Anda di halaman 1dari 7

Utang piutang merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kegiatan ekonomi yang dikembangkan dan

berlaku di masyarakat. Sebagai kegiatan ekonomi masyarakat, utang piutang bisa berlaku pada seluruh
tingkatan masyarakat baik masyarakat kuno maupun masyarakat modern. Berdasarkan pemikiran ini,
utang piutang dapat diperkirakan telah ada dan dikenal oleh masyarakat yang ada di bumi ini ketika
mereka berhubungan antara satu orang dengan orang lainnya mempunyai sisi-sisi sosial yang sangat
tinggi.

Dalam konsep Islam, utang piutang merupakan akad (transaksi ekonomi) yang mengandung nilai
ta‟awun (tolong menolong). Dengan demikian utang piutang dapat dikatakan sebagai ibadah sosial yang
dalam pandangan Islam juga mendapatkan porsi tersendiri. Utang piutang juga memiliki nilai luar biasa
terutama guna bantu membantu antar sesame yang bagi yang tidak mampu secara ekonomi atau
sedang membutuhkan. Keinginan yang begitu baik, maka tujuan utang piutang tolong menolong,
transaksi ini terlepas dari unsur komersial dan usaha yang berorientasi pada keuntungan. Kata utang
dalam penyebutanya terdapat dua buah kata, yakni kata dayn dan kata qardh. Dalam tulisan ini penulis
akan mencoba membahas beberapa permasalahan yang

menyangkut tentang utang dengan melampirkan dalil Al- Quran dan Hadis sebagai penguat dalam
pembahasannya.

Struktur keuangan syari’ah berkisar pada larangan atas penghasilan apa pun yang berasal dari pinjaman
(utang) adalah berupa riba, namun keuangan syari’ah melegalkan laba yang diperoleh dari transaksi
yang riil. Dalam konteks keuangan syari’ah, pinjaman akan dianggap sebagai transaksi moneter atau
finansial. Dalam hal ini, uang hanya berpindah tangan dengan suatu jaminan pembayaran kembali
sepenuhnya tanpa adanya imbalan bagi pihak yang memberi pinjaman. Pinjaman di dalam islam tidak
dianggap sebagai investasi.

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Utang Piutang

Dalam masyarakat Indonesia, selain dikenal istilah utang piutang juga dikenal istilah kredit. Utang
piutang biasanya digunakan oleh masyarakat dalam kontek pemberian pinjaman pada pihak lain.
Seseorang yang meminjamkan hartanya pada orang lain maka ia dapat disebut telah memberikan utang
padanya. Sedangkan istilah kredit lebih banyak digunakan oleh masyarakat pada transaksi perbankan
dan pembelian yang tidak dibayar secara tunai. Secara esensial, antara utang dan kredit tidak jauh beda
dalam pemaknaannya di masyarakat.

Selain itu, utang piutang sangat terkait dengan pemberian pinjaman dari pihak lain sebagai metoda
transaksi ekonomi di masyarakat. Sedangkan kredit secara umum lebih mengarah pada pemberian
pinjaman dengan penambahan nilai dalam pengembalian. Hal ini dikarenakan istilah kredit lebih banyak
digunakan dalam dunia perbankan.

Sedangkan dalam terminologi fiqh mu’amalah, utang piutang disebut dengan “dain”. Istilah “dain” ini
juga sangat terkait dengan istilah “qard” yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman. Dari
sini nampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara “dain” dan “qard” dalam bahasa fiqh
mu’amalah dengan istilah utang piutang dan pinjaman dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pemikiran
di atas, maka dalam mengkaji masalah utang piutang, kredit, pinjaman, pembiayaan ataupun qard harus
dijelaskan satu persatu agar jelas perbedaan dan persamaannya.

