Anda di halaman 1dari 4

Polis asuransi diterbitkan oleh perusahaan asuransi berdasarkan permintaan/permohonan

yang dilengkapi dalam aplikasi asuransi (SPAJ). Polis yang diterbitkan harus sesuai dengan
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 73 tahun 1992 pasal 19 ayat (1) tentang
“bentuk dan isi polis”, yang menetapkan bahwa :

“polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang
merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata-kata, atau kalimat
yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup
asuransinya, kewaiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit
tertanggung mengurus haknya”.

Lebih jelasnya diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.
422/KMK.06/2003 Bab III tentang “polis” mulai pasal 7 -18.

 Pasal 8, menyebutkan bahwa ada sekurang-kurangnya 14 (empat belas) ketentuan (a


sampai dengan n) yang harus dimuat dalam polis;

 Pasal 9, menyebutkan bahwa: “Polis asuransi harus dicetak dengan jelas, sehingga
dapat dibaca dengan mudah dan dimengerti baik langsung maupun tidak langsung
oleh pemegang polis dan atau tertanggung”;

 Pasal 11 menyebutkan bahwa: “(1) Apabila dalam polis asuransi terdapat perumusan
yang dapat ditafsirkan sebagai pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang
ditutup berdasarkan polis asuransi yang bersangkutan, bagian……(2) Apabila……
ditafsirkan sebagai pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban
penanggung, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak sedemikian rupa
sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengecualian, pengurangan,
pembatasan, atau pembebasan penanggung tersebut”.

Bahasa maupun tata letak dari tulisan-tulisan yang dicantumkan dalam polis harus mudah
dimengerti dan tidak menyesatkan pemegang polis atau konsumen. Dalam UU No. 8 tahun
1999 tentang “Perlindungan Konsumen”, pasal 18 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klasula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”. Adapun
konsekuensi yuridisnya terhadap pelanggaran pasal 18 UUPK ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam ayat (3) pasal ini yaitu “dinyatakan batal demi hukum”.

Realitanya masih saja terdengar keluha klasik tentang polis asuransi yang menggunakan
bahasa dan kalimat berbelit-belit, istilah-istilah yang sulit dipahami dan hurufnya yang kecil-
kecil. Akibatnya para tertanggung menjadi enggan untuk membaca polis dan seandainya
mereka membaca, mereka tidak menghubungi penanggung untuk meminta kejelasannya.

a.       Saat pertanggungan berakhir

Tanggal berakhirnya suatu pertanggungan memang jelas tertera dalam polis, tetapi orang
bertanya: Pada jam berapa dan di tempat mana ? Tentang jam berapa, rasanya tidak perlu
dipersoalkan karena akhir dari setiap hari adalah jam 24.00. Tentang ditempat mana, perlu
penegasan dalam polis dengan menyatakan misalnya, “jam 24.00 waktu di tempat polis
diterbitkan”   atau pilihan lain ialah “waktu ditempat obyek pertanggungan berada”. Jika
dikehendaki waktu yang lain, maka waktu yang lain itu harus ditulis, misalnya “jam 12.00
siang waktu ditempat polis diterbitkan” atau “waktu di tempat obyek pertanggungan berada”.

Waktu dapat menimbulkan sengketa, Contoh kasus: Polis asuransi perawatan kesehatan
kontrak berakhir hari ini (pastinya jam 24 malam nanti), dalam polis ditetapkan biaya
perawatan dijamin penanggung selama 60 hari terhitung mulai hari pertama tertanggung
dirawat di rumah sakit. Tertanggung masuk rumah sakit hari ini jam 16.00, berdasarkan
ketentuan dalam polis bahwa polis masih berlaku, sehingga hak atau jaminan wajib
didapatkan, tetapi karena kekurangpahaman tentang waktu, hak jaminan yang seharusnya
diterima tertanggung tidak dibayarkan, dengan alasan kontrak dinyatakan berakhir hari itu.
Benar dari segi waktu kontrak berakhir hari ini jam 24.00, tetapi jaminan tetap harus
dibayarkan karena tertanggung dirawat di rumah sakit pada saat polis masih berlaku
(inforce).

b.       Saat pertanggungan dimulai.

