PENDAHULUAN
Peritonitis adalah peradangan dari jaringan peritoneum yang dapat bersifat terlokalisir atau
difus, akut atau kronik, dan bersifat infeksius atau aseptik. Peritonitis akut umumnya bersifat
infeksius dan berhubungan dengan perforasi dari organ disekitarnya (peritonitis sekunder).
Bila tidak ditemukan sumber intra-abdomen, peritonitis tersebut dikatakan bersifat primer
atau spontan. Peritonitis akut berhubungan dengan penurunan aktivitas motorik usus,
mengakibatkan distensi dari lumen usus oleh gas dan udara. Peningkatan jumlah cairan di
didalam usus yang disertai dengan menurunnya asupan secara oral akan menyebabkan
menurunnya volume darah di dalam sistem sirkulasi tubuh.1, 2, 3
Peritonitis sendiri dibagi menjadi tiga berdasarkan penyebabnya, yakni peritonitis primer,
sekunder, dan tersier. Peritonitis primer umumnya terjadi akibat infeksi pada cairan
intraperitoneal yang sering ditemukan pada pasien dengan gangguan hati. Peritonitis
sekunder ditemukan pada pasien yang mengalami suatu perforasi dan menyebabkan terjadi
kontaminasi peritoneum. Peritonitis tersier terjadi pada pasien yang menjalani dialisis
peritoneum secara rutin. 1, 2, 3
Manifestasi umum dari peritonitis adalah nyeri perut yang hebat, defans muskuler pada
keempat kuadran perut, demam, dehidrasi, mual, muntah, takikardi, letargi, dan malaise.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, dapat ditentukan sifat dari peritonitis tersebut, apakah bersifat
difus, ataukah bersifat terlokalisir. Dari data-data yang dikumpulkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi, dapat menegakkan
diagnosa peritonitis dengan tepat dan penyebabnya. 2, 3
1
Secara umum penatalaksanaan dari peritonitis adalah dengan resusitasi, terapi
antimikroba, dan tindakan operasi. Tujuan terapi adalah untuk menghilangkan kontaminasi
terhadap peritoneum dan mencegah terjadinya sepsis yang dapat bersifat fatal. Berdasarkan
jenis peritonitis, terdapat berbagai pilihan antibiotik yang dianjurkan. Pada peritonitis
sekunder, seringkali digunakan kombinasi antibiotik aerobik dan nonaerobik, sedangkan pada
peritonitis primer, seringkali digunakan antibiotik yang berspektrum luas. 2, 3, 4 Tujuan refleksi
kasus ini dibuat, adalah untuk memahami peritonitis yang terjadi pada pasien yang dirawat di
ruang perawatan bedah dari patofisiologi hingga tata laksananya, sehingga pasien dapat
segera ditangani dengan cepat serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang
ditimbulkan dari penyakit ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling kompleks yang terdapat
didalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung yang tertutup
(coelom) dengan batas-batas :
2
- Peritoneum parietal
- Peritoneum visceral
- Peritoneum penghubung yaitu mesenterium, mesogastrin, mesocolon, mesosalphinx
- Peritoneum bebas yaitu omentum
3
Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis
mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal.
Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale,
sedangkan bagian yang meliputi organ dalam dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar
dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga
organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah,
pembuluh limfe, dan saraf. Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis
sel mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis.
4
2.2 DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga
abdomen dan organ-organ abdomen didalamnya), suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan
kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat
perforasi usus, misalnya pada rupture appendiks atau divertikulum colon, maupun non-
infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam
empedu pada perforasi kandung empedu. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) diantara
perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi 1, 2, 3, 5, 6.
5
Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain :
1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik terganggu
2. Ascites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi vena
porta pada sirosis hati
3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus alienum,
misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang, trauma
4. Radang, yaitu pada peritonitis
3. Peritonitis Tersier
6
Peritonitis tersier terjadi akibat intervensi medis seperti dialisa peritonitis,
sehingga umumnya terjadi infeksi oleh mikroba flora kulit. Mikroba tersering
adalah Staphylococcus spp.
