Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Bedah pintas arteri koroner ( BPAK ) merupakan salah satu penanganan


intervensi dari penyakit jantung koroner ( PJK ), dengan cara membuat saluran baru
melewati bagian arteri coronaria yang mengalami penyempitan atau penyumbatan.
Operasi ini bertujuan untuk mengatasi terhambatnya aliran arteri coronaria akibat
adanya penyempitan ataupun penyumbatan ke otot jantung. Pemastian daerah yang
mengalami penyempitan ataupun penyumbatan telah dilakukan sebelumnya dengan
menggunakan kateterisasi arteri coronaria(1,2).
Bedah pintas arteri koroner dapat dilakukan dengan beberapa tehnik antara lain
tehnik konvensional dengan memakai mesin jantung paru atau yang biasa dikenal
dengan nama on-pump coronary artery bypass surgery, tehnik dengan tidak
menggunakan mesin jantung paru atau yang lebih dikenal dengan off-pump coronary
artery bypass surgery dan tehnik Minimally Invasive Direct Coronary Artery Bypass
Grafting(1,3).
Infark miokard merupakan salah satu komplikasi pasca BPAK dan mempunyai
dampak klinis yang bervariasi. Angka kejadian infark miokard pasca BPAK berkisar
antara 5- 15 %. Onorati F dkk (2005) mendapatkan angka kejadian infark miokard pada
pasien pasien paska BPAK sekitar 6,9 %. Pasien yang mengalami infark miokard pasca
BPAK mempunyai kecenderungan untuk mengalami morbiditas karena gangguan fungsi
jantung sehingga meningkatkan lama waktu rawat dan tingginya angka mortalitas pasca
operasi yaitu sekitar 10-25 %(4,5).
Beberapa penyebab infark miokard pasca BPAK telah diidentifikasi. Melalui
beberapa penelitian, ditemukan beberapa faktor prediktor yang mempunyai hubungan
erat dengan terjadinya infark miokard. Identifikasi faktor- faktor tersebut sangat penting
sebagai acuan strategi intraoperatif dan pasca operasi.
Onorati F dkk (2005) mendapatkan 7 faktor yang secara statistik bermakna untuk
memprediksi kemungkinan terjadinya infark miokard pasca BPAK: EuroSCORE lebih
dari 6, angina tidak stabil dengan perubahan EKG, klem silang aorta lebih dari 90 menit,
lama CPB lebih dari 180 menit, revaskularisasi yang tidak sempurna, perlunya

1
pemasangan IABP ( intra aortic ballon pump ) intraoperatif dan pemberian kardioplegi
anterograde/ retrograde(4)
Penggunaan mesin jantung paru pada operasi jantung telah diketahui
menyebabkan efek negatif akibat iskemia global pada jantung, injuri
reperfusi,pemberian kardioplegi dan respon inflamasi sistemik(6).
European System for Cardiac Operative Risk Evaluation ( EuroScore )
merupakan suatu standar yang mampu memprediksi mortalitas selama perawatan di
rumah sakit dan beberapa morbiditas operasi jantung. Sistem ini telah mendapatkan
pengakuan yang cukup luas di Eropa, Amerika utara dan Asia(3,7).
Troponin mempunyai nilai prediktif yang baik terhadap terjadinya infark
miokard pasca BPAK. Pasien dengan nilai troponin I atau troponin T yang tinggi
preoperasi mempunyai kecenderungan menjadi infark miokard yang lebih tinggi pula
dibandingkan dengan pasien yang nilai troponin I dan troponin T yang normal(8).
Tinjauan kepustakaan ini dibuat untuk lebih mengetahui tentang infark miokard
pasca bedah pintas arteri koroner dan faktor- faktor predisposisi yang dapat
meningkatkan angka kejadiannya.

