Anda di halaman 1dari 24

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang

yang telah terinfeksi basil tuberkulosis. Beban penyakit yang disebabkan oleh

tuberkulosis dapat diukur dengan Case Notification Rate (CNR), prevalensi

(didefinisikan sebagai jumlah kasus tuberkulosis pada suatu titik waktu tertentu),

dan mortalitas/kematian (didefinisikan sebagai jumlah kematian akibat

tuberkulosis dalam jangka waktu tertentu).

3.2 Epidemiologi

Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA+ sebanyak 176.677

kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2013

yang sebesar 196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di

provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan

Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut sebesar 40% dari

jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.

Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada

perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada

masing-masing provinsi diseluruh Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi

pada laki-laki dibandingkan perempuan. Disparitas paling tinggi antara laki-laki

dan perempuan terjadi di Kep. Bangka Belitung, kasus pada laki-laki hampir dua

kali lipat dari kasus pada perempuan. Menurut kelompok umur, kasus baru paling

15
16

banyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 20,76% diikuti

kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,57% dan pada kelompok umur 35-44

tahun sebesar 19,24%.

Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta

kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5

juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB

tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang

(140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO)

dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta

kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun.

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,

diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)

dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan

63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka

Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan

sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,

diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV

diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan

sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB

dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko paling penting

dalam terjadinya perburukan TB. Sejak permulaan abad ke 20, para klinisi telah

mengamati adanya hubungan antara DM dengan TB, meskipun masih sulit untuk
17

ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang menimbulkan

manifestasi klinis DM. Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan

prevalensi DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan

prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan

dengan kontrol yang non-DM.6,7 Dalam studi terbaru di Taiwan disebutkan

bahwa DM merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang telah

dikonfirmasi dengan kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien.

Pada penelitian Guptan & Shah (2000) disebutkan bahwa pasien yang paling

banyak menderita DM tipe 2 dengan TB paru adalah pasien dengan kisaran umur

diatas 40 tahunan. Hal ini terutama disebabkan karena dengan bertambahnya

umur, fungsi sel pankreas dan sekresi insulin berkurang. Selain itu, kondisi

hiperglikemia yang tidak terkontrol merupakan faktor predisposisi untuk

timbulnya infeksi karena berkurangnya fungsi monositmakrofag.

3.3 Etiologi dan cara penularan

Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman

berbentuk batang. Yang sebagian besar dindingnya terdiri atas asam lemak (lipid),

kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman

lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam

(BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.

Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan

dingin (dapat bertahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena

kuman berada dalam sifat dormant. Jadi karena bersifat dormant, TB dapat
18

kambuh. Mycobacterium tuberculosis hominis merupakan bakteri aerob obligat

yang pertumbuhannya lambat karena dihambat oleh pH <6,5 dan oleh asam lemak

rantai panjang. Maka dari itu, basil tuberkulosis sulit ditemukan di bagian tengah

lesi perkijauan besar karena terdapat anaerobiosis, pH rendah, dan kadar asam

lemak meningkat.

Adapun cara penularan TB adalah melalui udara ketika pasien TB batuk,

bersin, berbicara atau bernyanyi. Penularan sebagian besar melalui inhalasi basil

yang terdapat pada pasien TB paru dengan batuk berdarah maupun TB dengan

BTA (+). Tempat masuk kuman M.tuberculosis adalah saluran pernapasan,

saluran pencernaan (GI), dan luka terbuka pada kulit. Infeksi TB paru terjadi

melalui udara, yaitu inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil

tuberkel dari orang yang terinfeksi.

3.4 Faktor resiko tingginya angka kejadian TB

 Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara

berkembang

 Masalah pada kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang buruk,

tingginya angka pengangguran, tingkat pendidikan yang rendah,

mengakibatkan masyarakat rentan terhadap TB.

 Kegagalan program TB yang disebabkan oleh komitmen politik dan

pendanaan yang kurang memadai, pelayanan TB kurang terakses oleh

masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, pemantauan dan

pelaporan kurang sesuai standar, dsb.

 Gizi buruk, merokok, diabetes, dampak pandemic HIV


19

 Kasus yang tidak berhasil disembuhkan yang mengakibatkan Multi Drug

Resistance (MDR) sehingga terjadi epidemic TB

Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain: 6

1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena

masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan, dan

pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.

