Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH

Pandangan terhadap RUU HIP


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila

Dosen Pembimbing :
Abd. Shidiq Notonegoro, M. Pd

Disusun oleh :
Nur Khomariah (190402025)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
TAHUN AKADEMIK 2019-2020
*pandangan saya, terdapat pada kesimpulan

Beberapa alasan RUU HIP harus dihentikan

1. RUU HIP melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara

Pancasila dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat
dan tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang. Sebab hal itu berpotensi menyimpang dari maksud
dan pengertian yang sebenarnya serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara.
Termasuk dengan memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam
pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945. Hal itu sama dengan mereduksi
Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945. Selain itu, akan jadi kontroversi karena mengabaikan
Piagam Jakarta 22 Juni 1955 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan. Kontroversi akan
berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan dimasukkan dengan alasan
historis. “Di dalam RUU HIP terdapat materi-materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan
rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III (Pasal
5, 6, dan 7). Terdapat banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi
dari sila yang lainnya. Termasuk yang mempersempit dan mengesampingkan rumusan final sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif dinilai
bertentangan dengan Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh.

2. Tidak dicantumkannya TAP MPRS No XXV/1966

Tidak dicantumkannnya TAP MPRS No XXV/1966 dalam salah satu pertimbangan RUU HIP juga dinilai
jadi masalah serius. Sebab dari situ mengatur tentang pelarangan komunisme. Berikut pasal pasal dalam
TAP MPRS No XXV/1966.

Pasal 1

Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden /Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revotusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,
berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat
sampai kedaerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawahnya dan
pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi
Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966,
dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS

Pasal 2

Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala
macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut,
dilarang.

Pasal 3
Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara
terpimpin, dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-
undangan untuk pengamanan.

Pasal 4

Ketentuan-ketentuan di atas, tidak mempengaruhi landasan dan

sifat bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 5 Juli 1966

Dalam konteks pembahasan RUU HIP, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik RUU itu
karena tidak memasukkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966.

"Ini aneh, ada delapan TAP MPR yang dijadikan dasar hukum pembentukan RUU HIP, padahal tak terkait
langsung dengan ideologi Pancasila, tetapi ada TAP MPR yang sangat terkait dan menjaga ideologi
Pancasila dari ideologi yang merongrongnya, yaitu komunisme, malah tidak dimasukkan," ujar Hidayat
dalam keterangan resmi MPR, Jumat (15/5) lalu.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjamin tak ada ruang bagi paham komunisme di Indonesia. Tap
MPRS itu masih berlaku.

Berlakunya TAP MPRS mengenai larangan komunisme dibahas dalam Sidang Paripurna MPR RI Tahun
2003, yang kemudian dikeluarkan TAP MPR Nomor I Tahun 2003 yang secara populer disebut dengan
'TAP Sapujagat'.

Disebut demikian karena TAP MPR Nomor I Tahun 2003 ini berisi peninjauan terhadap materi dan status
hukum ketetapan MPRS dan ketetapan MPR RI sejak 1960 sampai 2002. Setelah keluarnya TAP MPR No I
Tahun 2003, MPR sudah tidak lagi punya wewenang untuk membuat TAP MPR yang bersifat mengatur
keluar (regeling).

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menjelaskan nanti, jika saat tahapan
sudah sampai pada pembahasan, pemerintah akan mengusulkan pencantuman Tap MPRS No
XXV/MPRS/1966 dalam konsiderans dengan payung 'Mengingat: Tap MPR No. I/MPR/1966'. Di dalam
Tap MPR No. I/MPR/2003 itu ditegaskan bahwa Tap MPR No. XXV/1966 terus berlaku.

3. Tujuan yang tidak jelas


Rapat yang diadakan DPR tertutup dan tidak jelas bahkan publik tidak bisa memantau pembahasan dan
tidak ada kesimpulan isi rapat yang dapat diakses. Tujuan utama perumusan RUU HIP masih belum jelas.

4. Redaksional pasal-pasal yang sangat normatif dan multitafsir.

RUU HIP tak penting selain banyak ditentang ormas Islam, banyak akademisi mengkritisi rancangan
peraturan tersebut terutama terkait hal-hal substantif. Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi
Hukum Jentera Bivitri Susanti mengatakan RUU HIP banyak mengandung pasal-pasal yang tidak lazim,
yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement. "Norma hukum biasanya mengatur
perilaku dan juga kelembagaan. Di dalam UU, ada pasal 'siapa melakukan apa' dan bukan pernyataan-
pernyataan. Memang biasanya ada pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal mengatur
perilaku. Ini tidak lazim," kata Bivitri dalam sebuah seminar daring, 8 Juni 2020.

5. Adanya upaya memonopoli tafsir Pancasila

Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyoroti bagian
pendirian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang menurutnya sama seperti Badan Pembinaan
Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) di era Soeharto.

Ketika perumusan perundang-undangan atau kebijakan penerapan ideologi Pancasila disalahgunakan


dan dijadikan instrumen kekuasaan yang bersifat monolitik oleh penguasa. Hal ini memicu kesalahan
akan terulang kembali.

Oleh karena itu, dirangkum Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, RUU
HIP tak mendesak sama sekali. "Ini berpotensi mengendalikan hak kebebasan berekspresi. Persis seperti
Orba. Karena terlihat sekali ada upaya memonopoli tafsir Pancasila,"

6. RUU HIP tidak terlalu urgen

Saat pandemi alangkah baiknya, jika semua perangkat negara dari mulai eksekutif, legislatif, hingga
yudikatif diminta agar lebih fokus menangani Covid-19 yang kini berdampak serius bagi kehidupan
masyarakat.

Kesimpulannya saya sangat setuju jika RUU HIP tidak dibahas lagi karena terdapat upaya menjauhkan
makna Ketuhanan Yang Maha Esa, ada yang berusaha ingin mengikis nilai religius bangsa. Padahal
Pancasila bagi Indonesia adalah sumber dari segala sumber dan antar sila tidak bisa dipisahkan ataupun
sampai "diperas". Saya lihat dimedia bahwa tujuannya RUU HIP itu pembinaan agar bangsa Indonesia
paham dan menjalankan Pancasila atau semacam penguatan Pancasila, tapi isi dari RUU HIP justru
mengabaikan makna dari nilai-nilai Pancasila. Pancasila adalah alat pemersatu bangsa namun dengan
adanya RUU HIP akan menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia. Reaksi yang ditunjukkan sebagian
besar ormas, menurut saya sangat tepat karena ada peristiwa dan kesalahan yang sangat menyakiti
bangsa Indonesia, misalnya G 30 S PKI dan penyalahgunaan kekuasaan masa orba. Oleh sebab itu
mereka tidak ingin terulang kembali.

Anda mungkin juga menyukai