Anda di halaman 1dari 82

BAB I PENDAHULUAN

Ester diturunkan dari asam karboksilat. Sebuah asam karboksilat mengandung gugus
-COOH, dan pada sebuah ester hidrogen pada gugus ini digantikan dengan sebuah gugus
hidrokarbon dari berbagai jenis. Gugus ini bisa berupa gugus alkil seperti metil atau etil, atau
gugus yang mengandung sebuah cincin benzen seperti fenil.

Untuk ester sederhana, pemberian namanya didasarkan pada nama trivial asam
karboksilatnya. Tabel 2.1 menunjukkan contoh trivial beberapa ester.

Tabel 2.1 Nama Trivial Beberapa Ester

Nama Trivial As.


No Rumus Struktur Nama Trivial Ester Karboksilat

1 H-CO-O-CH3 metil formiat asam formiat


2 CH3-CO-O-CH3 metil asetat asam asetat
3 CH3-CH2 -CO-O-CH2-CH3 etil propionat asam propionat
4 CH3-(CH2)2 -CO-O-CH3 metil butirat asam butirat
5 CH3-(CH2)3-CO-O-CH2-CH3 etil valerat asam valerat

Bagian dari gugus ester yang mengandung gugus karbonil berasal dari asam
karboksilat , sedangkan gugusan yang terikat pada oksigen berasal dari alkohol atau fenol.
Ester yang lebih kompleks menggunakan tata nama IUPAC , yaitu dengan nama alikil
alkanoat . Alkil berasal dari gugus alcohol dan alkanoat berasal dari gugus karboksilat.

RUMUS UMUM :

1
Rantai induk ester adalah rantai terpanjang yang mengandung gugus ester (-
COOR’). Rantai alkil atau gugus lain yang terikat pada rantai induk dinamakan rantai cabang.
Penomoran rantai induk dimulai dari salah satu ujung sedemikian sehingga atom C pada
gugus ester mendapatkan nomor terkecil, diberi akhirn -OAT, dari nama rantai
hidrokarbonnya. Contoh penamaan beberapa senyawa ester secara IUPAC adalah sebagai
berikut :

1. CH3 CH2 C OCH2 CH3 : Etil Propanoat

2
2. CH3 C O CH(CH3)2 : isopropyl etanoat

O CH3

3. CH3 (CH2)3 C OCH2 CH CH3 : isobutyl pentanoat

a. Isomeri pada Ester


Isomeri rantai dan posisi pada ester dimulai dari suku ketiga, yaitu yang memiliki
tiga atom karbon (C3H6O2).

O O

CH3 C O CH3 H C O CH2 CH3


(metil etanoat) (etil metanoat)

Isomer ester berikutnya adalah isomer dari C4H8O2, yaitu sebagai berikut
O O

CH3 CH2 C O CH3 CH3 C O CH2 CH3

(metal propanoat) (etil etanoat)

O O

H C O CH2 CH2 CH3 H C O CH CH3

CH3
(propil metanoat) (isopropil metanoat)

b. Isomer Fungsi antara Asam Karboksilat dan Ester

3
Asam Karboksilat dan Ester mempunyai rumus umum molekul yang sama, yaitu
CnH2nO2, tetapi mengandung gugus fungsi yang berbeda. Asam karboksilat dan Ester yang
bersesuaian merupakan isomer fungsi. Contohnya senyawa dengan rumus molekul C 4H8O2
dapat berupa asam karboksilat atau ester. Sebagai asam karboksilat C 4H8O2 mempunyai 2
isomer dan sebagai ester mempunyai 4 isomer.

Terdapat beberapa Reaksi Pembuatan dan Reaksi Senyawa. Diantaranya adalah


Pembuatan, Ester dari reaksi Asam Karboksilat dengan Alkohol dalam suasana asam,
Pembuatan Ester Reaksi Perak Karboksilat dengan Alkil Halida, Pembuatan Ester dengan
Reaksi Asil Klorida (Klorida Asam) dengan Alkohol, Pembuatan Ester dari Reaksi Anhidrida
Asam Alkanoat dengan Alkohol, Hidrolisis Menggunakan Air Atau Asam Encer, Hidrolisis
menggunakan Basa Encer, Hidrolisis ester-ester kompleks untuk membuat sabun.

4
BAB II ISI
Alkil Alkanoat/Ester

Pengertian ester
Ester diturunkan dari asam karboksilat. Sebuah asam karboksilat mengandung gugus
-COOH, dan pada sebuah ester hidrogen pada gugus ini digantikan dengan sebuah gugus
hidrokarbon dari berbagai jenis. Gugus ini bisa berupa gugus alkil seperti metil atau etil, atau
gugus yang mengandung sebuah cincin benzen seperti fenil.

Ester dapat terhidrolisis dengan pengaruh asam membentuk alkohol dan asam
karboksilat. Reaksi hidrolisis tersebut merupakan kebalikan dari pengesteran. Disini senyawa
karbon mengikat gugus fungsi –COOR adalah alkil alkanoat . Ester diturunkan dari alkohol
dan asam karboksilat. Untuk ester turunan dari asam karboksilat paling sederhana, nama-
nama tradisional digunakan, seperti formate, asetat, propionate, dan butirat.

Agaknya ester yang paling lazim adalah etil asetat, CH3CO2CH2CH3, suatu pelarut
cat dan cat kuku maupun pelarut untuk perekat. Etil asetat dan ester lain dengan sepuluh
karbon atau kurang merupakan suatu cairan yang mudah menguap dengan bau enak yang
mirip dengan buah-buahan dan sering dijumpai dalam buah-buahan dan bunga-bungaan.
Banyak ester, baik yang dari alam maupun dibuat oleh manusia, yang digunakan sebagai
bahan penyedap(flavoring agent). Bau dan citarasa dari buah-buahan tertentu dapat
disebabkan oleh beberapa ester. Miisalnya etil asetat, n-butil asetat, dan n-pentil asetat
semuanya merupakan cita rasa dari pisang-pisang.

Ester yang terdapat dari alam yang terbuat dari asam karbiksilat berantai-panjang
dan alkohol berantai-panjang disebut lilin(janganlah dikacaukan lilin dengan bermacam
hidrokarbon , seperti lilin parafin). Kebanyakan bahan yang disebut lilin biasanya adalah
campuran dua ester atau lebih dan zat-zat lain. Campuran semacam itu merupakan zat padat
yang mudah meleleh, dan jangka leleh yang lebar(40-900C). bila dicampur dengan pelarut
organik tertentu, dapatlah mudah duoleskan sebagai salutan pelindung. Misalnya, carnauba
wax digunakan secara meluas sebagai pemoles mobil dan lantai.

5
Ester dari asam karboksilat rendah berat molekul yang tidak berwarna, cairan mudah
menguap dengan bau yang menyenangkan, sedikit larut dalam air. Banyak yang bertanggung
jawab atas aroma dan rasa bunga dan buah-buahan misalnya, asetat isopentyl hadir dalam
pisang, metil salisilat dalam wintergreen , dan etil butirat dalam nanas. Ini dan lainnya ester
volatile dengan bau khas digunakan dalam rasa sintetis, parfum, dan kosmetik.

Ester volatile tertentu digunakan sebagai pelarut untuk lacquers, cat, dan pernis;
untuk tujuan ini, jumlah besar dan butil asetat etil asetat diproduksi secara komersial. Wax
disekresi oleh hewan dan tumbuhan ester terbentuk dari rantai panjang asam karboksilat dan
alkohol rantai panjang. Minyak lemak dan ester dari rantai panjang asam karboksilat dan
gliserol.

Ester cair volatilitas rendah pelunakan berfungsi sebagai agen untuk resin dan
plastik. Ester juga mencakup banyak industri polimer penting. Polimetil metakrilat adalah
pengganti kaca dijual di bawah nama Lucite dan kaca; polietilen tereftalat digunakan sebagai
film (Mylar) dan sebagai serat tekstil dijual sebagai Terylene, Fortrel, dan Dacron.

Adapun minyak dan lemak hewani dan nabati merupakan ester yang besar dan
rumit. Perbedaan antara sebuah lemak (seperti mentega) dengan sebuah minyak (seperti
miyak bunga matahari) hanya pada titik leleh campuran ester yang dikandungnya. Jika titik
leleh dibawah suhu kamar, maka ester akan berwujud cair – yakni minyak. Jika titik leleh
diatas suhu kamar, ester akan berwujud padatan – yakni lemak.

6
SIFAT FISIKA DAN KIMIA ESTER

  Pada umumnya senyawa ester bersifat polar. Sifat kimia ini menyebabkan ester yang jumlah
atom karbonnya sedikit mudah larut dalam air. Kelarutan ester berkurang dengan bertambahnya atom
karbon. Ester merupakan senyawa polar yang mempunyai dipol-dipol yang saling berinteraksi di
mana interaksi ini menimbulkan gaya antarmolekul. Adanya gaya antar molekul menyebabkan ester
memilki titik didih yang lebih tinggi dari senyawa hidrokarbon lain yang memiliki bentuk molekl dan
massa atom relatif (Mr)-nya mirip. Namun dibandingkan dengan senyawa alkohol dan asam
karboksilat yang bentuk molekul dan Mr-nya mirip titik didih ester lebih rendah. Hal ini disebabkan
ester tidak memiliki gugus OH- sehingga interaksi antarmolekul ester tidak membentuk ikatan
hidrogen.

Senyawa – senyawa ester antara lain mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

1) Pada umumnya mempunyai bau yang harum, menyerupai bau buah-buahan.


2) Senyawa ester pada umumnya sedikit larut dalam air
3) Ester lebih mudah menguap dibandingkan dengan asam atau alkohol pembentuknya.
4) Ester merupakan senyawa karbon yang netral
5) Ester dapat mengalami reaksi hidrolisis

Contoh :

R–COOR1 + H2O -----------> R–COOH + R1–OH


Ester As.Alkanoat Alkohol
6) Ester dapat direduksi dengan H2 menggunakan katalisator Ni dan dihasilkan dua buah senyawa
alkohol.

Contoh :

R–COOR1 + 2H2 → R–CH2–OH + R1–OH


Ester Alkohol Alkohol

7
7) Ester khususnya minyak atau lemak bereaksi dengan basa membentuk garam (sabun)
dan gliserol. Reaksi ini dikenal dengan reaksi safonifikasi / penyabunan.

Sifat-sifat fisik Ester-ester sederhana

Sifat-sifat yang dijelaskan berikut berkenaan dengan etil etanoat yang mewakili ester-ester
sederhana.

Titik didih

Ester-ester yang kecil memiliki titik didih yang mirip dengan titik didih aldehid dan keton
yang sama jumlah atom karbonnya.

Seperti halnya aldehid dan keton, ester adalah molekul polar sehingga memiliki interaksi
dipol-dipol serta gaya dispersi van der Waals. Akan tetapi, ester tidak membentuk ikatan
hidrogen, sehingga titik didihnya tidak menyerupai titik didih asam yang memiliki atom
karbon sama. Sebagai contoh:

molekul tipe titik didih (°C)

CH3COOCH2CH3 ester 77.1

CH3CH2CH2COOH asam karboksilat 164

Kelarutan dalam air

Ester-ester yang kecil cukup larut dalam air tapi kelarutannya menurun seiring dengan
bertambah panjangnya rantai.

Sebagai contoh:

ester rumus molekul kelarutan (g per 100 g air)

8
etil metanoat HCOOCH2CH3 10.5

etil etanoat CH3COOCH2CH3 8.7

etil propanoat CH3CH2COOCH2CH3 1.7

Penurunan kelarutan ini disebabkan oleh fakta bahwa walaupun ester tidak bisa
berikatan hidrogen satu sama lain, tetapi bisa berikatan hidrogen dengan molekul air. Salah
satu atom hidrogen yang sedikit bermuatan positif dalam sebuah molekul air bisa cukup
tertarik ke salah satu dari pasagan elektron bebas pada sebuah atom oksigen dalam sebuah
ester sehingga sebuah ikatan hidrogen bisa terbentuk. Tentu akan ada juga gaya dispersi dan
gaya-tarik dipol-dipol antara ester dan molekul air.

Pembentukan gaya tarik ini melepaskan energi. Ini membantu menyuplai energi
yang diperlukan untuk memisahkan molekul air dari molekul air lainnya dan molekul ester
dari molekul ester lainya sebelum bisa bercampur. Apabila panjang rantai bertambah, bagian-
bagian hidrogen dari molekul ester mulai terhindari dari energi tersebut. Dengan menekan
diri diantara molekul-molekul air, bagian-bagian hidrogen ini memutus ikatan hidrogen yang
relatif lemah antara molekul-molekul air tanpa menggantinya dengan ikatan yang serupa. Ini
menjadikan proses ini kurang menguntungkan dari segi energi, sehingga kelarutan berkurang.

Sifat-sifat fisik lemak dan minyak

Kelarutan dalam air

Tak satupun dari molekul ini yang dapat larut dalam air. Rantai pada lemak dan
minyak terlalu penjang sehingga terlalu banyak ikatan hidrogen antara molekul-molekul air
yang harus diputus – sehingga tidak menguntungkan dari segi energi.

Titik leleh

Titik leleh menentukan apakah sebuah zat adalah lemak (sebuah padatan pada suhu
kamar) atau minyak (sebuah cairan pada suhu kamar). Lemak biasanya mengandung rantai-
rantai jenuh. Ini memungkinkan terbentuknya gaya dispersi van der Waals yang lebih efektif

9
antara molekul-molekulnya. Ini berarti bahwa diperlukan lebih banyak energi untuk
memisahkannya, sehingga meningkatkan titik leleh.

Semakin besar tingkat ketidakjenuhan molekul, semakin rendah kecenderungan titik


leleh karena gaya dispersi van der Waals kurang efektif. Mengapa demikian? Kita sedang
membicarakan tentang molekul-molekul yang berukuran sangat mirip sehingga potensi
terbentuknya dipol-dipol temporer haruslah sama pada semua molekul. Yang menjadi
permasalahan hanya seberapa dekat molekul-molekul tersebut bisa.

Gaya-gaya dipersi van der Waals memerlukan agar molekul-molekul mampu


berjejal sehingga bisa benar-benar efektif. Keberadaan ikatan rangkap C=C dalam rantai bisa
tersusun secara rapi.

Berikut ini diagram sebuah lemak jenuh yang disederhanakan:

Rantai-rantai hidrokarbon bergerak konstan dalam cairan, tapi rantai-rantai ini bisa
tertata rapi apabila zat menjadi padat. Jika rantai-rantai pada salah satu molekul bisa tertata
dengan rapi, itu berarti bahwa molekul-molekul tetangga bisa mendekat. Ini akan
meningkatkan gaya tarik antara satu molekul dengan molekul tetanggannya sehingga
meningkatkan titik leleh.

Lemak dan minyak tak-jenuh memiliki sekurang-kurangnya satu ikatan rangkap


C=C pada sekurang-kurangnya satu rantai. Tidak ada rotasi pada ikatan rangkap C=C
sehingga posisi rantai terkunci secara permanen. Ini menjadikan molekul-molekul lebih sulit
merapat. Jika tidak merapat dengan baik, gaya van der Waals tidak akan bekerja dengan baik.
Efek ini jauh lebih buruk untuk molekul-molekul dimana rantai-rantai hidrokarbonnya pada
kedua ujung ikatan rangkap tersusun cis satu sama lain – dengan kata lain, keduanya berada
pada sisi ikatan rangkap yang sama:

10
Jika berada pada sisi ikatan rangkap yang berlawanan (bentuk trans) maka efeknya
tidak terlalu besar. Akan tetapi, keadaan sebenarnya lebih dari yang ditunjukkan diagram
berikut karena perubahan-perubahan sudut ikatan di sekitar ikatan rangkap dibandingkan
dengan pada bagian rantai yang lain.

Lemak dan minyak trans memiliki titik leleh yang lebih tinggi dibanding yang
berbetuk cis karena kerapatan molekulnya tidak terlalu dipengaruhi. Lemak dan minyak tak-
jenuh cenderung berbentuk cis.

11
TATA NAMA ESTER (ALKIL ALKANOAT)

1. Nama Trivial

Untuk ester sederhana, pemberian namanya didasarkan pada nama trivial asam
karboksilatnya. Tabel 2.1 menunjukkan contoh trivial beberapa ester.

Tabel 2.1 Nama Trivial Beberapa Ester

Nama Trivial As.


No Rumus Struktur Nama Trivial Ester Karboksilat

1 H-CO-O-CH3 metil formiat asam formiat


2 CH3-CO-O-CH3 metil asetat asam asetat
3 CH3-CH2 -CO-O-CH2-CH3 etil propionat asam propionat
4 CH3-(CH2)2 -CO-O-CH3 metil butirat asam butirat
5 CH3-(CH2)3-CO-O-CH2-CH3 etil valerat asam valerat

2. Nama IUPAC

Bagian dari gugus ester yang mengandung gugus karbonil berasal dari asam
karboksilat , sedangkan gugusan yang terikat pada oksigen berasal dari alkohol atau fenol.
Ester yang lebih kompleks menggunakan tata nama IUPAC , yaitu dengan nama alikil
alkanoat . Alkil berasal dari gugus alcohol dan alkanoat berasal dari gugus karboksilat.

RUMUS UMUM :

12
Rantai induk ester adalah rantai terpanjang yang mengandung gugus ester (-
COOR’). Rantai alkil atau gugus lain yang terikat pada rantai induk dinamakan rantai cabang.
Penomoran rantai induk dimulai dari salah satu ujung sedemikian sehingga atom C pada
gugus ester mendapatkan nomor terkecil, diberi akhirn -OAT, dari nama rantai
hidrokarbonnya. Contoh penamaan beberapa senyawa ester secara IUPAC adalah sebagai
berikut :

4. CH3 CH2 C OCH2 CH3 : Etil Propanoat

13
5. CH3 C O CH(CH3)2 : isopropyl etanoat

O CH3

6. CH3 (CH2)3 C OCH2 CH CH3 : isobutyl pentanoat

c. Isomeri pada Ester


Isomeri rantai dan posisi pada ester dimulai dari suku ketiga, yaitu yang memiliki
tiga atom karbon (C3H6O2).

