PENDAHULUAN
1|Page
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Peraturan :
2|Page
Ny.Sera juga mengatakan keluhan juga muncul bila mencium bau
parfum dan asap rokok. Keluhan mata gatal disangkal. Ny.Sera mengaku
keluhan ini mulai muncul sejak ia menjabat sebagai manajer bank. Riwayat
penggunaan KB hormonal disangkal. Keluarga tidak mempunyai riwayat
keluhan yang sama. Riwayat penggunaan obat-obatan dalam waktu lama
disangkal.
Pemeriksaan Fisik :
Vital sign : TD: 110/70 mmHg, N: 90x/menit reguler, isi dan tegangan cukup,
RR: 22x/menit, T: 37,0oC
Status THT :
3|Page
4. Membrana timpani : struktur tipis antara meatus acousticus
eksternus dan telinga tengah (dorlan, 2012)
2. Ny.Sera juga mengatakan keluhan juga muncul bila mencium bau parfum
dan asap rokok. Keluhan mata gatal disangkal. Ny.Sera mengaku keluhan
ini mulai muncul sejak ia menjabat sebagai manajer bank. Riwayat
penggunaan KB hormonal disangkal. Keluarga tidak mempunyai riwayat
keluhan yang sama. Riwayat penggunaan obat-obatan dalam waktu lama
disangkal.
4|Page
3. Pemeriksaan Fisik :
Vital sign : TD: 110/70 mmHg, N: 90x/menit reguler, isi dan tegangan
cukup, RR: 22x/menit, T: 37,0oC
4. Status THT :
Telinga : membrana timpani utuh, refleks cahaya +/+
Hidung : cavum nasi sempit, sekret (+/+) berwarna putih, konka hipertrofi
berwarna merah tua, massa (-)
Tenggorokan : arcus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1 tenang,
dinding faring posterior tenang.
5|Page
luar disebut apex, kearah posterior dan inferior apex berhubungan
dengan bibir melalui columella (Snell, Richard S. 2015).
Hidung bagian dalam, terdiri dari suatu rongga yang dilapisi oleh
epitel. Rongga ini memiliki lubang pada bagian depan yang disebut
nares, lubang belakang yang berhubungan secara langsung dengan
nasopharing yang disebut choana (Snell, Richard S. 2015).
Pada dinding lateral terdapat bentukan yang disebut concha dengan
tiga meatus, yaitu (Snell, Richard S. 2015) : meatus nasi inferior
yang merupakan ruangan diantara concha inferior dan dasar hidung
serta tempat bermuaranya ductus nasolacrimalis, meatus nasi
media yang berupa ruangan diantara concha inferior dan concha
media, disini terdapat orificium dari sinus frontalis, grup anterior
sinus ethmoidalis serta terdapat hiatus semilunaris yang merupakan
orificium dari sinus maxillaris, meatus nasi superior berada diatas
concha media dan disini terdapat beberapa orificum yang
menghubungkannya dengan grup posterior sinus ethmoidal serta
sinus sphenoidalis. Kadang-kadang didapatkan concha suprema
diatas concha superior. Konka suprema, superior dan media berasal
dari lamina lateralis os ethmoidalis, sedangkan concha inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maxilla.
Vaskularisasi hidung terdiri dari beberapa arteri yang berbeda serta
banyak didapatkan anastomosis yang dibentuk dari arteri-arteri
tersebut. Pada prinsipnya suplai darah pada hidung dalam, terbagi
menjadi dua yaitu suplai darah untuk dinding lateral dan suplai
darah untuk septum nasi. Suplai darah untuk dinding lateral berasal
dari tiga sumber, yaitu (Snell, Richard S. 2015) : a. ethmoidalis
anterior dan a. ethmoidalis posterior, yang mana kedua pembuluh
darah ini merupakan cabang dari a. ophthalmica serta a.
sphenopalatina yang merupakan cabang terminal dari a. maxillaris
interna. Sedangkan untuk septum nasi, vaskulrisasi berasal dari a.
labialis superior, a. palatina mayor serta Plexus Kiesselbach
6|Page
disamping juga berasal dari arteri-arteri yang memperdarahi
dinding lateral hidung.
Inervasi saraf pada hidung meliputi persarafan sensorik oleh
cabang opthalmicus dan maxillaris dari n. trigeminus, n. olfactorius
sebagai saraf pembauan, persarafan motorik pada bagian luar
hidung oleh n. facialis serta persarafan otonom untuk mengatur
diameter dari pembuluh darah arteri dan vena pada hidung bagian
dalam (Snell, Richard S. 2015).
