PENDAHULUAN
1
pemasangan IABP ( intra aortic ballon pump ) intraoperatif dan pemberian kardioplegi
anterograde/ retrograde(4)
Penggunaan mesin jantung paru pada operasi jantung telah diketahui
menyebabkan efek negatif akibat iskemia global pada jantung, injuri
reperfusi,pemberian kardioplegi dan respon inflamasi sistemik(6).
European System for Cardiac Operative Risk Evaluation ( EuroScore )
merupakan suatu standar yang mampu memprediksi mortalitas selama perawatan di
rumah sakit dan beberapa morbiditas operasi jantung. Sistem ini telah mendapatkan
pengakuan yang cukup luas di Eropa, Amerika utara dan Asia(3,7).
Troponin mempunyai nilai prediktif yang baik terhadap terjadinya infark
miokard pasca BPAK. Pasien dengan nilai troponin I atau troponin T yang tinggi
preoperasi mempunyai kecenderungan menjadi infark miokard yang lebih tinggi pula
dibandingkan dengan pasien yang nilai troponin I dan troponin T yang normal(8).
Tinjauan kepustakaan ini dibuat untuk lebih mengetahui tentang infark miokard
pasca bedah pintas arteri koroner dan faktor- faktor predisposisi yang dapat
meningkatkan angka kejadiannya.
2
BAB II
BEDAH PINTAS ARTERI KORONER
3
cepat juga biaya operasi pun bisa ditekan. Tetapi tidak semua pasien yang memerlukan
operasi bedah pintas koroner dapat dilakukan dengan metode ini, tentunya tergantung
indikasi pada masing- masing pasien(3,10).
4
American Heart Association(AHA)/ American College Of Cardiology(ACC)
membuat suatu klasifikasi untuk dilakukannya suatu bedah pintas arteri koroner seperti
yang dapat dilihat dari tabel 1(11)
5
6
Tabel 2. Keterangan klasifikasi tindakan BPAK(12)
7
BAB III
INFARK MIOKARD PASCA BEDAH PINTAS ARTERI KORONER
8
mortalitas selama perawatan dirumah sakit dan perpanjangan lama rawatan di rumah
sakit(7,14)
Sedangkan Baz NE dkk (2008) dalam suatu studinya mendapatkan bahwa nilai
EuroScore yang tinggi merupakan prediktor yang buruk selama 6 bulan pasca operasi
bedah pintas arteri koroner(15).
Tabel 3. European System for Cardiac Operative Risk Evaluation ( EuroScore )(7)
9
Onorati F dkk (2005) mendapatkan 7 faktor yang secara statistik bermakna untuk
memprediksi kemungkinan terjadinya infark miokard pasca BPAK: EuroSCORE lebih
dari 6, angina tidak stabil dengan perubahan EKG, klem silang aorta lebih dari 90 menit,
lama CPB lebih dari 180 menit, revaskularisasi yang tidak sempurna, perlunya
pemasangan IABP ( intra aortic ballon pump ) intraoperatif dan pemberian kardioplegi
anterograde/ retrograde(4).
Sementara itu Bojar RM dkk (2005) mendapatkan 6 faktor yang dapat
memprediksi timbulnya infark miokard pasca BPAK: left main atau diffuse three-vessel
disease, angina pektoris tidak stabil, fungsi ventrikel kiri yang buruk(LVEFP> 15
mmHg, ejection fraction rendah ), hipertrofi ventrikel kiri, prosedur endarterektomi
koroner, dan lamanya periode kelm silang aorta(16).
Angina pektoris tidak stabil adalah penyebab umum admisi emergensi ke rumah
sakit dan membutukan revaskularisasi secara urgent dan emergensi. Walaupun
perkembangan terapi non operatif telah mengalami kemajuan pesat, beberapa keadaan
memerlukan revaskularisasi dilakukan secara bedah. Keadaan tersebut adalah pada
kelainan yang difus, left main atau tripel vessel disease yang disertai gangguan fungsi
ventrikel atau pada single/ double vessel yang sulit dilakukan PTCA karena anatomi
yang tidak memungkinkan. Operasi pada pasien angina tidak stabil mempunyai
mortalitas paling tidak dua kali dibandingkan dengan angina pektoris stabil(3).
