Anda di halaman 1dari 11

BIDANG KEAHLIAN

1. SISTEM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA


a. Peranan administrasi negara dalam sistem pemerinraan negara Indonesia
Sankri adalah administrasi negara sebagai sistem yang dipraktekkan untuk
mendukung dan mewujudkan cita-cita NKRI agar dapat terlaksana secara berdaya
guna dan berhasil. SANKRI disamping sebagai landasan idiil pancasila dan
konstitusional 1945, serta landasan operasional GBHN dan Propernas, juga harus
searah dengan situasi dan perkembangan lingkungan, termasuk paradigma ilmu
administrasi.
 Administrasi neara dalam arti luas: keseluruhan kegiatan lembaga negara
dalam rangka mewujudkan tujuan/keijakan negara. Mencakup aktifitas
keseluruhan lembaga negara dalam mencapai tujuan negara yang tersebut
dengan sistem penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa.
 Administrasi negara dalam arti sempit: keseluruhan kegiatan lembaga
eksekutif dalam rangka mewujudkan tujuan/kebijakan negara/pemerintaan
dan sebagai sistem disebut sistem penyelenggaraan pemerintah negara.
Asas umum penyelenggaraan negara:
1. Asas kepastian ukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggara negara.
2. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selekti.
3. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benat, jujurm dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golngan dan rahasia negara.
4. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamaakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
5. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelanggaraan negara harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyar sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.

