Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA JANUARI

FAKULTAS KEDOKTERAN 2020


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT : ASPEK PSIKODINAMIKA PADA PASIEN DEPRESI

LAPORAN KASUS : GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR, EPISODE KINI DEPRESI BERAT


DENGAN GEJALA PSIKOTIK (F31.5)

Disusun Oleh:
Chairunissa Isfadina
C014182212

Residen Pembimbing :
dr. Ilhamuddin

Supervisor Pembimbing :
dr. Kristian Liaury, Ph.D, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Chairunissa Isfadina

Stambuk : C014182212

Judul Referat : Aspek Psikodinamika pada Pasien Depresi

Judul Lapsus : Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresi Berat dengan
Gejala Psikotik (F31.5)

Adalah benar telah menyelesaikan referat dan laporan kasus yang telah disetujui serta telah
dibacakan dihadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka kepaniteraan klinik pada
bagian ILMU KEDOKTERAN JIWA Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2020

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

dr. Kristian Liaury, Ph.D, Sp.KJ dr. Ilhamuddin


BAB I
PENDAHULUAN

Depresi adalah gangguan psikologis yang paling umum ditemui (Rosenhan &
Seligman, 1989). Depresi merupakan gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi
emosi sedih dan muram serta terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, dan
interpersonal (APA, 1994). sebenarnya, depresi merupaka gejala yang wajar sebagai
respon normal terhadap pengalaman hidup negative, seperti kehilangan anggota
keluarga, benda berharga atau status social. Dengan demikian, depresi dapat
dipandang sebagai suatu kontinum yang bergerak dari depresi normal sampai depresi
klinis (Caron & Butcher, 1991).1
Gangguan depresi mayor (Major Depression Disorder, MDD) didefinisikan
sebagai aspek dari kesedihan intensif yang terdiri dari perasaan eksklusif tentang
ketidakhadiran, ketidakaktifan, kelelahan, dan gangguan pikiran dan hubungan.
Karakteristik utama dari gangguan depresi mayor adalah kesedihan, kurang minat
atau bergabung dengan kegiatan, kegembiraan dan beberapa tanda lain yang berlanjut
setidaknya selama 2 minggu, dan harus membuat perubahan pada kinerja orang
tersebut sebelumnya.2
Berbagai faktor risiko depresi yang telah diketahui telah dicatat dalam
literatur: jenis kelamin wanita, usia yang lebih tua, kemampuan koping yang lebih
buruk, morbiditas fisik, gangguan tingkat fungsi, berkurangnya kognisi, dan
berkabung. Depresi telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dan hasil
pengobatan yang lebih buruk pada gangguan fisik.3
Freud adalah psikoterapis pertama yang menyebut berkabung sebagai istilah
klinis. Depresi, dalam teori-teori ini, disebabkan ketika seseorang kehilangan sesuatu
hal yang sangat berarti atau orang yang dia cintai. Kemarahan yang diganti terhadap
sesuatu atau orang yang dicintai kembali ke dirinya sendiri. Ketika seseorang
kehilangan sesuatu yang berharga akan ada semacam proses pengambilan untuk
menghadapi rasa sakit. Orang yang berduka karena kehilangan orang yang dicintainya
akan mendapatkan karakteristik orang yang hilang.2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Depresi


