Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TEORI PUSTAKA

A. ACUTE LUNG ODEMA (ALO)


1. DEFINISI
Acute Lung Odema (ALO) atau edema paru akut adalah terjadinya penumpukan
cairan secara massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam
kedaruratan respirasi dan ancaman gagal nafas (Gumiwang, 2007).
ALO juga dapat diartikan sebagai penumpukan cairan (serous/serosanguineous)
oleh karena adanya aliran cairan atau darah ke ruang interstisial paru yang
selanjutnya ke alveoli paru, bronkus, bronkiolus, atau interstisial space melebihi
cairan balik/kembali ke arah jantung atau melalui limfatik (Tamashefski, 2000).
2. ETIOLOGI
a. Ketidakseimbangan Starling Forces:
1) Peningkatan tekanan kapiler paru:
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal
meningkat sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya
berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena
pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai
terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain:
 Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel
kiri (stenosis mitral).
 Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri.
 Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan
tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-
losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi. Tetapi
hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga
peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada
hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial:
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural, contoh yang sering menjadi etiologi adalah:
 Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
 Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas
akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas
antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgical
tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini
daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force.
1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
4) Aspirasi asam lambung.
5) Pneumonitis radiasi akut.
6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin)
7) Disseminated Intravascular Coagulation.
8)  Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
9) Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
10) Pankreatitis Perdarahan Akut.
c.   Insufisiensi Limfatik:
1) Post Lung Transplant.
2) Lymphangitic Carcinomatosis.
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
d. Tak diketahui/tak jelas
1) High Altitude Pulmonary Edema.
2) Neurogenic Pulmonary Edema.
3) Narcotic overdose.
4) Pulmonary embolism
5) Eclampsia
6) Post cardioversion
7) Post Anesthesia
8) Post Cardiopulmonary Bypass
e. Kardiogenik
1) Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena
adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk
gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak
otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung
yang mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti
biasa.
2) Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut
beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati
dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis),
penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain
dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi
lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana
kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi.
Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut,
maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan
mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
3) Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi
untuk mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat
(stenosis) atau tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal
ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-
paru.
4) Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan
pada otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri
koronaria.
3. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik
dan  non-kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya
sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah
Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan
oleh adanya Payah Jantung  Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor
presipitasi, dapat  terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Cronic
a. Cardiogenic
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya
kelainan pada organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya
seperti jantung memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi
memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi
dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi
jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi
pompa jantung yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti
arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot jantung),
serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal dapat
menjurus pada akumulasi lebih dari jumlah darah yang biasa dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Pada gilirannya, hal ini
menyebabkan cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke
alveoli ketika tekanan membesar.
b. Non-Cardiogenic Pulmonary Edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya
disebabkan oleh hal berikut:
 Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi
sebagai akibat dari respon peradangan yang mendasarinya, dan ini
menurus pada alveoli yang bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan
dari pembuluh-pembuluh darah.
 Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi
yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-
infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.
 Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari
tubuh dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-
pembuluh darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-
orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu
untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
 High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh
kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000
feet.
 Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage),
seizure-seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya
berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan
neurogenic pulmonary edema.
 Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya
menyebabkan re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi
pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau
jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion)
dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat
berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
 Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada
pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin
tinggi yang kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication,
terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary
edema.
 Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic
pulmonary edema mungkin termasuk pulmonary embolism
(gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru akut
yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute
lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia
pada wanita-wanita hamil.
4. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan
radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun
kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi edema
paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein
yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir
yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas.
Sering kali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
 Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan
kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
 Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan
saja.
 Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali
dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain
turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita
biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams
digunakan dengan hati-hati. Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard
Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing
yang dilakukan ligasi arteria koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan
kapiler paru normal, yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin
sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau
cyclic phosphodiesterase akan mengurangi edema' paru sekunder akibat
peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard Akut
dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin
disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun
tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa
penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder
oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock
lung (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006).
5. PATOFISIOLOGI
a. Penigkatan tekanan hidrostatik (tekanan yang mendorong cairan keluar
sel) pada kapiler paru terjadi jika kerja pemompaan ventrikel kiri tidak
adekuat. Penyebabnya adalah penurunan kekuatan miokardium atau
keadaan yang menuntut peningkatan kerja miokardium (gagal jantung),
stenosis katup mitral atau regurgitasi. Akibatnya, peningkatan atrium kiri
akan dihantarkan ke belakang pembuluh darah paru.
b. Gangguan drainase limfatik mempermudah pembentukan edema paru.
Biasanya, kelebihan cairan filtrasi akan dibuang melalui system limfatik.
Jika gagal jantung kanan bersamaan dengan gagal jantung kiri, tekanan
vena sistemik akan meningkat, begitu pula tekanan pada tempat drainase
pembuluh limfatik ke dalam vena sehingga menghambat drainase limfatik.
c. Tekanan onkotik di kapiler berkurang pada hipoproteinemia, sehingga
mendukung terjadinya edema paru (tidak ada cukup perotein untuk
mendorong cairan ke dalam sel).
d. Pada edema paru interstisial, ruang interstisial di antara kapiler dan
alveolus meningkat. Akibatnya terjadi gangguan difusi yang terutama
mengganggu pengambilan O2. Sehingga pada aktifitas fisik dimana
kebutuhan O2 meningkat, konsentrasi O2 dalam darah akan turun
(hipoksemia, sianosis). Tekanan yang terus meningkat dan kerusakan
dinding alveolus menyebabkan filtrasi ke dalam ruang alveolus. Alveolus
yang terisi dengan cairan tidak lagi terlibat dalam proses pertukaran gas,
cairan memasuki jalan nafas sehingga meningkatkan resistensi jalan nafas.
e. Edema paru memaksa pasien untuk bernafas dalam posisi tegak
(ortopneu). Pada posisi duduk atau berdiri setelah berbaring, aliran balik
vena dari bagian tubuh terbawah akan turun (semakin turun bila dalam
posisi tegak) sehingga tekanan atrium kanan dan curah jantung kanan
menurun. Aliran darah ke paru akan berkurang sehingga menyebabkan
penurunan teknan hidrostatik di kapiler paru dan dalam waktu yang
bersamaan, aliran vena pulmonalis dari bagian tubuh di atas paru akan
meningkat. Selain itu, penurunan tekanan vena sentralis membantu
drainase limfatik dari paru. Akibatnya, bendungan paru, serta edema
alveolus dan interstisial akan berkurang.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.   EKG
 Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri, atau fibrilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung.
 Gambaran iskemik, infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa
ditemukan.
 Edema paru non iskemik: gelombang T negative yang lebar dengan
QT memanjang.
b. Laboratorium
 Analisis gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah, kemudian
hiperkapnia.
 Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
 Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalisis, enzim jantung
(CKCKMB, Troponin T) diperiksa.
c. Foto Toraks
 Hilus melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru,
akibat edema interstisial atau alveolar.
 Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
 Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
 Kranialisasi vaskuler
 Hilus suram (batas tidak jelas)
 Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau
nodul milier)
d.   Ecocardiografi
Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel
(hipertensi), segmental wall motion abnormality (PJK), dan umumnya
ditemukan dilatasi ventrikel dan atrium kiri.