O O

CH3 C O CH3 H C O CH2 CH3


(metil etanoat) (etil metanoat)

Isomer ester berikutnya adalah isomer dari C4H8O2, yaitu sebagai berikut
O O

CH3 CH2 C O CH3 CH3 C O CH2 CH3

(metal propanoat) (etil etanoat)

O O

H C O CH2 CH2 CH3 H C O CH CH3

CH3
(propil metanoat) (isopropil metanoat)

d. Isomer Fungsi antara Asam Karboksilat dan Ester

14
Asam Karboksilat dan Ester mempunyai rumus umum molekul yang sama, yaitu
CnH2nO2, tetapi mengandung gugus fungsi yang berbeda. Asam karboksilat dan Ester yang
bersesuaian merupakan isomer fungsi. Contohnya senyawa dengan rumus molekul C 4H8O2
dapat berupa asam karboksilat atau ester. Sebagai asam karboksilat C 4H8O2 mempunyai 2
isomer dan sebagai ester mempunyai 4 isomer, yaitu masing-masing sebagai berikut :

1. C4H8O2 sebagai asam kaboksilat


CH3

CH3 CH2 CH2 COOH CH3 CH COOH


(asam butanoat) (asam 2-metil propanoat)

2. C4H8O2 sebagai ester


O O

CH3 CH2 C O CH3 CH3 C O CH2 CH3

(metil propanoat) (etil etanoat)

O O CH3

H C O (CH2)2 CH3 H C O CH CH3

(propil metanoat) (isopropil metanoat)

15
REAKSI PEMBUATAN ESTER (ALKIL
ALKANOAT)
Ada beberapa cara yang biasa dilakukan untuk membuat senyawa Ester (Alkil Alkanoat),
diantaranya :

1. Reaksi Asam Karboksilat dengan Alkohol dalam suasana asam

2. Reaksi Perak Karboksilat dengan Alkil Halida

3. Reaksi Asil Klorida (Klorida Asam) dengan Alkohol

4. Reaksi Anhidrida Asam Alkanoat dengan Alkohol

4.1. Pembuatan Ester dari reaksi Asam Karboksilat dengan Alkohol dalam suasana asam

Pembuatan Ester dengan cara ini adalah yang paling banyak dikenal karena dari pengertiannya,
Ester adalah turunan dari senyawa Asam Karboksilat. Asam Karboksilat ini kemudian direaksikan
dengan alkohol. Metode ini bisa digunakan untuk mengubah alkohol menjadi Ester, tetapi metode ini
tidak berlaku bagi Fenol, senyawa dimana gugus -OH terikat langsung pada sebuah cincin Benzen.
Fenol bereaksi dengan asam karboksilat dengan sangat lambat sehingga reaksi tidak bisa digunakan
untuk tujuan pembuatan.

Ester dihasilkan apabila asam karboksilat dipanaskan bersama alkohol dengan bantuan katalis
asam. Katalis ini biasanya asam sulfat pekat. Gas hidrogen klorida kering terkadang digunakan,
tetapi penggunaannya cenderung melibatkan ester-ester aromatik (ester dimana asam karboksilat
mengandung sebuah cincin benzen).

Reaksi pengesteran (esterifikasi) berjalan lambat dan dapat balik (reversibel). Persamaan untuk reaksi
antara asam RCOOH dengan alkohol R’OH (dimana R dan R’ bisa sama atau berbda) adalah sebagai
berikut:

Asam sulfat pekat

16
Jadi, misalnya, jika membuat etil etanoat dari asam etanoat dan etanol, maka persamaan
reaksinya akan menjadi :

O O

CH3 - C + CH3CH2OH CH3 - C + H2O

O–H O – CH2CH3

Asam karboksilat dan alkohol sering dipanaskan bersama disertai dengan beberapa tetes asam
sulfat pekat untuk mengamati bau ester yang terbentuk.
Ada 2 skala pembuatan Ester dengan cara ini.
A. Skala kecil (skala tabung uji)
Untuk melangsungkan reaksi dalam skala tabung uji, semua zat (asam karboksilat,
alkohol dan asam sulfat pekat) yang dalam jumlah kecil dipanaskan di sebuah tabung uji yang
berada di atas sebuah penangas air panas selama beberapa menit.
Karena reaksi berlangsung lambat dan dapat balik (reversibel), ester yang terbentuk
tidak banyak. Bau khas ester seringkali tertutupi atau terganggu oleh bau asam karboksilat.
Sebuah cara sederhana untuk mendeteksi bau ester adalah dengan menaburkan campuran
reaksi ke dalam sejumlah air di sebuah gelas kimia kecil.
Terkecuali ester-ester yang sangat kecil, semua ester cukup tidak larut dalam air dan
cenderung membentuk sebuah lapisan tipis pada permukaan. Asam dan alkohol yang berlebih
akan larut dan terpisah di bawah lapisan ester.
Ester-ester kecil seperti pelarut-pelarut organik sederhana memiliki bau yang mirip
dengan pelarut-pelarut organik (etil etanoat merupakan sebuah pelarut yang umum misalnya
pada lem).
Semakin besar ester, maka aromanya cenderung lebih ke arah perasa buah buatan – misalnya
“buah pir”.
B. Skala Besar

17
Jika ingin membuat sampel sebuah ester yang cukup besar, maka metode yang
digunakan tergantung pada (sampai tingkatan tertentu) besarnya ester. Ester-ester kecil
terbentuk lebih cepat dibanding ester yang lebih besar.
Untuk membuat sebuah ester kecil seperti etil etanoat, dapat melakukannya dengan
memanaskan secara perlahan sebuah campuran antara asam metanoat dan etanol dengan
bantuan katalis asam sulfat pekat, dan memisahkan ester melalui distilasi sesaat setelah
terbentuk.
Ini dapat mencegah terjadinya reaksi balik. Pemisahan dengan distilasi ini dapat
dilakukan dengan baik karena ester memiliki titik didih yang paling rendah diantara semua
zat yang ada. Ester merupakan satu-satunya zat dalam campuran yang tidak membentuk
ikatan hidrogen, sehingga memiliki gaya antar-molekul yang paling lemah.
Ester-ester yang lebih besar cenderung terbentuk lebih lambat. Dalam hal ini, mungkin
diperlukan untuk memanaskan campuran reaksi di bawah refluks selama beberapa waktu
untuk menghasilkan sebuah campuran kesetimbangan. Ester bisa dipisahkan dari asam
karboksilat, alkohol, air dan asam sulfat dalam campuran dengan metode distilasi fraksional.
4.2 Pembuatan Ester Reaksi Perak Karboksilat dengan Alkil Halida

Pembuatan Ester ini melibatkan senyawa yaitu perak karboksilat (RCOOAg) dan Alkil
halida (R-X) dengan reaksi sebagai berikut:

O O
R – C – O Ag + R’ – X R – C – OR’ + Ag X
Misalnya, akan dibuat senyawa Ester yaitu Metil Propanoat, maka kita dapat mereaksikan
perak propanoat dengan kloro metana dengan reaksinya sebagai berikut :
O O
CH3 – CH2 – C – OAg + CH3 – Cl CH3 – CH2 – C – OCH3 + Hcl
(Perak Propanoat) (Kloro Metana) (Metil Propanoat)

4.3 Pembuatan Ester dengan Reaksi Asil Klorida (Klorida Asam) dengan Alkohol
Metode ini hanya berlaku bagi alkohol dan fenol. Untuk fenol, reaksi terkadang dapat
ditingkatkan dengan pertama-tama mengubah fenol menjadi bentuk yang lebih reaktif.
Jika kita menambahkan sebuah asil klorida kedalam sebuah alkohol, maka reaksi yang
terjadi cukup progresif (bahkan berlangsung hebat) pada suhu kamar menghasilkan sebuah
ester dan awan-awan dari asap hidrogen klorida yang asam dan beruap.

18
Berikut ini rumus cara paembuatan ester dengan reaksi asil klorida (klorida asam)
dengan alkohol :
O O

R – C – Cl + R’ – OH R – C – OR’ + HCl

Jika kita menambahkan sebuah asil klorida kedalam sebuah alkohol, maka reaksi yang terjadi
cukup progresif (bahkan berlangsung hebat) pada suhu kamar menghasilkan sebuah ester dan
awan-awan dari asap hidrogen klorida yang asam dan beruap.
Sebagai contoh, jika kita menambahkan etanol krlorida ke dalam etanol, maka akan terbentuk
banyak hidrogen klorida bersama dengan ester cair etil etanoat.

Zat yang biasanya disebut "fenol" adalah zat yang paling sederhana dari golongan fenol.
Fenol memiliki sebuah gugus -OH terikat pada sebuah cincin benzen – dan tidak ada lagi
selain itu.
Reaksi antara etanoil klorida dengan fenol mirip dengan reaksi etanol walaupun tidak begitu
progresif. Fenil etanoat terbentuk bersama dengan gas hidrogen klorida.

Mempercepat reaksi antara fenol dengan beberapa asil klorida yang kurang reaktif
Benzoil klorida memiliki rumus molekul C6H5COCl. Gugus -COCl terikat langsung pada
sebuah cincin benzen. Senyawa ini jauh lebih tidak reaktif dibanding asil klorida sederhana
seperti etanoil klorida.
Fenol pertama-tama diubah menjadi senyawa ionik natrium fenoksida (natrium fenat) dengan
melarutkannya dalam larutan natrium hidroksida.

Ion fenoksida bereaksi lebih cepat dengan benzoil klorida dibanding fenol, tapi biarpun
demikian reaksi tetap harus dikocok dengan benzoil klorida selama sekitar 15 menit. Padatan
fenol benzoat terbentuk.

19
4.4 Pembuatan Ester dari Reaksi Anhidrida Asam Alkanoat dengan Alkohol
Reaksi ini juga bisa digunakan untuk membuat ester baik dari alkohol maupun fenol.
Reaksinya berlangsung lebih lambat dibanding reaksi sebanding yang menggunakan asil
klorida, dan campuran reaksi biasanya perlu dipanaskan.
Untuk fenol, kita bisa mereaksikan fenol dengan larutan natrium hidroksida pertama kali,
yang menghasilkan ion fenoksida yang lebih reaktif.
Mari kita mengambil contoh etanol yang bereaksi dengan etanoat anhidrida sebagai sebuah
reaksi sederhana yang melibatkan sebuah alkohol:
Reaksi yang berlangsung pada suhu kamar cukup lambat (atau lebih cepat jika dipanaskan).
Tidak ada perubahan yang dapat diamati pada cairan tidak berwarna , tetapi sebuah campuran
antara etil etanoat dengan asam etanoat terbentuk.

Reaksi dengan fenol kurang lebih sama, tetapi lebih lambat. Fenil etanoat terbentuk bersama
dengan asam etanoat.

Reaksi ini tidak terlalu penting, tapi ada reaksi yang sangat mirip terlibat dalam pembuatan
aspirin (dibahas secara rinci pada halaman lain).
Jika fenol pertama-tama diubah menjadi natrium fenoksida dengan menambahkan larutan
natrium hidroksida, maka reaksinya berlangsung lebih cepat. Fenil etanoat lagi-lagi
terbentuk, tapi kali ini produk lainnya adalah natrium etanoat bukan asam etanoat.

Halaman ini membahas tentang reaksi pengesteran (esterifikasi) – utamanya reaksi antara
alkohol dengan asam karboksilat untuk membuat ester. Disini juga dibahas secara ringkas

20
tentang pembuatan ester dari reaksi-reaksi antara asil klorida (klorida asam) dengan alkohol,
dan dari reaksi antara anhidrida asam dengan alkohol.

REAKSI SENYAWA ESTER

Hidrolisis Ester-Ester Sederhana


Secara teknis, hidrolisis adalah sebuah reaksi dengan air. Reaksi inilah yang
sebenarnya terjadi ketika ester dihirolisis dengan air atau dengan asam encer seperti asam
hidroklorat encer. Hidrolisis ester dengan basa melibatkan reaksi dengan ion-ion hidroksida,
tetapi hasil keseluruhannya sangat mirip sehingga dikategorikan dalam hidrolisis dengan air
atau asam encer.

1. Hidrolisis Menggunakan Air Atau Asam Encer


 Reaksi dengan air murni sangat lambat sehingga tidak pernah digunakan. Reaksi ini
dikatalisis oleh asam encer, sehingga ester dipanaskan di bawah refluks dengan
sebuah asam encer seperti asam hidroklorat encer atau asam sulfat encer.

 Berikut dua contoh sederhana dari hidrolisis menggunakan sebuah katalis asam:

a) Hidrolisis Etil Etanoat

H+(aq)

CH3COOCH2CH3+H2O CH3COOH + CH3CH2OH

etil etanoat asam etanoat etanol

b) Hidrolisis Metil Propanoat

H+(aq)

CH3CH2COOCH3+H2O CH3CH2COOH+CH3OH

21
metil propanoat asam propanoat metanol

Perhatikan bahwa kedua reaksi di atas dapat balik (reversibel). Untuk melangsugkan
hidrolisis sesempurna mungkin, harus digunakan air yang berlebih. Air diperoleh dari asam
encer, sehingga ester perlu dicampur dengan asam encer yang berlebih.

2. Hidrolisis menggunakan Basa Encer


 Ini merupakan cara yang lazim digunakan untuk menghidrolisis ester. Ester
dipanaskan di bawah refluks dengan sebuah basa encer seperti larutan natrium
hidroksida.

 Ada dua kelebihan utama dari cara ini dibanding dengan menggunakan asam encer.
Reaksinya berlangsung satu arah dan tidak reversibel, dan produknya lebih mudah
dipisahkan.

 Mari kita mengambil contoh ester sama seperti kedua contoh di atas, tapi
menggunakan larutan natrium hdroksida bukan sebuah asam encer:

 Pertama, hidrolisis etil etanoat menggunakan larutan natrium hidroksida:

 CH3COOCH2CH3 + NaOH CH3COONa + CH3CH2OH

etil etanoat natrium etanoat etanol

dan selanjutnya hidrolisis metil propanoat dengan cara yang sama:

CH3CH2COOCH3 + NaOH CH3CH2COONa + CH3OH

metil propanoat natrium propanat metanol

Perhatikan bahwa terbentuk garam natrium bukan asam karboksilat sendiri.

 Campuran ini relatif mudah dipisahkan. Jika digunakan

 dan selanjutnya hidrolisis metil propanoat dengan larutan natrium hidroksida yang
berlebih, tidak akan ada ester yang tersisa.

 Alkohol yang terbentuk bisa dipisahkan dengan distilasi. Pemisahan ini cukup mudah.

22
 Jika anda menginginkan terbentuk asam bukan garamnya, anda harus menambahkan
asam kuat yang berlebih seperti asam hidroklorat encer atau asam sulfat encer ke
dalam larutan yang tersisa setelah distilasi pertama.

 Jika anda melakukan ini, campuran akan dibanjiri dengan ion-ion hidrogen. Ion-ion
hidrogen ini ditangkap oleh ion-ion etanoat (atau ion paropanoat atau ion apapun)
yang terdapat dalam garam membentuk asam etanoat (atau asam propanoat, dan lain-
lain). Karena asam-asam ini adalah asam lemah, maka ketika bergabung dengan ion
hidrogen, cenderung tetap bergabung.

 Sekarang asam karboksilat bisa dipisahkan dengan distilasi

3. Hidrolisis ester-ester kompleks untuk membuat sabun


 Pembahasan ini berkaitan dengan hidrolisis basa (dengan menggunakan larutan
natrium hidroksida) ester-ester besar yang ditemukan dalam lemak dan minyak
hewani dan nabati.

 Jika ester-ester besar yang terdapat dalam lemak dan minyak hewani dan nabati
dipanaskan dengan larutan natrium hdiroksida pekat, reaksi yang terjadi persis sama
dengan reaksi pada ester-ester sederhana.

 Terbentuk asam karboksilat - kali ini, garam natrium dari sebuah asam besar seperti
asam oktadekanoat (asam stearat). Garam-garam ini merupakan komponen sabun
yang penting - yaitu komponen yang melakukan pembersihan.

 Juga terbentuk alkohol - kali ini, alkohol yang lebih rumit, propan-1,2,3-triol
(gliserol).

CH3(CH2)16COOCH2 CH2OH

CH3(CH2)16COOCH + 3NaOH 3CH3(CH2)16COONa +CHOH

CH3(CH2)16COOCH2 CH2OH

lemak atau minyak sederhana garam natrium sederhana gliserol

23
yang ditemukan pada sabun

 Karena hubungannya dengan pembuatan sabun, hidrolisis ester dengan basa terkadang
disebut sebagai saponifikasi.

4. Reaksi Ester dengan Pereaksi Grinard


Ester bereaksi dengan dua ekuivalen pereaksi grinard menghasilkan alcohol tersier.
Reaksi berlangsung melalui serangan nukleofil pada gugus karbonil ester. Hasil awalnya,
keton, bereaksi lebih lanjut menghasilkan alcohol tersier.

O OMgBr OH
H2O

R C OR’ + 2R’’MgBr R C R’’ R C R’’

(ester) H+

R’’ R’’

R’’MgBr

R’’MgBr

OMgBr O

R’OMgBr

R C OR’ R C R’’

R’’

Metode ini digunakan dalam pembuatan alcohol tersier damana paling sedikit dua
dari 3 gugus alkil yang melekat pada atom karbon adalah identik.

