Anda di halaman 1dari 59

STASE KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN PADA ANAKDENGAN KEJANG


DEMAM

Disusun Oleh:
Nama : Budi Ayu Mira Dewi
NIM. : C2220103

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
BADUNG
2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN PADA ANAK

DENGAN KEJANG DEMAM

PADA TANGGAL 15 – 30 JUNI 2020

Diajukan Oleh :

Budi Ayu Mira Dewi


NIM. C2220103

Telah Disahkan Sebagai Laporan Praktik

Stase Keperawatan Anak

Mengetahui,
STIKES Bina Usada Bali
Profesi Ners
Ketua Preseptor Akademik

Ns. I Putu Artha Wijaya, S.Kep., M.Kep. Ns. I Made Dwie Pradnya Susila, S.Kep., M.Kes.
NIK. 11.01.0045 NIK. 12.10.0059
LAPORAN PENDAHULUAN

ANAK DENGAN KEJANG DEMAM

1. KONSEP DASAR

A. Anatomi Fisiologi

1. Otak

Otak mempunyai jaringan yang paling banyak menggunakan energi

yang didukung oleh metabolisme oksidasi glukosa. Kebutuhan oksigen

dan glukosa otak relatif konstan, hal ini disebabkan oleh metabolisme otak

yang merupakan proses yang terus menerus tanpa periode istirahat yang

berarti. Bila kadar oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak maka

1
metabolisme menjadi terganggu dan jaringan saraf akan mengalami

kerusakan (Syaifudin, 2010).

Secara struktural, cerebrum terbagi menjadi bagian korteks yang

disebut korteks cerebri dan sub korteks yang disebut struktural subkortikal.

Korteks cerebri terdiri atas korteks sensorik yang berfungsi untuk

mengenal, interpretasi inpuls sensorik yang diterima sehingga individu

merasakan, menyadari adanya suatu sensasi rasa/indera tertentu. Korteks

sensorik juga menyimpan sangat banyak data memori sebagai hasil

rangsang sensorik selama manusia hidup. Korteks motorik berfungsi untuk

memberi jawaban atas rangsangan yang diterimanya (Syaifudin, 2010).

Struktur Sub Kortikal :

1) Basal ganglia : melaksanakan fungsi motorik dengan merinci dan

mengkoordinasi gerakan dasar, gerakan halus atau gerakan terampil

dan sikap tubuh.

2) Talamus : pusat rangsang nyeri.

3) Hipotalamus : pusat tertinggi integrasi dan koordinasi sistem saraf

otonom dan terlibat dalam pengolahan perilaku insting, seperti makan,

minum, seks, dan motivasi.

4) Hipofise : bersama hipotalamus mengatur kegiatan sebagian besar

kelenjar endokrin dalam sintesa dan pelepasan hormon.

2
(Syaifudin, 2010).

Cerebrum terdiri dari dua belahan yang disebut hemispherium

cerebri dan keduanya dipisahkan oleh fisura longitudinalis. Hemisperium

cerebri terbagi hemisper kanan dan kiri. Hemisper kanan dan kiri ini

dihubungkan oleh bangunan yang disebut corpus callosum. Hemisper

cerebri dibagi menjadi lobus-lobus yang diberi nama sesuai dengan tulang

diatasnya, yaitu:

1) Lobus Frontalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang

frontalis.

2) Lonbus Parietalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang

parietalis.

3) Lobus Occipitalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang

occipitalis.

4) Lobus Temporalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang

temporalis.

(Syaifudin, 2010).

Cerebelum (otak kecil) terletak di bagian belakang kranium

menempati fosa cerebri posterior dibawah lapisan durameter tentorium

cerebelli. Dibagian depannya terletak batang otak. Berat cerebellum sekitar

150 gr atau 88% dari berat batang otak seluruhnya. Cerebellum dapat

3
dibagi menjadi hemisper cerebelli kanan dan kiri yang dipisahkan oleh

Vermis. Fungsi cerebellum pada umumnya adalah mengkoordinasikan

gerakan-gerakan otot sehingga gerakan dapat terlaksana dengan sempurna

(Syaifudin, 2010).

Batang otak atau brainstern terdiri atas diencephalon, mid brain,

pons dan medullan oblongata merupakan tempat berbagai macam pusat

vital seperti pusat pernapasan, pusat vasomotor, pusat pengatur kegiatan

jantung dan pusat muntah (Syaifudin, 2010).

2. Medula Spinalis

Medula spinalis merupakan perpanjangan modulla oblongata ke arah

kaudal di dalam kanalis vertebralis cervikalis I memanjang hingga setinggi

cornu vertebralus lumbalias I-II. Terdiri dari 31 segmen yang setiap

segmennya terdiri dari satu pasang saraf spinal. Dari medulla spinallis

bagian cervical keluar 8 pasang, dari bagian thorakal 12 pasang, dari

bagian lumbal 5 pasang dan dari bagian sakral 5 pasang serta dari coxigeus

keluar 1 pasang saraf spinalis. Seperti halnya otak, medula spinalis pun

terbungkus oleh selaput meninges yang berfungsi melindungi saraf spinal

dari benturan atau cedera (Syaifudin, 2010).

Gambaran penampang medula spinalis memperlihatkan bagian-

bagian substansi grissea dan substansia alba. Substansia grissea ini

4
mengelilingi canalis centralis sehingga membentuk columna dorsalis,

columna lateralis dan columna ventralis. Massa grissea dikelilingi oleh

substansia alba atau badan putih yang mengandung serabut-serabut saraf

yang diselubungi oleh myelin. Substansi alba berisi berkas-berkas saraf

yang membawa impuls sensorik dari sistem saraf tepi (SST) menuju sistem

saraf pusat (SSP) dan impuls motorik sistem saraf pusat (SSP) menuju

sistem saraf tepi (SST). Substansia grissea berfungsi sebagai pusat

koordinasi yang berpusat di medula spinalis. Di sepanjang medula spinalis

terdapat jaras saraf yang berjalan dari medula spinalis menuju otak yang

disebut jaras acenden dan dari otak menuju medula spinalis yang disebut

sebagai jaras desenden. Substansia alba berisi berkas-berkas saraf yang

berfungsi membawa impuls sensorik dari sistem tepi saraf tepi otak ke

otak dan impuls motorik dari otak ke saraf tepi. Substansi grissea berfungsi

sebagai pusat koordinasi reflek yang berpusat di medulla spinalis

(Syaifudin, 2010).

