Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

GANGGUAN CEMAS

Disusun oleh:
NUR SHANTY (10777023)

PEMBIMBING:
dr. Dewi Suryani, Sp. KJ

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik di


Bagian Kesehatan Jiwa

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2017
GANGGUAN CEMAS

PENDAHULUAN

Gangguan cemas merupakan keadaan psikiatri yang paling sering ditemukan di


Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari
interaksi faktor-faktor biopsikososial, termasuk kerentanan genetic yang
berinteraksi dengan kondisi tertentu, stress atau trauma yang menimbulkan
sindroma klinis yang bermakna.
Studi menunjukkan bahwa gangguan ini meningkatkan mordibiditas,
penggunaan pelayanan kesehatan dan hendaya fungsional. Pemahaman neuro
anatomi dan biomolekuler ansietas menjanjikan pengertian baru mengenai etiologi
dan terapi yang lebih sesifik di masa yang akan datang.
Prevalensi untuk gangguan cemas bervariasi, untuk gangguan cemas
menyeluruh sendiri angka prevalensi mencapai 3-8% dan rasio antara laki-laki
dan perempuan sekitar 2:1.
Gejala ansietas sendiri memiliki 2 komponen gejala yang berbeda, yaitu
kesadaran dan sensasi fisiologis (palpitasi dan berkeringat) serta kesadaran bahwa
dirinya merasakan gugup ataupun ketakutan.
Ansietas juga dapat memperngaruhi pikiran, persepsi dan pembelajaran
seseorang. Ansietas cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi persepsi
yang dapat mengganggu pembelajaran, menurunkan daya konsentrasi,
mengurangi daya ingat dan mengganggu daya asosiasi dari seseorang,

1
DEFINISI

Cemas didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan, cemas


memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang
mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Rasa tersebut ditandai dengan
gejala otonom seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak
nyaman pada perut, dan gelisah.
Rasa cemas dapat datang dari eksternal atau internal. Masalah eksternal
umumnya terkait dengan hubungan antara seseorang dengan komunitas, teman,
atau keluarga. Masalah internal umumnya terkait dengan pikiran seseorang
sendiri.
Cemas terbagi dua, ada cemas yang bersifat fisiologis dan bersifat patologis.
Cemas yang bersifat fisiologis ancaman yang ada jelas dan nyata, sehingga
menimbulkan suatu perasaan cemas.

PATOFISIOLOGI GANGGUAN CEMAS

Teori Psikoanalitik

Sigmeun Freud menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu sinyal adanya


bahaya pada ketidaksadaran. Sebagai suatu sinyal, kecemasan menyadarkan ego
untuk memobilisasi mekanisme pertahanan untuk mencegah perasaan dan pikiran
yang tidak dapat diterima agar tidak muncul ke kesadaran, mengambil tindakan
defensif terhadap tekanan dari dalam.

Teori Perilaku-kognitif

Rasa cemas dianggap timbul sebagai respon dari stimulus lingkungan yang
spesifik. Contohnya, orang tanpa alergi makanan dapat menjadi sakit setelah
direstoran memakan karang terkontaminasi, pajanan berikutnya terhadap jenis
makanan yang sama dapat menyebabkan orang tersebut merasa sakit, mereka
dapat menjadi tidak percaya pada makanan yang dipersiapkan oleh orang lain,
mereka belajar memiliki respon internal ansietas dengan meniru ansietas orang tua
mereka (teori pembelajaran sosial).

2
Teori Eksistensial

Pada gangguan cemas menyeluruh, tidak didapatkan stimulus rasa cemas


yang bersifat kronis tanpa adanya stimulus yang spesifik. Inti dari teori eksistensi
adalah seseorang merasa hidup di dalam dunia yang tidak bertujuan. Rasa cemas
adalah respon mereka terhadap rasa kekosongan atau kehampaan dari eksistensi
dan arti.