2.4 PATOFISIOLOGI
Respon peritoneum setelah mekanisme tersebut adalah terjadinya peradangan lokal yang
melibatkan hiperemia jaringan vaskuler yang memperdarahi peritoneum, eksudasi cairan ke
dalam rongga peritoneum, dan masuknya sel-sel fagositik dalam jumlah yang banyak ke
dalam rongga peritoneum. Dalam 2 – 4 jam, bakteri yang tidak berhasil dieliminasi melalui
mekanisme mekanik, umunya akan melekat pada sel-sel atau sudah difagosit oleh makrofag
didalam peritoneum. Setelah 4 jam, neutrofil akan menjadi sel fagositik yang dominan di
dalam rongga peritoneum. Selain itu, pada peritoneum akan terjadi reaksi peradangan akibat
dilepaskannya sitokin-sitokin oleh sel-sel imun didalamnya.
7
Pada akhirnya suatu respon pro-koagulasi, yang dimanifestasikan dengan adanya eksudat
yang mengandung fibrin, akan nampak pada infeksi peritoneum. Kehadiran fibrin merupakan
hal yang penting dalam proses sekuestrasi infeksi, tidak hanya dengan memerangkap bakteri
didalam jaring-jaring fibrin, namun dengan menyebabkan lipatan-lipatan usus dan omentum
untuk membentuk dinding secara fisik untuk mencegah diseminasi bakteri. Penumpukan
fibrin didukung oleh sel-sel mesotel dan makrofag peritoneum, dan berkurangnya aksi anti-
fibrin di dalam eksudat. Walau dalam keadaan tertentu sekuestrasi bakteri didalam eksudat
fibrin ini mendukung terjadinya infeksi residual, pemberian antibiotik dan pembedahan yang
tepat umumnya dapat mengeliminasi bakteri. Selain itu juga terdapat respon sistemik yang
berupa dehidrasi akibat keluarnya cairan ke dalam rongga peritoneum dan dapat
menyebabkan gangguan hemodinamik. Selain itu pelepasan sitokin dan mediator kimiawi
akan menyebabkan reaksi peradangan sistemik yang berupa peningkatan suhu tubuh,
perubahan metabolisme, dan perubahan hemodinamik.
1. Peritonitis Primer
Peritonitis primer umumnya berhubungan dengan sirosis hepar, dimana pasien dengan
sirosis hepar mengalami ascites akibat hipertensi vena portal dan merembesnya plasma darah
ke dalam rongga peritoneum. Namun berdasarkan laporan terkini, peritonitis primer juga
terjadi pada pasien dengan kelainan metastase yang ganas, sirosis post-nekrotik, hepatitis
kronis, hepatitis akut, gagal jantung kongestif, systemic lupus erythematosus, dan limfedema.
Meskipun demikian, peritonitis primer merupakan keadaan yang jarang terjadi. Penyebab
infeksi pada peritoneum belum dapat dipastikan, namun dipercaya bila sumber infeksi berasal
dari peredaran bakteri secara hematogen pada pasien yang mengalami gangguan vena portal
dan defek pada fungsi filtrasinya. Mikroba dapat tumbuh dengan subur di dalam cairan
ascites. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan hati, umumnya memiliki jumlah
komplemen dan sel polimorfonuklear ( PMN ) yang sedikit, sehingga mengganggu proses
imun non-spesifik untuk mencegah infeksi peritoneum.
2. Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder terjadi akibat munculnya akses bakteri yang bervariasi ke dalam
rongga peritoneum akibat perforasi viskus atau saluran pencernaan. Organisme yang
ditemukan umumnya bervariasi dengan bakteri fakultatif gram negatif dan bakteri anaerob
yang mendominasi, terutama bila sumbernya berasal dari kolon. Kematian pada pasien
dengan peritonitis sekunder umumnya terjadi karena spesis oleh bakteri basiler gram negatif
8
dan endotoksin yang bersirkulasi dalam peredaran darah. Bakteri gram negatif seperti E. coli
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan dalam kultur. Selain itu, peritonitis
sekunder dapat terjadi akibat iritasi kimiawi yang dapat disertai atau tidak disertai infeksi.