b. Kedudukan dan fungsi kelembangaan negara dan kelembagaan pemerintah


Kedudukan dan fungsi lembaga negara. Sesudah amandemen :
1. MPR
 Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi
negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
 Menghilangkan supremasi kewenangannya.
 Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.  
 Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden
dipilih secara langsung melalui pemilu).
 Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
 Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
secara langsung melalui pemilu.
2. DPR
 Posisi dan kewenangannya diperkuat.
 Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan
presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara
pemerintah berhak mengajukan RUU.
 Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
 Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
3. DPD
 Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan
kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah
ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai
anggota MPR.
 Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik
Indonesia.
 Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
 Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain
yang berkait dengan kepentingan daerah.
4. BPK
 Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
 Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara
(APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan
kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
 Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap
provinsi.
 Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen
yang bersangkutan ke dalam BPK.
5. PRESIDEN
 Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara
pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta
memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
 Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
 Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
 Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan
pertimbangan DPR.
 Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan
pertimbangan DPR.
Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan
wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu,
juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
6. MAHKAMAH AGUNG
 Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan
yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan
[Pasal 24 ayat (1)].
 Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan
Undang-undang.
 Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
 Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian,
Advokat/Pengacara dan lain-lain.
7. MAHKAMAH KONSTITUSI
 Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the
guardian of the constitution).
 Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa
kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik,
memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat
DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden
menurut UUD.
 Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh
Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden,
sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu
yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
8. KOMISI YUDISIAL
 Tugasnya mencalonkan Hakim Agung dan melakukan pengawasan
moralitas dan kode etik para Hakim.
Kedudukan dan fungsi lembaga pemerintah
(belum)
c. Ketatalaksanaan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah.
Dinamika sistem ketatalaksanan pemerintahan sejak Orde Lama, Orde Baru
hingga masa reformasi menunjukkan bahwa bangsa ini besar dari berbagai persoalan
dan menjadikan berbagai permasalahan bangsa sebagai cambuk untuk bangkit
membangun kekuatan bangsa dari berbagai aspek terutama aspek ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan. Sadar atau tidak, pondasi kekuatan bangsa
tersebut terletak pada semangat aparatur pemerintah untuk membawa perubahan dan
perbaikan bagi kelangsungan kehidupan birokrasi yang efektif dan efisien,
mewujudkan agenda tata kelola pemerintahan yang baik dan meraih tujuan
pemerataan pembangunan dan pelayanan masyarakat melalui otonomi daerah.
Selain itu, ke depan, sistem ketatalaksanaan pemerintahan selalu harus dibangun
berdasarkan sistem kemitraan antara pemerintah, swasta, organisasi-organisasi politik
dan kemasyarakatan serta masyarakat sipil (civil society).  Satu kata kunci untuk
merealisasikan sistem kemitraan tersebut adalah kepercayaan dan kepercayaan
tersebut terwujud dalam beberapa ciri antara lain : persamaan dan organisasi yang
lebih landai, hierarki aktualisasi yang luwes dimana kekuasaan berpedoman pada
nilai-nilai seperti caring dan caretaking, spiritualitas yang berbasis alamiah, tingkat
kekacauan yang rendah yang terbentuk dalam sistem, dan persamaan dan keadilan
gender. 
d. Sistem administrasi negara indonesia yang bercirikan good governance
Robert Charlick mengartikan good governance sebagai pengelolaan segala macam
urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan/ atau kebijakan yang
absah demi untuk mempromosikan nilai – nilai kemasyarakatan.  
Good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan
masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu
governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah
berkewajiban melakukan investasi untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka
panjang seperti pendidikan kesehatan dan infrastuktur.
Sistem Administrasi Negara yang Bercirikan Good Governance
Dalam system administrasi Negara atau sering disebut dengan Administrasi
Publik, dewasa ini Konsep Good Governance telah dipakai juga. Penyelenggaran
administrasi Negara yang kurang mencerminkan pelayan prima sehingga diperlukan
reformasi administrasi Negara dalam rangka mewujudkan birokrasi yang benar-benar
melayani masyarakat dengan pelayanan yang berkwalitas, transparansi, akuntabilitas
publik, dan diciptakan pengelolaan pemeritahan yang bersih bebas dari KKN.
Menurut Agus Dwiyono (2006: hal 20) bahwa pelayanan publik selama ini
menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan
lembaga non pemerintah. Dalam ranah ini telah terjadi pergumulan yang sangat
intensif antara pemerintah dengan warganya, baik buruknya governance dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh warga masyarakatnya.
Dalam system administrasi Negara, ada bebarapa komponen penting dalam
good governance yaitu Pemerintah (governance), rakyat (citizen) atau civil Society
dan usahawan (business). Ketiga komponen ini mempunyai tata hubungan yang sama
dan sederajat. Bila ketiga komponen ini tidak terjalin hubungan yang baik maka akan
ada ketidakseimbangan dalam pelayanan. Pemerintah melalui Lembaga-lembaga
Negara berfungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat. Lembaga-lembaga
Negara ini sebagai subsistem dari system administrasi Negara Indonesia. Sehingga
adanya interaksi dengan pihak swasta ataupun masyarakat haruslah terjalin dengan
baik.
Dalam wujudnya, good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan
Negara yang solid dan bertanggung jawab serta efesien dan efektif, dengan menjaga
kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara ketiga domain : Negara, sector
swasta, dan masyarakat (society). Oleh karena itu, good governance meliputi system
administrasi Negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan
upaya melakukan penyempurnaan pada system administrasi Negara yang berlaku
pada suatu Negara secara keseluruhan
Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik, konsep Good Governance
dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigm baru ilmu administrasi publik.
Paradigm baru ini menekan pada peranan manejer publik (state) melalui lembaga-
lembaga Negara agar memberikan pelayanan yang berkwalitas kepada masyarakat,
mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur
tangan control yang dilakukan pemerintah pusat, Tujuan administrasi Negara sendiri
berupaya untuk mewujudkan penyelenggaran Negara yang mampu menyediakan
public goods and service yang disebut dengan Governance serta kepemerintahan yang
baik (good governance). Selain itu, pelayanan yang baik dari lembaga-lembaga
Negara dalam rangka mencapai efektivitas dan efesiensi pelayanan publik.
Di sisi lain, konsepsi Good Governance secara komprehensif terdiri dari 9
prinsip yang ditetapkan yaitu : partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi ukum,
transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan,
efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, visis strategis. secara kontinyu dan konsisten
dalam penata-laksanaan sebuah pemerintahan. Maka dapat dikatakan bahwa sebuah
sistem administrasi Negara yang good governance bilamana dalam penerapannya
berpedoman pada prinsip-prinsip Good Governance.
e. Akuntabilitas dan kontrol birokrasi
(belum)
2. KEBIJAKAN PUBLIK
a. Kegunaan dan ruang lingkup studi kebijakan publik
Studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting, yakni untuk pengembangan
ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisme praktisi, dan untuk tujuan politik.
 Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Dalam konteks ini, ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik sebagai
variabel terpengaruh (dependent variable), sehigga berusaha menentukan variabel
pengaruhnya (independent variable). Studi ini berusaha mencari variabel-variabel yang
dapat mempengaruhi isi dari sebuah kebijakan publik. Misalnya, studi untuk
mengidetifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dikeluarkannya undang-undsang
anti terorisme di Indonesia. Sebaliknya, studi kebijakan publik dapat menempatkan
kebijakan publik sebagai independent variable, sehingga berusaha mengidintifikasi apa
dampak dari sutau kebijakan publik. Sebagai contoh studi untuk menganalisis apa
dampak dari kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak yang dilakukan oleh
pemerintah. 

