Dasar Hukum Dan Halal Haram
Dasar Hukum Dan Halal Haram
FADLI ALFARISI 1
INTISARI
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas hukum yang muncul
dalam menghadapi pro dan kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio serta
menganalisis kebijakan pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi
wajib, khususnya pada pemberian vaksin polio.
Penulisan makalah ini merupakan penelitian yang bersifat normatif yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka (penelitian hukum
kepustakaan). Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji,
kemudian ditarik suatu kesimpulan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mengenai pro dan kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio, dalam sudut
pandang Islam (hukum asal) pada dasarnya dibolehkan dan dianjurkan guna
mencegah terjadinya penyakit Polio. Hal ini diperkuat juga dengan adanya fatwa dari
MUI, keterangan ilmiah dari PT. Bio Farma dan Ikatan Dokter Anak Indonesia yang
menyatakan pada produk final tidak ditemukan unsur tripsin (enzim babi).
Kata kunci: pengaturan sanksi pidana, penyelenggaraan imunisasi wajib, pro dan kontra
halal atau haram, pemberian vaksin polio.
BAB I
1
Penulis merupakan Jaksa Fungsional pada Badan Diklat Kejaksaan RI yang sedang dalam masa
tugas belajar di Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Konsentrasi Hukum Litigasi.
PENDAHULUAN
1
penyakit smallpox (disebabkan oleh virus Variola) yang mematikan, Jenner melalui
eksperimennya berhasil membuktikan bahwa seseorang yang terpapar cowpox (penyakit
kulit yang ditularkan oleh sapi) memiliki imunitas terhadap smallpox. Untuk
menghargai jasa Jenner, diperkenalkanlah istilah vaksinasi yang mengadaptasi “vacca”
dari bahasa Latin yang berarti “sapi”. 7 Kemajuan bioteknologi dan komitmen semua
pihak memungkinkan pengembangan vaksin-vaksin generasi baru dengan pendekatan
yang berbeda-beda. Lebih dari 200 tahun sejak Jenner menemukan vaksin smallpox
pada tahun 1796, kini puluhan vaksin telah digunakan oleh negara-negara di seluruh
dunia. Data dan fakta telah memperlihatkan bahwa vaksin memberikan dampak yang
sangat besar dalam pencegahan penyakit infeksi secara efektif. 8
Perkembangan imunisasi di Indonesia sudah di mulai sejak tahun 1977, pada saat
diterapkan program Expanded Program of Immunization (EPI) atau dikenal dengan
Program Pengembangan Imunisasi. EPI merupakan program yang dicanangkan World
Health Organization (WHO) sejak tahun 1974 yang bertujuan membasmi penyakit-
penyakit infeksi yang mematikan dan sejatinya dapat dicegah melalui vaksinasi.9
Definisi imunisasi menurut Pasal 1 butir 1 Permenkes tentang Imunisasi adalah suatu
upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap
suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Salah satu regulasi yang mengatur mengenai
pemberian imunisasi di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan) Pasal 130
dinyatakan “Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan
anak” dan Pasal 132 ayat (3) dinyatakan “Setiap anak berhak memperoleh imunisasi
dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang
dapat dihindari melalui imunisasi.” Kemudian di dalam Pasal 132 ayat (4) dinyatakan
“Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri”. Imunisasi dikelompokkan
menjadi imunisasi wajib dan pilihan. Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang
diwajibkan oleh Pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka
melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular
7
Samsuridjal Djauzi & Dirga Sakti Rambe, 2013, Op.cit.
8
Ibid.
9
Ibid.
2
tertentu.10 Imunisasi wajib salah satunya adalah imunisasi rutin yang terdiri atas
imunisasi dasar, yaitu imunisasi yang diberikan kepada bayi sebelum berusia 1 tahun.
Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu,
efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit
menular.11 Salah satu jenis imunisasi dasar adalah Polio (vaksin polio).12 Jadi, karena
sudah tertuang dalam peraturan tertulis, maka ketentuan mengenai penyelenggaran
imunisasi wajib dalam pemberian vaksin polio, berlaku mengikat sebagai hukum positif
terhadap seluruh masyarakat, khususnya yang memiliki bayi, sehingga timbul
kewajiban untuk mematuhi dan mendukung (pro) kebijakan tersebut.
