Anda di halaman 1dari 76

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHU IBU HAMIL

TENTANG HIV/AIDS DENGAN DAN SIKAP TERHADAP


DENGAN PROVIDER INITIATED HIV TESTING AND
COUNSELING (PITC) DI PUSKESMAS LAMEPAYUNG
TAHUN 2020

Proposal Penelitian

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pada Program Studi S1 Keperawatan

Disusun oleh :

SITI AMINAH

NIM :CKR0160107

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

KUNINGAN

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah Human Immunodeficiency Virus-Acquired

Immunodeficiency Syndrome (HIV-AIDS) merupakan masalah besar yang

mengancam banyak Negara di seluruh dunia. World Health Organization

(WHO) menyebutkan bahwa pada tahun 2015 terdapat 2,1 juta orang

terinfeksi HIV baru dan 1,1 juta orang meninggal akibat AIDS diseluruh

dunia. Kasus HIV-AIDS di Asia Pasifik pada tahun 2015 terdapat 300.000

orang terinfeksi HIV baru dan 180.000 orang meninggal akibat AIDS

(WHO, 2015). Di negara Afrika, HIV-AIDS di negara Afrika, pada anak

masih menempati persentase yang tinggi, yaitu rata-rata 47% dari total

keseluruhan anak hidup dengan HIV, dimana >90% yang terinfeksi

melalui penularan vertical dari ibu ke bayi selama kehamilan, persalinan

atau menyusui. (UNAIDS, 2013).

Indonesia merupakan negara dengan peningkatan kasus HIV-

AIDS tercepat di Asia. Kelompok terbesar penderita HIV-AIDS adalah

kelompok berusia produktif di antara 20-29 tahun yang menyumbang

sekitar 37,1% dari keseluruhan penderita HIV-AIDS (STBP, 2012).

Jumlah ibu hamil positif mengidap virus HIV hingga Juni 2014 mencapai

1.182 orang. Jika dibandingkan data tahun 2011, terdapat 534 ibu hamil

positif, ini berarti terjadi peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2014.

Program pencegahan dan pemeriksaan ibu hamil terkena virus HIV ke bayi
sudah dilaksanakan sejak 2006 dan terus ditingkatkan hingga tahun 2011.

Hasil pemeriksaan pada 2011 untuk ibu hamil sebanyak 21.000 orang dan

terus dilakukan sampai Juli 2014 mencapai 134.000 orang ibu hamil yang

dites apakah tertular atau tidak (Fatir, 2014).

Data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, bahwa estimasi dan proyeksi jumlah orang dengan HIV-AIDS

pada umur ≥15 tahun di Indonesia pada tahun 2016 adalah sebanyak

785.821 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak 90.915 orang dan

kematian sebanyak 40.349 orang. Jumlah kasus baru HIV positif

ditemukan 36,7% adalah wanita usia produktif (15-49 tahun). (Kemenkes

RI, 2017).

Infeksi virus HIV pada anak saat ini menjadi masalah kesehatan

yang sangat besar di dunia, dan berkembang dengan cepat serta sangat

berbahaya (Setiawan, 2011). Dampaknya adalah bayi tumbuh lebih sering

mengalami penyakit infeksi dan sering mengalami gangguan tumbuh

kembang bahkan sampai menyebabkan kematian (Kemenkes RI, 2011).

Pada ibu hamil, HIV bukan hanya ancaman bagi keselamatan jiwa ibu,

tetapi juga merupakan ancaman bagi anak yang dikandungnya karena

penularan yang terjadi dari ibu ke bayinya, lebih dari 90% kasus anak HIV

mendapatkan infeksi dengan cara penularan dari ibu ke anak (Mother To

Child Transmission/MTCT) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,

2017).
Jumlah ibu hamil yang HIV positif per 2013 hingga 2017

terbanyak berada di provinsi DKI Jakarta. Rinciannya ibu hamil HIV

positif DKI Jakarta sebanyak 2.887 kasus, kemudian peringkat kedua

Papua sebanyak 2.128 kasus. Kemudian peringkat ketiga adalah Jawa

Barat sebanyak 1.690, Jawa Tengah 1.627, Jawa Timur 1.246, Bali 1.000

ibu hamil yang ODHA. Yang membuat miris adalah jumlah anak di bawah

usia empat tahun yang terpapar HIV positif dalam lima tahun terakhir

yaitu pada 2013 sebanyak 758, kemudian 2014 sebanyak 460, tahun 2015

sebanyak 906, kemudian pada 2016 sebanyak 903. Pada 2017 angka yang

tercatat saat ini sebanyak 959 (Sulistyawati, 2017).

Menurut data Dinkes Kabupaten Kuningan orang dengan

HIV/AIDS ditemukan dari tahun 2004 sampai 2018 sebanyak 489 orang.

Pada Januari hingga Desember 2018 dengan 31 jiwa kasus HIV, 49 jiwa

kasus AIDS, dan 7 jiwa dengan kasus syphilis dengan jumlah kematian

akibat AIDS 6 jiwa. Sedangkan menurut data Dinkes Kabupaten Kuningan

seksi p2p ditemukan Jumlah ibu hamil yang melakukan pemeriksaan HIV di

Kabupaten Kuningan dari tahun 2019 hingga Februari 2020 yaitu HIV positif

dari pemeriksaan PITC 4 orang dan pemeriksaan VCT 3 orang (Profil

Dinkes Kabupaten Kuningan,2019).

Kementrian Kesehatan terus berupaya meningkatakan layanan

konseling dan tes HIV (KTHIV) untuk meningkatkan cakupan tes HIV.

Konseling dan tes HIV mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004,

yaitu dengan pendekatan konseling dan tes HIV sukarela (KTS) atau
disebut juga Voluntery Councelling and Testing (VCT), hingga saat ini

pendekatan tersebut masih dilakukan bagi klien yang ingin mengetahui

status HIV nya, sejak tahun 2010 mulai dikembangkan konseling dan tes

HIV atas inisiatif petugas pemberi layanan (KTIP) atau disebut juga

Provider Initiated Testing and Councelling (PITC). Kedua pendekatan

konseling dan tes HIV ini bertujuan untuk mencapai universal akses,

dengan menghilangkan stigma dan diskriminasi, serta mengurangi missed

opportunities (Permenkes, No 87, 2014).

Provider Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) adalah

suatu tes HIV dan Konseling atau tepatnya pemberian informasi selama 5-

10 menit yang diinisiasi oleh petugas kesehatan kepada pengunjung sarana

layanan kesehatan sebagai standar pelayanan medis (Menteri Kesehatan

Republik Indonesia, 2017). Tujuan utamanya adalah untuk membuat

keputusan klinis dan menentukan pelayanan medis khusus yang tidak

mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti

misalnya terapi ART (Antiretroviral) Konseling dan tes HIV atas Inisiasi

Petugas Kesehatan (TIPK) atau PITC serta Konseling dan Tes HIV

Sukarela (KTS) merupakan bagian dari program pencegahan HIV yang

dilaksanakan di layanan kesehatan dasar salah satunya di puskesmas.

Layanan TIPK tersebut dilakukan di poliklinik KIA/KB dengan sasaran

ibu hamil (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

Berdasarkan wilayah kerja Puskesmas di Kabupaten Kuningan

menunjukkan sebanyak 37 Puskesmas yang ada, 22 puskesmas mampu


melakukan Tes dan Konseling HIV 70%, sedangkan 15 puskesmas lainnya

masih dibawah 50%. Puskesmas Lamepayung termasuk dibawah sasaran

50% dari sasaran ibu hamil 601 dan yang mendapat tawaran tes HIV

sebanyak 235 namun yang mengikuti program PMTCT (tes Lab HIV)

sebanyak 176. (data UPTD Puskesmas Lamepayung, 2019).

Mengingat sampai saat ini cara paling efektif untuk mengurangi

resiko penularan HIV dari ibu ke anak adalah tergantung pada kapan saat

yang tepat seorang wanita mengetahui statusnya. Pengetahuan seseorang

tentang sesuatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu positif dan

negatif. Kedua aspek inilah yang akan menentukan sikap seseorang

terhadap obyek tertentu. Maka semakin bertambahnya pengetahuan

masyarakat akan semakin tinggi keinginan untuk mengetahui kesehatan

dalam dirinya dan juga akan menambah suatu tingkah laku atau kebiasaan

yang sehat dalam diri masyarakat (Notoatmodjo, 2014).

Laporan Riskesdas tahun 2013, Indonesia menunjukkan bahwa

dari 57,5% penduduk yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS , hanya

11,4% yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS, dan

persentase perempuan dengan tingkat pengetahuan komprehensif lebih

rendah, yaitu sebesar 9,8%, dibandingkan dengan laki-laki sebesar 13%.

Begitu juga Provinsi Jawa Barat didapatkan perempuan lebih rendah yaitu

sebesar 13,5% dibandingkan laki-laki sebesar 17,6% (Trihono, 2013:74-

75). Menurut Mubarak (2011:42), pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa

faktor diantaranya yaitu pendidikan, pekerjaan, dan sumber informasi.


Hasil penelitian Halim (2016) menunjukkan bahwa terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku ibu hamil dalam melakukan

tes HIV yaitu pengetahuan, sikap, ketersediaan sarana dan prasarana, dan

dukungan tenaga kesehatan. Hasil penelitian Titik (2011) konseling dan tes

HIV/AIDS secara sukarela pada ibu hamil yang melakukan pelayanan

ANC di Puskesmas Karangdoro Semarang dinyatakan baik sebanyak 26

responden (5,87%), tetapi pengetahuan tentang PITC yang kurang baik

serta dibarengi dengan perilaku yang positif belum tentu seseorang

berperilaku baik terhadap hal tersebut.

Berdasarkan hasil Studi Pendahuluan tanggal 19 Maret 2020

melalui wawancara pada 8 ibu hamil yang melakukan kunjungan ke

Puskesmas Lamepayung Kecamatan Kuningan Kabupaten Kuningan

didapatkan 5 ibu hamil mengatakan mereka belum mengetahui tentang

cara penularan HIV/AIDS saat mereka berhubungan dengan suami,

sedangkan 2 ibu hamil mengatakan sudah mengetahui tentang HIV/AIDS

tetapi pencegahan HIV/AIDS dengan pemeriksaan darah masih belum

dilakukan, dan 1 ibu hamil mengatakan sudah mengetahui tentang

HIV/AIDS dari pengertian, cara penularan dan pencegahannya karena

sudah mengikuti program wajib pemeriksaan tes darah di Puskesmas

Lamepayung sendiri.