2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum

menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC

seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat yang tidak

baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan pencatatan

dan pelaporan yang baku.

3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam

penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.

4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di

Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko

tinggi seperti daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi

permukiman padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.

5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam

penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan

dan pelaporan.
20

6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko

terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,

merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.

7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan

meningkatkan pembiayaan program TB.

8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat

pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan

pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat

terjangkit TB.

3.5 Patofisiologi

A. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut

sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian

mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer

akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis

lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di

hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis

regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini dapat

menjadi :
21

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain Ghon focus,

garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya

Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan

bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang

membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas

bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan

menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis

dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang

dikenal sebagai epituberkulosis.

b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru yang sakit maupun ke paru

sebelahnya atau tertelan.

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan

dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang

ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila imunitas tidak

adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti

tuberkulosis milier, maupun meningitis tuberkulosis. Penyebaran ini juga

dapat menimbulkan tuberkulosis pada organ tubuh lainnya, misalnya

tulang, ginjal, kelenjar adrenal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dari

penyebaran ini mungkin berakhir dengan :


22

 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan

terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,

tuberkuloma)

 Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. Tuberkulosis Post-primer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian

setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun.

Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu

tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun,

dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah

kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis

postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen

apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya

berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti

salah satu jalan sebagai berikut :

1. Diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan

dengan meninggalkan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi

pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang

tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju

dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju


23

keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan

menjadi tebal (kavitas sklerotik). Kavitas tersebut akan menjadi :

a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di

atas.

b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi

mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

c. bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti

menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut

sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Bagaimana patofisiologi Tuberkulosis disertai DM

Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden TB paru pada pengidap DM

dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu.

Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami

hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran

sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia

terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang

berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula

darah yang buruk. Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan

disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit. T. Wang et al.
24

mengemukakan adanya peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag

alveolar hipodens) pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan

jumlah limfosit-T yang signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB

saja. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang

disertai DM, dianggap bertanggung jawab terhadap lebih hebatnya perluasan TB

dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM.

Infeksi adalah penyebab utama klinis hiperglikemi pada DM. Tercatat 30%

kasus ketoasidosis diabetik dicetuskan oleh infeksi. Efek metabolik infeksi pada

DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang

distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter regulatory hormones (glukagon,

kortisol, growth hormon, katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel

beta pankreas. Katekolamin diprouksi oleh saraf simpatis sedangkan adrenalin

dihasilkan oleh medulla adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya

glukoneogenesis dan penekanan terhadap sekresi insulin.

3.6 Klasifikasi Tuberkulosis

A. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak  menunjukkan hasil BTA

positif

b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

biakan positif

B. Tuberkulosis paru BTA (-) adalah :


25

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis

dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

Berdasarkan Tipe Pasien :

A. Kasus Baru : Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

B. Kasus Kambuh (relaps) : Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap, kemudian kembali  lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi

aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa

kemungkinan:

a. Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)

b. TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten

menangani kasus tuberculosis

C. Kasus Defaulted atau drop out : Adalah pasien yang telah menjalani

pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau

lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

D. Kasus Gagal : Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) atau akhir pengobatan.


26

E. Kasus Kronik : Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif

setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan

pengawasan yang baik.

F. Kasus Bekas TB :

 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran

radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial

menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat

akan lebih mendukung

 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat

pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan

gambaran radiologi.

3.7 Diagnosis Tuberkulosis Paru

1. Gejala Klinis :

a. Respiratorik

• batuk ≥ 3 minggu

• batuk darah

• sesak napas

• nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala

sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita

terdiagnosis pada saat medical checkup. Bila bronkus belum terlibat dalam

proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang

pertama terjadi karena iritasi bronkus.


27

b. Sistemik

• Demam

• Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan

menurun

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain :

 Suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-

tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

 Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura.

- perkusi : pekak

- auskultasi : suara napas melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang

terdapat cairan

 Limfadenitis tuberkulosa : Pembesaran kelenjar getah bening leher, kadang-

kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold

abscess”.

3. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan

untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,

liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan

biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)


28

A. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan :

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turutatau

dengan cara:

• Sewaktu/spot (pengambilan dahak sewaktu saat kunjungan)

• Dahak Pagi (pengambilan dahak keesokan harinya)

• Sewaktu/spot (pengambilan dahak pada saat mengantarkan dahak pagi)

B. Cara pemeriksaan dahak dan specimen lain dapat dilakukan dengan cara

mikroskopik dan kultur. Interpretasi dari hasil pemeriksaan mikroskopik dari

3 kali pemeriksaan ialah bila :

 2 kali positif, 1 kali negatif :Mikroskopik positif

 1 kali positif, 2 kali negatif :ulang BTA 3 kali

 1 kali positif, 2 kali negatif :Mikroskopik positif

 3 kali negatif : Mikroskopik negative

Adapun pemeriksaan kultur dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti dan

dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease)

  - Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

  - Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman

yang ditemukan : Scanty

  - Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +(+1)

  - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++(+2)


29

  - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(+3)

4. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar adalah dengan foto thoraks PA dengan atau tanpa foto

lateral. Adapun gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru

dan segmen superior lobus bawah

 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opaque berawan

atau nodular

 Bayangan bercak milier

 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Sedangkan gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah sebagai

berikut

 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau

fibrotik

 Kompleks ranke

Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,

biasanya secara klinis disebut luluh paru .Gambaran radiologik luluh paru

terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk

menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik

tersebut.
30

Gambar 3.1. Alur Penanggulangan TB paru4

3.8 Pengobatan Pasien TB

 Tujuan pengobatan :

o Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup

o Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk

selanjutnya

o Mencegah terjadinya kekambuhan TB

o Menurunkan penularan TB

o Mencegah terjadinya TB resisten obat

 Prinsip Pengobatan TB

o Obat anti tubetkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan

TB
31

o Pengobatan TB merupakan merupakan salah satu upaya paling efisien untuk

mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB

o Pengobatan adekuat jika memenuhi prinsip :

o Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung 4

macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi

o Diberikan dalam dosis yang tepat

o Diminum secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas

menelan obat) sampai selesai pengobatan

Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap

awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

 Tahapan Pengobatan TB :

- Fase Awal : Pengobatan diberikan tiap hari à menurunkan jumlah kuman

yang ada dalam tubuh (harus 2 bulan)

- Fase Lanjutan : Tahap penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada

dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan

mencegah kekambuhan.
32

Tabel 3.1. Daftar OAT lini pertama dan efek sampingnya

Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa


Dosis
Harian 3 x / minggu
OAT Kisaran Maksimum Kisaran Maksimum/ha
dosis (mg/kg (mg) dosis (mg/kg ri (mg)
BB) BB)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000
Tabel 3.2 Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (WHO dan ISTC) adalah sebagai

berikut :

 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

 Kategori 2 : 2(HZRE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

OAT Kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3) diberikan untuk pasien baru, yaitu

pasien TB paru dengan tes BTA positif dan pasien TB paru dengan BTA

negatif namun foto toraks positif. Berikut adalah tabel aturan pakai FDC dan

kombipak untuk pasien kategori I :


33

Tabel 3.3 Tabel aturan pakai FDC untuk pasien TB kategori I

Tabel 3.4. Tabel aturan pakai kombipak untuk pasien TB kategori I

OAT kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) diberikan untuk pasien

BTA positif yang telah diobati sebelumnya, meliputi pasien kambuh, pasien

gagal dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) 2. Berikut

adalah tabel aturan pakai FDC untuk pasien kategori II

Tabel 3.5. Tabel aturan pakai FDC untuk pasien TB kategori II

Untuk memantau progress keberhasilan terapi, dilakukan pemeriksaan ulang

dahak secara mikroskopis dengan 2 contoh uji dahak yaitu sewaktu dan pagi.

Jika 2 contoh uji dahak negatif, maka BTA (-), jika salah satu atau kedua

contoh uji dahak positif, maka BTA (+).