Pemberian imunisasi dasar yang bersifat wajib kini mulai dipertentangkan (kontra)
oleh sebagian masyarakat atau kaum anti vaksin (anti vaks). Mereka beranggapan
bahwa demam, bengkak, nyeri, kemerahan yang muncul setelah imunisasi adalah akibat
dari kandungan vaksin yang berbahaya. Sebagai contoh berdasarkan penelitian tahun
1998 yang dilakukan oleh dr. Wakefield,13 pada pemberian vaksin MMR, Mumps
(gondong), Measles (campak), dan Rubella (campak Jerman)14 dapat menyebabkan
autism. Bahkan pada vaksin polio (IPV dan OPV) terkandung bahan yang berasal dari
jaringan ginjal kera dan atau enzim babi yang bersifat haram menurut agama Islam.
Polemik mengenai imunisasi dengan vaksin polio khusus (IPV) yang dalam proses
pembuatannya menggunakan enzim babi masih hangat diperbincangkan sampai saat
ini.15 Umat Islam banyak yang menentang hal ini sebagaimana tertuang dalam Al-
Qur’an Surah Al-Maidah ayat 3: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi...dst” 16. Para produsen vaksin menggunakan enzim Babi dengan dalih
asam amino manusia hanya sedikit berbeda dari binatang Babi. Asam amino adalah
salah satu penyusun protein pada makhluk hidup. Jika melihat insulin pada manusia dan
babi, maka hanya akan terpaut satu dari babi. Berikut penjelasannya:17
10
Lihat Pasal 3 Permenkes Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, Op.cit.
11
Lihat Pasal 153 Undang-undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
12
Lihat, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, Op.cit.
13
Fit/Igw, 2013, Op.cit
14
Hartono Gunardi, 2014, MMR Tidak Menyebabkan Autisme Bagian I, http://idai.or.id/public-
articles/klinik/imunisasi/mmr-tidak-menyebabkan-autisme-bagian-i.html, diakses 20 Juni 2015.
15
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, 2008, Majalah Al-Furqon, Edisi 05, Hukum Imunisasi
(Kontroversi Imunisasi Vaksin Polio yang Mengandung Babi).
16
Tio Alexander, 2010, Mengungkap Konspirasi Imunisasi dan Bahaya Vaksin,
https://un2kmu.wordpress.com/2010/04/19/mengungkap-konspirasi-imunisasi-dan-bahaya-vaksin/,
diakses tanggal 20 Juni 2015.
17
Ibid.
3
“Insulin manusia : C256H381N65O76S6, MW=5807,7 dan Insulin babi :
C257H383N65O77S6, MW=5777,6. Kesimpulannya, hanya 1 (satu) asam amino yang
berbeda. Sementara jika di bandingkan antara Insulin manusia : C256H381N65O76S6,
MW=5807,7 dan Insulin Sapi : C254H377N65O75S6, MW=5733,6, maka ada 3 asam
amino berbeda. Dengan demikian, jika menggunakan asam amino babi, maka tidak
diperlukan banyak proses penelitian lagi karena hanya terpaut satu asam amino.