5. Reduksi Ester
Ester dapat direduksi dengan litium hidrida menjadi alcohol

24
O

LiAlH4

R C OR’ RCH2OH + R‘OH


(ester) (alcohol primer)

25
Kegunaaan ester dalam kehidupan
sehari-hari.
Pemanfaatan ester dapat dijelaskan dengan mengklasifikasikan ester sebagai berikut:

1) Ester buah-buahan.
Ester ini berasal dari buah-buahan atau bunga tumbuh-tumbuhan,misalnya dari
nenas,pisang,apel,buah pir dan jeruk manis.Ester ini banyak digunakan untuk aroma(essence)
pada makanan.

Nama Senyawa Aroma


Etil format rum
n-pentil asetat pisang
Isopentil asetat Buah pear
n-oktil asetat Jeruk manis
Metil butirat apel
Etil butirat nanas
n-propil butirat apricot

Selain itu,ester juga digunakan untuk pelarut untuk cat dan vernis.Contohnya amil asetat
yang banyak digunakan sebagai pelarut untuk damar dan lak.

2) Ester lemak dan minyak.


Lemak dan minyak disebut juga golongan gliserida,yaitu ester dari gliserol dengan
asam karboksilat suku tengah atau tinggi.Perbedaan antara lemak dan minyak adalah pada
asam karboksilat penyusun lemak tersebut.Asam karboksilat penusun lemak disebut juga
asam lemak.Asam karboksilat penyusun lemak disebut juga asam karboksilat
jenuh,sedangkan untuk minyak adalah asam karboksilat tidak jenuh.

Rumus struktur Rumus molekul Nama Lazim Titik leleh


(°C)
Asam-asam lemak jenuh
CH3(CH2)10COOH C11H23COOH Asam laurat 44,2
CH3(CH2)14COOH C15H31COOH Asam 63,1
palmitat
26
CH3(CH2)16COOH C17H35COOH Asam stearat 69,6
Asam-asam lemak tak jenuh
CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH C17H33COOH Asam oleat 13,4
CH3(CH2)4CH=CHCH2
-CH=CH(CH2)7COOH CH17H31COOH Asam -5,0
CH3CH2CH=CHCH2CH=CH linoleat
-CH2CH=CH(CH2)7COOH CH17H29COOH Asam -11,0
linolenat

Tabel 2 Beberapa asam lemak jenuh dan tidak jenuh

Ester yang dibentuk dari gliserol dengan asam-asam lemak,seperti asam palmitat ,stearat,
laurat,dan oleat seperti yang disebut diatas merupakan lemak tiruan (lemak sintesis).Lemak
asli atau lemak alami (natural fat) adalah lemak (gliserida) dari gliserol dengan asam butirat.

O
ll
H2C – O – C – C3 H7
I O
I II
HC – O – C – C3 H7 gli serol tributirat ( merupakan lemak alami )
I O
I II
H2C – O – C – C3 H7

Lemak alami bersumber dari hewan dan tumbuh-tumbuhan.Lemak yang berasal dari hewan
disebut lemak,misalnya dari sapi,kerbau,dan kambing,lemak yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan disebut minyak,misalnya minyak kelapa,jagung,dan kacang-kacangan.Minyak dari
tumbuh-tumbuhan dapat diubah menjadi lemak dengan reaksi hidrogenasi,yaitu minyak yang
dipadatkan (ikatan rangkapnya dijenuhkan)dengan reaksi penambahan (adisi) hydrogen.Pada
reaksi hidrogenasi ini dikenal istilah bilangan iodin yaitu bilangan yang menyatakan jumlah
gram iodin (I2) yang diperlukan untuk menjenuhkan asam lemak tak jenuh pada tiap 100
gram lemak.

Secara umum rumus struktur molekul lemak adalah sebagai berikut.

27
O
ll
H2C – O – C – R1
I O
I II
HC – O – C – R2
I O
I II
H2C – O – C – R3

Bila R1 =R2=R3 disebut lemak sederhana, sedangkan R1 ≠ R2 ≠ R3 dinamakan lemak


campuran.

Pada umumnya lemak digunakan untuk membuat mentega,margarine, dan


sabun.Margarin adalah mentega buatan dan antara keduanya dapat dibedakan melalui
penyulingan.Jika mentega tersebut merupakan mentega asli, maka asam butirat pada mentega
akan menyuling (menguap),sedangkan asam karboksilat pada margarine sukar menguap

Reaksi pembuatan sabun disebut reaksi penyabunan atau saponifikasi,yaitu reaksi


antara lemak dengan basa kuat,seperti KOH dan NaOH. Pada reaksi penyabunan ini dikenal
istilah bilangan penyabunan,yaitu jumlah mg KOH yang diperlukan untuk menyabunkan 1
gram lemak atau minyak.

3) Ester lilin (waxes)

Lilin (waxes) adalah ester dari alcohol suku tinggi dengan asam karboksilat suku
tinggi.Lilin yang dimaksud disini bukanlah lilin,yang merupakan residu distilasi minyak bumi
(lilin paraffin).

Beberapa contoh ester lilin,yaitu mirisil palmitat (C15H31 – C00 – C30H61) dan mirisil
serotat (C25H51 – COO – C30H61).Lilin dapat bersumber dari hewan dan tumbuh-
tumbuhan,misalnya dari tawon (lebah),rongga kepala ikan paus,dan daun palma

28
Bracillia.Lilin pada umumnya digunakan untuk salutan pelindung,misalnya untuk mobil dan
batik.

Selain keterngan diatas mengenai kegunaan ester seperti di atas,masih banyak


kegunaan ester yang lainnya seperti polyester.Poliester merupakan polimer yang disusun oleh
monomer ester. Penggunaan dari polimer ini adalah pengganti bahan pakaian yang berasal
dari
kapas. Produk yang dikenal adalah Dacron dan tetoron nama dagang sebagai serat
tekstil. Polimer ini juga dapat dikembangkan lagi dan dipergunakan sebagai pita
perekam magnetic dengan nama dagang mylar.

Dan senyawa-senyawa ester juga dimanfaatkan dalam pembuatan


biodiesel.Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi. Biodiesel
merujuk kepada bahan api diesel berasaskan minyak sayuran atau lemak hewan yang terdiri
daripada rantaian panjang alkil (metil, propil atau etil) ester. Biodiesel biasanya dihasilkan
melalui tindak balas kimia lipid (contoh, minyak sayuran, lemak haiwan dengan alkohol.

Biodiesel bertujuan untuk digunakan dalam enjin diesel piawaian dan dengan itu
berbeza dari minyak sayuran langsung yang digunakan sebagai bahan api enjin diesel diubah
suai. Biodiesel boleh digunakan sendirian, atau dicampur dengan petrodiesel.

Proses dalam pembuatan biodiesel ini menghasilkan dua produk yaitu metil esters
(biodiesel)/mono-alkyl esters dan gliserin yang merupakan produk samping. Bahan baku
utama untuk pembuatan biodiesel antara lain minyak nabati, lemak hewani, lemak
bekas/lemak daur ulang. Sedangkan sebagai bahan baku penunjang yaitu alkohol. Pada
pembuatan biodiesel dibutuhkan katalis untuk proses esterifikasi. Produk biodiesel
pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut.

29
tergantung pada minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku serta

Secara kimia, biodiesel transesterified terdiri dari campuran mono-alkyl ester bagi
jaringan panjang asid lemak. Bentuk paling biasa menggunakan methanol (ditukar kepada
sodium methoxide) untuk menghasilkan methyl esters (biasanya dirujuk sebagai Methyl Ester
Asid Lemak - FAME) kerana ia merupakan alkohol paling murah yang ada, sungguhpun
ethanol boleh digunakan bagi menghasilkan ethyl ester (biasanya dirujuk sebagai biodiesel
Ethyl Ester Asid Lemak ("Fatty Acid Ethyl Ester - FAEE") dan kandungan alkohol lebih
tinggi seperti isopropanol dan butanol juga telah digunakan.

Menggunakan alkohol dengan molekul lebih berat meningkatkan ciri-ciri aliran


sejuk bagi ester yang terhasil, dengan kos tindak balas transesterification kurang effisen.
Pengeluaran lipid transesterification digunakan bagi menukar minyak asas kepada esters yang
dikehendaki. Sebarang asid lemak bebas (FFAs) dalam minyak asas samaada ditukar kepada
sabun atau disingkirkan dari proses, atau ia di esterified (menghasilkan biodiesel lanjut)
dengan menggunakan pemangkin berasid. Selepas pemprosesan ini, tidak seperti minyak
lemak tulin, biodiesel memiliki ciri-ciri pembakaran yang menyamai diesel petrolium, dan
boleh menggantikannya dalam kegunaan masa kini.

30
Hasil sampingan proses transesterification merupakan penghasilan glycerol. Bagi
setiap 1 tan biodiesel yang dihasilkan, 100 kg glycerol dihasilkan. Pada asalnya, terdapat
pasaran yang baik bagi glycerol, yang membantu ekonomi proses secara keseluruhannya.
Bagaimanapun, dengan peningkatan penghasilan biodiesel sejagat, harga pasaran bagi
glycerol kasar (mengandungi 20% air dan sisa pemangkin) telah merundum. Penyelidikan
sedang dijalankan secara sejagat bagi menggunakan glycerol ini sebagai blok binaan kimia.
Satu perintis di UK adalah Cabaran Glycerol ("The Glycerol Challenge").

Biasanya, glycerol kasar ini perlu ditulinkan, biasanya dilakukan menggunakan


penurasan hampagas, yang memerlukan tenaga yang banyak. Glycerol tulin (98%+ tulin)
kemudian boleh digunakan secara langsung, atau ditukar kepada barangan lain. Pengumuman
lanjut dilakukan pada tahun 2007: Usahasama Ashland Inc. dan Cargill mengumumkan
rancangan bagi menghasilkan propylene glycol di Eropah dari glycerol dan Dow Chemical
mengumumkan rancangan yang sama bagi Amerika Utara. Dow juga merancang membina
kilang di China bagi menghasilkan epichlorhydrin dari glycerol. Epichlorhydrin merupakan
sumber kasar bagi resin epoxy.

Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk minyak nabati adalah methanol,
namun dapat pula digunakan ethanol, isopropanol atau butyl, tetapi perlu diperhatikan juga
kandungan air dalam alcohol tersebut. Bila kandungan air tinggi akan mempengaruhi hasil
biodiesel kualitasnya rendah, karena kandungan sabun, ALB dan trigiserida tinggi.
Disamping itu hasil biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya suhu operasi proses produksi,
lamanya waktu pencampuran atau kecepatan pencampuran alkohol.

Katalisator dibutuhkan pula guna meningkatkan daya larut pada saat reaksi
berlangsung, umumnya katalis yang digunakan bersifat basa kuat yaitu NaOH atau KOH atau
natrium metoksida. Katalis yang akan dipilih tergantung minyak nabati yang
digunakan,apabila digunakan minyak mentah dengan kandungan ALB kurang dari 2 %,
disamping terbentuk sabun dan juga gliserin.

Katalis tersebut pada umumnya sangat higroskopis dan bereaksi membentuk larutan
kimia yang akan dihancurkan oleh reaktan alkohol. Jika banyak air yang diserap oleh katalis
maka kerja katalis kurang baik sehingga produk biodiesel kurang baik. Setelah reaksi selesai,
katalis harus di netralkan dengan penambahan asam mineral kuat. Setelah biodiesel dicuci
proses netralisasi juga dapat dilakukan dengan penambahan air pencuci, HCl juga dapat

31
dipakai untuk 318 proses netralisasi katalis basa, bila digunakan asam phosphate akan
menghasil pupuk phosphat (K3PO4).

32
DETEKSI ESTER
Bau khas ester seringkali tertutupi atau terganggu oleh bau asam karboksilat. Sebuah
cara sederhana untuk mendeteksi bau ester adalah dengan menaburkan campuran reaksi ke
dalam sejumlah air di sebuah gelas kimia kecil.Terkecuali ester-ester yang sangat kecil,
semua ester cukup tidak larut dalam air dan cenderung membentuk sebuah lapisan tipis pada
permukaan. Asam dan alkohol yang berlebih akan larut dan terpisah di bawah lapisan ester.

Ester-ester kecil seperti pelarut-pelarut organik sederhana memiliki bau yang mirip
dengan pelarut-pelarut organik (etil etanoat merupakan sebuah pelarut yang umum misalnya
pada lem). Semakin besar ester, maka aromanya cenderung lebih ke arah perasa buah buatan
– misalnya “buah pir”.

33
INFORMASI TERKINI TENTANG SENYAWA
ESTER
 Transesterifikasi Ester Asam Lemak Melalui Pemanfaatan
Teknologi Lipase

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa dan kelapa sawit dunia
dengan kontribusi tinggi sebagai komoditi ekspor. Saat ini, areal perkebunan kelapa sawit
mengalami peningkatan cukup pesat. Seiring dengan meningkatnya luas areal, produksi
minyak sawit mentah (CPO) juga terus meningkat (Latief, 1991). Minyak sawit telah banyak
digunakan dalam industri pangan dan non pangan sebagai bahan baku industri farmasi,
kosmetika, deterjen dan surfaktan (Ghosh dan Bhattacharyya, 1995; Tucker dan Woods,
1995).

Asam lemak dan ester asam lemak berantai pendek juga bermanfaat sebagai
senyawa aromatik penyedap rasa (Kosugi dan Azuma, 1994; Singh dkk., 1994). Metil dan etil
ester asam lemak berantai panjang bermanfaat untuk produksi alkohol lemak serta bahan
bakar pengganti untuk motor bermesin disel (Linko dkk., 1994). Asam lemak tidak jenuh
berantai panjang, antara lain asam oleat, linoleat, linolenat dan arakhidonat (Ketaren, 1986),
bahkan bermanfaat untuk pencegahan dan penyembuhan berbagai penyakit yang berkaitan
dengan sistem peredaran darah antara lain trombosis dan ateroklerosis (Shirasaka dan
Shimizu, 1995; Posorske, 1984).

Produksi ester alkohol berantai panjang dari asam lemak dengan cara esterifikasi dan
alkoholisis oleh katalisator kimia sudah tidak diragukan lagi. Proses secara kimiawi tersebut
memiliki keterbatasan, antara lain asamasam dari jenis yang lebih tidak jenuh akan
mengalami polimerisasi atau perubahan-perubahan lain selama proses esterifikasi (Sil-Roy
dan Bhattacharyya, 1993). Asam lemak dengan grup-grup fungsional seperti epoksi dan
hidroksi sulit sekali untuk diesterifikasi tanpa merusaknya terlebih dahulu. Katalisis ester
yang sulit dilakukan dengan metode kimiawi tersebut menjadi sederhana dengan pemanfaatan

34
teknologi enzimatik lipase (Bailey, 1950; Sulistyo dkk., 2000). Pada penelitian ini enzim
lipase digunakan sebagai biokatalisator pada reaksi hidrolisis dan transesterifikasi trigliserida
dari minyak sawit mentah dan santan kelapa dengan alkohol atau pelarut organik lainnya
untukmensintesis produ k transfer berupa ester asam lemak.

2. BAHAN DAN METODE

- Ekstraksi enzim lipase dari mikroba

Biakan mikroba penghasil enzim lipase terdiri dari Bacillus subtilis FM-9101,
Candida rugosa FM-9301, dan Pseudomonas aerogenes FM-9201 ditumbuhkan secara
terpisah. Media basal untuk memproduksi enzim mengandung pepton 0,5%, K2HPO4 0,1%,
NaCl 0,05%, MgSO4 0,05%, FeSO4 0,001%, ZnSO4 0,0001%, CuSO4 0,0001%, MnSO4
0,0001%, ekstrak khamir 0,5% (Cowan, 1981; Sulistyo dkk., 1999) dan masing-masing
bahan penginduksi (minyak zaitun) sebanyak 2,0%, pada 10 Mm bufer Na-fosfat pH 4,5-6,5.
Media produksi digoyang pada suhu ruang selama 5 hari, kemudian disentrifus pada
kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada 4°C dan supernatan digunakan sebagai sumber
enzim.

- Uji aktivitas enzimatik lipase

Minyak zaitun sebanyak 1,0 mL dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL, lalu
ditambahkan berturut-turut 0,5 mL CaCl2 0,1 M dan 4,5 mL bufer asetat 0,1 M (pH 5,5).
Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 40°C selama 10 menit, kemudian ditambahkan enzim
lipase sebanyak 10% (v/v) dari masing-masing biakan dan diinkubasi kembali pada suhu
40°C dengan digoyang pada kecepatan 160 rpm selama 30 menit. Selanjutnya, campuran
reaksi ditambah 20 mL etanol dan 3 tetes indikator fenolptalin serta dititrasi dengan NaOH
0,05 M sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Satu unit aktivitas enzim lipase
setara dengan 1 μmol asam lemak bebas yang dihasilkan dari hidrolisis substrat yang
dikatalisis oleh enzim lipase selama 30 menit.

- Pengaruh pH dan suhu pada aktivitas enzimatik lipase

35
Campuran reaksi (dalam erlenmeyer 100-mL) mengandung 1,0 mL minyak zaitun,
0,5 mL CaCl2 0,1 M dan 4,5 mL 0,1 M bufer asetat pada pH 4,0-8,0, diinkubasikan pada
suhu 30-60°C dengan cara digoyang pada kecepatan 160 rpm selama 30 menit. Selanjutnya,
aktivitas residu enzim lipolitiknya diuji sebagaimana cara pengujian aktivitas enzimatik
tersebut di atas.

- Analisis asam lemak bebas (ALB)

Kadar asam lemak bebas ditentukan dengan mengukur sebanyak 5,0 g sampel
minyak dalam campuran alkoholbenzena (25: 25, v/v). Campuran larutan ditrasi dengan
KOH-alkohol (0,1N) menggunakan indikator fenolptalin. Titrasi dilakukan sampai larutan
berubah menjadi merah muda. Persentase ALB pada setiap sampel diperoleh dari hasil
penghitungan volume larutan titrant terhadap bobot molekul minyak.