Berdasarkan dari fenomena dimana banyak ibu hamil yang tidak

melakukan test PITC di Puskesmas Lamepayung sehingga ibu hamil

banyak yang tidak termotivasi untuk melakukan pemeriksaan HIV/AIDS,


maka peneliti tertarik untuk mengambil judul “ Hubungan antara Tingkat

Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil tentang HIV/AIDS dengan Sikap

terhadap Pelaksanaan Provider Initiated Testing And Counseling (PITC)

Di Puskesmas Lamepayung Tahun 2020”.

1.2 Rumusan Masalah

Kasus HIV/AIDS pada perempuan usia reproduksi sehat semakin

meningkat. Hal ini menyebabkan penularan HIV terhadap bayi juga

semakin meningkat menjadi 0,49%. Kerentanan tersebut tidak hanya

disebutkan oleh faktor biologis perempuan yang lebih rentan dibandingkan

dengan laki-laki. Akan tetapi, umumnnya disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan dan akses untuk mendapatkan informasi mengenai

HIV/AIDS. Secara teoritis pengetahuan yang rendah dapat menyebabkan

ibu hamil kurang memperhatikan kesehatan terkait HIV/AIDS dengan

melakukan pemeriksaan Provider Initiated Testing And Counseling (PITC)

yang disarankan oleh petugas puskesmas.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimanakah Hubungan antara Tingkat

Pengetahuan Ibu Hamil dengan Sikap terhadap Provider Initiated Testing

And Counseling (PITC) Di Puskesmas Lamepayung Tahun 2020?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan

Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil tentang HIV/AIDS dengan dan


Sikap Ibu Hamil tentang HIV/AIDS dengan Pelaksanaan Sikap terhadap

Provider Initiated Testing And Counseling (PITC) Di Puskesmas

Lamepayung Tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan ibu hamil tentang

HIV/AIDS di Puskesmas Lamepayung Tahun 2020.

b. Mengidentifikasi gambaran sikap ibu hamil terhadap tentang

HIV/AIDS di Puskesmas Lamepayung Tahun 2020.

c. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu hamil

tentang HIV/AIDS dengan sikap pelaksanaan sikap terhadap

Provider Initiated Testing And Counseling (PITC) di Puskesmas

Lamepayung Tahun 2020.

d. Menganalisis hubungan antara sikap tingkat pengetahuan ibu hamil

tentang HIV/AIDS dengan pelaksanaan sikap terhadap Provider

Initiated Testing And Counseling (PITC) di Puskesmas Lamepayung

Tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

memperluas serta meningkatkan materi HIV/AIDS pada Ibu Hamil dan

menjadi data dasar mengenai Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil


Tentang HIV/AIDS dan Dengan Sikap dengan terhadap Provider

Initiated Testing And Counseling (PITC) Di Puskesmas Lamepayung

Tahun 2020.

1.4.2 Manfaat praktisi

1) Bagi Responden

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan

dan menambah informasi pada ibu hamil tentang penyakit

HIV/AIDS dan cara pencegahannya melalui pemeriksaan Provider

Initiated Testing And Counseling (PITC) oleh petugas puskesmas.

2) Bagi Puskesmas Lamepayung

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi

program PMTCT dan sumber informasi terkait pemeriksaan

Provider Initiated Testing And Counseling (PITC) di Puskesmas

Lamepayung untuk meningkatkan kelangsungan program PITC

dalam mengatasi penularan HIV dari ibu ke bayi.

3) Bagi STIKes Kuningan

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan bacaan di

bidang kesehatan yang diharapkan bisa membantu proses

pembelajaran.

4) Bagi Peneliti selanjutnya


Hasil penelitian ini sebagai sarana untuk memperluas

pemikiran, menambah pengetahuan, dan menerapkan ilmu yang

diperoleh peneliti.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah proses mencari tahu informasi atau fakta

yang diperoleh melalui cara yang ilmiah ataupun non ilmiah

(Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini

terjadi seteleh orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.

Penginderaan terhadap objek terjadi melalui panca indra manusia, yakni:

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga (Nursalam, 2013).

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukang

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indra manusia, yakni: penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga

(Wawan & Dewi, 2017).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

pengetahuan adalah hasil dari proses mencari tahu fakta, kenyataan dan

kebenaran dari tidak tahu menjadi tahu, kemudian dikumpulkan menjadi

teori yang digunakan untuk memahami gejal-gejala yang ada di

masyarakat. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cara ilmiah yaitu dengan

mengamati sesuatu yang positif dan negatif serta pengamatan yang


bervariasi. Sedangkan pengetahuan non ilmiah diperoleh dengan mencoba

salah, cara kebetulan, cara kekuasaan dari orang yang berwibawa,

berdasarkan pengalaman, cara akal sehat, kebenaran melalui wahyu, dan

melalui jalan pikiran.

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Wawan dan Dewi (2017), Tingkat pengetahuan

merupakan tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam melakukan

penginderaan terhadap suatu objek. Pengetahuan mempuyai 6 tingkatan

yakni tahu, memahami, aplikasi, analisis sintesis dan evaluasi.

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai kemampuan mengingat kembali

materi yang telah dipelajari, termasuk hal spesifik dari seluruh bahan

atau rangsangan yang telah diterima.

2) Memahami (conprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan secara luas.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunaka

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau


suatu objek ke dalam komponen-komponen yang masih saling

terkait dan masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis diartikan sebagai kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi diartikan sebagai berkaitan dengan kemampuan

untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkatan

pengetahuan terdiri dari tingkat tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis

dan evaluasi.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden. Menurut Wawan dan Dewi (2017),Tujuh faktor

yang mempengaruhi pengetahuan seseorang : (Wawan & Dewi, 2017).

a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada

orang lain agar dapat memahami sesuatu hal. Tidak dapat dipungkiri

bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula

mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang


dimilikinya akan semakin banyak. Sebaliknya, jika seseorang

memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mak akan menghambat

perkembangan sikap orang tersebut terhadap penerimaan informasi

dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.

b. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh

pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak

langsung.

c. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami

perubahan aspek fisik dan psikologis (mental). Secara garis besar,

pertumbuhan fisik terdiri atas empat katagori perubahan yaitu

perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, dan

timbulnya ciri-ciri baru. Perubahan ini terjadi karena pematangan

fungsi organ. Pada aspek psikologis atau mental, taraf berfikir

seseorang menjadi semakin matang dan dewasa.

d. Minat

Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi

terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan

menekuni suatu hal, sehingga seseorang memperoleh pengetahuan

yang lebih mendalam.

e. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang


dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Orang cenderung berusaha

melupakan pengalaman yang kurang baik. Sebaliknya, jika

pengalaman tersebut menyenangkan, maka secara psikologis mampu

menimbulkan kesan yang sangat mendalam dan membekas dalam

emosi kejiwaan seseorang. Pengalaman baik ini akhirnya dapat

membentuk sikap positif dalam kehidupannya.

f. Kebudayaan lingkungan sekitar

Lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap

pribadi atau sikap seseorang. Kebudayaan lingkungan tempat kita

hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap

pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai

sikap menjaga kebersihan lingkungan, maka sangat mungkin

masyarakat sekitarnya mempunyai sikap selalu menjaga kebersihan

lingkungan.

g. Informasi

Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat

mempercepat seseorang memperoleh pengetahuan yang baru.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpukan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi pengetahuan terdiri dari faktor tingkat pendidikan,

pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar dan

informasi.

2.1.4 Pengukuran Pengetahuan

Budiman & Riyanto (2013) menyatakan bahwa menurut Skinner,


bila seseorang mampu menjawab mengenai materi tertentu baik secara

lisan maupun tulisan, maka dikatakan seseorang tersebut mengetahui

bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan tersebut dinamakan

pengetahuan. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subyek penelitian

atau responden. Arikunto (2006) membuat kategori tingkat pengetahuan

seseorang menjadi tiga tingkatan yang didasarkan pada nilai persentase

yaitu sbagai berikut:

a. Tingkat pengetahuan kategori baik jika nilainya 76-100%.

b. Tingkat pengetahuan kategori cukup jika nilainya 56-75%.

c. Tingkat pengetahuan kategori kurang jika nilainya <56%.

Peningkatan pengetahuan terhadap ibu hamil, tahapan dalam

sebuah perubahan prilaku adalah dengan peningkatan pengetahuan tentang

HIV-AIDS serta upaya-upaya pencegahannya dilakukan pendekatan secara

individu, pendekatan kelompok pelatihan sehari sebagai salah satu sarana

untuk melakukan seleksi terbentuknya kelompok pendidik, penyediaan

media KIE sebagai dukungan informasi serta memberikan rujukan jika

terinfeksi IMS, HIV dan AIDS.

Salah satu cara penularan HIV yang cukup penting antara lain

penularan dari ibu ke janin, namun banyak ibu hamil yang tidak dapat

kesempatan dan informasi tentang HIV-AIDS dan layanan Provider

Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) HIV/AIDS. Oleh karena itu,
sekarnag di dalam layanan kesehatan di saat memeriksakan kehamilan, ibu

hamil diberikan informasi tentanag HIV-AIDS dan penularan HIV dari ibu

ke anak dan setelah mendapatkan penyuluhan dan konseling, dilakukan tes

HIV yang dianjurkan oleh petugas kesehatan yang disertakan atas

persetujuan ibu. Mengingat sampai saat ini cara paling efektif untuk

mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak adalah tergantung

kapan saaat yang tepat seorang wanita mengetahui statusnya (Imelda,

2015).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan pengukuran

pengetahuan dapat dilakukan dengan menggunakan angket atau kuesioner

dan wawancara. Hasil ukur pengetahuan dapat dikategorikan menjadi

pengetahuan baik dan pengetahuan cukup dan pengetahuan kurang.

2.1.5 Kriteria Tingkat Pengetahuan

Menurut Arikunto (2009) dalam Wawan dan Dwi (2017)

pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala

yang bersifat kualitatif, yaitu :

1) Baik : Hasil presentase 76%-100%

2) Cukup : Hasil presentase 56%-75%

3) Kurang : Hasil presentase > 56%

2.2 Konsep Sikap

2.2.1 Definisi Sikap


Menurut Notoatmodjo (2010), sikap merupakan reaksi atau

respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek

tertentu, yang melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.

Menurut Gerungan (1996) dalam Candra, dkk (2017), sikap merupakan

pandangan atau perasaan untuk bertindak terhadap objek tertentu. Menurut

Thrustone & Chave (1990) dalam Wawan & Dewi (2017), sikap adalah

keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, curiga atau bias, asumsi-

asumsi, ide-ide, ketakutan-ketakutan, tantangan-tantangan, dan keyakinan-

keyakinan manusia mengenai topik tertentu.