2
BAB II
BEDAH PINTAS ARTERI KORONER

Bedah pintas arteri koroner ( BPAK ) merupakan salah satu penanganan


intervensi dari penyakit jantung koroner ( PJK ), dengan cara membuat saluran baru
melewati bagian arteri coronaria yang mengalami penyempitan atau penyumbatan.
Operasi ini bertujuan untuk mengatasi terhambatnya aliran arteri coronaria akibat
adanya penyempitan ataupun penyumbatan ke otot jantung. Pemastian daerah yang
mengalami penyempitan ataupun penyumbatan telah dilakukan sebelumnya dengan
menggunakan kateterisasi arteri coronaria(1,2)
Bedah pintas arteri koroner (BPAK) merupakan terapi terencana terhadap pasien
yang terbukti secara angiografi menderita gangguan aterosklerosis koroner yang
signifikan. Pembedahan ini pertama kali dilakukan oleh Robert H. Goetz dan dua orang
asistennya pada awal 1960an. Tindakan BPAK terbukti efektif untuk menghilangkan
gejala angina dan memperpanjang harapan hidup pasien dengan penyakit jantung
koroner yang berat. Meskipun teknik pembedahan pada BPAK serta strategi proteksi
miokard saat pelaksanaan operasi mengalami kemajuan, namun angka rerata mortalitas
pasca BPAK masih tetap tinggi yakni berkisar sekitar 10 sampai 25%, keadaan tersebut
bergantung dari faktor risiko preoperatif(5,9).
Bedah pintas arteri koroner dilakukan dengan membuka dinding dada melalui
tulang sternum, selanjutnya dilakukan pemasangan pembuluh darah baru yang dapat
diambil dari arteri radialis atau arteri mamaria interna ataupun vena saphenous
tergantung pada kebutuhan, tehnik yang dipakai ataupun keadaaan anatomik pembuluh
darah pasien tersebut(3).
Awanya BPAK dilakukan dengan memakai mesin jantung paru, dengan cara ini
jantung tidak berdenyut setelah diberikan obat Cardioplegic, sebagai gantinya mesin
jantung paru akan bekerja mempertahankan sirkulasi napas dan sirkulasi darah selama
operasi berlangsung(3,6).
Sejak awal tahun 2000, telah diperkenalkan tehnik operasi tanpa mesin jantung
paru, sehingga jantung dan paru dapat berfungsi sebagai seperti biasa saat operasi
berlangsung. Metode ini banyak memberikan keuntungan, selain masa pemulihan lebih

3
cepat juga biaya operasi pun bisa ditekan. Tetapi tidak semua pasien yang memerlukan
operasi bedah pintas koroner dapat dilakukan dengan metode ini, tentunya tergantung
indikasi pada masing- masing pasien(3,10).

2.1 Indikasi Bedah pintas arteri koroner


Penyakit jantung koroner berkembang dari progresifitas atherosclerosis yang
menghasilkan obstruksi pada arteri koroner. Oleh karena itu diperlukan revaskularisasi
untuk memulihkan aliran darah jantung dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

Adapun indikasi untuk revaskularisasi miokard adalah sebagai berikut(6):


- Relief angina yang tidak responsif terhadap terapi medis.
- Aangina tidak stabil (angina saat istirahat) yang tidak responsif terhadap terapi
medis.
- Postinfarction angina, angina tidak stabil, atau iskemia akut dengan kriteria
elektrokardiografi setelah angioplasti perkutan.
- Komplikasi mekanik infark miokard.
- Gagal jantung kongestif dengan komplikasi iskemia miokard akut atau penyakit
arteri koroner berat.
- Syok kardiogenik setelah infark miokard.

Sedangkan indikasi anatomis ataupun fisiologis sebagai tambahan untuk revaskularisasi


miokard adalah:
- Stenosis arteri koroner utama kiri lebih dari 50%.
- Oklusi akut arteri koroner setelah angioplasti perkutan atau setelah pemasangan
stent.
- Penyakit arteri koroner yang mengenai tiga pembuluh darah dengan disfungsi
ventrikel kiri (fraksi ejeksi ventrikel kiri <50%).
- Anomali pembuluh darah koroner yang mungkin menjadi predisposisi untuk
kematian mendadak akibati oklusi koroner akut

4
American Heart Association(AHA)/ American College Of Cardiology(ACC)
membuat suatu klasifikasi untuk dilakukannya suatu bedah pintas arteri koroner seperti
yang dapat dilihat dari tabel 1(11)

Tabel 1. Guideline AHA/ACC untuk tindakan bedah pintas arteri koroner(11)

5
6
Tabel 2. Keterangan klasifikasi tindakan BPAK(12)