Refleks-refleks yang berpusat di sistem saraf pusat yang bukan

medulla spinalis, pusat koordinasi tidak disubstansi grisea medulla

spinalis. Pada umumnya penghantaran impuls sensorik di substansi alba

medula spinalis berjalan menyilang garis tengah. Impuls sensorik dari

tubuh sisi kiri akan dihantarkan ke otak sisi kanan dan sebaliknya.

Demikian juga dengan impuls motorik. Seluruh impuls motorik dari otak

5
yang dihantarkan ke saraf tepi melalui medula spinalis akan menyilang

(Syaifudin, 2010).

Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik yang

berasal dari korteks serebri atau batang otak yang seluruhnya (dengan serat

saraf-sarafnya ada di dalam sistem saraf pusat). Lower Motor Neuron

(LMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari sistem saraf pusat

tetapi serat-serat sarafnya keluar dari sistem saraf pusat dan membentuk

sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka. Gangguan fungsi UMN

maupun LMN menyebabkan kelumpuhan otot rangka, tetapi sifat

kelumpuhan UMN berbeda sifat dengan kelumpuhan LMN. Kerusakan

LMN menimbulkan kelumpuhan otot yang lemas ketegangan otot (tonus)

rendah dan sukar untuk merangsang refleks otot rangka (hiporefleksia).

Pada kerusakan UMN, otot lumpuh (paralisa/paresa) dan kaku(rigid),

ketegangan otot tinggi (hiperrefleksia). Berkas UMN bagian internal tetap

berjalan pada sisi yang sama sampai berkas lateral ini tiba di medulla

spinalis. Di segmen medula spinalis tempat berkas bersinap dengan neuron

LMN. Berkas tersebut akan menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas

batang otak akan menimbulkan kelumpuhan pada otot-otot sisi yang

berlawanan (Syaifudin, 2010).

Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah

sebagai pusat refleks. Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansi

6
grisea medula spinalis. Refleks adalah jawaban individu terhadap rangsang

melindung tubuh terhadap berbagai perubahan yang terjadi baik di

lingkungan eksternal. Kegiatan refleks terjadi melalui suatu jalur tertentu

yang disebut lengkung reflex (Syaifudin, 2010).

Fungsi medula spinalis :

a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu di kornu motorik atau kornu

ventralis.

b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan reflek tungkai.

c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju

cerebellum.

d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

Fungsi Lengkung Reflek:

a. Reseptor : penerima rangsang.

b. Aferen : sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem

saraf pusat (ke pusat refleks).

c. Pusat Refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis :

substansia grisea ) tempat terjadinya sinap (hubungan antara neuron

dengan neuron dimana terjadi pemindahan/penerusan impuls).

d. Eferen : sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel

efektor. Bila sel efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga

7
neuron motorik (sel saraf/penggerak).

e. Efektor : sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai

jawaban refleks. Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos atau

otot rangka), sel kelenjar.

(Syaifudin, 2010)

3. Sistem Saraf Tepi

Kumpulan neuron di luar jaringan otak dan medula spinalis

membentuk sistem saraf tepi (SST). Secara anatomik digolongkan ke

dalam saraf-saraf otak sebanyak 12 pasang dan 31 pasang saraf spinal.n

Secara fungsional, SST digolongkan ke dalam :

a. Saraf sensorik (aferen) somatik : membawa informasi dari kulit, otot

rangka dan sendi ke sistem saraf pusat.

b. Saraf motorik (eferen) somatik : membawa informasi dari sistem saraf

pusat ke otot rangka.

c. Saraf sensorik (aferen) viseral : membawa informasi dari dinding

visera ke sistem saraf pusat.

d. Saraf motorik (aferen) viseral : membawa informasi dari sistem saraf

pusat ke otot polos, otot jantung dan kelenjar.

e. Saraf eferen viseral disebut juga sistem saraf otonom. Sistem saraf tepi

terdiri atas saraf otak (s.kranial) dan saraf spinal.

(Pearce, 2014)

8
B. Definisi

Kejang adalah suatu kejadian paroksismal yang disebabkan oleh lepasnya

muatan hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan neuron SPP. Kejang demam

adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu 380C, yang disebabkan

oleh suatu proses ekstrakranium, biasanya terjadi usia 3 bulan - 5 tahun. Kejang

demam tidak selalu diawali anak harus mengalami peningkatan suhu seperti di

atas, kadang dengan suhu yang tidak terlalu tinggi anak sudah kejang. Kejang

demam adalah kejang yang terjadi pada saat bayi atau anak mengalami demam

tanpa infeksi sistem saraf pusat (Nabiel, 2014).

Kejang demam banyak di alami bayi hingga anak balita, kejang demam

terjadi ketika anak mengalami peningkatan suhu tubuh hingga melewati ambang

batas (>390C). Kejang demam pada dasarnya bersifat lokal dan tidak

membahayakan, akan tetapi kejang yang berkepanjangan dan berulang-ulang

dapat menyebabkan gangguan serius pada otak anak hingga anak mengalami

kecacatan mental (Swasanti & Putra Satria, 2013).

Kejang demam adalah bangkitan yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh,

suhu rektum (dubur) di atas 380C. Kejang yang berhubungan dengan kejang

(suhu di atas 38,50C per rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau

ganguan elektrolit akut. Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan

kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas atas 380C)

9
yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan

neurologis yang paling dijumpai pada anak. Pada percobaan binatang suhu yang

tinggi dapat menyebabkan kejang demam (Ngastiyah, 2014).

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan kejang demam

adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu lebih dari 380C yang

disebabkan oleh proses ekstrakranium dan sering dijumpai pada anak usia

dibawah 5 tahun.

C. Epidemiologi

Dari penelitian yang pernah dilakukan sekitar 2,5-5% pernah mengalami

kejang demam sebelum umur 5 tahun. Kejang demam banyak mengenai anak usi

3 bulan - 5 tahun dan terbanyak umur 14 – 18 bulan. Kejang demam terjadi lebih

dari 90% pada anak usia di bawah 5 tahun. Hampir 5% anak berumur di bawah

16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama hidupnya.

Insiden dan prevalensi kejadian kejang demam di setiap negara berbeda.

Prevalensi kejang demam di Eropa dan Amerika Serikat terjadi 2 – 5%. Kejang

demam di asia nilainya cukup tinggi, sekitar 20% meningkat 2 kali lipat dari

Eropa dan Amerika Serikat.

