Anda di halaman 1dari 8

DISUSUN OLEH :

Muh Sahar Ramadhan – Staff Kementerian Kastra BEM UH


CATATAN KRITIS RUU MINERBA

Revisi UU Minerba menuai polemik dalam masyarakat, hal ini dinilai karena
pembahasan dan pengesahan yang terbilang terburu – buru dan tidak transparan
terlebih dengan segala pembatasan sosial yang diberlakukan dalam masyarakat.
Berbicara tentang isi dari UU ini sebelumnya, memang terdapat beberapa regulasi yang
mengaturnya saling tumpah tindih dan tidak sesuai lagi dengan situasi serta kondisi
Indonesia saat ini. Penyesuaian ini dilihat misalnya karena adanya putusan Mahkamah
Konstitusi yang menganulir UU No. 4 Tahun 2009. Kemudian dalam UU tentang
Pemerintah Daerah yang mengatur tentang pengelolaan Mineral dan Batu Bara terpusat
pada Provinsi, sementara dalam UU No. 4 Tahun 2009 pengelolaan tersebut terdapat
pada pusat, provinsi, dan kabupaten.

Namun pembahasan ini dinilai masih perlu perhatian lebih lanjut terutama pada
perkiraan dampak yang mungkin akan ditimbulkan jika hal ini dijalankan dalam
masyarakat. Sebelumnya terdapat banyak tulisan memuat tentang ketakutan yang
timbul dalam masyarakat, mereka menganggap beberapa haknya di rampas oleh Revisi
UU Minerba ini hingga berujung pada Kriminalisasi masyarakat sipil yang menolak
usaha pertambangan. Kita harus memperhatikan seluruh keseimbangan yang hidup
dalam masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Prof. Irwansyah dalam
perkuliahan Hukum Lingkungannya selalu mengatakan “Pemerintah saat ini selalu
mementingkan kepeningan Ekonomis, dan kepentingan Ekologi selalu menjadi Korban”.
Statement tersebut tidak lagi menjadi keluhan dalam masyarakat, hal ini telah
terealisasi dalam produk – produk hukum yang lahir dari Perwakilan Rakyat dimana
akhir – akhir ini terlihat eksis diberbagai platform Media Online karena dinilai lebih
mementingkan kepentingan para pengusaha dan pemilik tambang semata.

Pertama, Dalam Pasal 47 Revisi UU Minerba ini menyatakan perpanjangan


kontrak tambang “Dijamin”, disisi lain terdapat beberapa obligasi dan utang bank akan
jatuh tempo yang mana hal tersebut dimiliki oleh beberapa pengusaha pemilik tambang
yang nantinya mendapat jaminan perpanjangan kontrak. Tentu mendapat kepastian
berupa jaminan perpanjangan merupakan angin segar terutama dalam kondisi sekarang
dimana kita ketahui bersama seluruh sektor perekonomian mengalami perunurunan
pendapatan akibat pandemi COVID – 19. Dan dengan mendapatkan jaminan tersebut,
Credit Rating penaksiran pinjaman bank tersebut secara tidak langsung ikut terjamin
karena tidak terkendala lagi dalam hal perizinan dan sebagainya. Melihat dari proses
yang terburu – buru dan keuntungan yang sangat besar tersebut pada pihak
pengusaha, lantas timbul pertanyaan

Sebenarnya peruntukan Revisi UU Minerba ini untuk Masyarakat


atau Pengusaha ?

Padahal secara eksplisit dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 33 (3) Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, penaksiran terkait dengan
pasal ini memang menuai beberapa perdebatan namun yang menjadi konsern kita
semua adalah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah masyarakat pada umumnya
termasuk pengusaha yang harus dimaksudkan secara Equal / Merata.