2.2 Tehnik operasi(1,3)


A. On pump coronary artery bypass surgery
Tehnik operasi dengan memakai mesin jantung paru, dengan cara ini jantung
tidak berdenyut setelah diberikan obat Cardioplegic, sebagai gantinya mesin
jantung paru akan bekerja mempertahankan sirkulasi napas dan sirkulasi darah
selama operasi berlangsung.
B. Off pump coronary artery bypass surgery
Operasi ini dilakukan saat jantung berdetak dan tidak memakai mesin jantung
paru. Metode ini banyak memberikan keuntungan, selain mengurangi perdarahan
dan infeksi masa pemulihan lebih cepat juga biaya operasi pun bisa ditekan.
C. Minimally Invasive Direct Coronary Artery Bypass Grafting
Tehnik operasi ini dengan membuat sayatan kecil pada dinding dada. Operasi
bisa berlangsung dengan atau tanpa mesin jantung paru. Keuntungan Minimally
Invasive Direct Coronary Artery Bypass Grafting dikarenakan insisinya kecil
maka penyembuhanyapun cepat, risiko infeksi kecil dan pendarahanya kurang

7
BAB III
INFARK MIOKARD PASCA BEDAH PINTAS ARTERI KORONER

3.1 Insiden infark miokard pasca bedah pintas arteri koroner


Infark miokard merupakan salah satu komplikasi pasca BPAK dan mempunyai
dampak klinis yang bervariasi. Angka kejadian infark miokard pasca BPAK berkisar
antara 5- 15 %. Onorati F dkk (2004) mendapatkan angka kejadian infark miokard pada
pasien pasien pasca BPAK sekitar 6,9 %(4,5).
Pasien yang mengalami infark miokard pasca BPAK mempunyai kecenderungan
untuk mengalami morbiditas karena gangguan fungsi jantung sehingga meningkatkan
lama waktu rawat dan tingginya angka mortalitas pasca operasi yaitu sekitar 10-25 %(5) .
Kerusakan sel miokard pada BPAK dapat disebabkan karena faktor yang
berhubungan dengan :
1. Graft : Oklusi graft, tertekuk atau terlalu teregangnya graft, embolisasi debris
dari aorta atau dari vena yang aterosklerotik, embolisasi udara intrakoroner,
trombosis koroner, stenosis pada lokosi anatomosis, atau spasme graft
2. Non graft : Trauma miokard karena manipulasi bedah, timbulnya fokus- fokus
nekrosis karena perfusi kardioplegi yang tidak merata ( proteksi miokard yang
tidak baik ), tidak lengkapnya revaskularisasi, peningkatan sistim simpatis, atau
karena kerusakan seluler yang disebabkan oleh mikroembolisme udara atau plak
yang ruptur(3,13).

3.2 Faktor Predisposisi


European System for Cardiac Operative Risk Evaluation ( EuroScore )
merupakan suatu standar yang mampu memprediksi mortalitas selama perawatan di
rumah sakit dan beberapa morbiditas operasi jantung. Sistem ini telah mendapatkan
pengakuan yang cukup luas di Eropa, Amerika utara dan Asia. Biancari F dkk (2006)
dalam suatu studinya mendapatkan bahwa EuroScore mampu memprediksi dengan baik

8
mortalitas selama perawatan dirumah sakit dan perpanjangan lama rawatan di rumah
sakit(7,14)
Sedangkan Baz NE dkk (2008) dalam suatu studinya mendapatkan bahwa nilai
EuroScore yang tinggi merupakan prediktor yang buruk selama 6 bulan pasca operasi
bedah pintas arteri koroner(15).

Tabel 3. European System for Cardiac Operative Risk Evaluation ( EuroScore )(7)