 Membantu para praktisi dalam memcahkan masalah-masalah publik.


Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki dasar teoritis
tentang bagaimanana membuat kebijakan publik yang baik dan memperkecil
kegagalan dari suatu kebijakan publik. Sehingga ke depan akan lahir kebijakan publik
yang lebih berkualitas yang dapat menopang tujuan pembangunan.

   Berguna untuk tujuan politik.


Suatu kebijakan publik yang dibuat melalui proses yang benar dengan
dukungan teori yang kuat memiliki posisi yang kuat terhadap kritik dari lawan-lawan
politik. Sebaliknya kebijakan publik tersebut dapat meyakin kepada lawan-lawan
politik yang tadinya kurang setuju. Kebijakan publik sepertii itu tidak akan mudah
dicabut hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan politik.
Lingkup kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai sektor atau
bidang pembangunan, seperti kebijakan publik di bidang pendidikan, pertanian,
kesehatan, transportasi, pertahanan, dan sebagainya. Di samping itu, dilihat dari
hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Propinsi, Peraturan
Pemerintah Kabupaten/Kota, dan keputusan Bupati/Walikota. 

b. Teori-teori dan model-model kebijakan publik


Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang
dipilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model
kebijakan merupakan penyederhanaan sistem masalah dengan membantu mengurangi
kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan. 
1. Model Elitis/Policy as Elite Preference
Model ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai
nilai-nilai dan pilihan-pilihan elit yang memerintah. Model elit lebih memusatkan
perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan publik. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang
memerintah orang banyak, para elit politik yang mempengaruhi massa rakyat dan
bukan sebaliknya.  Model ini dikembangkan dari teori elit yang menentang keras
pandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu berdistribusi secara merata.
Dengan demikian suatu kebijakan publik selalu mengalir dari atas ke bawah, yaitu
dari kaum elit ke massa (rakyat).
2. Model Pluralis/Policy as Group Equilibrium/Model Kelompok
Model ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi antar kelompok dalam
masyarakat adalah pusat perhatian dari politik. Individu-individu yang memiliki latar
belakang kepentingan yang sama biasanya akan bergabung baik secara formal
maupun informal untuk mendesakan kepentingan-kepentingannya pada pemerintah.
Dalam model ini, perilaku individu akan mempunyai makna politik kalau mereka
bertindak sebagai bagian atas nama kepentingan kelompok. Kelompok dipandang
sebagai jembatan yang penting antara individu dan pemerintah, karena politik pada
dasarnya adalah perjuangan-perjuangan yang dilakukan kelompok untuk
mempengaruhi kebijakan publik.
Dalam model ini kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan
yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan
kebijakan publik mencerminkan kesimbangan setelah pihak-pihak atau kelompok-
kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik ke arah yang
menguntungkan mereka.Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut
ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, akses
terhadap pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.
3. Model Sistem/ Policy as System output
Model sistem menurut Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan
kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat para
pembuat kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan
bahwa dalam pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan dinamis antara
pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk
keluaran dan masukan (inputs dan outputs).
Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatau
sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang
merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar batas-batas politik. Kekuatan
yang timbul dari lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai
masukan (inputs) bagi sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh
sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan tersebut dipandangkan
sebagai keluaran(outputs) dari sistem politik. Sistem politik adalah sekumpulan
struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif
untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari
sistem politik merupakan alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi
ini merupakan kebijakan publik.
4. Model Rasional Komprehensif/ Policy as Efficient Goal Achievement.
Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang
rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat
keputusan.  Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan
yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang
dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif
yang lain.
5. Model Penambahan ( The Incremental Model)/ Policy as Variation on the Past.
Model inkremental pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai
kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah pada masa lampau
dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Model ini lebih bersifat deskritif dalam pengertian, model ini menggambarkan
secara aktual cara-cara yang dipakai para penjabat dalam membuat keputusan.
Keputusan yang diambil dari model ini hasil kompromi dan kesepakatan bersama
antara banyak partisipan. Dalam kondisi banyaknya partisipan, keputusan akan lebih
mudah dicapai bila persoalan yang disengketakan oleh berbagai kelompok hanya
merupakan perubahan  terhadap program yang sudah ada, keadaan sebaliknya jika
menyangkut perubahan kebijakan besar yang menyangkut keuntungan dan kerugian
besar. Pembuatan keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka
mengurangi konflik, memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.
6. Policy as Institutional Activity
Model ini memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh lembaga pemerintah. Menurut pandangan model ini, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan warga negara, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kelompok
pada umumnya ditujukan pada lembaga pemerintah. Kebijakan ditetapkan, disahkan,
dan dilaksanakan serta dipaksakan berlakunya oleh lembaga pemerintah. Dalam
model ini yang membentuk kebijakan publik adalah interaksi antar lembaga-lembaga
pemerintah, dilain pihak, betapapun kerasnya kehendak publik, namum apabila tidak
mendapat perhatian dari lembaga pemerintah, kehendak tersebut tidak akan menjadi
kebijakan publik.
Dengan demikian keunggulan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah
bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga negaranya dan
mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan
memonopoli penggunaan kekuasaan secara sah yang mendorong individu-individu
dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.
c. Proses kebijakan publik
Menurut Thomas R. Dye (1992) Proses Kebijakan Publik meliputi beberapa hal
berikut:
1. Identifikasi Masalah Kebijakan (Identification of Policy Problem)

