KERATITIS
DISUSUN OLEH :
Chairunissa Isfadina - C014182212
RESIDEN PEMBIMBING :
dr. Melliana Lay
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Ririn Nislawati, Sp.M, M.Kes
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian departemen Ilmu
Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
KERATITIS.............................................................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB 1........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
BAB 2........................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................5
1.2 DEFINISI..................................................................................................................8
1.3 EPIDEMIOLOGI.....................................................................................................8
1.5 PATOFISOLOGI.....................................................................................................9
BAB 3......................................................................................................................................24
KESIMPULAN.......................................................................................................................24
BAB 1
PENDAHULUAN
Kornea adalah struktur kompleks yang juga memiliki peran protektif, bertanggung
jawab untuk sekitar tiga perempat dari kekuatan optik mata. Kornea normal bebas dari
pembuluh darah; nutrisi dipasok dan produk metabolisme dihilangkan terutama melalui
aqueous humor posterior dan air mata anterior.1 Kornea adalah struktur transparan, avaskular,
seperti kaca. Ini membentuk anterior seperenam dari lapisan fibrosa luar bola mata. Dua
fungsi fisiologis utama kornea adalah (i) untuk bertindak sebagai media pembiasan utama;
dan (ii) untuk melindungi konten intraocular.
Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea merupakan media refraksi terbesar yang
dalam pembiasan sinar, oleh karena itu kornea harus tetap jernih dan permukaannya rata agar
tidak menghalangi proses tersebut. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan kejernihan kornea
dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat, terutama bila letaknya di sentral
(daerah pupil), bila kelainan ini tidak diobati maka dapat terjadi kebutaan.
Ulkus kornea dapat didefinisikan sebagai pemutusan pada permukaan epitel normal
kornea yang berhubungan dengan nekrosis jaringan kornea di sekitarnya. Secara patologis
ditandai oleh edema, infiltrasi seluler dan kongesti silia. 2 Keratitis adalah peradangan kornea,
yang memiliki etiologi infeksi dan non-infeksius, di antaranya infeksi lebih sering terjadi.
Keratitis non-infeksi dapat disebabkan oleh cedera ringan, lamanya penggunaan kontak lensa,
respons hipersensitivitas, kondisi atopik, atau beberapa gangguan autoimun. Keratitis infektif
adalah infeksi kornea, yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus atau protozoa, jika tidak
segera diobati dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen.
Keratitis akan memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa kelilipan. Gejala
khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik
masing-masing keratitis berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman
yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan
berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan
menyebabkan gangguan penglihatan.3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
• Permukaan kornea anterior berbentuk elips diameter horizontal rata-rata 11,7 mm dan
diameter vertikal 11 mm.
• Permukaan kornea posterior berbentuk lingkaran dengan diameter rata-rata 11,5 mm.
• Ketebalan kornea di bagian tengah sekitar 0,52 mm sementara di pinggirannya 0,7
mm.
• Radius lengkungan. Bagian tengah 5 mm dari kornea membentuk permukaan
pembiasan mata yang kuat. Radius lengkungan anterior dan posterior dari bagian
tengah kornea ini adalah masing-masing 7,8 mm dan 6,5 mm.
• Daya bias kornea adalah sekitar 45 dioptres, yang kira-kira tiga perempat dari total
kekuatan bias mata (60 dioptres).
1. Epitelium. Ini adalah tipe skuamosa bertingkat dan berlanjut dengan epitel bulbar
konjungtiva di limbus. Ini terdiri dari 5-6 lapisan sel. Lapisan terdalam (basal) terdiri
dari sel-sel kolumnar, 2-3 lapis sel sayap atau payung dan dua lapisan paling dangkal
adalah flattened cell.
2. Membran Bowman. Lapisan ini terdiri dari massa aselular dari fibril kolagen yang
terkondensasi. Ketebalannya sekitar 12 μm dan mengikat stroma kornea anterior
dengan membran basal epitel. Ini bukan membran elastis sejati tetapi hanya bagian
dangkal yang terkondensasi dari stroma. Lapisan ini menunjukkan resistensi yang
cukup terhadap infeksi. Tapi sekali dihancurkan, tidak bisa regenerasi kembali.
