Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Limbah


Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.5 Tahun 2014, air limbah adalah sisa
suatu usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair. Sedangkan menurut Hidayat (2016),
air limbah merupakan air yang dihasilkan dari proses produksi. Air limbah yang
dihasilkan akan dikumpulkan terlebih dahulu kemudian akan dilakukan proses
pengolahan ataupun dibuang langsung ke badan air atau lingkungan. Air limbah yang
langsung dibuang ke lingkungan akan menimbulkan bahaya karena memungkinkan
adanya bahan berbahaya yang tidak mampu dicerna oleh mikroorganisme yang ada di
lingkungan. Dalam upaya menangani air limbah, maka diperlukan pengetahuan
mengenai karakteristik air limbah yang meliputi karakteristik fisik, kimia dan biologi.

Menurut Gintings (1992), karakteristik fisik air limbah meliputi bau, padatan,
kekeruhan, daya hantar listrik, temperatur, dan warna.
1. Bau
Bau timbul akibat adanya mikroorganisme yang menguraikan zat organik sehingga
menghasilkan gas tertentu. Tingkat bau yang dihasilkan tergantung pada jenis air
limbah dan banyaknya gas yang dihasilkan.

2. Padatan
Kandungan padatan pada air limbah diakibatkan adanya bahan padatan organik maupun
anorganik yang mengendap, larut maupun suspensi. Padatan ini lama kelamaan akan
mengendap pada dasar air dan menimbulkan pendangkalan.

3. Kekeruhan
Kekeruhan pada air limbah menunjukkan adanya sifat optis air yang menyebabkan
terjadinya pembiasan cahaya di dalam air. Kekeruhan pada air akan menghambat
masuknya cahaya kedalam air. Kekeruhan terjadi akibat adanya kandungan bahan yang
terapung dan penguraian pada zat tertentu. Air yang semakin keruh maka tingkat daya
hantar listrik akan semakin tinggi.
4. Daya hantar listrik
Daya hantar listrik merupakan kemampuan air dalam mengalirkan arus listrik dan
kemampuan diukur dari suhu dan padatan dalam air. Senyawa anorganik lebih kuat dari
senyawa organik sebagai konduktor daya hantar listrik.

5. Warna
Warna timbul akibat adanya bahan tersuspensi atau terlarut dalam air, air limbah yang
mengandung bahan perwarna memungkinkan adanya kandungan logam berat.

Karakteristik kimia air limbah terdiri dari kimia organik dan kimia anorganik seperti
alkalinitas, keasaman air, chlorida, sulfur, nitrogen, phospat, besi dan mangan, logam
berat dan beracun, fenol, biocehemical oxygen demand (BOD), cehemical oxygen
demand (COD), zat warna dan surfaktan, karbohidrat dan protein, lemak dan minyak,
(Gintings, 1992).

Karakteristik biologi pada air limbah menunjukkan adanya bakteri-bakteri pathogen


dalam air limbah. Dalam air limbah terdapat berbagai jenis bakteri berbahaya yang
dapat menyebabkan penyakit. Umumnya bakteri yang terdapat pada air limbah sangat
penting dalam membantu proses pembusukan zat organik (Sugiharto, 1987).

2.2 Industri Pengolahan Pangan


Industri pengolahan pangan mengolah berbagai jenis makanan seperti buah-buahan,
sayur, biji-bijian, daging, hasil laut, dan susu. Setiap industri pangan yang berbeda,
maka berbeda pula hasil limbah yang dihasilkan dalam segi kualitas dan kuantitas
(Jenie, 1993).

