Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan keperawatan kepada

individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit

maupun sehat. Asuhan keperawatan adalah rangkaian interaksi perawat dengan

klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan 6pemenuhan kebutuhan dan

kemandirian klien dalam merawat dirinya (UU RI No. 38 tahun 2014 tentang

keperawatan).

Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang umum terjadi pada

dewasa yang membutuhkan supervisi medis berkelanjutan dan edukasi

perawatan mandiri pada pasien. Namun, bergantung pada tipe Diabetes melitus

dan usia pasien, kebutuhan dan asuhan keperawatan pasien dapat sangat berbeda

(LeMone, 2015).

Secara global jumlah penderita Diabetes Melitus mengalami peningkatan

signifikan dari tahun ke tahun, Diabetes Atlas edisi ke-6 yang diterbitkan oleh

Federasi Diabetes Internasional 2017 menyatakan bahwa 425 juta dari total

populasi seluruh dunia, atau sekitar 8,8% orang dewasa berumur 20-79 tahun

merupakan penderita Diabetes Melitus. Data tersebut juga mengungkapkan

bahwa menempati peringkat ke-6 sebagai jumlah penderita Diabetes dewasa

tertinggi di dunia dengan total lebih dari 10,3 juta orang, angka ini diprediksikan

akan terus mengalami peningkatan dan mencapai 16,7 juta penderita pada tahun

2045 (Anisa, 2018). Di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

1
secara umum angka prevalensi Diabetes Melitus mengalami peningkatan cukup

signifikan selama 5 tahun terakhir. Di tahun 2013 angka prevalensi mencapai

6,9%, dan tahun 2018 angka prevalensi terus meningkat menjadi 8,5% (Anisa,

2018). Di Sulawesi Utara prevalensi penderita Diabetes Melitus menurut

diagnosis dokter pada penduduk semua umur berdasarkan data kasus di provinsi

SULUT mencapai 3.0% kasus Diabetes Melitus (Riskesdas, 2018).

Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat angka kejadian Diabetes Melitus

masih cukup tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal inilah yang

membuat penulis tertarik untuk menerapkan asuhan keperawatan pada klien Ny.

X dengan Gangguan Sistem Endokrin Diabetes Melitus di Desa Pinasungkulan

Kec.Tombariri Kab.Minahasa.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mampu menerapkan asuhan keperawatan pada Klien Ny. X dengan

Gangguan Sistem Endokrin Diabetes Melitus di Desa Pinasungkulan

Kec.Tombariri Kab.Minahasa.

2. Tujuan Khusus

a. Dapat melakukan pengkajian keperawatan pada Klien Ny. X

dengan Gangguan Sistem Endokrin Diabetes Melitus Desa

Pinasungkulan Kec.Tombariri Kab.Minahasa.

b. Dapat menegakkan diagnosa keperawatan pada Klien Ny. X

dengan Gangguan Sistem Endokrin Diabetes Melitus di Desa

Pinasungkulan Kec.Tombariri Kab.Minahasa.

2
c. Dapat menyusun perencanaan keperawatan pada Klien Ny. X

dengan Gangguan Sistem Endokrin Diabetes Melitus di Desa

Pinasungkulan Kec.Tombariri Kab.Minahasa.

d. Dapat melakukan implementasi keperawatan pada Klien Ny. X

dengan Gangguan Sistem Endokrin Diabetes Melitus di Desa

Pinasungkulan Kec.Tombariri Kab.Minahasa.

e. Dapat melaksanakan evaluasi keperawatan pada Klien Ny. X

dengan Gangguan Sistem Endokrin Diabetes Melitus di Desa

Pinasungkulan Kec.Tombariri Kab.Minahasa.

f. Dapat mendokumentasikan asuhan keperawatan pada Klien Ny. X

dengan Gangguan Sistem Endokrin Diabetes Melitus di Desa

Pinasungkulan Kec.Tombariri Kab.Minahasa.

C. Metode Penulisan

1. Studi Kepustakaan

Membaca dan mempelajari buku-buku, artikel jurnal dari internet yang

berhubungan dengan diabetes melitus.

2. Studi Kasus

Mengangkat satu kasus dan menerapkan asuhan keperawatan dengan

menggunakan metode pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari

lima tahap yaitu pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,

perencanaan keperawatan, Implementasi keperawatan dan evaluasi

keperawatan.

3. Studi dokumentasi

3
Membaca, mempelajari dan menganalisa data dari rekam medik dan

melalui status kesehatan klien.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Institusi Akademi Keperawatan Bethesda Tomohon

Sebagai bahan bacaan di perpustakaan, dan menambah wawasan bagi

mahasiswa dalam melaksanakan asuhan keperawatan dengan

Gangguan Sistem Endokrin Diabetes Melitus.

2. Bagi Penulis

Dapat menerapkan teori yang sudah didapat dalam perkuliahan ke dalam

praktik keperawatan secara langsung pada klien dengan Gangguan Sistem

Endokrin Diabetes Melitus, serta menambah wawasan, pengetahuan,

keterampilan bahkan memperoleh pengalaman yang nyata dalam

menerapkan asuhan keperawatan pada klien Ny.X dengan Gangguan

Sistem Endokrin Diabetes Melitus.

E. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang

masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan

sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka meliputi; A. Konsep dasar

penyakit: pengertian, etiologi, anatomi dan fisiologi kelenjar pankreas,

klasifikasi Diabetes Melitus, patofisiologi, patofisiologi dan penyimpangan

KDM Diabetes Melitus, manifestasi klinis, test diagnostik, komplikasi,

pengobatan, penatalaksanaan, prognosis. B. Konsep dasar asuhan

keperawatan yang terdiri dari: pengkajian keperawatan, diagnosa

keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan tindakan keperawatan,


4
dan evaluasi keperawatan. BAB III Tinjauan Kasus, dalam bab ini merupakan

kegiatan penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem

pernapasan Pneumonia. BAB IV Pembahasan menguraikan tentang

kesenjangan antara teori dan praktek keperawatan yang dilaksanakan pada

klien dengan gangguan sistem pernapasan Pneumonia. BAB V Penutup;

Kesimpulan dan Saran. Daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian

Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang umum terjadi pada

dewasa yang membutuhkan supervisi medis berkelanjutan dan edukasi

perawatan mandiri pada pasien. Namun, bergantung pada tipe Diabetes

melitus dan usia pasien, kebutuhan dan asuhan keperawatan pasien dapat

sangat berbeda (LeMone, 2015).

Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan metabolik yang

diakibatkan oleh adanya kenaikan kadar glukosa dalam tubuh atau

hiperglikemia (Deni & Siswati, 2017).

Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme karbohidrat ketika suplai

insulin tidak ada, tidak cukup, atau tidak efektif karena resistensi insulin, oleh

karena itu meskipun glukosa terdapat dalam darah, glukosa tidak dapat masuk

ke dalam sel (Hurst, 2016).

2. Etiologi

a. Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DMTI)

1) Faktor genetik: Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu

sendiri tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan

genetik kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini

ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen Human

6
Leucocyte Antigen (HLA) tertentu. Human Leucocyte Antigen

merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen

transplantasi dan proses imun lainnya.

2) Faktor imunologi: Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu

respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibody

terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap

jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan

asing.