Berdasarkan aspek biologis, didapatkan teori neurotransmitter yang

mendasari timbulnya cemas yang patologis

Neurotransmiter

1. Norepinephrine
Teori umum dari keterlibatan norepinephrine pada gangguan cemas, adalah
pasien tersebut memiliki kemampuan regulasi sistem adrenergik yang buruk
terkait dengan ledakan aktivitas yang kadang-kadang terjadi. Sel-sel dari sistem
noradrenergik terlokalisasi secara primer pada locus ceruleus pada rostral pons,
dan memiliki akson yang menjurus pada korteks serebri, sistem limbik, medula
oblongata, dan medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukan bila diberi
stimulus pada daerah tersebut menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi,
primata tersebut tidak menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia,
didapatkan pasien dengan gangguan serangan panik, bila diberikan agonis
reseptor β-adrenergik (Isoproterenol) dan antagonis reseptor α-2 adrenergik dapat
mencetuskan serangan panik secara lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya,
clonidine, agonis reseptor α-2 menunjukan pengurangan gejala cemas.

2. Serotonin
Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian peran
serotonin dalam gangguan cemas. Minat mengenai hubungan ini awalnya
didorong oleh pengamatan bahwa antidepresan serotonergik memiliki efek
terapeutik terhadap ansietas. Penelitian tersebut juga dilakukan berdasarkan
penggunaan obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan

3
obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga menunjukkan
kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki
reseptor serotonergik ditemukan dominan pada raphe nuclei pada rostral
brainstem dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.

3. GABA
Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obat-obatan
benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A.
Walaupun benzodiazepine potensi rendah paling efektif terhadap gejala gangguan
cemas menyeluruh, benzodiazepine potensi tinggi seperti alprazolam dan
clonazepam ditemukan efektif pada terapi gangguan serangan panik

Berdasarkan pertimbangan neuroanatomis, daerah sistem limbik dan


korteks serebri dianggap memegang peran penting dalam proses terjadinya
cemas.

Korteks Serebri

Korteks serebri bagian frontal berhubungan dengan regio hipocampus,


cingulate gyrus, dan hipotalamus, sehingga diduga berkaitan dengan gangguan
cemas. Korteks temporal juga dikaitkan dengan gangguan cemas. Hal ini diduga
karena adanya kemiripan antara presentasi klinis dan elektrofisiologi pada pasien
dengan epilepsy lobus temporal dan gangguan obsesif kompulsif.

Sistem Limbik

Selain menerima inervasi dari noradrenergik dan serotonergik, sistem


limbik juga memiliki reseptor GABA dalam jumlah yang banyak. Ablasi dan
stimulasi pada primata juga menunjukan bahwa sistem limbik berpengaruh pada
respon cemas dan takut. Dua area pada sistem limbik menarik perhatian peneliti,
yakni peningkatan aktivitas pada septohippocampus, yang diduga berkaitan

4
dengan rasa cemas, dan cingulate gyrus, yang diduga berkaitan dengan gangguan
obsesif kompulsif.

Psikodinamika Gangguan Cemas

Menurut pandangan psikodinamika, kecemasan adalah suatu sinyal kepada


ego bahwa terdapat suatu dorongan dari id yang tidak dapat diterima atau
mendapat tekanan yang besar dari superego dalam merealisasikan (memuaskan)
dorongan tersebut. Sebagai suatu sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk
mengambil tindakan defensif terhadap tekanan yang muncul dari dalam diri
manusia. Jika kecemasan naik di atas tingkat terendah dari karakteristik atau
fungsinya sebagai sinyal, maka kecemasan dapat timbul sebagai gangguan –
sudah melebihi ambang batas karakteristik atau fungsinya sebagai sinyal –yang
akan bermanifestasi dengan serangan panik yang hebat.
Idealnya, penggunaan represi menyebabkan terjadinya pemulihan
keseimbangan psikologis tanpa pembentukan gejala, karena represi yang efektif
dapat menahan dorongan dan afek serta khayalan yang menyertainya, menahan
keduanya agar tetap di bawah kontrol kesadaran. Jika represi tidak berhasil, maka
mekanisme pertahanan lain (seperti konversi, pengalihan, dan regresi) akan
diperankan secara maksimal dan akan menunjukkan gejala-gejala berupa
gangguan neurotik yang klasik seperti histeria, fobia, dan neurosis obsesif-
kompulsif.