Identifikasi masalah kebijakan dapat dilakukan melalui identifikasi apa yang


menjadi tuntutan (demands) atas tindakan pemerintah.

2. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Penyusunan agenda merupakan aktivitas memfokuskan perhatian pada pejabat


publik dan media masa atas keputusan apa yang akan diputuskan terhadap masalah
publik tertentu.

3. Perumusan Kebijakan (Policy Formulation)

Perumusan merupakan rumusan kebijakan melalui inisiasi dan penyusunan


usulan kebijakan melalui organisasi perencanaan kebijakan, kelompok kepentingan,
birokrasi pemerintah, presiden, dan lembaga legislatif.

4. Pengesahan Kebijakan (Legitimating of Policies)

Pengesahan kebijakan melalui tindakan politik oleh partai politik, kelompok


penekan, presiden, dan kongres.

5. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Implementasi kebijakan dilakukan melalui birokrasi, anggaran publik, dan


aktivitas agen eksekutif yang terorganisasi.

6. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)

Evaluasi kebijakan dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri, konsultan di


luar pemerintah, pers, dan masyarakat (publik).

Proses Kebijakan merupakan aktivitas yang berkaitan dengan bagaimana:

1. Masalah dirumuskan
2. Agenda kebijakan ditentukan
3. Kebijakan dirumuskan
4. Keputusan kebijakan diambil
5. Kebijakan dilaksanakan
6. Kebijakan dievaluasi
d. Kebijakan publik pada bagian legislatif, yudikatif dan eksekutif
(belum)
3. OTDA DAN DESENTRALISASI
a. Pengertian otonomi dan desentralisasi
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia.
b. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan OTDA dan Desentralisasi