3) Faktor lingkungan: Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel

β pankreas, sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa

virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat

menimbulkan destruksi sel β pankreas.

b. Diabetes Mellitus Tak Tergantung Insulin (DMTTI)

Secara pasti penyebab dari Diabetes Mellitus tipe II ini belum diketahui,

faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya

resistensi insulin. Diabetes Mellitus Tak Tergantung Insulin (DMTTI)

penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai

dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada

awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja

insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor

permukaan sel tertetu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang

meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien

dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan

reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat

7
reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi

penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan sistem

transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam

waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada

akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk

mempertahankan euglikemia. Diabetes Mellitus tipe II disebut juga

Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) yang merupakan

suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk diabetes yang lebih ringan,

terutama dijumpai pada orang dewasa.

Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya Diabetes

Mellitus tipe II, diantaranya adalah usia (resistensi insulin cenderung

meningkat pada usia diatas 65 tahun), obesitas, riwayat keluarga (Rendy

& Margareth, 2012).

3. Anatomi Fisiologi Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Pankreas

Kelenjar pancreas terletak dibagian pulau-pulau langerhans menghasilkan

hormon insulin. Fungsi hormon ini mengatur kadar gula darah dengan cara

mengubah glukosa menjadi glikogen.

Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada duodenum dan

terdapat kurang lebih 200.000 – 1.800.000 pulau Langerhans. Dalam pulau

langerhans jumlah sel beta normal pada manusia antara 60% - 80% dari populasi

sel Pulau Langerhans. Pankreas berwarna putih keabuan hingga kemerahan.

Organ ini merupakan kelenjar majemuk yang terdiri atas jaringan eksokrin dan

jaringan endokrin. Jaringan eksokrin menghasilkan enzim-enzim pankreas

seperti amylase, peptidase dan lipase, sedangkan jaringan endokrin

8
menghasilkan hormon-hormon seperti insulin, glukagon dan somatostatin

(Dolensek, Rupnik & Stoze 2015).

Gambar 1. Anatomi Pankreas & Histologi Pulau Langerhans(Ina, 2007)

a. Anatomi Kelenjar Pankreas

Pankreas terletak di retroperitonieal rongga abdomen bagian atas dan

terbentang horizontal dari cincin duodenal klien. Panjang sekitar 10 s.d 20 cm

dan lebar 2,5 s.d 5cm. Pankreas mendapatkan pasokan darah dari arteri

mesentrika superior dan splenikus. Di dalam pankreas terdapat saluran

yang disebut duktus pankreatikus yang terletak sepanjang pankreas (mulai

dari caput, corpus, sampai cauda). Cabang-cabang dari duktus

pankreatikus yang halus bergabung menjadi duktus pankreatikus wirsungi.

Duktus pankreatikus kemudian bermuara pada duodenum tepatnya pada

papilla duodeni major dan papilla duodeni minor. Bagian pankreas yang

mensekresikan getah adalah kelenjar alveolus yang bentuknya seperti

kelenjar saliva. Didalam kelenjar alveolus berbentuk granula-granula yang

9
berisi enzim (granula zimogen). Kelenjar tersebut dikeluarkan dari aspek

sel menuju lumen duktus pankreatikus yang kemudian menuju ke lumen

duodenum.

b. Pulau Langerhan

Pulau-pulau langerhans berbentuk oval, tersebar diseluruh pankreas dan

terbanyak pada bagian kedua pankreas. Dalam tubuh manusia terdapat 1

s.d 2 juta pulau langerhans. Sel dalam pulau ini dapat dibedakan atas dasar

granulasi dan pewarnaannya. Separuh dari sel ini menyekresi insulin, yang

lainnya menghasilkan polipeptida. Dari pankreas diturunkan ke bagian

eksokrin pankreas. Insulin dihasilkan oleh pulau-pulau langerhans

pankreas, baik yang terdapat dibagian caput, corpus, maupun cauda

pankreas. Pulau-pulau langerhans merupakan kumpulan sel yang

berbentuk ovoid. Pada manusia terdapat 1 s.d 2 juta pulau-pulau

langerhans. Sel-sel pada pulau langerhans digolongkan beberapa jenis

yaitu sel A (disebut juga alfa), β (disebut juga beta), D (disebut juga delta),

dan F. Sel β yang merupakan bagian terbanyak dari pulau-pulau

langerhans (60 s.d 70%) terletak di tengah pulau. Sel A menghasilkan

glukogen, sel β mensekresikan insulin, sel D mensekresikan

somatosistin, dan sel F menghasilkan polipeptida pancreas.

c. Fisiologi pankreas

Getah pankreas bersifat basa dengan komposisi: HCO3 (bikarbonat ion)

dengan kadar 113 pmeq/L, yang setiap hari disekresikan sekitar 1500 mL

getah pankreas. Sekresi getah pankreas bersama dengan sekresi empedu

dan getah usus berefek pada penetralan asam lambung dan menaikkan pH

10
duodenum menjadi 6,0 s.d 7,0. Di dalam getah pankreas terdapat

tripsinogen yang diubah menjadi enzim enteropeptidase yang akan

mengakibatkan kelainan kongenital dan malnutrisi protein. Susunan

insulin terdiri dari polipeptida yang mengandung dua mata rantai asam

amino yang dihubungkan dengan jembatan disulfide. Insulin dibentuk

di kulum endoplasmic sel β dan kemudian dikemas di apparatus golgi

dalam sebuah granula yang kemudian bergerak ke membrane plasma.

Insulin kemudian dikeluarkan melalui proses eksositosis kemudian

melintasi lamina basalis sel β menuju kapiler dan endotel kapiler yang

berpori mencapai aliran darah. Waktu paruh insulin dalam sirkulasi

berlangsung selama 5 menit (Syaifuddin, 2013).

4. Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Sukarmin, (2015) Klasifikasi Diabetes Melitus dan penggolongan

intolerasi glukosa yang lain:

a Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM), yaitu defisiensi insulin

karena kerusakan sel-sel Langerhans yang berhubungan dengan tipe

HLA (human leucocyte Antigen) spesifik, predisposisi pada insulitis

fenomena autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia

muda). Kelainan ini terjadi karenan keruskan sistem imunitas

(kekebalan tubuh) yang kemudia merusak sel-sel pulau langerhans di

pankreas. Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi insulin.

b. Non insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM), yaitu diabetes

resisten, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua umur.

11
Kebanyakan penderita kelebihan kelebihan berat badan, ada

kecenderungan familiar, mungkin perlu insulin pada saat hiperglikemik

selama stress.

c. Diabetes Melitus tipe yang lain, adalah diabetes melitus yang

berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu hiperglikemik

terjadi karena penyakit lain, penyakit pankreas, hormonal obat atau

bahan kimia, endokrinopati, kelainan reseptor insulin, sindroma genetic

tertentu.

d. Impared Glukosa Tolerance (gangguan toleransi glukosa) kadar

glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi diabetes atau

menjadi normal atau tetap tidak berubah.

e. Gastrointestinal Diabetes Melitus (GDM) Intoleransi glukosa yang

terjadi selama kehamilan. Dalam kehamilan terjadi perubahan

metabolism endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan

makanan bagi janin serta persiapan menyusui.

5. Patofisiologi

Diabetes tipe I. pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh

proses autoimun. Hiperglikemia-puasa terjadi akibat produksi glukosa

yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari

makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam

darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat

menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar; akibatnya,

12
glukosa tersebut muncul dalam urine (glukosuria). Ketika glukosa yang

berlebihan diekskresikan kedalam urine, dan akan disertai diuresis

osmotic. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien

akan mengalami polyuria dan polydipsia.