Berdasarkan beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa

sikap merupakan suatu reaksi atau respon seseorang terhadap stimulus atau

objek yang bersifat mendukung atau memihak maupun yang tidak

memihak yang merupakan suatu reaksi yang bersifat emosional terhadap

objek tertentu.

2.2.2 Tingkat Sikap

Menurut Soekidjo Notoatmodjo, 2010 sikap mempunyai tingkat-

tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima

srimulus yang diberikan (objek).

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap

pertanyaan atau objek yang dihadapi.


c. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek atau seseorang yang memberikan nilai

positifterhadap objek atau stimulus.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab

terhadap apa yang telah diyakini. Seseorang yang telah mengambil

sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani

mengambil resiko bila ada orang lain yang mencemooh atau adnya

resiko lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkatan

sikap terdiri dari proses menerima, menanggapi, menghargai dan

bertanggung jawab.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2017), faktor-faktor yang

mempengaruhi sikap keluarga terhadap obyek sikap lain :

a. Pengalaman Pribadi

Pengalaman pribadi menjadi dasar pembentukan sikap,

pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat.

Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman

pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor

emosional.

b. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting


Pada umumnya, individu cenderung memiliki sikap yang

konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk

berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang

yang dianggap penting tersebut.

c. Pengaruh Kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis

pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah

mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah

yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat

asuhannya.

d. Media Massa

Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media

komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan

secara obyektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya,

akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumnya.

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan

lembaga agama sangat menentukan sisitem kepercayaan, tidaklah

mengherankan jika pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi

sikap.

f. Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang

didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran

frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi sikap terdiri dari pengalaman pribadi, pengaruh orang

lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga

pendidikan dan lembaga agama dan faktor emosional.

2.2.4 Cara Pengukuran Sikap

Hasil pengukuran kategori sikap yakni mendukung (positif),

menolak (negatif) dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan

berperilaku pada seseorang. Skala sikap dinyatakan dalam bentuk

pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah pernyataan tersebut

didukung atau ditolak melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu,

pernyataan yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori yakni pernyataan

positif dan pernyataan negatif. Salah satu skala sikap yang sering

digunakan adalah skala likert. Dalam skala likert, pernyataan yang

diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif dinilai oleh subyek

dengan sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Skala

likert merupakan skala yang dapat dipergunakan untuk pengukur sikap,

pendapat dan persepsi seseorang tentang suatu gejala atau fenomena

tertentu. Ada dua bentuk skala likert yaitu pernyataan positif yang diberi

skor 4 (sangat setuju), 3 (setuju), 2 (tidak setuju), 1 (sangat tidak setuju)


dan pernyataan negatif diberi skor 1 (sangat setuju), 2 (setuju), 3 (tidak

setuju), 4 (sangat tidak setuju). (Budiman & Riyanto, 2013).

Sikap positif cenderung tindakan adalah mendekati, menyenangi,

mengharapkan obyek tertentu. Sedangkan sikap yang negatif terdapat

kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai

obyek tertentu (Wawan & Dewi, 2017). Pengukuran sikap dapat

menggunakan metode wawancara dan angket. (Notoatmodjo,2010).

Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek mengandung dua aspek

yaitu positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akan menentukan sikap

seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek dari obyek yang

diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek

tersebut. Semakin bertambahnya pengetahuan masyarakat maka akan

semakin tinggi keinginan untuk mengetahui kesehatan dalam dirinya dan

juga akan menambah suatu tingkah laku atau kebiasaan yang sehat dalam

diri masyarakat (Notoatmodjo, 2014).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran

sikap dapat menggunakan metode wawancara dan angket. cara pengukuran

sikap yakni mendukung (positif), menolak (negatif) dan netral kemudian

diberi skor 4 (sangat setuju), 3 (setuju), 2 (tidak setuju), 1 (sangat tidak

setuju) dan pernyataan negatif diberi skor 1 (sangat setuju), 2 (setuju), 3

(tidak setuju), 4 (sangat tidak setuju).


2.2.5 Skala Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2017), pengukuran sikap dapat

dilakukan dengan menggunakan skala Likert yaitu:

Kriteria Nilai Pernyataan Nilai Pernyataaan

Positif Negatif

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju 3 2

Tidak Setuju 2 3

Sangat Tidak Setuju 1 4

(STJ)

2.3 Konsep Kehamilan

2.3.1 Definisi Kehamilan

Kehamilan merupakan mata rantai yang berkesinambungan terdiri

dari ovulasi, migrasi spermatozoa dan ovum, konsepsi dan pertumbuhan

zigot, nidasi (inplantasi) pada uterus, pembentukan plasenta, dan tumbuh

kembang hasil konsepsi sampai aterm. Kehamilan berlangsung selama 40

minggu dan dianggap melewati bulan bila lebih dari 42 minggu.

Kehamilan dibagi dalam tiga triwulan yaitu triwulan pertama (0 sampai

12 minggu), triwulan kedua (13 sampai 28 minggu), dan triwulan ketiga

(29-42 minggu). (Manuaba, 2010).

Menurut Prawiroharjo (2008) dalam Kumalasari (2015),

Kehamilan didefinisikan sebagai fertilitas atau penyatun dari spermatozoa


dan ovum serta dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung

dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan

berlangsung dalam waktu 40 minggu (Prawiroharjo, 2008 dalam

Kumalasari, 2015). Kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40

minggu atau 10 bulan atau 9 bulan menurut kalender internasional.

Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester kesatu berlangsung

dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-13 hingga ke-

27) dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-40).

(Walyani, 2015).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

kehamilan merupakan fertilitas atau penyatun dari spermatozoa dan ovum

serta dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi Kehamilan berlangsung

selama 40 minggu dan dianggap melewati bulan bila lebih dari 42 minggu.

2.3.2 Pengawasan Kehamilan

Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya

berbagai kelainan yang menyertai hamil secara dini, sehingga dapat

diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-langkah dalam pertolongan

persalinannya. Ibu hamil dianjurkan untuk melakukan pengawasan

anenatal sebanyak 4 kali, yaitu pada setiap trimester sedangkan trimester

terakhir sebanyak 2 kali. Jadwal pemeriksaan antenatal dilakukan pada

pemeriksaan pertama, pemerikasaan pertama dilakukan segera setelah

diketahui terlambat haid. Kemudian pemeriksaan ulang (setiap bulan


sampai usia kehamilan 6 sampai 7 bulan, setiap 2 minggu sampai usia

kehamilan 8 bulan, dan setiap 1 minggu sejak usia kehamilan 8 bulan

sampai terjadi persalian). Dilakukan pemeriksaan khusus bila terdapat

keluhan tertentu (Manuaba dkk, 2010). Berikut merupakan komponen

pemeriksaan antenatal terpadu adalah:

a. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.

b. Ukur tekanan darah.

c. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LILA).

d. Ukur tinggi fundus uteri.

e. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin.

f. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus

toksoid (TT) bila diperlukan.

g. Beri zat tambah darah (tablet zat besi).

h. Periksa laboratorium (rutin dan khusus) dengan memeriksa:

golongan darah, kadar Hb, kadar gula darah (bila diduga ada

penyakit kencing manis), tes sifilis, tes HIV, malaria (di daerah

endemis malaria), protein dalam urin dan BTA (untuk tuberculosis).

i. Tatalaksana/penanganan sesuai kondisi yang ditemukan.

j. Konseling (Kemenkes, 2014).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan

kehamilan yaitu Ibu hamil dianjurkan untuk melakukan pengawasan

antenatal sebanyak 4 kali, yaitu pada setiap trimester sedangkan trimester


terakhir sebanyak 2 kali. Dalam pemeriksaan antenatal biasanya ibu

disarankan untuk periksa laboratorium HIV/AIDS.

2.4 Konsep HIV/AIDS

2.4.1 Definisi HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang

menyerang kekebalan tubuh manusia. Virus HIV akan masuk dalam sel

darah putih dan merusaknya, sehingga sel darah putih yang berfungsi

sebagai pertahanan terhadap infeksi akan menurun jumlahnya. Akibatnya

sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan penderita mudah terkena

berbagai penyakit. Kondisi ini disebut AIDS (Kumalasari, 2014).

Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) merupakan

kumpulan gejala penyakit akibat penurunan sistem imun tubuh yang

disebabkan oleh retrovirus yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV)

(Widyanto & Triwibowo, 2013). Sebagian besar orang yang terkena HIV

akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun apabila

tidak mendapatkan atau melakukan pengobatan ART. Heteroseksual,

penggunaan napza suntik bersamaan, perinatal dan homoseksual

merupakan faktor risiko terjadinya penyakit HIV/AIDS (Heriana & Ropii,

2017)).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa HIV/AIDS merupakan sekumpulan gejala atau penyakit yang

disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus


HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae.

AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi virus HIV.

2.4.2 Etiologi

Penyebab AIDS telah diketahui secara pasti dan jelas disebabkan

oleh HIV. Namun, asal usul HIV sendiri masih belum diketahui secara

pasti. HIV mampu mengkode enzim khusus yang memungkinkan DNA di

transkripsi dari RNA. Sehingga HIV dapat menggandakan gen mereka

sendiri, sebagai DNA dalam sel inang seperti limfosit helper CD4. DNA

virus bergabung dengan gen limfosit dan hal ini adalah dasar dari infeksi

kronis HIV. Penggabungan HIV pada sel inang merupakan rintangan

untuk pengembangan antivirus terhadap HIV. Bervariasinya gen HIV dan

kegagalan manusia untuk mengeluarkan antibodi terhadap virus

menyebabkan sulitnya pengembangan vaksinasi yang efektif terhadap HIV

(Murtiastutik, 2008).

2.4.3 Patogenesis HIV/AIDS

Mekanisme utama infeksi HIV dimulai setelah virus masuk

kedalam tubuh pejamu, HIV menyerang sel darah putih (Limfosit Th) yang

merupakan sumber kekebalan tubuh untuk menangkal berbagai penyakit

infeksi. Dengan memasuki Limfosit Th virus memaksa Limfosit Th untuk

memperbanyak dirinya sehingga hal itu menyebabkan kematian. Limfosit

Th. Kematian Limfosit Th membuat daya tahan tubuh berkurang, sehingga

membuat infeksi dari luar (baik virus lain, bakteri, jamur atau parasit)
sehingga hal ini menyebabkan kematian pada orang dengan HIV/AIDS.

Selain menyerang Limfosit Th virus HIV juga memasuki kedalam sel

tubuh yang lain, organ yang sering terkena adalah otak dan susunan saraf

lainnya. Virus HIV diliputi oleh selubung protein yang sifatnya toksik

(racun) terhadap sel, khususnya sel otak serta susunan saraf pusat dan tepi

lainnya. Sehingga terjadinya kematian sel otak (Kumalasari, 2014).