34

Tabel 3.6. Tabel aturan pakai kombipak untuk pasien TB kategori II

3.9 Evaluasi Pengobatan4,6

Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan


efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.5,6

Evaluasi klinik

i. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama


pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
ii. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit
iii. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9)

i. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak


ii. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
iii. Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

i. Sebelum pengobatan
ii. Setelah 2 bulan pengobatan
35

iii. Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik

i. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap.
ii. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin,
dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan.
iii. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
iv. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol.
v. Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri.
vi. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat
efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat

Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan
adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini
maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
36

3.10 Hasil pengobatan pasien TB4,6,12

Tabel 3.7 Hasil pengobatan TB

3.11 Komplikasi

TB laring

Tb laring merupakan komplikasi ekstraparu yang dapat terjadi karena


penyebaran kuman tuberculosis ke laring.

Pleuritis Eksudatif

Bila terdapat proses TB di bagian paru dekat sekali dengan pleura, pleura akan
ikut meradang dan menghasilkan cairan eksudat. Keadaan ini disebut dengan
pleuritis eksudatif. Tidak jarang proses TB nya masih begitu kecil, sehingga pada
foto paru belum tampak kelainan. Saat cairan eksudat masih sedikit, cukup
diberikan terapi spesifik saja, tetapi apabila volume cairan semakin banyak, perlu
37

dilakukan pungsi dan cairan eksudat dikeluarkan sebanyak mungkin, untuk


menghindari terjadinya Schwarte (Penebalan pleura) di kemudian hari.

Pneumothoraks

Bisa saja terjadi proses nekrotis berlangsung dekat sekali dengan pleura, sehingga
pleura ikut mengalami nekrosis dan berlubang, sehingga terjadilah
pneumothoraks. Sebab lain pneumothoraks adalah pecahnya dinding kavitas yang
kebetulan berdekatan dengan pleura, sehingga pleura pun ikut robek.

Hemoptisis

Hemoptisis adalah ekspektorasi darah yang berasal dari saluran nafas bagian
bawah (dibawah pita suara). Karena pada dasarnya proses TB adalah proses
nekrosis, kalau diantara jaringan yang mengalami nekrosis terdapat pembuluh
darah, besar kemungkinan penderita akan mengalami batuk darah, yang dapat
bervariasi mulai dari jarang sekali sampai sering/setiap hari. Variasi lainnya
adalah jumlah darah yang dibatukkan keluar mulai dari sangat sedikit (berupa
garis pada sputum) sampai banyak sekali (profus), tergantung pada pembuluh
darah yang terkena.

Batuk darah baru akan membahayakan jiwa penderita bila profus, karena dapat
menyebabkan kematian oleh syok dan anemia akut. Di samping itu, darah yang
akan dibatukkan keluar akan menyangkut di trakea/larings dan akan menyebabkan
asfiksia akut yang dapat berakibat fatal.1,3,12

Untuk batuk darah yang minimal sampai agak banyak, dapat diberikan koagulan
dan/atau obat-obatan trombolitik (asam traneksamat) saja. Bila perdarahan agak
hebat, perlu dipertimbangkan pemberian transfusi darah segar. Kalau hal ini
sering berulang, perlu juga dipertimbangkan lobektomi ataupun embolisasi arteri,
yang menjadi permasalahan.12

Dalam stadium akut sampai beberapa hari sesudahnya, sebaiknya diberikan pula
antitusif untuk mencegah batuk, sebaiknya diberikan pula antitusif untuk
mencegah batuk, setidak-tidaknya mengurangi frekuensi batuk untuk memberi
38

kesempatan beristirahat secukupnya bagi lesi, sampai thrombus yang terbentuk


cukup kuat. Hemoptisis dikatakan massif apabila batuk darah mencapai > 600 ml
darah dalam 24 sampai 48 jam.

Tatalaksana hemoptisis massif:

Prinsip: mempertahankan jalan nafas, proteksi paru yang sehat, menghentikan


perdarahan

a. Istirahat baring, kepala direndahkan tubuh dimiringkan ke sisi sakit.

b. Oksigen

c. Infus, bila perlu transfuse darah

d. Medikamentosa: Kodein/antitusif untuk supresi batuk

e. Koreksi koagulopati : Vit K IV

Indikasi dilakukannya operasi pada pasien batuk darah massif:

- Batuk darah > 600 cc/24 jam, dan pada observasi tidak berhenti
- Batuk darah > 100-250 cc/24 jam, Hb < 10g/dl. Dan pada
observasi tidak berhenti.
- Batuk darah 100-250 cc/24 jam, Hb >10 gr/dl, pada observasi
48 jam tidak berhenti.

Anda mungkin juga menyukai