Contohnya, selama pasien tersebut tidak mengalami aklorhidria, sebuah perforasi ulkus gaster
akan menghasilkan asam kuat yang beraksi sebagai bahan kimiawi yang iritatif. Penyebab
peritonitis sekunder tersering adalah perforasi appendiks, perforasi ulkus duodenum,
perforasi kolon sigmoid akibat divertikulitis, volvulus, atau kanker, strangulasi usus kecil,
dan peritonitis post-operatif.
Perforasi Usus
Trauma, tumpul atau tembus
Inflamasi
Appendisitis
Divertikulitis
Ulkus peptida
Inflammatory bowel disease
Iatrogenik
Perforasi endoskopi
Kebocoran anastomosis
Perforasi kateter
Vaskuler
Embolus
Iskemia
Obstruksi
Adhesi
Hernia strangulata
Volvulus
Intususepsi
Keganasan
Benda asing ( tusuk gigi, tulang ikan, dsb )
Perforasi atau Kebocoran dari Organ Lain
Pankreas – Pankreatitis
Kantung empedu – Kolesistitis
Kandung kemih – Trauma, ruptur
Hati – Kebocoran cairan empedu setelah biopsi
Tuba Falopi – Salpingitis
Perdarahan ke rongga peritoneum
Disrupsi integritas rongga peritoneum
Trauma
Dialisis peritoneum
Kemoterapi intraperitoneal
Abses perinefrik
Iatrogenik ( post operatif, benda asing )
9
3. Peritonitis Tersier
Pada umumnya peritonitis ini terjadi pada pasien yang menjalani dialisis peritoneum
secara kontinyu. Tidak seperi peritonitis primer atau sekunder yang umumnya disebabkan
bakteri endogen, peritonitis tersier disebabkan oleh bakteri kulit. Secara patogenesis,
peritonitis tersier serupa dengan infeksi yang terjadi secara intravaskuler, dimana mikroba
kulit tersebut bermigrasi sepanjang kateter yang berfungsi sebagai pintu masuk dan
menghasilkan efek benda asing. Peritonitis tersier juga merupakan peritonitis yang terjadi
akibat mendapat terapi yang tidak adekuat, dan akibat tindakan operasi sebelumnya.
1. Peritonitis Primer
Demam
Ascites
Nyeri Abdomen
Malaise
Lethargi
Ensefalopati tanpa sebab yang jelas
2. Peritonitis Sekunder
Nyeri abdomen yang bergantung pada letak ruptur viskus ( nyeri epigastrik
bila terjadi perforasi gaster )
Rasa tidak nyaman pada perut
Mual
Dephans muskuler di keempat kuadran
Rebound tenderness
Demam
Takikardi
3. Peritonitis Tersier
Serupa dengan peritonitis sekunder
10
2.6 Prosedur diagnostik
Nyeri viseral ditimbulkan dari organ abdomen yang dipersarafi sistem otonom. Umumnya
rasa nyerinya berupa kram, kurang terlokalisir dengan baik, dan sering disertai rasa mual dan
muntah. Hal-hal yang menimbulkan nyeri viseral adalah peregangan dinding usus oleh udara
atau benda padat, iskemia, dan zat kimiawi tertentu. Nyeri viseral juga terbagi berdasarkan
pola pertumbuhan, nyeri epigastrium berasal dari organ foregut ( lambung, duodenum, hati,
sistem empedu, pankreas, limpa ), nyeri periumbilikus berasal dari midgut ( usus halus,
appendiks, kolon ascendens ), dan nyeri hipogastrium dari organ hindgut ( Kolon tranversal,
kolon descenden, rektum ). Pola ini terlihat karena sistem persarafan otonom mengikuti
distribusi vaskularisasi arteri splanchnic mayor ( celiaca, mesenterium superior, mesenterium
inferior ). Penegakan diagnosa peritonitis primer cukup sulit, sebab untuk menegakannya,
penyebab infeksi intra-abdomen harus disingkirkan terlebih dahulu sebelumnya. Gejala
sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi,
oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,
pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen.
Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.