Berbeda dengan sapi yang terpaut 3 asam amino”.18
Menurut dr. Muladno, ahli genetika molekuler dari Fakultas Peternakan IPB,
dinyatakan“Secara chemisty, DNA manusia dan babi hanya beda 3 persen. Aplikasi
teknologi transgenetika membuat organ penyusun tubuh babi akan semakin mirip
dengan manusia”. Asam amino yang hampir identik sama dengan memakan daging
manusia (kanibal) dan dapat menyebabkan penyakit genetik yang tidak bisa
disembuhkan. Babi juga mengandung cacing pita yang berbahaya dan bakteri yang
dapat menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu sistem syaraf manusia.19
Ajaran agama Islam sebenarnya telah memberikan alternatif imunisasi yang
diajarkan oleh Rasullulah, yakni dari Imam Bukhari dalam Shahih-nya men-takhrij
hadits dari Asma’ binti Abi Bakr Dari Asma’ binti Abu Bakr, yaitu: 20
”bahwa dirinya ketika sedang mengandung Abdullah ibn Zubair di Mekah mengatakan,
“Saya keluar dan aku sempurna hamilku 9 bulan, lalu aku datang ke madinah, aku
turun di Quba’ dan aku melahirkan di sana, lalu aku pun mendatangi Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam, maka beliau Shalallaahu alaihi wasalam menaruh
Abdullah ibn Zubair di dalam kamarnya, lalu beliau Shalallaahu alaihi wasalam
meminta kurma lalu mengunyahnya, kemudian beliau Shalallaahu alaihi wasalam
memasukkan kurma yang sudah lumat itu ke dalam mulut Abdullah ibn Zubair. Itu
adalah makanan yang pertama masuk ke mulutnya melalui Rasulullah Shalallaahu
alaihi wasalam, kemudian beliau men-tahnik-nya, lalu beliau pun mendo’akannya dan
mendoakan keberkahan kepadanya.”
Sehingga, disunnahkannya tahnik kepada bayi adalah obat sekaligus tindakan
preventif. Selain dilakukan tahnik, juga tetap diberikan ASI dan obat-obatan herbal.
Belum selesainya pertentangan antara pihak yang pro dan kontra (kaum vaksin dan
anti vaks) dalam pemberian vaksin polio, kini muncul pengaturan sanksi pidana bagi
seorang ibu yang tidak memberi imunisasi pada anak. Menurut dr. Elizabeth Jane selaku
Direktur Bina Kesehatan Anak Republik Indonesia, sesuai Permenkes tentang
Imunisasi, seorang ibu yang tidak memberi imunisasi pada anak dianggap telah
melakukan tindakan kriminal dan bisa dituntut di pengadilan (dipidana). Permenkes ini
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
4
merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 21
Hal ini tentu dapat menimbulkan masalah baru di kemudian hari, karena dengan
minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap kebijakan tersebut di
tambah dengan sikap dari sebagian orang tua (khusunya yang beragama islam) yang
menolak imunisasi kepada bayinya karena dianggap haram, kini malah diatur sanksi
pidana bagi yang melanggar aturan tersebut.
Dengan demikian, pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi
wajib di tengah pro dan kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio menjadi
menarik untuk dikaji agar tidak menimbulkan kebingungan, keresahan, dan masalah
baru di masyarakat. Oleh karena itu, di dalam penulisan makalah ini penulis mencoba
untuk membahas dan menganalisis rasionalitas hukum yang mungkin timbul mengenai
pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi wajib di tengah pro dan
kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis membuat perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana menghadapi pro dan kontra halal atau haram dalam pemberian vaksin
polio?
2. Bagaimana pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi pada
pemberian vaksin polio?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Menghadapi Pro dan Kontra Halal atau Haram Pada Pemberian Vaksin Polio
Vaksin Polio ada 2 macam, yaitu Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV) dan Oral
21
Aditya Eka Prawira, 2015, Orang Tua Bisa Kena Sanksi Bila Tak Beri Imunisasi Pada Anak,
http://health.liputan6.com/read/2216822/orangtua-bisa-kena-sanksi-bila-tak-beri-imunisasi-pada-anak,
diakses tanggal 20 Juni 2015.
5
Polio Vaccine (OPV). Vaksin IPV sudah tersedia, tetapi belum banyak digunakan.
IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan, kemudian
dibuat tidak aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV
tidak hidup, maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio walaupun
diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh lemah. Pada proses pembuatannya
IPV menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi) dan sampai saat ini
belum ditemukan IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut.22
Jenis vaksin OPV sering dipakai di Indonesia dan pemberiannya dengan cara
meneteskan cairan melalui mulut (oral). Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild)
hidup yang dilemahkan. OPV dibuat oleh PT Bio Farma Bandung. Vaksin ini dibuat
dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa.23
Kedua vaksin polio tersebut mengandung bahan yang berasal dari atau
mengandung benda najis ataupun benda terkena najis, seperti enzim babi atau
jaringan ginjal kera yang haram hukumnya menurut agama Islam.