- Kromatografi gas (GC)

Campuran reaksi dianalisis secara kuantitatif menggunakan kromatografi gas (GC)


dengan menimbang sebanyak 0,02-0,05 g sampel dan dilarutkan dengan 2,0 mL NaOH dalam
metanol 0,5 M, kemudian dipanaskan pada suhu 80°C selama 20 menit. Setelah penambahan
larutan BF3 dalam metanol sebanyak 2,0 mL, sampel dipanaskan kembali pada suhu 80°C
selama 20 menit dan selanjutnya ditambahkan NaCl jenuh dan heksan, masingmasing
sebanyak 2,0 mL. Sampel (2,0 μl) dimasukkan dalam kolom silikagel GC. GC dijalankan
dengan pelarut H2 (g) dan N2 (g) pada suhu awal 150°C dan suhu injektor 200°C. Deteksi
sampel diukur dengan FID pada suhu 250°C.

- Reaksi hidrolisis enzimatik

Substrat (50 g minyak asam) ditempatkan dalam gelas erlenmeyer 100 mL


diinkubasikan dengan 25% (v/v) larutan enzim lipase dalam buffer pada suhu 50°C dan
digoyang pada 100 rpm diatas shaker selama 24 jam. Reaksi hidrolisis yang terjadi diestimasi
dengan pengukuran kandungan asam lemak bebas (ALB) pada setiap sampel,yang dianalisis.
Emulsi lemak dihancurkan dengan cara pemanasan pada suhu 80°C dan lapisan lemak yang
mengandung enzim dan gliserol dipisahkan dengan cara sentrifugasi. ALB sebagai produk
hidrolisis yang terkandung dalam lapisan lemak selanjutnya dianalisis.
36
- Reaksi transesterifikasi ester asam lemak

Substrat CPO dan pelarut alkohol (etanol, metanol, propanol, butanol konsentrasi 10-25%)
atau buffer sebagai kontrol dalam gelas erlenmeyer 100-mL diinkubasi dengan 25% larutan
enzim lipase dari beberapa biakan mikroba (B. subtilis, C. rugosa dan P. aerogenes) dengan
cara dikocok menggunakan pengocok magnetis pada suhu 50°C selama 24 jam. Campuran
produk (masing-masing sebanyak 2,0 mL) disaring untuk memisahkannya dari kotoran yang
tidak terlarut. Hasil reaksi dianalisis secara kualitatif menggunakan kromatografi lapis tipis
(TLC; thin layer chromatography) dan secara kuantitatif menggunakan GC. TLC. Sampel
diencerkan dengan etanol dengan perbandingan 1:10. Sebanyak 0,01 mL sampel encer
digunakan untuk analisis TLC. Untuk mengetahui spot produk yang terkromatografi, plat
TLC dikembangkan dalam larutan heksan:dietil eter:asam asetat (80:20:1) selama satu jam.

Setelah dikeringkan, plat TLC disemprot dengan 0,1% 2’,7’- diklorofluoresin dalam 99,5%
etanol dan selanjutnya diamati pada panjang gelombang 254 dan 360 nm. GC. Sampel (2,0
μL) dimasukkan dalam kolom silikagel GC. GC dijalankan dengan pelarut H2 (g) dan N2 (g)
pada suhu awal 150°C dan suhu injektor 200°C. Deteksi cuplikan diukur dilakukan dengan
FID pada suhu 250°C.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolat yang dipilih untuk pengujian aktivitas lipolitik adalah bakteri yang diisolasi
dari sampel limbah mengandung minyak. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
dari beberapa isolat yang telah diidentifikasi, tiga biakan penghasil enzim lipase yaitu C.
rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes menunjukkan aktivitas lipolitik secara signifikan,
masing-masing sebesar 32.10 U/mL, 37,05 U/mL dan 36,08 U/mL, setelah ketiga biakan
tersebut diprakulturkan pada substrat mengandung minyak zaitun 2% dan pada suhu ruang
(Sulistyo dkk., 2001).

Hasil uji pengaruh pH dan suhu pada perumbuhan enzim lipase dari berbagai sumber
biakan menunjukkan bahwa pH dan suhu optimal untuk aktivitas enzim lipasedari C. Rugosa,
B. subtilis dan P. aerogenes masing-masing adalah pada pH 4,5 (5,14 μmol/menit) dan suhu
45°C (5,33 μmol/menit), pada pH 7,0 (masing-masing 5,81 μmol/menit dan 5,85
37
μmol/menit), dan pada suhu 40°C dan 45°C (masing-masing 5,98 μmol/menit dan 5,92
μmol/menit) (Gambar 1 dan 2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber enzim lipase
berpengaruh pada proses transesterifikasi, meskipun pada konsentrasi 10-25% pengaruh
enzim tidak signifikan.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa enzim lipase dari biakan tertentu dapat bekerja
secara efektif dan efisien sebagai biokatalisator pada proses transesterifikasi (Herawan dan
Eka, 1996), karena kondisi media bagi aktivitas enzimatik menjadi optimal, sehingga terjadi
proses penguraian trigliserida yang diikuti pembentukan asam lemak yang diperlukan untuk
sintesis ester asam lemak. Terjadinya reaksi transesterifikasi dapat dianalisis berdasarkan
perbandingan jumlah gugus hidroksil pada substrat sebelum dan sesudah reaksi enzimatik.

Pada reaksi hidrolisis, penambahan enzim lipase dari C. rugosa dapat menurunkan
kadar ALBsebanyak 25%., sedangkan penambahan enzim lipase dari B. subtilis dan P.
aerogenes hanya menurunkan kadar ALB sekitar 6-7%. Akan tetapi dengan penambahan
santan kelapa atau butanol sebagai pelarut organik, penurunan kadar ALB substrat mencapai
29-30%, bahkan hingga 34% pada substrat dengan penambahan butanol yang direaksikan
dengan enzim lipase dari C. rugosa.

Secara kualitatif terjadinya reaksitransglikosilasi dapat ditandai dengan adanya


pembentukan spot-spot sebagai produk transfer (PT) yang terdeteksi pada kromatogram hasil
analisis TLC. Ester asam lemakyang memiliki polaritas lebih tinggi, memiliki spot
kromatogram dengan nilai-Rf yang lebih tinggi (0,82) dibanding nilai-Rf produk asam lemak
bebas hasil hidrolisis trigliserida pada CPO antara lain stearat (Rf 0,59), palmitat (Rf 0,46),
linoleat (Rf 0,25), linolenat (Rf 0,09) dan oleat (Rf 0,04).

38
Gambar 3. Kromatogram TLC hasil reaksi enzimatik lipase pada
substrat CPO dan butanol. Keterangan: 1. Kontrol, 2. C. rugosa, 3.
B. subtilis, 4. P. aerogenes.

Gambar 4 menunjukkan kondisi campuran reaksi mengandung substrat CPO setelah


penambahan pelarut alkohol (metanol, etanol, butanol dan propanol) 10-25%, dinkubasi
dengan enzim lipase dari C. rugosa selama 48 jam. Secara kualitatif terjadinya reaksi
transesterifikasi ditunjukkan dengan adanya pembentukan ester asam lemak yang memiliki
polaritas dan solubilitas lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (buffer) yang tidak diberi
penambahan pelarut alkohol (Saifuddin dan Chua, 2004). Campuran reaksi menunjukkan
terjadinya perubahan sifat kelarutan yang lebih baik, ditandai dengan tingginya kadar asam
lemak tidak jenuh dari golongan oleat, linoleat dan linolenat (Tabel 2) sebagai produk asam
lemak bebas hasil hidrolisis trigliserida secara enzimatik pada CPO.

39
Gambar 4. Campuran reaksi mengandung substrat CPO dan
beberapa pelarut alkohol sebagai akseptor reaksi transesterifikasi
dengan enzim lipase dari biakan C. rugosa.

Hasil analisis kromatografi gas pada substrat CPO yang telah direaksikan dengan
butanol dan enzim lipase dari C. rugosa, menunjukkan bahwa komposisi kandungan
asamlemak tidak jenuh yang merupakan asam lemak esensial,mterbentuk lebih tinggi
dibanding kandungan asam lemak jenuh. Hasil tersebut memberi indikasi bahwa komposisi
asam lemak bebas pada substrat CPO sebelum dan sesudah mengalami reaksi
transesterifikasi, mengalami perubahan yang nyata. Reaksi transesterifikasi menggunakan
butanol dengan enzim lipase dari C. Rugosa dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak
jenuh yaitu asam oleat, linoleat dan linolenat, masing-masing sebesar 19%, 29% dan 42%,
serta menurunkan asam lemak jenuh, yaitu laurat dan palmitat masing-masing sebesar 87%
dan 45%, akan tetapi sebaliknya kandungan asam lemak jenuh stearat juga meningkat sebesar
53%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak seluruh komponen asam lemak tidak jenuh
dapat ditingkatkan mengikuti penurunan kandungan sebagian asam lemak jenuh.

Sebaliknya Reaksi enzimatik menggunakan butanol dengan enzim lipase dari B.


subtilis dan P. aerogenes tidak dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh yang
terdiri dari asam oleat, linoleat dan linolenat, meskipun dapat menurunkan asam lemak jenuh,
khususnya asam laurat dan palmitat, masing-masing sebesar 96% dan 62% (B. subtilis) serta
97% dan 69% (P. aerogenes). Peningkatan kandungan asam stearat juga terjadi meskipun

40
tidak terlalu besar. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sumber enzim berpengaruh
terhadap peningkatan atau penurunan kandungan asam lemak bebas secara cukup signifikan
pada ketersediaan akseptor butanol.

Perubahan komposisi dan kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada substrat
CPO belum optimal, sehingga masih dapat ditingkatkan lagi mengingat tingginya kandungan
asam palmitat pada CPO (40-46%) belum sepenuhnya dapat termanfaatkan dengan baik.
Untuk meningkatkan reaksi transesterifikasi secara lebih efektif dan efisien, diperlukan
optimasi perihal sumber enzim dari berbagai sumber biakan mikroba, khususnya dari
golongan termofilik dan alkalotoleran, serta kondisi optimum inkubasi maupun jenis pelarut
organiknya, agar seluruh kandungan asam lemak jenuh yang terdapat dalam substrat dapat
ditransferkan menjadi ester asam lemak secara optimal (Winarno, 1987).

Indikasi tersebut didasarkan pada asumsi apabila efektivitas enzim pada reaksi
transesterifikasi menjadi sangat tinggi, maka kandungan asam lemak tidak jenuh akan
meningkat, sehingga minyak akan tetap mencair pada suhu ruang dan fungsinya sebagai
bahan berminyak dapat dimanfaatkan secara optimal, antara lain sebagai senyawa aromatik
penyedap rasa, untuk produksi alkohol lemak atau untuk pemanfaatan sebagai produk
farmaka yang berfungsiuntuk pencegahan dan penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan
sistem peredaran darah, antara lain trombosis dan arteriosklerosis.

4. KESIMPULAN

Penelitian ini membuktikan bahwa asam lemak pada minyak sawit mentah (CPO)
dan minyak kelapa, dapat direaksikan secara transesterifikasi menggunakan enzim lipase
yang diekstraksi dari biakan mikroba, antara lain C. rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes
menjadi ester asam lemak, pada ketersediaan butanol sebagai pelarut organik. Selain itu,
reaksi transesterifikasi dengan enzim lipase dari C. rugosa juga menyebabkan terjadinya
perubahan pada kandungan asam lemak bebas. Perubahan cukup signifikan yang ditunjukkan
oleh adanya penurunan beberapa komponen asam lemak jenuh, diikuti dengan peningkatan
beberapa komponen asam lemak tidak jenuh sebagai asam lemak esensial, memberikan
indikasi yang prospektif perihal pemanfaatan enzim lipase dari biakan mikroba.

41
 PROSES PERENGKAHAN KATALITIK METIL ESTER
DARI MINYAK BIJI KARET MENGGUNAKAN ASAM
SULFAT SEBAGAI ALTERNATIF PEMBUATAN
BIOGASOLINE

Dewasa ini penggunaan bensin sebagai bahan bakar kendaraan bermotor


menunjukan perkembangan yang pesat. Bensin banyak digunakan sebagai bahan bakar
kendaraan baik mobil dan sepeda motor. Peningkatan jumlah kendaraan berbahan bakar
bensin juga mengakibatkan kebutuhan bahan bakar bensin semakin tinggi pada tahun 2006
(17,47 juta kiloliter) dan diperkirakan pada tahun 2010 sebesar 22,5 juta kiloliter (Indartono,
2006 : 3), padahal persediaan minyak bumi sebagai bahan mentah bensin semakin menipis.
Pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional,
pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) ditargetkan 5% pada tahun 2025 (Widodo, 2006 :
1). Oleh karena itu perlu dicari sumber bensin alternatif sehingga dapat mencukupi kebutuhan
bensin di Indonesia.

Sumber bahan bakar alternatif untuk menghasilkan bensin diupayakan berasal dari
bahan nabati. Seperti halnya biodiesel, minyak nabati dapat digunakan sebagai biogasoline.
Minyak nabati dapat diperoleh dari macammacam tumbuhan, contohnya minyak biji karet,
minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak, minyak kelor, minyak biji matahari, dan minyak
biji kapuk. 2 Pemilihan minyak biji karet sebagai bahan baku pembuatan biogasoline
disebabkan di Jawa Tengah banyak sekali limbah biji karet yang masih terbatas kegunaannya,
sebagai mainan ketapel anak-anak dan minyak masak/minyak lampu, bahkan cenderung
dibuang. Peneliti melihat peluang adanya kemampuan biji karet tersebut untuk diambil
minyaknya (37,5%) (Loo, 1990 : 33). Dengan mengembangkan minyak biji karet sebagai
bahan baku pembuatan biogasoline, maka sumber daya alam Indonesia yang melimpah
tersebut dapat diolah menjadi valuable product yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Minyak
biji karet yang digunakan untuk pembuatan bahan baku biogasoline merupakan hasil
pengepresan biji karet.

Minyak biji karet ataupun minyak nabati pada umumnya memiliki kekentalan yang
relatif tinggi dan mengandung asam lemak bebas lebih dari 2% dibandingkan dengan minyak

42
solar dari fraksi minyak bumi Kekentalan dan kadar asam lemak bebas ini dapat dikurangi
dengan memutus percabangan rantai karbon tersebut melalui proses transesterifikasi
menggunakan alkohol rantai pendek, misalnya metanol atau etanol (Setyawardhani, 2003 : 7).
Metanol lebih disukai karena memiliki reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
etanol. (www.journeytoforever.org, 2003).

Reaksi transesterifikasi berjalan lambat, maka diperlukan katalis untuk menurunkan


energi aktivasi dan mempercepat reaksi. Katalis dapat berupa asam, basa, atau enzim
(Groggins, 1958; Ming et al., 1999; Kose dan Tuter, 2002 :77). Pada proses transesterifikasi,
katalis basa memiliki keunggulan dibandingkan dengan katalis asam dari segi kecepatan,
kesempurnaan reaksi, dan tidak 3 memerlukan suhu operasi yang tinggi untuk menjalankan
reaksi. Suhu operasi yang relatif rendah memberikan keuntungan berupa kebutuhan energi
untuk proses rendah pula sehingga akan menurunkan biaya operasi (Swern, 1982 : 83).

Dalam perindustrian minyak, bensin dihasilkan dari perengkahan katalitik dengan


menggunakan katalis. Katalis yang biasa digunakan adalah katalis asam. Dengan cara yang
sama metil ester dari minyak biji karet selanjutnya mengalami perengkahan katalitik dengan
menggunakan katalis asam untuk menghasilkan bensin, seperti halnya pada industri minyak
bumi. Perengkahan katalitik ini memiliki banyak keunggulan dibanding dengan perengkahan
termal (Speight, 1991 : 66), diantaranya dapat menghasilkan bensin dengan bilangan oktana
yang lebih tinggi.

Metil ester memiliki ikatan rangkap sehingga lebih mudah mengalami perengkahan
dengan katalis asam sulfat. Ikatan rangkap pada metil ester inilah yang nantinya mengalami
perengkahan menjadi senyawa yang lebih pendek. Inisiator Metil Etil Keton Peroksida akan
membuat metil oleat dan metil linoleat menjadi radikal bebas yang mempermudah reaksi
perengkahan oleh katalis asam sulfat. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan
diantaranya Ramadhas, dkk (2005) melakukan dua tahap esterifikasi untuk memproses
minyak biji karet mentah (unrefined rubber seed oil) menjadi biodiesel. Pada penelitian
Moestika, dkk (2004) meneliti biogasoline dari minyak sawit melalui perengkahan dengan
katalis alumina menghasilkan berat molekul yang masih tinggi. Demikian pulayang
dilakukan oleh Handayani (2004) membuat biogasoline dengan katalis yang 4 lain yaitu
menggunakan katalis zeolite.

43
Produk biogasoline yang didapat memiliki bilangan oktana yang lebih tinggi (rata-
rata 114) dibandingkan bensin (88) tetapi viskositas dan densitas produk masih terlalu tinggi.

2. 1 Bensin

Bensin merupakan campuran hidrokarbon kompleks yang memiliki rentang titik


didih 180- 200°C. Bensin memiliki sruktur molekul yang terdiri dari campuran 4-12 atom
karbon. Senyawa yang terdapat dalam bensin terdiri dari parafin (sikloparafin dan paraffin
bercabang), olefin, dan aromatik. Bensin dihasilkan dari distilasi fraksinasi minyak bumi dan
pemisahannya berdasarkan perbedaan titik didih. Destilasi secara fraksional menghasilkan
250 mL bensin rantai lurus (straight-run gasoline) untuk setiap liter minyak mentah (Semar,
2006 : 21). Selain destilasi fraksional, bensin juga diproses melalui reaksi perengkahan,
reformasi, alkilasi, dan isomerisasi. Proses reformasi, alkilasi, dan isomerisasi dimaksudkan
untuk menghasilkan bensin dengan mutu yang lebih baik yaitu meningkatkan bilangan
oktana.