2.4.4 Perjalanan HIV/AIDS

Perjalanan penyakit ini lambat gejala-gejala AIDS rata-rata

timbul 10 tahun sesudah terjadinya infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi

virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah,

semen, dan secret vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui

hubungan seksual (Nana, 2013).

Menurut Kumalasari (2012), orang yang sudah terinfeksi HIV

biasanya sulit dibedakan dengan orang yang sehat dimasyarakat. Mereka

masih dapat melakukan aktivitas seperti biasa, badan terlihat sehat dan

masih dapat bekerja dengan baik. untuk sampai pada fase AIDS seseorang

yang terinfeksi HIV akan melalui beberapa fase yaitu:

1) Fase pertama: Masa Jendela/ Window Periode

Pada awal seorang terinfeksi HIV belum terlihat adanya

ciri-ciri meskipun dia melakukan tes darah. Karena pada fase ini

sistem antibodi terhadap HIV belum terbentuk, tetapi yang

bersangkutan sudah dapat menulari orang lain. Masa ini biasanya


dialami 1-6 bulan.

2) Fase Kedua

Terjadi setelah 2-10 tahun setelah terinfeksi. Pada fase ini

individu sudah positiv HIV, tetapi belum menampakkan gejala

sakit. Pada tahap ini individu sudah dapat menularkan kepada

orang lain. Kemungkinan mengalami gejala ringan seperti flu

(biasanya 2-3 hari dan akan sembuh sendiri).

3) Fase Ketiga

Pada fase ini akan muncul gejala-gejala awal penyakit.

Namun, belum dapat disebut sebagai penyakit AIDS. Pada fase

ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang. Gejala yang

berkaitan dengan HIV antara lain:

a. Keringat yang berlebih pada waktu malam hari

b. Diare terus menerus

c. Pembengkakan kelenjar getah bening

d. Flu tidak sembuh-sembuh

e. Nafsu makan berkurang dan lemah

f. Berat badan terus berkurang

4) Fase Keempat

Fase ini sudah masuk pada tahap AIDS. AIDS baru dapat

terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari

jumlah sel T yang turun hingga di bawah 2.000 mikroliter dan

timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik


yang merupakan penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS,

yaitu:

1) Kanker khususnya kanker kulit yang disebut sarcoma

Kaposi.

2) Infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan

kesulitan bernafas.

3) Infeksi khusus yang menyebabkan diare parah selama

berminggu-minggu.

4) Infeksi otak yang dapat menyebabkan kekacauan mental,

sakit kepala dan sariawan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan Perjalanan

HIV/AIDS terdapat empat Fase, yakni Fase pertama Masa Jendela/

Window Periode (belum terdapat tanda-tanda infeksi dialami 1-6 bulan),

fase kedua (HIV positif 2-10 tahun setelah terinfeksi), Fase Ketiga

(muncul gejala-gejala awal penyakit), fase keempat (Fase ini sudah masuk

pada tahap AIDS).

2.4.5 Manifestasi Klinis

Menurut Kumalasari (2014) Gejala-gejala (symptom) secara klinis

pada seorang penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena

symptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula dari gejala

umum yang lazim didapati seperti manifestasi klinik utama dari penderita

AIDS. Pada umumnya ada 3 hal antara lain, tumor infeksi oportunistik,
dan menifestasi neurologi.

Sedangkan menurut Nana (2013) gejala orang yang terinfeksi

HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari 2 gejala, yaitu Gejala Mayor (umum

terjadi) dan Gejala Minor (tidak umum terjadi):

1) Gejala Mayor

a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam satu bulan.

b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.

c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.

d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.

e. Demensia/ HIV ensefalopi.

2) Gejala Minor

a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.

b. Dermatitis generalisata.

c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster

berulang.

d. Kandidiasis orofaringeal.

e. Herpes simpleks kronis progresif.

f. Limfadenopati generalisata.

g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.

h. Retinitas virus sitomegalo.

2.4.6 Diagnosa Klinis dan Pemeriksaan Laboraturium

Diagnosa adanya infeksi dengan HIV dapat ditegakkan


dilaboraturium dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus

tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibodi tersebut

menggunakan metode ELISA (Enzim Linked Immunosorbent Assay). Bila

hasil tes ELISA positif maka dilakukan pengulangan. Jika masih tetap

positif maka selanjutnya dikonfirmasi dengan tes yang lebih spesifik yaitu

metode Western Blott (Kumalasari, 2014).

2.4.7 Cara penularan

1) Hubungan seksual yang tidak aman (tidak menggunakan kondom)

dengan orang yang telah terinfeksi HIV.

2) Penggunaan jarum suntik, tindik, tato yang dapat menimbulkan luka

dan tidak disterilkan, dipergunakan secara bersama-sama dan

sebelumnya telah digunakan oleh orang yang terinfeksi HIV.

3) Melalui transfusi darah yang terinfeksi HIV.

4) Ibu hamil yang terinfeksi HIV pada anak yang dikandungnya pada

saat: antenatal yaitu saat bayi masih berada dalam rahim, melalui

plasenta, intranatal yaitu saat prosses persalinan, bayi terpapar darah

ibu atau cairan vagina, post-natal yaitu setelah proses persalinan

melalui air susu ibu (Astindari, 2014).

2.4.8 Pencegahan HIV/AIDS

Menurut pedoman PITC tahun 2012. PITC merupakan salah satu

usaha dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. PITC

diharapkan dapat menurunkan kasus HIV.


Cara-cara pencegahan lainnya:

1) Pencegahan penularan melalui hubungan seksual penyebab utama

penularan HIV adalah melalui hubungan seksual, sehingga

pencegahannya perlu difokuskan pada hubungan seksual. Agar

terhindar dari tertularnya HIV seseorang harus berperilaku seksual

yang aman dengan tidak berganti-ganti pasangan. Apabila salah

seorang pasangan sudah terinfeksi HIV maka dalam melakukan

hubungan seksual harus menggunakan kondom untuk mencegah agar

tidak menularkan kepada pasangannya,

2) Pencegahan penularan melalui darah, yaitu dengan memastikan

darah yang dipakai untuk transfusi tidak tercemar HIV, alat suntik

dan alat lain yang dapat melukai kulit tidak digunakan secara

bergantian, membersihkan alat-alat seperti jarum, alat cukur, alat

tusuk untuk tindik, dan lain lain dengan pemanasan atau larutan

desinfeksi (Noviana, 2013).

2.4.9 HIV dalam Kehamilan

Penelitian telah membuktikan bahwa HIV dapat ditularkan dalam

kehamilan yang terjadi pada masa intrauterine dan masa intrapartum.

Distribusi penularan dari ibu ke bayi diperkirakn sebagian terjadi beberapa

hari sebelum persalinan, dan pada saat plasenta mulai terpisah dari dinding

uterus pada waktu melahirkan. Penularan diperkirakan terjadi karena bayi

terpapar oleh darah dan sekresi saluran genital ibu. Suatu penelitian
memberikan proporsi kemungkinan penularan HIV dari ibu ke anak saat

dalam kandungan sebesar 23-30%, persalinan 50-65%, dan saat menyusui

12-20%. Negara maju transmisi HIV dari ibu ke bayi sebesar 15-25%,

sedangkan pada negara berkembang sebesar 25-35%. Tingginya angka

transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam plasenta ibu

(Setiawan, 2009).

2.4.10 Prevention Mother to Child Transmision (PMTCT)

Prevention Mother to Child Transmision (PMTCT) atau

pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) merupakan salah satu

upaya penanggulangan Mother to Child Transmision (MTCT) (Kemenkes,

2012). Menurut Setiawan (2013) upaya mengurangi resiko penularan dari

ibu ke bayi dengan melakukan penanganan pencegahan infeksi bayi yang

lahir dari ibu terinfeksi HIV dimulai dari kandungan. Ibu yang sudah

terinfeksi HIV sebelum hamil perlu dilakukan pemeriksaan untuk

mengetahui jumlah virus dalam plasma, jumlah sel T CD4+, genotype

virus, dan antiretrovirus (ARV) dalam darah. Data tersebut kemudian

dapat dijadikan sebagai bahan informsi kepada ibu tentang resiko

penularan terhadap pasangan seks, bayi, dan cara pencegahannya.Upaya

mencegah agar tidak terjadi penularan juga dapat dilakukan dengan

himbauan agar ibu yang terinfeksi HIV tidak hamil (Kemenkes, 2012).

Upaya layanan PMTCT/ PPIA saat ini telah diintergrasikan dalam

paket pelayanan KIA, KB, kesehatan reproduksi, dan kesehatan remaja di


setiap jenjang pelayanan kesehatan yang secara komprehensif

berkesinambungan dengan HIV, AIDS, dan IMS (Kemenkes, 2012).

Kebijakan pemerintah agar tidak terjadinya penularan HIV dari ibu ke

anak yang telah diintergrasikan dengan program KIA dalam buku

Pedoman PPIA (2012) meliputi:

1) Pelaksanaan pelayanan PPIA dalam layanan KIA, KB, dan

Konseling Remaja secara bertahap dengan melibatkan peran swasta

dan LSM.

2) Pelaksanaan PPIA dalam pelayanan KIA merupakan bagian dari

program Nasional Pengendalian HIV, IDS, dan IMS.

3) Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA, KB, dan kesehatan

remaja harus mendapat informasi mengenai PPIA.

4) Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrsi tenaga kesehatan

wajib menawarkan tes HIV didalam program VCT/PITC kepada

semua ibu hamil saat ANC atau menjelang persalinan.

5) Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV diprioritskan

pada ibu hamil dengan IMS atau TB, dan bagi daerah yang belum

mempunyai tenaga yang mampu maka pelayanan PPIA dapat

dilakukan dengan merujuk atau pelimpahan wewenang kepada

tenaga yang terlatih.

6) Setiap ibu hamil positif HIV wajib diberi obat ARV, dukungan, dan

pengobatan.

7) Kepala Dinas Kesehatan merencanakan ketersediaan logistik ke


Ditjen P2PL.

8) Pelaksanaan pertolongan persalinan harus memperhatikan indikasi

obstetrik.

9) Memberikan konseling tentang pembrian ASI atau pengganti ASI.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

Prevention Mother to Child Transmision (PMTCT) atau pencegahan

penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA), salah satu upaya penanggulangan

Mother to Child Transmision (MTCT) saat ini telah diintergrasikan dalam

paket pelayanan KIA, KB, kesehatan reproduksi, dan kesehatan remaja di

setiap jenjang pelayanan kesehatan yang secara komprehensif

berkesinambungan dengan HIV, AIDS, dan IMS.