Limbah cair yang dihasilkan oleh industri pangan memiliki kandungan nitrogen yang
rendah, kandungan BOD dan padatan tersuspensi yang tinggi, dan proses dekomposisi
yang berlangsung dengan cepat. Air limbah segar memiliki pH mendekati netral, namun
karena penyimpanan air limbah pH menjadi turun. Air limbah pangan bersumber dari
pemotongan, pencucian, pasteurisasi, blanching, pembersihan peralatan, pembuatan jus
bahan mentah, Limbah cair segar mempunyai pH mendekati netral dan selama
penyimpanan pH menjadi turun. Limbah pengolahan makanan dihasilkan dari
pencucian, pemotongan, pasteurisasi, pembuatan jus bahan mentah, pendinginan produk

II-2
akhir dan pembersihan peralatan pengolahan. Biasanya pada pabrik, air pendinginan
memiliki tingkat kontaminan yang rendah dan digunakan kembali untuk pengangkutan
bahan mentah dan pencucian. Komponen pada air limbah industri pangan sebagian
besar merupakan bahan organik (Jenie, 1993).

2.3 Air Limbah Tahu


Tahu merupakan produk olahan kacang kedelai yang banyak digemari oleh masyarakat.
Industri pengolahan tahu umumnya banyak menghasilkan air limbah yang dapat
mencemari lingkungan diakibatkan karena tingginya kandungan organik. Konsentrasi
chemical oxygen demand (COD) pada air limbah tahu berkisar 10.000-20.000 ppm,
tingginya kandungan COD disebabkan adanya kandungan protein pada air limbah tahu
(Kusumawati dkk., 2014; Azzura et al., 2010).

2.3.1 Karakteristik Air Limbah Tahu


Umumnya sumber air limbah yang dihasilkan dari industri tahu berupa cairan kental
yang terpisah dari air dadih (whey). Kandungan protein pada air dadih sangat tinggi dan
dapat diurai segera. Air limbah ini sering dibuang langsung tanpa adanya proses
pengolahan sehingga mencemari sungai dan menghasilkan bau busuk (Sani, 2006).
Karakteristik air limbah tahu menurut departemen pertanian tahun 2009 dapat dilihat
pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik Air Limbah Tahu


Tahu kuning Tahu putih
Parameter Satuan <100 <100
>100 kg/hari >100 kg/hari
kg/hari kg/hari
Jumlah air
Liter 460-780 >2000 150-140 >1000
limbah
DO mg/l 1,3-1,5 1,2 1,5-2,2 1,93
BOD mg/l 3500-3600 5800 2800-4300 4100
TSS mg/l 716-760 >800 3,4-3,8 3,56
pH - 3,8-3,9 3,66 65-629 >640
Sumber : Departemen Pertanian, 2009

Industri tahu yang menghasilkan air limbah sebesar 15-20 l/kg bahan baku mengandung
beban pencemar kira-kira sebesar 30 kg TSS/kg bahan baku, chemical oxygen demand
(COD) 130 gr/kg bahan baku, dan biological oxygen demand (BOD) 65 gr/kg bahan
baku (Sani, 2006; Potter et al., 1994).

II-3
2.3.2 Baku Mutu Air Limbah Tahu
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2014, baku mutu
air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur
pencemar yang ditenggang keberadaanya dalam air limbah yang akan dibuang atau
dilepas ke dalam media air dari suatu usaha dan/atau kegiatan.

Air limbah tahu harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu sesuai dengan baku mutu
yang telah ditetapkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2014
Tentang Baku Mutu Air Limbah. Baku mutu air limbah tahu dapat dilihat pada tabel
2.2.

Tabel 2.2 Baku Mutu Air Limbah Tahu


Kadar
Parameter (mg/l
)
BOD 150
COD 300
TSS 200
pH 6-9
Kuantitas air limbah paling tinggi (m3/ton) 20
Sumber : PerMen LH Nomor 05 Tahun 2014

2.4 Pengolahan Air Limbah


Air limbah membutuhkan pengolahan apabila mengandung senyawa pencemaran yang
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Suatu perkiraan terlebih dahulu harus
dibuat dengan mengidentifikasi: sumber pencemaran, banyaknya buangan, jenis
buangan, kegunaan jenis bahan, sistem pengolahan, kegunaan B3 yang terdapat dalam
industri. Adanya perkiraan ini, diharapkan pengendalian dan penanggulangan
pencemaran dapat dibuat, karena limbah dalam jumlah besar maupun sedikit, dalam
jangka pendek maupun jangka panjang akan membuat perubahan pada lingkungan,
sehingga diperlukan pengolahan air limbah agar tidak mengganggu struktur lingkungan
(Gintings, 1992).