Klasifikasi Gangguan Cemas

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ( DSM-


IV-TR), gangguan cemas terdiri dari :
(1) Gangguan panik dengan atau tanpa agoraphobia;
(2) Agoraphobia dengan atau tanpa gangguan panik;
(3) Fobia spesifik dan sosial
(4) Gangguan Obsesif-Kompulsif;
(5) Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD );

5
(6) Gangguan Stress Akut;
(7) Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder).
(8) Gangguan anxietas aktibat kondisi medik umum
(9) Gangguan anxietas yang di induksi zat
(10) Gangguan anxietas YTT

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di


Indonesia III, gangguan cemas dikaitkan dalam gangguan neurotik, gangguan
somatoform dan gangguan yang berkaitan dengan stress (F40-48).

F40–F48 Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform Dan Gangguan Yang


Berkaitan Dengan Stres

F40 Gangguan Anxietas Fobik


F40.0 Agorafobia
.00 Tanpa gangguan panik
.01 Dengan gangguan panik
F40.1 Fobia sosial
F40.2 Fobia khas (terisolasi)
F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya
F40.9 Gangguan anxietas fobik YTT

F41 Gangguan Anxietas Lainnya


F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik)
F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh
F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif
F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya
F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT
F41.9 Gangguan anxietas YTT

6
F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif
F42.0 Predominan pikiran obsesional atau pengulangan
F42.1 Predominan tindakan kompulsif (obsesional ritual)
F42.2 Campuran tindakan dan pikiran obsesional
F42.8 Gangguan obsesif kompulsif lainnya
F42.9 Gangguan obsesif kompulsif YTT

F43 Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian (F43.0-F43.9)


F44 Gangguan Disosiatif (Konversi) (F44.0-F44.9)
F45 Gangguan Somatoform (F45.0-F45.9)
F48 Gangguan Neurotik Lainnya (F48.0-F48.9)

Manifestasi Klinis Gangguan Cemas


Pada gangguan cemas, terdapat beberappa gelaja yang biasanya dapat timbul
sebagai suatu sndrom anxietas, hal tersebut yaitu :
1. Ketegangan motorik
Kedutan otot atau rasa gemetar, otot tegang/kaku, tidak bisa diam, mudah
menjadi lelah
2. Hiperaktivitas otonomik
Nafas pendek/terasa berat, jantung berdebar-debar, telapak tangan basah-
dingin, mulut kering, kepala pusing/terasa melayang, mual perut tidak
enak, panas/menggigil, buang air kecil lebih sering, sukar menelan.
3. Kewaspadaan berlebihan dan penangkapan berkurang
Perasaan jadi peka, mudah terkejut/kaget, sulit konsentrasi pikiran, sukar
tidur, mudah tersinggung.

7
Penatalaksanaan Gangguan Cemas

1. Psikofarmaka
Obat tidak akan menyembuhkan gangguan kecemasan, tetapi cemas yang ada
bisa tetap di bawah kontrol. Obat utama yang digunakan untuk gangguan
kecemasan adalah antidepresan dan obat anti-kecemasan. Dengan perawatan
yang tepat, banyak orang dengan gangguan kecemasan dapat memimpin
normal, memenuhi hidup.
Karena gangguan bersifat jangka panjang, suatu rencana terapi harus
dilakukan dengan teliti. Tiga obat utama yang harus dipertimbangkan untuk
terapi gangguan ansietas adalah buspiron, benzodiazepine, dan SSRI.

Anti depresan
Antidepresan dikembangkan untuk mengobati depresi tetapi juga efektif untuk
mengatasi gangguan kecemasan. Jenis anti depresan yang digunakan sebagai anti
cemas adalah anti depresan golongan SSRI. SSRI (fluoxetine, sertraline, dlln)
efek sedasi, otonomik, kardiologi sangat minimal.