3. Stroma (substantia propria). Lapisan ini memiliki ketebalan sekitar 0,5 mm dan
merupakan bagian paling besar di kornea (90% dari total ketebalan). Terdiri dari
kolagen fibril (lamellae) yang tertanam dalam matriks dan terhidrasi oleh
proteoglikan. Lamella disusun dalam banyak lapisan. Pada setiap lapisan mereka tidak
hanya sejajar satu sama lain tetapi juga dengan bidang kornea dan menjadi kontinu
dengan lamella scleral di limbus. Lapisan lamella yang bergantian berada pada sudut
yang benar satu sama lain. Di antara lamellae terdapat keratosit, mengembara
makrofag, histiosit dan beberapa leukosit.
4. Membran Descemet (lamina elastis posterior). Membran Descemet adalah lapisan
homogen yang kuat yang mengikat stroma di posterior. Lapisan ini sangat tahan
terhadap zat kimia, trauma dan patologis proses. Karena itu, 'Descemetocele' dapat
menjaga integritas bola mata untuk waktu yang lama. Membran Descemet terdiri dari
kolagen dan glikoprotein. Tidak seperti membran Bowman, ia dapat beregenerasi.
Biasanya itu tetap dalam keadaan tegang dan ketika robek itu melengkung ke dalam
pada dirinya sendiri. Di bagian pinggir tampaknya berakhir pada batas anterior mesh
trabecular sebagai garis Schwalbe (cincin).
5. Endotelium. Ini terdiri dari satu lapisan datar sel-sel poligon (terutama heksagonal)
yang pada biomicroscopy slit lamp muncul sebagai gambaran mosaik. Kepadatan sel
endotelium adalah sekitar 3000 sel/mm2 pada orang dewasa muda, yang menurun
dengan bertambahnya usia. Ada cadangan fungsional yang cukup besar untuk
endotelium. Oleh karena itu, dekompensasi kornea terjadi hanya setelah lebih dari 75
persen sel hilang. Sel-sel endotel mengandung mekanisme 'pompa aktif'.
Kornea adalah struktur avaskular. Loop kecil yang berasal dari pembuluh ciliaris
anterior menginvasi pinggirannya sekitar 1 mm. Sebenarnya loop ini bukan di kornea
tetapi di jaringan subconjunctival yang tumpang tindih dengan kornea.
Kornea dipasok oleh saraf ciliary anterior yang merupakan cabang dari divisi
oftalmikus dari saraf kranial ke-5. Setelah berjalan pada kornea sekitar 2 mm, saraf
kehilangan selubung mielinnya dan membelah secara dikotomi dan membentuk tiga
pleksus - stroma, subepitel, dan intraepitel.
Dua fungsi fisiologis utama kornea adalah (i) untuk bertindak sebagai media
pembiasan utama; dan (ii) untuk melindungi konten intraokular. Kornea memenuhi tugas-
tugas ini dengan mempertahankan transparansi dan penggantian jaringannya.
Transparansi kornea adalah hasil dari:
Lapisan kornea yang paling aktif dalam proses metabolisme adalah epitel dan
endotelium, yang terbentuk 10 kali lebih tebal daripada yang terakhir dan membutuhkan
pasokan substrat metabolik yang lebih besar secara proporsional. Seperti jaringan lain,
epitel dapat memetabolisme glukosa secara aerobik dan anaerobik menjadi
karbondioksida, air dan asam laktat. Jadi, dalam kondisi anaerobik asam laktat
menumpuk di kornea.2
1.2 DEFINISI
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Peradangan
tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun
endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis
dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan
distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan
kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau endotelial.
Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan
bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya.