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak

yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami

peningkatan selera makan akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala

lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis

(pemecahan glukosa yang disimpan) dan gluconeogenesis (pembentukan

glukosa baru dari asam amino serta substansi lain), namun pada penderita

defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut

akan menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan

lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang

merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton mengganggu

keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan.

Ketoasidosis diabetik dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti

nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan bila

tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan

kematian.

Pada Diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan

dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.

Normalnya insulin akan terkait dengan reseptor khusus pada permukaan

13
sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu

rangkaian reaksi dalam metabolism glukosa dalam sel. Resistensi insulin

pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan

demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan

glukosa oleh jaringan (Wijaya & Putri, 2013).

14
6. Patofisiologi dan penyimpangan KDM Diabetes Melitus

Faktor lingkungan, faktor imunologi, faktor


genetik, usia, obesitas, riwayat keluarga

Pengambilan glukosa
Katabolisme lemak oleh jaringan infektif
yang berlebihan
Resistensi insulin dan
penurunan ekskresi insulin
Penurunan produksi
Peningkatan
energy metabolik
produksi badan
keton
Glikogenolisis dan
glukoneogenesis
Peningkatan
Penurunan pH terganggu
kebutuhan energi
plasma

Penumpukan glukosa
Keseimbangaan asam dalam darah
Kelelahan
basa terganggu

Sel tidak
Hiperglikemia
memperoleh
Ketoasidosis
nutrisi
diabetik
Ginjal tidak dapat
menyerap glukosa
Starvasasi seluler
Mual, muntah kembali

Perubahan Glukosuria Penurunan antibodi


nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh Diuresis osmotik Resiko infeksi

Inbalance elektrolit Poliuria


Perubahan status
kesehatan

Resiko perubahan Kekurangan


persepsi sensori volume cairan
Kurang terpajan informasi

Kurang
pengetahuan

Doenges, 2012
15
7. Manifestasi Klinis

Keluhan utama pasien Diabetes Mellitus seperti poliuria, polidipsia,

polifagia. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan

akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada

Diabetes Mellitus lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses

menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala

sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul

adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada

tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai

yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim (Rendy & Margareth, 2012).

8. Test Diagnostik

a. Kadar glukosa: gula darah sewaktu/random>200 mg/dl, gula darah

puasa/nuchter>140 mg/dl, gula darah 2 jam PP (post prandial)>200 mg/dl.

b. Aseton plasma = hasil (+) mencolok

c. Asam lemak bebas = peningkatan lipid dan kolesterol

d. Osmolaritas serum (>330 osm/l)

e. Urinalisis = proteinuria, ketonuria, glukosa

f. Pemeriksaan dan Nilai Normal HbA1c

Pemeriksaan dan Nilai Normal Hemoglobin A1c atau HbA1c adalah

komponen minor dari hemoglobin yang berikatan dengan glukosa.

Hemoglobin adalah pigmen pembawa oksigen yang memberikan warna

merah pada sel darah merah dan juga merupakan protein dominan dalam

sel darah merah. Sekitar 90% dari hemoglobin merupakan hemoglobin A

(“A” adalah singkatan dari tipe dewasa/Adult). Meskipun satu komponen


16
kimia menyumbang 92% dari hemoglobin A, sekitar 8% dari hemoglobin

A terdiri dari komponen kecil (minor) yang secara kimiawi sedikit

berbeda. Komponen-komponen kecil ini termasuk hemoglobin A1c, A1b,

A1a1, dan A1a2. Hemoglobin A1c (HbA1c) digunakan untuk memantau

glukosa darah pada pasien diabetes. HbA1c merupakan indikator jangka

panjang kontrol glukosa darah, bisa juga digunakan untuk memonitor efek

diet, olahraga, dan terapi obat terhadap gula darah pasien. HbA1c tidak

dapat digunakan untuk memantau kadar glukosa darah per hari atau tes

rutin gula darah.

Pemeriksaan HbA1c adalah pemeriksaan darah yang penting untuk

melihat seberapa baik pengobatan terhadap diabetes. Artinya pemeriksaan

Hemoglobin A1C ini akan menggambarkan rata-rata gula darah selama 2

sampai 3 bulan terakhir dan digunakan bersama dengan pemeriksaan gula

darah biasa untuk membuat penyesuaian dalam pengendalian diabetes

melitus. Hemoglobin ditemukan dalam sel darah merah yang membawa

oksigen ke seluruh tubuh. Ketika diabetes tidak terkontrol (yang berarti

bahwa gula darah terlalu tinggi terus menerus), maka gula akan menumpuk

dalam darah dan menggabungkan diri dengan hemoglobin. Jumlah rata-

rata gula dalam darah dapat diketahui dengan mengukur tingkat HbA1c.

Jika kadar glukosa darah terus menerus tinggi selama beberapa minggu

terakhir, maka pemeriksaan HbA1c akan menunjukkan nilai yang tinggi.

Bagi penderita diabetes mellitus harus melakukan pemeriksaan ini setiap

3 bulan sekali untuk menentukan apakah gula darah mereka telah

mencapai kadar target atau belum. Bagi yang hasilnya memuaskan atau

17
diabetes di bawah kontrol yang baik mungkin dapat menunggu lebih lama

untuk melakukan tes darah selanjutnya, namun para ahli

merekomendasikan pemeriksaan HbA1c setidaknya 2 kali setahun.

Nilai normal HbA1c adalah antara 4% sampai 5,6%. Kadar HbA1c antara

5,7% sampai 6,4% mengindikasikan peningkatan risiko diabetes, dan

kadar 6,5% atau lebih tinggi mengindikasikan diabetes. Karena penelitian

telah berulang kali menunjukkan bahwa kadar gula darah yang terus tinggi

pada penyakit diabetes yang tidak terkontrol akan menyebabkan berbagai

komplikasi yang berbahaya. Oleh karena itu sangat penting mengevaluasi

apakah pengobatan yang diberikan selama ini berhasil atau tidak, yaitu

dengan pemeriksaan HbA1c ini. Target nilai HbA1c untuk pasien diabetes

adalah kurang dari 7%. Semakin tinggi hemoglobin A1c, semakin tinggi

risiko komplikasi akibat penyakit diabetes melitus.

Pemeriksaan ini mungkin akan menunjukkan hasil yang abnormal pada

orang dengan penyakit yang mempengaruhi hemoglobin, seperti anemia.

Kondisi lain yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan HbA1c

termasuk konsumsi suplemen seperti vitamin C dan E serta seseorang yang

memiliki kadar kolesterol tinggi, penyakit ginjal dan penyakit hati (Wijaya

& Putri, 2013)

9. Komplikasi

Komplikasi diabetes melitus menurut Sukarmin (2015), antara lain:

a. Komplikasi akut

Dalam komplikasi akut dikenal bebarapa istilah sebagai berikut:

18
1) Hipoglikemia adalah keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah

bawah nilai normal (< 60 mg/dL). Gejala ini ditandai dengan

munculnya rasa lapar, pusing, gelisah, mengeluarkan keringat,

berdebar-debar, pusing, gemetar, dan penderita bisa menjadi tidak

sadar disertai kejang.

2) Hiperglikemia dengan diketahui dari hasil wawancara adanya

masukkan kalori yang berlebihan, dan penghentian obat oral maupun

insulin. Tanda khasnya adalah rasa sangat haus, pandangan kabur,

muntah, berat badan menurun, sakit kepala, kulit kering dan gatal,

rasa mengantuk sampai kesadaran menurun dan disertai kekurangan

cairan yang berat akibat banyaknya jumlah air kencing (urine) yang

dikeluarkan.