1
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Demam
dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan muncul gejala
hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia
intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang
banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif,
pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang,
dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.8
11
Inspeksi : Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan
kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang
disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang
membuncit dan tegang atau distended. 1,2
Palpasi : Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat
sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus
selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna
sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan
dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai
peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan
dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan
tekanan3,5 Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang
meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat. 1,5
Perkusi : Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas
atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan
shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi
abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.7,8 Pada pasien dengan keluhan nyeri
perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk
1,7
membantu penegakan diagnosis. Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum
doglasi kurang memberikan informasi pada peritonitis murni, nyeri pada satu sisi yang
menunjukkan adanya kelainan di daerah panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis.
Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula
membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai
ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps.
Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat kelamin
dalam perempuan. 1,2
Auskultasi : Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien
dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini
disebabkan karena peritoneal yang lumpuh akibat toksin bakteri yang dilepaskan sehingga
menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis
lokal bising usus masih dapat terdengar normal. 3,7
12
Pada pemeriksaan penunjang untuk peritonitis meliputi pemeriksaan darah lengkap, yang
memiliki karakteristik berupa leukositosis shift to the left. Pemeriksaan radiologis merupakan
pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen
akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : 5,8
1. Tidur telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal
proyeksi AP.
3. Tidur miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu terlihat kekaburan pada cavum abdomen,
preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra
peritoneal.2,8
CT scan dengan kontras memiliki keuntungan dalam menemukan sumber infeksi intra-
abdomen.1, 3, 7
2.7 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan peritonitis bergantung pada jenis peritonitis yang dialami. Prinsip
tata laksana peritonitis primer adalah dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan hasil
isolasi sampel darah atau cairan peritoneum. Pewarnaan gram seringkali menunjukan hasil
yang negatif, karena itu sebelum hasil kultur didapat, terapi antibiotik yang dapat diberikan
harus meliputi basil aerobik gram negatif dan kokus gram positif. Sefalosporin generasi
ketiga seperti cefotaxime ( 2 gram setiap 8 jam, IV ) memberikan daya cakup yang cukup
pada pasien yang sakit ringan hingga sedang. Antibiotik spektrum luas seperti penicillin / β-
laktamase inhibitor ( contohnya piperacillin / tazobactam, 3.375 g setiap 6 jam, IV ) atau
ceftriaxone ( 2 gram setiap 24 jam, IV ) juga dapat dipertimbangkan pengunaannya. Cakupa
empiris untuk bakteri anaerob tidak dianjurkan. Setelah mikroba yang menyebabkan infeksi
diketahui, terapi harus segera dipersempit untuk menyerang agen patogen tersebut. Pasien
dengan peritonitis primer umumnya merespon dalam 72 jam terhadap pemberian antibiotik
yang tepat. Terapi antimikroba dapat diberikan paling sedikit selama 5 hari bila terdapat
pemulihan yang cepat dan hasil kultur darah negatif, namun dapat mencapai 2 minggu bila
pasien mengalami bakteremia dan yang mengalami pemulihan lambat.5, 6, 7, 9
13
Prinsip terapi untuk peritonitis sekunder adalah :
1. Resusitasi
Semua pasien dengan peritonitis memiliki keadaan hipovolemia dengan berbagai derajat
dikarenakan kehilangan cairan ke dalam rongga ketiga yakni rongga peritoneum. Pasien
harus diresusitasi dengan cairan seperti kristaloid sebelum operasi (2,4). terapi cairan yang
diberikan dapat berupa bolus kristaloid hangat 1 – 2 liter untuk dewasa atau 20 mL/kg untuk
anak-anak (6).