Pertama, dalam terminologi fiqh mu’amalah, pinjaman yang mengakibatkan adanya utang disebut
dengan “qard”. “Qard dalam pengertian fiqh diartikan sebagai perbuatan memberikan hak milik untuk
sementara waktu oleh seseorang pada pihak lain dan pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan
memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan tanpa mengambil imbalan, dan pada
waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya kepada pihak pemberi
pinjaman (Jamali”, 1992: 162).

Kedua, dalam bahasa perbankan pemberian utang atau pembiayaan disebut dengan “kredit”. “Kata
“kredit” secara kebahasaan berasal dari kata credo yang dalam pengertian keagamaan berarti
kepercayaan. Adapun pengertian kata credo yang terkait dengan masalah financial adalah memberikan
pinjaman uang atas dasar kepercayaan” (Karim, 2001: 109).

Utang dalam pengertian masyarakat berarti menerima pinjaman dari pihak lain yang harus dikembalikan
sesuai dengan perjanjian yang dilakukan ketika transaksi. Secara umum, ketiga istilah di atas tidak
mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Adanya perbedaan istilah antara utang, kerdit, dan dain
hanya perbedaan bahasa saja yang dalam pengertian umum masyarakat tidak berbeda. Sedangkan
perbedaan antara pinjaman, pembiayaan, dan qard juga demikian.

Adanya perbedaan pengertian yang disampaikan oleh para pakar hukum, baik pakar hukum Islam,
maupun para pakar perbankan di dunia dan Indonesia tidak menunjukkan adanya perbedaan
pemaknaan. Perbedaan yang terjadi biasanya hanya dalam redaksional pemberian definisi saja. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa pengertian qard yang disampaikan beberapa pakar hukum Islam (fuqaha’)
sebagai berikut;

1. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi “qard sebagai harta yang diberikan
oleh pemberi pinjaman kepada penerima dengan syarat penerima pinjaman harus mengembalikan
besarnya nilai pinjaman pada saat mampu mengembalikannya” (Sabiq, 1987: 144).

2. Abdullah Abdul Husain at-Tariqi memberikan pengertian “qard sebagai pembayaran harta pada orang
yang memanfaatkan kemudian ada ganti rugi yang dikembalikan dengan syarat harus sesuai dengan
harta yang dibayarkan pertama kali kepada yang menerimanya” (Tariqi, 2004: 268).

3. Berbeda dengan pengertian-pengertian di atas, Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan “utang piutang


dengan akad yang dilakukan oleh dua orang di mana salah satu dari dua orang tersebut mengambil
kepemilikan harta dari lainnya dan ia menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia
harus mengembalikan barang tersebut senilai dengan apa yang diambilnya dahulu. Berdasarkan
pengertian ini maka “qard” memiliki dua pengertian yaitu; “i’arah” yang mengandung arti tabarru’ atau
memberikan harta kepada orang dasar akan dikembalikan, dan pengertian mu’awadlah, karena harga
yang diambil bukan sekedar dipakai kemudian dikembalikan, tetapi dihabiskan dan dibayar gantinya”
(Shiddieqy, 1997: 103).

B. Dasar Hukum Utang Piutang


Utang piutang secara hukum dapat didasarkan pada adanya perintah dan anjuran agama supaya
manusia hidup dengan saling tolong menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan.
Surat al-Ma’idah ayat 2 Allah berfirman;

Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan dalam melaksanakan takwa, dan jangan kamu bertolong-
tolongan dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, Allah sangat keras hukumannya
(Dahlan, 2000: 187).

Dalam transaksi utang piutang terdapat nilai luhur dan cita-cita sosial yang sangat tinggi yaitu tolong
menolong dalam kebaikan. Dengan demikian, pada dasarnya pemberian utang atau pinjaman pada
seseorang harus didasari niat yang tulus sebagai usaha untuk menolong sesama dalam kebaikan. Ayat ini
berarti juga bahwa pemberian utang atau pinjaman pada seseorang harus didasarkan pada pengambilan
manfaat dari sesuatu pekerjaan yang dianjurkan oleh agama atau jika tidak tidak ada larangan dalam
melakukannya.