3) Ketoasidosis diabetik (KAD) atau koma diabetik yang diartikan

sebagai keadaan tubuh yang sangat kekurangan insulin dan bersifat

mendadak akibat infeksi, lupa suntik insulin, pola makan yang terlalu

berlebihan atau bebas, dan stres. Penderita dapat mengalami koma

(tidak sadar) akibat otak tidak menerima darah dan glukosa dalam

jumlah yang cukup.

4) Koma hyperosmolar non ketotic (KHONK) yang diakibatkan adanya

dehidrasi berat, tekanan darah yang menurun dan syok tanpa adanya

beban keton (hasil pemecahan asam lemak) dalam urine.

5) Koma lakto asidosis yang diartikan sebagai keadaan tubuh dengan

asam laktat yang tidak dapat diubah menjadi bikarbonat. Akibatnya,

19
kadar asam laktat dalam darah meningkat dan seseorang bisa

mengalami koma.

b. Komplikasi kronis

Penting untuk diingat seiring berjalannya waktu setelah terdiagnosis,

penderita diabetes akan mengembangkan potensi beberapa komplikasi.

Hal ini sangat mungkin terjadi karena pengabaian terhadap gejala diabetes

atau karena kadar glukosa darah yang tidak terkontrol (terus menerus

tinggi). Fakta ini penting tentang perlunya upaya untuk melakukan

diagnosis dini dan mengapa perlu melakukan pemeriksaan mata, kaki, dan

sirkulasi sesegera mungkin setelah terdiagnosis diabetes.Kerusakan pada

pembuluh darah yang mengirimkan darah ke jantung, otak, dan kaki dapat

menyebabkan peningkatan risiko stroke, serangan jantung (PJK), mati rasa

(neuropati), dan penurunan aliran darah ke kaki Perifer Arteriak Deasease

(PAD). Komplikasi ini di kenal dengan komplikasi makrovaskular.

10. Pengobatan

a. Tablet Oral Anti Diabetes (OAD)

1) Mekanisme kerja sulfanilurea: Kerja Oral Anti Diabetes tingkat

preseptor: pankreatik, ekstra pancreas. Kerja Oral Anti Diabetes

tingkat reseptor

2) Mekanisme kerja Biguanida: Biguanida tidak mempunyai efek

pankreatik, tetapi mempunyai efek lain yang dapat meningkatkan

efektivitas insulin, yaitu: Biguanida pada tingkat prereseptor ekstra

pankreatik: Menghambat absorpsi karbohidrat, menghambat

glukoneogenesis di hati, meningkatkan afinitas pada reseptor

20
insulin.Biguanida pada tingkat reseptor: meningkatkan jumlah

reseptor insulin. Biguanida pad tingkat pascareseptor: mempunyai

efek intraseluler.

b. Insulin

1) Indikasi penggunaan insulin: Diabetes Mellitus tipe I, Diabetes

Mellitus tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan

OAD, Diabetes Mellitus kehamilan, Diabetes Mellitus dan gangguan

faal hati yang berat, Diabetes Mellitus dan infeksi akut (selulitis,

gangren), Diabetes Mellitus dan TBC paru akut, Diabetes Mellitus

dan koma lain pada Diabetes Mellitus, Diabetes Mellitus operasi,

Diabetes Mellitus patah tulang, Diabetes Mellitus dan underweight,

Diabetes Mellitus dan penyakit Graves

2) Beberapa cara pemberian insulin

a) Suntikan insulin subkutan

Insulin reguler mencapai puncak kerjanya pada 1-4 jam,

sesudah suntikan subcutan, kecepatan absorpsi di tempat

suntikan tergantung pada beberapa factor antara lain:

(1) Lokasi suntikan: Ada 3 tempat suntikan yang sering dipakai

yaitu dinding perut, lengan, dan paha. Dalam memindahkan

suntikan (lokasi) janganlah dilakukan setiap hari tetapi

lakukan rotasi tempat suntikan setiap 14 hari, agar tidak

memberi perubahan kecepatan absorpsi setiap hari.

(2) Pemijatan (Masage): Pemijatan juga akan mempercepat

absorpsi insulin.

21
(3) Suhu: Suhu kulit tempat suntikan (termasuk mandi uap)

akan mempercepat absorpsi insulin.

(4) Dalam suntikan: Makin dalam suntikan makin cepat puncak

kerja insulin dicapai. Ini berarti suntikan intramuskuler

akan lebih cepat efeknya daripada subcutan.

(5) Konsentrasi insulin: Apabila konsentrasi insulin berkisar

40-100 U/ml, tidak terdapat perbedaan absorpsi. Tetapi

apabila terdapat penurunan dari u-100 ke u-10 maka efek

insulin dipercepat.

b) Suntikan intramuskuler dan intravena

Suntikan intramuskuler dapat digunakan pada koma diabetik

atau pada kasus-kasus dengan degradasi tempat suntikan

subkutan. Sedangkan suntikan intravena dosis rendah

digunakan untuk terapi koma diabetik (Rendy& Margareth,

2012).

11. Penatalaksanaan

Diet: Tujuan utama terapi Diabetes Mellitus adalah mencoba

menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya

mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan

terapeutik pada setiap tipe Diabetes Mellitus adalah mencapai kadar glukosa

darah normal (euglikemia) tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan series

pada pola aktivitas pasien. Komponen dalam penatalaksanaan Diabetes

Mellitus, yaitu diet. Syarat diet Diabetes Mellitus hendaknya dapat

memperbaiki kesehatan umum penderita, mengarahkan pada berat badan

22
normal, menormalkan pertumbuhan Diabetes Mellitus anak dan Diabetes

Mellitus dewasa muda, mempertahankan kadar glukosa dalam darah normal,

menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetik, memberikan

modifikasi diet sesuai dengan keadaan penderita, menarik dan mudah

diberikan.

Prinsip diet Diabetes Mellitus, adalah jumlah sesuai kebutuhan, jadwal diet

ketat, jenis: boleh dimakan/tidak.

Diet Diabetes Mellitus sesuai dengan paket-paket yang telah disesuaikan

dengan kandungan kalorinya adalah sebagai berikut: Diet I - III, 1100 kalori

- 1500 kalori: diberikan kepada penderita yang terlalu gemuk. Diet IV –

V,1700 kalori - 1900 kalori: diberikan kepada penderita dengan berat badan

normal. Diet VI - VIII, 2100 kalori - 2500 kalori: diberikan kepada penderita

kurus. Diabetes remaja, atau diabetes komplikasi.

Penentuan jumlah jumlah kalori diet Diabetes Mellitus harus disesuaikan oleh

status gizi penderita, penentuan gizi dilaksanakan dengan menghitung

Percentage of relative body weight atau Berat Badan Relatif (BBR) dengan

rumus:

BB (kg)
BBR = ×100
TB (cm) - 100

Keterangan: Kurus (underweight): BBR < 90 %. Normal (ideal): BBR 90 –

110 %. Gemuk (overweight): BBR > 110 %. Obesitas, apabila: BBR 120 % ;

23
Obesitas ringan: BBR 120 – 130 %, obesitas sedang: BBR 130 – 140 %,

obesitas berat : BBR 140 – 200 %, morbid: BBR > 200 %.