9
Onorati F dkk (2005) mendapatkan 7 faktor yang secara statistik bermakna untuk
memprediksi kemungkinan terjadinya infark miokard pasca BPAK: EuroSCORE lebih
dari 6, angina tidak stabil dengan perubahan EKG, klem silang aorta lebih dari 90 menit,
lama CPB lebih dari 180 menit, revaskularisasi yang tidak sempurna, perlunya
pemasangan IABP ( intra aortic ballon pump ) intraoperatif dan pemberian kardioplegi
anterograde/ retrograde(4).
Sementara itu Bojar RM dkk (2005) mendapatkan 6 faktor yang dapat
memprediksi timbulnya infark miokard pasca BPAK: left main atau diffuse three-vessel
disease, angina pektoris tidak stabil, fungsi ventrikel kiri yang buruk(LVEFP> 15
mmHg, ejection fraction rendah ), hipertrofi ventrikel kiri, prosedur endarterektomi
koroner, dan lamanya periode kelm silang aorta(16).
Angina pektoris tidak stabil adalah penyebab umum admisi emergensi ke rumah
sakit dan membutukan revaskularisasi secara urgent dan emergensi. Walaupun
perkembangan terapi non operatif telah mengalami kemajuan pesat, beberapa keadaan
memerlukan revaskularisasi dilakukan secara bedah. Keadaan tersebut adalah pada
kelainan yang difus, left main atau tripel vessel disease yang disertai gangguan fungsi
ventrikel atau pada single/ double vessel yang sulit dilakukan PTCA karena anatomi
yang tidak memungkinkan. Operasi pada pasien angina tidak stabil mempunyai
mortalitas paling tidak dua kali dibandingkan dengan angina pektoris stabil(3).
Penggunaan Cardiopulmonary Bypass ( CPB ) pada operasi jantung telah
diketahui menyebabkan injuri pada miokard. Injuri tersebut dapat disebabkan oleh
karena manipulasi jantung, pemberian kardioplegi, pemasangan klem silang aorta
sehingga terjadinya iskemia global dan kerusakan akibat reperpusi, hipotermi dan karena
penggunaan mesin CPB itu sendiri. Namun demikian BPAK dengan menggunakan
CPB( on pump) masih menjadi prosedur umum. Saat ini BPAK secara on pump
dilakukan pada operasi untuk iskemik miokard akut dan untuk pasien- pasien dengan
risiko tinggi. Hal ini bertujuan untuk mempreservasi aliran koroner selama operasi,
mengurangi beban jantung dan menjamin perpusi sistemik yang baik. Namun demikian
beberapa penelitian telah membuktikan korelasi antara lamanya CPB dan klem silang
aorta terhadap kerusakan otot jantung. Semakin lama pemasangan klem silang aorta dan
CPB semakin tinggi pula biomarker terhadap kerusakan otot jantung yang dideteksi(3,6).

10
Kardioplegi adalah salah satu aspek penting dalam BPAK secara on pump untuk
proteksi miokard. Pemberian kardioplegi dapat dilakukan secara antegrade, retrograde
atau kombinasi keduanya. Manfaat pemberian kardioplegi secara retrograde dilaporkan
berbeda. Sebagian melaporkan penggunaan kardioplegi secara retrograde yang
dikombinasikan dengan anterograde meningkatkan kemampuan proteksi miokard karena
dianggap mampu mendistribusikan cairan kardioplegi lebih baik terutama pada stenosis
left main dan pada area dengan stenosis koroner yang kritikal atau total tanpa adanya
kolateral yang baik(3,17).
Namun demikian, penulis lain menemukan pemberian kardioplegi secara
retrograde kurang bermakna dalam proteksi miokard selama klem silang aorta sehingga
tidak menggunakannya secara rutin, hanya pada kasus- kasus tertentu saja dimana
kolateralisasi tidak baik. Pemberian kardioplegi secara retrograde juga tidak seluruhnya
menjamin perfusi ke ventrikel kanan(3,17).
Bedah pintas arteri koroner tanpa menggunakan CPB ( tehnik off pump coronary
artery bypass,OPCAB ) saat ini telah berkembang sangat luas baik dari segi tehnik,
teknologi maupun dari segi jumlah dan proporsinya dibandingkan dengan on pump.
OPCAB bertujuan untuk mengurangi respon inflamasi sistemik dan efek-efek
merugikan lainnya seperti yang telah disebutkan di atas. Pro dan kontra terhadap tehnik
ini terutama terhadap hal- hal yang menyangkut kualitas anastomosis dalam jangka
panjang, penggunaannya pada pasien- pasien risiko tinggi dan jumlah anastomosis yang
diinginkan ( revaskularisasi lengkap ) mengingat gangguan hemodinamik yang mungkin
terjadi dan tehnik yang sulit untuk target koroner daerah inferior dan lateral(3,6).
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan beberapa keunggulan OPCAB
dibandingkan on-pump dari morbiditas dan mortalitas bahkan untuk pasien dengan
risiko tinggi. Salah satunya adalah lebih rendahnya nilai injuri miokard pada OPCAB.
Hal tersebut menunjukkan kemungkinan kerusakan otot jantung yang lebih rendah pada
OPCAB. Kesimpulan tersebut sejalan dengan lebih rendahnya tingkat morbiditas dan
mortalitas OPCAB walaupun pada beberapa penelitian kurang bermakna.
Revaskularisasi lengkap adalah salah satu tujuan utama BPAK. Pentingnya
revaskularisasi yang lengkap dibuktikan dari berbagai penelitian. Namun demikian tidak
semua pasien ideal untuk dilakukan revaskularisasi lengkap. Diameter koroner yang