Umumnya dari banyak kauss kejang demam dapat sembuh sempurna,

sekitar 2 – 7% yang akan kambuh menjadi epilepsy. Sekitar 4% penderita kejang

demam mengalami penurunan intelegensi. Pada tahun 2009, di Indonesia

10
khususnya kota Tegal, Jawa Tengah tercatat 6 balita meninggal, dari jumlah

pasien kejang demam sebanyak 62 balita. Dimana presentasi kejadian kejang

demam yang dialamioleh laki-laki 52,8% dan perempuan 47,2%. Angka

mortalitas akibat kejang demam tergolong rendah. Angka kematian berkisar

0,64% - 0,75%.

D. Etiologi

Hingga kini belum diketahui dengan pasti, demam sering disebabkan

infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pnemonia, gastroententis, dan

infeksi saluran kemih (Lestari, 2016). Kejang terjadi akibat lepas muatan

paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah

terpicu sehingga mengganggu fungsi normal otak dan juga dapat terjadi karena

keseimbangan asam basa atau elektrolit yang terganggu. Kejang itu sendiri dapat

juga menjadi manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan

(Lestari, 2016).

Kejang demam disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat

yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Umumnya berlangsung singkat

dan mungkin terdapat presdiposisi familial, dan beberapa kejadian kejang dapat

berlanjut melewati masa anak-anak dan mungkin dapat mengalami kejang non

demam pada kehidupan selanjutnya (Lestari, 2016).

11
Peranan infeksi pada sebagian besar kejang demam adalah tidak spesifik

dan timbulnya serangan terutama didasarkan atas reaksi demamnya yang terjadi.

Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang

tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat

misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis (Judha & Rahil, 2011). Kondisi

yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang mengenai

jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Lestari, 2016).

Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan

penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan

menyeluruh. Tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan

penyebab demam dan mengesampingkan meningitis. Infeksi saluran pernapasan

atas, dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam yang paling sering

(Lestari, 2016).

Beberapa faktor risiko berulangnya kejang (Panduan Penyusunan asuhan

Profesional) :

1. Riwayat kejang dalam keluarga.

2. Usia kurang dari 18 bulan.

3. Tingginya suhu badan sebelum kejang, makin tinggi suhu sebelum

kejang demam, semakin kecil kemungkinan kejang demam akan

berulang.

12
4. Lamanya demam sebelum kejang, semakin pendek jarak antara

mulainya demam dengan kejang, maka semakin besar resiko kejang

demam berulang.

Determinan kejang demam dibedakan berdasarkan host, agent dan

environment.

1. Host

Faktor host yang menjadi determinan terjadinya kejang demam antara

lain :

a. Umur

Berdasarkan studi kasus kontrol yang dilakukan Fuadi, A., dkk

(2010) di RSUP dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa anak

yang berusia <2 tahun mempunyai risiko 3,4 kali lebih besar

mengalami kejang demam dibandingkan dengan anak yang

berusia >2 tahun. Penelitian Karimzadeh, P., dkk (2008) di Mofid

Children’s Hospital Iran menunjukkan bahwa penderita kejang

demam paling banyak terjadi pada usia dua tahun pertama (13-24

bulan) yaitu 39,8%.

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian Bessisso, M.S., dkk (2000) di Qatar

menunjukkan bahwa kejang demam lebih banyak diderita oleh

anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan dengan rasio

13
1,2 : 1, dimana anak laki-laki 128 orang (54,2%) dan anak

perempuan 108 orang (45,8%). Hasil penelitian Siddiqui, T.S.,

(2000) di Department of Paediatrics, Hayat Shaheed Teaching

Hospital Peshawar diperoleh anak laki-laki yang menderita kejang

demam 55% dan anak perempuan 45%.

c. Riwayat Kejang Keluarga

Berdasarkan studi kasus kontrol yang dilakukan Fuadi, A., dkk

(2010) di RSUP dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa anak

yang memiliki keluarga dengan riwayat kejang berisiko 4,5 kali

untuk mengalami kejang demam dibandingkan dengan anak yang

tidak memiliki keluarga dengan riwayat kejang. Penelitian

Karimzadeh, P., dkk (2008) di Mofid Children’s Hospital Iran

menunjukkan bahwa dari 302 anak yang menderita kejang

demam, ada 28,8 % anak yang memiliki keluarga dengan riwayat

kejang demam. Penelitian Ridha, N.R., dkk (2009) di RS Wahidin

Sudirohusodo di Makassar menunjukkan bahwa anak yang

memiliki keluarga dengan riwayat kejang demam berisiko 6 kali

untuk mengalami kejang demam.

d. Berat Badan lahir

Berdasarkan penelitian Vestergaard dkk (2007) di Denmark

didapatkan bahwa risiko kejang demam meningkat secara

14
konsisten dengan penurunan berat badan ketika lahir. Bayi yang

lahir dengan berat badan <2500 gram 1,5 kali berisiko untuk

menderita kejang demam. Pada bayi yang lahir dengan berat

badan 2500-2999 gram risikonya 1,3 kali, bayi yang lahir dengan

berat badan 3000-3499 gram risikonya 1,2 kali, sedangkan bayi

yang lahir dengan berat badan 3500-3999 gram dan >3999 gram

risiko untuk menderita kejang demam sebesar 1 kali.

2. Agent

Kejadian kejang demam dicetuskan karena terjadinya kenaikan suhu

tubuh di atas normal (demam). Tinggi suhu tubuh pada saat timbul

serangan kejang disebut nilai ambang kejang. Ambang kejang

berbeda-beda untuk setiap anak. Adanya perbedaan ambang kejang ini

menunjukkan bahwa ada anak yang mengalami kejang setelah suhu

tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak yang lain,

kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.

Penelitian Karimzadeh, P., dkk (2008) di Mofid Children’s Hospital,

diperoleh 302 kasus penderita kejang demam dimana anak yang

mengalami kejang pada suhu ≤38,5oC ada 60,9%, sedangkan anak

yang mengalami kejang pada suhu >38,5oC ada 39,1%. Demam yang

terjadi pada anak biasanya disebabkan oleh penyakit infeksi. Penelitian

Mahyar, A., dkk (2010) di Iran menunjukkan bahwa anak yang

15
menderita kejang demam, demamnya paling banyak disebabkan oleh

infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) 53,8%, diikuti dengan

gastroenteritis 24,4%, otitis media akut 9%, infeksi saluran kemih

6,4%, pneumonia 3,8% dan lainnya 2,6%.

3. Environment

Faktor lain yang memengaruhi timbulnya kejang demam adalah faktor

lingkungan dengan sanitasi dan higiene yang buruk serta pemukiman

yang terlalu padat. Kondisi ini mengakibatkan mudahnya agent

penyakit berkembang biak serta terjadi penularan penyakit infeksi

yang cepat. Pemaparan agent penyakit juga dapat terjadi pada saat

anak kontak langsung dengan anggota keluarganya yang sakit.