2. Terapi antimikroba
Pada umumnya hasil pemeriksaan mikrobiologi akan menunjukan berbagai jenis mikroba
di dalam sampel yang didapat dan umumnya berupa gabungan dari bakteri enterik gram
negatif dan bakteri anaerob. Berdasarkan uji secara klinis dan eksperimental, dianjurkan bila
terapi antimikroba yang diberikan mencakup bakteri aerobik maupun anaerobik, dimana yang
tersering adalah E.coli dan bacteroides fragilis. Pemberian terapi antimikroba harus
disesuaikan dengan keadaan klinis pasien, dimana bila ditemukan pasien afebris, leukosit
normal, maka kemungkinan sepsis setelah penghentian obat tidak ada. Namun bila
didapatkan keadaan demam atau leukositosis, maka kemungkinan terjadinya infeksi rekuren
atau residual berkisar antara 33 – 50 %. Dengan pendekatan ini, pemberian antibiotik dapat
dihentikan paling cepat 4 hari setelah operasi. Bila didapatkan pasien tetap demam dan
mengalami leukositosis setelah lebih dari 7 hari, maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mendeteksi infeksi residual
Agen Tunggal
Ampicillin / Sulbactam
Cefotetan
Cefoxitin
Ertapenem
Imipenem / Cilastatin
Meropenem
Piperacillin / Tazobactam
Ticarcillin / Clavulonic acid
Agen Kombinasi
Aminoglikosida ( Amikacin, Gentamicin, Netilmicin, Tobramycin ) dan
antianaerob
Aztreonam dan Clindamycin
Cefuroxime dan Metronidazole
14
Ciprofloxacin dan Metronidazole
Sefalosporin generasi ketiga / keempat ( Cefepime, Cefotaxime,
Ceftazidime, Ceftizoxime, Ceftriaxone ) dan antianaerob
3. Intervensi bedah
15
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Identitas pasien
Nama : Tn. I
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Sudah menikah
Alamat : Jl. Lekatu
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Suku : Kaili
Tanggal pemeriksaan : 17 Oktober 2019
Tanggal MRS : 17 Oktober 2019 Pukul 20.35 WITA
2. Anamnesis
Heteroanamnesis
a. Keluhan utama
Nyeri pada seluruh permukaan perut
16
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk dengan keluhan nyeri pada seluruh permukaan perut yang dirasakan
sejak 4 hari yang lalu, nyeri dirasakan seperti ditekan dengan kuat dan dirasakan terus
menerus, dan nyeri pertama kali dirasakan dari daerah ulu hati dan sekitar pusat, dan
menjalar sampai ke kanan bawah. Nyeri tidak menghilang dengan posisi tertentu dan
nyeri dirasakan semakin memberat pada saat batuk dan menggerakkan kaki, keluhan ini
disertai dengan demam (+) yang bersifat hilang timbul, keluhan lain seperti sakit kepala
(-), Pusing (-), Mual (+), Muntah (+), Nyeri ulu hati (-), Nafsu makan menurun, BAB (-)
sejak 5 hari yang lalu, BAK lancar, Flatus (+). Sebelum masuk rumah sakit, pasien
dibawah ke RS Al Khairaat mengeluh nyeri perut kanan bawah. Nyeri seperti tertusuk
yang muncul tiba-tiba dan dirasakan menjalar sampai ke pinggang belakang. Keluhan
disertai dengan pusing dan lemas, saat itu pasien di diagnosis apendisitis akut.
3. Pemeriksaan Fisik
Status generalisata : Sakit berat, compos mentis, GCS : E4M6V5
Tanda vital :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 94 kali/menit
- Pernafasan : 30 kali/menit
- Suhu aksilla : 37,5 oC (Suhu Axilla) ; 38,2 C (Suhu Rectal)
17
- Kepala : Bentuk ; Normochepal
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sclera : Ikterik (-/-)
- Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax :
Paru paru :
Inspeksi : Tampak Simetris Bilateral (+/+)
Palpasi : Vocal fremitus dextra=sinitra normal, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezzing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavivula sinistra
Perkusi : batas kanan jantung pada ICS III linea parasternal dextra, batas kiri
pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 murni regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Tampak cembung (+), Distensi Abdomen (+)
Auskultasi : Peristaltik (+), Bising usus kesan menurun
Perkusi : Nyeri ketok pada permukaan abdomen (+), Tymphani (+)
Palpasi : Nyeri pada seluruh permukaan perut (+), Massa (-), hepar tak teraba,
lien tak teraba, Defans muscular (+) seluruh kuadran.
Inguinal :
Palpasi : Teraba denyut arteri femoralis (+), Hernia (-), massa (-), nyeri tekan
(-).
18
Pemeriksaan Rectal Toucher : Spincter Ani mencekik tapi melemah (+) Ampulla
kosong (-) Mukosa licin (+) teraba pembesaran (-), dirasakan nyeri tekan (+) pada arah jam
11
Ekstremitas
Superior Inferior
Capillary Refill Time < 2 detik Capillary Refill Time < 2 detik
Status lokalis :
Regio : Seluruh permukaan abdomen
Palpasi : Nyeri pada seluruh permukaan perut (+), Defans muscular (+) pada seluruh kuadran.