Jaringan limfatik hidung terdiri dari jaringan pembuluh anterior
dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil, bermuara
disepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher, melayani bagian
anterior hidung vestibulum dan prekonka. Jaringan limfatik
posterior melayani hampir seluruh bagian hidung, menggabungkan
ketiga saluran utama di daerah hidung belakang melalui saluran
superior, media dan inferior (Snell, Richard S. 2015).
Secara fisiologis hidung memiliki fungsi primer dan sekunder.
Fungsi primer dari hidung ada empat, yaitu sebagai alat
penciuman, sebagai pintu masuk fisiologis udara pernafasan,
sebagai alat penyaring udara serta sebagai alat pengatur suhu dan
kelembaban udara pernafasan. Fungsi sekunder dari hidung adalah
sebagai resonator box (Snell, Richard S. 2015).
Fungsi penciuman dilakukan oleh n. olfactorius melalui
komponen-komponen penunjangnya yang melekat pada lamina
kribriformis, sehingga setiap gangguan aliran udara pada hidung
dapat menyebabkan timbulnya anosmia (Snell, Richard S. 2015).
Pada keadaan yang dianggap kurang menguntungkan, seperti
layaknya sebuah pintu masuk, maka hidung akan melakukan
mekanisme pertahanan dengan membatasi aliran masuknya udara.
Penyempitan jalan masuk udara ini sering terjadi pada keadaan
keradangan seperti pada rinitis. Mekanisme ini kadang-kadang
justru dapat menimbulkan masalah (Snell, Richard S. 2015).
7|Page
Gambar 2. Anatomi Hidung
Sumber : Snell, Richard S. 2015
8|Page
Sebagai alat penyaring udara pernafasan, silia berperan untuk
mengarahkan kotoran-kotoran termasuk bakteri kearah faring
untuk kemudian tertelan atau dikeluarkan, sedangkan rambut-
rambut pada bagian anterior berperan untuk menyaring partikel-
partikel yang lebih besar (Snell, Richard S. 2015).
Fungsi pengaturan suhu dan kelembaban dilakukan oleh
pembuluh-pembuluh darah (kavernosa) pada mukosa konka dan
septum, dengan mengatur suhu udara agar mendekati 36° C.
sedangkan pengaturan kelembaban udara dikerjakan oleh kelenjar-
kelenjar tuboalveolar dan bila perlu juga oleh sel-sel goblet,
sehingga akan didapatkan kelembaban yang berkisar antara 75% -
80% (Snell, Richard S. 2015).
Histologi Hidung
Mukosa olfaktori berada diatap rongga hidung di kedua sisi sekat
pembagi, dan di permukaan konkka superior. Epitel dari olfaktori
adalah epitel kolumnar tinggi berlapis semu tanpa sel goblet dan
tanpa silia motil. Lamina ropria dibawahnya mengandung kelenjar
(Bowman). Saraf-saraf kecil yang terletak di lamina propria adalah
nervous olfaktorius. Sel olfaktori memiliki nukleus bundar atau
oval yang terletak diantara sel penunjang dans el basal
(Eroschenko, 2013).
9|Page
Gambar 2. Histologi Hidung
Sumber : Eroschenko, V.P., 2013, Atlas Histologi difiore
10 | P a g e
hidung terdapat organ vomeronasal yang berperan terhadap deteksi
feromon (Silverthorn, 2014).
Alat pencium terdapat dalam rongga hidung dari ujung saraf otak
nervus olfaktorius dan timbul pada bagian atas lendir hidung
( olfaktori ). Nervus olfaktori dilapisi oleh sel – sel yang khusus
yang mengeluarkan fibril yang sangat halus tenalin dengan serabut
dari olfaktorius yang merupakan otak kecil, saraf olfaktorius
terletak lempeng etmoidalis (Silverthorn, 2014).
11 | P a g e
Fungsi Hidung :
1) Organ penyaring udara dalam sistem pernafasan.
2) Organ pembantu penghangat suhu udara yang dihirup.
3) Sebagai indera penciuman.
12 | P a g e
f. Apa kemungkinan penyakit dengan keluhan utama hidung buntu ?
Jawab :
Kemungkinan penyakit dengan keluhan utama hidung buntu
adalah:
Rhinitis vasomotor : Gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang disebabkan
oleh bertambahnya aktivitas saraf
parasimpatis ( Rambe A.Y.M. ,
2003).
Rhinosinusitis : penyakit peradangan mukosa yang
melapisi hidung (Arivalagan A.
2011).
Abses septum nasi : Pus yang terkumpul di antara tulang
rawan dengan mukoperikondrium
atau tulang septum dengan
mukoperioteum yang melapisinya
(Prijadi J. 2013).