2. 1. 1 Spesifikasi Bensin

Bensin sebagai bahan bakar kendaraan bermotor harus memenuhi beberapa


spesifikasi untuk meningkatkan efisiensi mesin dan mengurangi dampak negatif dari gas
yang dibuang. Gas hasil pembakaran dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan
kesehatan. Bensin harus memiliki bilangan oktana tinggi dan bebas dari gas buang yang
mengandung zat-zat membahayakan kesehatan dan lingkungan bila dilepaskan ke udara.

Spesifikasi bensin yang digunakan sebagai bahan bakar telah ditetapkan melalui
Surat Keputusan Direktorat Jendral Minyak dan gas Bumi No. 22K/72/DDJM/1990 dan No.
18K/72/DDJM/1990. Bensin dispesifikasikan menurut parameter-parameter yang diperlukan
bensin sesuai dengan penggunaannya. Parameter-parameter tersebut dibagi menjadi tiga,
yaitu sifat pembakaran, sifat volatilitas, dan sifat stabilitas kebersihan.

2. 1. 1. 1 Sifat Pembakaran

Karakteristik utama yang diperlukan dalam bensin adalah sifat pembakarannya yang
diukur dengan bilangan oktana. Bilangan oktana merupakan kecenderungan bensin untuk

44
mengalami pembakaran yang tidak normal sehingga mengalami ketukan pada mesin.
Semakin tinggi bilangan oktana semakin berkurang kecenderungannya untuk mengalami
ketukan dan semakin tinggi kemampuannya untuk digunakan pada rasio kompresi tinggi
tanpa mengalami ketukan.

Bilangan Oktana diukur dengan menggunakan mesin CFR (Cooperative Fuel


Research) yang dioperasikan pada kondisi tertentu. Bahan bakar yang dihasilkan
dibandingkan dengan bahan bakar rujukan yang terbuat dari n-heptana yang memiliki
bilangan oktana 0 dan isooktana yang memiliki bilangan oktana 100. Secara umum, bilangan
oktana menyatakan presentasi isooktana dalam bahan bakar rujukan yang memberikan
intensitas kekuatan yang sama pada mesin uji. Ada dua macam bilangan oktana yaitu RON
(Research Octane Number) yang memberikan gambaran mengenai unjuk kerja dalam kondisi
pengendara biasa dan 8 MON (Motor Octane Number) yang memberikan unjuk kerja dalam
kondisi pengendara yang lebih berat. Sehingga bilangan oktana dapat ditulis dengan rumus:

Bilangan Oktana = RON + MON


2

Cara mendapatkan bensin dengan bilangan oktana cukup tinggi dilakukan dengan.
1. Memilih minyak bumi yang memiliki kandungan aromatik yang tinggi dalam trayek didih
bensin.
2. Meningkatkan kandungan aromatik melalui pengolahan reformasi, atau alkana bercabang,
atau olefin bertitik didih rendah.
3. Menambahkan aditif peningkat bilangan oktana seperti timbal aktif. Tetapi timbel
memiliki sifat beracun yang sangat berat sehingga penggunaan timbel dapat diganti
dengan MTBE (methyl-tertiary-buthyleter) dan TBA (tertiary-buthyl-alcohol)
(Soemarwoto, 2006 : 2).
4. Menggunakan komponen yang memiliki bilangan oktana tinggi misalnya alkohol atau eter.

2. 1. 1. 2 Sifat Volatilitas

Ada tiga sifat volatilitas yang biasanya digunakan dalam spesifikasi bensin antara
lain kurva distilasi, tekanan uap, dan perbandingan V/L. Kurva destilasi dihasilkan dari
destilasi bensin menurut metode ASTM yang berkaitan dengan masalah operasi dan unjuk

45
kerja kendaraan bermotor. Bagian ujung depan kurva destilasi berkaitan dengan kemudahan
mesin dinyalakan pada waktu dingin, penyalaan pada waktu panas dan kecenderungan
mengalami pembentukan es pada 9 karburator. Bagian ujung belakang kurva berkaitan
dengan masalah pembentukan getah bensin, endapan di ruang bakar dan busi serta
pengenceran terhadap minyak pelumas. Sedangkan bagian tengah kurva berkaitan dengan
daya dan percepatan. Kemulusan operasi serta konsumsi bahan bakar. Persyaratan volatilitas
bensin adalah bahan bakar bensin harus mudah menguap pada saat penyalaan (starting),
mudah mencapai pemanasan yang tepat (warm-up/acceleration), distribusi yang merata pada
setiap silinder mesin (fuel distribution), dan tidak terlalu berat (oil dillution) serta tidak terlalu
mudah menguap agar tidak membentuk sumbatan (vapour lock) pada karburator (Semar,
2006 : 25).

2. 1. 1. 3. Sifat kestabilan dan kebersihan

Bensin harus bersih, aman, tidak rusak, dan tidak merusak dalam penyimpanan dan
pemakaiannya. Parameter spesifikasi yang berkaitan dengan sifat ini antara lain zat getah,
korosi, dan berbagai uji tentang kandungan senyawa belerang yang bersifat korosif. Pada
bensin yang diuapkan biasanya mengandung banyak getah pada yang melekat pada mesin
dan apabila terjadi pengendapan yang terlalu banyak akan mengakibatkan kerusakan mesin.
Oleh karena itu kandungan getah pada bensin harus dibatasi. Minyak bumi banyak
mengandung belerang dalam jumlah kecil. Senyawa belerang ini bersifat korosif dan
semuanya terbakar di dalam mesin menghasilkan senyawa belerang oksida yang korosif dan
dapat merusak bagian-bagian mesin, selain itu juga beracun dan dapat merusak lingkungan.
Oleh karena itu kandungan belerang pada bensin perlu dibatasi.

2. 1. 1. 4 Kandungan Hidrokarbon

Senyawa hidrokarbon bensin jenis aromatik, olefin, dan benzena adalah peningkat
angka oktana yang baik tetapi kandungan dalam bensin harus dibatasi karena dapat
menimbulkan pengaruh buruk terhadap mesin dan lingkungan hidup. Kandungan aromatik
dalam bensin mempengaruhi kandungan benzena, bertambah tinggi semakin tinggi
kandungan aromatik dalam bensin semakin tinggi pula kandungan benzena. Aromatik
berlebih akan menimbulkan deposit dalam di ruang bakar mesin (Combustion chamber

46
deposit), yang beracun. Olefin dapat menimbulkan deposit pada katup (intake valve deposit)
mesin (Semar, 2006 : 25).

2. 1. 1. 5 Karakteristik Bensin

Ada tiga macam bensin di Indonesia yaitu Premium, Pertamax, dan Pertamax Plus.
Ketiga bensin tersebut mempunyai perbedaan pada bilangan oktananya
Tabel 2. Bilangan Oktana Bensin Indonesia
No Jenis Bensin Bilangan Oktana
1 Premium 88
2 Pertamax 92
3 Pertamax Plus 95

(Sumber : Dirjen Migas)

2. 2 Minyak Biji Karet

Saat ini tanaman karet yang banyak di Indonesia adalah jenis Brasiliensis, klasifikasi
botani tanaman ini adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotiledonae
Keluarga : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea Brasiliensis
Karet cukup baik dikembangkan di daerah lahan kering beriklim basah seperti Indonesia.
Tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan komoditas lainnya,
yaitu:
(1) dapat tumbuh pada berbagai kondisi dan jenis lahan, serta masih mampu dipanen hasilnya
meskipun pada tanah yang tidak subur,
(2) n mampu membentuk ekologi hutan, yang pada umumnya terdapat pada daerah lahan
kering beriklim basah, sehingga karet cukup baik untuk menanggulangi lahan kritis,
(3) dapat memberikan pendapatan harian bagi petani yang mengusahakannya, dan (4)
memiliki prospek harga yang cukup baik, karena kebutuhan karet dunia semakin
meningkat setelah Cina membuka pasar baru bagi karet Indonesia
(http://primatani.litbang.deptan.go.id, 2006).

47
Gambar 1. (a) Biji karet tanpa cangkang, (b) Biji Karet Dengan
Cangkang

Indonesia sebagai negara penghasil karet alam (38% produksi karet dunia) memiliki
perkebunan karet yang sangat luas. Biji karet terdapat di setiap ruang buah. Jumlah biji
biasanya tiga, kadang enam, sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit
keras. Warna biji coklat kehitaman dengan bercak pola yang khas. Biji terdiri dari 51% kulit
dan inti 49%, akan tetapi hanya memberikan rendemen 43,5% minyak mentah (Loo, 1990 :
3). Minyak biji karet mentah (unrefined rubber seed oil) diperoleh dari biji. Minyak yang
didapat langsung dari pemerahan atau pengempaan biji sumber minyak (oilseed), yang
kemudian disaring dan dikeringkan disebut sebagai minyak lemak mentah (Soeradjaja, 2005 :
3). Minyak lemak mentah diproses lanjut guna menghilangkan kadar gum (degumming) dan
asam-asam lemak bebas (dengan netralisasi dan steam refining) disebut refined fatty oil
(Soeradjaja, 2005 : 43). Minyak tersebut berwarna kuning muda dengan massajenis 0,924-
0,930 kg/L. Minyak yang mempunyai angka iodine tinggi (>115 gram I2/100 gram)
mempunyai kadar asam linolenat besar (>12%) dan bilangan penyabunan 190-195 mg-
KOH/g (Hilditch, 1986 : 37). Asam-asam lemak minyak biji karet ini sangat bermanfaat bagi
kesehatan manusia.

Asam lemak juga merupakan bahan yang mudah terbakar dan bila diproses dengan
alkoholisis dapat bermanfaat sebagai biodiesel, sedangkan gliserol banyak digunakan dalam
industri makanan, farmasi, kosmetika, bahan peledak dan lain-lain. Meskipun minyak biji
karet mempunyai prospek ekonomi yang menjanjikan, tetapi studi mengenai pengolahannya

48
belum banyak dilakukan. Keunggulan-keunggulan dimiliki oleh tanaman karet, maka minyak
biji karet dipandang potensial untuk diolah menjadi bahan bakar alternatif pada mesin motor
yaitu biogasoline untuk skala komersial. Sejauh ini penggunaan minyak biji karet sebagai
bahan baku dalam sintesis biogasoline belum pernah dilakukan.

Dengan mengolah minyak biji karet menjadi biogasoline akan diperoleh banyak
keuntungan, yaitu sebagai upaya untuk mengatasi krisis energi dengan jalan mengembangkan
biofuel alternatif untuk masa depan. Selain itu, biogasoline dari minyak biji karet merupakan
upaya pengembangan sumber daya hayati yang melimpah di Indonesia menjadi produk yang
strategis dan bernilai ekonomis tinggi.

Tabel 4. Komposisi Asam Lemak Minyak Biji Karet


Komponen % berat
Asam palmitat (C16H32O2) 16:00 7,5-10,6

Asam stearat (C18H36O2) 18:00 8,6-23,8

Asam Arachidat(C20H40O2) 20:00 0,3-1,3

Asam Oleat (C18H34O2) 18:01 17,2-30,0


Asam Linoleat (C18H32O2) 18:02 30,0-39,0

Asam Linolenat (C18H30O2) 18:03 21,0-26,0


(Hilditch, 1986)

2. 3 Metil Ester

Metil ester adalah senyawa ester yang mengikat gugus metil, senyawa ini merupakan
minyak mentah (crude oil) karena masih mengandung pengotor (sisa katalis, metanol,
gliserol, dan sabun). Metil ester dapat dibuat dengan proses transesterifikasi. Reaksi
transesterifikasi merupakan metode memproduksi metil ester dari refined fatty oil yang saat
ini paling umum. Metode ini dapat menghasilkan fatty acid methyl Ester (FAME) hingga

49
98% dari bahan baku minyak tumbuhan (Bouaid, dkk, 2005 : 65). Ramadhas, dkk (2005 :
335) melakukan dua tahap esterifikasi untuk memproses minyak biji karet mentah (unrefined
rubber seed oil).

2. 3.1 Esterifikasi

Esterifikasi adalah reaksi untuk mengubah senyawa karboksilat menjadi senyawa


ester. Reaksi esterifikasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan
alkohol membentuk ester dan air. Pada tahap ini merupakan tahapan awal menggunakan
katalis asam untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga 2%. Asam sulfat (sulphuric
acid) 0,5% berat dan alkohol umumnya metanol dengan rasio molar antara alkohol dan
minyak sebesar 6:1 terbukti memberikan hasil konversi yang baik. Selain untuk menurunkan
kadar asam, perlu dilakukan pengurangan kadar air. Reaksi esterifikasi menggunakan katalis
asam dapat dilihat pada Persamaan [1].
O O

R C OH + R’ OH R C O R’ + H20 [1]
Asam lemak Alkohol Kalor Ester Air

2. 3. 2 Esterifikasi Alkalin

Proses transesterifikasi merupakan proses lanjutan esterifikasi dengan mereaksikan


minyak prduk esterifikasi dengan metanol dan katalis alkalin. Reaksi transesterifikasi
merupakan proses penggantian gugus alkoksi dari ester dengan alkohol lain. Bila ester
direaksikan dengan suatu alkohol, maka proses transesterifikasi ini disebut reaksi alkoholisis.
Alkohol rantai pendek yang digunakan untuk reaksi esterifikasi adalah metanol dan etanol.
Metanol lebih disukai karena murah dan memiliki reaktivitas lebih tinggi dari pada etanol.
Hasil dari reaksi transesterifikasi antara trigliserida dengan metanol ini adalah senyawa fatty
acid methyl ester (FAME). Perbandingan molar antara alkohol dan produk tahap pertama
sebesar 9:1. Reaksi transesterifikasi (Persamaan [2]) menggunakan katalis basa (oksida
logam, hidroksida dari natrium atau kalium karbonat) lebih cepat dari pada katalis asam.

Reaksi transesterifikasi antara minyak dengan alkohol merupakan reaksi


kesetimbangan yang menghasilkan gliserol dan campuran alkil ester. Pada reaksi

50
kesetimbangan maka untuk mendapatkan metil ester yang besar, metanol yang digunakan
dibuat berlebih atau menghilangkan salah satu produk dari campuran reaksi agar
kesetimbangan bergeser ke arah kanan (produk). Penggunaan metanol yang berlebih akan
mengakibatkan sulitnya recovery gliserin sehingga diperlukan perkiraan rasio metanol
dengan minyak nabati yang tepat untuk setiap proses. Pada reaksi transesterifikasi,
trigliserida diubah secara bertahap menjadi digliserida, monogliserida, dan akhirnya gliserin
seperti terlihat pada persamaan [3]. Setiap satu mol ester dihasilkan dalam tiap tahap.
Reaksinya bersifat reversibel, meskipun kesetimbangan mengarah pada pembentukan ester
asam lemak dan gliserin.

Trigliserida (TG) + CH3OH Digliserida (DG) + R1COOCH3


Digliserida (DG) + CH3OH Monogliserida (MG) + R2COOCH3
Monogliserida (MG) + CH3OH Gliserida (G) + R3COOCH3

Dengan adanya katalis (baik asam ataupun basa kuat) dapat mempercepat
tercapainya kesetimbangan. Dalam usaha untuk menghasilkan produk ester yang banyak,
maka metanol dibuat berlebihan. Adapun mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis
basa adalah disajikan pada persamaan [4].

CH3OH + KOH CH3O- + KOH2+

Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis basa menghasilkan alkoksida dan


katalis terprotonkan. Senyawa nukleofilik yang terbentuk akan menyerang alkoksida pada
gugus karbonil sehingga pada trigliserida menghasilkan senyawa tetrahidrat yang kemudian
terbentuk alkil ester dan anion digliserida. Katalis mengalami deprotonisasi sehingga
terbentuk katalis yang aktif kembali, yang dapat bereaksi dengan molekul alkohol berikutnya,
dan siklus katalitik akan dimulai lagi. Digliserida dan monogliserida akan dikonversi menjadi
alkilester dan gliserol dengan mekanisme yang sama. Dalam proses transesterifikasi minyak
biji karet melibatkan beberapa reaksi:

1. Reaksi transesterifikasi, merupakan reaksi utama yang bersifat anhidrat.


2. Reaksi netralisasi, merupakan reaksi samping yang tidak dapat dihindari

51
yaitu pembentukan sabun dan air.
3. Reaksi safonifikasi, merupakan reaksi samping yang tidak diinginkan,
disebabkan adanya air.

Rubber seed oil + alkohol Ester + gliserol


Fatty acid + alkali Sabun + Air
Rubber seed oil + alkali Sabun +gliserol.

Metil Ester yang dihasilkan dari proses transesterifikasi ini harus memenuhi
beberapa syarat yang dapat dilihat pada Tabel 5.

2. 4 Reaksi Perengkahan

Reaksi perengkahan merupakan reaksi yang mengkonversi rantai hidrokarbon


panjang menjadi rantai hidrokarbon yang lebih pendek dengan bantuan panas/katalis. Secara
umum, reaksi perengkahan dibagi menjadi dua yaitu reaksi perengkahan radikal/termal dan
reaksi perengkahan katalitik.

2. 4. 1. Reaksi Perengkahan Termal/Radikal

Reaksi perengkahan radikal/termal biasanya terjadi pada suhu tinggi antara 1022-
12920F. Pertama terjadi inisiasi atau aktivasi dari parafin melalui abstraksi hidrogen
membentuk radikal bebas. Hal ini dapat dilihat pada persamaan reaksi. R’● di sini dapat
berupa atom hidrogen, radikal metil, dan lain-lain.

Pada proses inisiasi pada olefin terjadi melalui penyerangan radikal bebas pada ikatan
rangkapnya membentuk radikal bebas yang baru.