(belum)

c. Implementasi otda dan desentralisasi di indonesia


(belum)
4. HUKUM TATA NEGARA
Menurut wawan muhwan, yaitu hukum yang mengatur negara, yaitu dasar
pendirian, pembentukan lembaga-lembaga negara, struktur kelembagaan, hubungan
hukum antar lembaga negara, warga dan wilayah negara
a. Objek dan metode hukum tata negara
Obyek kajian ilmu hukum tata negara adalah negara. Dimana negara dipandang
dari sifatnya atau pengertiannya yang konkrit. Artinya obyeknya terikat pada tempat,
keadaan dan waktu tertentu. Hukum tata negara merupakan cabang ilmu hukum yang
membahas tatanan, struktur kenegaraan, mekanisme hubungan antara struktur organ
atau struktur kenegaraan serta mekanisme hubungan antara struktur negara dan warga
negara.
Metode hukum tata negara
1. Metode yuridis dogmatis (paul laband). Menurut metode ini pengkajian masalah
HTN dilakukan dengan memahami berbagai peraturan ketatanegaraan, mulai dari
UUD hingga peraturan perundang-undangan yang terendah. Jika suatu persoalan
tidak ada pengaturannya dalam peraturan-peraturan ketatanegaraan tersebut, maka
hal tersebut bukanlah masalah HTN.
2. Metode historis yuridis. Pengkajian masalah HTN dilakukan dengan memahami
aspek sosiologis dan politis yang menjadi latar belakang perkembangan lembaga
ketatanegaraan.
3. Metode historis sistematis. Permasalahan HTN didekati dari sudut historis dan
dianalisa secara sistematis untuk mendapat pengertian yang tepat. Hal ini hanya
dapat dipahami secara tepat berdasarkan kondisi-kondisi historis yang
melahirkannya.
b. Sejarah ketatanegaraan Indonesia
(belum)
c. Sumber-sumber hukum tata negara
1. Sumber hukum materiil
Contoh:
 Seorang ahli ekonomi mengatakan, bahwa kebutuhan ekonomi dalam
masyarakat yang menyebabkan timbulnya hukum.
 Seorang sosiolog, mengatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya
hukum adalah peristiwa yang terjadi di masyarakat.
2. Sumber hukum formiil
1. Undang-undang
2. Kebiasaan ketatanegaraan (konvensi)
3. Yurisprudensi (putusan pengadilan)
4. Traktat (perjanjanjian negara)
5. Doktrin (pendapat para sarjana hukum)
d. Sistematika hukum tata negara
sistematika  Hukum Tata Negara adalah susunan yang teratur dari bahan-bahan
ilmiah yang termasuk dalam lapangan Hukum Tata Negara.
Menurut pendapat Van Der Pot bahwa yang  mempelopori penyusunan Hukum
Tata Megara tersebut adalah Struyken (1916). kemudian secara berturut-turut
sistematika Hukum Tata Negara tersebut dikemukakan oleh:
1. Van Der Pot: dalam bukunya berjudul handboek Van het Nederland Staatrecht
tidak menyebutkan secara tegas dasar sistematikanya tersebut, namun apabila  kita
pelajari secara mendalam maka sistematikanya Van der pot tersebut berdasarkan
kepada alat pelengkap organ negara dengan prinsip-prinsip pembagiannya dipusat
serta fungsi dari masing-masing organ tersebut dan hak-hak dasar manusia
dianggap sebagai pembatasnya terhadap pelaksanaan dari organ-organ yang
bersangkutan.
2. Logemann dalam sitematika Hukum Tata Negara  yang dikemukankannya
berdasarkan pada hubungannya dengan wewenang dan masing-masing jabatan.
Misalnya : daerah dalam tiap-tiap jabatan  ditinjau dalam hubungannya dengan
daerah hukum  dan wewenang jabatan tersebut, demikian juga mengenai
penduduk  ditinjau dalam hubungannya dengan wewenang orang-orang bagi tiap-
tiap jabatan
Dengan sistematikanya itu logemann membedakan Hukum Tata Negara dalam
arti luas kedalam dua sistem, yaitu
a. sistem materiel yaitu menyelidiki dan melukiskan serta menguraikan tipe
negara tertentu dengan mempelajari peraturan-peraturan yang menentukan
corak khas negara itu serta masyarakat yang bagaimana yang hendak
dibentuknya, atau dengan kata lain stelsel materiel adalah mencari jawaban
atas pertanyaan yang berkenaan dengan tipe negara, dasar pemerintahan, sifat
dan tujuan dari negara serta masyarakat yang bagaimana yang hendak
dibentuknya.
b. sistem formil yaitu mepelajari peraturan-peraturan yang menetapkan
bagaimana organisasi negara itu sendiri, cara menyunsun alat perlengkapan
negara, wewenang, tugas, dan kewajiban dari alat perlengkapan negara
tersebut. atau dengan kata lain sistem formil ini adalah segala sesuatu yang
bersangkutan dengan tugas dan kewajiban serta wewenang dari dan didalam
organisasi itu. karena terkait dengan masalah wewenang atau kewenangan
maka sistem materiel ini juga disebut ajaran wewenang (competentie leer)