1.3 EPIDEMIOLOGI
Penyakit kornea tetap menjadi penyebab utama kebutaan monokuler di seluruh dunia,
terutama yang mempengaruhi populasi yang terpinggirkan. Kekeruhan kornea, yang
sebagian besar disebabkan oleh keratitis infeksius, adalah penyebab utama keempat
kebutaan secara global dan bertanggung jawab atas 10% gangguan penglihatan yang
dapat dihindari di negara-negara yang paling tidak berkembang di dunia. Sekitar 2 juta
orang mengalami ulserasi kornea setiap tahun di India. Di Amerika Serikat, keratitis
infeksius sering dikaitkan dengan pemakaian kontak lensa, tetapi di negara-negara
berkembang lebih sering disebabkan oleh trauma okular yang berlangsung selama
pekerjaan pertanian.4
1.4 KLASIFIKASI KERATITIS
Sulit untuk mengklasifikasikan dan menetapkan kelompok untuk masing-masing dan
setiap kasus keratitis; karena temuan yang tumpang tindih atau bersamaan, cenderung
mengaburkan gambar. Namun, klasifikasi topografi dan etiologi yang disederhanakan
berikut ini memberikan pengetahuan yang bisa diterapkan.
Keratitis berdasarkan klasifikasi topografi (morfologi) dapat dibedakan atas dua jenis
yaitu Ulcerative keratitis (corneal ulcer) dan Non-ulcerative keratitis. Ulcerative
Keratitis dapat diklasifikan lagi menjadi beberapa variasi yaitu:
Berdasarkan lokasi central corneal ulcer, peripheral corneal ulcer
Berdasarkan purulensi purulent atau supuratif ulserasi korneal, atau non-
purulen
Berdasarkan hubungan dengan hipopion simple atau ulserasi kornea dengan
hipopion.
1.5 PATOFISOLOGI
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan
imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah mengalami
dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum dan elemen darah yang meningkat dan masuk
ke dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf nuklear,
limfosit, protein C-reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk
garis pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme
kornea dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah, sehingga sel-sel proinflamasi
tersebut dapat merusak kornea.
Rangsangan untuk vaskularisasi timbul oleh adanya jaringan nekrosis yang dapat
dipengaruhi adanya toksin, protease atau mikroorganisme. Secara normal kornea yang
avaskuler tidak mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi juga
pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel. Sehingga kornea yang seharusnya avaskuler
menjadi tervaskularisasi dan menyebabkan kornea tidak jernih serta menggangu dalam
pembiasan cahaya.
Rasa sakit dan sensasi seperti adanya benda asing pada mata terjadi karena efek
mekanis dari kelopak dan efek kimia dari racun pada ujung saraf yang terbuka. Berair
pada mata terjadi karena refleks hiperlakrimasi. Photophobia, yaitu, intoleransi pada
cahaya hasil dari stimulasi ujung saraf. Penglihatan kabur hasil dari kabut atau kekeruhan
pada kornea. Kemerahan mata terjadi karena adanya kongesti pada pembuluh darah
circumcorneal.2
Faktor Risiko
Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular. Faktor risiko
lain untuk keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid. Steroid dapat
mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur, baik melalui penggunaan
sistemik maupun topikal. Faktor risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal atau
alergika, bedah refraktif insisional, ulkus kornea neurotrofik yang disebabkan oleh
virus varicellazoster atau herpes simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran
amnion.
Faktor predisposisi keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah
jahitan, penggunaan steroid topikal dan antibiotik, penggunaan lensa kontak,
kegagalan graft, dan defek epitel persisten. Trauma umumnya terjadi di
lingkungan luar rumah dan melibatkan tumbuhan. Pada tahun 2009 terjadi
peningkatan insiden keratitis jamur yang disebabkan oleh Fusarium spp. pada
pengguna lensa kontak yang dikaitkan dengan larutan pembersih ReNu with
MoistureLoc. Median usia pasien adalah 41 tahun dan 94% menggunakan lensa
kontak soft. Pada pemeriksaan pabrik, gudang, filtrat larutan maupun botol Renu
yang belum dibuka tidak ditemukan kontaminasi oleh jamur. Penyebab yang
paling mungkin adalah hilangnya aktivitas fungistatik akibat peningkatan suhu
yang berkepanjangan. Sejak ditarik dari peredaran pada tahun 2006, angka
keratitis jamur telah kembali menurun. Selain Fusarium, jamur lain yang juga
dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak adalah Acremonium,Alternaria,
Aspergillus, Candida, Collectotrichum, and Curvularia. Jamur dapat tumbuh di
dalam matriks lensa kontak soft.1,2
Penyakit sistemik juga merupakan faktor risiko bagi terjadinya keratitis jamur,
terutama yang berkaitan dengan imunosupresi. Suatu penelitian mencatat angka
insidensi diabetes mellitus sebesar 12% pada sekelompok penderita keratitis
jamur. Pasien yang menderita penyakit kronik dan menjalani perawatan rawat
inap intensif juga memiliki predisposisi untuk terjadinya keratitis jamur, terutama
Candida spp. Pada suatu penelitian di Afrika ditemukan bahwa pasien yang
positif-HIV memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita keratitis
jamur dibandingkan pasien yang HIv-negatif. Hal ini juga ditemukan pada pasien
penderita kusta. Keratitis jamur pada anak jarang dijumpai pada penelitian di luar
negeri. Biasanya penyakit ini ditemukan setelah terjadi trauma organik pada mata.