Penggunaan Cardiopulmonary Bypass ( CPB ) pada operasi jantung telah
diketahui menyebabkan injuri pada miokard. Injuri tersebut dapat disebabkan oleh
karena manipulasi jantung, pemberian kardioplegi, pemasangan klem silang aorta
sehingga terjadinya iskemia global dan kerusakan akibat reperpusi, hipotermi dan karena
penggunaan mesin CPB itu sendiri. Namun demikian BPAK dengan menggunakan
CPB( on pump) masih menjadi prosedur umum. Saat ini BPAK secara on pump
dilakukan pada operasi untuk iskemik miokard akut dan untuk pasien- pasien dengan
risiko tinggi. Hal ini bertujuan untuk mempreservasi aliran koroner selama operasi,
mengurangi beban jantung dan menjamin perpusi sistemik yang baik. Namun demikian
beberapa penelitian telah membuktikan korelasi antara lamanya CPB dan klem silang
aorta terhadap kerusakan otot jantung. Semakin lama pemasangan klem silang aorta dan
CPB semakin tinggi pula biomarker terhadap kerusakan otot jantung yang dideteksi(3,6).
10
Kardioplegi adalah salah satu aspek penting dalam BPAK secara on pump untuk
proteksi miokard. Pemberian kardioplegi dapat dilakukan secara antegrade, retrograde
atau kombinasi keduanya. Manfaat pemberian kardioplegi secara retrograde dilaporkan
berbeda. Sebagian melaporkan penggunaan kardioplegi secara retrograde yang
dikombinasikan dengan anterograde meningkatkan kemampuan proteksi miokard karena
dianggap mampu mendistribusikan cairan kardioplegi lebih baik terutama pada stenosis
left main dan pada area dengan stenosis koroner yang kritikal atau total tanpa adanya
kolateral yang baik(3,17).
Namun demikian, penulis lain menemukan pemberian kardioplegi secara
retrograde kurang bermakna dalam proteksi miokard selama klem silang aorta sehingga
tidak menggunakannya secara rutin, hanya pada kasus- kasus tertentu saja dimana
kolateralisasi tidak baik. Pemberian kardioplegi secara retrograde juga tidak seluruhnya
menjamin perfusi ke ventrikel kanan(3,17).
Bedah pintas arteri koroner tanpa menggunakan CPB ( tehnik off pump coronary
artery bypass,OPCAB ) saat ini telah berkembang sangat luas baik dari segi tehnik,
teknologi maupun dari segi jumlah dan proporsinya dibandingkan dengan on pump.
OPCAB bertujuan untuk mengurangi respon inflamasi sistemik dan efek-efek
merugikan lainnya seperti yang telah disebutkan di atas. Pro dan kontra terhadap tehnik
ini terutama terhadap hal- hal yang menyangkut kualitas anastomosis dalam jangka
panjang, penggunaannya pada pasien- pasien risiko tinggi dan jumlah anastomosis yang
diinginkan ( revaskularisasi lengkap ) mengingat gangguan hemodinamik yang mungkin
terjadi dan tehnik yang sulit untuk target koroner daerah inferior dan lateral(3,6).
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan beberapa keunggulan OPCAB
dibandingkan on-pump dari morbiditas dan mortalitas bahkan untuk pasien dengan
risiko tinggi. Salah satunya adalah lebih rendahnya nilai injuri miokard pada OPCAB.
Hal tersebut menunjukkan kemungkinan kerusakan otot jantung yang lebih rendah pada
OPCAB. Kesimpulan tersebut sejalan dengan lebih rendahnya tingkat morbiditas dan
mortalitas OPCAB walaupun pada beberapa penelitian kurang bermakna.