Sebagaimana pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari untuk

penderita Diabetes Mellitus yang bekerja biasa adalah kurus: BB x 40 – 60

kalori sehari, normal: BB x 30 kalori sehari, gemuk: BB x 20 kalori sehari,

obesitas: BB x 10 – 15 kalori sehari (Rendy & Margareth, 2012).

12. Prognosis

Pasien dengan diabetes mellitus tipe I dan tipe II beresiko komplikasi

seperti kehilangan penglihatan (diabetic retinopathy), kerusakan pembuluh

darah dan saraf (diabetic neuropathy), dan gangguan ginjal (nephropathy).

Akan tetapi, komplikasi dapat diminimalkan dengan cara menjaga kadar

glukosa darah dalam kondisi normal melalui monitoring yang konsisten,

pemberian insulin dan diet (Mary & Donna, 2014).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Proses keperawatan adalah sebuah metode untuk memberikan asuhan

keperawatan yang bersifat ilmiah yang sudah diakui secara internasional tentang

pemberian asuhan keperawatan kepada klien atau pasien. Metode ini sangat

sistematis, dinamis serta bersifat terus menerus dan berkesinambungan, proses

keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu: pengkajian, diagnosa keperawatan,

perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi keperawatan,

semua dilakukan dalam rangka memecahkan berbagai permasalahan kesehatan

yang dihadapi oleh klien (Prabowo, 2016). Tahapan yang dilakukan dalam

proses keperawatan antara lain:

24
1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu

proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber untuk

mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Budiono dkk,

2015).

Pengkajian menurut Doenges, (2012) meliputi:

a. Identitas Klien: Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan,

pekerjaan, status pernikahan, agama, suku / bangsa, No. RM / Reg,

tanggal MRS, tanggal pengkajian, diagnosa medis.

b. Identitas Penanggung Jawab: Nama, umur, pendidikan, lamat,

pekerjaan, hubungan dengan klien.

c. Keluhan Utama: Lemas, penglihatan kabur, rasa haus dan banyak

kencing, suhu tubuh meningkat, dehidrasi, sakit kepala.

d. Riwayat Kesehatan: Riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan

lalu (riwayat hipertensi pada sirkulasi), riwayat kesehatan keluarga

(penyuluhan / pembelajaran)

e. Riwayat Psikologi: Psikologi (tanggapan pasien dengan penyakitnya,

harapan pasien terhadap pengobatan dan perawatan, harapan pasien

terhadap pendampingan keluarga dan biaya perawatan), sosial.

f. Genogram : Karena ada penyakit keturunan

Pola Kebiasaan Sehari-hari menurut Doenges, (2012):


a. Aktivitas/istirahat:

Gejala: Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot

menurun, gangguan tidur istirahat.

25
Tanda: Takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan

aktivitas, letargi/disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot.

b. Sirkulasi

Gejala: Adanya riwayat hipertensi; infark miokard akut, kebas, dan

kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki.

Tanda: Takikardi, perubahan tekanan darah postural; hipertensi, nadi

akan menurun/tidak ada, disritmia, krekels; kulit panas, kering dan

kemerahan; bola mata cekung.

c. Integritas ego:

Gejala: Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang

berhubungan dengan kondisi.

Tanda: ansietas, peka rangsang.

d. Eliminasi:

Gejala: Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa

nyeri/terbakar, kesulitan berkemih karena infeksi, nyeri tekan abdomen,

diare.

Tanda: Urine encer, pucat, kuning; poliuria (dapat berkembang menjadi

oliguria/anuria jika terjadi hipovolemia berat), urine berkabut, bau

busuk (infeksi), abdomen keras, ada asites, bising usus lemah dan

menurun; hiperaktif (diare).

e. Makanan/cairan:

Gejala: Hilang nafsu makan, mual/muntah, haus.

26
Tanda: Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen,

muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan matebolik dengan

peningkatan gula darah), bau halitosis (bau mulut), bau buah (napas

aseton).

f. Neurosensori:

Gejala: Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot,

parestesia, gangguan penglihatan.

Tanda: Disorientasi; mengantuk, letargi, stupor/koma (tahan lanjut),

gangguan memori (baru, masa lalu); kacau mental, refleks tendon

dalam menurun, kurang beraktivitas.

g. Nyeri/kenyamanan:

Gejala: Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat).

Tanda: Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati.

h. Pernapasan:

Gejala: Merasa kekurangan oksigen, batuk.

Tanda: Lapar udara, batuk, dengan/tanpa sputum purulent (infeksi),

frekuensi pernapasan.

i. Keamanan:

Gejala: Kulit kering, gatal; ulkus kulit.

Tanda: Demam, diaphoresis, kulit rusak, lesi/ulserasi, menurunnya

kekuatan umum/rentang gerak, marestesia/paralisis otot termasuk juga

otot-otot pernapasan.

27
j. Seksualitas:

Gejala: Rabas vagina (cenderung infeksi), masalah impoten pada pria;

kesulitan orgasme.

k. Penyuluhan/ pembelajaran:

Gejala: Faktor resiko keluarga, Diabetes Melitus, penyakit jantung,

stroke, hipertensi.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu,

keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial,

sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan

keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat (Wilkinson, 2014).

Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien dengan diabetes mellitus

menurut Doenges, (2012) adalah:

a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dari

hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebihan: diare, muntah, masukan

dibatasi: mual, kacau mental.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidak cukupan insulin, penurunan masukan oral: anoreksia, mual,

lambung penuh, nyeri abdomen, perubahan kesadaran, status

hipermetabolisme: pelepasan hormon stres (misalnya. Epinefrin,

kortisol, dan hormon pertumbuhan), proses infeksius.

c. Resiko tinggi infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa tinggi,

penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi.

28
d. Resiko tinggi perubahan sensori berhubungan dengan perubahan kimia

endogen: ketidakseimbangan glukosa/insulin atau elektrolit.

e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik,

perubahan kimia darah: insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan

energi: status hipermetabolik.

f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang

pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak

mengenal sumber informasi.

3. Perencanaan Keperawatan

Perencanaan asuhan keperawatan adalah berbagai tindakan yang dilakukan

oleh petugas praktik keperawatan saat ia memberikan asuhan keperawatan

kepada seseorang atau kepada pasien yang sedang dirawat (Prabowo, 2016).

Kemudian untuk menetapkan kriteria hasil menggunkan prinsip-prinsip

SMART, yaitu; S: Spesific yang artinya kriteria berisi tujuan yang spesifik

dan tidak menimbulkan arti ganda, M: Measurable yang artinya dapat

terukur, A: Achievable yang artinya tujuan harus dicapai, R: Reasonabke yang

artinya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, T: Time yang artinya

tujuan keperawatan tercapai dalam jangka waktu yang ditentukan (Wilkinson,

2014). Berikut ini merupakan perencanaan keperawatan menurut (Doenges,

2012):

a. Diagnosa I

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dari

hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebihan: diare, muntah, masukan

dibatasi: mual, kacau mental.

29
Tujuan perawatan: Homeostasis dapat dipertahankan.

Kriteria hasil: Klien dapat mendemonstrasikan hidrasi adekuat.

Intervensi keperawatan:

1) Dapatkan riwayat pasien/orang terdekat sehubungan dengan

lamanya/intensitas dari gejala seperti muntah, pengeluaran urine

yang sangat berlebihan.

Rasional: Membantu memperkirakan kekurangan volume total.

Adanya proses infeksi mengakibatkan demam dan keadaan

hipermetabolik yang meningkatkan kehilangan air tidak kasatmata.

2) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah

ortostatik.

Rasional: Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan

takikardia.