Pada suatu penelitian, keratitis jamur pada anak memiliki prevalensi 18% dari
seluruh keratitis anak yang dikultur. Anamnesis sulit digali pada sebagian besar
kasus, oleh karena itu seluruh kasus dengan kecurigaan keratitis harus menjalani
pemeriksaan kultur jamur.
Patologi
Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella kornea.Mungkin
ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang meluas dengan edema serat kolagen
dan keratosit. Reaksi inflamasi yang menyertai kurang terlihat daripada keratitis
bakterialis. Abses cincin steril mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses
yang multipel dapat mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke membran
descemet yang intak dan menyebar ke kamera okuli anterior.
Manifestasi Klinis
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur
dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut.
Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut
, respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH +
Tinta India. Biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau
Methenamine Silver.
Terapi
Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi:
Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin B.
Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole, Miconazole,
flukonazol, itraconazole, econazole, dan clotrimazole.
Prognosis
Prognosis keratitis jamur bervariasi sesuai dengan kedalaman dan ukuran lesi
serta organisme penyebab. Infeksi superfisial yang kecil umumnya memiliki
respon yang baik terhadap terapi topikal. Infeksi stroma yang dalam atau dengan
keterlibatan sklera maupun intraokular lebih sulit untuk ditangani. Suatu
penelitian intervensional prospektif mengevaluasi terapi natamisin topikal pada
115 pasien keratitis jamur. Pada penelitian tersebut, 52 pasien mengalami
keberhasilan terapi, 27 menderita ulkus yang pulih walaupun lambat, dan 36
mengalami kegagalan terapi. Analisis multivariat memperlihatkan bahwa
kegagalan terapi berhubungan dengan ukuran lesi yang lebih dari 14 mm 2 ,
adanya hipopion, dan Aspergillus sebagai organisme penyebab. Jika penanganan
medis gagal, dapat dilakukan operasi.
Faktor Resiko
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah
potensi penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko
terjadinya keratitis bakteri diantaranya:
Penggunaan kontak lensa
Trauma
Kontaminasi pengobatan mata
Riwayat keratitis bakteri sebelumnya
Gangguan defense mechanism
Perubahan struktur permukaan kornea
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala keratitis bakteri termasuk nyeri, mata merah, berair,
hipopion, penglihatan yang buruk atau silau dan kabur, dan abses kornea, yang
biasanya tidak responsif terhadap antibiotik spektrum luas. Pada pemeriksaan bola
mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea,
infiltrasi kornea, dan descetmetocele, .3
Gambar 5. Descetmetocele
Pemeriksaan Penunjang
Kerokan kornea tetap menjadi sampel klinis yang paling tepat dari pasien
keratitis mikroba untuk diagnosis laboratorium. Kultur dan sensitivitas terhadap
obat antimikroba adalah alat yang paling umum dan mendasar untuk diagnosis
laboratorium keratitis bakteri.3
Terapi
Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur
bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan:4
Etiologi
Virus herpes simpleks (HSV) adalah virus DNA. Menurut sifat klinis dan
imunologis yang berbeda, HSV terdiri dari dua jenis: HSV tipe I biasanya
menyebabkan infeksi di atas pinggang dan HSV tipe II di bawah pinggang (herpes
genitalis). HSV-II juga telah dilaporkan menyebabkan lesi mata. Masing-masing
dari kedua jenis tipe tersebut, mempunnyai cara berbeda dari segi penuluran ke
mata;
Infeksi HSV-1. Di transmisikan dari mencium atau melakukan kontak
dekat dengan pasien yang menderita herpes labialis.
Infeksi HSV-2. Di transmisikan ke mata neonatus melalui alat kelamin
yang terinfeksi dari ibu.2
Gambar 7. Jenis gambaran lesi HSV keratitis
Pemeriksaan Penunjang
Usapan epitel dengan Giemsa multinuklear noda dapat menunjukkan sel-sel
raksasa, yang dihasilkan dari perpaduan dari sel-sel epitel kornea yang terinfeksi
dan virus intranuclear inklusi
Terapi
o Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement
epithelial, karena virus berlokasi didalam epithelial. Debridement juga
mengurangi beban antigenic virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat
erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan.
Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat
siklopegik seperti atropine 1% atau homatropin 5 diteteskan kedalam sakus
konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya
dalam 72 jam.
o Terapi Obat
- IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan
diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam)
- Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep
- Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam
- Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
- Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada
orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
o Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun
hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif.
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala AK termasuk nyeri parah pada mata, fotofobia, infiltrat
stromal seperti cincin, cacat epitel, mata berair, blepharospasm, penglihatan kabur
dan edema kelopak mata.
Pemeriksaan Penunjang
Pewarnaan KOH dapat diandalkan untuk mengidentifikasi kista
Acanthamoeba, selain itu ada calcofluor white stain adalah pencerah neon yang
cara kerjanya dengan mewarnai kista acanthamoeba seperti warna apel hijau
terang di bawah mikroskop fluoresensi. Lactophenol cotton blue stained, juga
berguna untuk demonstrasi kista acanthamoeba dalam kerokan kornea. Kultur
pada agar non-nutrisi (diperkaya E. coli) dapat menunjukkan trofozoit dalam
waktu 48 jam, yang
lambat laun berubah menjadi kista.
Terapi
Diberikan pengobatan yang spesifik untuk AK, dan durasi untuk pemberian
pengobatannya sekitar 6 bulan sampai 1 tahun;
o 0,1% propamidine isethionate (Brolene) drops
o Neomycin drops
o Polyexamethylene biguanide (0,01%-0,02% solution)
o Chlorhexidine
o Fluconazole, itraconazole, miconazole
Keratoplasty penetrasi biasanya juga bisa dilakukan pada kasus yang tidak
responsive terhadap pengobatan.
Terapi
Keratitis epitel punctate tidak membutuhkan pengobatan tambahan kecuali
bahwa pemberian steroid harus ditingkatkan. Namun biasanya dapat sembuh
sendiri.
Plak vernal yang besar membutuhkan eksisi bedah dengan keratektomi
superfisial.
Patogensis
Karena eksposur, epitel kornea mengering diikuti oleh pengeringan. Setelah
epitel terbuang, invasi oleh organisme menular dapat terjadi.
Manifestasi Klinis
Pengeringan awal terjadi di daerah interpalpebral yang menuju ke keratitis
epitel punctate yang diikuti oleh nekrosis, ulserasi terus-menerus, dan
vaskularisasi. Superinfeksi bakteri dapat menyebabkan ulserasi supuratif dalam
yang bahkan dapat melubangi.
Terapi
1. Profilaksis. Setelah lagophthalmos didiagnosis, tindakan berikut harus diambil
untuk mencegah eksposur keratitis.
- Seringnya dilakukan pemberian berangsur-angsur pada ptetes mata
buatan.
- Pemberian salep berangsur-angsur dan penutupan kelopak mata
menggunakan plester atau perban saat tidur.
2. Pengobatan ulkus kornea secara garis umum.
3. Tarsorrhaphy
BAB 3
KESIMPULAN
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Peradangan
tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun
endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis dapat
dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan distribusinya, keratitis
dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis
dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada
di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis
dendritik, disciform, dan bentuk lainnya. Keratitis akan memberikan gejala mata merah, rasa
silau dan merasa kelilipan. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang
diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis berbeda-beda tergantung dari
jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani
dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak
kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan.4,3
DAFTAR PUSTAKA