GANGGUAN CEMAS
Disusun oleh:
NUR SHANTY (10777023)
PEMBIMBING:
dr. Dewi Suryani, Sp. KJ
PENDAHULUAN
1
DEFINISI
Teori Psikoanalitik
Teori Perilaku-kognitif
Rasa cemas dianggap timbul sebagai respon dari stimulus lingkungan yang
spesifik. Contohnya, orang tanpa alergi makanan dapat menjadi sakit setelah
direstoran memakan karang terkontaminasi, pajanan berikutnya terhadap jenis
makanan yang sama dapat menyebabkan orang tersebut merasa sakit, mereka
dapat menjadi tidak percaya pada makanan yang dipersiapkan oleh orang lain,
mereka belajar memiliki respon internal ansietas dengan meniru ansietas orang tua
mereka (teori pembelajaran sosial).
2
Teori Eksistensial
Neurotransmiter
1. Norepinephrine
Teori umum dari keterlibatan norepinephrine pada gangguan cemas, adalah
pasien tersebut memiliki kemampuan regulasi sistem adrenergik yang buruk
terkait dengan ledakan aktivitas yang kadang-kadang terjadi. Sel-sel dari sistem
noradrenergik terlokalisasi secara primer pada locus ceruleus pada rostral pons,
dan memiliki akson yang menjurus pada korteks serebri, sistem limbik, medula
oblongata, dan medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukan bila diberi
stimulus pada daerah tersebut menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi,
primata tersebut tidak menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia,
didapatkan pasien dengan gangguan serangan panik, bila diberikan agonis
reseptor β-adrenergik (Isoproterenol) dan antagonis reseptor α-2 adrenergik dapat
mencetuskan serangan panik secara lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya,
clonidine, agonis reseptor α-2 menunjukan pengurangan gejala cemas.
2. Serotonin
Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian peran
serotonin dalam gangguan cemas. Minat mengenai hubungan ini awalnya
didorong oleh pengamatan bahwa antidepresan serotonergik memiliki efek
terapeutik terhadap ansietas. Penelitian tersebut juga dilakukan berdasarkan
penggunaan obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan
3
obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga menunjukkan
kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki
reseptor serotonergik ditemukan dominan pada raphe nuclei pada rostral
brainstem dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.
3. GABA
Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obat-obatan
benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A.
Walaupun benzodiazepine potensi rendah paling efektif terhadap gejala gangguan
cemas menyeluruh, benzodiazepine potensi tinggi seperti alprazolam dan
clonazepam ditemukan efektif pada terapi gangguan serangan panik
Korteks Serebri
Sistem Limbik
4
dengan rasa cemas, dan cingulate gyrus, yang diduga berkaitan dengan gangguan
obsesif kompulsif.
5
(6) Gangguan Stress Akut;
(7) Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder).
(8) Gangguan anxietas aktibat kondisi medik umum
(9) Gangguan anxietas yang di induksi zat
(10) Gangguan anxietas YTT
6
F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif
F42.0 Predominan pikiran obsesional atau pengulangan
F42.1 Predominan tindakan kompulsif (obsesional ritual)
F42.2 Campuran tindakan dan pikiran obsesional
F42.8 Gangguan obsesif kompulsif lainnya
F42.9 Gangguan obsesif kompulsif YTT
7
Penatalaksanaan Gangguan Cemas
1. Psikofarmaka
Obat tidak akan menyembuhkan gangguan kecemasan, tetapi cemas yang ada
bisa tetap di bawah kontrol. Obat utama yang digunakan untuk gangguan
kecemasan adalah antidepresan dan obat anti-kecemasan. Dengan perawatan
yang tepat, banyak orang dengan gangguan kecemasan dapat memimpin
normal, memenuhi hidup.
Karena gangguan bersifat jangka panjang, suatu rencana terapi harus
dilakukan dengan teliti. Tiga obat utama yang harus dipertimbangkan untuk
terapi gangguan ansietas adalah buspiron, benzodiazepine, dan SSRI.
Anti depresan
Antidepresan dikembangkan untuk mengobati depresi tetapi juga efektif untuk
mengatasi gangguan kecemasan. Jenis anti depresan yang digunakan sebagai anti
cemas adalah anti depresan golongan SSRI. SSRI (fluoxetine, sertraline, dlln)
efek sedasi, otonomik, kardiologi sangat minimal.