6
6) Barangsiapa memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar
sehari itu dari racun dan sihir. (Bukhari : 5768, Muslim : 4702).25
b) Kaidah-kaidah fiqh, antara lain:26
1) “Dharar (bahaya) harus dicegah sedapat mungkin.”
2) “Dharar (bahaya) harus dihilangkan.”
3) “Kondisi hajah menempati kondisi darurat.”
4) “Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.”
5) “Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar
(kebutuhan) nya.”
c) Pendapat para ulama, antara lain:27
1) Keharaman menggunakan benda najis atau yang diharamkan untuk obat:
“Imam Zuhri (w. 124 H) berkata, “Tidak halal meminum air seni manusia
untuk (mengobati) suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis;
Allah berfirman: ‘…Dihalalkan bagimu yang baik-baik (suci)…’ (QS. al-
Ma’idah [5]:5)”; dan Ibnu Mas’ud (w. 32 H) berkata tentang sakar
(minuman keras), Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang
diharamkan atasmu” (Riwayat Imam al-Bukhari).
2) Kebolehan menggunakan benda najis atau yang diharamkan untuk obat
ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya:
- Berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada
benda suci yang dapat menggantikannya (Muhammad al-Khathib al-
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [Bairut: Dar al-Fikr, t.th.], juz I,h. 79).
- Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan
benda suci yang dapat menggantikan-nya, karena maslahat kesehatan
dan keselamatan lebih sempurna (lebih diutamakan) dari pada
maslahat menjauhi benda najis (al-‘Izz bin ‘Abd al-Salam, Qawa’id al-
Ahkam fi Mashalih al-Anam, [Qahirah: Mathba’ah al-Istiqamah, t.th.).
25
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, 2008, Op.cit.
26
Fatwa Komisi Fatwa MUI, Op.cit.
27
Ibid.
28
Lihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Vaksin Polio Khusus tanggal 08 Oktober 2002.
7
b) Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise
(kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang
diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik).
c) Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak
diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit polio serta sangat
dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus;
d) Vaksin IPV dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal
dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.
e) Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin
tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi
(biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas.
29
Ibid.
30
Fatwa Komisi Fatwa MUI Nomor 16 Tahun 2005, Op.cit.
8
Komisi Fatwa MUI memutuskan menetapkan Fatwa tentang Penggunaan
Vaksin Polio Oral (OPV) dengan ketentuan hukum:
a) Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal
dari/mengandung benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
b) Pemberian vaksin OPV kepada seluruh balita, pada saat ini, dibolehkan,
sepanjang belum ada OPV jenis lain yang produksinya menggunakan
media dan proses yang sesuai dengan syariat Islam.
Rekomendasi dari Komisi Fatwa MUI agar Pemerintah mengupayakan
secara maksimal bersama WHO dan Negara-negara Islam dan berpenduduk
muslim agar memproduksi vaksin polio yang sesuai dengan syariat Islam.
3. Pernyataan dari Bio Farma selaku Produsen Vaksin Polio di Indonesia dan
Ikatan Dokter Anak Indonesia
PT Bio Farma (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang seluruh
sahamnya dimiliki oleh Pemerintah serta satu-satunya produsen vaksin untuk
manusia di Indonesia. Selama ini PT. Bio Farma telah memproduksi vaksin dan
antisera yang berkualitas internasional untuk mendukung Program Imunisasi
Nasional (PIN) dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki
kualitas derajat kesehatan yang lebih baik.31 Menurut dr. Novilia dari PT. Bio
Farma, menekankan ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi, yaitu:32
a) Tripsin bukan bahan pembuat vaksin, tapi untuk harvest sel (panen) yang
digunakan untuk media virus. Tripsin merupakan bahan untuk melepaskan sel
dari tempat merekatnya virus pada media virus;
b) Tripsin kemudian dibuang dan ada proses pencucian, dan kemudian pelarutan
dengan air dalam jumlah yang sangat besar;
c) Pada produk final tidak ditemukan unsur tripsin.
Mengenai vaksin lainnya diluar polio, tidak ada yang menggunakan tripsin.