13 | P a g e
Rhinitis alergi : Penyakit inflamasi yang disebabkan
oleh reaksi alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen tersebut (Reinhard
E. 2012).
Kemungkinan pada kasus ini, Ny.Sera mengalami Rhinitis
Vasomotor.
14 | P a g e
Sintesis :
Definisi dari rhinitis alergi menurut WHO ARIA tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai Ig E.
15 | P a g e
Kelembaban (pada malam hari)
Bau menyengat (bau parfum)
Asap rokok
Udara dingin
Sintesis :
16 | P a g e
seperti sel mast → merangsang reseptor H1 pada saraf vidianus →
bersin-bersin.
Adanya paparan pada suatu iritan (faktor pemicu/triggers :
perubahan temperatur, asap rokok, bau menyengat (bau parfum))
→ disfungsi hidung → peningkatan peptida vasoaktif dari sel-sel
seperti sel mast → merangsang reseptor H1 pada saraf vidianus →
merangsang serabut halus C tak bermielin → gatal-gatal.
Adanya paparan pada suatu iritan (faktor pemicu/triggers :
perubahan temperatur, asap rokok, bau menyengat (bau parfum))
→ disfungsi hidung → peningkatan peptida vasoaktif dari sel-sel
seperti sel mast → merangsang reseptor H1 pada saraf vidianus →
merangsang serabut halus C tak bermielin → merangsang sel
goblet, kelenjar, peningkatan permeabilitas → ingus encer
(rinorea)
(Irawati dan Niken, 2012).
17 | P a g e
pencetus dari keluhan yang dialami Ny.Sera (Irawati dan Niken,
2012).
18 | P a g e
Jawab :
Hubungan pekerjaan yaitu meningkatkan faktor pemicu yang
internal, yaitu stress, juga terpapar udara dingin. Dimana pekerjaan
Ny.Sera sebagai manajer bank memungkinkan Ny.Sera
mendapatkan faktor stress dan juga Ny.Sera selalu terpapar udara
dingin dari AC dalam ruangan (Irawati dan Niken, 2012).
19 | P a g e
Klasifikasi dari Rhinitis adalah (David, 2006) :
I. Allergic (nonoccupational)
II. Infectious: Acute and chronic
a) Viral (common cold)
b) Bacterial
c) Fungal
III. Nonallergic, noninfectious rhinitis/rhinopathy
a) Idiopathic rhinitis (also termed vasomotor)
b) Nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome (NARES)
c) Estrogen-induced rhinitis (pregnancy, menstrual cycle
related, contraceptives)
d) Drug-induced rhinitis (topical a-adrenergic agonists,
vasodilators)
e) Atrophic rhinitis (one form, ozena, is probably bacterial in
origin)
f) Gustatory rhinitis (induced by spicy food)
g) Cold air–induced rhinitis (skier’s nose)
h) Rhinitis due to anatomical abnormalities
i) Rhinitis associated with systemic conditions (vasculitis,
granulomatous diseases).
3. Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis
Vital sign : TD: 110/70 mmHg, N: 90x/menit reguler, isi dan tegangan
cukup, RR: 22x/menit, T: 37,0oC
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
Jawab :
20 | P a g e
Hasil Pemeriksaan Keadaan Normal Innterpretasi
Keadaan umum: tampak Tidak tampak sakit Abnormal
sakit sedang
TD: 110/70 mmHg 120/80 mmHg Normal
N: 90x/menit, isi dan 60-100x/menit, isi dan Normal
tegangan cukup tegangan cukup
RR: 22x/menit 16-24x/menit Normal
T: 37C 36,5˚C – 37,2 ˚C Normal
4. Status THT :
Telinga : membrana timpani utuh, refleks cahaya +/+
Hidung : cavum nasi sempit, sekret (+/+) berwarna putih, konka hipertrofi
berwarna merah tua, massa (-)
Tenggorokan : arcus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1 tenang,
dinding faring posterior tenang.
a. Bagaimana interpretasi dari hasil status THT Ny.Sera?
Jawab :
21 | P a g e
sempit mukosa hidung
sekret (+/+) Tidak ada sekret Abnormal, rinorrhea
berwarna putih
konka hipertrofi Konka berwarna merah Abnormal, hipertrofi
berwarna merah muda
tua
massa (-) massa (-) Normal
Tenggorokan :
arcus faring arcus faring simetris Normal
simetris
uvula di tengah uvula di tengah Normal
tonsil T1-T1 tonsil T1-T1 tenang Normal
tenang
dinding faring dinding faring posterior Normal
posterior tenang tenang
22 | P a g e
goblet, kelenjar, peningkatan permeabilitas → sekret (+/+)
berwarna putih
(Irawati dan Niken, 2012).