3) Pantau pola napas seperti adanya penapasan kussmaul atau

pernapasan yang berbau keton.

Rasional: Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui

pernapasan yang menhasilkan kompensasi alkalosis respiratori

terhadap keadaan ketoasidosis. Pernapasan yang berbau aseton

berhubungan pemecahan asam aseto-asetat dan harus berkurang bila

ketosis harus terkoreksi.

4) Pantau frekuensi dan kualitas pernapasan, penggunaan otot bantu

napas, dan adanya periode apnea dan munculnya sianosis.

30
Rasional: Peningkatan kerja pernapasan; pernapasan dangkal,

pernapasan cepat; dan munculnya sianosis mungkin merupakan

indikasi dari kelelahan pernapasan atau mungkin pasien itu

kehilangan kemampuannya untuk melakukan kompensasi pada

asidosis.

5) Pantau suhu, warna kulit atau kelembabannya

Rasional: Demam dengan kulit yang kemerahan, kering mungkin

sebagai cerminan dari dehidrasi.

6) Kaji nadi perifer pengisian kapiler turgor kulit dan membran

mukosa.

Rasional: Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume

sirkulasi yang adekuat.

7) Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urine.

Rasional: Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti,

fungsi ginjal, dan kefektifan dari terapi yang diberikan.

8) Ukur berat badan setiap hari.

Rasional: memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status

cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan

cairan pengganti.

9) Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari

dalam batas yang dapat ditoleransi jantung jika pemasukan cairan

melalui oral sudah dapat diberikan.

31
Rasional: Mempertahankan hidrasi/volume sirkulasi

10) Tingkatkan lingkungan yang dapat menimbulkan rasa nyaman,

selimutipasien dengan selimut yang tipis.

Rasional: Menghindari pemanasan yang berlebihan terhadap pasien

lebih lanjut akan dapat menimbulkan kehilangan cairan.

11) Kaji adanya perubahan mental/sensori.

Rasional: Perubahan mental dapat berhubungan dengan glukosa

yang tinggi atau rendah, elektrolit yang abnormal, asidosis,

penurunan perfusi serebral, dan berkembangnya hipoksia.

12) Catat hal-hal yang dilaporkan seperti mual, muntah, nyeri abdomen

dan distensi lambung.

Rasional: Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas

lambung, yang seringkali akan menimbulkan muntah dan secara

potensial akan menimbulkan kekurangan cairan atau elektrolit.

13) Observasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat, edema,

peningkatan berat badan, nadi tidak teratur, dan adanya distensi pada

vaskuler.

Rasional: Pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat mungkin

sangat berpotensi menimbulkan kelebihan beban cairan.

14) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian kalium dan elektrolit

yang lain melalui intravena atau oral sesuai indikasi.

32
Rasional: Kalium harus ditambahkan pada intravena untuk

mencegah hipokalemia.

b. Diagnosa II

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral: anoreksia, mual,

lambung penuh, nyeri abdomen, perubahan kesadaran, statuis

hipermetabolisme: pelepasan hormon stres (misalnya: epinefrin, kortisol,

dan hormon pertumbuhan), proses infeksius.

Tujuan perawatan: Klien tidak kekurangan nutrisi bagi tubuh.

Kriteria hasil: Klien menunjukkan tingkat energi biasanya, klien

mendemonstrasikan berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang

biasanya/ yang diinginkan dengan nilai laboratorium normal.

Intervensi keperawatan:

1) Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.

Rasional: Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.

2) Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan

dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.

Rasional: Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari

kebutuhan terapeutik.

3) Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, kembung, mual,

muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan

keadaan puasa sesuai dengan indikasi.

33
Rasional: Hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit dapat menurunkan motilitas yang akan mempengaruhi

pilihan intervensi.

4) Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan dan elektrolit

dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.

Dan selanjutnya terus mengupayakan pemberian makanan yang

lebih padat sesuai dengan yang dapat ditoleransi.

Rasional: Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien

sadar dan fungsi gastrointestinal baik.

5) Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan

etnik/kultural.

Rasional: Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan

dalam perencanaan makan, kerja sama ini dapat diupayakan setelah

pulang.

6) Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan ini sesuai

dengan indikasi.

Rasional: Meningkatkan rasa keterlibatannya; memberikan

informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien.

7) Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat

kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka

terhadap rangsangan, cemas, sakit kepala, pusing, sempoyongan.

Rasional: Jika pasien dalam keadaan koma, hipoglikemia mungkin

terjadi tanpa memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran.

34
8) Lakukan pemeriksaan gula darah dengan menggunakan finger stick.

Rasional: Analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat

dari pada memantau gula dalam urine yang tidak cukup akurat untuk

mendeteksi fluktuasi kadar gula darah dan dapat dipengaruhi oleh

ambang ginjal pasien secara individual atau adanya retensi

urine/gagal ginjal.

9) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian insulin secara teratur

dengan metode intravena secara intermiten atau secara kontinyu.

Seperti bolus intravena diikuti dengan tetesan yang kontinu melalui

alat pompa kira-kira 5-10 Ul/jam sampai glukosa darah mencapai

250 mg/dl.

Rasional: Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya

dengan cepat pula dapat membantu memindahkan glukosa ke dalam

sel.

10) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat metaklopramid;

tetrasiklin.

Rasional: Dapat bermanfaat dalam mengatasi gejala yang

berhubungan dengan neuropati otonom yang mempengaruhi

saluran cerna, yang selanjutnya meningkatkan pemasukan melalui

oral dan absorbs i zat makanan.

11) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet kira-kira 60%

karbohidat, 20% protein, dan 20% lemak dalam penataan

makan/pemberian makanan tambahan.

35
Rasional: Kompleks karbohidrat menurunkan kadar

glukosa/kebutuhan insulin, menurunkan kadar kolestrol darah dan

meningkatkan rasa kenyang. Pemasukkan makanan akan

dijadwalkan sesuai karakteristik insulin yang spesifik dan respon

pasien secara individual.

c. Diagnosa III

Resiko tinggi infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa tinggi,

penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi.

Tujuan perawatan: Tidak terjadi infeksi (sepsis).

Kriteria hasil: Klien dapat mengidentifikasi intervensi untuk

mencegah/menurunkan resiko infeksi, mendemonstrasikan teknik

perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.

Intervensi keperawatan:

1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan, seperti demam,

kemerahan, adanya pus pada luka, sputum purulen, urine warna

keruh atau berkabut.

Rasional: Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah

mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi

nosokomial.

2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang

baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk

pasiennya sendiri.

Rasional: Mencegah timbulnya infeksi silang.

36
3) Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif, pemberian obat

intravena dan memberikan perawatan pemeliharaan.

Rasional: Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi

media terbaik bagi pertumbuhan kuman.

4) Pasang kateter/lakukan perawatan perineal dengan baik. Ajarkan

pasien wanita untuk membersihkan daerah perinealnya dari depan ke

belakang setelah eliminasi.

Rasional: Mengurangi resiko terjadinya infeksi saluran kemih.

Pasien koma mungkin memiliki resiko yang khusus jika terjadi

retensi urine pada saat awal dirawat.

5) Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh,

masase daerah tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen

kering dan tetap kencang.

Rasional: Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien

pada peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada kulit/ iritasi kulit

dan infeksi.

6) Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh,

masase daerah tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen

kering dan tetap kencang.

Rasional: Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien

pada peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada kulit/ iritasi kulit

dan infeksi.

7) Posisikan pasien pada posisi semifowler.