(Judha & Rahil, 2011)

16
E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik yang muncul pada penderita kejang demam antara lain:

1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.

2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau

kinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan

reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar

kembali tanpa ada kelainan persarafan.

3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti

panggilan, cahaya (penurunan kesadaran).

(Judha & Rahil, 2011).

Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga

dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang demam.

Ada 7 kriteria antara lain:

1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.

2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.

3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot

rahang saja).

4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.

5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada

kelainan.

6. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu

17
atau lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan.

7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.

Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam,

berlangsung singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik,

klonik, fokal atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang

berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik

atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf (Judha & Rahil, 2011).

F. Patofisiologi

Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah

menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan

dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal

membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit

dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainya kecuali ion klorida. Akibatnya

konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah,

sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis

dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial

membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga

keseimbangan potensial membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K

ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel (Judha & Rahil, 2011).

18
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan

konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak

misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan

patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.Pada keadaan

demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10

sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun

sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang

dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah

keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi

difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik

(Judha & Rahil, 2011).

Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas

keseluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan

“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama

biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk

kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat

disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung

yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin

meningkatnya aktivitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat

(Judha & Rahil, 2011).

19
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis

media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik.

Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh

melalui hematogen maupun limfogen. Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan

direspon oleh hipotalamus dengan menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus

sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan

suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain

seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot (Judha & Rahil,

2011).

Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan

disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.

Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi

pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion

natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa

inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat

sehingga timbul kejang (Judha & Rahil, 2011).

Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan

kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma

sehingga anak berisiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh

penutupan lidah dan spasma bronkus (Judha & Rahil, 2011).

20
G. Pathway
Etiologi

Demam

Metabolisme basal meningkat 10-15% Kebutuhan O2 meningkat sampai 20%

Perubahan difusi Na+ dan K+

Perubahan beda potensial membrane sel neuron

Kurang Pelepasan muatan listrik semakin meluas ke seluruh sel maupun


pengetahuan membrane sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmiter

Kurang informasi pengobatan, Kejang Risiko Cedera


perawatan kondisi, prognosis

Singkat < 15 menit > 15 menit


Resiko Kejang
berulang

Kontraksi otot Denyut jantung


Hipoksemia Hiperkapnia meningkat Asidosis laktat meningkat

Hipertermia
Demam Metabolisme Kerusakan
meningkat meningkat neuron otak
Termoregulasi
tidak efektif

Hipoglikemi Hipertensi Evaporesis Takikardi Gangguan saraf otonom

Perfusi jaringan
Syok Hipotensi
serebral tidak efektif
Risiko cedera Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas

21
H. Klasifikasi

1. Kejang demam sederhana

a. Dikeluarga penderita tidak ada riwayat epilepsy.

b. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyakit apapun.

c. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6

tahun.

d. Lamanya kejang berlangsung < 20 menit.

e. Kejang tidak bersifat tonik klonik.

f. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang.

g. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologi atau

abnormalitas perkembangan.

h. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat.

i. Tanpa gerakan fokal dan berulang dalam 24 jam.

(Nabiel, 2014).

2. Kejang demam kompleks

Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang

parsial simpleks. Dapat mencangkup otomatisme atau gerakan otomatik;

mengecap-ecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-

ulang pada tangan, dan gerakan tangan lainnya. Dapat tanpa otomatisme

tatapan terpaku (Nabiel, 2014).

22
I. Gejala Klinis

Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Lwingstone), yaitu:

1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala

klinis sebagai berikut :

a. Kejang berlangsung singkat, < 15 menit

b. Kejang umum tonik dan atau klonik

c. Umumnya berhenti sendiri

d. Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam

2. Kejang demam kompleks (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri

gejala klinis sebagai berikut :

a. Kejang lama > 15 menit.

b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang

parsial.

c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

(Nabiel, 2014).

J. Komplikasi

Komplikasi pada kejang demam anak menurut Garna & Nataprawira

(2010) adalah sebagai berikut :

1. Epilepsi

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh

23
terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala. Bangkitan kejang

yang terjadi pada epilepsi kejang akibat lepasnya muatan listrik yang

berlebihan di sel neuron saraf pusat.

2. Kerusakan jaringan otak

Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu

kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor M Metyl D Asparate

(MMDA) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang

merusak sel neuoran secara irreversible.

3. Retardasi mental

Dapat terjadi karena defisit neurologis pada demam neonatus.

4. Aspirasi

Lidah jatuh kebelakang yang mengakibatkan obstruksi jalan napas.

5. Asfiksia

Keadaan dimana bayi saat lahir tidak dapat bernafas secra spontan atau

teratur.

K. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik

Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya

meliputi :

1. Darah

a) Glukosa darah : hipoglikemia merupakan predisposisi kejang

24
(N<200mq/dl).

b) BUN : peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan

indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.

c) Elektrolit : Kalium, natrium. Ketidakseimbngan elektrolit merupakan

predisposisi kejang.

d) Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)

e) Natrium (N 135-144 meq/dl)

2. Cairan cerebo spinal : mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda

infeksi, pendarahan penyebab kejang.

3. X Ray : untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.

4. Tansiluminasi : suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih

terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk

transiluminasi kepala.

5. EEG : teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang

utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.

6. CT Scan : untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma, cerebral

oedema, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

(Judha & Rahil, 2011).

25
L. Penatalaksanaan

1. Pengobatan saat terjadi kejang

a) Pemberian diazepam supositoria pada saat kejang sangat efektif dalam

menghentikan kejang, dengan dosis pemberian:

1) 5 mg untuk anak < 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak > 3

tahun.

2) 4 mg untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan BB > 10

kg.

3) 0,5 – 0,7 mg/kgBB/kali.

b) Diazepam intravena juga dapat diberikan dengan dosis sebesar 0,2-0,5

mg/kgBB. Pemberian secara perlahan-lahan dengan kecepatan 0,5-1

mg/menit untuk menghindari depresi pernafasan, bila kejang berhenti

sebelum obat habis, hentikan penyuntikan. Diazepam dapat diberikan 2

kali dengan jarak 5 menit bila anak masih kejang, diazepam tidak

dianjurkan diberikan per IM karena tidak diabsorbsi dengan baik.

c) Bila tetap masih kejang, berikan fenitoin per IV sebanyak 15

mg/kgBB perlahan-lahan, kejang yang berlanjut dapat diberikan

pentobarbital 50 mg IM dan pasang ventilator bila perlu.

