
dilakukan degan
kriteria hasil :
1. Pasien dapat 3. Masukkan
menyebutkan jadwal harian
kegiatan yang
sudah dilakukan
2. Pasien dapat
memperagakan
cara fisik untuk
mengontrol
perilaku
kekerasan.

TUK 3 : Setelah diberikan SP 3 :


Menyebutkan akibat dari tindakan keperawatan 1 1. Evaluasi kegi
perilaku kekerasan yang x 15 menit diharapkan lalu ( SP 1 dan
dilakukan pasien mampu
menyebutkan akibat
dari perilaku kekerasan
yang dilakukan degan
kriteria hasil : 2. Latihan spiritu
Kriteria evaluasi :
1. Menyebutkan
kegiatan yang
sudah dilakukan

3. Masukkan
jadwal harian

TUK 4 : Setelah diberikan SP IV :


Menyebutkan cara tindakan keperawatan 1 1. Evaluasi kegi
mengontrol prilaku x 15 menit diharapkan lalu ( SP 1,
kekerasan. pasien mampu SP 3)
menyebutkan cara
mengontrol perilaku 2. Latih patuh
kekerasan dengan obat
kriteria hasil :
1. Pasien mampu 3. Masukkan
menyebutkan jadwal harian
kegiatan yang sudah
dilakukan
2. Pasien dapat
memperagakan cara
spiritual
4.    Implementasi Keperawatan
Impelentasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi.
5.    Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan mencakup pengumpulan data subjektif dan
objektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau
belum, evaluasi membandingkan keadaan yang ada pada pasien dengan kriteria hasil pada
perencaan. Evaluasi menggunakan sistem SOAP (Subjektif, Objektif, Analisis, Planing).
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, D & Rusdi. 2016. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing
Keliat, B. A. 2017. Model Praktek Keperawatan profesional Jiwa. Jakarta: EGC
Muhith, A.2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : CV Andi
Offset
Videbeck, Sheila L. 2016. Buku ajar keperawatan jiwa.Jakarta :EGC
Yosep, I. 2017. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

OLEH :

NAMA : NI KETUT YULIANA


NIM : 17.321.2686
KELAS : A11-A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
2019/2020

Anda mungkin juga menyukai