Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan
menyebabkan pembesaran dari kelenjar prostat(Kapoor, 2012). Pada pembesaran
prostat jinak terjadi hiperplasia kelenjar perineutral yang akan mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer(Kusuma, 2014). Mediator utama dalam pertumbuhan
kelenjar prostat yaitu dehidrotestosteron (DHT) yang merupakan metabolit
testosteron yang dibentuk di dalam sel prostat oleh breakdown prostat.
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah kondisi urologis yang semakin umum yang
mempengaruhi pria yang lebih tua. BPH kondisi yang begitu lazim pada fase
penuaan sehingga kehadirannya di geriatri pria pasien harus dianggap temuan
normal (Hollander & Diokno, n.d.).
Terdapat beberapa gejala sisa dari BPH yang menentukan diperlukan atau
tidaknya perawatan yakni, prostatisme, infeksi saluran kemih, retensi, hematuria,
dan uropati obstruktif. Lebih dari 10 tahun terakhir, armamentarium urologis
untuk mengobati BPH telah memasukkan perawatan medis dan bedah modalitas
kurang invasif daripada reseksi transurethral prostat (TURP). TURP tadinya
prosedur bedah kedua yang paling umum dilakukan pada populasi geriatri pria
sampai ledakan opsi baru menjadi tersedia dan diterima oleh ahli urologi dan
pasien. Sampai saat ini, TURP tetap menjadi standar emas daripada perawatan
lainnya yang seharusnya dibandingkan dalam hal kemanjuran obyektif. Namun,
TURP juga dikaitkan dengan lebih banyak komplikasi dan biaya yang lebih mahal
dibangdingkan teknik yang lebih baru.
Indikasi untuk dilakukan TURP yaitu, prostatisme yang sangat
mengganggu, hematuria berulang, atau kemih infeksi saluran akibat BPH, kemih
retensi, dan uropati obstruktif. Prostatisme sendiri merupakan indikasi pilihan
tetapi perawatannya telah berubah. Manajemen medis tentu harus ditawarkan
sebagai pilihan sebelum TURP. Demikian juga halnya dengan pengobatan
alternatif yang berkembang dan lebih dipilih daripada TURP karena minimalnya
resiko komplikasi dan juga biaya yang lebih murah. Menunggu dengan waspada
adalah alternatif manajemen yang umumnya harus digunakan atau
direkomendasikan. Badan Kebijakan Perawatan Kesehatan dan Research
(AHCPR) telah mengembangkan pedoman untuk manajemen prostatisme.
Penelitian menunjukkan 50% pria dalam dekade kelima mereka memiliki
bukti patologis BPH dan prevalensi meningkat hingga 90% pada dekade
kesembilan. Sebuah survei pria 60 tahun dan lebih tua yang tinggal di komunitas
di Amerika Serikat yang tidak pernah menjalani operasi prostat melaporkan 35%
prevalensi satu atau lebih gejala prostatisme yakni, keragu-raguan, tegang, aliran
lemah, intermittency, atau penggunaan kateter.
Sekitar 25% pria berusia 55 tahun mencatat penurunan laju aliran urin dan
ini meningkat hingga 50% pada usia 75,3. Sebagai akibat tingginya kejadian BPH
simtomatik telah diperkirakan bahwa pria berusia 40 hingga 50 tahun memiliki
20% hingga 30% kemungkinan membutuhkan prostatektomi dalam hidupnya.
Prostatisme adalah gejala yang kompleks muncul dari kondisi yang dapat
menyebabkan kandung kemih obstruksi outlet pada pria (Paniagua Cruz et al.,
2020).
Penyakit BPH ini juga mempengaruhi kualitas hidup penderita misalnya
hubungan sosial, fisik, psikis dan lingkungan secara keseluruhan yang akan
membatasi aktifitas penderita BPH sehingga menyebabkan penurunan kualitas 4
hidupnya atau quality of life (QOL). Kualitas hidup merupakan suatu keadaan
sejahtera yang dirasakan oleh para usia lanjut dan bentuk respon emosional
terhadap kepuasan hidup. WHO menjelaskan kualitas hidup sebagai persepsi
individu di kehidupan mereka dalam konteks kebudayaan dan norma kehidupan
dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan perhatian (Salim et al.,
2016)
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis akan mengambil pokok bahasan
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak.

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui pengertian dari Benign Prostate Hyperplasia
(BPH).
1.2.2 Untuk mengetahui penyebab dari Benign Prostate Hyperplasia (BPH).
1.2.3 Untuk mengetahui patofisiologi dari Benign Prostate Hyperplasia
(BPH).
1.2.4 Untuk mengetahui penalataksanaan dari Benign Prostate Hyperplasia
(BPH).
DAFTAR PUSTAKA

Hollander, J. B., & Diokno, A. C. (n.d.). Benign Prostatic Hyperplasia. 12.


Kapoor, A. (2012). Benign prostatic hyperplasia (BPH) management in the
primary care setting. Can J Urol, 19(Suppl 1), 10–17.
Kusuma, A. S. (2014). Asuhan Keperawatan pada Tn. S dengan Benigna
Prostatic Hyperplasia (BPH) Post Prostatektomu Hari ke 4-5 di Ruang
Dahlia RSUD Dr. R Goetengtaroenadibrata Purbalingga.
Paniagua Cruz, A., Zhu, K. Y., Ellimoottil, C., Dauw, C. A., Sarma, A., &
Skolarus, T. A. (2020). Characterizing the Benign Prostatic Hyperplasia
Literature: A Bibliometric Analysis. Urology, 136, 202–211.
https://doi.org/10.1016/j.urology.2019.11.033
Salim, O. C., Sudharma, N. I., Kusumaratna, R. K., & Hidayat, A. (2016).
Validitas dan reliabilitas World Health Organization Quality of Life-BREF
untuk mengukur kualitas hidup lanjut usia. Universa Medicina, 26(1), 27–
38.

Anda mungkin juga menyukai