Depresi adalah gangguan psikologis yang paling umum ditemui (Rosenhan &
Seligman, 1989). Depresi merupakan gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi
emosi sedih dan muram serta terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, dan
interpersonal (APA, 1994).sebenarnya, depresi merupaka gejala yang wajar sebagai
respon normal terhadap pengalaman hidup negative, seperti kehilangan anggota
keluarga, benda berharga atau status social. Dengan demikian, depresi dapat
dipandang sebagai suatu kontinum yang bergerak dari depresi normal sampai depresi
klinis (Caron & Butcher, 1991).1
Istilah depresi sudah begitu popular dalam masyarakat dan semua orang
mengetahuinya, termasuk orang yang awam dalam bidang kedokteran dan psikologi.
Akan tetapi, arti sebenarnya dari depresi itu sukar didefinisikan secara tepat. Istilah
dan kata yang identik maknanya dengan depresi dalam bahasa Indonesia sehari-hari
tidak ada. Depresi biasanya terjadi saat stress yang dialami oleh seseorang tidak
kunjung reda, dan depresi yang dialami berkorelasi dengan kejadian dramatis yang
baru saja terjadi atau menimpa seseorang, misalnya kematian seseorang yang sangat
dicintai atau kehilangan pekerjaan yang sangat dibanggakan.4
Menurut National Insitute of Mental Health (dalam Siswanto), gangguan
depresi dipahami sebagai suatu penyakit tubuh yang menyeluruh (whole-body), yang
meliputi tubuh, suasana perasaan dan pikiran. Ini berpengaruh terhadap cara makan
dan tidur, cara seseorang merasa mengenai dirinya sendiri dan cara orang berpikir
mengenai sesuatu. Gangguan depresi tidak sama dengan suasana murung (blue
mood). Ini juga tidak sama dengan kelemahan pribadi atau suatu kondisi yang dapat
dikehendaki atau diharapkan. Orang dengan gangguan depresi tidak dapat begitu saja
“memaksa diri mereka sendiri” dan menjadi lebih baik.5
Durasi episode depresi terdistribusi normal; karena itu nilai rata-rata sederhana
tidak berarti. Dibandingkan dengan gangguan bipolar, episode gangguan depresi
berlangsung sekitar 1 bulan lebih lama (durasi rata-rata 5,4 bulan); dan sekitar 18
hingga 25 persen pasien mengalami depresi kronis dengan durasi minimum 2 tahun.
Dalam populasi umum, di antara banyak kasus depresi yang tidak diobati, episode
ditemukan lebih pendek; persentil ke-25, ke-50, dan ke-75 masing-masing adalah 4, 8,
dan 16 minggu untuk episode berulang.10
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus
asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.11

2.2 Epidemiologi Depresi

Depresi dianggap sebagai kondisi yang kompleks. Menurut WHO,


diperkirakan depresi menjadi penyebab utama ketiga kecacatan di seluruh dunia pada
tahun 2020. Global Burden of Disease Study 20102 mengungkapkan hal itu sebagai
penyebab paling umum kedua dari kecacatan yang disebabkan oleh penyakit,
mempengaruhi orang-orang dari segala usia dan status sosial, dan faktor sebagai
dampak utama dalam fungsi sosial, profesional, dan interpersonal. Mathers et al.
memprediksikan MDD sebagai penyebab utama beban penyakit di dunia di negara-
negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2030 yang akan datang.3
Berbagai faktor risiko depresi yang telah diketahui telah dicatat dalam
literatur: jenis kelamin wanita, usia yang lebih tua, kemampuan koping yang lebih
buruk, morbiditas fisik, gangguan tingkat fungsi, berkurangnya kognisi, dan
berkabung. Depresi telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dan hasil
pengobatan yang lebih buruk pada gangguan fisik.3
Di Indonesia sendiri angka prevalensi depresi remaja belum teridentifikasi
secara teliti. Meski demikian, depresi terlihat manifestasinya dalam bentuk substance
abuse (penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, alkohol, dan lain-lain), perilaku
merusak atau agresif (seperti tawuran pelajar dan kekerasan di sekolah), penurunan
prestasi belajar, dan lain-lain.1

2.3 Aspek Psikodinamika Depresi

Dalam Chaplin (2002) depresi didefiniskan pada dua keadaan, yaitu pada
orang normal dan pada kasus patologis. Pada orang normal, depresi merupakan
keadaan kemurungan (kesedihan, patah semangat) yang ditandai dengan perasaan
tidak puas, menurunnya kegiatan, dan pesimis dalam menghadapi masa yang akan
datang. Pada kasus patologis, depresi merupakan ketidakmampuan ekstrem untuk
bereaksi terhadap perangsang, disertai menurunnya nilai diri, delusi ketidakpastian,
tidak mampu dan putus asa. Perbedaan depresi normal dengan depresi klinis terletak
pada tingkatannya, namun keduanya memiliki jenis gejala yang sama.11
Pemahaman psikodinamika pada gangguan depresi pertama kali dijelaskan
oleh Freud, Abraham, dan Klein. Freud menyelidiki reaksi tiap individu terhadap
keadaan kehilangan atau kekecewaan yang berhubungan dengan orang yang mereka
cintai, atau kehilangan cita-cita. Freud mencoba menjelaskan mengapa beberapa
orang bereaksi terhadap keadaan berkabung, namun ada juga beberapa orang yang
menyerah pada keadaan jika dilanda dengan kemurungan (atau sama dengan,
depresi).3
Berkabung adalah reaksi normal tiap individu ketika kehilangan seseorang
yang dicintai atau hilangnya abstrasi, yang telah menggantikan sesuatu (negara,
kebebasan, atau cita-cita, misalnya), meskipun itu melibatkan gangguan signifikan
dari sikap normal seseorang terhadap kehidupan, dan itu seharusnya tidak dianggap
sebagai hal yang patologis. Dengan demikian, berkabung terjadi setelah kehilangan
objek eksternal. Melankolis (murung), di sisi lain, muncul karena hilangnya objek
cinta dan merupakan proses yang secara tidak sadar terjadi penurunan harga diri yang
sangat luar biasa jika diamati.3
Kesalahan juga merupakan ciri yang jelas hadir dalam proses melankolis
(kemurungan), karena kehilangan muncul perasaan bersalah, menekankan perasaan
ambivalen terhadap objek yang hilang. Freud dengan jelas menguraikan gejala
melankolis: "suatu penolakan yang sangat menyakitkan, kurang minat pada dunia
luar, hilangnya kapasitas untuk mencintai, menghambat semua aktivitas sehari-hari,
dan rendah diri”.3
Klein kemudian menjelaskan pentingnya pembentukan dunia internal di
mana objek eksternal yang hilang "dipulihkan." Dengan demikian, dalam proses
melankolis, ada regresi ke kegagalan sebelumnya untuk mengintegrasikan objek
parsial baik dan buruk ke dalam seluruh objek di dalam batin. Individu yang depresi
yakin bahwa dirinya secara maha kuasa bertanggung jawab atas kehilangan itu,
karena sifat destruktifnya yang melekat, yang belum terintegrasi dengan perasaan-
perasaan cinta. Klein berpendapat bahwa merindukan, berkabung, bersalah, reparasi,
mungkin delusi pemikiran, penolakan, dan idealisasi menjadi ciri-ciri depresi.3
Melengkapi pengamatan awal Abraham tentang dinamika depresi, Freud
(1917) menggambarkan model tambahan untuk beberapa kasus. Atas dasar
pengamatannya tentang kesamaan antara berkabung dan keadaan tertekan, Freud
berhipotesis bahwa hilangnya orang penting dalam kehidupan individu, baik dalam
kenyataan atau fantasi, dapat memicu timbulnya depresi. Berbeda dari berkabung,
bagaimanapun, depresi dirangsang ketika orang yang hilang telah menjadi objek
perasaan sangat ambivalen di pihak pasien.6
Pemahaman psikodinamika depresi yang ditemukan oleh Freud dikenal
sebagai pandangan klasik dari depresi. Teori tersebut termasuk empat hal utama: (1)
gangguan hubungan ibu-anak selama fase oral (10-18 bulan) menjadi faktor
predisposisi untuk rentan terhadap episode depresi berulang; (2) depresi dapat
dihubungkan dengan kenyataan atau bayangan kehilangan objek; (3) introjeksi
merupakan terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi penderitaan yang
berkaitan dengan kehilangan objek; (4) Akibat kehilangan objek cinta, diperlihatkan
dalam bentuk campuran antara benci dan cinta, perasaan marah yang di arahkan pada
diri sendiri.7
Freud menyajikan model perkembangan depresi di masa dewasa -
pandangan yang secara umum dikonfirmasi oleh penelitian hewan dan manusia. Freud
juga mulai menguraikan model universal pikiran di mana keadaan psikopatologis
dihubungkan ke yang normal. Freud dengan hati-hati membandingkan antara
keadaang berkabung dan melankolis. Untuk membedakan duka dari melancholia,
Freud mengusulkan bahwa ketika duka terjadi dengan kehilangan yang nyata, depresi
kadang-kadang dapat terjadi tanpa kehilangan yang sebenarnya, dan yang paling
penting bahwa depresi ditandai dengan hilangnya harga diri, sedangkan dalam
berkabung harga diri dipertahankan.8
Melanie Klein menjelaskan bahwa depresi termasuk agresi ke arah
mencintai, seperti yang dijelaskan Freud. Edward Bibring menyatakan bahwa depresi
adalah suatu fenomena yang terjadi ketika seseorang meyadari terdapat perbedaan
antara ideal yang tinggi dengan ketidakmampuan untuk mewujudkan cita-cita
tersebut. Edith Jacobson melihat depresi sebagai berkurangnya kekuatan, misalnya
pada anak tidak berdaya yang menjadi korban penyiksaan orang tua. Silvano Arieti
mengamati banyak pasien depresi hidup untuk orang lain dibandingkan untuk dirinya
sendiri. Dia merujuk kepada orang yang menderita depresi, hidup dalam dominasi
orang lain, dalam prinsip, ideal, atau institusi, secara individual.7
Heinz Kohut mengkonseptualisasikan depresi, dimulai dari teori self-
psychological, bahwa perkembangan jiwa mempunyai kebutuhan spesifik yang harus
dipenuhi oleh orang tua terhadap anaknya untuk memberikan rasa positif, percayaan
diri dan self-cohesion. Jika orang yang diharapkan tidak memenuhi kebutuhan ini
akan terjadi kehilangan kepercayaan diri yang besar yang muncul sebagai depresi.
John Bowlby percaya kerusakan pada awal kedekatan dan trauma akibat perpisahan
pada anak sebagai predisposisi untuk terjadinya depresi. Kehilangan (losse) pada
orang dewasa dan trauma kehilangan pada masa kanak memudahkan mendapatkan
episode depresi pada orang dewasa.7
Dari faktor psikososial, menurut Freud dalam teori psikodinamikanya,
penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai. Ada sejumlah faktor
psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang
pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah
hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara,
penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan
fungsi kognitif.9
Faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk
mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan,
kemiskinan dan penyakit fisik. Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi
meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika,
kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan social. Peristiwa kehidupan
penyebab stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya.9
Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan
utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya
memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling
berhubungan dengan onset episode depresi adalah kehilangan pasangan. Stressor
psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor
kronis, misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan
interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.9
Dari faktor kepribadian, beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada
individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid,
yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif, mempunyai resiko yang rendah.
Dari faktor psikodinamika, berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa
kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi. Dalam upaya untuk
mengerti depresi.9
Freud mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia
menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal
karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi
mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek. Freud
membedakan melankolia atau depresi dari duka cita, atas dasar bahwa pasien
terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan
perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak
demikian.9
Dari faktor kegagalan yang berulang, dilakukan percobaan terhadap binatang
dengan dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang.
Binatang akhirnya menyerah dan tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari.
Disini terjadi proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang
menderita depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan, 2010). Dari
faktor kognitif, adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu dapat menyebabkan
distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif,
pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan
perasaan depresi.9

BAB III
PENUTUP

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat.


Berawal dari stress yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi.
Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri tanpa pengobatan.
Rathus (1991) menyatakan orang yang mengalami depresi umumnya mengalami
gangguan yang meliputi keadaan emosi, motivasi, fungsional, dan gerakan tingkah
laku serta kognisi. Menurut Atkinson (1991) depresi sebagai suatu gangguan mood
yang dicirikan taka da harapan dan patah hati, ketidaberdayaan yang berlebihan, tak
mampu mengambil keputusan memulai suatu kegiatan, tak mampu konsentrasi, tak
punya semangat hidup, selalu tegang, dan mencoba bunuh diri.

Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah


kehilangan objek yang dicintai. Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi
sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya
berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya
peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan
kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi
kognitif. Depresi, sebagai salah satu penyakit mental yang kerap menghinggapi
banyak orang, adalah juga salah satu faktor seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri
hingga dampak terburuk dari penyakit mental ini adalah penderita akan merasa tidak
berdaya, tidak pantas untuk hidup, dan meutuskan untuk mengakhiri hidupnya atau
bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anindito Aditomo, Sofia Retnowati. Perfeksionisme, harga diri, dan kecnderungan


depresi pada remaja akhir. Jurnal Psikologi. 2004, NO. 1,1 – 14
2. Shahla, R., Manavipour, D. Depression model based on psychodynamic theory.
Applied Psychology, 2014, 8, 1-10
3. Ribeiro A., Joao P, et all. Depression and psychodynamic psychotherapy. Brazilian
Journal of Psychiatry. 2018;40: 105-109
4. Namora Lumonggalubis, Dr. 2009. Depresi; Tinjauan Psikologis. Jakarta. PT Fajar
Interpratama Mandiri.
5. Yuliza E. Depresi dan Penanganannya pada Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Al-Ishlah.
2015. Bengkalis, Riau.
6. Busch N. F., Rudden M., Shapiro T. 2016. Psychodynamic Treatment of Depression
Second Edition. New York. American Psychiatric Association Publishing
7. Elvira S. D., Hadisukanto G. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
8. Levy K., Wasserman R. H. Psychodynamic Model of Depression. The International
Encyclopedia of Depression. New York. 2009. Pages 457-460
9. Haryanto, Wahyuningsih H. D., Nandiroh S. 2015. Sistem Deteksi Gangguan Depresi
pada Anak-anak dan Remaja. Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol.14, No.2.
10. Gelder M. G., Andreasen N. C., et al. New Oxford Textbook of Psychiatry 2 nd
Edition. Oxford University Press Inc., New York, 2009. Page 667
11. Santoso M. B., et al. 2017. Bunuh Diri dan Depresi dalam Perspektif Pekerjaan
Sosial. Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat. Vol. 4, No;3, Hal
390-447.

1
GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR, EPISODE KINI DEPRESI BERAT DENGAN
GEJALA PSIKOTIK

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SR
No. RM : 181583
Usia : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/TTL : Makassar, 18 Desember 1987
Status Perkawinan : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Makassar
Masuk RS : 28-12-2019
Diagnosis Sementara : Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat
dengan Gejala Psikotik

II. RIWAYAT PSIKIATRI


A. Keluhan Utama
Gelisah
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Seorang pasien perempuan usia 32 tahun datang ke IGD RSKD Dadi untuk
pertama kalinya diantar oleh keluarga dengan keluhan gelisah yang dialami 6
bulan ini. Hal ini dirasakan memberat sejak 1 bulan terakhir karena masalah
percintaannya. Pasien ditinggal menikah oleh kekasihnya. Semenjak itu, pasien
sering pergi keluar rumah naik motor berkeliling kota Makassar dengan alasan
untuk mencari pekerjaan dan kembali lagi ke rumah, namun setelah beberapa kali
diuntit oleh saudaranya, pasien hanya berkeliling saja tanpa tujuan yang jelas lalu
kembali pulang kerumah. Pasien sudah jarang berbincang dengan keluarganya,
tidak mau makan, dan merasa lemas tidak bertenaga. Pasien juga merasa
ketakutan yang dialami sejak 2 minggu terakhir. Pasien juga sering didapati
berbicara dan tertawa sendiri. Pasien juga mendengar suara-suara bisikan laki-laki
yang memanggil namanya. Nafsu makan kurang, dan perawatan diri cukup.

2
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
1. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit fisik seperti infeksi, trauma kapitis,
dan kejang yang mempengaruhi fungsi otak.
2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Tidak pernah ada riwayat penyalahgunaan zat psikoaktif sebelumnya seperti
minum alcohol, merokok, dan penggunaan zat-zat psikoaktif lainnya.
3. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya
Pasien pernah mengalami keluhan mengamuk dan tidak bisa diam sehingga pasien
menjadi jarang tidur pada tahun 2018 dan berobat jalan di Poli RSKD Dadi.
Pasien diberi obat namun pasien tidak mengetahui obat apa yang diberikan. Pasien
hanya rutin minum obat sampai 6 bulan setelah itu pasien tidak lagi minum obat
karena merasa sudah sembuh.

D. Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Riwayat Prenatal dan Perinatal (0-1 tahun)

Pasien lahir cukup bulan melalui persalinan normal. Tidak ditemukan cacat lahir
maupun kelainan bawaan, berat badan lahir tidak diketahui. Selama kehamilan, ibu
pasien dalam keadaan sehat. Pasien diasuh oleh kedua orang tuanya serta minum
ASI hingga umur 2 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi
normal.
2. Riwayat Masa Kanak Awal (usia 1-3 tahun)
Perkembangan masa kanak-kanak awal pasien seperti berbicara dan berjalan baik.
Pasien tidak mengalami gangguan perilaku, pasien mampu bermain dengan
saudara dan teman sebayanya.
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (usia 3-11 tahun)

Saat umur 5 tahun pasien mulai sering bermain dengan teman-teman


lingkungannya. Saat pasien umur 6 tahun pasien mulai masuk Sekolah Dasar. dan
dapat bergaul baik dengan temannya. Pasien tinggal bersama ibu dan ayahnya,
pasien mendapatkan perhatian serta kasih sayang yang cukup dari kedua orang
tuanya.

3
4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja (usia 12-18 tahun)

Pada saat umur 13 tahun pasien masuk SMP. Selama sekolah pasien masih
tetap aktif dan bergaul dengan temannya Pendidikan terakhir pasien saat ini
adalah SMA.

5. Riwayat Masa Dewasa

 Riwayat Pendidikan : Pendidikan terakhir pasien adalah SMA


 Riwayat Pekerjaan : Pernah bekerja sebagai karyawan di toko HP
 Riwayat Pernikahan : Pasien belum menikah
 Riwayat Agama : Pasien memeluk agama Islam dan menjalankan ibadahnya
dengan baik.
 Riwayat Pelanggaran Hukum : Pasien tidak pernah terlibat masalah hukum
 Aktivitas Sosial : Pasien sering berkumpul dengan teman-temannya, dan aktif
di lingkungannya

E. Riwayat Kehidupan Keluarga


Pasien adalah anak keenam dari enam bersaudara (♀,♀,♀,♀,♂,♀). Pasien
belum menikah. Hubungan pasien dengan keluarga baik. Riwayat penyakit yang
sama dalam keluarga tidak ada.
GENOGRAM

4
Situasi Kehidupan Sekarang

Saat ini pasien tinggal bersama orangtuanya. Hubungan dengan orangtua, dan
saudara baik. Namun lebih banyak diam, dan sudah jarang bergaul.

Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya

Pasien merasakan dirinya sakit dan ingin segera sembuh dari penyakit yang
dialaminya agar dapat bekerja kembali sebagaimana mestinya.

III. PEMERIKSAAN FISIS DAN NEUROLOGIS


1. Status Internus
Keadaan umum tampak sakit, gizi cukup, kesadaran compos mentis, tekanan
darah 110/80 mmHg, nadi 100 kali/menit, frekuensi pernapasan 20 kali/menit,
suhu tubuh 36,5°C, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus.
2. Status Neurologis
Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk (-), Kernig’s sign (-)/(-), pupil bulat
dan isokor 2,5 mm/2,5 mm, reflex cahaya (+)/(+), fungsi motoric dan sensorik
keempat ekstremitas dalam batas normal, tidak ditemukan reflex patologis.

IV. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


a. Deskripsi Umum
- Penampilan
Seorang perempuan berambut hitam panjang, wajah tampak sesuai umur
(32 tahun). Memakai sweater dan celana berwarna hitam. Badan
perawakan normal tidak ada gangguan berjalan. Perawatan diri kurang.
- Kesadaran
Kualitatif: Baik (Sadar dan compos mentis), Kuantitatif: E4M6V5
- Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Cukup tenang dan normoaktif
- Pembicaraan
Pasien menjawab pertanyaan dengan lambat dan intonasi pelan.
- Sikap terhadap pemeriksa
Pasien kooperatif terhadap pemeriksa

5
b. Keadaan Afektif
- Mood : Disforik
- Afek : Depresi
- Empati : Bisa dirabarasakan

c. Fungsi Intelektual (Kognitif)


- Taraf Pendidikan
Pengetahuan umum dan kecerdasan pasien sesuai dengan taraf Pendidikan
SMA.
- Daya ingat
Daya ingat jangka panjang, sedang, pendek, dan segera baik
- Orientasi
Orientasi waktu, tempat, dan orang baik
- Pikiran Abstrak : Baik
- Daya Konsentrasi : Baik
- Bakat Kreatif : Tidak Ada
- Kemampuan Menolong Diri Sendiri : Baik

d. Gangguan Persepsi
- Halusinasi
 Auditorik : Pasien mendengar suara yang dipersepsikan sebagai
suara laki-laki yang memanggil namanya.
 Visual : Tidak ada
- Ilusi : Tidak ada
- Depersonalisasi : Tidak ada
- Derealisasi :Tidak ada
e. Proses Berpikir
- Arus Berpikir
 Produktivitas : Menurun
 Kontinuitas : Relevan
 Hendaya Berbahasa : Tidak ada hendaya dalam berbahasa

6
- Isi Pikiran
 Preokupasi : Tidak ada
 Gangguan Isi Pikir : Tidak ada waham

f. Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls baik, dan tidak terganggu
g. Daya Nilai dan Tilikan
- Norma sosial : Baik
- Uji daya nilai : Baik
- Penilaian Realitas : Baik
- Tilikan : Derajat 5 (pengakuan bahwa pasien sakit dan
gejala atau kegagalan dalam penyesuaian social disebabkan oleh perasaan
tertentu pasien sendiri yang irasional).
h. Taraf Dapat Dipercaya
Dapat dipercaya

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Seorang pasien perempuan usia 32 tahun datang ke IGD RSKD Dadi untuk pertama
kalinya diantar oleh keluarga dengan keluhan gelisah yang dialami 6 bulan ini. Hal ini
dirasakan memberat sejak 1 bulan terakhir karena masalah percintaannya. Pasien
ditinggal menikah oleh kekasihnya. Semenjak itu, pasien sering pergi keluar rumah
naik motor berkeliling kota Makassar dengan alasan untuk mencari pekerjaan dan
kembali lagi ke rumah, namun setelah beberapa kali diuntit oleh saudaranya, pasien
hanya berkeliling saja tanpa tujuan yang jelas lalu kembali pulang kerumah. Pasien
sudah jarang berbincang dengan keluarganya, tidak mau makan, dan merasa lemas
tidak bertenaga. Pasien juga merasa ketakutan yang dialami sejak 2 minggu terakhir.
Pasien juga sering didapati berbicara dan tertawa sendiri. Pasien juga mendengar
suara-suara bisikan laki-laki yang memanggil namanya. Nafsu makan kurang, dan
perawatan diri cukup.

Untuk tilikan/insight sendiri pasien menerima bahwa ia sakit dan gejala atau
kegagalan dalam penyesuaian sosialnya disebabkan oleh perasaan atau gagasan
irasional dari pasien tanpa mempergunakannya untuk pengalamannya yang akan
datang. (tilikan 5), serta pasien dapat dipercaya.

7
Pada pemeriksaan status internus keadaan umum tampak sakit, kesadaran compos
mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 100 x/menit, suhu 36,5°C, pernapasan 20
x/menit. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, jantung, paru dan abdomen
dalam batas normal, ekstremitas atas dan bawah tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan
neurologis, gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk (-), Kernig’s sign (-)/(-), pupil
bulat dan isokor 2,5 mm/2,5 mm, reflex cahaya (+)/(+), fungsi motoric dan sensorik
keempat ekstremitas dalam batas normal, tidak ditemukan reflex patologis.

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK DAN EVALUASI MULTIAKSIAL

AKSIS I : F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif berat dengan
Gejala Psikotik

Berdasarkan autoanamnesis didapatkan gejala klinis yang bermakna yaitu merasa


susah tidur, tidak mau bicara dan makan yang mengakibatkan pasien merasa
terganggu dan tidak nyaman (distress), sulit melakukan pekerjaan dengan benar, dan
sulit mengisi waktu luangnya dengan hal yang bermanfaat (disability).Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita gangguan jiwa.

Pada pemeriksaan status mental ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai
realita dan hendaya berat dalam fungsi mental ditandai dengan halusinasi auditorik
serta hendaya berat dalam fungsi sosial berupa ketidakmampuan membina relasi
dengan orang lain sehingga pasien tidak mampu lagi bersosialisasi dengan baik
sehingga didiagnosis Gangguan Jiwa Psikotik.

Pada pemeriksaan status internus dan neurologis tidak ditemukan adanya kelainan.
Tidak terdapat riwayat penyalahgunaan narkotika dan psikotropika sebelumnya,
sehingga kemungkinan gangguan ini disebabkan oleh suatu Kondisi Medis Umum
atau Induksi Zat dapat disingkirkan.

Berdasarkan status mental, mental diperoleh kesadaran baik, mood disforik, afek
depresif, empati dapat dirabarasakan. Pikiran abstrak baik dan kemampuan menolong
diri baik. Terdapat gangguan persepsi yaitu halusinasi auditorik. Proses berpikir
produktivitas menurun, kontinuitas relevan dan koheren, tidak ada preokupasi
maupun gangguan isi pikir. Pengendalian impuls tidak terganggu, penilaian daya nilai
tidak terganggu. Tilikan 5 dimana pasien merasa bahwa dirinya sakit. Riwayat pasien

8
lalu, sulit tidur, juga ada riwayat pengobatan selama 6 bulan pada tahun 2018 dengan
keluhan pada saat itu mengamuk, sehingga disimpulkan pasien memiliki riwayat
episode manik. Setahun berikutnya, dengan stressor masalah percintaan dan
pekerjaan, pasien mengalami sulit tidur kembali, sering bicara sendiri, mudah lelah,
tidak mau makan, tidak mau bicara, pesimis, dan merasa bersalah dan tidak berguna
sehingga disimpulkan pasien dalam episode depresi berat saat ini. Maka menurut
PPDGJ III, diagnosis diarahkan ke Gangguan Afektif Bipolar Episode Kini Depresi
Berat dengan Gejala Psikotik (F.31.3)

AKSIS II : Pasien dikenal ramah dan mudah bergaul, tapi semenjak memiliki
masalah di pekerjaan dan percintaan, pasien berubah menjadi pendiam dan
penyendiri. Namun, belum cukup data untuk mengarahkan ke ciri kepribadian
tertentu.

AKSIS III : Pasien belum pernah menderita penyakit medis umum yang spesifik
dan berpengaruh terhadap fungsi otak sehingga saat ini diagnosis aksis III tidak ada

AKSIS IV : Awal perubahan pasien dimulai pada saat pasien susah mendapat
pekerjaan 6 bulan lalu, dikemudian diperberat pada saat ditinggal menikah oleh
kekasihnya.

AKSIS V : GAF Scale 60-51 (Gejala sedang/Moderate, disabilitas sedang)

VII. DAFTAR MASALAH


 ORGANOBIOLOGIK : Tidak ditemukan penyakit otak dan penyakit medis
umum lainnya yang mendasari timbulnya gangguan psikiatri pada pasien, tetapi
terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter sehingga pasien memerlukan
psikofarmakoterapi.
 PSIKOLOGIK : Susah tidur sehingga menganggu psikis pasien dan
membutuhkan psikoterapi.
 SOSIOLOGIK :Adanya hendaya ringan dalam bidang pekerjaan dan sosial
sehingga membutuhkan sosioterapi.

9
VIII. TERAPI

1. Farmakoterapi
 Risperidone 2mg/1 tab/oral
 Depakote 250 mg/1 tab/12jam/oral
 Clozapine 25 mg/1 tab/24 jam/oral (malam)
2. Psikoterapi Suportif
Memberikan penjelasan dan pengertian mengenai penyakitnya agar pasien
memahami cara menghadapinya, cara dan efek samping dari pengobatan,
memotivasi pasien agar tetap rutin minum obat)

3. Sosioterapi

Memberikan penjelasan kepada orang-orang terdekat pasien sehingga bisa


menerima keadaan pasien dan memberikan dukungan moral serta menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk membantu proses penyembuhan dan
keteraturan pengobatan.

IX. PROGNOSIS

Mendukung dan menghambat


Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Dubia et bonam
Ad sanationam : Dubia et bonam

 Faktor Pendukung :
1. Adanya dukungan keluarga
2. Stressor jelas
3. Tidak adanya riwayat keluarga
 Faktor penghambat:
1. Jarak rumah dengan rumah sakit relatif jauh
2. Masalah ekonomi

X. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien serta perkembangan penyakitnya. Selain itu menilai
efektivitas dan kemungkinan efek samping obat.

10
XI. DISKUSI

Gangguan Afektif Bipolar Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik

Gangguan bipolar adalah gangguan otak yang ditandai oleh perubahan suasana
hati, pikiran, energi dan tingkah laku. Depresi merupakan gangguan yang terutama
ditandai oleh kondisi emosi sedih dan muram serta terkait dengan gejala-gejala
kognitif, fisik, dan interpersonal (APA, 1994). Gangguan ini berlangsung dengan
episode mania, hipomania, campuran dan mayor depresi. Diagnosis gangguan bipolar
sulit karena gejala psikotik yang tumpang tindih dengan gangguan jiwa yang lain
seperti skizofrenia dan schizoafektif. Ini menyebabkan gangguan bipolar tidak
terdiagnosis dan tidak diobati dengan baik. Tujuan pengobatan adalah menangani
gejala, mengembalikan fungsi psikososial yang sempurna, dan pencegahan terhadap
kekambuhan berulang. Dalam menentukan algoritma gangguan bipolar harus
dipertimbangkan kemanjuran, tolerabilitas, kemanjuran dan keamanan obat untuk
pasien. Namun, pengobatan gangguan bipolar efektif jika dilakukan secara
komprehensif. Terapi Komprehensif termasuk farmakoterapi dan psikoterapi.

Berdasarkan diagnosis gangguan jiwa PPDGJ III dikategorikan kedalam


gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala psikotik (F31.5)
dengan gejala:

 Harus ada sekurang-kurangnya satu epsidoe afektif hipomanik, manik, atau


campuran di masa lampau.

Berdasarkan diagnosis gangguan jiwa PPDGJ III dikategorikan kedalam


gangguan depresif dengan gejala psikotik (F32.3) dengan gejala:

 Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif.


 Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan, atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
 Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
 Retardasi psikomotr yang berat dapat menuju pada stupor.

11
Pasien ini didiagnosis dengan gangguan afektif bipolar, episode depresi berat
dengan gejala psikotik karena memenuhi kriteria menurut PPDGJ III F31.5 dan F32.3
tersebut diatas dan keluhan disertai halusinasi auditorik berupa seorang laki-laki
memanggil namanya.

Pasien ini diberikan Risperidon 2 mg, sesuai dengan terapi antipsikosis


atipikal. Risperidon bekerja dengan cara menghambat reseptor serotonin dan
dopamine.Pasien turut diberikan Clozapin 25 mg yang merupakan obat antipsikosis
yang bekerja dengan cara menghambat serotonin alfa adrenergic.

Pemberian Depakote (asam valproate) ditujukan untuk mengatasi gangguan


mood/afektif pada pasien ini. Asam valproate diindikasikan pada gangguan afektif
bipolar (kombinasi dengan litium) dan skizoafektif. Obat ini lebih efektif pada rapid
cycling. Pembuktian terakhir didapatkan bahwa asam valproate didapatkan bahwa
asam valproate lebih efektif menanganie pisode depresi dibandingkan lithium dan
karbamazepine. 

12

Anda mungkin juga menyukai