7. PENATALAKSANAAN
a. Posisi setengah duduk
b. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk  pasien makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi,
retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema
secara adekuat  dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan
ventilator/bipep.
c. Infuse emergensi
d. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
e. Nitrogliserin sublingual atau iv.
f. Peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah > 95 mmHg bisa
diberikan iv mulai dosis 3-5 μg/kgBB. Jika tidak memberikan hasil
memuaskan, dapat diberikan nitroprusid.
g.   Nitroprusid iv dimulai dosis 0,1 μg/kgBB/menit bila tidak member
respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis
atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi
ke organ-organ vital.
h. Morfin sulfat: 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis
15 mg.
i. Diuretic : Furosemid 40-80 mg iv bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai
produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
j. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hiperfusi)  Dopamin 2-5
μg/kgBB/menit atau Dobutamin 2-10μg/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis atau
keduanya.
k. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien innfark miokardial.
l. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis, atau
tidak berhasil dengan terapi oksigen.
m. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
n. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regurgitasi,
VSD, dan rupture dinding ventrikel atau korda tendinae.
8. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
a. Identitas    :
b. Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
c. Riwayat Masuk: Klien  biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak
nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak.
Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba
pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik
tanda klinik mungkin menyertai klien
d. Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau
berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung
serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin
ditemui pada klien
e. Pemeriksaan fisik
 Sistem Integumen
Subyektif :
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat
dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu
kulit meningkat, kemerahan
 Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak,
penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii
pada lapang paru,
 Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif          :Denyut nadi meningkat, pembuluh darah
vasokontriksi, kualitas darah menurun, Denyut
jantung tidak teratur, suara jantung tambahan