Selanjutnya, radikal bebas tersebut akan mengalami β scission sehingga olefin dan sebuah
radikal bebas dengan berat molekul yang rendah.

52
Setelah mengalami reaksi perengkahan, selanjutnya radikal bebas akan berkurang karena
sesama radikal bebas akan saling bergabung membentuk suatu senyawa atau produk.

2. 4. 2 Reaksi perengkahan Katalitik

Perengkahan katalitik terjadi melalui ion karbonium intermediat. Perbedaan antara


reaksi perengkahan termal dengan reaksi perengkahan katalitik terletak pada selektivitas
penghancuran ikatan (bond rupture). Reaksi perengkahan katalitik lebih selektif dalam
penghancuran ikatan dibandingkan dengan reaksi perengkahan termal yang lebih random.
Dibawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai mekanisme perengkahan katalitik
parafin dengan menggunakan katalis.

2. 4. 2. 1 Inisiasi

Inisiasi terjadi melalui abstraksi ion hidrida dari parafin menghasilkan suatu ion
karbonium.

2. 4. 2. 2 β scission

β scission merupakan suatu reaksi pemisahan heterolitik antar ikatan C-C yang
menghasilkan molekul olefin dengan ikatan yang lebih pendek β scission merupakan reaksi
yang berkebalikan dengan reaksi polimerisasi, karena secara termodinamika, reaksi
polimerisasi tersebut tidak akan terjadi (not favored) pada temperatur reaksi perengkahan.

2. 4. 2. 3 Isomerisasi

Suatu ion karbonium primer yang baru terbentuk akan menghasilkan suatu sistem
yang kurang stabil dan akan mengalami kecenderungan membentuk konfigurasi molekul
yang lebih stabil melalui reaksi pergerakan hidrida 1,2.

53
Migrasi hibrida 1,2 alkil atau gap aril menyebabkan isomerisasi Isomerisasi ini dapat
membentuk konfigurasi produk reaksi dari normal menjadi bercabang. Isomerisasi pada
reaksi perengkahan yang akan menghasilkan produk dengan rantai bercabang, pada
bensin/biogasolin rantai bercabang akan meningkatkan bilangan oktana dan meningkatkan
kualitas bensin/gasoline yang dihasilkan.

2. 5 Katalis Asam Sulfat (H2S04) dan Inisiator MEKP

2. 5. 1 Katalis Asam Sulfat

Katalis merupakan suatu substansi/zat yang mempercepat berlangsungnya reaksi


tanpa dikonsumsi oleh reaksi itu sendiri. Katalis dapat menurunkan energi aktivasi suatu
reaksi sehingga reaksi tersebut dapat lebih cepat mencapai energi aktivasinya. Terdapat dua
jenis katalis, yaitu katalis heterogen dan katalis homogen. Katalis homogen adalah katalis yng
satu fasa dengan reaktannya sedangkan katalis heterogen merupakan katalis yang berlainan
fasa dengan reaktannya. Katalis asam memiliki acid site pada katalis tersebut berupa asam
bronsted atau asam lewis. Asam sulfat merupakan asam kuat dengan 4 atom O yang memiliki
keelektronegatifan yang besar. Semakin banyak atom O yang terkandung dalam suatu
molekul memungkinkan semakin banyak pergerakan elektron menuju oksigen yang berakibat
melemahnya ikatan antara H dan O dalam molekul.

2. 5. 2 Inisiator Metil Etil Keton Peroksida (MEKP)

Inisiator radikal bebas merupakan substansi kimia yang pada kondisi tertentu dapat
menginisiasi reaksi kimia melalui pembentukan radikal bebas. Radikal bebas inisiator akan
menyerang ikatan rangkap metil ester membentuk radikal bebas baru yang reaktif sehingga
mudah bereaksi dengan katalis asam, hal ini mengakibatkan reaksi perengkahan dapat
berjalan lebih cepat dan lebih hebat (Chitra, 2004). Inisiator sering disebut sebagai katalis
radikal, namun inisiator tidak sepenuhnya sebuah katalis karena dikonsumsi pada suatu reaksi
kimia. Inisiator yang umum digunakan adalah inisiator peroksida, yaitu metil etil keton
peroksida (Othmer, 1995).

54
2. 6 Biogasoline Minyak Biji Karet

Seiring dengan menipisnya cadangan energi minyak bumi, perlu dilakukanupaya


memproduksi bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui. Bahan bakar tersebut harus
bersifat ramah lingkungan, berasal dari bahan baku yang terbarukan dan mudah diperoleh.
Salah satu bahan bakar yang prospektif adalah biogasoline. Biogasoline memiliki sifat yang
mirip dengan bensin. Beberapa keunggulan biogasoline dibandingkan dengan bensin :

a. Biogasoline memiliki bilangan oktana lebih tinggi dibandingkan dengan bensin sehingga
dapat menggantikan fungsi bahan aditif seperti MTBE dan TEL (Handayani, 2004 : 7).
b. Biogasoline bersifat ramah lingkungan karena gas buang hasil pembakaran rendah
terhadap senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai polutan, seperti karbon monoksida,
karbon dioksida, dan gas-gas rumah kaca.
c. Biogasoline bersifat biodegradable (mudah terurai) dan aman.
d. Biogasoline dapat diperbarui (renewable) karena bahan bakunya berasal dari bahan baku
nabati atau hewani.

Biogasoline minyak biji karet merupakan hasil dari proses perengkahan metil ester
minyak biji karet. Untuk mendapatkan metil ester minyak biji karet perlu dilakukan beberapa
proses pendahuluan.

a. Pengepressan.
Biji karet yang telah dipisahkan dari cangkangnya kemudian diambil minyaknya dengan
menggunakan alat hydrolic press untuk mendapatkan minyak biji karet murni.
b. Degumming, pencucian, dan pengeringan. Minyak biji karet yang telah didapat kemudian
dilakukan degumming untuk memisahkan gum dari minyak. Proses selanjutnya dilakukan
pencucian pada minyak biji karet untuk mengurangi kadar gum yang masih terlarut dalam
minyak. Tahap pengeringan dilakukan juga untuk mengurangi kadar air dalam minyak.
Hasil dari proses ini adalah minyak biji karet kualitas tinggi.
c. Esterifikasi bertujuan untuk mengubah senyawa karboksilat (tirgliserida) dalam minyak
biji karet menjadi senyawa ester.
d. Transesterifikasi, terjadi penggantian gugus alkoksi dari ester dengan alkohol lain.

55
e. Perengkahan (Cracking). Pada proses ini metil ester hasil dari transesterifikasi direngkah
dengan menggunakan asam sulfat dan inisiator MEKP untuk menghasilkan rantai karbon
yang lebih pendek. Pada tahap ini asam lemak pada metil ester direngkah pada ikatan
rangkapnya karena ikatan rangkap pada asam lemak memiliki energi ikat lebih rendah
dibandingkan dengan ikatan tunggalnya. Hasil dari proses perengkahan ini adalah senyawa
hidrokarbon dengan rantai lebih pendek (biogasoline).

3. 1 Lokasi Penelitian

1. Laboratorium Kimia Instrumen FMIPA Universitas Negeri Semarang untuk preparasi,


pelaksanaan reaksi esterifikasi, reaksi transesterifikasi dan proses perengkahan katalitik.
2. Laboratorium Kimia FMIPA UGM untuk menguji kandungan minyak biji karet, metil ester
hasil dari reaksi transesterifikasi, dan biogasoline hasil proses perengkahan katalitik.
3. Laboratorium Teknik Kimia Universitas Indonesia untuk melakukan uji bilangan Oktana.

3. 2 Variabel

3. 2. 1 Variabel bebas (Independent Variable)

Independent variable adalah variabel yang dapat dilihat pengaruhnya terhadap


variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penggunaan katalis dalam proses
perengkahan meliputi; tanpa perengkahan, dengan perengkahan katalis H2SO4, dengan
menggunakan perengkahan katalis H2SO4 dan inisiator MEKP. Suhu perengkahan katalitik
1000C, 1500C, 2000C dan konsentrasi katalis H2SO4 sebanyak 0,5%, 1%, 1,5%, 2,0% berat
minyak.

3. 2. 2 Variabel terikat (Dependent Variable)

Dependent Variable adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas, dalam
penelitian ini adalah kualitas biogasoline yang dihasilkan.

3. 3 Alat dan Bahan

56
3. 3. 1 Alat
Tabung reaksi, Beaker glass, Erlenmeyer, Termometer 300°C, Kolom Destilasi,
Pipet tetes, Gelas ukur, Waterbath, Stirer, 1 set buret, Corong pisah, Timbangan digital,
Lemari asam, Pengaduk kaca, Aerator, Hotplate, Termokopel, Furnace, Pompa sirkulasi air,
Kondensor, Piknometer, Kertas saring. Alat untuk Karakterisasi meliputi; Spektrofotometer
inframerah "Shimadzu FTIR-8201PC", Kromatografi Gas "Shimadzu GC-14B", GC-MS,
Viskometer Ostwald

3. 3. 2 Bahan

Biji karet, Metanol, Solar, Premium, Pertamax, Pertamax plus, NaOH, H2SO4,
Etanol absolut, KOH, MEKP 1%, Asam Oksalat, Na2SO4, Larutan KI, Br2, Asam asetat
Glasial, Aquades.

3. 4 Cara Kerja

Dalam proses pembuatan biogasoline dengan menggunakan katalis asam sulfat


dibagi menjadi beberapa bagian; meliputi preparasi, pembuatan metil ester, proses
perengkahan katalitik, dan penentuan koreksi antara bilangan oktana dan bilangan setana.

3. 4. 1 Preparasi

3. 4. 1. 1 Pengepresan Biji Karet

(Bachtiar, 2008:35)
Bertujuan mendapatkan cairan yang terdapat pada biji karet dengan menggunakan alat
hydrolic press.
1. Membersihkan biji karet dari kotoran, kemudian menimbang berat biji karet.
2. Melakukan proses pengepresan dengan memasukkan biji karet ke alat pres (mesin gerinda)
untuk ditekan dan mengeluarkan minyak.
3. Mencatat volume minyak mentah yang diperoleh.

3. 4. 1. 2 Proses Degumming

57
(Bachtiar, 2008:35)
Bertujuan untuk memisahkan getah yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat
dan resin tanpa mengurangi jumlah asam lemah bebas pada minyak biji karet.
1. Menimbang 500 gram minyak biji karet kemudian memasukkannya dalam labu leher tiga.
2. Memanaskan minyak biji karet pada suhu 85°C.
3. Menambahkan asam phosphat pekat sebanyak 0,5 gram (0,1% dari berat minyak biji karet)
dan pengadukan dilakukan selama 30 menit.
4. Memisahkan endapan dari minyak biji karet.
5. Mengukur volume minyak hasil proses degumming.

3. 4. 1. 3 Proses Pencucian

(Bachtiar, 2008 : 36)


Bertujuan untuk mengurangi kadar sabun yang masih terlarut.
1. Memanaskan kembali minyak biji karet pada suhu 85°C.
2. Memanaskan 100 mL aquadest pada suhu 90°C.
3. Mencampurkan minyak biji karet dengan 40 mL aquadest (0,8% dari berat minyak biji
karet) ke dalam corong pemisah.
4. Menggojog campuran selama 3 menit dan membiarkan selama 60 menit sampai terbentuk
2 lapisan. Minyak di lapisan atas dan air di lapisan bawah.
5. Memisahkan minyak dari air.
6. Melakukan pencucian sebanyak 2 kali.
7. Mengukur volume minyak biji karet hasil pencucian

3. 4. 1. 4 Proses Pengeringan

(Bachtiar, 2008 : 36)


Bertujuan untuk mengurangi kadar air minyak biji karet.
1. Memanaskan minyak biji karet sampai suhu 100°C dan tidak timbul gelembung-
gelembung lagi.
2. Mengukur volume minyak biji karet hasil pengeringan.

3. 4. 2 Pembuatan Metil Ester

58
3. 4. 2. 1 Esterifikasi

(Ramadhas, 2004:337)
1. Memanaskan minyak sampai dengan 60 0C dalam labu leher tiga yang dilengkapi dengan
pengaduk dan pendingin bola. Memastikan hingga semua lemak padat meleleh.
2. Menambahkan metanol (p.a kadar 99%) ke dalam minyak tersebut dengan perbandingan
molar minyak : metanol = 6:1.
3. Mengaduk selama 5 menit dan menambahkan katalis asam sulfat (kadar 95%) sebanyak 5
mL (0,5% volume minyak) dengan menggunakan pipet.
4. Mengaduk campuran dengan kecepatan pengadukan rendah. Suhu dijaga konstan 60 0C
selama 1 jam.
5. Setelah 1 jam, mematikan pemanas tetapi pengadukan terus dijalankan dalam kondisi
dingin (tanpa pemanasan) selama 1 jam ke depan.
6. Setelah 8 jam atau semalam, menetralkan asam sulfat dalam campuran tersebut dengan
menggunakan air (pisahkan lapisan air), kemudian dipanaskan sampai 100 0C.

3. 4. 2. 2 Transesterifikasi

(Ramadhas, 2004:338)
Reaksi dilakukan dalam reaktor berupa labu leher tiga yang dilengkapi pengaduk dan
pendingin. Diambil dengan rasio molar metanol : minyak = 9:1.
1. Campuran hasil esterifikasi sebanyak 80 mL dipanaskan hingga mencapai suhu yang
diinginkan (60 0C).
2. Pada saat yang sama, mencampurkan katalis NaOH sebanyak 0,5% berat minyak
dilarutkan ke dalam metanol (p.a 99%) (Dengan perbandingan molar minyak hasil pre-
esterifikasi : metanol = 1:9). Memanaskan larutan tersebut secara terpisah hingga dicapai
suhu yang sama.
3. Menuangkan larutan NaOH dalam metanol ke dalam reaktor secara cepat .
4. Mengaduk campuran tersebut dengan rpm rendah dan suhu dijaga konstan selama 1 jam.
5. Setelah 1 jam, menghentikan pemanasan dan pengadukan selanjutnya melakukan
pemurnian produk.

3. 4. 2. 3 Pemurnian Produk

59
Pemisahkan sempurna metil ester dan gliserol dihasilkan dari kondisi optimal proses
setelah selama 12 jam. Lapisan atas adalah metil ester berwarna kuning dan lapisan bawah
gliserol berwarna coklat tua. Setelah dipisahkan dari gliserol, kemudian metanol sisa reaksi
transesterifikasi direcovery menggunakan destilasi vakum sampai suhu mencapai 740C, dan
metil ester dicuci dengan air sampai pH metil ester menjadi netral (pH = 7). Setelah
pencucian, metil ester dipanaskan sampai suhu 1000C untuk menghilangkan sisa air.

3. 4. 3 Perengkahan Katalitik

(Dewayani, 2005:24)
1. Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Memasukan metil ester, katalis asam, dan metil keton peroksida ke dalam erlenmeyer
dengan perbandingan berat tertentu.
a. Perbandingan berat metil ester terhadap asam sulfat adalah 50 : 1.
b. Perbandingan berat untuk metil ester dengan MEKP adalah 100 : 1.
3. Memanaskan erlenmeyer yang dilengkapi dengan refluks dan stirer di dalamnya di atas hot
plate dengan waktu perengkahan 90 menit.
4. Mengambil sampel hasil reaksi yang terbentuk pada suhu 100 0C, 1500C, 2000C sebanyak
70 mL.
5. Sampel hasil reaksi kemudian diukur densitas, viskositas, dan bilangan oktana.

3. 4. 4 Penentuan Korelasi Antara Bilangan Setana (CN) Dan Bilangan


Oktana (ON)

(Dewayani, 2005:25)
1. Memasukkan 50 mL solar ke dalam kolom destilasi (kalibrasi). Kalibrasi dilakukan untuk
mengetahui penyimpangan CN yang ditimbulkan oleh alat dengan CN literatur.
2. Memanaskan kolom secara bertahap.
3. Mencatat data temperatur pada termokopel pada saat solar terevaporasi sebanyak 50%.
4. Memasukan nilai yang didapat ke dalam persamaan ASTM D-976
CI = {454,74-(1641,416*Densitas)} + {774,74*(Densitas)2}-
{0,554*TT50}+{97,803*(Log TT50)2}
ON = (-0,8027 *CI ) +120,56
Dimana :

60
CI : Indeks setana / prediksi bilangan setana
ON : Octane Number
5. Mengulangi prosedur (1)-(5) untuk jenis bensin premium, pertamax, dan pertamax plus ,
campuran bensin premium dan pertamax (Volume 1:1), campuran bensin pertamax dan
pertamax plus (volume 1:1) masing-masing sebanyak 5 kali.
6. Melakukan regresi untuk harga-harga yang didapat.
7. Membuat grafik hubungan antara ON (Bilangan Oktana) dan CN (Bilangan Setana)
dengan mencari persamaan garisnya.

3. 5 Skema Kerja

3. 5. 1 Diagram Alur Penelitian

3. 5. 2 Preparasi
3. 5. 2. 1 Penyaringan dan Drying
3. 5. 3 Pembuatan Metil Ester
3. 5. 3. 1 Esterifikasi

3. 5. 3. 2 Transesterifikasi

3. 5. 3. 3 Pemurnian Produk

3. 5. 4 Perengkahan Katallitik

3. 5. 5 Penentuan korelasi antara bilangan setana (CN) dan Bilangan oktana


(ON)

3. 6. 1 Penentuan Densitas

(Dewayani, 2005:27)
Metode uji densitas mengacu pada ASTM D-1298. Langkah-langkah pengukuran densitas
larutan adalah:
1. Menuang larutan sebanyak 15 mL senyawa ke dalam tabung reaksi. Menyimpan senyawa
tersebut pada suhu 10-15°C. Kemudian Menuangnya ke dalam pikno meter 10 mL dan
secepatnya ditimbang.