Menurut sifat air limbah terdapat tiga jenis proses pengolahan yaitu (Gintings, 1992):
1. Proses fisika
Perlakuan air limbah dengan proses fisika merupakan pengolahan secara mekanis
tanpa maupun dengan penambahan bahan kimia.

II-4
2. Proses kimia
Proses pengolahan secara kimia merupakan proses pengolahan dengan penambahan
bahan kimia, agar mengurangi konsentrasi pencemar pada air limbah.
3. Proses biologi
Proses pengolahan secara biologi dengan memanfaatkan mikroorganisme seperti
bakteri, ganggang dan protozoa.

2.4.1 Pengolahan Secara Biologi


Menurut Gintings (1992) pengolahan air limbah secara biologi merupakan pengolahan
air limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa
organik menjadi senyawa yang sederhana. Proses secara biologi dilaksanakan jika
proses kimia atau fisika maupun gabungan keduanya tidak memuaskan. Proses ini
memiliki manfaat yang tinggi dan lebih murah dalam biaya maupun penanganannya.
Proses secara biologis membutuhkan senyawa organik sehingga kadar oksidasi
semakin lama semakin sedikit. Pada proses kimia senyawa organik diendapkan dengan
pemberian bahan koagulan.

Penetapan jenis mikroorganisme dan limbah harus di kaji dengan jelas agar
mendapatkan desain alat dengan efisiensi yang tinggi. Mikroorganisme digunakan
untuk mendegradasi atau menguraikan senyawa organik, kondisi lingkungan yang baik
sangat diperlukan, perkembangan dan pertumbuhan mikroorganisme harus sesuai
persyaratan hidup, misalnya pH, temperatur, penyebaran dan lainnya. Apabila terjadi
perubahan dalam lingkungan hidup, maka akan merubah sifat fisiologi maupun
morfologinya. Dalam air limbah terkadang tidak hanya terdapat satu jenis
mikroorganisme melainkan bermacam-macam. Bakteri merupakan pengurai yang
paling baik, selain bakteri algae dan protozoa juga berperan. Protozoa memanfaatkan
makanan bakteri dan mampu merombak zat organik secara cepat dengan cara oksidasi.
Algae melakukan fotosintesis sehingga mendapatkan bahan oksigen dan dapat
mengksidasi bahan pencemar (Gintings, 1992).

Pengolahan air limbah secara biologis dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu
pengolahan secara anaerob, pengolahan secara aerob dan pengolahan secara fakultatif.

II-5
Pemilihan jenis pengolahan sesuai pada karakteristik air limbah, kondisi serta maksud
dan tujuan pengolahan (Gintings, 1992).

2.4.1.1 Pengolahan Secara Aerob


Pengolahan secara aerob yaitu pengolahan yang dilakukan dengan adanya oksigen
untuk kebutuhan mikroorganisme dalam menguraikan air limbah. Air limbah memiliki
berbagai jenis bentuk seperti padatan dan gumpalan, dengan kondisi ini metode
pengolahan yang digunakan juga bermacam-macam (Gintings, 1992).

Menurut Zulkifli (2014), proses penglahan secara aerob memilikmi beberapa


keunggulan yaitu:
1. Banyak digunakan pada air limbah kapasitas kecil maupun besar.
2. Penerapannya pada air limbah dengan kadar BOD dan COD yang rendah,
temperature 5-30o C.
3. Mampu mengatasi “loading fluctuation”.
4. Effluent dapat dibuang langsung ke badan air.