Selanjutnya, dalam transaksi utang piutang Allah memberikan rambu-rambu agar berjalan sesuai prinsip
syari’ah yaitu menghindari penipuan dan perbuatan yang dilarang Allah lainnya. Pengaturan tersebut
yaitu anjuran agar setiap transaksi utang piutang dilakukan secara tertulis. Ketentuan ini terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut;

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertransaksi atas dasar utang dalam waktu yang telah
ditentukan, tulislah. Hendaklah seorang penulis diantaramu menulis dengan benar, dan janganlah dia
enggan menulisnya sebagaimana yang telah diajarkan Allah. (Dahlan, 2000: 84).

Karena pemberian utang pada sesama merupakan perbuatan kebajikan, maka seseorang yang memberi
pinjaman, menurut pakar hukum Islam, tidak dibolehkan mengambil keuntungan (profit). Yang menjadi
pertanyaan selanjutnya, keuntungan apa yang diperoleh pemberi utang atau pemberi pinjaman?
Tentang hal ini Allah menjawab dalam surat al-Hadid ayat 11 sebagai berikut;

Barang siapa yang meminjami Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipat gandakan baginya dan di
sisi-Nya pahala berlimpah dan lebih mulia. (Dahlan, 2000: 975).

Selain dasar hukum yang bersumber dari al-Qur’an sebagaimana di atas, pemberian utang atau
pinjaman juga didasari Hadiŝ Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut;

Barang siapa yang memberikan pinjaman pada seorang muslim dua kali maka tidak lain pahalanya
kecuali seperti pemberian shadaqah satu kali.

Dalam sabda Rasulullah yang lain, Ibnu Majah juga meriwayatkan sebagai berikut;

Saya melihat pada waktu di-isra’-kan, pada pintu surga tertulis “Pahala shadaqah sepuluh kali lipat dan
pahala pemberian utang delapan belas kali lipat” lalu saya bertanya pada Jibril “Wahai Jibril, mengapa
pahala pemberian utang lebih besar?” Ia menjawab “Karena peminta-minta sesuatu meminta dari orang
yang punya, sedangkan seseorang yang meminjam tidak akan meminjam kecuali ia dalam keadaan
sangat membutuhkan”.

Di sisi lain, Allah memberikan aturan yang tegas dalam utang piutang yang merupakan bagian dari
transaksi ekonomi (mu’amalah maliyah). Ketegasan aturan transaksi ekonomi tersebut tercermin dalam
firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 29 sebagai berikut;
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta yang beredar diantaramu secara
bathil, kecuali terjadi transaksi suka sama suka. Jangan pula kamu saling membunuh. Allah sangat saya
kepadamu semuanya. (Dahlan, 2000: 146).

Salah satu transaksi yang termasuk baţil adalah pengambilan riba. Riba berdasarkan penjelasan para
mufassir, baik dalam bentuk definisi maupun gambaran praktis di masa Jahiliyyah, menurut Qardhawi
(2001: 76-78), maka riba yang maksud dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Riba itu terjadi karena transaksi pinjam meminjam atau hutang piutang

2. Ada tambahan dari pokok pinjaman ketika pelunasan

3. Tambahan dimaksud, dimaksudkan terlebih dahulu

4. Tambahan itu diperhitungkan sesuai dengan limit waktu peminjaman.

Dalam perspektif ekonomi, (Razi, 1938: 87-88) mengemukakan ulasan yang cukup baik dalam
mengungkap sebab dilarangnya riba. Sebab-sebab tersebut antara lain:

1. Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain tanpa ada imbalan. Boleh
saja orang berdalih bahwa keuntungan akan diperoleh seandainya harta yang dipinjamkan pada orang
lain itu dijadikan modal dagang. Tetapi keuntungan yang akan diperoleh pihak peminjam itu sifatnya
belum pasti. Sebaliknya, pemungutan “tambahan” oleh pemberi pinjaman itu adalah hal yang pasti,
tanpa resiko.