26
2. Setelah kejang berhenti

Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan

dengan pengobatan intermetten yang diberikan pada anak demam untuk

mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan berupa:

a) Antipirentik

1) Parasetamol atau asetaminofen 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4

kali atau tiap 6 jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangan efek

samping berupa hiperhidrosis.

2) Ibuprofen 10 mg/kgBB/kali diberikan 3 kali.

b) Antikonvulsan

1) Berikan diazepam oral dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada

saat demam menurunkan risiko berulang kejang.

2) Diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB/hari sebanyak 3 kali perhari.

3. Bila kejang berulang

Berikan pengobatan rumatan dengan fenobarbital atau asamn valproat

dengan dosis asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis,

sedangkan fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.

a) Indikasi untuk diberikan pengobatan rumatan adalah :

1) Kejang lama >15 menit.

2) Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum atau

sesudah kejang misalnya hemiparase, cerebral palsi, hidrocefalus.

27
3) Kejang fokal.

4) Bila ada keluarga sekandung mengalami epilepsi.

b) Pemberian terapi rumatan dapat dipertimbangkan untuk terjadinya :

1) Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam.

2) Kejang demam terjadi pada bayi <12 bulan.

(Judha & Rahil, 2011).

4. KONSEP TUMBUH KEMBANG DAN HOSPITALISASI

A. Konsep Pertumbuhan Usia

1) Pengertian Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh

dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel

tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel yang berarti ada

pertambahan secara kuantitatif seperti bertambahnya ukuran berat badan,

tinggi badan dan lingkar kepala (Lestari, 2016).

Secara umum, pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke

kaki.Kematangan pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung

lebih dahulu, kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian

bawah.Pada masa fetal pertumbuhan kepala lebih cepat dibandingkan

dengan masa setelah lahir, yaitu merupakan 50% dari total panjang badan.

28
Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan bertambah secara teratur.

Teori pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu :

a) Kartini Kartono membagi masa perkembangan dan pertumbuhan


anak menjadi 5, yaitu :
- 0 – 2 tahun adalah masa bayi
- 1 – 5 tahun adalah masa kanak-kanak
- 6 – 12 tahun adalah masa anak-anak sekolah dasar
- 12 – 14 adalah masa remaja
- 14 – 17 tahun adalah masa pubertas awal
b) Aristoteles membagi masa perkembangan dan pertumbuhan anak
menjadi 3, yaitu :
- 0 – 7 tahun adalah tahap masa anak kecil.
- 7 – 14 tahun adalah masa anak-anak, masa belajar, atau masa
sekolah rendah.
- 14 – 21 tahun adalah masa remaja atau pubertas, masa peralihan
dari anak menjadi dewasa.
(Lestari, 2016).
2) Ciri-ciri Pertumbuhan

Hidayat dalam Lestari (2016) menyatakan bahwa seseorang

dikatakan mengalami pertumbuhan bila terjadi perubahan ukuran dalam

hal bertambahnya ukuran fisik, seperti berat badan, tinggi badan/panjang

badan, lingkar kepala, lingkar lengan, lingkar dada, perubahan proporsi

yang terlihat pada proporsi fisik atau organ manusia yang muncul mulai

dari masa konsepsi sampai dewasa, terdapat ciri baru yang secara

29
perlahan mengikuti proses kematangan seperti adanya rambut pada

daerah aksila, pubis atau dada, hilangnya ciri-ciri lama yang ada selama

masa pertumbuhan seperti hilangnya kelenjar timus, lepasnya gigi susu,

atau hilangnya refleks tertentu.

3) Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

Supariasa dalam Lestari (2016) mengatakan pertumbuhan

dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu:

a) Faktor Internal (Genetik)

Faktor internal (genetik) antara lain termasuk berbagai faktor bawaan

yang normal dan patologis, jenis kelamin, obstetrik dan ras atau suku

bangsa. Apabila potensi genetik ini dapat berinteraksi dengan baik

dalam lingkungan maka pertumbuhan optimal akan tercapai.

b) Faktor Eksternal

Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain

keluarga, kelompok teman sebaya, pengalaman hidup, kesehatan

lingkungan, kesehatan prenatal, nutrisi, istirahat, tidur dan olah raga,

status kesehatan, serta lingkungan tempat tinggal.

Wong, dkk dalam Lestari (2016) mengatakan bahwa nutrisi

memiliki pengaruh paling penting pada pertumbuhan.Bayi dan anak-anak

memerlukan kebutuhan kalori relatif besar, hal ini dibuktikan dengan

peningkatan tinggi dan berat badan.

30
B. Konsep Perkembangan Usia

1) Pengertian Perkembangan

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur

fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat

diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel,

jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi. Dengan

demikian, aspek perkembangan ini bersifat kualitatif, yaitu pertambahan

kematangan fungsi dari masing-masing bagian tubuh.Hal ini diawali

dengan berfungsinya jantung untuk memompakan darah, kemampuan

untuk bernafas, sampai kemampuan anak untuk tengkurap, duduk,

berjalan, memungut benda-benda di sekelilingnya serta kematangan

emosi dan sosial anak (Lestari, 2016).

2) Prinsip Perkembangan

Ada beberapa prinsip dalam perkembangan, yaitu:

a) Perkembangan merupakan suatu kesatuan.

b) Perkembangan diidentifikasi dalam beberapa aspek. Semua aspek

saling berkaitan. Misalnya, anak belajar membaca berkaitan dengan

kesiapan aspek kognitif (berpikir).

c) Perkembangan dapat diprediksi.

31
d) Anak sudah dapat berdiri dapat diperkirakan ia akan segera berjalan.

Dari sisi umur pun dapat diperkirakan perkembangan anak. Anak

usia satu tahun diperkirakan sudah dapat berkomunikasi

menggunakan satu kata. Misalnya, ’mam’ untuk menyatakan mau

makan.

e) Rentang perkembangan anak bervariasi.

f) Ada anak usia 12 bulan sudah dapat berjalan tapi anak yang lainnya

baru bisa berjalan setelah berusia 18 bulan.

g) Perkembangan dipengaruhi oleh kematangan (maturation) dan

pengalaman (experience).

h) Kematangan (maturation) merupakan proses alami. Kapan masa

kematangan untuk satu kemampuan muncul ditentukan oleh diri anak

sendiri. Faktor gizi dan kesehatan turut menentukan terjadi proses

kematangan.

i) Proses perkembangan terjadi dari atas ke bawah (Cepalocaudal) dan

dari dalam ke luar (proximodistal).

(Lestari, 2016).