2.5 Konsep Konseling Dan Tes HIV (KTHIV)

2.5.1 Definisi Konseling dan Tes HIV (KTHIV)

Tes HIV adalah pemeriksaan terhadap antibody yang terbentuk

akibat masuknya HIV ke dalam tubuh, pemeriksaan antigen mendeteksi

adanya virus HIV. Konseling adalah proses dialog antara konselor dan

pasien/ klien atau antara petugas kesehatan dengan pasien yang bertujuan

untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti oleh pasien

atau klien. Konselor memberikan waktu dan perhatian, untuk membantu

klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan

masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan (Permenkes

No.74 thn 2014). Menurut Pepinsky (1954, dalam Nursalam 2007)


konseling merupakan interaksi yang terjadi antara 2 orang (konselor dank

klien), berlangsung dalam kerangka professional dan diarahkan agar

memungkinkan terjadinya perubahan perilaku pada klien.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa Definisi Konseling dan Tes HIV (KTHIV) yaitu suatu prosedur

pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS

beserta risiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan keluarga serta

orang disekitarnya mengenai penularan dan pencegahan HIV dan

bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti

oleh pasien atau klien.

2.5.2 Prinsip Dasar Tes dan Konseling HIV

Menurut Permenkes No.74 thn 2014 pelaksanaan tes HIV harus

mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global, meliputi 5

komponen yang disebut 5 C (informed consent, confidentiality,

counseling, corret test result, connections to, care, treatment and

prevention service).

1. Informed Consent adalah persetujuan akan suatu tindakan

pemeriksaan pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh

pasien/klien atau wali/pengampu setelah mendapatkan dan

memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas

kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap

pasien/klien tersebut.
2. Confidentiality adalah semua informasi atau konseling antara klien

dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya

tidak dapat diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan

pasien/klien. Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi

layanan kesehatan yang akan menangani pasien untuk kepentingan

layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien.

3. Counseling adalah proses dialog antara konselor dengan klien

bertujuan memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti

klien atau pasien. Layanan konsleing HIV harus dilengkapi dengan

informasi HIV dan AIDS, konseling pra-konseling dan tes pasca tes

yang berkuallitas baik.

4. Corret test result atau hasil test yang akurat, hasil tes harus

dikomunikasikan sesegara mungkin kepada pasien/klien secara

pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.

5. Connections to, care, treatment and prevention service, pasien/klien

harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan,

dukungan dan pengobatan HIV yang didukung dengan sistem

rujukan yang baik dan terpantau.

2.5.3 Pendekatan Layanan Tes dan Konseling HIV

Berdasarkan Permenkes No.74 Tahun 2014 layanan Tes dan

Konseling HIV untuk menegakkan diagnosis, dilakukan melalui 2

pendekatan:
a) Provider Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) yaitu ketika

pasien datang berobat terkait HIV/AIDS ke sarana kesehatan, ia

ditawarkan untuk tes HIV.

b) Voluntary Counselling and Tes (VCT) yaitu klien datang untuk

pelayanan KTHIV atas kemauan sendiri secara sukarela.

2.6 Konsep Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC)

2.6.1 Definisi Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC)

Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) adalah

suatu tes HIV dan konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan

kepada pengunjung sarana layanan kesehatan sebagai bagian dari standar

pelayanan medis. Provider-Initiated HIV Testing and Counseling

(konseling dan testing inisiasi petugas+KTIP) dilaksanakan jika ada pasien

yang berkunjung ke dokter/fasilitas kesehatan (Kemenkes RI, 2010 dalam

Nursalam dan Nunik, 2018 hal. 100).

Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC)

diselenggarakan terutama pada pelayanan IMS, pelayanan kesehatan bagi

populasi kunci/orang yang berperilaku risiko tinggi (penasun, pekerja seks,

pelanggan atau pasangan seks, pelanggan atau pasangan seks dari pekerja

seks, waria, LSL dan warga binaan pemasyarakatan), fasilitas pelayanan

yang menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan ibu hamil, persalinan dan

nifas dan pelayanan tuberculosis (Permenkes No. 21 tahun 2013).

Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) adalah tes


HIV atas insiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling kepada pasien

untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan. Tes dianjurkan atau

ditawarkan oleh petugas kesehatan kepada pasien pengguna layanan

kesehatan sebagai komponen pelayanan standar layanan kesehatan di

fasilitas tersebut. Penawaran tes HIV pada ibu hamil dilakukan pada saat

kunjungan antenatal atau menjelang persalinan bersama pemeriksaan rutin

lainnya. Bila ibu menolak untuk diperiksa, maka diminta untuk

menyatakan ketidaksetujuaanya secara tertulis (Kemenkes, 2014).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) yaitu tes

HIV yang dianjurkan atau ditawarkan oleh petugas kesehatan kepada

pasien sebagai komponen pelayanan standar layanan di fasilitas tersebut.

2.6.2 Tujuan Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC)

Tujuan utamanya adalah untuk membuat keputusan klinis

dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin

dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti misalnya IRT

dan ibu hamil. Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) juga

untuk mengidentifikasi infeksi HIV yang tidak tampak pada pasien dan

pengunjung sarana layanan kesehatan oleh karenanya kadang-kadang tes

dan konseling HIV juga ditawarkan kepada pasien dengan gejala yang

mungkin tidak terkait dengan HIV sekalipun. Pasien tersebut bisa

mendapatkan manfaat dari pengetahuan tentang status HIV positifnya guna


mendapatkan layanan pencegahan dan terapi yang diperlukan secara lebih

dini. Dalam hal ini, tes dan konseling HIV ditawarkan kepada semua

pasien yang berkunjung ke sarana layanan kesehatan selama berinteraksi

dengan petugas kesehatan (Kemenkes RI 2010 dalam Nursalam dan

Nunik, 2018 hal. 100-101).

2.6.3 Proses Pelaksanaan Provider-Initiated HIV Testing and

Counseling (PITC)

Sesuai dengan kondisi setempat, informasi pra-tes dapat diberikan

secara individual, pasangan atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani

tes HIV (informed consent) harus selalu diberikan secara individual,

pribadi dengan kesaksian petugas kesehatan (Kemenkes RI 2010 dalam

Nursalam dan Nunik, 2018 hal. 101). Langkah-langkah dalam

melaksanankan Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) di

fasilitas kesehatan sebagai berikut:

1) Pemberian informasi tentang HIV dan AIDS sebelum tes

Pemberian informasi terdiri dari beberapa sasaran yaitu:

a. Sesi informasi pra tes secara kelompok

Sesi ini dapat dilakukan sebagai pilihan bila sarana

memungkinkan dan pada sesi ini diberikan KIE secara

berkelompok diruang tunggu sebelum bertatap muka dengan

petugas. KIE yang diberikan secara umum dan masalah berkaitan

dengan HIV dan AIDS. Persetujuan untuk menjalani tes HIV


(informed consent) harus selalu diberikan secara individual

dengan kesaksian petugas kesehatan.

b. Sesi informasi pra-test secara individu

Pada sesi ini klien/pasien mendapatkan informasi edukasi

dari petugas kesehatan/konselor tentang HIV untuk menguatkan

pemahaman pasien/klien atas HIV dan implikasinya agar

klien/pasien mampu menimbang perlunya pemeriksaan.

c. Sesi informasi pra-tes kelompok khusus

Ada beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan

terhadap dampak buruk seperti diskriminasi, pengucilan, tindak

kekerasan atau penahanan. Kelompok khusus yang dimaksud

yaitu perempuan hamil, kelompok dalam kondisi khusus

(mengalami hambatan fisik/mental), pasien dalam kondisi kritis,

pasien TB, kelompok berisiko (penasun, pekerja seks, waria,

LSL), bayi, anak dan remaja.

2) Persetujuan tes HIV (Informed Concent)

Informed Concent bersifat universal yang berlaku pada

semua pasien apapun penyakitnya karena semua tindakan medis

membutuhkan persetujuan pasien. Aspek penting dalam persetujuan

sebagai berikut:

a. Klien telah memahami tentang maksud dan tujuan tes, serta

risiko dan dampaknya.

b. Informasi bahwa jika hasil tes positif, akan dirujuk kelayanan


HIV (pengobatan ARV dan penatalaksanaan lainnya).

c. Bagi yang menolak tes HIV ditulis direkam medis untul

dilakukan penawaran tes dan atau konseling ulang ketika

kunjungan berikutnya.

d. Persetujuan dari anak dan remaja dibawah umur diperoleh dari

orang tua/wali

e. Pada pasien dengan gangguan jiwa berat atau hendaya kognitif

yang tidak mampu membuat keputusan dan secara nyata

berperilaku berisiko, dapat diminta kepada istri/suami,

ibu/ayah kandung, anak kandung/saudara kandung, atau

pengampunya.

3) Pengambilan darah untuk tes

Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium yang tersedia

di fasilitas layanan kesehatan, namun jika tidak tersedia maka tes

dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Tes Enzyme ImmunoAssay

(EIA) dilakukan di fasilitas kesehatan dengan saran laboratorium

lengkap dan petugas terlatih dengan jumlah pasien yang lebih banyak.

Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang pertama hasilnya non-

reaktif, maka antibodi akan dilaporkan negative. Hasil pertama reaktif

maka dilakukan tes HIV ulang kedua dengan sampel sama dengan

reagen, metoda dan/atau antigen yang berbeda dari yang pertama. Tes

virology HIV DNA kualitatif dianjurkan untuk diagnosis bayi dan

anak umur kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang
merencanakan kehamilan dan persalinan. tes HIV untuk anak kurang

dari 18 bulan dari ibu HIV positif tidak dianjurkan dengan tes

antibodi, karena akan memberikan hasil positif palsu.

4) Penyampaian hasil tes

Penyampaian hasil tes dilakukan oleh petugas kesehatan

yang menawarkan tes HIV. penyampaian hasil tes dimaksudkan,

untuk memasatikan pemahaman pasien atas status HIVnya dan

keterkaita dengan penyakitnya. Hal-hal yang dilakukan pertugas pada

penyampaian hasil antara lain membacakan hasil, menjelaskan makna

hasil tes, memberikan informasi selanjutnya dan merujuk pasien ke

konselor HIV untuk konseling lanjutan dan ke layanan pengobatan

untuk terapi selanjutnya.

5) Konseling pasca tes

Semua klien/pasien yang menjalani tes HIV perlu

menerima konseling pasca tes tanpa memandang apapun hasilnya.