Anti anxietas
Terdapat 2 penggolongan obat anti ansietas, yaitu golongan benzodiazepine
dan non-benzodiazepin. Anxietas syndrome terjadi karena hiperkativitas dari
sistim limbic yang terdiri dari dopaminergic, noradrenergic, serotonergic neurons
yang dikendalikan oleh GABA-ergic neurons (gamma amino butyric acid, suatu
inhibitory neurotransmitter.
Obat anti ansietas benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptor nya akan
meng-inforce “the inhibitory action of GABA-ergic neuron” sehingga
hiperaktivitas yang ada dapat mereda.
Golongan benzodiazepine sebagai obat anti-ansietas mempunyai ratio
terapeutik lebih tinggi dan lebih kurang menimbulkan adiksi dengan toksitas
rendah dibanding dengan meprobamate atau Phenobarbital. Benzodiazepine
8
merupakan drug of choice dari semua obat yang mempunyai efek anti ansietas,
disebabkan spesifitas, potensi dan keamannnya.
Beberapa jenis obat anxietas yang ada antara lain adalah :
NO. NAMA OBAT DOSIS ANJURAN
1. DIAZEPAM Oral 2-3x2-5mg/hari
Injeksi 5-10mg
2. CHLORDIAZEPOXIDE 2-3x5-10mg/hari
3. LORAZEPAM 2-3x1mg/hari
4. CLOBAZAM 2-3x1mg/hari
5. BROMAZEPAM 3x1,5mg/hari
6. ALPRAZOLAM 3x0,25-0,5mg/hari
7. SULPRIDE 2-3x50-100mg/hari
8. BUSPIRONE 2-3x10mg/hari
9. HYDROXYZINE 3x25mg/hari
2. Psikoterapi
cognitive behavioral therapy (CBT) merupakan suatu pendekata psikoterapi
yang paling banyak digunakan. CBT berorientasi pada pemecahan masalah
dengan terapi yang dipusatkan pada keadaan “sekarang” yang memandang
individu sebagai pengambil keputusan penting tentang tujuan atau masalah yang
akan dipecahkan dalam proses terapi.
Tujuan utama dalam teknik cognitive behavioral therapy (CBT) :
1. Membangkitkan pikiran negative/berbahaya, dialog internal (bicara
sendiri) dan intrepretasi terhadap kejadian-kejadian yang dialami. Pikiran
negative tersebut muncul secara otomatis sering diluar kesadaran pasien apabila
menghadapi situasi stress atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi
kognitif tersebut maladptive yang menambah berat masalahnya.
2. Terapis bersama pasien mengumpulkan bukti yang mendukung atau
meyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran otomatis sering
didasarkan atas kesalahan logika, maka program CBT diarahkan untuk
membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Pasien dilatih
mengenali pikirannya dan mendorong untuk menggunakan keterampilan,
9
menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur cognitive
maladaptive.
3. Menyusun desain eksperimen untuk menguji validitas interpretasi dan
menjaring data tambahan untuk diskusi di dalam proses terapi.
Dengan demikian CBT diharapkan dapat berperan dalam mekanisme proteksi
agar kecemasan dan depresi tidak mengancam karena pasien dapat belajar
mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya gangguan pada dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
10
1. Kaplan & Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed.2. EGC. Jakarta.
2. Elvira SD, Hadisukanto G, 2010, Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit FKUI,
Jakarta.
3. Maslim R, 2001,Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta
4. Maslim, Rusdi, 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
Edisi 3, Bagian ilmu kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya: Jakarta
5. Tomb, D,A.,et all. 2004. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. EGC:Jakarta.
6. OFM, Y,S. 2006. Kesehatan Mental 2. Konisius:Yogyakarta.
7. WebMD. 2005. Anxiety & Panic Disorders Health Center. (Online),
(http://www.webmd.com/anxiety-panic/guide/mental-health-anxiety-disorders
di akses tanggal 18 Juni 2015)
8. American Psychiatric Association. 2015. Anxiety Disorders. (Online),
(http://www.psychiatry.org/anxiety-disorders di akses tanggal 18 Juni 2015)
9. NIH. 2015. What are anxiety disorder. (Online),
(http://www.nimh.nih.gov/health/topics/anxiety-disorders/index.shtml di
akses tanggal 18 Juni 2015)
11