19
Gambar 1. Pasien Peritonitis et causa Appendicitis perforasi
4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin pada tanggal 17 dan 18 Oktober 2019
20
- Pankreas : Ukuran dan echo parenkim dalam batas normal, tidak tampak echo mass,
tidak tampak dilatasi ductus pancreaticus
- Kedua ginjal : Ukuran dan echo parenkim dalam batas normal, tidak tampak echo
batu maupun mass, tidak tampak dilatasi PCS
- VU : Sulit dinilai, urine minimal
- Tampak gambaran udara yang prominent dan gambaran inflamasi fat area Mc Burney
- Kesimpulan : Sugestif Appendicitis Perforasi
5. Resume
Pasien laki-laki usia 45 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri pada seluruh
permukaan perut yang dirasakan sejak 4 hari yang lalu. keluhan lain yang dirasakan
adanya demam (+) yang bersifat hilang timbul, Mual (+), Muntah (+), Nyeri epigastrik (+),
Anorexia (+), Letargi (+), BAB (-) sejak 5 hari yang lalu, BAK lancar.
Pemeriksaan Fisik :
KU : Sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
Tanda vital : TD : 120/80 mmHg, N : 94 x/menit, RR : 30 x/menit, S: 37,5 oC
(Suhu Axilla) ; 38,2 C (Suhu Rectal)
Status Lokalis :
Regio : Seluruh permukaan abdomen
Palpasi : Nyeri pada seluruh permukaan perut (+), Defans muscular (+) pada seluruh kuadran.
21
ditemukan Tampak gambaran udara yang prominent dan gambaran inflamasi fat area Mc
Burney dengan Kesimpulan : Sugestif Appendicitis Perforasi
6. Diagnosis kerja
Peritonitis Generalisata et causa Appendicitis Perforasi
7. Penatalaksanaan
Medikamentosa :
- IVFD RL 20 tpm dan Observasi keadaan umum dan vital sign
- Inj. Cefoperazone 1 gr / 12 jam IV
- Drips Metronidazole 500 mg / 8 jam IV
- Drips Paracetamole 1 gr/ 8 jam IV
- Terpasang NGT dan Kateter
Terapi Operatif/Definitif :
- Pro Laparotomi
22
8. Prognosis
Dubia et Malam
9. Follow Up
23
A : Post Laparotomy H1 a/I Peritonitis + Appendicitis
Perforasi + Adhesi Intestinal
P : - IVFD RL : Futrolit : Dextrose 5 % : Amino Fluid
- Inj. Cefoperazone 1 gr / 12 jam IV
- Drips Metronidazole 500 mg / 8 jam IV
- Inj. Metamizole 1 gr/12 jam IV
- Puasa
- Mobilisasi miring kanan dan kiri
- Baring 30 derajat
- Cek DL
Minggu/20 Oktober 2019 S : Nyeri perut bekas operasi (+), Demam (-), Pusing
PH4/POH2 (-), Nyeri kepala (-), Batuk berlendir (+), Sesak nafas
(-), Nyeri dada (-), Mual (-), Muntah (-), Flatus (+),
BAK (+) via kateter, BAB (-).
O : KU: Sedang, compos mentis (E4V5M6)
Inspeksi Tampak distensi abdomen
Auskultasi Suara peristaltik dalam batas normal
Palpasi Defans muscular (+)
TD: 120/70 mmHg, N: 88 x/menit, RR: 20 x/menit,
S: 37,9 oC, Drain 25 cc berwarna merah, Kateter
urine 2000 cc berwarna kuning
24
Senin/21 Oktober 2019 S : Nyeri perut bekas operasi (+), Demam (-), Pusing
PH5/POH3 (-), Nyeri kepala (-), Batuk berlendir (+), Sesak nafas
(-), Nyeri dada (-), Mual (-), Muntah (-), Flatus (+),
BAK (+) via kateter, BAB (-).