61
2. Menghitung densitas larutan dengan cara berat yang dihasilkan dibagidengan volume
piknometer sebagai densitas larutan pada 15°C.

3. 6. 2 Pengujian Bilangan Iodine

(Sudarmadji, dkk., 1997:86)


1. Menimbang 0,5 gram minyak biji karet dalam 500 mL erlenmeyer tertutup.
2. Menambahkan 10 mL CCl4 sebagai pelarut.
3. Menambahkan larutan hanus*) 25 mL
4. Menutup dan mengaduk dengan magnetic stirrer selama 30 menit di wadah gelap.
5. Menambahkan 20 mL KI 15% dan 100 mL aquadest, mengaduk selama 30 menit.
6. Melakukan titrasi dengan Na2S2O3 0,1 N sampai larutan berwarna kuning.
7. Menambahkan 1 mL amilum dan melanjutkan titrasi sampai biru tepat hilang.
8. Melakukan titrasi blanko, 10 mL larutan hanus tanpa minyak dengan perlakuan yang
sama.
*) Larutan hanus:
1. Memanaskan 200 mL asam asetat glasial sampai mendidih.
2. Menambahkan 6,6 gram I2 dan diaduk sampai larut.
3. Menambahkan lagi 250 mL asam asetat glasial dan 1,5 mL Br2.
4. Mengocok dan menyimpan dalam botol yang gelap.
5. Bilangan Iodine = N (V2-V1) x 12,69 / W
Keterangan:
N = Normalitas larutan Na2S2O3.
W = Berat minyak (gram)
Vi = Volume Na2S2O3 untuk titrasi sample (mL)
V = Volume Na2S2O3 untuk titrasi blanko (mL)

3. 6. 3 Penentuan bilangan asam

(Sudarmadji, dkk., 1997:85)


1. Melarutkan 0,5 gram minyak dalam 5 mL etanol
2. Menitrasi larutan dengan NaOH 0,1 N.
3. Mencatat jumlah KOH yang digunakan untuk menetralkan minyak. Bilangan asam (mg
NaOH/100) = (100 x V NaOH x N) / W

62
dengan: V NaOH = Volume NaOH untuk menitrasi (mL)
N = Normalitas NaOH (N) , W = Berat sampel (gram)

3. 6. 4 Penentuan kadar air

(Sudarmadji, dkk., 1997:99)


1. Memanaskan 5 gram minyak biji karet dalam oven sampai suhu 105°C selama 30 menit.
2. Memasukan minyak panas dalam desikator selama 15 menit sampai mencapai suhu kamar.
3. Minyak biji karet ditimbang dan dicatat selisih beratnya.
4. Mengulangi prosedur (1)-(3) sampai selisih berat minyak kering tidak lebih dari 0,05%.
Pengujian dilakukan dengan triplo.
Kadar air (%) = bobot hilang (g) x 100% bobot sampel (g)

3. 6. 5 Penentuan Bilangan Oktana

(Dewayani, 2005:29)
Bilangan oktana sampel dapat ditentukan dengan cara mendistilasi sampel seperti pada
prosedur 3. 4. 3. Prosedurnya sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Memasukan 20 mL sampel ke dalam kolom distilasi.
3. Memanaskan kolom secara bertahap
4. Mencatat temperatur pada termokopel pada saat sampel terevaporasi sebanyak 50%.
5. Memasukan nilai yang didapat ke dalam persamaan [10] .
6. Mengulangi prosedur (1)-(5) sebanyak tiga kali.
7. Memasukan nilai CN kedalam persamaan garis yang telah didapat pada bagian awal
sehingga didapat ON sampel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini mengkaji mengenai pengaruh katalis terhadap densitas biogasoline,


pengaruh suhu serta konsentrasi katalis terhadap sifat fisik biogasoline.nPada bab ini
membahas hasil penelitian mengenai proses perengkahan katalitik metil ester minyak biji
karet dengan menggunakan katalis asam sulfat dan inisiator Metil Etil Keton Peroksida

63
sebagai alternatif pembuatan biogasoline. Sampel yang digunakan adalah minyak biji karet
yang diperoleh dari perkebunan karet di daerah BSB (Bukit Semarang Baru) dan Perkebunan
Karet Ungaran.

4. 1 Preparasi Minyak Biji Karet

Tahapan ini merupakan tahapan awal dari penelitian. Biji karet yang digunakan
diperoleh dari dari perkebunan karet daerah BSB (Bukit Semarang Baru) dan Ungaran. Biji
karet dikelupas cangkangnya untuk diambil biji kemudian biji karet dikeringkan dalam oven
selama 1 jam. Hal ini untuk mengurangi kadar air dalam biji karet. Biji karet kering diblender
hingga halus dan dipress dengan menggunakan hydrolic press kemudian di analisis sifat
fisisnya, dari hasil analisis didapatkan data sebagai berikut.

Minyak biji karet hasil pengepresan kemudian dianalisis GC-MS dan IR untuk
mengetahui senyawa yang terkandung di dalamnya. Analisis menggunakan IR dilakukan
untuk mengetahui gugus fungsi. Spektrum IR suatu molekul adalah hasil transisi antara
tingkat getaran yang berlainan. Skala pada dasar spektrum IR terletak pada panjang
gelombang yang berkurang dari 4000 cm-1 sampai 600 cm-1 atau lebih rendah. Interpretasi
terhadap spektra IR minyak biji karet menunjukkan spektrum khas yang dapat dilihat pada
Gambar 3.

64
Gambar 3. Spektrum IR Minyak Biji Karet

Hasil Interpretasi IR minyak bij karet menunjukan adanya beberapa gugus fungsi
senyawa organik yang terkandung di dalamnya. Pada dasarnya ikatan-ikatan yang
mendominasi adalah ester yang ditunjukan pada serapan 1164,9 cm-1, adanya gugus asam
yang ditunjukan pada 721,3 cm-1 yang diperkuat pada serapan 1377,1 cm- 1, 1461,9 cm-1
2927,7 cm-1, serta adanya gugus hidroksi pada serapan 3008,8 cm-1 dan diperkuat pada
serapan 3348,2 cm-1. Struktur molekul senyawa yang terdapat di dalam minyak biji karet
dapat dilihat pada hasil analisis GC-MS.

65
Gambar 4. Kromatogram Minyak Biji Karet Mentah

Pada Tabel 10. menunjukan beberapa senyawa organik yang terkandung di dalam
minyak biji karet. Senyawa penyusun dalam minyak biji karet yang dominan adalah Asam
Palmitat 8,19%, asam linoleat 81,30%, dan asam stearat dengan 8,28%. Asam-asam lemak ini
merupakan penyusun trigliserida dalam minyak biji karet dan bukan sebagai asam lemak
bebasnya. Asam-asam lemak ini merupakan gugus pangganti R’, R’’,dan R’’’ dalam
trigliserida. Trigliserida ini nantinya yang akan diubah menjadi metil ester melalui reaksi
metanolisis atau transesterifikasi.

4. 2 Pemurnian Minyak Biji Karet

Volume minyak biji karet hasil pengepresan hydrolic press sebesar 730 mL. Minyak
kemudian dimurnikan dengan beberapa tahapan proses yaitu degumming, pencucian, dan
pengurangan kadar air. Proses degumming bertujuan untuk mengendapkan gum yang terdapat
pada minyak biji karet mentah. Proses degumming selain bertujuan mengurangi kadar gum
dalam minyak biji karet mentah, juga dapat mengurangi kadar Fe yang terkandung di
dalamnya (Bachtiar, 2008). Proses degumming dilakukan dengan mereaksikan minyak biji
karet dengan H3PO4 pekat sebanyak 0,1% volume minyak. Proses ini dilakukan pada suhu
850C dan pengadukan yang konstan selama satu jam. Hasil dari proses degumming ini
ditandai dengan adanya endapan seperti gelatin berwarna coklat tua kekuningan. Dari hasil
degumming dan pencucian didapatkan volume minyak biji karet sebesar 530 mL.

Minyak biji karet kemudian dicuci dengan menggunakan air panas bertujuan untuk
mengendapkan gum yang belum terendapkan pada proses degumming. Volume air panas
yang dibutuhkan sebesar 0,8% volume minyak. Proses pencucian ini dilakukan sebanyak 3
kali untuk mendapatkan hasil optimum. Hasil proses pencucian didapatkan volume minyak
biji karet sebanyak 500 mL. Minyak hasil pencucian kemudian dikeringkan dengan tujuan
pengurangan kadar air dalam minyak. Pada tahapan ini dilakukan pada suhu 1050C selama
kurang lebih 1,5 jam. Minyak biji karet hasil dari proses pemurnian ini dikatakan sebagai

66
minyak biji karet murni. Dari proses pengeringan didapatkan volume minyak sebesar 420
mL. Hasil proses pemurnian minyak kemudian dihitung kandungan asam lemak bebas dan
bilangan iod, dari hasil analisis didapatkan hasil sebagai berikut :

Secara keseluruhan proses pemurnian minyak biji karet didapatkan data sebagai berikut :

Perolehan minyak biji karet murni sebesar 600 mL disebabkan adanya minyak yang ikut
terbuang proses pencucian. Selain itu, pemisahan antara gum dan minyak yang tidak
sempurna menyebabkan minyak biji karet murni ikut terbuang bersama gum.

4. 3 Esterifikasi

Esterifikasi dilakukan untuk mengurangi bilangan asam, sebagaimana telah


diketahui transesterifikasi tidak akan terjadi jika kadar asam lemak bebas sangat tinggi
(Ramadhas : 336-337, 2004). Kadar asam lemak bebas atau disebut juga dengan senyawa
asam karboksilat dalam minyak jika bertemu dengan katalis NaOH pada reaksi
transesterifikasi akan membentuk sabun dan menghambat pembentukan produk.

Proses esterifikasi ini dilakukan dengan mereaksikan minyak biji karet murni dengan
metanol dan dikatalis dengan asam sulfat pekat. Sebanyak 500 mL minyak biji karet
dibutuhkan 100-150 mL metanol. Rasio perbandingan molar minyak biji karet dengan
metanol yang digunakan dianjurkan mendekati 1:6 (Ramadhas : 337, 2004). Perbandingan
molar ini menujukan hasil konversi optimum, dengan meningkatkan perbandingan molar
hanya akan memberikan sedikit tambahan pada konversi produk. Katalis asam sulfat pekat
sebesar 0,5% volume minyak biiji karet murni. Katalis asam yang digunakan berkisar antara
0,25-1,5%. Persentase asam sulfat yang memberikan hasil optimum pada proses adala 0,5%
volume minyak (Ramadhas : 337, 2004). Sisa katalis yang tercampur dengan alkohol
sebaiknya dipisahkan untuk menghindari penggelapan produk yang dihasilkan.

Esterifikasi dilakukan pada suhu 450-500C. Suhu operasi optimum pada proses adalah 500C.
Suhu proses lebih dari 500 dapat mengakibatkan penggelapan pada produk Ramadhas : 338,
2004). Analisis dari proses esterifikasi diperoleh hasil sebagai berikut :

67
4. 4 Transesterifikasi (Esterifikasi Alkalin)

Reaksi transesterifikasi bertujuan untuk mendapatkan metil ester dari minyak biji
karet. Selanjutnya metil ester minyak biji karet akan direngkah dengan menggunakan
inisiator Metil Etil Keton Peroksida (MEKP) dan katalis asam sulfat (H2SO4). Reaksi
transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan minyak biji karet dengan metanol dan katalis
NaOH. Rasio molar minyak biji karet dan metanol untuk menghasilkan produk ester
maksimum adalah 1:9. Penambahan rasio molar lebih banyak ataupun sedikit akan tetap
memberikan hasil yang sama (Ramadhas : 338, 2004).

Katalis NaOH yang digunakan sebesar 0,5%. Memberikan konversi maksimum pada
pembuatan metil ester (Ramadhas : 338, 2004). Suhu operasi yang digunakan adalah 500C
untuk menghindari penggelapan pada produk. Ini dikarenakan suhu operasi diatas 600C dapat
megakibatkan produk menjadi gelap. Analisis Proses Transesterifikasi diperoleh data sebagai
berikut.

Metil ester yang didapat kemudian dianalisis GC-MS dan IR untuk mengetahui
senyawa yang terkandung di dalamnya. Hasil analisis GC-MS dan IR\ disajikan pada Gambar
5.

Gambar 5. Spektra IR Metil Ester Minyak Biji Karet

68
Spektra IR metil ester minyak biji karet hasil transesterifikasi menunjukan adanya
gugus fungsi ester yang didominasi dengan regang ikatan rangkap. Gugus ikatan rangkap
ditunjukan pada serapan antara 1600 cm-1 sampai 3000 cm-1, dan gugus ester 1165 cm-1
yang diperkuat pada serapan 1743,65 cm-1. Gugus hidroksi yang ditunjukan pada serapan
3186,4 cm-1, 3363,86 cm-1, dan 3464,15 cm-1. Selanjutnya struktur molekul yang terdapat
pada metil ester dapat dilihat pada analisis GC-MS.

Gambar 6. Kromatogram GC-MS minyak biji karet hasil


transeterifikasi.
Tabel 15. Hasil GC-MS Minyak biji karet transesterifikasi

Dari Tabel 15. menunjukan bahwa metil ester yang terkandung dalam minyak biji
karet hasil transesterifikasi adalah metil palmitat 9,58%, metil linoleat 31,86, metil oleat

69
43,30%, metil stearat 11,73%, dan asam 7-Hesadekanoat sebesar 0,42%. Metil ester yang
terkandung dalam minyak biji karet hasil transesterifikasi inilah yang nantinya akan diputus
ikatannya menjadi senyawa yang memiliki rantai lebih pendek dari metil ester yaitu C4 – C
14. Senyawa dengan rantai yang lebih pendek inilah yang disebut dengan biogasoline.

4. 5 Penentuan Korelasi Antara Bilangan Setan (Cn) Dengan

Bilangan Oktana (On)

Pada tahap ini dilakukan penentuan hubungan antara bilangan setana (CN) dengan
bilangan oktana (ON) sehingga didapatkan korelasi yang berbentuk persamaan garis lurus.
Metode yang digunakan adalah metode destilasi dimana tiga jenis bensin yang beredar yaitu
premium, pertamax, pertamax plus serta campuran premium-pertamax dan pertamax-
pertamax plus dengan perbandingan volume 1:1 didistilasi untuk mengetahui bilangan
setananya. Bilangan oktana pada masing-masing jenis bensin telah diketahui maka akan dapat
persamaan garis lurus dari
korelasi tersebut.

Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan solar yang telah diketahui bilangan


setananya. Secara teoritis, bilangan setana solar yang ada di pasaran Indonesia adalah 45
(Rani, 2003). Setelah itu dihitung besarnya penyimpangan sehingga didapat faktor koreksi
tertentu. Berikut ini adalah data kalibrasi solar pada metode distilasi.

Hasil kalibrasi terhadap metode distilasi menghasilkan bilangan setana yang lebih
besar 13,07% dibandingkan dengan nilai sesungguhnya sehingga diperlukan faktor koreksi
sebesar 86,93% agar diperoleh bilangan setana yang akurat. Menentukan korelasi antara
bilangan setana dengan bilangan oktana. Data yang digunakan untuk menentukan korelasi
tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Data untuk masing-masing jenis bensin serta campuran
2 jenis bensin dengan perbandingan volume 1:1 diambil sebanyak 5 kali untuk mendapatkan
data yang akurat. Dari hasil regresi linier didapat korelasi antara CN dengan ON menurut
persamaan ON = -0,8179x + 121,08.

Gambar 7. merupakan persamaan garis yang menghubungkan antara bilangan setana dengan
bilangan oktana literatur. Hubungan antara bilangan setana dengan bilngan oktana literatur

70
berbanding terbalik. Dapat di simpulkan bahwa semakin lurus dan panjang suatu rantai suatu
senyawa hidrokarbon maka semakin tinggi bilangan setananya dan semakin rendah bilangan
oktananya begitupun sebaliknya sehingga hubungan antara bilangan setana dan bilngan
oktana berbanding terbalik (Moestika, 2004). Pada regresi linier Gambar 7. didapatkan R2
sebesar 0,9024, hal ini menunjukan bahwa data-data yang diambil cukup akurat dan dapat
digunakan dalam analisis bilangan oktana hasil perengkahan etil ester minyak biji karet yang
akan dibahas dalam pada tahap analisis berikutnya.

4. 6 Perengkahan Katalitik Metil Ester

Metil ester yang didapatkan dari proses transesterifikasi kemudian diberi perlakuan
lebih lanjut untuk mendapatkan rantai karbon yan lebih pendek. Perengkahan katalitik metil
ester minyak biji karet menggunakan katalis asam yaitu asam sulfat dan menggunakan
inisiator peroksida yaitu metil etil keton peroksida (MEKP).

4. 6. 1 Perbandingan Data Perengkahan Metil Ester tanpa dan menggunakan


Inisiator

Percobaan perengkahan katalitik metil ester dilakukan dengan pemanasan, katalis


asam sulfat, dan inisiator MEKP. Hasil dari perengkahan katalitik dari percobaan
dibandingkan hasil densitasnya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Pengaruh katalis dan inisiator pada proses perengkahan katalitik terhadap
densitas biogasoline

Perengkahan dengan menggunakan katalis asam sulfat dan insiator MEKP


menghasilkan densitas yang lebih besar dibandingkan dengan perengkahan katalitik hanya
dengan pemanasan dan perengkahan katalitik dengan menggunakan katalis asam sulfat. Hal
ini menunjukan perengkahan pada metil ester dengan menggunakan insiator membentuk
senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek lebih baik dibandingkan dengan
perengkahan hanya dengan pemanasan dan perengkahan hanya dengan katalis saja. Hal ini
mengindikasikan bahwa inisiator akan membentuk radikal bebas pada metil ester yang

71
kemudian akan mengalami β-Scission dan diakhiri dengan reaksi polimerisasi dari radikal
bebas itu sendiri.