Kedua, penghapusan kewajiban penutupan lubang bekas galian. Dalam pasal 99


Revisi UU Minerba menyatakan tidak memberikan kewajiban reklamasi tambang. Ini
ditujukan untuk mempermudah dan memberi keleluasaan terhadap eksploitasi
pertambangan. Dengan dihapusnya kewajiban penutupan bekas lubang tambang,
menimbulkan ketidakpastian terkait pertanggungjawaban korban akibat lubang
tersebut. Misalnya pada daerah Kalimantan, sejak beberapa tahun terakhir sudah tidak
terhitung lagi jumlah anak yang meninggal akibat tidak direklamasinya bekas lubang
tambang, bahkan dengan kewajiban pun masih banyak yang menyepelekan hal
tersebut, bagaimana mungkin tindakan seperti ini dihilangkan tanpa menimbang
dampak yang memungkinkan menelan korban jiwa seperti ini. Lagi – lagi keberadaan
Revisi UU Minerba tidak memberikan jawaban atas keluh kesah dan permasalahan yang
hidup dalam masyarakat khususnya mereka yang bertempat tinggal disekitar daerah
pertambangan.

Ketiga, cacat formil dalam pembentukannya. Revisi UU Minerba dinilai tidak


sesuai dengan pasal 71A peraturan pembentukan undang – undang. Ketua Komisi VII
DPR bapak Sugeng Supartwoto dalam suatu wawancara eksklusif salah satu siaran TV
ternama memberi tanggapan terkait hal tersebut namun jawaban yang diberikan pun
tidak memberi kepastian bahwa Revisi UU Minerba ini akan di Carry Over atau dibahas
dari awal.

“Revisi Undang – Undang Minerba ini tidak layak”


Kutipak surat dari Sugeng Supartwoto, Ketua Komisi VII DPR.

Berlanjut pada tidak dilibatkannya DPD dalam proses revisi UU Minerba yang
diatur dalam pasal 22D UUD 1945 dan putusan MK. 92/Puu-mk/2013, padahal tentu
pemerintah daerah setempat yang paling mengetahui terkait dengan perkembangan
kebutuhan dan urgensi atas pembaharuan yang harus dimaktubkan dalam
pembaharuan Undang – Undang tersebut.

Dalam pembentukannya Revisi UU Minerba ini terbilang sangat mengkerdilkan


partisipasi masyarakat umum. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya publikasi
Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke publik, ini bertentangan dengan pasal 96 UU P3
tentang keterlibatan masyarakat dalam memberi masukan dan pasal 5 peraturan
pembentukan undang – undang tentang asas keterbukaan. Seakan – akan kita
diingatkan dengan corak oligarki yang sangat kental pada masa orde baru.

Apakah ini tahap awal dari “The New Oligarchy System?”

Keempat, Revisi UU Minerba menjadi karpet merah para pengusaha. Sekilas


sangat sejalan dengan RUU CIPTA KERJA yang memberikan keuntungan dan
keleluasaan pada pengusaha. Bagaimana tidak, pasalnya selain perpanjangan yang
dijamin, dalam pasal 40 ayat 2 pengusaha diperbolehkan memiliki lebih dari 1 IUP
dalam suatu daerah. Tentu saja hal ini sangat berpotensi untuk pemekaran ekploitasi
lingkungan dan bisa saja menjadi lahan baru bagi para mafia untuk memonopoli usaha
pertambangan.

Revisi UU Minerba juga memberi sedikit perlindungan pada pengusaha dalam


menghadapi “RIVAL” usahanya yang biasa dikenal dengan sebutan masyarakat
setempat. Ijin pertambangan rakyat dulu mudah, sekarang diperberat . Terdapat
penambahan ayat pada pasal 67 yaitu ayat 3 yang menjelaskan bahwa untuk mendapat
IPR, masyarakat harus memiliki peralatan tambang yang lengkap.

Rakyat hanya boleh menambang kalau punya peralatan


lengkap

Sekilas itulah kesimpulan penjelasan pasal tersebut, namun apakah ini menjawab
permasalahan dalam masyarakat ? justru hanya mempersulit dan menambah beban
pada masyarakat untuk mendapat hak mereka yang kemudian sangat rawan terjadi
penyelewengan. Untuk makan saja susah, bagaimana mungkin menyediakan peralatan
yang lengkap.

Kemudian lagi – lagi terjadi pelemahan pada AMDAL, AMDAL hanya dijadikan
sebagai syarat administrative, yang mana hal ini merupakan bentuk nyata
pencederahan cita – cita masyarakat dan bentuk penghianatan kepada sustainable
development goal. Rencana pembangunan berkelanjutan akan sia – sia dirancang
dengan terwujudnya pelemahan pada AMDAL.