11
terlalu kecil ( 1mm ), stenosis yang difus, keinginan untuk menggunakan CPB sesingkat
mungkin terutama pada operasi pada risiko tinggi, dan viabilitas miokard menjadi
pertimbangan revaskularisasi dalam BPAK(3,6).

3.3 Enzim jantung


Kejadian infark miokard pasca BPAK sering tanpa disertai keluhan dan
penemuan EKG yang khas. Hal ini menyebabkan pentingnya pemeriksaan biomarker
untuk identifikasi hal tersebut. Beberapa biomarker telah diteliti baik untuk mendeteksi
maupun untuk memprediksi kejadian infark miokard pasca BPAK.

A.Creatine Kinase Myocardial Band ( CKMB )


Creatine Kinase Myocardial Band seringkali digunakan untuk mendeteksi infark
miokard pasca BPAK. Kenaikan enzim creatine kinase diatas 1000 IU dengan CK-MB
diatas 100 IU/L biasanya berasosiasi dengan infark miokard. Mayoritas pasien yang
menjalani operasi jantung sebagian besar menunjukkan peninggian kadar CK-MB dalam
6 sampai 8 jam dan kemudian menjadi normal dalalm 2 sampai 3 hari. Kenaikan
tersebut dapat disebabkan karena atriotomi, ventrikulotomi, trauma miokard, reperpusi
injuri terutama pada daerah yang iskemik, atau karena autotranfusi darah dari
mediastinal. Sebaliknya, penegakan diagnosis hanya dengan CK-MB saja ternyata
dilaporkan gagal mengidentifikasi hingga 40 % pasein infark miokard pasca operasi
yang dilalkukan otopsi. Hal tersebut menunjukkan kurangnya korelasi kadar CK-MB
saja dengan beratnya infark. Walaupun demikian, CK-MB masih mempunyai nilai
prognostik yang cukup baik bila dikombinasikan dengan EKG(3)
Setelah ditemukannya biomarker yang lebih sensitif dan spesifik yaitu cardiac
troponin T (cTnT) dan I (cTnI) maka European Society of Cardiology dan American
College of Cardiology menyetujui bahwa cardiac troponin T (cTnT) dan I (cTnI) bisa
digunakan untuk diagnosis infark miokard menggantikan CK-MB(18).