4. 6. 2 Pengaruh suhu proses perengkahan katalitik terhadap densitas dan viskositas


biogasoline.

Pada percobaan sebelumnya didapatkan hasil dengan percobaan dengan


menggunakan katalis dan inisiator menghasilkan rekasi perengkahan yang lebih baik. Pada
percobaan ini dilakukan percobaan dengan variasi suhu untuk dilihat perubahan densitas dan
viskositas, variasi suhu dilakukan pada 1000C, 1500C,dan 2000C dengan menggunakan katalis
asam sulfat dan inisiator MEKP. Salah satu parameter adanya proses perengkahan adalah
perubahan densitas dan viskositas dari biogasoline.

Tabel 19. Pengaruh suhu proses perengkahan katalitik terhadap densitas dan viskositas
biogasoline

Semakin besar suhu reaksi yang digunakan maka semakin besar pula densitas
biogasoline yang dihasilkan. Hal ini menunjukan dengan semakin besarnya suhu reaksi maka
reaksi perengkahan katalitik yang terjadi lebih hebat. Reaksi perengkahan akan berlangsung
lebih cepat dengan semakin tingginya suhu yang menyebabkan gerakan molekul semakin
cepat atau energi kinetik yang dimiliki molekul-molekul pereaksi semakin besar sehingga
tumbukan antara molekul pereaks juga semakin meningkat.

Data densitas terbesar diperoleh pada suhu reaksi 2000C sedangkan densitas terkecil
diperoleh pada suhu reaksi 1000C. Densitas biogasoline hasil perengkahan yang lebih besar
daripada metil ester menunjukan bahwa adanya molekul baru yang tergabung di dalam
senyawa itu. Molekul tersebut adalah molekul yang berasal dari inisiator (lihat pada
mekanisme reaksi). Pada penelitian yang dilakukan Pangastuti dkk, mengenai reaksi
perengkahan katalitik tanpa menggunakan insiator, densitas yang didapatkan mengalami
kecenderungan menurun. Hal ini menjadi bukti bahwa kehadiran inisiator dapat menaikan
densitas biogasoline.

72
Densitas biogasoline seharusnya lebih kecil dibandingkan dengan metil ester karena
senyawa karbon rantai panjang metil ester direngkah menjadi senyawa karbon rantai pendek.
Densitas biogasoline yang semakin besar dikarenakan kehadiran deposit karbon hasil
perengkahan. Deposit karbon ini atau coke merupakan kation intermediet yang lebih stabil
terakumulasi pada katalis dan menghasilkan deposit karbon (Nurhayati, 2003). Semakin besar
suhu reaksi maka reaksi perengkahan yang terjadi akan semakin hebat sehingga deposit
karbon yang dihasilkan semakin besar menyebabkan densitas biogasoline semakin besar
pula.

Dengan semakin besarnya suhu reaksi juga mempengaruhi nilai viskositas


biogasoline. Pada Tabel 19. dapat dilihat dengan semakin besarnya suhu reaksi semakin besar
pula viskositas biogasoline yang diperoleh. Data viskositas terbesar diperoleh pada suhu
2000C dan viskositas terendah diperoleh pada suhu 1000C. Hal ini didukung dengan teori
yang meyatakan bahwa semakin besar densitas suatu senyawa maka semakin besar pula
viskositas suatu senyawa. Dalam pengukuran viskositas dengan menggunakan viskometer
berlaku rumus sebagai berikut.

Dimana:
r = Jari-jari bola
g = gaya gravitasi
h = tinggi di atas permukaan acuan
V = volume fluida
ρ = densitas fluida
t = waktu fluida melewati viskometer
l = panjang fluida

Pada viskometer yang sama maka nilai r, g, h, dan l adalah sama sehingga skositas
tergantung pada nilai ρ dan t. Viskositas biogasoline bertambah besar diakibatkan dengan
adanya deposit karbon yang terbentuk sebagai hasil samping dari reaksi perengkahan.
Adanya Deposit karbon dalam pengambilan data perhitungan viskositas menyebabkan
terhambatnya aliran fluida sehingga nilai viskositas biogasoline meningkat.

4. 6. 3 Pengaruh kadar asam/katalis pada proses perengkahan katalitik terhadap


densitas dan viskositas biogasoline

73
Pada percobaan sebelumnya didapatkan hasil percobaan dengan menggunakan
katalis dan inisiator menghasilkan rekasi perengkahan yang lebih baik. Pada percobaan ini
dilakukan percobaan dengan variasi katalis untuk dilihat perubahan densitas dan viskositas,
variasi katalis dilakukan pada 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2% pada suhu tetap. Parameter pada
pengaruh katalis pada proses perengkahan adalah densitas, viskositas, dan bilangan oktana.

Gambar 8. Pengaruh Kadar Katalis Terhadap Densitas Biogasoline

Pada Tabel 20. dan Gambar 8. dapat dilihat bahwa semakin besar kadar katalis yang
digunakan maka densitas biogasoline semakin besar. Pada Tabel 20. densitas terbesar
diperoleh pada kadar katalis 2% dan densitas yang terendah pada kadar katalis 2%. Semakin
meningkat densitas biogasoline dikarenakan adanya deposit karbon dalam pengambilan data
densitas. Kadar katalis dalam proses perengkahan menyebabkan kation yang terakumulasi
pada katalis semakin banyak sehingga deposit karbon yang terbentuk semakin besar. Hal ini
mengindikasikan inisiator yang digunakan membentuk radikal bebas pada metil ester dan
memudahkan untuk bereaksi dengan katalis asam sulfat menghasilkan reaksi perengkahan.
Dengan semakin besar kadar katalis yang ikut bereaksi maka reaksi perengkahan yang terjadi
semakin hebat dan deposit karbon yang terbentuk semakin banyak, sedangkan dengan jumlah
katalis yang sedikit maka reaksi perengkahan menghasilkan deposit karbon yang sedikit dan
reaksi tidak sebagus dengan kadar katalis yang lebih tinggi. Dengan semakin besarnya
densitas biogasoline maka viskositas biogasoline semakin besar. Pada Gambar 9. merupakan
pengaruh kadar katalis terhadap viskositas biogasoline.

Pada Tabel 20. dan Gambar 9. diperoleh bahwa dengan semakin besarnya kadar
katalis semakin besar viskositas biogasoline. Dari data diperoleh nilai viskositas terbesar
pada kadar katalis 2% dan nilai viskositas terendah pada kadar katalis 0,5%. Dari reaksi yang
telah berlangsung, deposit karbon yang terbentuk paling banyak dihasilkan pada reaksi
perengkahan dengan kadar katalis 2% dan dihasilkan deposit karbon yang sedikit pada reaksi
perengkahan kadar katalis 0,5%. Sehingga pada saat penghitungan nilai viskositas, aliran
fluida pada biogasoline hasil reaksi perengkahan dengan kadar katalis 2% lebih banyak
terhambat oleh hadirnya deposit karbon dibandingkan dengan biogasoline hasil reaksi
perengkahan dengan kadar katalis 0,5%. Dengan semakin besarnya densitas juga

74
mempengaruhi bilangan oktana dari biogasoline. Pada Gambar 10. merupakan pengaruh
kadar katalis terhadap bilangan oktana.

Gambar 10. Pengaruh Kadar Katalis terhadap Bilangan Oktana

Pada Tabel 20. dan Gambar 10. bilangan oktana dari biogasoline semakin turun
kemudian sampai pada kadar katalis 1,5% dan naik pada kadar katalis 2%. Adanya perubahan
bilangan oktana pada setiap variasi kadar katalis menunjukan adanya perubahan struktur
molekul metil ester karena adanya isomerisasi atau alkilasi, pemutusan ikatan, dan
pembentukan ikatan rangkap. Dengan berkurangnya densitas biogasoline maka akan semakin
menurunkan TT50 dari biogasoline sehingga angka oktananya akan meningkat.

Dengan penambahan jumlah katalis dalam reaksi maka semakin besar tumbukan
yang terjadi antar kation dengan katalis asam sulfat sehingga memungkinan terbentuknya
senyawa yang memiliki ikatan rangkap semakin besar. Salah satu faktor yang menyebabkan
semakin besarnya angka oktana adalah banyaknya ikatan rangkap pada senyawa. Hal ini
ditunjukan dengan semakin besarnya bilangan iodine biogasoline hasil perengkahan dengan
kadar katalis 0,5%. Pada perengkahan kadar katalis 0,5% diperoleh bilangan iodine sebesar
178,58 g- I2/100 lebih besar dibandingkan dengan hasil perengkahan dengan kadar katalis
1% sebesar 174,35 g I2/100, kadar katalis 1,5% sebesar 184,92 g-I2/100 dan kadar katalis 2%
sebesar 170,12 g-I2/100.

4.7 Analisis FTIR

Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui struktur senyawa dari metil ester
minyak biji karet sebelum reaksi perengkahan dengan senyawa hasil perengkahan katalitik
metil ester minyak biji karet. Pada metil ester minyak biji karet banyak didominasi ikatan
C=O (Asam, Aldehida, Keton, Amida, Ester, Anhidrida) pada serapan 1743.5 cm-1 , Ikatan
-CH2-, C=C pada serapan 2854,5 cm-1, C≡C, C=C, - COH Pada serapan 2924.09 cm-1, dan
C-O2C ( Kuat pada ester) pada serapan 1165 cm-1. Hasil analisis FTIR metil ester minyak
biji karet dapat dilihat pada gambar 11.

75
Gambar 11. Spektra FTIR metil ester minyak biji karet.

76
Gambar 12. Spektra FTIR Biogasoline hasil perengkahan metil ester dengan
kadar katalis 0,5%

77
Gambar 13. Spektra FTIR Biogasoline hasil perengkahan metil ester dengan
kadar katalis 1%

Gambar 14. Spektra FTIR Biogasoline hasil perengkahan metil ester dengan
kadar katalis 1,5%

78
Gambar 15. Spektra FTIR Biogasoline hasil perengkahan metil ester dengan

kadar katalis 2%

Pada umumnya ikatan-ikatan yang ada pada biogasoline hampir sama dengan
ikatan-ikatan yang ada pada metil ester, perbedaannya terletak pada absorbansi ikatan-ikatan
tersebut. Perbedaan absorbansi ikatan-ikatan tersebut ditunjukan pada Tabel 21. Jenis ikatan
pada metil ester dan biogasoline juga dibedakan pada munculnya gugus fungsi senyawa baru
pada rentang serapan 2000cm-1 sampai pada 3000cm-1 yaitu jenis ikatan C=C atau karbon
rangkap. Gugus fungsi C=C muncul sebagai hasil reaksi perengkahan. Pada metil ester gugus
fungsi C=C (ikatan rangkap) hanya sedikit pada intensitas panjang gelombang 2052,26 cm-1,
2337,72 cm-1, dan 2677,2 cm-1 sedangkan pada biogasoline hasil perengkahan lebih banyak
muncul pada intensitas panjang gelombang 2000 cm-1 sampai 3000 cm-1. Perbedaan dapat
dilihat pada Tabel 22.

Pada Tabel 21. baik ikatan C-OOC-, C=O, -CH2-, C=C, C≡C, C=C, maupun –
COH, semakin besar kadar katalis, intensitasnya semakin meningkat. Ikatan C-O2-C yang
kuat pada ester memiliki intensitas terbesar pada bigasoline hasil cracking dengan
menggunakan kadar katalis sebesar 2%. Pada biogasoline hasil cracking dengan kadar katalis
yang lebih rendah memiliki intensitas yang lebih rendah dibandingkan dengan biogasoline
2%, sedangkan pada metil ester intensitas ikatan CO2- C lebih rendah dari biogasoline 2%
dan lebih tinggi dibandingkan dengan biogasoline dengan kadar katalis yan lebih rendah.
Pada ikatan C=O intensitas ikatan semakin meningkat dari biogasoline 0,5% ke biogasoline
2%, sedangkan pada metil ester intensitas ikatan C=O lebih rendah dibandingkan dengan
biogasoline 2%. Pada ikatan –CH2-,C=C dibandingkan dengan metil ester intensitas ikatan
turun pada biogasoline 0,5%, 1%, 1,5%, dan meningkat pada biogasoline 2%. Pada ikatan
C≡C,C=C, -COH biogasoline hasil cracking 0,5%, 1%, 1,5% mengalami penurunan
dibandingkan dengan metil ester dan mengalami peningkatan pada biogasoline 2%.

Pada Tabel 22. kemunculan ikatan rangkap C=C lebih banyak muncul pada
biogasoline 0,5% sebanyak 6 kali sedangkan pada metil ester kemunculan ikatan C=C
muncul sebanyak 3 kali. Pada biogasoline hasil perengkahan dengan kadar katalis 1%, 1,5%,

79
dan 2% muncul sebanyak 4 kali. Dibandingkan dengan metil ester banyaknya ikatan C=C
pada biogasoline meningkat dikarenakan adanya proses cracking yang terjadi antara metil
ester, inisiator, dan katalis asam sulfat. Pada Tabel 18. dan 19. dapat disimpulkan bahwa
senyawa hasil perengkahan memiliki gugus fungsi yang lebih banyak dibandingkan dengan
metil ester.

Jika melihat kembali pada mekanisme rekasi perengkahan maka akan jelas terlihat
adanya alkilasi. Isomerisasi/alkilasi ini terjadi karena pada ion karbonium dapat berlangsung
migrasi hidrida1,2 atau grup alkil sehingga membentuk konfigurasi produk reaksi dari normal
menjadi bercabang (Chitra, S : 2004). Dengan banyaknya konfigurasi senyawa baru yang
memiliki ikatan rangkap dalam senyawa dapat meningkatkan bilangan oktana biogasoline.

4.8 Perbandingan Biogasoline Dengan Bensin

Berbagai variasi perbandingan suhu dan variasi katalis dapat disimpulkan kondisi
terbaik untuk menghasilkan biogasoline adalah pada suhu 1500C dengan kadar katalis 0,5%.
Hal ini dikarenakan pada variasi tersebut reaksi perengkahan menghasilkan densitas dan
viskositas rendah serta bilangan oktana yang tinggi dan mendekati bilangan oktana bensin.
Pada Tabel 23. dipaparkan perbandingan biogasoline dengan bensin berdasarkan parameter
bilangan oktana, densitas, dan viskositas. Dari perbandingan tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa dari segi bilangan oktana, biogasoline cukup mendekati spesifikasi bensin
namun dari segi densitas dan viskositas masih lebih tinggi daripada densitas dan viskositas
bensin.

Tingginya densitas dan viskositas dapat menyebabkan biogasoline mengalir dengan


tidak lancar sehingga dapat mengganggu kinerja mesin sehingga biogasoline dengan bahan
dasar minyak biji karet masih belum dapat digunakan untuk menggantikan bensin.
Biogasoline dapat digunakan sebagai penganti bensin perlu diuji beberapa sifat fisisnya yaitu
flash point, RVP,HV, dan lain-lain.

80
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Ester diturunkan dari asam karboksilat. Sebuah asam karboksilat mengandung gugus
-COOH, dan pada sebuah ester hidrogen pada gugus ini digantikan dengan sebuah gugus
hidrokarbon dari berbagai jenis. Gugus ini bisa berupa gugus alkil seperti metil atau etil, atau
gugus yang mengandung sebuah cincin benzen seperti fenil.

Untuk ester sederhana, pemberian namanya didasarkan pada nama trivial asam
karboksilatnya. Tabel 2.1 menunjukkan contoh trivial beberapa ester.

RUMUS UMUM :

Rantai induk ester adalah rantai terpanjang yang mengandung gugus ester (-
COOR’). Rantai alkil atau gugus lain yang terikat pada rantai induk dinamakan rantai cabang.
Penomoran rantai induk dimulai dari salah satu ujung sedemikian sehingga atom C pada
gugus ester mendapatkan nomor terkecil, diberi akhirn -OAT, dari nama rantai
hidrokarbonnya.

Asam Karboksilat dan Ester mempunyai rumus umum molekul yang sama, yaitu
CnH2nO2, tetapi mengandung gugus fungsi yang berbeda. Asam karboksilat dan Ester yang
bersesuaian merupakan isomer fungsi. Contohnya senyawa dengan rumus molekul C 4H8O2
dapat berupa asam karboksilat atau ester. Sebagai asam karboksilat C 4H8O2 mempunyai 2
isomer dan sebagai ester mempunyai 4 isomer.

Terdapat beberapa Reaksi Pembuatan dan Reaksi Senyawa. Diantaranya adalah


Pembuatan, Ester dari reaksi Asam Karboksilat dengan Alkohol dalam suasana asam,
Pembuatan Ester Reaksi Perak Karboksilat dengan Alkil Halida, Pembuatan Ester dengan
Reaksi Asil Klorida (Klorida Asam) dengan Alkohol, Pembuatan Ester dari Reaksi Anhidrida
Asam Alkanoat dengan Alkohol, Hidrolisis Menggunakan Air Atau Asam Encer, Hidrolisis
menggunakan Basa Encer, Hidrolisis ester-ester kompleks untuk membuat sabun.

81
DAFTAR PUSTAKA

HART-SUMINAR. EDISI VI.ORGANIC CHEMISTRY.1983.JAKARTA : ERLANGGA

Purba, Michael. 1999. Kimia SMU Kelas 2. Jakarta : Erlangga


Martoyo, Dkk. 1994. Kimia 2B. Solo : PT. 3 Serangkai
Tim Penyusun. 2003. Kimia SMU 2B. Klaten : PT. Intan Pariwara
Achmad, Suminar. 1983. Kimia Organik. Jakarta : Erlangga
http://www.chem-is-try.org/index.ph

82

Anda mungkin juga menyukai