3) Tahap-Tahap Perkembangan

Perkembangan manusia berjalan secara bertahap melalui berbagai

fase perkembangan. Dalam setiap fase perkembangan ditandai dengan

bentuk kehidupan tertentu yang berbeda dengan fase sebelumnya.

32
Sekalipun perkembangan itu dibagi-bagi ke dalam masa-masa

perkembangan, hal ini dapat dipahami dalam hubungan keseluruhannya.

Secara garis besar seorang anak mengalami tiga tahap perkembangan

penting, yaitu kemampuan motorik, perkembangan fisik dan

perkembangan mental. Kemampuan motorik melibatkan keahlian motorik

kasar, seperti menunjang berat tubuh di atas kaki, dan keahlian motorik

halus seperti gerakan halus yang dilakukan oleh tangan dan jari.

Pertumbuhan dan perkembangan fisik mengacu pada perkembangan alat-

alat indra. Perkembangan mental menyangkut pembelajaran bahasa,

ingatan, kesadaran umum, dan perkembagan kecerdasan (Lestari, 2016).

a) Anak usia 0-7 tahun

Pada tahun pertama perkembangannya bayi masih sangat tergantung

pada lingkungannya,kemampuan yang dimiliki masih terbatas pada

gerak-gerak, menangis. Usia setahun secara berangsur dapat

mengucapkan kalimat satu kata, 300 kata dalam usia 2 tahun, sekitar

usia 4-5 tahun dapat menguasai bahasa ibu serta memiliki sifat

egosentris, dan usia 5 tahun baru tumbuh rasa sosialnya kemudian

usia 7 tahun anak mulai tumbuh dorongan untuk belajar. Dalam

membentuk diri anak pada usia ini belajar sambil bermain karena

dinilai sejalan dengan tingakt perkembangan usia ini.

33
b) Anak usia 7-14 tahun

Pada tahap ini perkembangan yang tampak adalah pada

perkembangan intelektual, perasaan, bahasa, minat, sosial, dan

lainnya sehingga rasullullah menyatakan bahwa bimbingan dititik

beratkan pada pembentukan disiplin dan moral.

c) Anak usia 14-21 tahun

Pada usia ini anak mulai menginjak usia remaja yang memiliki

rentang masa dari usia 14/15 tahun hingga usia 21/22 tahun. Pada

usia ini anak berada pada masa transisi sehingga menyebabkan anak

menjadi bengal, perkataan-perkataan kasar menjadi perkataan harian

sehingga dengan sikap emosional ini mendorong anak untuk bersikap

keras dan mereka dihadapkan pada masa krisis kedua yaitu masa

pancaroba yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke masa pubertas.

Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, gejolak batin seperti

itu akan menimbulkan konflik.

(Lestari, 2016).

4) Aspek-Aspek Perkembangan

Ada beberapa aspek perkembangan, yaitu:

a) Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik sering dikaitkan dengan perkembangan motorik

sehingga dikenal dengan perkembangan fisik motorik. Perkembangan

34
motorik terdiri dari dua macam, yaitu perkembangan motorik kasar

dan motorik halus.

b) Perkembangan Motorik Kasar

Perkembangan motorik kasar adalah kemampuan bergerak dengan

menggunakan otot – otot tubuh khususnya otot besar seperti otot di

kaki dan tangan. Gerakan yang tergolong motorik kasar, misalnya

merayap, merangkak, berjalan, berlari, dan melompat.

c) Perkembangan Motorik Halus

Perkembangan dalam motorik halus adalah kemampuan bergerak

dengan menggunakan otot kecil, seperti yang ada di jari untuk

melakukan aktivitas, seperti mengambil benda kecil, memegang

sendok, membalikan halaman buku dan memegang pensil atau

krayon.

d) Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah suatu proses pembentukan

kemampuan dan keterampilan menggunakan alat berpikir.

Perkembangan kognitif berkaitan dengan aktivitas berpikir,

membangun pemahaman dan pengetahuan, serta memecahkan

masalah.

35
e) Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa adalah suatu proses pembentukan kemampuan

dan keterampilan untuk menyampaikan ide, perasaan dan sikap

kepada orang lain. Perkembangan bahasa meliputi mendengar,

berbicara, membaca, dan menulis.

f) Perkembangan Sosial – Emosi

Perkembangan Sosial – Emosional merupakan gabungan dari

perkembangan sosial dan emosi. Perkembangan adalah suatu proses

pembentukan kemampuan dan keterampilan untuk bersosialisasi.

Sedang perkembangan emosi berkaitan dengan kemampuan

memahami hal-hal yang berkaitan dengan perasaan-perasaan yang

ada pada diri sendiri, seperti perasaan senang ataupun sedih, apa yang

dapat ia lakukan, apa yang ingin ia lakukan.

(Lestari, 2016).

5) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan

a) Faktor internal

- Intelegensi

- Seks/jenis kelamin

- Kebangsaan (ras)

b) Faktor eksternal

- Posisi dalam keluarga

36
- Makanan

- Budaya.

(Lestari, 2016).

C. Konsep Hospitalisasi Usia

1) Pengertian

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit

dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha

untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit,

sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap

anak maupunorang tua dan keluarga (Lestari, 2016).

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau

darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk

menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah

sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas,

bagi anak (Lestari, 2016).

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat

yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk

mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan

psikis pada anak.

37
2) Dampak Hospitalisasi

Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres

pada semua tingkat usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh

banyaknya faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga

kesehatan lainnya), lingkungan baru, maupun lingkungan keluarga yang

mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan

perkembangan keadaan anaknya, pengobatan, dan biaya perawatan.

Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara

psikologis anak akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang

mendampingi selama perawatan (Lestari, 2016).

3) Reaksi anak terhadap Hospitalisasi

Seperti telah dikemukakan di atas, anak akan menunjukkan

berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi. Reksi

tersebut bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia

perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem

pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya. Pada

umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena

perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Berikut ini

reaksi anak terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan

tahapan perkembangan usia anak yaitu :

38
a) Masa Bayi (0 sampai 1 tahun)

Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan

dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya

dan kasih sayang.

b) Masa Todler (2 sampai 3 tahun)

Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan

sumber stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat

perpisahan. Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya,yaitu

tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap

protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit

memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang

lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah

menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat

untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap

pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai

menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak

mulai terlihat menyukai lingkungannya.

c) Masa Sekolah (6 sampai 12 tahun)

Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan

lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok

sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan control juga

39
terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan

aktivitas.

d) Masa Remaja (12 sampai 18 tahun)

Anak usia remaja memersepsikan perawatan di rumah sakit

menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah

dengan teman sebayanya. Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak

akan merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas karena

perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit membuat

anak kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung

pada keluarga atau petugas.