23 | P a g e
b) Tunggu beberapa menit sampai pasien tidak merasa lagi
waktu menelan ludah.
c) Kaca faring dipanasi dengan lampu spiritus ( lebih
tinggi sedikit dari 37° C) supaya nanti tidak menjadi
buram / kabur. Lalu tempelkan pada tangan kita untuk
mengontrol apakah cermin terlalu panas atau tidak.
d) Kembali minta pasien untuk membuka mulut dan
mengeluarkan lidahnya. Tekan lidah dengan spatula
lidah.
e) Masukkan kaca faring ke dalam mulut, dipegang dengan
tangan kanan, seperti memegang pensil, dan diarahkan
ke bawah.
f) Kaca faring dimasukkan ke dalam faring dan mengambil
posisi di depan uvula. Kalau perlu uvula didorong sedikit
ke belakang dengan punggung kaca faring. Lalu kaca
faring disinari dengan lampu kepala.
g) Perhatikan pada cermin: tuba eustachii, fossa
Rosenmuller, choana, massa.
h) Lakukan interpretasi dari hasil rhinoskopi posterior.
10) Pemeriksaan tenggorokan
a) Pemeriksa memakai lampu kepala yang cahayanya
diarahkan ke mulut pasien
b) Pasien diminta membuka mulut.
c) Lidah ditekan ke bawah dengan spatula lidah yang
dipegang dengan tangan kiri.
d) Perhatikanlah tonsila palatina kanan dan kiri serta
keadaan faring pasien.
e) Lakukan interpretasi hasil pemeriksaan tenggorokan.
11) Pemeriksaan Laring
a) Pemeriksaan luar
Inspeksi : warna kulit leher, massa
24 | P a g e
Palpasi : massa
25 | P a g e
viii. Minta pasien mengucapkan huruf ”i” dengan
tempo yang agak lama agar kita dapat
memperhatikan:
a) Radiks lidah, epiglotis, dan sekitarnya
b) Lumen laring dan rima glottidis
c) Bagian yang terletak kaudal dari rima
glotidis.
26 | P a g e
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test
RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah
yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel
neutrofil dalam sekret (David, 2006).
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan
mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat
(David, 2006).
27 | P a g e
7. Pemeriksaan penunjang apalagi yang diperlukan untuk mendiagnosis
kasus ini?
Jawab :
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan adalah (Soepardi, 2014) :
a) Skin prick test
b) Kadar IgE
c) Pemeriksaan eosinofil pada sekret hidung
d) Pemeriksaan radiologik sinus
e) Test RAST
28 | P a g e
Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu
sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid
topikal :
o Budesonide 1-2 x/hari dengan dosis 100-200
mcg/hari.
o Fluticasone Propionate dengan pemakaian cukup 1
x/hari dengan dosis 200 mcg selama 1-2 bulan.
Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore
sebagai keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide
(nasal spray).
29 | P a g e
Jawab :
a) Sinusitis
b) Eritema pada hidung sebelah luar
c) Pembengkakan wajah
30 | P a g e
2.6 Kesimpulan
Ny.Sera, 30 tahun mengeluh hidung buntu, hidung gatal, bersin-bersin, dan keluar
ingus encer dikarenakan mengalami rhinitis vasomotor.
Disfungsi Hidung
Meningkatkan
Meningkatkan rangsangan saraf
Menurunkan
saraf sensoris C
saraf simpatis
parasimpatis
Peningkatan pelepasan
31 | P a g e
neuropeptida
Dilatasi arteri dan
kapiler
Peningkatan vascular dan sekresi kelenjar
permeabilitas kapiler
Transudasi cairan
(edema)
DAFTAR PUSTAKA
Hidung gatal
Asyari Hidung buntu
A. . 2012. Pengukuran Bersin-bersin
Sumbatan Hidung Rinorrhea
Pada Deviasi Septum Nasi.
Padang. Universitas Andalas.
Dorland, W.A. Newman. 2012. Kamus Kedokteran Dorland; Edisi 28. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi
11. Jakarta: EGC.
Irawati, Ninda dan Poerbonegoro, Niken. 2012. Rinitis Vasomotor. Dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi
Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Pulungan A.S. 2013. Rinitis Akut et causa infeksi bakteri pada laki-laki dewasa
22 tahun.Lampung, Universitas Negeri Lampung.
32 | P a g e
Soepardi, Afiatu dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Ed 7. Hal 113-115. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
33 | P a g e