12
B.Troponin I dan T
Troponin dan tropomyosin adalah kompleks protein yang mengatur interaksi
kalsium dengan actin dan myosin pada jantung dan otot rangka. Ada tiga unit protein
yang terdapat pada kompleks troponin yaitu: troponin I, troponin T dan troponin C.
Cardiac troponin C tidak digunakan sebagai penanda injuri miokard karena selain pada
otot jantung ditemukan juga pada otot rangka sedangkan troponon I yang memiliki tiga
isoform dan salah satu isoformnya (cTnI) ditemukan hanya pada jaringan miokard. Hal
ini menjadikannya marker spesifik untuk kerusakan otot jantung. Cardiac troponin I
tidak pernah ditemukan pada populasi yang sehat, pelari maraton, populasi dengan
penyakit otot atau pada pasien yang menjalani operasi selain operasi jantung. Kenaikan
enzim ini bahkan tidak terdeteksi pada saat sternotomi(3,19).
Beberapa peneliti telah membuktikan cTnI mempunyai nilai diagnostik dan
prognostik yang sensitif dan spesifik untuk untuk infark miokard post BPAK. Kadar
cTnI pasca BPAK yang mungkin mengindikasikan terjadinya infark miokard adalah di
atas 3,7 µg/L setelah operasi dan 2,5 µg/L pada 24 jam kemudian. Onorati F dkk(2005)
mendapatkan bahwa nilai troponin T > 3,1 µg/L 12 jam setelah operasi bedah pintas
arteri koroner mengindikasikan adanya infark miokard(4).
Thielman M dkk (2005) dalam penelitian prospektifnya terhadap 1405 pasien
menunjukkan nilai prognostik cTnI preoperasi. Penulis tersebut membuktikan bahwa
semakin tinggi nilai cTnI yang diperiksa 24 jam sebelum operasi maka semakin tinggi
pula presentasi pasien yang mengalami infark pasca perioperasi. Pasien dengan nilai
cTnI <0,1 ng/ml mempunyai angka infark miokard perioperasi 5,9 % sedang yang
dengan nilai 0,11-1,5 ng/ml dan yang lebih dari 1,5 ng/ml mempunyai kejadian infark
miokard perioperasi masing- masing 8,6 % dan 17,2 %(8).
Troponin lain yang digunakan untuk mendeteksi kerusakan otot jantung adalah
troponin T (cTnT). Seperti cTnI, cTnT memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang
lebih baik dibandingkan CK-MB.Penggunaan cTnT untuk mengetahui derajad
kerusakan miokardium setelah operasi termasuk pula untuk mendeteksi infark miokard
seawal mungkin telah banyak diteliti melalui beberapa kali pengukuran baik sebelum,
saat, dan setelah operasi. Nilai pada enam jam pertama setelah operasi ternyata sudah

13
dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya infark miokard. Namun pasca BPAK nilai
baku yang digunakan masih dicari.
Harjosworo A (2006) mendapatkan nilai troponin T 1,01 ng/ml dan 2,13 ng/ml
serta 2,50 ng/ml berturut turut 6,24 dan 36 jam pasca operasi bedah pintas arteri koroner
mempunnyai korelasi yang tinggi dengan dignosis infark miokard(3).
Sedangkan Botha dkk (2004) dalam suatu studi meta analisisnya pada 17
penelitian mengenai kadar cTnT pasca BPAK didapatkan bahwa kadar troponin T diatas
1ng/ml memiliki korelasi yang tinggi terhadap infark miokard(20)

Gambar 1. Komplek Cardiac Troponin(19)

14
3.4 Kriteria Diagnostik
Peningkatan dari enzim-enzim jantung setelah dilakukan tindakan BPAK
mengindikasikan adanya nekrosis miokardial dan keadaan ini dihubungkan dengan
prognosis yang jelek pada pasien pasca BPAK(21).
Pada studi klinis menunjukkan bahwa peningkatan CKMB 5,10, dan 20 kali
diatas normal setelah dilakukan tindakan BPAK dihubungkan dengan prognosis yang
jelek, demikian juga didapatkan dengan peningkatan troponin T(21).
Tetapi walaupun demikian peningkatan enzim jantung saja belum bisa digunakan
sebagai sarana diagnostik untuk infark miokard pasca BPAK.. European Society of
Cardiology pada tahun 2007 menyatakan bahwa infark miokard pasca BPAK dapat
ditegakkan apabila ditemukan peningkatan enzim jantung diatas lima kali normal
persentil sembilan puluh sembilan dan didapatkan satu atau lebih tanda-tanda lain yaitu
adanya(21):
1. Gelombang Q patologis yang baru
2. LBBB baru
3. Adanya oklusi dari graft yang dilihat berdasarkan angiografi
4. Kehilangan miokardium yang dilihat berdasarkan pemeriksaan imaging

15
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Infark miokard pasca bedah pintas arteri koroner meningkatkan angka mortalitas
dadan morbiditas pasca operasi.
2. Penggunaan mesin jantung paru pada operasi jantung telah diketahui
menyebabkan efek negatif akibat iskemia global pada jantung, injuri
reperfusi,pemberian kardioplegi dan respon inflamasi sistemik
3. European System for Cardiac Operative Risk Evaluation ( EuroScore )
merupakan suatu standar yang mampu memprediksi mortalitas dan morbiditas
operasi jantung
4. CTnT mampu mengidentifikasi terjjadinya infark miokard pasca BPAK 6 jam
pasca operasi. Nilai yang didapat untuk diagnosis adalah diatas 1 ng/ml.