Revaskularisasi lengkap adalah salah satu tujuan utama BPAK. Pentingnya
revaskularisasi yang lengkap dibuktikan dari berbagai penelitian. Namun demikian tidak
semua pasien ideal untuk dilakukan revaskularisasi lengkap. Diameter koroner yang
11
terlalu kecil ( 1mm ), stenosis yang difus, keinginan untuk menggunakan CPB sesingkat
mungkin terutama pada operasi pada risiko tinggi, dan viabilitas miokard menjadi
pertimbangan revaskularisasi dalam BPAK(3,6).
12
B.Troponin I dan T
Troponin dan tropomyosin adalah kompleks protein yang mengatur interaksi
kalsium dengan actin dan myosin pada jantung dan otot rangka. Ada tiga unit protein
yang terdapat pada kompleks troponin yaitu: troponin I, troponin T dan troponin C.
Cardiac troponin C tidak digunakan sebagai penanda injuri miokard karena selain pada
otot jantung ditemukan juga pada otot rangka sedangkan troponon I yang memiliki tiga
isoform dan salah satu isoformnya (cTnI) ditemukan hanya pada jaringan miokard. Hal
ini menjadikannya marker spesifik untuk kerusakan otot jantung. Cardiac troponin I
tidak pernah ditemukan pada populasi yang sehat, pelari maraton, populasi dengan
penyakit otot atau pada pasien yang menjalani operasi selain operasi jantung. Kenaikan
enzim ini bahkan tidak terdeteksi pada saat sternotomi(3,19).
Beberapa peneliti telah membuktikan cTnI mempunyai nilai diagnostik dan
prognostik yang sensitif dan spesifik untuk untuk infark miokard post BPAK. Kadar
cTnI pasca BPAK yang mungkin mengindikasikan terjadinya infark miokard adalah di
atas 3,7 µg/L setelah operasi dan 2,5 µg/L pada 24 jam kemudian. Onorati F dkk(2005)
mendapatkan bahwa nilai troponin T > 3,1 µg/L 12 jam setelah operasi bedah pintas
arteri koroner mengindikasikan adanya infark miokard(4).
Thielman M dkk (2005) dalam penelitian prospektifnya terhadap 1405 pasien
menunjukkan nilai prognostik cTnI preoperasi. Penulis tersebut membuktikan bahwa
semakin tinggi nilai cTnI yang diperiksa 24 jam sebelum operasi maka semakin tinggi
pula presentasi pasien yang mengalami infark pasca perioperasi. Pasien dengan nilai
cTnI <0,1 ng/ml mempunyai angka infark miokard perioperasi 5,9 % sedang yang
dengan nilai 0,11-1,5 ng/ml dan yang lebih dari 1,5 ng/ml mempunyai kejadian infark
miokard perioperasi masing- masing 8,6 % dan 17,2 %(8).
Troponin lain yang digunakan untuk mendeteksi kerusakan otot jantung adalah
troponin T (cTnT). Seperti cTnI, cTnT memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang
lebih baik dibandingkan CK-MB.Penggunaan cTnT untuk mengetahui derajad
kerusakan miokardium setelah operasi termasuk pula untuk mendeteksi infark miokard
seawal mungkin telah banyak diteliti melalui beberapa kali pengukuran baik sebelum,
saat, dan setelah operasi. Nilai pada enam jam pertama setelah operasi ternyata sudah
13
dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya infark miokard. Namun pasca BPAK nilai
baku yang digunakan masih dicari.
Harjosworo A (2006) mendapatkan nilai troponin T 1,01 ng/ml dan 2,13 ng/ml
serta 2,50 ng/ml berturut turut 6,24 dan 36 jam pasca operasi bedah pintas arteri koroner
mempunnyai korelasi yang tinggi dengan dignosis infark miokard(3).