(Lestari, 2016).

4) Pencegahan Dampak Hospitalisasi

a) Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga.

b) Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan

pada anak.

c) Mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak

psikologis).

d) Tidak melakukan kekerasan pada anak.

e) Modifikasi Lingkungan Fisik.

(Lestari, 2016).

40
5. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian

1) Data Subyektif

a. Biodata/Identitas

Biodata anak yang mencakup nama, jenis kelamin. Biodata orang tua

perlu ditanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi :

nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan,

penghasilan, dan alamat.

b. Riwayat penyakit

1) Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang

ditanyakan:

a) Jenis, lama, dan frekuensi kejang.

b) Demam yang menyertai, dengan mengetahui ada tidaknya

demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah

infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan

kejang.

c) Jarak antara timbulnya kejang dengan demam.

d) Lama serangan

e) Pola serangan, apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik.

f) Frekuensi serangan, apakah penderita mengalami kejang

sebelumnya umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali,

41
dan berapa frekuensi kejang pertahun. Prognosa makin

kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur

muda dan bangkitan kejang sering timbul.

g) Keadaan sebelum,selama dan sesudah serangan.

h) Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau

rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang

misalnya, lapar, mual, muntah, sakit kepala dan lain-lain.

i) Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya.

j) Sesudah kejang perlu ditanyakan pakah penderita segera

sadar, tertidur, kesadran menurun, ada paralise, menangis.

2) Riwayat penyakit sekarang yang menyertai

Apakah muntah, diare, trauma kepala, gagap bicara (khususnya

pada penderita epilepsi), gagal jantung, kelainan jantung, DHF,

ISPA, dan lain-lain.

3) Riwayat penyakit dahulu

Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan

apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur

berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali. Apakah ada

riwayat trauma kepala, radang selaput otak, dan lain-lain.

42
c. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Keadaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah

mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma,

perdarahan pervagina sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan

maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah

sukar, spontan atau dengan tindakan, perdarahan ante partum,

asfiksia dan lain lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas,

diare muntah, tidak mau menetek dan kejang-kejang.

d. Riwayat Imunisasi

Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan

serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi.

e. Riwayat Perkembangan

1) Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan

dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi

dengan lingkungannya.

2) Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak

untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan

bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil

memerlukan koordinasi yang cermat misalnya menggambar,

memegang suatu benda.

43
3) Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan

sikap tubuh.

4) Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara,

mengikuti perintah dan berbicara spontan.

f. Riwayat Kesehatan Keluarga

1) Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (± 25 %

penderita kejang demam mempunyai faktor turunan).

2) Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit saraf atau

lainya.

3) Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA,

diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan

terjadinya kejang demam.

g. Riwayat Sosial

Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu

dikaji siapakah yang mengasuh anak. Bagaimana hubungan dengan

anggota keluarga dan teman sebayanya.

h. Pola kesehatan dan fungsi kesehatan

1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

a) Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatanpengetahuan

tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap

perawatan dan tindakan medis.

44
b) Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita,

pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada

anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan

pertolongan pertama.

2) Pola nutrisi

a) Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak, ditanyakan

bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang

dikonsumsi oleh anak.

b) Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak disukai anak.

c) Bagaimana selera makan anak sebelum dan setelah sakit.

d) Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya perhari.

3) Pola eliminasi

a) BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara

mikroskopis, ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah

terdapat darah, serta ditanyakan apakah disertai nyeri pada

saat kencing.

b) BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak?

bagaimana konsistensinya lunak, keras, cair atau berlendir?

4) Pola aktivitas dan latihan

a) Apakah anak senang main sendiri atau dengan teman

sebayanya.

45
b) Berkumpul dengan keluarga berapa jam.

c) Aktivitas apa yang disukai anak.

5) Pola tidur / istirahat

a) Berapa jam sehari tidur?

b) Berangkat tidur jam berapa?

c) Bangun tidur jam berapa?

d) Kebiasaan sebelum tidur

e) Bagaimana dengan tidur siang?

2) Data Obyektif

a. Pemeriksaan Fisik

1) Kepala

a) Adakah tanda-tanda mikro atau mikrossepali.

b) Adakah dispersi bentuk kepala.

c) Adakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial yaitu ubun-

ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun- ubun besar

menutup atau belum.

2) Rambut

Dimulai warna, kelebatan, distribusi serat karakteristik rambut

lain. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut

yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut

tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.

46
3) Muka/Wajah

Paralisis fasialis menyebabkan asimetris wajah : sisi yang paresis

tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik

ke sisi.

4) Mata

Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk periksa pupil dan

ketajaman peglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva?

5) Telinga

Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya

infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang

telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.

6) Hidung

a) Apakah adanya pernapasan cuping hidung

b) Polip yang menyumbat jalan napas

c) Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya?

7) Mulut

a) Adakah sianosis

b) Bagaiman keadaan lidah

c) Adakah stomatitis

d) Berapa jumlah gigi yang tumbuh

e) Apakah ada karies gigi

47
8) Tenggorokan

a) Adakah peradangan tanda-tanda peradangan tosil

b) Adakah pembesaran vena jugularis

9) Leher

a) Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid.

b) Adakah pembesaran vena jugularis.

10) Thorax

a) Pada inspeksi:amati bentuk dada klien, bagaimana gerak

pernapasan, frekuensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi

intercostal.

b) Auskultasi : adakah suara napas tambahan.

c) Jantung : bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta

iramanya? Adakah bunyi tambahan? Adakah bradicardi dan

takikardi?

11) Abdomen

a) Adakah distensi abdomen serta kekuatan otot pada abdomen?

Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus?

b) Adakah pembesaran lien dan hepar?

12) Kulit

a) Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya?

b) Adakah terdapat edemahemangioma?

48
c) Bagaimana keadaan turgor kulit?

13) Ekstremitas

a) Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah

terjadi kejang?

b) Bagaimana suhunya pada daerah akral?

14) Genetalia

Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina,

tanda-tanda infeksi.

b. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium, Rontgen, dan lain-lain).

B. Diagnosa Keperawatan

1. Hipertermia berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin

pada hipotalamus.

2. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan reduksi aliran

darah ke otak.

3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan produksi sekret

berlebih.

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi.