O : KU: Sedang, compos mentis (E4V5M6)
Inspeksi Tampak distensi abdomen, Luka post op
basah
Auskultasi Suara peristaltik kesan menurun
Palpasi Defans muscular (+)
TD: 130/90 mmHg, N: 90 x/menit, RR: 20 x/menit,
S: 38,3 oC, Drain 49 cc berwarna coklat, Kateter urine
1500 cc berwarna kuning
25
Muntah (-), Flatus (+), BAK (+) via kateter, BAB (-)
sejak 4 hari yang lalu.
O : KU: Sedang, compos mentis (E4V5M6)
Inspeksi Tampak distensi abdomen, Luka post op
basah
Auskultasi Suara peristaltik kesan menurun
Palpasi Defans muscular (+)
TD: 160/90 mmHg, N: 110 x/menit, RR: 32 x/menit,
S: 37,3 oC, Drain 113 cc berwarna coklat, Kateter
urine 1400 cc berwarna kuning
26
Palpasi Nyeri tekan bagian kanan (+)
TD: 100/70 mmHg, N: 140 x/menit, RR: 50 x/menit,
S: 37,7 oC, Drain 119 cc berwarna merah gelap,
Kateter urine 1400 cc berwarna kuning
27
BAB III
PEMBAHASAN
28
permukaan abdomen (+), Pada palpasi dapat dirasakan adanya distensi Abdomen
(+), massa (-), hepar tak teraba, lien tak teraba, defans muscular (+) seluruh
kuadran, nyeri tekan (+) pada seluruh permukaan perut.
- Pada pemeriksaan Radiologi yaitu pada USG Abdomen, ditemukan Tampak
gambaran udara yang prominent dan gambaran inflamasi fat area Mc Burney.
Kesimpulan : Sugestif Appendicitis Perforasi
Sumber infeksi intra abdominal tersering yaitu appendix, di ikuti usus besar dan
gaster. Terbentuknya kembali luka juga menyulitkan 5 – 10 % kasus dengan tindakan
anastomosis usus dan menngakibatkan peningkatan mortalitas. Pada Complicated
intra abdominal infections sumber infeksi di dominasi oleh perforasi usus yang
disertai dengan kolonisasi flora usus tersebut. Berdasarkan data dari studi
Complicated Intra Abdominal Infections Observational sumber infeksi terbanyak
yang menyebabkan kematian yaitu perforasi colon tanpa divertikulosis, divertikulosis
komplikata, dan perforasi usus halus.
29
-
O
D
y
M
B
v
lu
↑I
V
h
m
C
d
g
E
c
a
fb
o
r
e
p
s
it
n
&
gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri
subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau
mengedan. Nyeri objektif berupa nyeri yang jika digerakkan seperti palpasi, nyeri
tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis. Gambaran
radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan USG Abdomen
ditemukannya perforasi dari appendiks.
Pada kasus ini peritonitis dapat disebabkan oleh perforasi appendiks, karena :
Pada pemeriksaan radiologi yaitu pada USG abdomen, ditemukan kesan Tampak
gambaran udara yang prominent dan gambaran inflamasi fat area Mc Burney dengan
kesimpulan : Sugestif Appendicitis Perforasi.
30
Pada pasien ini direnacanakan terapi Observasi keadaan umum dan vital sign, Pasang
NGT dan Kateter, Puasa, IVFD RL 20 tpm, Inj. Cefoperazone 1 gr / 12 jam IV, Drips
Metronidazole 500 mg / 8 jam IV, dan Laparatomi Eksplorasi. Prinsip umum terapi adalah
penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena karena
peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan cairan
ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial, pemberian antibiotika yang
sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan
fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah
keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. Terapi antibiotik harus diberikan sesegera
diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empiris, dan
kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada
organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.4, 5, 6, 9
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk
mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi
usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang
spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang
bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus
lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan,
karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana
terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
31
kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi
sekunder.7, 8, 9
Risiko Komplikasi
Pada Kasus ini, risiko komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi
abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual.
Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi,
ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun. 7, 8, 9
Prognosis Kasus
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum
prognosisnya mematikan akibat organisme virulen. Tingkat mortalitas dari peritonitis
generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat
mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ
multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat
mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda,
pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih
awal.7, 8, 9
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
3. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih
bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
4. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
5. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997. Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
6. Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Jakarta : EGC.
33