Tanggal mulainya suatu pertanggungan juga tertera dengan jelas di dalam polis, tetapi apakah
pertanggungan telah dimulai sejak detik pertama pada hari yang tanggalnya telah disebutkan
dalam polis. Polis asuransi jiwa belum mulai berlaku jika penanggung belum menyatakan
menerima premi pertama yang disepakati. Pada Asuransi Umum, pemberlakuannya agak
berbeda dan beragam. Ada polis yang memberikan tenggang waktu pembayaran premi
selama 14 hari, 30 hari atau bahkan 90 hari. Oleh sebab itu pertanggungan sudah mulai
berlaku sejak tangal yang disebutkan dan akan terus berlaku jika premi dibayarkan dalam
masa tenggang waktu (grace period). Ada juga polis yang tidak mengatur tentang tenggang
waktu pembayaran premi dan oleh karenanya pertanggungan belum berlaku jika premi belum
diterima penanggung. Sengketa timbul jika terjadi klaim tetapi premi belum dibayar sesuai
ketentuan polis.

Ketentuan tentang grace period merupakan jangka waktu tambahan untuk membayar premi


setelah jatuh tempo. Selama jangka waktu tersebut, polis akan tetap berlaku (inforce) dan
premi tetap terhutang dan jika tertanggung meninggal dunia penanggung harus tetap
membayar dengan dikurangi premi yang terhutang. Jika grace period berakhir dan premi
belum dibayar maka tidak ada proteksi yang berlaku.

c.        Saat premi benar-benar telah diterima.

Premi dapat dibayar dengan berbagai cara yaitu tunai, cek tunai, giro, transfer melalui kantor
bank atau melalui ATM. Pembayaran dengan tunai, cek tunai dan melalui ATM kiranya tidak
bermasalah, akan tetapi bagaimana dengan transfer melalui kantor bank ?, “Tertanggung bisa
berpendapat bahwa ia telah membayar premi ketika proses transfer di kantor bank selesai
dilakukan”, padahal saat itu rekening bank penanggung belum terisi dengan jumlah uang
yang telah ditransfer itu. Oleh sebab itu bagi penanggung, premi masih belum dibayar dan
akibatnya klaim ditolak dengan alasan tersebut. Polis seharusnya dengan tegas menyatakan
bilamana premi sungguh telah diterima apabila dibayar dengan berbagai cara disebut diatas.
Polis polis standar AAUI (Asosiasi Asuransi Umum Indonesia) dewasa ini pada umumnya
telah mencantumkan ketentuan mengenai hal ini, akan tetapi masih terdapat banyak polis lain
yang belum mengaturnya, contoh lain yaitu: “Pembayaran premi melalui broker asuransi dan
belum diteruskan kepada penanggung adalah sama dengan belum membayar”.

d.       Penggunaan obyek pertanggungan (okupasi).


Tertanggung tidak atau kurang menyadari bahwa perubahan fungsi atau penggunaan obyek
pertanggungan (bangunan atau mobil) yang diasuransikan dapat berdampak terhadap
tanggung-jawab polis. Oleh karenanya, mereka tidak melaporkan kepada penanggung jika
terjadi perubahan itu. Rumah tinggal telah berubah menjadi toko, gudang atau bengkel mobil.
Mobil yang awalnya untuk penggunaan pribadi kemudian disewakan. Masalah ini sering
terjadi ketika tertanggung tidak memiliki polis asuransi melainkan sertifikat asuransi, dan
oleh karenanya ia tidak dapat mengetahui syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan polis, karena
ia membeli mobil dengan cara leasing.

Dalam asuransi jiwa pemegang polis tidak memberitahukan adanya perubahan (penambahan,
penngantian) pihak yang ditunjuk atau termaslahat, sehingga dapat mempersulit penyelesaian
haknya dikemudian hari. Jika ada perubahan pihak yang ditunjuk, pemegang polis wajib
mengajukan permohonan tertulis kepada penanggung akan mengeluarkan addendum polis
sebagai bagian tidak terpisahkan dari polis tersebut.

e.        Uraian tentang obyek pertanggungan.