Hasil dari konseling pasca tes didokumentasikan dalam buku

kunjungan klien. Konseling pasca tes membantu klien/pasien

memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes dan tindak lanjut

pengobatan. Jika status HIV ibu sudah diketahui, HIV positif

dilakukan intervensi PPIA komprehensif agar ibu tidak menularkan

HIV kepada bayi yang dikandungnya dan HIV negatif dilakukan

konseling tentang cara menjaga status agar tetap HIV negatif. Hasil

Interminate diberikan penjelasan tentang masa jendela, menganjurkan


pada pasangan melakukan tes HIV, jika hasil tes HIV pasangan positif

ibu hamil segera diberikan ARV sampai hasilnya negatif kemudian

perlu dilakukan cek kembali setelah pemeriksaan yang pertama

dengan specimen baru.

6) Rujukan ke layanan PDP (perawatan, dukungan, dan pengobatan) bagi

yang positif.

Klien/pasien yang hasil tesnya positif perlu segera dirujuk

ke layanan perawatan, dukungan dan pengobatan untuk mendapatkan

layanan selanjutnya yang dibutuhkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses

Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) yaitu yaitu

pemberian informasi minimal sebelum tes, meminta persetujuan tes HIV

(informed consent) sebelum tes, pengambilan darah untuk tes,

penyampaian hasil tes, konseling pasca tes, dan rujukan ke PDP

(perawatan, dukungan, dan pengobatan) bagi yang positif.

2.6.4 Sasaran Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC)

Sasaran PITC adalah semua perempuan yang datang ke pelayanan

KIA, KB, kesehatan reproduksi, kesehatan remaja sehingga dapat

memperoleh informasi tentang HIV dan penularan dari ibu ke anak.

Sedangkan pada daerah epidemi HIV tenaga kesehatan wajib menawarkan

tes HIV kepada ibu hamil selama kehamilan sampai menjelang persalinan.

PITC atau PPIA dilaksanakan di seluruh jenjang fasilitas pelayanan

kesehatan dalam strategi layanan komprehensif berkesinambungan


HIV/AIDS.

2.7 Kerangka Teori

Pengetahuan ibu hamil yang baik akan HIV/AIDS dan pentingnya

melakukan Tes dan Konseling HIV sewaktu hamil dapat memberikan

pecegahan dan penanganan penyakit menular pada ibu hamil dan janin.

Pengetahuan ibu hamil tentang pemeriksaan HIV/AIDS dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya tingkat pendidikan, umur, pekerjaan, minat,

pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar dan informasi. Sedangkan

bersikap positif terhadap pemeriksaan HIV/AIDS akan memberikan pengaruh

yang baik dalam peningkatan cakupan kunjungan ibu hamil dan dapat

menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi sesuai dengan

harapan. Setiap ibu hamil diharapkan dapat menjalankan kehamilannya

dengan sehat, bersalin dengan selamat serta melahirkan bayi yang sehat. Oleh

karena itu, ibu hamil perlu melakukan deteksi sejak dini untuk mengetahui

kemungkinan adanya masalah/penyakit yang dapat berdampak negatif

terhadap kesehatan ibu dan janinnya yaitu dengan melakukan pemeriksaan

HIV/AIDS yang diindikasikan oleh petugas kesehatan atau biasa disebut

dengan tes Provider Initiated Testing and Counselling (PITC).


Berdasarkan tinjauan teori, maka dapat ditentukan kerangka teori

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Pengetahuan
Faktor_faktor Yang Mempengaruhi
Penularan HIV/AIDS
pengetahuan :
1. Melaui hubungan
1. Tingkat pendidikan
seksual yang
2. Pekerjaan
tidak aman
3. Umur
2. Penggunaan
4. Minat
jarum suntik
5. Pengalaman
3. Melalui transfuse
6. Kebudayaan lingkungan sekitar
darah,
Pengetahuan
7. Informasi
tentang 4. Ibu hamil pada
HIV/AIDS saat antenatal,
intranatal, dan
Sikap
post natal.
Faktor_faktor Yang
Sikap Tes
Mempengaruhi sikap :

1. Pengalaman pribadi
2. Pengalaman yang dianggap Positif Negatif
penting Provider
3. Pengaruh kebudayaan Initiated
4. Media massa Testing and
Counselling
5. Lembaga Pendidikan dan HI(PITC).
Lembaga Agama
6. Faktor emosional
Tes Tidak Tes

Proses PITC
Hasil yang
1. Pemberian informasi sebelum tes
Diharapkan :
2. Persetujuan tes HIV (Informed Consent)
1. Pengetahuan
3. Pengambilan darah baik
4. Penyampaian hasil tes 2. Sikap
positif/menduku
5. Konseling paska tes ng
6. Rujukan ke layanan PDP (perawatan,
dukungan, pengobatan), bagi yang positif

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Nursalam & Kurniawati (2008), Notoatmodjo (2010) Wawan

dan Dewi (2011), Astindari (2014), Wawan & Dewi (2017).


BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Menurut Notoatmodjo (2010), yang dimaksud kerangka konsep

penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara

konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antar variabel yang satu

dengan variabel lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Konsep adalah

suatu abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan suatu

pengertian. Oleh sebab itu, konsep tidak dapat diukur dan diamati secara

langsung. Agar dapat diukur dan diamati, maka konsep tersebut harus

dijabarkan kedalam variabel-variabel, dari variabel itulah konsep bisa

diukur dan diamati (Notoatmodjo, 2010).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok

retrovirus yang menyebabkan penyakit Acquid Immuno Deficiency

Syndrome (AIDS). AIDS adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya

kemampuan pertahankan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV

dalam tubuh seseorang. Pemberian fasilitas pelayanan kesehatan dengan

didahului dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan,

bertujuan memberikan informasi tentang HIV/AIDS dan meningkatkan

kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV melalui dua

pendekatan yaitu PITC dan VCT. Provider Initiated Testing and


Counselling (PITC) merupakan salah satu strategi penting dalam

meningkatkan cakupan layanan tes HIV dan menghubungkan klien ke

layanan lanjutan. Prinsip PITC adalah 3C yaitu Counselling, Consent,

Confiden. Tahapan counseling yaitu konseling pra dan pasca tes.

Pemeriksaan HIV dapat melalui tes ELISA (Enzym-Linkes Imunosorbent

Assay). Keoptimalan dalam pelayanan PITC dapat dipengaruhi oleh

tingkat pengetahuan ibu hamil yang akan berakibat pada sikap dalam

menjalankan te HIV/AIDS yang dianjurkan oleh petugas kesehatan

tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Sikap terhadap Provider


Tingkat Pengetahuan Ibu Initiated HIV Testing and
Hamil tentang HIV/AIDS
Counselling (PITC)

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan:

: Faktor yang diteliti

: Korelasi / penghubung

3.2 Definisi Operasional


Menurut Notoatmodjo (2010), definisi operasional yaitu untuk

membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diteliti.

Menurut Badriah (2012), definisi operasional adalah suatu definisi

mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-

karakteristik variabel tersebut yang dapat diamatidan benar-benar

dilakukan oleh peneliti sesuai dengan variabel terlihat dalam penelitian.

Definisi operasional yang dimaksud dalam penelitian ini memberikan

batasan kepada variabel-variabel sehingga dapat diukur sesuai dengan

parameter sebagai berikut:

Tabel 3.2 Definisi Operasioanal Penelitian

Definisi Cara Skala


Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur

Variabel Bebas

Tingkat Tingkat Kuesioner Mengisi Ordinal


1. Baik, jika
Pengetahu Pengetahuan yang terdiri kuesioner
nilainya
an Ibu proses mencari dari 15
76-100%
Hamil tahu informasi pertanyaan
(benar 12-
tentang tentang dengan
15 soal)
HIV/AIDS HIV/AIDS. nilai 1
2. Cukup,
bagaimana jika benar
jika
pencegahan dan
nilainya
dan penularan nilai 0 jika
56-75%
pada ibu hamil salah
(benar 8-11
dengan
soal)
mengisi soal
3. Kurang,
sebanyak 15
jika jika
soal.
nilainya
<56%
(benar <8
soal)

(Arikunto,
2009)
Variabel Terikat

Sikap Sikap Kuesioner Mengisi Ordinal


1. Positif,
terhadap merupakan yang terdiri kuesioner apabila
Provider suatu reaksi dari 10 mendapat
skor 26-40
Initiated atau respon pernyataan 2. Negatif,
apabila
HIV seseorang dengan skor mendapat
Testing terhadap tertinggi 4 skor 10-25

and stimulus atau dan (Budiman &


Counselli objek yang terendah 1, Riyanto, 2013
ng (PITC) bersifat sehingga
mendukung nilai
atau memihak maksimum
maupun yang adalah 40
tidak memihak dan
tentang mininum
Pemeriksaan 10.
Provider
Initiated HIV
Testing and
Counselling
(PITC)
mengisi soal
sebanyak 10
soal.
3.3 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap

permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul

(Susila & Suyanto, 2014).Menurut Riyanto (2011) hipotesa tebagi dua

yaitu, hipotesa alternatif (ha) dan hipotesa nol.

Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, maka dapat

dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : ada hubungan tingkat

pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dengan sikap terhadap Provider

Initiated HIV Testing and Counselling (PITC) di Puskesmas Lamepayung

2020.
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian dan Rencangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode

penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian

menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap

data tersebut serta penampilan dari hasilnya, yang digunakan untuk

meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Pemahaman akan kesimpulan

penelitian akan lebih baik apabila juga disertai dengan label, grafik, bagan

dan gambar (Arikunto,2006). Berupa analitik atau dua variabel yaitu suatu

penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel satu

dengan variabel yang lain (Susila & Suyanto, 2014).

Rancangan penelitian pada penelitian ini menggunakan

pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari

dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara

pendekatan pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (poin time

approach). Dalam hal ini penelitian dilakukan untuk mengetahui

hubungan pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dengan sikap

terhadap terhadap Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC)

di Puskesmas Lamepayung Tahun 2020. Pendekatan yang dilakukan


dalam penelitian ini adalah cross sectional karena subjek yang diamati

hanya sesaat atau satu kali (Notoatmodjo, 2010).

4.2 Populasi Dan Sampel Penelitian

4.2.1 Populasi

Menurut Badriah (2012), populasi didefinisikan sebagai

kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian.