Kekurangan sistem pengolahan secara aerob (Zulkifli, 2014) :


1. Membutuhkan lokasi yang luas.
2. Adanya aerator dibutuhkan energi yang tinggi.
3. Mengahasilkan lumpur yang banyak.

2.4.1.2 Pengolahan Secara Anaerob


Pengolahan secara anaerob merupakan proses biologi dengan memanfaatkan
mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik dalam kondisi tidak atau sangat
sedikit oksigen (Silalahi 2018; Indriyanti 2005).
Pengolahan air limbah secara anaerob mengubah bahan buangan menjadi gas metan dan
karbon dioksida dalam kondisi hampa udara. Sistem pengolahan ini bekerja pada
temperatur yang rendah bekisar 10-30oC. Efisiensi yang lebih tinggi dan baiaya operasi
yang rendah dibandingkan dengan sistem aerob (Gintings, 1992).

Pada proses anaerob terdapat beberapa keunggulan dibandingkan dengan proses aerob
yaitu (Saputra, 2016; Astuti, 2007):

II-6
1. Penambahan oksigen pada proses anaerob tidak dibutuhkan, dengan penambahan
oksigen dalam proses pengolahan akan menambah biaya operasi.
2. Pengolahan secara anaerob cocok pada air limbah dengan kandungan organik yang
tinggi.
3. Proses anaerob menghasilkan gas metana yang bermanfaat.
4. Energi yang dihasilkan dalam penguraian air limbah cukup kecil.

5. Penguraian secara anaerob akan menghasilkan lumpur 3-20 kali lebih sedikit
dibandingkan dengan proses penguraian secara aerob.

Menurut Zulkifli (2014), kekurangan yang terdapat pada proses anaerob yaitu sebagai
berikut:
1. Temperatur yang harus dijaga pada air limbah yaitu 20-35o C.
2. Tidak sesuai dalam mengolah air limbah dengan tingkat nitrat maupun sulfat yang
tinggi.
3. Air limbah yang telah diolah secara anaerob perlu diolah kembali secara aerob
sebelum dibuang ke badan air untuk mereduksi CH4.

Pada proses penguraian secara anaerob terjadi beberapa tahapan yaitu:


1. Tahap Hidrolisis
Proses degradasi bahan organik dimulai dengan penguraian secara enzimatik, dimana
bahan organik yang memiliki berat molekul besar sebagai sumber karbon dan sumber
energi sel (Saputra, 2016; Padmono, 2007). Proses hidrolisis merupakan proses aktivasi
bakteri hidrolitik dalam penguraian bahan organik kompleks. Aktivitas bakteri terjadi
akibat bahan organik yang tidak larut seperti lemak, karbohidrat, protein, dan
polisakarida yang akan dikonsumsi oleh bakteri saprofilik, dimana akan mengubahnya
menjadi bahan organik larut oleh enzim ekstraselular (Silalahi, 2018; Indrayati, 2005).

2. Tahap Asidogenesis
Asidogenesis yaitu tahapan konversi produk yang dihasilkan pada tahap hidrolisis oleh
bakteri asidogenik menjadi substrat metanogenik. Produk yang sudah terhidrolisis pada
tahap hidrolisis, bahan organik akan dikonversi oleh bakteri asidogenik menghasilkan
asam propionat oleh asam amino, dan asam volatil oleh asam butirat (Saputra, 2016;
Padmono, 2007; Price & Cheremisinoff, 1981).

II-7
3. Tahap Asetogenesis
Hasil dari asidogenesis akan dikonversi menjadi asetat, karbondioksida, dan hidrogen
sebagai hasil akhir. Pembentukan asam asetat disertai dengan pembentukan hidrogen
atau karbondioksida, tergantung dengan kondisi oksidasi pada bahan organiknya. Asam
propionat, asam butirat dan etanol akan dirubah oleh bakteri asetogenik menjadi asam
asetat (bakteri yang memproduksi H2 dan asetat) (Saputra, 2016; Sunarto, 2013; Said,
2006).

4. Tahap Metanogenesis
Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam pembentukan dari konversi zat organik
menjadi gas metan dan karbondioksida. Sumber utama terbentuknya gas metan
merupakan CO2, asam asetat (79-80%) dan CH4 (Silalahi, 2018; Ikbal., dkk, 2006).
Bakteri metanogenik akan memanfaatkan karbondioksida, asetat, dan hidrogen dari
hasil tahap sebelumnya untuk menghasilkan karbondioksida, gas metan, sisa gas-gas
(contoh H2S), dan air (Saputra, 2016; Hardoyo dkk., 2014).

2.4.2 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerob Dengan Sistem Batch


Pengolahan secara anaerob dengan sistem batch merupakan salah satu pengolahan yang
ekonomis, rangkaian reaktor yang mudah, penerapan dan pengolahan yang mudah, serta
sering di terapkan pada daerah pedesaan karena sistem operasi yang sederhana.
Perkembangan pengolahan air limbah dengan sistem batch sudah diterapkan oleh
negara yang sedang berkembang (Silalahi, 2018; Karagiannidis, 2012). Pada sistem ini,
reaktor akan diisi dengan air limbah selama sekali dan dilakukan penambahan biakan
mikroba ataupun tanpa mikroba. Reaktor harus dalam keadaan tertutup dan diberi waktu
retensi pada periode tertentu, reaktor dibuka apabila telah melewati waktu retensi,
kemudian air limbah dibuang dan diisi kembali dengan bahan baku (air limbah)
(Silalahi, 2018; Nayono, 2009).

2.4.3 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerob Dengan Sistem Kontinyu


Sistem kontinyu adalah cara yang fleksibel dalam mengamati jumlah operasi yang
dibutuhkan pada proses kontrol untuk pengolahan air limbah. Sistem aliran kontinyu
ada 2 jenis yaitu aliran tanpa segmentasi dan aliran bersegmentasi. Aliran tanpa
segmentasi merupakan aliran yang mana air limbah dimasukkan secara terus-menerus
tanpa terjadinya segmentasi dengan gelembung udara, sedangkan aliran bersegmentasi

II-8
bercirikan adanya pemberian gelembung udara dalam aliran air limbah (Silalahi, 2018;
Korenaga, dkk., 1994).

Syarat Pengoperasian pengolahan air limbah secara kontinyu adalah adanya nutrisi (air
limbah) dalam waktu harian maupun berkelanjutan (Silalahi, 2018; Agathos dan
Reineke, 2003).

2.4.4 Pengolahan Air Limbah Dengan Arah Aliran upfllow dan downflow
Ada dua sistem arah aliran yang dapat dilakukan dalam biofilter yaitu arah aliran up
flow dan arah aliran downflow (Ningrum, 2018., Indriyanti, 2003). Pada sistem arah
aliran up flow lumpur yang terbentuk dan mengandung mikroorganisme tidak mudah
terbawa keluar. Namun kerugian dalam sistem aliran ini yaitu terjadinya pementukan
lumpur yang akan menyumbat media (Ningrum, 2018). Pada sistem arah aliran
downflow akan terjadi penumpukan lumpur organik pada bagian atas media yang dapat
menyebabkan penyumbatan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan kapasitas
pengolahan secara drastis. Untuk mencegah terjadinya penyumbatan maka diperlukan
pencucian setiap waktu (Ningrum, 2018., Said, 2007)

2.5 Fitoremediasi
Fitoremediasi adalah metode biologis yang digunakan untuk pengolahan atau
memperbaiki lingkungan yang tercemar secara in situ. Fitoremediasi diartikan sebagai
pemanfaatan tanaman dalam konversi air limbah. Terdapat beberapa teknik
fitoremediasi yang dapat dimanfaatkan dalam pengolahan limbah cair yaitu
fitodegradasi (phytodegradation), fitoekstrasi (phytoextration), rhizofiltrasi
(rhizofiltration), fitovolatilisasi (phytovolatilization), fitofiltrasi (phytofiltration) dan
fitostabilisasi (phytostabilization). Metode fitoremediasi telah diterapkan secara luas
karena keunggulannya. Pemanfaatan tanaman lebih efektif dalam membersihkan
lingkungan dibandingkan metode tradisional ekstraksi kimia xenbiotik dikarenakan
metode secara biologis tidak menimbulkan polusi sekunder (Suhartini dkk., 2018;
Materace et al., 2015).

Fitotretmen adalah teknlogi pemanfaatan tanaman untuk mengurangi zat pencemar


anorganik maupun organik di lingkungan. Zat organik dikuantitaskan sebagai COD dan
BOD sedangkan zat anorganik yaitu logam berat, ammonium dan lainnya. Pemanfaatan

II-9
tanaman untuk mendegradasi atau mentransfer polutan dalam air tanah atau sedimen
(Fitria dkk., 2016; Mwegoha et al., 2008)

Kolam tanaman akuatik yang terdiri dari tanaman air makrofit mengambang bebas
seperti eceng gondok (eichornia crassipes), kremah air (altenanthera sessilis),
duckweed (lemna minor), hydrilla, palem (arenga obtusifolia) dan lainnya. Tanaman ini
telah dilakukan pembudidayaan di kolam karena kemampuannya untuk menghilangkan
logam berat, fenol, pestisida, nutrient dan lainnya. Pada air limbah perlakuan ini
membantu lebih lanjut dalam pengolahan air limbah agar memenuhi syarat sebelum
dilakukan pelepasan air limbah ke lingkungan, dengan waktu yang bersamaan terjadi
penambahan biomassa tanaman (Arceivala, 1998).

2.6 Tumbuhan Hydrilla Verticillata


Tumbuhan hydrilla verticillata adalah tumbuhan yang melayang dalam air sehingga
mampu menurunkan bahan pencemar pada perairan dengan efektif karena bagian akar,
batang dan daun terendam dalam air (Siregar, 2017; Artiyani, 2011). Hydrilla
verticillata tumbuh terus-menerus dan hidup berkoloni, serta tumbuh dipermukaan air
dengan kedalaman 20 kaki. Tanaman ini tumbuh bercabang-cabang hingga mencapai
permukaan air dan dapat menutupi permukaan air. Hydrilla verticillata dapat dijumpai
di sungai, danau, kolam dan lainnya (Putri, 2018).

Tumbuhan ganggang hijau (hydrilla verticillata) mampu menyerap cahaya matahari dan
juga mampu bersaing dengan tumbuhan lainnya serta mampu menggunakan nutrisi
secara efisien (Ruhmawati dkk., 2017; Khiatuddin, 2003)

Hydrilla verticillata hidup didasar air sampai kedalaman 2 meter. Tanaman ini memiliki
akar berwarna kekuningan, batang yang tumbuh dengan panjang 1-2 cm dan pada setiap
lingkar batangnya tumbuh 2-8 helai daun. Setiap daun memiliki lebar 0,7-2 mm dan
panjang 5-20 mm, dengan duri kecil atau gerigi pada sepanjang ujung daun (Puti, 2018;
Ditamaso and Healy, 2003).

II-10
Gambar 2.1 Hydrilla verticillata
Sumber: Urifah dkk, 2017

Klasifikasi :
Kingom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Monocotyledonae
Ordo : Helobiae (Alismatales)
Family : Hydrocharitacea
Genus : Hydrilla
Species : Hydrilla verticillata

2.6.1 Pengaruh Tumbuhan Hydrilla Verticillata Terhadap Air Limbah Tahu


Tumbuhan hydrilla verticillata menunjukkan hasil yang efektif sebagai tumbuhan
fitoremediasi pada air buangan dan juga kecenderungannya dalam biomassa dan
pertumbuhannya (Putri, 2018; Patel, 2012).