Seringkali polis tidak menguraikan dengan jelas tentang obyek yang dipertanggungan.
Menyebut “bangunan” saja tidak cukup tetapi perlu ditambahkan dengan “termasuk semua
perlengkapan yang biasanya melekat padanya, pagar yang mengitarinya, bangunan tambahan
yang berada didalam halaman rumah yang sama” atau keterangan apa saja agar intensi
berasuransi menjadi jelas. “Isi rumah” tanpa uraian, maka sepeda pun bisa termasuk
didalamnya. Demikian juga ketika menyebut “stok” saja, maka akan berakibat stok apa saja
termasuk bahan baku, bahan pembantu, bahan setengah jadi, bahan jadi, persediaan suku
cadang dan lain sebagainya.

Demikian juga dalam asuransi jiwa dan kesehatan apakah bunuh diri akan dijamin atau
menjamin penyakit kritis harus disebutkan secara jelas berikut batasan-batasannya.

f.        Definisi atas kata atau istilah.

Jika suatu kata atau istilah tidak didefinisikan di dalam polis, maka pengertian terhadap kata
atau istilah adalah pemahaman yang berlaku dan dianut masyarakat umum dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karenanya, ketika ada suatu kata atau istilah yang ingin diartikan berbeda
dengan pemahaman masyarakat umum, maka kata atau istilah yang ingin diartikan berbeda
dengan pemahaman masyarakat umum, maka kata atau istilah tersebut harus didefinisikan
dengan jelas. Kita masih ingat, industri perasuransian umum Indonesia mengalami kegalauan
ketika perusahaan-perusahaan reasuransi luar negeri menolak membayar klaim akibat
kerusuhan 12-13 Mei 1998. Tertanggung melihat kejadian itu sebagai “kerusuhan” dan oleh
karenanya ia menuntut ganti rugi berdasarkan jaminan klasul SRCC (Strikes,  Riots & Civil
Commotions). Perusahaan-perusahaan asuransi mum di Indonesia pun cenderung mempunyai
pengertian serupa. Inilah sebebnya kata-kata dan istilah-istilah seperti : “kerusuhan”,
“pemogokan”, “penghalangan bekerja”, “perbuatan jahat”, “huru-hara”. “terorisme”,
“sabotase” dan lain-lain telah digunakan oleh AAUI (Asosiasi Asuransi Umum Indonesia).

Dalam asuransi jiwa banyak istilah-istilah yang telah ditetapkan menjadi kata-kata baku,
padahal nasabah asuransi belum tentu membaca ataupun memahaminya, seperti klausula
tidak dapat dibantah (incontestable clause), yaitu klausula yang menyatakan bahwa setelah
polis berlaku efektif selama 2 (dua) tahun dan tertanggung tetap hidup, penanggung tidak
akan membantah keabsahan keterangan yang diberikan tertanggung yang dijadikan sebagai
dasar terbitnya polis tersebut. Hal ini dilakukan oleh penanggung untuk menguji kebenaran
keterangan yang diberikan oleh tertanggung (contestable) dengan tujuan untuk menjaga
prinsip itikad baik (utmost good faith).

Dalam asuransi kesehatan, dikenal dengan istilah “pre-existing period” atau periode polis
pra-kondisi yaitu masa/periode tertentuyang diberikan kepada tertanggung, dimana
penanggung tidak akan membayar manfaat/maslahat untuk setiap kondisi kesehatan
(penyakit) yang tadinya sudah ada sebelum polis diterbitkan dan tidak diungkapkan di dalam
aplikasi asuransi (SPAJ).

Untuk itu pemegang polis/termaslahat harus dapat memahami, mempelajari dan tahu benar
tentang ketentuan-ketentuan yang diatur dalam polis yang dimilikinya, antara lain: hal-hal
yang dijamin, yang dikecualikan atau adanya pengurangan, pembatasan, atau pembebasan
penanggung dari kewajibannya untuk membayar klaim asuransi seperi polis dalam
masa contestable, pre-existing, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai