Revisi UU Minerba menuai polemik dalam masyarakat, hal ini dinilai karena
pembahasan dan pengesahan yang terbilang terburu – buru dan tidak transparan
terlebih dengan segala pembatasan sosial yang diberlakukan dalam masyarakat.
Berbicara tentang isi dari UU ini sebelumnya, memang terdapat beberapa regulasi yang
mengaturnya saling tumpah tindih dan tidak sesuai lagi dengan situasi serta kondisi
Indonesia saat ini. Penyesuaian ini dilihat misalnya karena adanya putusan Mahkamah
Konstitusi yang menganulir UU No. 4 Tahun 2009. Kemudian dalam UU tentang
Pemerintah Daerah yang mengatur tentang pengelolaan Mineral dan Batu Bara terpusat
pada Provinsi, sementara dalam UU No. 4 Tahun 2009 pengelolaan tersebut terdapat
pada pusat, provinsi, dan kabupaten.
Namun pembahasan ini dinilai masih perlu perhatian lebih lanjut terutama pada
perkiraan dampak yang mungkin akan ditimbulkan jika hal ini dijalankan dalam
masyarakat. Sebelumnya terdapat banyak tulisan memuat tentang ketakutan yang
timbul dalam masyarakat, mereka menganggap beberapa haknya di rampas oleh Revisi
UU Minerba ini hingga berujung pada Kriminalisasi masyarakat sipil yang menolak
usaha pertambangan. Kita harus memperhatikan seluruh keseimbangan yang hidup
dalam masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Prof. Irwansyah dalam
perkuliahan Hukum Lingkungannya selalu mengatakan “Pemerintah saat ini selalu
mementingkan kepeningan Ekonomis, dan kepentingan Ekologi selalu menjadi Korban”.
Statement tersebut tidak lagi menjadi keluhan dalam masyarakat, hal ini telah
terealisasi dalam produk – produk hukum yang lahir dari Perwakilan Rakyat dimana
akhir – akhir ini terlihat eksis diberbagai platform Media Online karena dinilai lebih
mementingkan kepentingan para pengusaha dan pemilik tambang semata.
Padahal secara eksplisit dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 33 (3) Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, penaksiran terkait dengan
pasal ini memang menuai beberapa perdebatan namun yang menjadi konsern kita
semua adalah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah masyarakat pada umumnya
termasuk pengusaha yang harus dimaksudkan secara Equal / Merata.
Berlanjut pada tidak dilibatkannya DPD dalam proses revisi UU Minerba yang
diatur dalam pasal 22D UUD 1945 dan putusan MK. 92/Puu-mk/2013, padahal tentu
pemerintah daerah setempat yang paling mengetahui terkait dengan perkembangan
kebutuhan dan urgensi atas pembaharuan yang harus dimaktubkan dalam
pembaharuan Undang – Undang tersebut.
Sekilas itulah kesimpulan penjelasan pasal tersebut, namun apakah ini menjawab
permasalahan dalam masyarakat ? justru hanya mempersulit dan menambah beban
pada masyarakat untuk mendapat hak mereka yang kemudian sangat rawan terjadi
penyelewengan. Untuk makan saja susah, bagaimana mungkin menyediakan peralatan
yang lengkap.
Kemudian lagi – lagi terjadi pelemahan pada AMDAL, AMDAL hanya dijadikan
sebagai syarat administrative, yang mana hal ini merupakan bentuk nyata
pencederahan cita – cita masyarakat dan bentuk penghianatan kepada sustainable
development goal. Rencana pembangunan berkelanjutan akan sia – sia dirancang
dengan terwujudnya pelemahan pada AMDAL.