e. sistem pemerintahan
(belum)
f. sistem pemilihan umum
Dalam pandangan prof. Kacung marijan, berdasarkan sistem pemilu bagi negara-
negara yang pernah menyelenggarakannya, jumlah sistem pemilu yaitu sistem
pluralitas/mayoritas (plurality/majority system), sistem perwakilan proporsional
(proportional representation), sistem campuran (mixed system), dan sistem-sistem
yang lain (other system).
1. Sistem distrik merupakan sistem pemilu yang didasarkan atas kesatuan
geografis.setiap kesatuan geografis memiliki satu wakil dalam dewan perwakilan
rakyat. Dinamakan sistem distrik karena wilayah negara dibagi dalam distrik-
distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota badan perwakilan
rakyat yang dikehendaki. Jadi, tiap distrik diwakili oleh satu orang yang
memperoleh suara mayoritas.
2. Sistem proporsional ialah sistem dimana persentase kursi di badan perwakilan
rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik disesuaikan dengan jumlah
suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Dalam sistem ini, para pemilih akan
memilih partai politik, bukan calon perseorangan seperti dalam sistem ditrik.
Akibatnya hubungan antara pemilih dengan wakil-wakilnya di badan perwakilan
rakyat tidak seerat dalam sistem distrik.
3. Sistem campuran (mixed system) pada dasarnya berusaha menggabungkan apa
yang terbaik di dalam sistem distrik dan sistem proporsional.
Di indonesia, pelaksaanaan pemilu yang telah berlangsung menggunakan sistem
pemilihan mekanis proporsional. Sistem pemilu ini dinilai cocok dengan keadaan
Indonesia, melihat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar. Adanya
usulan sistem pemilu distrik di Indonesia dikhawatirkan banyak kelompok yang tidak
terwakii suaranya terkhusus bagi kelompok kecil dalam masyarakat. Selain itu juga,
untuk mengubah suatu sistem pemilu dalam sebuah Negara tidaklah mudah. Maka dari
itu, sistem pemilu yang telah ada di Negara kita Indonesia, tentunya telah diperhitungkan
dengan matang dengan memperhitungkan kekurangan dan kelebihannya.
ADMINISTRASI PERPAJAKAN
a. Pengertian administrasi perpajakan
Gunadi (2005) memaparkan pengertian tentang administrasi perpajakan sebagai
berikut: “Semua kegiatan administrasi terlihat dalam kegiatan catat-mencatat, namun
demikian administrasi pajak adalah bukan kegiatan catat-mencatat biasa akan tetapi catat-
mencatat sebagaimana yang dipandu dan yang dikehendaki oleh peraturan perundang-
undangan. Jadi pengertian administrasi pajak adalah bagian dari pelaksanaan hukum
formal di bidang perpajakan dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan, pengawasan
dan pembinaan, karena administrasi perpajakan melalui pelaksanaan tata usaha
perpajakan dan sarananya timbul bukan karena hasil imaginasi ataupun rekaan dari para
penyelenggara, akan tetapi disusun sebagai kehendak ketentuan formal perpajakan untuk
melaksanakan misi menjadikan ketentuan material perpajakan suatu kenyataan yang baik
dan benar. Sebagai salah satu instrumen pelaksanaan di bidang perpajakan dalam rangka
menjalankan fungsi pelayanan masyarakat, pengawasan masyarakat dalam rangka
pelaksanaan kewajiban perpajakan, dan pembinaan dari pelaksanaan pengawasan
dimaksud.”
b. Teori-teori perpajakan

Anda mungkin juga menyukai