Sedangkan Botha dkk (2004) dalam suatu studi meta analisisnya pada 17
penelitian mengenai kadar cTnT pasca BPAK didapatkan bahwa kadar troponin T diatas
1ng/ml memiliki korelasi yang tinggi terhadap infark miokard(20)
14
3.4 Kriteria Diagnostik
Peningkatan dari enzim-enzim jantung setelah dilakukan tindakan BPAK
mengindikasikan adanya nekrosis miokardial dan keadaan ini dihubungkan dengan
prognosis yang jelek pada pasien pasca BPAK(21).
Pada studi klinis menunjukkan bahwa peningkatan CKMB 5,10, dan 20 kali
diatas normal setelah dilakukan tindakan BPAK dihubungkan dengan prognosis yang
jelek, demikian juga didapatkan dengan peningkatan troponin T(21).
Tetapi walaupun demikian peningkatan enzim jantung saja belum bisa digunakan
sebagai sarana diagnostik untuk infark miokard pasca BPAK.. European Society of
Cardiology pada tahun 2007 menyatakan bahwa infark miokard pasca BPAK dapat
ditegakkan apabila ditemukan peningkatan enzim jantung diatas lima kali normal
persentil sembilan puluh sembilan dan didapatkan satu atau lebih tanda-tanda lain yaitu
adanya(21):
1. Gelombang Q patologis yang baru
2. LBBB baru
3. Adanya oklusi dari graft yang dilihat berdasarkan angiografi
4. Kehilangan miokardium yang dilihat berdasarkan pemeriksaan imaging
15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Infark miokard pasca bedah pintas arteri koroner meningkatkan angka mortalitas
dadan morbiditas pasca operasi.
2. Penggunaan mesin jantung paru pada operasi jantung telah diketahui
menyebabkan efek negatif akibat iskemia global pada jantung, injuri
reperfusi,pemberian kardioplegi dan respon inflamasi sistemik
3. European System for Cardiac Operative Risk Evaluation ( EuroScore )
merupakan suatu standar yang mampu memprediksi mortalitas dan morbiditas
operasi jantung
4. CTnT mampu mengidentifikasi terjjadinya infark miokard pasca BPAK 6 jam
pasca operasi. Nilai yang didapat untuk diagnosis adalah diatas 1 ng/ml.
4.2 Saran
1. Perlunya diagnosis dini infark miokard pasca BPAK agar dapat dilakukan
penatalaksanaan yang cepat sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas.
2. EuroScore sebaiknya digunakan secara rutin untuk menilai risiko BPAK.
16
DAFTAR PUSTAKA
17
13. Asim A et al. Prospective, Comprehensive Assessment of Cardiac Troponin T
Testing After Coronary Artery Bypass Graft Surgery. Circulation 2009;120;843-
850
14. Biancari F et al. EuroSCORE Predicts Immediate and Late Outcome After
Coronary Artery Bypass Surgery. Ann Thorac Surg 2006;82:57– 61
15. Baz NE. Predicts poor health related physical functioning six months post-
coronary artery bypass graft surgery.Journals of cardiovascular surgery
2008.49:663-672.
16. Bojar RM, Warner KG. Perioperative myocardial infarction. In: Manual of
perioperative care in cardiag surgery.3rd edition. Balcwell Science, Massachusetts
2005,:256-9
17. Cardioplegi. Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Cardioplegia
18. Babuin L, Jaffe AS.Troponin: the biomarker of choice for the detection of
cardiac unjury.CMAJ 2005;173(10):1191-202.
19. Chaikhouni A, Zaim A. Troponin I levels after coronary bypass operations in
aleppo,Syria. Heart Views 2007;8(1):6-9.
20. Botha P, Nagarajan DV, Lewis Ps, Dunning j. Can cardiac troponins be used to
diagnosed a perioperative myocardial infarction post cardiac surgery? Interactive
cardiovasc thorac surg 2004;3:442-9.
21. Thygesen K et al. Universal definition of myocardial infarction. European Heart
Journal (2007) 28, 2525–2538
18
19