37
Rasional: Memberikan kemudahan bagi paru untuk berkembang;

menurunkan resiko terjadinya aspirasi.

8) Lakukan perubahan posisi dan anjurkan pasien untuk batuk efektif/

napas dalam jika pasien sadar dan kooperatif.

Rasional: Membantu dalam memventilisasi semua daerah paru dan

memobilisasi sekret. Mencegah agar sekret tidak statis dengan

terjadinya peningkatan terhadap resiko infeksi.

9) Bantu pasien untuk melakukan higiene oral.

Rasional: Menurunkan resiko terjadinya penyakit mulut/gusi.

10) Anjurkan makan dan minum adekuat (pemasukan makanan dan cairan

yang adekuat) (kira-kira 3000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi).

Rasional: Menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi. Meningkatkan

aliran urine untuk mencegah urine yang statis dan membantu dalam

mempertahankan pH/keasaman urine, yang menurunkan

pertumbumkmhan bakteri dan mengeluarkan organisme dari sistem

organ tersebut.

11) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik yang

sesuai.

Rasional: Penanganan awal dapat mencegah timbulnya sepsis.

d. Diagnosa IV

Resiko tinggi perubahan sensori berhubungan dengan perubahan kimia

endogen: ketidak seimbangan glukosa/insulin atau elektrolit.

Tujuan perawatan: Tidak terjadi gangguan sensori perseptual.

38
Kriteria hasil: Klien dapat mempertahankan tingkat mental biasanya.

Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.

Intervensi keperawatan:

1) Pantau tanda-tanda vital dan status mental.

Rasional: Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti

suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental.

2) Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan

kebutuhannya, misalnya terhadap tempat, orang, dan waktu.

Rasional: Menurunkan kebingungan dan membantu untuk

mempertahankan kontak dengan realitas.

3) Jadwalkan intervensi keperawatan agar tidak mengganggu waktu

istirahat pasien.

Rasional: Meningkatkan tidur, menurunkan rasa letih, dan dapat

memperbaiki daya pikir.

4) Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk

melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.

Rasional: Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan

realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungannya.

5) Lindungi pasien dari cedera ketika tingkat kesadaran pasien terganggu.

Berikan bantalan lunak pada pagar tempat tidur dan berikan jalan napas

buatan yang lunak jika pasien kemungkinan mengalami kejang.

Rasional: Pasien mengalami disorientasi merupakan awal kemungkinan

timbulnya cedera, terutama malam hari dan perlu pencegahan sesuai

39
indikasi. Munculnya kejang perlu diantisipasi untuk mencegah trauma

fisik, aspirasi, dsb.

6) Evaluasi lapang pandang penglihatan sesuai dengan indikasi.

Rasional: Edema/lepasnya retina, hemoragis, katarak, atau paralisis otot

ekstraokuler sementara mengganggu penglihatan yang memerlukan

terapi korektif atau perawatan penyokong.

7) Selidiki adanya keluhan parastesia, nyeri, atau kehilangan sensori pada

paha/kaki. Lihat adanya ulkus, daerah kemerahan, tempat-tempat

tertekan, kehilangan denyut nadi perifer.

Rasional: Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman

yang berat, kehilangan sensasi sentuhan/distorsi yang mempunyai

resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan.

8) Berikan tempat tidur yang lembut. Pelihara kehangatan kaki/tangan,

hindari terpajan terhadap air panas atau dingin atau penggunaan

bantalan/pemanas.

Rasional: Meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan

kerusakan kulit karena panas.

9) Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi.

Rasional: Meningkatkan keamanan pasien terutama ketika rasa

keseimbangan dipengaruhi.

10) Pantau nilai laboratorium, seperti glukosa darah, osmolalitas darah,

Hb/HT, ureum kreatinin.

Rasional: Ketidakseimbangan nilai laboratorium ini dapat

40
menurunkan fungsi mental. Catatan: Jika cairan diganti dengan cepat,

kelebihan cairan dapat masuk ke sel otak dan menyebabkan gangguan

pada tingkat kesadaran (intoksikasi air).

e. Diagnosa V

Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik,

perubahan kimia darah: insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi:

status hipermetabolik.

Tujuan perawatan: Klien tidak merasa kelelahan/kelelahan hilang, energi

meningkat.

Kriteria hasil: Klien dapat mengungkapkan peningkatan energi,

menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas

yang diinginkan.

Intervensi keperawatan:

1) Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Buat jadwal

perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang

menimbulkan kelelahan.

Rasional: Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan

tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.

2) Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/tanpa

diganggu.

Rasional: Mencegah kelelahan yang berlebihan.

3) Pantau nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah sebelum/sesudah

melakukan aktivitas.

41
Rasional: Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi

secara fisiologis.

4) Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat

dan sebagainya.

Rasional: Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan

penurunan kebutuhan akan energi pada setiap kegiatan.

5) Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari

sesuai dengan yang dapat ditoleransi.

Rasional: Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif

sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.

f. Diagnosa VI

Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat,

kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.

Tujuan perawatan: Klien mengetahui penyakit dan cara penanggulangannya.

Kriteria hasil: Klien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, klien dapat

menidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan

menghubungkan gejala dengan faktor penyebab, klien dapat melakukan

prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan dengan benar, klien

dapat melakukan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam program

pengobatan.

Intervensi Keperawatan:

1) Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan penuh

perhatian, dan selalu ada untuk pasien.

42
Rasional: Menanggapi dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum

pasien bersedia mengambil bagian dalam proses belajar.

2) Bekerja dengan pasien dalam menata tujuan belajar yang diharapkan.

Rasional: Partisipasi dalam perencanaan meningkatkan antusias dan

kerja sama pasien dengan prinsip-prinsip yang dipelajari.

3) Pilih berbagai strategi belajar, seperti teknik demonstrasi yang

memerlukan keterampilan dan biarkan pasien mendemonstrasikan

ulang, gabungkan keterampilan baru ini ke dalam rutinitas rumah sakit

sehari-hari.

Rasional: Penggunaan cara yang berbeda tentang mengakses informasi

meningkatkan penerapan pada individu yang belajar.

4) Demonstrasikan cara pemeriksaan gula darah dengan menggunakan

finger stick dan beri kesempatan pasien untuk mendemonstrasikan

kembali. Instruksikan pasien untuk pemeriksaan keton urinenya jika

glukosa darah lebih tinggi dari 250 mg/dL.

Rasional: Melakukan pemeriksaan gula darah oleh diri sendiri 4 kali

atau lebih dalam setiap harinya memungkinkan fleksibilitas dalam

perawatan diri, meningkatkan kontrol kadar gula darah dengan lebih

ketat dan dapat mencegah/mengurangi perkembangan komplikasi

jangka panjang.

5) Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat dan

cara untuk melakukan makan diluar rumah.

Rasional: Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu

pasien dalam merencanakan makan. Serat dapat memperlambat absorpsi

43
glukosa yang akan menurunkan fluktuasi kadar gula dalam darah, tetapi

dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada saluran cerna, flatus

meningkat, dan mempengaruhi absorpsi vitamin/mineral.

6) Tinjau ulang program pengobatan meliputi awitan, puncak dan lamanya

dosis insulin yang diresepkan, bila disesuaikan dengan pasien atau

keluarga.

Rasional: Pemahaman tentang semua aspek yang digunakan obat

meningkatkan penggunaan yang tepat. Alogritme dosis dibuat, yang

masuk dalam perhitungan dosis yang dibuat selama evaluasi rawat inap;

jumlah dan jadwal aktivitas fisik biasanya perencanaan makan.