Berdasarkan penelitian Ruhmawati (2017), pengolahan air limbah tahu dengan metode
fitoremediasi oleh tanaman hydrilla verticillata, didapatkan hasil bahwa tanaman
hydrilla verticillata cukup efektif dalam penurunan konsentrasi Total Suspended Solid
(TSS). Menurut penelitian Artiyani (2011), pengolahan air limbah tahu secara

II-11
fitoremediasi oleh tanaman hydrilla verticillata dengan menggunakan sistem aliran
batch, ternyata cukup efektif dalam menurunkan konsentrasi bahan pecemar P-Total
dan N-Total pada air limbah tahu.

2.7 Parameter Penelitian


Pada penilitian ini parameter yang akan di uji diantaranya sebagai berikut:
1. Chemical Oxygen Demand (COD)

COD atau yang disebut chemical oxygen demand merupakan jumlah oksigen yang
dibutuhkan bakteri untuk mengoksidasi zat organik dalam sampel air, dimana
larutan K2Cr2O7 sebagai sumber oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi zat
organik. (Aji dkk., 2017).

Uji COD merupakan ukuran zat-zat organik sebagai pencemar air yang secara
alamiah dapat dioksidasi pada proses mikrobiologis dan mengakibatkan oksigen
terlarut dalam air berkurang (Aji dkk., 2017; Alaerts & Santika, 1987).

2. Total Suspended Solid (TSS)

Total Suspended Solid (TSS) adalah padatan yang terdapat dalam air limbah.
Padatan ini berupa bahan organik maupun mikroorganisme. Senyawa yang menjadi
padatan tersuspensi karena sukar larut yaitu protein ataupun asam amino (Hidayat
2016). Zat padat tersuspensi dapat diklasifikasikan sekali lagi menjadi suatu zat
terapung yang selalu berada di badan air maupun di IPAL (Aji dkk., 2017)

Bakteri patogen maupun yang tidak patogen dapat menjadi padatan tersuspensi
bersama dengan padatan lainnya. Sebelum efluen dibuang ke badan air bakteri
patogen harus dilakukan pengendapan terlebih dahulu karena akan berbahaya bagi
lingkungan. Inaktivasi bakteri patogen dapat dilakukan dengan cara pengendapan
dalam lumpur aktif dengan pembentukan flok, kebanyakan bakteri patogen akan
mati dalam lumpur aktif, apabila tidak mati dibutuhkan penanganan dengan cara
digester anaerob (Hidayat 2016).

Bakteri yang hidup pada air limbah memiliki sifat membentuk komunitasnya
sehingga akan menyatu dan membentuk flok. Hal tersebut dapat menyebabkan

II-12
turunnya TSS, namun tidak pada proses aerasi. Aerasi yang cepat dapat memecah
bakteri dan membunuhnya, pecahan bakteri ini berupa serat dan dinding sel
sehingga meningkatkan nilai TSS dalam air limbah. TSS juga diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan dan pertumbuhan bakteri (Hidayat, 2016).

3. Volatile Suspended Solid (VSS)

Volatile Suspended Solid (VSS) adalah banyaknya biomassa mikroorganisme yang


terdapat pada air limbah. VSS lebih tepat untuk mengukur banyaknya biomassa
dibandingkan dengan jumlah organisme. VSS juga dapat menunjukkan kandungan
organik dalam air limbah (Aji dkk., 2017; Davis, 2010).

Pengukuran VSS dapat dilakukan dengan pembakaran hasil TSS pada suhu tinggi
yaitu 500-550 oC. Pada saat suhu 500-550 oC tersebut karbondoksida dan uap air
akan bebas ke udara. Padatan yang tersisa setelah pembakaran adalah padatan
anorganik (Aji dkk., 2017; Speliman, 2003).

II-13

Anda mungkin juga menyukai