 Sistem Neurosensori
Subyektif         : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif          : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
 Sistem Musculoskeletal
Subyektif         : lemah, cepat lelah
Obyektif          : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi
paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan
 Sistem genitourinaria
Subyektif         :-
Obyektif          : produksi urine menurun/normal,
 Sistem digestif
Subyektif         : mual, kadang muntah
Obyektif          : konsistensi feses normal/diare
 Studi Laboratorik 
Hb  : menurun/normal
Analisa Gas Darah  : acidosis respiratorik, penurunan kadar
oksigen darah, kadar karbon darah
meningkat/normal
 Elektrolit                   : Natrium/kalsium menurun/normal
9. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas
miokardial (penurunan).
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli)
3. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru.
4.  Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
5. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah).
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan
dengan kurang terpajang informasi

B. ST ELEVASI MIOKARD INFARK (STEMI)


1. DEFINISI
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung
secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif
maupun di pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada,
peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG.
Infark miokardium menunjukan suatu daerah nekrosis miokardium
akibat iskemia total. MI akut yang terkenal sebagai “Serangan
jantung”, merupakan penyebab tunggal tersering kematian diindstri dan
merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di Negara maju
(Kumar, 2007)
Infark miokard Akut adalah iskemia atau nekrosis pada oto jantung yang
diakibatkan karena penurunan aliran darah melalui satu atau lebih arteri koroner
(Doengos, 2003).
2. ETIOLOGI
a. Faktor penyebab :
a) Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor
Faktor pembuluh darah :
·      Aterosklerosis.
·      Spasme
·      Arteritis
b) Curah jantung yang meningkat :
 Aktifitas berlebihan
 Emosi
 Makan terlalu banyak
 Hypertiroidisme
c) Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :
 Kerusakan miocard
 Hypertropimiocard
 Hypertensi diastolic
b. Faktor predisposisi :
a). faktor resiko biologis yang tidak dapat diubah :
 usia lebih dari 40 tahun
 jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita
meningkat setelah menopause
 Hereditas
   Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
b). Faktor resiko yang dapat diubah :
Ø  Mayor :
·      Hyperlipidemia
·      Hipertensi
·      Merokok
·      Diabetes
·      Obesitas
·      Diet tinggi lemak jenuh, kalori
Ø  Minor:
·      Inaktifitas fisik
·      Pola kepribadian tipe A (emosional, agresif, ambisius, kompetitif).
·      Stress psikologis berlebihan. (Kasuari, 2002)
3. MANIFESTASI KLINIS
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi
lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan
istirahat ataupun pemberian nitrogliserin (Irmalita, 1996).
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat
dingin dan lemas. Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur.
Hal ini dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit,
namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas
biasanya terasa dingin (Antman, 2005).
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang
melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior,
terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot
jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas
suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda
disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar
suara frictionrub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural
tipe STEMI (Antman, 2005).
4. PATOFISIOLOGI
              STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara
lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak
kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vascular. Pada sebagian besar kasus, infark
terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika
kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture
jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core).
Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat
mengenai endokardium sampai epikardium,disebut infark transmural, namun
bisa juga hanya mengenai daerah subendokardial,disebut infark
subendokardial. Setelah 20 menit terjadinya sumbatan,infark sudah dapat
terjadi pada subendokardium,dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam
telah terjadi infark transmural. Kerusakan miokard ini dari endokardium ke
epikardium menjadi komplit dan ireversibel dalam 3-4 jam. Meskipun
nekrosis miokard sudah komplit,proses remodeling miokard yang mengalami
injury terus berlanjut sampai beberapa minggu atau bulan karena daerah infark
meluas dan daerah non infark mengalami dilatasi.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratotium Pemeriksaan Enzim jantung :
 CK (Creatini Kinase) : Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung
meningkat pada 3-6 jam memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal
dalam 36-48 jam (3-5 hari).
 CK-MB: meningkat antara 2-4 jam, memuncak pada 12-20 jam dan
kembali normal pada 48-72 jam
 LDH (laktat dehidrogenase), LDH1, dan LDH2: Meningkat dalam 24
jam dan memakan waktu lama untuk kembali normal
     AST (/SGOT : Meningkat