7) Tinjau kembali pemberian insulin oleh pasien sendiri dan perawatan

terhadap peralatan yang digunakan. Berikan kesempatan kepada pasien

untuk mendemonstrasikan prosedur tersebut.

Rasional: Mengidentifikasikan pemahaman dan kebenaran dari

prosedur atau masalah yang potensial dapat terjadi (seperti penglihatan,

daya ingat dan sebagainya) sehingga solusi alternative dapat ditentukan

untuk pemberian insulin tersebut.

8) Tekankan pentingnya mempertahankan pemeriksaan gula darah setiap

hari, waktu dan dosis obat, diet, aktivitas, perasaan/sensasi, dan

peristiwa dalam hidup.

Rasional: Membantu dalam meciptakan gambaran nyata dari keadaan

pasien untuk melakukan control penyakitnya dengan lebih baik dan

meningkatkan perawatan diri/ kemandiriannya.

44
9) Diskusikan faktor-faktor yang memegang peranan dalam kontrol

Diabetes Mellitus tersebut, seperti latihan, stres, pembedahan dan

penyakit tertentu.

Rasional: Perencanaan penanganan Sick Day membantu

mempertahankan keseimbangan selama sakit, bedah minor, stress

emosi yang berat atau beberapa keadaan yang mungkin meningkatkan

gula darah.

10) Tinjau ulang pengaruh rokok pada penggunaan insulin. Anjurkan pasien

untuk menghentikan merokok.

Rasional: Nikotin mengkonstriksi pembuluh darah kecil dan absorpsi

insulin diperlambat selama pembuluh darah ini yang mengalami

konstriksi.

11) Buat jadwal latihan/aktivitas yang teratur dan identifikasi hubungan

dengan penggunaan insulin yang perlu menjadi perhatian.

Rasional: Waktu latihan tidak boleh bersamaan waktunya dengan kerja

puncak insulin. Makanan kudapan harus diberikan sebelum atau selama

latihan sesuai kebutuhan dan rotasi injeksi harus menghindari kelompok

otot yang akan digunakan untuk aktifitas untuk mencegah percepatan

ambilan insulin.

12) Identifikasi gejala hipoglikemia mis, lemah, pusing, letargi, lapar, peka

rangsang, diaforesis, pucat, takikardia, tremor, sakit kepala, dan

perubahan mental dan jelaskan penyebabnya.

45
Rasional: Hiperglikemia saat bangun tidur dapat mencerminkan

fenomena fajar atau respon balik pada hipoglikemia selama tidur yang

memerlukan penurunan dosis insulin atau perubahan diet.

13) Demonstrasikan teknik penanganan stres, seperti latihan napas dalam,

bimbingan imajinasi, mengalihkan perhatian.

Rasional: Meningkatkan relaksasi dan pengendalian terhadap respon

stress yang dapat membantu untuk membatasi peristiwa

ketidakseimbangan glukosa/ insulin.

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah kegiatan tindakan dari perencanaan

untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. Pemenuhan kebutuhan fisik

dan emosional adalah variasi, tergantung individu dan masalah yang spesifik.

Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung

jawab perawat secara profesional sebagaimana terdapat dalam standar praktik

keperawatan (Wilkinson, 2014).

a. Independen adalah tindakan keperawatan mandiri (independen) adalah

suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dari dokter

atau tenaga kesehatan lainnya. Tindakan tersebut merupakan suatu kondisi

dimana perawat mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan

keperawatan secara mandiri berdasarkan pendidikan dan pengalamannya.

b. Interdependen adalah tindakan keperawatan yang memerlukan suatu

kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga sosial, ahli

gizi, fisioterapi dan dokter.

46
c. Dependen adalah tindakan keperawatan ketergantungan dimana tindakan

ini berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis (Wilkinson,

2014).

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah perbandingan yang sistematika pada status kesehatan

klien, dengan mengukur perkembangan klien dalam mencapai suatu tujuan,

sehingga perawat dapat menentukan efektifitas tindakan keperawatan. Jenis

Evaluasi keperawatan, yaitu: Evaluasi berjalan/ proses (formatif) adalah

evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan, yang dilakukan secara terus-

menerus sampai tujuan yang ditentukan tercapai. Format yang dipakai adalah

format SOAP, S: Data subjektif, adalah perkembangan keadaan yang

didasarkan pada apa yang dirasakan, yang dikeluhkan, dan dikemukakan

klien, O: Data objektif, adalah perkembangan yang bisa diamati dan rawat

atau tim kesehatan lain, A: Analisis, dalah penilaian dari kedua jenis data

(baik subjektif maupun objektif) apakah berkembang ke arah perbaikan atau

kemunduran, P: Perencanaan, adalah rencana penanganan klien yang

didasarkan pada hasil analisis diatas yang berisi melanjutkan perencanaan

sebelumnya apabila keadaan atau masalah belum teratasi, dan Evaluasi

hasil/akhir (somatif) adalah evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan

keperawatan, yang berorientasikan pada masalah keperawatan, dan

menjelaskan tentang keberhasilan dan tidak keberhasilan (Prabowo, 2016).

47
DAFTAR PUSTAKA
Anisa Saktian Putri. 2018. Tahun 2018 Penderita Diabetes di Indonesia Meningkat.
http://m.fimela.com/lifestyle-relationship/read/3739252/tahun-2018-
penderita-diabetes-di-indonesia-meningkat. Diakses 29 juni 2020
Budiono dan Sumirah, B. Pertami. 2015. Konsep Dasar Keperawatan, Bumi
Medika: Jakarta.
Deni, Nursiswati & Rosyidah. 2017. Buku ajar: Rencana Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah: Diagnosis NANDA-I 2015-2017. Intervensi NIC hasil
NOC. Kedokteran EGC. Jakarta

Doenges, Moorhouse dan Geissler. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman


Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3,
Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta.

Dolensek, Rupnik& Stoze. 2015. Internet. Anatomi dan Fisiologi Pankreas.


http://jiptummpp-gdl-inaskhoiru-47045-3-bab2.pdf. Diakses 29 juni 2020

Hurst Marlene. 2016. Buku ajar: Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah.
Vol.2. Kedokteran EGC. Jakarta

Ina. 2007. Internet. Kelenjar Pangkreas Langerhans. http://yusnia-


bio.com/2009/04/.html. Diakses 29 juni 2020

LeMone Pricilla. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 5, EGC:
Jakarta

Mary G, Donna J dan Jim K. 2014. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 1, Rapha
Publishing: Yogyakarta.

Prabowo, Tri. 2016. Dokumentasi Keperawatan. Edisi 1, PT PB: Yogyakarta

Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit
Dalam, Nuha Medika: Yogjakarta.

Riskesdas, 2018. Internet. Kementrian Kesehatan Badan Peneliti Dan


Pengembangan Kesehatan. www.riskesdas.go.id. Diakses Juni 2020.

Subiyanto, 2019. Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Endokrin. Yogyakarta.

Surkamin, 2015. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Gangguan Sistem


Endokrin & Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta: Graha Ilmu

Syaifuddin. 2013. Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3,


EGC: Jakarta.
48
Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2014 Tentang : Keperawatan.
Salemba Medika: Jakarta

Wilkinson, Judith M. 2014. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis


Keperawatan NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC. Edisi 9, EGC:
Jakarta.

Wijaya, S. Andra dan Yessie M, Putri. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Nuha
Medika: Yogyakarta.

49

Anda mungkin juga menyukai