Sebagai suatu populasi, kelompok subjek tersebut harus memiliki ciri-ciri

atau karakteristik yang membedakannya dari kelompok subyek yang

lainPopulasi penelitian ini adalah semua ibu hamil yang melakukan

pemeriksaan Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) di

Wilayah Kerja Puskesmas Lamepayung Tahun 2020 pada bulan Maret

sebanyak 185 orang.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi (Sugiyono, 2013). Sedangkan, menurut Notoatmodjo (2010)

yang dimaksud dengan sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap

mewakili seluruh populasinya. Besaranya sampel ditentukan dengan

rumus sebagai berikut (Notoatmdjo, 2010):

N
n=
1+ N ¿ ¿

Keterangan rumus:
n : besar sampel

N : besar populasi

d 2: tingkat kepercayaan/ketetapatan yang diinginkan ( d 2= 0.1)

Berdasarkan rumus maka diperoleh hasil sampel

185
n=
1+ N ( d 2 )

185
n=
1+185 ( 0,12 )

185
n=
1+185 ( 0,01 )

185
n=
1+1,85

n=¿ 64,9

n=65 responden

Adapun sampel pada penelitian ini adalah keseluruhan subjek yang

diteliti atau dianggap mewakili seluruh populasi dengan kriteria sebagai

berikut:

a) Kriteria Inkubasi

Kriteria inklusi yaitu kriteria dimana subjek penelitian dapat

mewakili populasi dalam penelitian yang memenuhi syarat. Krietria

inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap
anggota populasi yang dapat diambil sebagi sampel (Notoamodjo,

2010). Kriteria inklusi dari penelitian in meliputi:

1) Ibu Hamil dengan kehamilan trimester I, II dan III.

2) Ibu hamil yang periksa di Puskesmas Lamepayung,.

3) Ibu hamil yang bersedia menjadi responden dan

menandatangani lembar informed concent.

4) ibu hamil yang sudah melakukan pemeriksaan Provider

Initiated Testing HIV And Counseling (PITC) maupun

yang belum.

b) Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan

subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai

sebab (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi dalam penilitian meliputi:

1) Ibu hamil yang tidak bersedia menjadi responden.

2) Ibu hamil yang belum atau tidak melakukan pemeriksaan di

Puskesmas Lamepayung.

Cara pengambilan sampelnya pakai tekhnik apa ???

4.3 Variabel Penelitian

Menurut Badriah (2012), menjelaskan variabel adalah suatu yang

digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan

oleh suatu penelitian tentang suatu konsep tertentu. Variabel yang akan

diambil dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel terikat.
4.3.1 Variabel Bebas (Independent)

Menurut Badriah (2012), variabel bebas adalah suatu variabel yang

variasinya mempengaruhi variabel lain Variabel bebas juga berarti variabel

yang pengaruhnya terhadap variabel lain yang ingin diketahui. Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah Tingkat pengetahuan Ibu Hamil.tentang

HIV/AIDS.

4.3.2 Variabel Terikat (Dependent)

Menurut Badriah (2012), variabael terikat adalah suatu variabel

yang diukur untuk mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel lain.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Sikap terhadap Provider-

Initiated HIV Testing and Counseling (PITC).

4.4 Instrumen Penelitian

Menurut Badriah (2012), instrumen adalah alat pengumpulan data

yang telah baku atau alat pengumpulan data yang memiliki standar

validitas dan reliabilitas. Pada penelitian ini instrumen penelitian yang

digunakan adalah kuesioner. Menurut Badriah (2012), kuesioner

merupakan suatu instrumen pengumpulan data yang sangat fleksibel,

terperinci, lengkap, dan relatif mudah digunakan. Kuesioner sering disebut

juga daftar pertanyaan atau angket. Instrumen pada penelitian ini

menggunakan kuesioner lembar ceklis yang dibuat sendiri oleh peneliti

berdasarkan kajian teori dan data yang dibutuhkan, yaitu pengetahuan dan

sikap terhadap Provider-Initiated HIV Testing and Counseling (PITC).


1) Kuesioner Pengetahuan

Kuesioner untuk menilai pengetahuan diukur dengan

menggunakan 15 pertanyaan dengan menggunakan pilihan benar dan

salah. Jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah diberi nilai 0.

Sehingga nilai tertinggi yang diperoleh adalah 15 dan nilai terendah 0.

Adapun pengkategorian kuesioner pengetahuan diukur berdasarkan

teori Arikunto (2006) dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Baik apabila menjawab benar 76-100% (benar 12-15 soal)

b. Cukup apabila menjawab benar 56-75% (benar 8-11 soal)

c. Kurang apabila menjawab benar <56% (benar 0-7 soal)

2) Kuesioner Sikap

Kuesioner untuk menilai sikap menggunakan skala Likert yaitu

sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju.

Pernyataan positif diberi skor 4 untuk sangat setuju, 3 untuk setuju,

2 untuk tidak setuju, dan 1 untuk sangat tidak setuju. Sedangkan,

untuk pernyataan negatif diberi skor 1 untuk jawaban sangat setuju,

2 untuk setuju, 3 untuk tidak setuju, dan 4 untuk sangat tidak

setuju. Dengan teknik penskoran sikap sebagai berikut:

Jelaskan bentuk kuisonernya seperti apa dan berapa jumlah soal

kuisioner sikapnya.

Tabel 3.2

Penskoran Indikator Sikap

Kriteria Nilai Pernyataan Nilai Pernyataaan


Positif Negatif

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju 3 2

Tidak Setuju 2 3

Sangat Tidak Setuju 1 4

(STJ)

4.5 Teknik Pengumpulan Data

4.5.1 Sifat Data

Menurut Badriah (2012) mengatakan bahwa data penelitian

digolongkan sebagai data primer dan data sekunder. Data primer atau data

tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dan subyek penelitian

dengan menggunakan alat pengukur atau alat pengambil data langsung

pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Sedangkan data

sekunder atau data tangan kedua, ialah data yang diperoleh dari pihak lain,

tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitian.

Sifat data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.

Data primer data yang langsung diperoleh dari responden. Caranya dengan

menyebarkan kuesioner kepada ibu hamil yang melakukan pemeriksaan

ANC di Puskesmas Lamepayung. Sedangkan data sekunder meliputi data

deskriptif lokasi penelitian yaitu data tentang profil Puskesmas

Lamepayung dan jumlah ibu hamil yang mendukung analisis dari data

primer. Dan Jenis data dalam penelitian ini adalah kategorik. Menurut

Notoatmodjo (2010), data kategorik adalah data dari hasil penggolongan


atau pengklasifikasian data. Skala pengukuran dalam penelitian ini adalah

skala ordinal (Notoatmodjo,2010).

4.5.2 Tata Cara Pengambilan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan metode kuesioner. Alat pengumpul data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner yang dibagikan kepada

responden.

Langkah-langkah pengumpulan data yaitu:

a. Tahap Persiapan

Pada tahap awal penyusunan proposal penelitian, peneliti

menentukan masalah dan lahan penelitian terlebih dahulu dan

kemudian melakukan pendekatan terhadap institusi terkait, yaitu di

Puskesmas Lamepayung untuk melakukan studi pendahuluan. Studi

kepustakaan dilakukan peneliti di Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Kuningan dan dari internet.

Tahap selanjutnya adalah menyusun proposal penelitian dilanjutkan

dengan seminar proposal penelitian. Langkah selanjutnya, peneliti

mempersiapkan instrumen penelitian. Pada tahap ini, peneliti juga

mengajukan surat izin penelitian di Puskesmas Lamepayung.

b. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan, peneliti melaksanakan penelitian

setelah mendapatkan surat izin penelitian dari pihak Puskesmas.


Sebelum memberikan kuesioner, peneliti melakukan informed

consent kepada responden yaitu ibu hamil yang melakukan

pemeriksaan ANC di Puskesmas Lamepayun, menjelaskan

mengenai tujuan dan cara pelaksanaan. Apabila responden bersedia

menjadi responden, maka diminta untuk menandatangani lembar

persetujuan kemudian peneliti memberikan kuesioner kepada

responden dan melakukan observasi (bukannya mengisi kuisioner)

kemudian setelah diisi kuesioner dikembalikan pada hari yang

sama. Kemudian peneliti melakukan pengolahan data dan analisis

data.

c. Tahap Akhir

Pada tahap akhir penelitian, peneliti melakukan penyusunan

laporan hasil penelitian, kemudian peneliti melakukan sidang skripsi

untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian. Setelah itu peneliti

mendokumentasikan hasil penelitian dan menggandakan hasil

penelitian yang sebelumnya telah dinilai oleh para dosen dan penguji.

4.6 Rancangan Analisis Data

4.6.1 Teknik Pengolahan Data

Data yang sudah terkumpul diubah menjadi informasi, sebelum

dilakukan analisis data. Proses pengolahan data ini menggunakan

langkah – langkah sebagai berikut :

a. Editing
Pada tahap ini peneliti melakukan pengecekan lembar formulir

kuesioner apakah telah terisi atau tidak.

b. Coding

Setelah dilakukan editing, selanjutnya peneliti memberikan kode

pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan

analisis data.

c. Processing

Pada tahap ini, peneliti melakukan pengolahan data dengan

menggunakan bantuan program komputer SPSS untuk memasukan

data-data dari kuesioner.

d. Cleaning

Tahap ini adalah kegiatan pengecekan kembali data yang sudah

dimasukan apakah ada kesalahan atau tidak.

4.6.2 Teknik Pengolahan Data

Menurut Notoatmodjo (2010), analisa data dilakukan untuk

memperoleh makna atau arti dari hasil penelitian dan diinterpretasikan

serta membuktikan hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dirumuskan.

Penelitian ini menggunakan dua cara dalam menganalisis data, yaitu

analisis univariat dan bivariat.

a. Analisis Univariat

Menurut Natoatmodjo (2010), analisis univariat adalah analisis

yang dilakukan terhadap sebuah variabel. Analisa ini bertujuan


untuk mendeskripsikan setiap variabel yang diteliti secara terpisah

untuk mengahsilkan tabel distribusi frekuensi dari masing-masing

variabel.

Analisis univariat pada penelitian ini menggunakan

distribusi frekuensi sebagai berikut :

Keterangan :

P = Presentase

f = Frekuensi Responden

N= Jumlah seluruh responden

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yaitu analisis yang dilakukan terhadap dua

variabel yang diduga berhubungan dan berkolerasi (Notoatmodjo,

2010) dua variabel tersebut terdiri dari variabel bebas tingkat

pengetahuan ibu hamil terhadap HIV/AIDS dan variabel terikat

sikap terhadap Initiated HIV Testing and Counseling (PITC).

Analisis ini menggunakan uji statistik rank spearman. Dasar

pengambilan keputusan berdasarkan kriteria penilaian sebagai

berikut:

a) Ha diterima jika p value ˂0.05 yang berarti ada hubungan.

b) Ha ditolak jika p value ˃0.05 yang berarti tidak ada hubungan.


Kalau nilainya = p value, masuk kemana ???

4.7 Waktu dan Lokasi Penelitian

4.7.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan bulan Juni 2020 dengan

jadwal terlampir.