2. Riba menghalangi pemodal ikut berusaha mencari rezeki karena ia dengan mudah membiayai
hidupnya dengan bunga, hal ini akan mengakibatkan distorsi dalam masyarakat.

3. Bila diperbolehkan, maka masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya, tidak segan
meminjam uang walaupun sangat tinggi bunganya. Hal ini akan mengelmiinir sifat tolong menolong,
saling menghormati dan perasaan berhutang budi.

4. Dengan riba, pemilik modal akan semakin kaya, sementara pihak peminjam akan semakin miskin. Jadi
riba bisa menjadi media bagi orang kaya untuk menindas orang miskin.

5. Larangan riba sudah ditetapkan oleh nas, dimana tidak harus seluruh rahasia tuntutannya diketahui
oleh manusia. Keharamannya itu pasti, kendati orang tidak mengetahui persis segi pelarangannya.

C. Prinsip-prinsip Dasar Utang Piutang

Utang piutang merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kegiatan ekonomi yang dikembangkan dan
berlaku di masyarakat. Sebagai kegiatan ekonomi masyarakat, utang piutang mempunyai sisi-sisi sosial
yang sangat tinggi. Selain itu, utang piutang juga mengandung nilai-nilai sosial yang cukup signifikan
untuk pengembangan perekonomian masyarakat.

Islam sebagai agama yang universal dan menyeluruh (kamil dan syamil), memandang kegiatan ekonomi,
di mana utang piutang juga termasuk di dalamnya, sebagai tuntutan kehidupan manusia. Di sisi lain,
kegiatan ekonomi merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan dan memiliki dimensi ibadah dalam
intensitas yang cukup signifikan (Lubis, 2000: 1)
Dalam konsep Islam, utang piutang merupakan akad (transaksi ekonomi) yang mengandung nilai
ta’awun (tolong menolong). Dengan demikian utang piutang dapat dikatakan sebagai ibadah sosial yang
dalam pandangan Islam juga mendapatkan porsi tersendiri. Utang piutang juga memiliki nilai luar biasa
terutama guna bantu membantu antar sesama yang kebetulan tidak mampu secara ekonomi atau
sedang membutuhkan. Dari sini maka utang piutang dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk transaksi
yang mengandung unsur ta’abbudi (Karim, 1997: 38)

Secara mendasar, karena sifat dan tujuan utang piutang tolong menolong, maka transaksi ini terlepas
dari unsur komersial dan usaha yang berorientasi pada keuntungan (profit orientit). Sebagai contoh, A
mengutangkan sejumlah uang atau barang pada B, jika tujuannya didasarkan atas niat tolong menolong,
maka A tidak boleh mengharapkan keuntungan apapun dari B. Secara lahiriah, dalam konsep dasar di
atas, A yang mengutangkan uangnya itu memberikan sesuatu pada B tanpa meminta imbalan material
sedikitpun. Kenyataan terlihat bahwa B sebagai pihak yang berutang tidak diwajibkan secara material
membayar lebih ketika mengembalikan uang yang dipinjamkannya pada A, dan bahkan B itu secara
leluasa diberi wewenang untuk memanfaatkan uang itu. Karena itulah para ulama’ berpendapat bahwa
utang piutang itu hukum asalnya sunnah (Karim, 1997: 38).

Sebagai salah satu bentuk transaksi ekonomi, utang piutang bisa berlaku pada seluruh tingkatan
masyarakat baik masyarakat kuno maupun masyarakat modern. Berdasarkan pemikiran ini, utang
piutang dapat diperkirakan telah ada dan dikenal oleh masyarakat yang ada di bumi ini ketika mereka
berhubungan antara satu orang dengan orang lainnya.

Dalam kajian fiqh, seseorang yang meminjamkan uang pada orang lain tidak boleh meminta manfaat
apapun dari yang diberi pinjaman, termasuk janji dari si peminjam untuk membayar lebih. Larangan
pengambilan manfaat ini telah banyak dikemukakan oleh para pakar fiqh yang salah satunya Wahbah
Zuhaily (Zuhaily, 1989: 475). Larangan pengambilan manfaat dari yang diberi pinjaman ini besumber dari
kaedah sabda Rasulullah berikut;

Setiap transaksi pinjam meminjam yang mengambil manfaat dari yang diberi pinjaman maka itu masuk
kategori riba.

Namun apabila pihak yang menerima pinjaman ketika mengembalikan pada waktu yang telah
ditentukan menambahkan dengan yang lebih baik yang tidak disertai syarat-syarat tertentu baik
sebelum maupun sesudahnya, maka hal itu termasuk perbuatan yang baik. Pada era modern ini, hal
inilah yang sering dipraktekkan dalam bank syari’ah. Dalam bank syari’ah hal ini diterapkan dengan
bentuk produk qard al-hasan (Karim, 2001: 109-110).

Berdasarkan ayat-ayat tentang utang piutang sebagaimana di atas, maka dalam transaksi utang piutang
terdapat illat (alasan) hukum yakni tolong menolong dalam kebaikan dan takwa sehingga dianjurkan
atau tolong menolong dalam dosa sehingga perbuatan tersebut dilarang. Bahkan lebih dari itu dapat
diketahui apakah utang piutang menjadi wajib, sunnah, makruh atau haram. Hal ini disebabkan karena
illat hukum yang ada menentukan ada tidaknya suatu hukum dalam sebuah peristiwa hukum (Djamil,
1995: 48).

Sehubungan illat hukum tersebut, transaksi utang piutang bisa wajib atas seseorang jika ia mempunyai
kelebihan harta untuk meminjamkannya pada orang yang sangat membutuhkan. Maksud dari
membutuhkan di sini adalah seseorang yang apabila itu tidak diberi pinjaman menyebabkan ia teraniaya
atau akan berbuat sesuatu yang dilarang agama seperti mencuri karena ketiadaan biaya untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya atau ia akan mengalami kebinasaan. Kondisi inilah yang menyebabkan
utang piutang menjadi wajib dan harus dikerjakan walaupun oleh satu orang saja (Karim, 1997: 38-39).

Hukum utang piutang bisa juga haram apabila diketahui bahwa dengan berutang seseorang bermaksud
menganiaya orang yang mengutangi atau orang yang berutang tersebut akan memanfaatkan orang yang
diutanginya untuk berbuat maksiat. Dalam kasus demikian, maka utang piutang yang berorientasi pada
perbuatan tolong menolong dalam kemaksiatan. Maka dari itu, berdasarkan pada kondisi yang amat
bervariasi, hukum utang piutang pun amat bervariasi pula, seperti wajib, haram, makruh dan mubah
(Karim, 1997: 38-39).

Dalam konteks hukum Islam, utang piutang atau pinjam meminjam termasuk dalam kategori fiqh
mu’amalah. Dengan demikian prinsip-prinsip Islam yang diterapkan dalam utang piutang atau pinjam
meminjam ini adalah prinsip-prinsip fiqh mu’amalah. Pengetahuan prinsip-prinsip fiqh mu’amalah ini
penting terutama untuk melakukan kajian terhadap transaksi ekonomi modern saat ini yang lebih
cenderung dikerjakan oleh lembaga perbankan.

Basyir (2000: 15-16) menemukan rumusan prinsip-prinsip fiqh mu’amalah sebagai berikut;

1. Pada dasarnya segala bentuk mu’amalah (transaksi) hukumnya mubah, kecuali yang ditentukan lain
oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam memberikan
kesempatan seluas-luasnya dalam pengembangan bentuk dan macam-macam transaksi baru sesuai
dengan perkembangan kebutuhan hidup dari suatu masyarakat.

2. Mu’amalah (transaksi) dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan. Prinsip
ini mengingatkan agar kebebasan kehendak para pihak yang melakukan transaksi harus selalu menjadi
perhatian utama. Pelanggaran terhadap kebebasan kehendak ini akan berakibat pada tidak dapat
dibenarkannya sesuatu traksaksi yang dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang dipaksa menjual
rumah kediamannya, namun ia sebenarnya masih menginginkan untuk tetap tinggal di situ dan tidak ada
sesuatu yang mengharuskan ia menjualnya, maka transaksi tersebut batal demi hukum.

3. Mu’amalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari bahaya
(madarat) dalam kehidupan masyarakat. Prinsip ini menghendaki bahwa suatu transaksi harus dilakukan
berdasarkan pertimbangan pengambilan manfaat dan menghindari bahaya dalam hidup, baik untuk satu
pihak maupun kedua belah pihak. Salah satu bentuk transaksi yang berakibat pada penyebaran bahaya
di masyarakat adalah transaksi narkotika.

4. Mu’amalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan,


dan unsur-unsur yang mengarah pada pengambilan kesempatan dalam kesempitan (maisir, riba, gharar,
dan bathil). Prinsip ini menentukan bahwa segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penindasan
dan kesewang-wenangan tidak dibenarkan dalam Islam. Contoh, dalam kasus utang piutang harus
memberikan jaminan berupa barang. Untuk jumlah pinjaman yang lebih kecil barangnya lebih kecil atau
untuk utang yang besar dengan barang yang besar pula.

Tentang riba, mayoritas Fuqaha’ membaginya pada dua macam, yaitu riba nasi’ah dan riba fadl. Sedang
mazhab Syafi’i membagi riba menjadi tiga, yaitu riba fadl, nasi’ah dan yad. Ayat Al-Qur’an yang ditunjuk
sebagai dalil dilarangnya kedua macam riba tersebut adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Baqarah
dan Ali Imran, tetapi dalam pengulasannya, ada kesan bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang riba
nasi’ah sesuai dengan kasus-kasus riba jahiliyyah yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut
(Antonio, 2001: 41).

Rumusan riba nasi’ah seperti telah dikemukakan itu dapat mendeskripsikan bentuk formal praktek riba
jahiliyyah secara tepat. Kegiatan ekonomi yang mengandung unsur “kerugian sepihak” dan “dzulm”
sebagai hakikat riba itu, nampaknya sampai masa fuqaha’, formulanya tetap. Artinya, setiap “tambahan
atas pokok pinjaman” itu dapat dipastikan akan mendatangkan zulm (Zein, 2004: 198)

Demikian mapannya rumusan riba nasi’ah itu, menurut Dumairi (1992: 112) sehingga para fuqaha’ tidak
lagi sempat memikirkan “apa sebab riba mendatangkan kesengsaraan” perhatian mereka tertuju pada
pencarian ‘illat, benda-benda apa yang boleh atau tidak boleh diperjualbelikan dengan tenggang waktu,
padahal di zaman modern ini, orang tidak lagi jual beli kurma dengan gandum, atau garam dengan
garam, misalnya, hampir semua teransaksi, baik jual beli, penyimpanan maupun peminjaman, tidak lagi
dilakukan dengan barang, melainkan dengan uang sesuai dengan fungsinya sebagai standar harga dan
sarana pertukaran barang (medium of exchange).

DAFTAR PUSAKA

Iska, Sukri. Sistem Perbankan Sayriah di Indonesia dama

Persperspektik Fikih Ekonomi , Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012.

Huda, Nurul at.al. Dalam Keuangan Publik Islami; Pendekatan

Teoritis dan Sejarah, Jakarta: Kencana, 2012.

Abdillah, Abu Muhammad bin Ismail al Buhari. al Jami‟ asy

Shahih, Qohira: Muktabah asy-Syalafiyah, tt.

Abu Husaini, Imam Muslim bin al-Hajaz an-Naisaburi. al Jami‟

as-Shahih (t.tp, tt).

Anda mungkin juga menyukai