Anti anxietas
Terdapat 2 penggolongan obat anti ansietas, yaitu golongan benzodiazepine
dan non-benzodiazepin. Anxietas syndrome terjadi karena hiperkativitas dari
sistim limbic yang terdiri dari dopaminergic, noradrenergic, serotonergic neurons
yang dikendalikan oleh GABA-ergic neurons (gamma amino butyric acid, suatu
inhibitory neurotransmitter.
Obat anti ansietas benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptor nya akan
meng-inforce “the inhibitory action of GABA-ergic neuron” sehingga
hiperaktivitas yang ada dapat mereda.
Golongan benzodiazepine sebagai obat anti-ansietas mempunyai ratio
terapeutik lebih tinggi dan lebih kurang menimbulkan adiksi dengan toksitas
rendah dibanding dengan meprobamate atau Phenobarbital. Benzodiazepine

8
merupakan drug of choice dari semua obat yang mempunyai efek anti ansietas,
disebabkan spesifitas, potensi dan keamannnya.
Beberapa jenis obat anxietas yang ada antara lain adalah :
NO. NAMA OBAT DOSIS ANJURAN
1. DIAZEPAM Oral 2-3x2-5mg/hari
Injeksi 5-10mg
2. CHLORDIAZEPOXIDE 2-3x5-10mg/hari
3. LORAZEPAM 2-3x1mg/hari
4. CLOBAZAM 2-3x1mg/hari
5. BROMAZEPAM 3x1,5mg/hari
6. ALPRAZOLAM 3x0,25-0,5mg/hari
7. SULPRIDE 2-3x50-100mg/hari
8. BUSPIRONE 2-3x10mg/hari
9. HYDROXYZINE 3x25mg/hari

2. Psikoterapi
cognitive behavioral therapy (CBT) merupakan suatu pendekata psikoterapi
yang paling banyak digunakan. CBT berorientasi pada pemecahan masalah
dengan terapi yang dipusatkan pada keadaan “sekarang” yang memandang
individu sebagai pengambil keputusan penting tentang tujuan atau masalah yang
akan dipecahkan dalam proses terapi.
Tujuan utama dalam teknik cognitive behavioral therapy (CBT) :
1. Membangkitkan pikiran negative/berbahaya, dialog internal (bicara
sendiri) dan intrepretasi terhadap kejadian-kejadian yang dialami. Pikiran
negative tersebut muncul secara otomatis sering diluar kesadaran pasien apabila
menghadapi situasi stress atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi
kognitif tersebut maladptive yang menambah berat masalahnya.
2. Terapis bersama pasien mengumpulkan bukti yang mendukung atau
meyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran otomatis sering
didasarkan atas kesalahan logika, maka program CBT diarahkan untuk
membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Pasien dilatih
mengenali pikirannya dan mendorong untuk menggunakan keterampilan,

9
menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur cognitive
maladaptive.
3. Menyusun desain eksperimen untuk menguji validitas interpretasi dan
menjaring data tambahan untuk diskusi di dalam proses terapi.
Dengan demikian CBT diharapkan dapat berperan dalam mekanisme proteksi
agar kecemasan dan depresi tidak mengancam karena pasien dapat belajar
mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya gangguan pada dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

10
1. Kaplan & Sadock. 2010.  Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed.2. EGC. Jakarta.
2. Elvira SD, Hadisukanto G, 2010,  Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit FKUI,
Jakarta.
3. Maslim R, 2001,Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta
4. Maslim, Rusdi, 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
Edisi 3, Bagian ilmu kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya: Jakarta
5. Tomb, D,A.,et all. 2004. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. EGC:Jakarta.
6. OFM, Y,S. 2006. Kesehatan Mental 2. Konisius:Yogyakarta.
7. WebMD. 2005. Anxiety & Panic Disorders Health Center. (Online),
(http://www.webmd.com/anxiety-panic/guide/mental-health-anxiety-disorders
di akses tanggal 18 Juni 2015)
8. American Psychiatric Association. 2015. Anxiety Disorders. (Online),
(http://www.psychiatry.org/anxiety-disorders di akses tanggal 18 Juni 2015)
9. NIH. 2015. What are anxiety disorder. (Online),
(http://www.nimh.nih.gov/health/topics/anxiety-disorders/index.shtml di
akses tanggal 18 Juni 2015)

11

Anda mungkin juga menyukai