4.7.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Lamepayung Tahun 2020.

2.7.3 Jadwal Penelitian

Terlampir

2.7.4 Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan prinsip-

prinsip etika penelitian yang disampaikan oleh Notoatmodjo (2012),

yaitu sebagai berikut :

a. Menghormati harkat dan martabat subjek penelitian (respect for

human dignity). Prinsip ini menjelaskan bahwa responden berhak

mendapat informasi yang jelas tentang penelitian yang akan

dilakukan dan mempunyai kebebasan untuk menentukan

keikutsertaan dalam penelitian. Berkaitan dengan hal tersebut

peneliti menyiapkan lembar informed consent.

b. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for

privacy and confidentiality). Peneliti berkewajiban untuk

merahasiakan informasi yang telah diberikan oleh responden.


Peneliti memberikan koding sebagai identitas responden untuk

menjaga kerahasiaan responden semua data yang telah diberikan

responden hanya digunakan untuk keperluan penelitian. Setelah

penelitian berakhir maka data tersebut disimpan sebagai

dokumentasi penelitian.

c. Keadilan dan inklusivitas atau keterbukaan (respect for justice and

inclusiveness). Prinsip yang dimaksud adalah keterbukaan dan adil.

Sebelum melakukan pengumpulan data penelitian maka responden

harus mendapatkan penjelasan tentang prosedur penelitian yang

akan dilakukan serta perlakuan yang adil dan sama dalam

penelitian.

d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan

(balancing harms and benefits). Pada saat melakukan penelitian

hendaknya peneliti harus dapat mencegah atau mengurangi dampak

yang mungkin timbul dan merugikan.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Prosedure Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :

Rineka Cipta.

Budiman & Riyanto. 2013. Kapita Selekta Kuesioner: Pengetahuan dan Sikap

Dalam Penelitian Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta

Cahyoningsih. 2014. Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Hamil Tentang

HIVAIDS dan Tes HIV-AIDS Secara Sukarela dengan Sikap Tes HIV-

AIDS secara Sukarela di Puskesmas Gedong Tengen Yogyakarta Tahun

2014. [Naskah Publikasi]. Program Studi Bidan Pendidik Jenjang DIV

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah. Yogyakarta.

Fatir. 2014. Jumlah Ibu Hamil Positif HIV Meningkat Dua Kali Lipat. [online].

Available from: https://www.antaranews.com [accessed Apr 19 2018].

Heriana, C., & Ropii, A. (2017). Faktor Risiko Penularan HIV/AIDS Pada Ibu

Rumah Tangga Pasangan Migran DI Kabupaten Kuningan Tahun 2017 .

Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Husada, 6(2), 42–49.


https://ejournal.stikku.ac.id/index.php/stikku/article/view/50

Kemenkes,RI. Tes dan Konseling HIV Terinteggrasi di Sarana Kesehatan/ PITC.

2010.

Kemenkes RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Katalog Dalam

Terbitan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Kemenkes RI. 2014. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,

Persalinan dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan

Kontrasepsi serta Pelayanan Kesehatan Seksual. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 97.

Kemenkes RI. 2015. Pedoman Penerapan Tes dan Konseling HIV Terintegrasi di

Sarana Kesehatan. Jakarta.

Kumalasari, (2015). Kesehatan Reproduksi untuk Mahasiswa Kebidanan dan

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Mufdlilah, Shomadiyyah SA. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang

HIV/AIDS Dengan Sikap Terhadap Provider Initiated Testing And

counselling (PITC) Di Puskesmas Gedong Tengen Yogyakarta. 2016.

Diunduh 19 Desember 2017.

Notoatmodjo, S. 2014. Kesehatan Masyarakat : Ilmu dan Seni. Rineka Cipta.

Jakarta

Noviana. 2017. Catatan Kuliah Kesehatan Reproduksi & HIV-AIDS. Cetakan

Kedua. Trans Info Media. Jakarta

Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif, dan R D. Alfabeta :


Bandung. 2016.

Walyani, ES. 2015. Asuhan Kebidanan Pada Kehamilan. Yogyakarta: Pustaka

Baru Press

Wawan & Dewi. 2017. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku

Manusi.Cetakan II. Yogyakarta : Nuha Medika.

WHO, 2015. HIV-AIDS. Artikel. www.who.int. 04 April 2020 (13.30)

SURAT PERSETUJUAN RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini.

Nama :

Umur :

Alamat :

Setelah mendapatkan penjelasan dan mengerti sepenuhnya akan

maksud dan tujuan pengisian kuesioner guna penelitian yang berjudul

“Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang HIV/AIDS Dengan

Sikap terhadap Provider Initiated Testing And HIV Counseling (PITC) Di

Puskesmas Lamepayung Tahun 2020”. Kriterianya yaitu ibu hamil dengan

kehamilan trimester I, II dan III, ibu hamil yang periksa di Puskesmas

Lamepayung, ibu hamil yang bersedia menjadi responden, dan ibu hamil

yang sudah melakukan pemeriksaan Provider Initiated Testing HIV And

Counseling (PITC) maupun yang belum, saya menyatakan bersedia untuk

menyumbang waktu dan kesempatan guna kepentingan penelitan.


Demikian surat persetujuan ini saya tandatangani atas dasar

kesadaran dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Kuningan, Juni 2020

(Wali/ Saksi) (Responden)

JUDUL PENELITIAN DITULISKAN

KUESIONER PENELITIAN

A. Petunjuk Pengisian Kuesioner

1. Bacalah basmallah terlebih dahulu sebelum anda mulai menjawabnya.

2. Bacalah pertanyaan dibawah ini dengan baik dan teliti sebelum anda

menjawab.

3. Pilih alternatif jawaban yang sudah tersedia sesuai dengan kata hati

anda kemudian berilah tanda contreng (√) pada kolon yang sudah

disediakan.

4. Partisipan diberikan waktu untuk mengisi kuesioner dalam waktu 30

menit.

5. Bacalah hamdallah setelah menyelesaikannya.

B. Identitas Responden

No urut responden: (diisi oleh peneliti)

Nama (Inisial):

Umur:
Alamat:

Agama:

Pendidikan terakhir:

Jumlah anak:

Kehamilan Ke- : (1/2/3/4/˃5)

Berikan tanda (X) pada salah satu jawaban yang disediakan

Pekerjaan ibu:

a. Ibu Rumah Tangga e. Polisi/TNI

b. PNS f. Pedagang

c. Buruh g. Wiraswasta

d. Karyawan Swasta

Pekerjaan suami:

a. Ibu Rumah Tangga e. Polisi/TNI

b. Karyawan Swasta f. Pedagang

c. PNS g. Wiraswasta

d. Buruh

Pendapatan keluarga dalam satu bulan:

a. Kurang dari Rp 1.000.000

b. Rp 1.000.000-Rp 2.000.000

c. Rp 2.000.000-Rp 3.000.000

d. lebih dari Rp 3.000.000


Informasi tentang Konseling dan Tes HIV diperoleh dari:

a. Petugas Kesehatan

b. Media massa

c. Teman

d. Keluarga

e. Tidak Tahu

Pemeriksaan HIV/PITC (Tes HIV/AIDS atas Inisiatif Petugas

Kesehatan)

a. sudah melakukan tes HIV

b. belum melakukan tes HIV

KUESIOENER PENGETAHUAN TENTANG KONSELING DAN TES HIV

IBU HAMIL

Berikan tanda (√) pada salah satu kolom jawaban yang disediakan Responden

bersedia mengikut secara: 1. Sukarela ( ), 2. Mengundurkan diri ( ).

No Pernyataan Benar Salah

1. HIV merupakan penyakit menular yang menyerang sistem

kekebalan tubuh

2. Penyakit HIV/AIDS dapat disembuhkan

3. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh HIV

4. Penyakit HIV dapat ditularkan melalui batuk


5. Penyakit HIV dapat ditularkan dari ibu hamil ke janinnya

6. Testing HIV yang saya lakukan dengan cara mendeteksi

antibody dalam urin

7. Saya melakukan pemeriksaan HIV karena dapat mencegah

dari penyakit AIDS

8. Saya mengerti HIV dapat ditularkan melalui proses

menyusui

9. HIV tidak dapat menular melalui proses persalinan

10. Saya takut ketika bertemu dan bersalaman dengan orang

yang terinfeksi HIV

11. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV tidak

boleh mendapatkan ASI

12. Saya sudah mendapatkan penawaran dan konseling tentang

tes HIV tetapi saya takut dengan hasil tes

13. Saya melakukan pemeriksaan HIV karena saya peduli

dengan kondisi kesehatan saya dan janin saya

14. Tes HIV dilakukan pada saat pertama kali saya periksa

kehamilan di Puskesmas

15. Petugas kesehatan pernah memberikan konseling dan

pemahaman kepada saya tentang HIV

KUESIOENER SIKAP TENTANG KONSELING DAN TES HIV IBU

HAMIL

Berikan tanda (√) pada salah satu kolom jawaban yang disediakan Responden

bersedia mengikut secara: 1. Sukarela ( ), 2. Mengundurkan diri ( ).


1 = Sangat Tidak Setuju (STJ)

2 = Tidak Setuju (TS)

3 = Setuju (S)

4 = Sangat Setuju (SS)

No. Pernyataan Sangat Tidak Setuju Sangat

Tidak Setuju (S) Setuju

Setuju (TS) (SS)

(STS)

1. HIV-AIDS haruslah dihindari karena sangat

berbahaya.

2. Ibu hamil bukanlah orang yang mudah terkena

infeksi virus HIV.

3. Ibu yang hamil dengan HIV-AIDS dapat hidup

normal dan melahirkan bayi yang sehat.

4. Tes HIV-AIDS yang dianjurkan petugas

kesehatan (PITC) sangat bermanfaat bagi ibu

hamil sehingga perlu dilakukan oleh semua ibu

hamil.

5. Sebelum dilakukan tes HIV-AIDS maka ibu

hamil sebaiknya mendapatkan pemahaman

tentang HIV-AIDS melalui konseling.

6. Memakai kondom adalah salah satu

pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS.


7. Informasi tentang penyakit HIV-AIDS sangat

penting bagi masyarakat.

8. Semua ibu hamil sebaiknya melakukan

pemeriksaan HIV-AIDS.

9. Pendidikan kesehatan tentang penyakit

HIV/AIDS dapat menambah ilmu pengetahuan

seseorang.

10. Penolakan untuk menjalani tes HIV-AIDS oleh

ibu hamil sangatlah merugikan ibu hamil itu

sendiri.

DIBUATKAN KISI KISI INSTRUMENNYA YA……………

Anda mungkin juga menyukai