 
b. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG digunakan untuk mencatat aktivitas elektrik
jantung. Melalui aktivitas elektrik jantung dapat diketahui irama jantung,
besarnya jantung, dan kondisi otot jantung, kondisi otot jantung inilah
yang memiliki kaitanya dengan PJK.
c. Tes Treadmill Atau Exercise Stress Testing (uji latih jantung dengan
bebean)
Exercise testing merupakan salah satu tes yang paling sering dilakukan
untuk mendiagnosis apakah seseorang terkena menderita  penyakit jantung
dan juga untuk menstratifikasi berat ringannya penyakit  jantung. Selain itu
tes treadmill juga dapat dipakai untuk mengukur kapasitas jantung,
gangguan irama, dan lain-lain.
d. Echocardiography (Ekokardiografi) Ekokardiografi adalah prosedur yang
menggunakan gelombang suara ultra untuk mengamati struktur jantung
dan pembuluh darah, juga dapat menilai fungsi jantung.
e. Angiografi korener
Merupakan cara dengan menggunakan sinar X dan kontras yang
disuntikan kedalam arteri koroner melalui kateter untuk melihat adanya
penyempitan diarteri koroner.
f. Multislice Computed Tomograpy Scanning (MSCT)
CT menghasilkan tampilan secara tomografi (irisan) digital dari sinar
X yang menembus organ. Sinar X yang menembus diterima oleh detektor
yang mengubahnya menjadi data elektrik dan diteruskan ke sistem
komputer untuk diolah menjadi tampilan irisan organ-organ tubuh.
g. Cardiac Magnetic Resonance Imaging (Cardiac MRI)
Merupakan salah satu teknik pemeriksaan diagnostik dalam ilmu
kedokteran, yang menggunakan interaksi proton-proton tubuh dengan
gelombang radio-frekuensi dalam medan magnet (sekitar 0,64-3 Tesla)
untuk menghasilkan tampilan penampang (irisan) tubuh. (Kabo, 2008).
6. PENATALAKSANAAN
a. Medis
Tujuan penatalaksanaan medis yang dilakukan adalah memperkecil
kerusakan  jantuang sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya
komplikasi. Kerusakan jantung diperkecil dengan cara segera
mengembalikan keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
jantung. Terapi obat-obatan ,pemberian O2, tirah baring dilakukan secara
bersamaan untuk tetap mempertahankan jantung. Obat-obatan dan O2
digunakan untuk meningkatkan suplay O2, sementara tirah baring
digunakan untuk mengurangi kebutuhan O2. Hilangnya nyeri merupakan
indicator utama bahwa kebutuhan dan suplai O2 telah mencapai
keseimbangan. Dan dengan penghentian aktifitas fisik untuk mengurangi
beben kerja jantung membatasi luas kerusakan.
b. Farmakologi
Ada 3 kelas obat-obatan yang digunakan untuk meningkatkan suplai
oksigen; Vasodilator untuk mengurangi nyeri jantung,missal;NTG
(nitrogliserin). Anti koagulan Missal; heparin (untuk mempertahankan
integritas jantung) Trombolitik Streptokinase (mekanisme pembekuan
dalam tubuh). (Smeltzer & Bare,2006).

7. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
A. Anamnesa
Muttaqin, A (2012) mengemukakan bahwa pengkajian pada
klien dengan infark miokardium akut merupakan salah satu aspek
penting dalam proses keperawatan. Hal ini penting untuk
merencanakan tindakan selanjutnya. Perawat  mengumpulkan data
dasar tentang informasi status terkini dari klien melalui pengkajian
sistem kardiovaskular sebagai prioritas pengkajian. Pengkajian harus
dilakukan dengan sistematis, mencakup riwayat sebelumnya dan saat
ini  khususnya yang berhubungan  dengan gambaran gejala seperti
nyeri dada, sulit bernafas (dispnea, palpitasi, pingsan/sinkop), atau
keringat dingin (diaforesis).
1. Keluhan utama
Keluhan utama biasanya nyeri dada, perasaan sulit  bernafas, dan
pingsan.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pengkajian RPS yang mendukung keluhan utama dilakukan
dengan mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai nyeri dada
pada klien secara PQRST yang meliputi:
 Provoking incident : nyeri setelah beraktivitas dan tidak
berkurang dengan istirahat dan setelah diberikan nitrogliserin.
 Quality of pain : seperti apa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Sifat nyeri dapat seperti tertekan, di peras,
atau diremas.
   Region : radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau
nyeri di atas perikardium. Penyebaran nyeri dapat meluas hingga
area dada. Dapat terjadi nyeri dan ketidakmampuan
menggerakkan bahu dan tangan.
 Severity (Scale) of pain : klien ditanya dengan menggunakan
rentang 0-4 atau 0-10 (visual analogue scale-VAS) dan klien akan
menilai seberapa berat nyeri yang dirasakan. Biasanya pada saat
angina terjadi, skala nyeri berkisar antara 3-4 (skala 0-4) atau 7-9
(skala 0-10).
 Time : sifat mula timbunya (onset). Biasanya gejala nyeri timbul
mendadak. Lama timbulnya (durasi) nyeri dada umumnya
dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh Infark Miokardium
dapat timbul pada waktu istirahat, nyeri biasanya dirasakan lebih
berat dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai
infark miokardium meliputi dispnea, berkeringat, ansietas, dan
pingsan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu  akan sangat mendukung
kelengkapan data kondisi daaat ini. Data ini ddiperoleh dengan
mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada,
hipertensi, DM, hiperlipidemia. Cara mengkaji sebaiknya sekuens
dan terinci. Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa diminum
oleh klien pada masa yang lalu yang masih relevan dengan obat-
obatan antiangina seperti nitrat dan penghambat beta serta obat-
obatan antihipertensi.
Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu, alergi
obat, dan reaksi alergi yang timbul. Seringkali klien menafsirkan
suatu alergi sebagai efek samping obat.
4. Riwayat Keluarga
Perawat senantiasa harus menanyakan tentang penyakit yang
pernah di alami oleh keluarga, anggota keluarga yang meninggal,
dan penyebab kematian. Penyakit jantung iskemik pada orang tua
yang timbunya pada usia muda merupakan faktor resiko utama
terjadinya penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
5. Riwayat pekerjaan dan pola hidup
Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan
lingkungannya. Demikian pula dengan kebiasaan sosial dengan
menanyakan kebiasaan dan pola hidup misalnya minum alkohol atau
obat tertentu. Kebiasaan merokok dikaji dengan menanyakan
kebiasaan merokok sudah berapa lama, berapa batang perhari, dan
jenis rokok.
6.   Pengkajian Psikososial
Perubahan integritas ego terjadi bila klien menyangkal, takut
mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit, atau
perawatan yang tak perlu, kuatir tentang keluarga, pekerjaan, dan
keuangan. Gejala perubahan integritas ego yang dapat di kaji adalah
klien menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah,
marah, perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri.
Perubahan interaksi sosial yang dialami klien terjadi karena
stress yang dialami klien dari berbagai aspek seperti keluarga,
pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi, atau kesulitan koping dengan
stressor  yang ada.
7. Pemeriksaan FISIK
a.    Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien IMA
biasanya baik atau Compos mentis (cm) dan akan berubah
sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf
pusat
b.    B1 (breathing)
Klien terlihat sesak, frekuensi nafas melebihi normal dan
mengeluh sesak nafas seperti tercekik. Dispnea cardiak
biasanya ditemukan. Sesak nafas terjadi akibat tenaga dan
disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolik ventrikal kiri
yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal ini terjadi
karena terdapat kegagalan peningkatan curah darah ventrikal
kiri pada saat melakukan kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada
infark miokardium yang kronis dapat timbul pada saat istirahat.
c. B2 (blood)
1)      Inspeksi
Inspeksi adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan
lokasi nyeri biasanya di daerah substernal atau nyeri diatas
perikardium. Penyebaran nyeri dapat meluas di dada. Dapat
terjadi nyeri dan ketidakmampuan menggerakkan bahu dan
tangan.
2)      Palpasi
Denyut nadi perifer melemah. Thrill pada Iinfark Miokard
Akut tanpa komplikasi biasanya tidak ditemukan
3)      Auskultasi
Teanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume
sekuncup yang disebabkan Infark Miokard Akut. Bunyi
jantung tambahan akibat kelainan katup biasanya
ditemukan pada Infark Miokard Akut tanpa komplikasi
4)      Perkusi
Batas jantung tidak mengalami pergeseran
c. B3 (brain)
Kesadaran umum klien biasanya Compos Mentis. Tidak
ditemuan sianosis perifer. Pengkajian objek klien, yaitu wajah
meringis, perubahan postur tubuh, menangis, merintih,
meregang, dan menggeliat yang merupakan respons dari
adanya nyeri dada akibat infark pada miokardium.
d. B4 (bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake
cairan klien. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya
oliguria pada klien dengan Infark Miokard Akut karena
merupakan tanda awal syok kardiogenik.
e. B5 (bowel)
Klien biasanya mengalami mual muntah. Pada palpasi
abdomen ditemukan nyeri tekan pada keempat kuadran,
penurunan peristaltik usus yang merupakan tanda utama Infark
Miokard Akut
f. B6 (Bone)
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering
merasa kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup
menetap, dan jadwal olahraga teratur. Tanda klinis yang lain
ditemukan adalah takikardia, dispnea pada saat istirahat
maupun beraktivitas. Kaji hygienis personal klien dengan
menanyakan apakah klien mengalami kesulitan melakukan
tugas perawatan diri
B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan iskemia dan infark jaringan miokard
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan irama jantung
strokevolume, pre load dan afterload, kontraktiltas jantung.
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan kelemahan
dalam aktivitas .
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan perfusi ventilasi. (Herdman, 2012).

Anda mungkin juga menyukai