5. Resiko cidera.

6. Resiko kejang berulang.

49
C. Rencana Keperawatan

1. Hipertermia berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin

pada hipotalamus (NANDA, 2011).

a. Batasan karakteristik

Kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal, serangan atau konvulsi

(kejang), kulit kemerahan, pertambahan respirasi, takikardi, saat di

sentuh tangan terasa hangat.

b. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu dalam rentang

normal.

c. NOC: Termoregulation

Kriteria hasil:

1) Suhu tubuh dalam rentang normal.

2) Nadi dan respirasi dalam rentang normal.

3) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak pusing.

d. NIC : Temperatur regulation

Intervensi:

1) Monitor suhu minimal tiap 2 jam

2) Rencanakan monitor suhu secara kontinyu

3) Monitor TD, nadi, dan RR

4) Monitor warna dan suhu kulit

50
5) Monitor tanda-tanda hipertemi dan hipotermi

6) Kompres air hangat

7) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi

8) Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh

9) Kolaborasi pemberian antibiotik dan antipiretik

2. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan reduksi aliran

darah ke otak.

a. Batasan Karakteristik

Abnormalitas bicara, kelemahan ekstremitas atau paralis, perubahan

status mental, perubahan pada respon motorik, perubahan reaksi pupil,

kesulitan untuk menelan, perubahan kebiasaan.

b. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan suplai darah ke otak dapat kembali normal.

c. NOC: Status Sirkulasi

Kriteria hasil:

1) Tekanan darah sistolik dalam batas normal.

2) Tekanan darah diastolik dalam batas normal.

3) Kekuatan nadi dalam batas normal.

4) Tekanan vena sentral dalam batas normal.

5) Rata-rata takanan darah dalam batas normal.

d. NIC I : Monitor Tanda-Tanda Vital

51
1) Monitor tekanan darah, nadi, suhu, respirasi rate.

2) Catat adanya fluktuasi tekanan darah.

3) Monitor jumlah dan irama jantung.

4) Monitor bunyi jantung.

5) Monitor TD pada saat klien berbaring, duduk, berdiri.

e. NIC II: Status Neurologis

1) Monitor tingkat kesadaran.

2) Monitor tingkat orientasi.

3) Monitor status tanda-tanda vital.

4) Monitor Gaslow Coma Scale.

3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan produksi sekret

berlebih.

a. Batasan karakteristik

Dispneu, penurunan suara nafas, ortopneu, sianosis, kelainan suara

nafas (ronchi, rales, whezing), kesulitan berbicara, batuk, mata

melebar, produksi sputum, gelisah, perubahan frekuensi dan irama

nafas.

b. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan

jalan napas kembali efektif.

c. NOC: Respiratory status: Airway patency

Kriteria Hasil:

52
1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih.

2) Menunjukan jalan napas yang paten.

3) Mampu mengeluarkan sputum.

4) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor penghambat

jalan napas.

d. NIC: Airway Management

Intervensi:

1) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.

2) Lakukan fisioterapi dada bila perlu.

3) Keluarkan sekret dengan batuk efektif atau suction.

4) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan.

5) Monitor respirasi dan status O2.

6) Berikan bronkodilator bila perlu.

7) Kolaborasi pemberian antibiotik.

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi.

a. Batasan karakteristik

Keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah,

kurangnya keinginan mencari informasi, tidak mengetahui sumber

informasi.

b. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan keluarga mengerti

tentang kondisi pasien.

53
c. NOC: Knowledge ; diease proses

Kriteria hasil:

1) Keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit kondisi

prognosis dan program pengobatan.

2) Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara

benar.

3) Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan

perawat/ tim kesehatan lainnya.

d. NIC: Mengajarkan Proses Penyakit

Intervensi:

1) Berikan penilaian tentang penyakit pengetahuan pasien tentang

proses penyakit yang spesifik.

2) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini

berhubungan dengan anatomi fisiologi dengan cara yang tepat.

3) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit

dengan cara yang tepat.

4) Identifikasikan kemungkinan dengan cara yang tepat.

5. Resiko cidera

a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama poroses

keperawatan diharapkan resiko cidera dapat dihindari.

54
b. NOC: Pengendalian Resiko

Kriteria hasil:

1) Pengetahuan tentang resiko.

2) Monitor lingkungan yang dapat menjadi resiko.

3) Kembangkan strategi efektif pengendalian resiko.

4) Penggunaan sumber daya masyarakat untuk pengendalian resiko.

c. NIC: Mencegah Jatuh

Intervensi:

1) Identifikasi faktor kognitif atau psikis dari pasien yang dapat

menjadikan potensial jatuh dalam setiap keadaan.

2) Identifikasi karakteristik dari lingkungan yang dapat menjadikan

potensial jatuh.

3) Monitor cara berjalan, keseimbangan dan tingkat kelelahan

dengan ambulasi.

4) Instrusikan pada pasien untuk memanggil asisten jika akan

bergerak.

6. Resiko kejang berulang

a. Tujuan: tidak mengalami kejang.

b. Kriteria hasil :

1) Tidak terjadi serangan kejang berulang.

2) Suhu dalam batas normal.

55
3) Kesadaran kompos mentis.

4) Respirasi dalam rentan normal.

c. Intervensi :

1) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang mudah

menyerap keringat.

2) Berikan kompres hangat.

3) Observasikejang dan TTV tiap 4 jam sekali.

4) Batasi aktifitas selama anak panas.

5) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat antibiotik, antipiretik

dan anti kejang.

D. Implementasi

No. Hari/tanggal/Jam Implementasi Evaluasi Paraf


Formatif
NB :
Implementasi
disesuaikan dengan
intervensi dan
penulisannya
menggunakan kata
kerja.

E. Evaluasi

Evaluasi keperawatan dibuat sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil serta

sesuai dengan kondisi pasien saat diberikan asuhan keperawatan.

56
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., & McCloskey, J. C. (2017). Nursing Interventions Classification


(NIC). Medinfo.

Garna & Nataprawira. (2010). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran RS. Hasan Sadikin.

Judha, M. & Rahil, N. H. (2011). Sistem Persarafan dalam Asuhan Keperawatan.


Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Lestari , T. (2016). Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta : Nuha Medika.

Nabiel, H. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ngastiyah. (2014). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Pearce, E. C. (2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia


Pustaka Utama.

Sue Moorhead, PhD, RN Marion Johnson, PhD, R., & Meridean L. Maas, PhD, R.
(2013). Nursing Outcomes Classification (NOC),5th Edititon. In ELSEVIER.

Swasanti, N. & Putra, Satria. (2013). Pertolongan Pertama pada Anak Sakit.
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media Group.

Syaifuddin. (2010). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 2.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

57

Anda mungkin juga menyukai