Di barat, keberadaan AMDAL yang dikenal sebagai environmental impact


assisgment (penilaian dampak lingkungan) merupakan syarat khusus dan mutlak dalam
melaksanakan usaha pertambangan. Artinya selama tidak merusak lingkunga yang
mempengaruhi usaha orang lain. Sedangkan dengan keberadaan Revisi UU Minerba
dan RUU CIPTA KERJA, amdal hanya merupakan syarat administratif.

Bagaimana mungkin dengan diletakkannya AMDAL pada


posisi yang kuat pelanggaran masih marak ditemui, apalagi hanya
dijadikan syarat administratif.

Nyatanya bahkan pelanggaran seperti ini sering ditemui dalam masyarakat.


Contoh pada Tambang Pasir di galesong yang ada di Makassar, dari beberapa titik
galian ternyata ditemukan beberapa usaha pertambangan dengan amdal yang sangat
mirip, hingga terdapat suatu kasus dimana terjadi perbedaan lokasi penambangan
antara yang tercantum dalam AMDAL dan yang terjadi di lapangan, artinya korporasi
tidak serius dalam proses penyusunan AMDAL ini dan cenderung dibuat dengan mudah.

Kelima, sentralisasi kekuasaan yang identic dan keharmonisannya dengan RUU


CIPTA KERJA. Pasal 4 Ayat 2 Revisi UU Minerba menghilangkan peran kewenangan
pemerintah daerah, menarik segala kewenangan pada pemerintah pusat sehingga
berimplikasi pada penghianatan semangat otonomi dan kemandirian dearah, lagi – lagi
sangat khas dengan spirit orde baru. Kemudian Pasal 7A yang memberikan
kewenangan hanya pada pemerintah pusat dalam mengeluarkan izin bagi BUMN atau
penanaman modal asing, yang mana hal ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita
pada pasal 18 UUD 1945 tentang otonomi daerah itu sendiri. Selanjutnya dalam pasal
10 dihilangkannya partisipasi masyarakat umum dimana hal tersebut sangat berpotensi
dalam pelemahan pengawasan dalam pelaksanaan usaha pertambangan.

Terlihat jelas keberadaan Revisi UU Minerba memberikan ketidakadilan dalam


masyarakat, padahal lingkungan sendiri sudah di akui sebagai subjek hukum dalam
filsafat hukum lingkungan. Terlihat motif orientasi negara saat ini adalah pembangunan
dan pertumbuhan, maka pemerataan tidak akan tercapai. Pada kondisi COVID-19
Negara berharap besar mendapat bagi hasil dari pajak, oleh karena itu mereka
berusaha menjajaki peluang dalam memberi kesempatan sebesar – besarnya pada
pembukaan lahan usaha salah satunya dengan usaha pertambangan. Karena orientasi
dan tendensinya memang diperuntukkan para pengusaha sehingga income yang
diterima oleh negara meningkat.

Tidak terlihat jiwa kesatria yang di tunjukkan oleh wakil


rakyat. Karena mereka lebih mengedepankan kepentingannya
sendiri.

Dengan menghilangkan pendapatan daerah, negara sedang menciptakan sistem


sentralisasi baru. Yang diuntungkan hanya pengusaha dan pemerintah pusat karena
tidak perlu lagi mengadakan konsultasi2 kepada masyarakat. Maksud dan tujuan
keberadaan Revisi UU Minerba sebenarnya telah masuk dalam RUU CIPTA KERJA,
sekitar 60 – 70% pasalnya termuat dalam RUU CIPTA KERJA. Namun karena ada
desakan oleh para buruh yang menolak keras akan keberadaan RUU CIPTA KERJA
sehingga pembahasannya ditunda. Kami khawatir pemerintah hanya berusaha mencari
cara untuk mencipatakan keleluasaan sistem guna memberi kepastian hukum kepada
pengusaha, oleh karena itu Revisi UU MINERBA ini disahkan.

“Mungkin jika RUU CIPTA KERJA telah disahkan, Revisi UU


Minerba tidak perlu didesak pengesahannya.”
- Penulis

Anda mungkin juga menyukai