4.2 Saran
1. Perlunya diagnosis dini infark miokard pasca BPAK agar dapat dilakukan
penatalaksanaan yang cepat sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas.
2. EuroScore sebaiknya digunakan secara rutin untuk menilai risiko BPAK.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Cardiac Surgery at the University of Michigan. Coronary artery bypass graft.


Diakses dari http://surgery.med.umich.edu/cardiac/
2. Feriyati L. CABG dengan menggunakan vena saphenous, arteri mamaria interna
dan arteri radialis. Diakses dari http://library.usu.ac.id.
3. Hardjosworo ABA. Insiden infark miokard perioperatif dibagian bedah jantung
rumah sakit pusat jantung harapan kita serta peran troponin T sebagai faktor
diagnostik dan prognostik. Diakses dari http://www.digilib.ui.ac.id/
4. Onorati F et al. Determinant and prognosis of myocardial damage after coronary
artery bypass grafting. Ann Thorac Surg 2005;79:837-845
5. Cundiff DK. Coronary artery bypass grafting. Diakses dari
http://www.medscape.com
6. Higgins RSD, Perez RA, Tamayo. Coronary artery Bypass grafting using
cardiopulmonary bypass. In: Master of Cardiothoracic Surgery. Ed: Kaiser RL.
Lippincott Williams & Wilkins. Virginia.2007:438-48.
7. Swanton RH, Banerjee S. Coronary artery desease.In: Swanton’s Cardiology.6 th
edition. Lackwell Publishing. Massachusetts.2008:159-254.
8. Thielmen M et al. Diagnostic discrimination between graft-related and non-graft
related perioperative myocardial infarction with cardiac troponin I after coronary
artery bypass surgery. Eur Heart J;2005;26:2440-7.
9. Coronary artery bypass surgery. Diakses dari http://en.wikipedia.org
10. Song HK, Puskas JD. Off-pump coronary artery bypass surgery. In: Master of
Cardiothoracic Surgery. Ed: Kaiser RL. Lippincott Williams & Wilkins.
Virginia.2007:455-65.
11. Brown ML, Sundt TM, Gersh BJ. Indication for revasculartation. In: Cardiac
surgery in the adult. Ed: Chon LH.3 rd edition. McGrawHill. Virginia.2008:551-
72.
12. Bedah toraks kardiovasular indonesia. Indikasi tindakan bedah CABG. Diakses
http://www.bedahtkv.com/

17
13. Asim A et al. Prospective, Comprehensive Assessment of Cardiac Troponin T
Testing After Coronary Artery Bypass Graft Surgery. Circulation 2009;120;843-
850
14. Biancari F et al. EuroSCORE Predicts Immediate and Late Outcome After
Coronary Artery Bypass Surgery. Ann Thorac Surg 2006;82:57– 61
15. Baz NE. Predicts poor health related physical functioning six months post-
coronary artery bypass graft surgery.Journals of cardiovascular surgery
2008.49:663-672.
16. Bojar RM, Warner KG. Perioperative myocardial infarction. In: Manual of
perioperative care in cardiag surgery.3rd edition. Balcwell Science, Massachusetts
2005,:256-9
17. Cardioplegi. Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Cardioplegia
18. Babuin L, Jaffe AS.Troponin: the biomarker of choice for the detection of
cardiac unjury.CMAJ 2005;173(10):1191-202.
19. Chaikhouni A, Zaim A. Troponin I levels after coronary bypass operations in
aleppo,Syria. Heart Views 2007;8(1):6-9.
20. Botha P, Nagarajan DV, Lewis Ps, Dunning j. Can cardiac troponins be used to
diagnosed a perioperative myocardial infarction post cardiac surgery? Interactive
cardiovasc thorac surg 2004;3:442-9.
21. Thygesen K et al. Universal definition of myocardial infarction. European Heart
Journal (2007) 28, 2525–2538

18
19

Anda mungkin juga menyukai