Vaksin adalah suatu medikasi yang sifatnya urgent, bukan pilihan. Menurut dr.
Soedjatmiko selaku Sekretaris Satgas Imunisasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia,
pernyataan imunisasi dianggap berbahaya yang dimuat pada buku, tabloid, blog,
atau milis pada umumnya dikutip dari artikel yang ditulis oleh psikolog,
bakteriologi, sarjana hukum, kolumnis, ahli kanker, dan jurnalis, yang bekerja
sebelum tahun 1960. Padahal jenis dan teknologi pembuatan vaksin telah
31
Ayu Theresia Marboen, 2014, Makalah PT. Bio Farma,
http://www.scribd.com/doc/240686657/Makalah-Pt-Bio-Farma#scribd, diakses tanggal 25 Juni 2015.
32
Merry Wahyuningsih, 2012, Vaksin apa saja yang bersinggungan dengan babi,
http://health.detik.com/read/2012/06/20/152505/1946278/775/vaksin-apa-saja-yang-bersinggungan-
dengan-babi, diakses tanggal 20 Juni 2015.
9
mengalami kemajuan pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.33
Sampai saat ini belum ada badan penelitian di dunia yang menyatakan ASI,
gizi, dan suplemen herbal bisa menggantikan imunisasi, meskipun memiliki
kebersihan yang akan memperkuat pertahanan tubuh secara umum. Karena
kekebalan yang dibentuk sangat berbeda dan spesifik terhadap kuman tertentu yang
berbahaya. Vaksin merangsang pembentukan kekebalan yang spesifik (antibodi)
terhadap kuman (racun) atau virus tertentu. Setelah antibodi terbentuk akan bekerja
lebih cepat, effektif dan effisien untuk mencegah penularan penyakit berbahaya.34
Badan penelitian di berbagai negara juga telah membuktikan dengan
meningkatnya cakupan imunisasi, maka penyakit yang dapat dicegah menjadi
berkurang. Oleh karena itu, program imunisasi dilakukan terus menerus di 194
negara, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan mayoritas penduduknya
beragama Islam. Negara-negara pendukung imunisasi yakin bahwa imunisasi aman
dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat, dan kematian. Di Indonesia,
pernah terjadi wabah polio pada tahun 2005-2006 karena banyak bayi yang tidak
diimunisasi polio, sehingga menyebabkan 305 anak lumpuh permanen. Lalu
digencarkan imunisasi polio dan sampai saat ini tidak ada lagi kasus polio baru.35
Menurut dr. Soedjatmiko, mengenai vaksin polio yang mengandung enzim
babi, hal itu tidak benar. Karena pada proses penyemaian induk bibit vaksin tertentu
15 – 20 tahun lalu, ketika proses panen bibit vaksin tersebut bersinggungan dengan
tripsin pankreas babi untuk melepaskan induk vaksin dari persemaiannya, tetapi
kemudian induk bibit vaksin tersebut dicuci dan dibersihkan total dengan cara
ultrafilterisasi ratusan kali, sehingga pada vaksin yang diteteskan atau disuntikan
pada anak tidak mengandung tripsin babi. Proses pembuatan vaksin juga diawasi
dan diaudit secara periodik oleh pakar-pakar WHO dan diekspor ke 120 negara lain,
termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam.36
Dengan demikian, kesimpulan penulis mengenai pro dan kontra halal atau haram
pada pemberian vaksin polio, dalam sudut pandang Islam (hukum asal) pada
dasarnya dibolehkan bahkan dianjurkan untuk mencegah terjadinya penyakit. Hal
ini diperkuat dengan fatwa MUI tentang dibolehkannya penggunaan vaksin polio
33
Ibid.
34
Fit/Igw, 2013, Op.cit.
35
Ibid.
36
Ibid.
10
IPV dan OPV serta keterangan ilmiah dari PT Bio Farma dan Ikatan Dokter Anak
Indonesia yang menyatakan pada produk final tidak ditemukan unsur tripsin (enzim
babi) dan vaksin adalah suatu medikasi yang sifatnya urgent, bukan pilihan guna
pencegahan terhadap penyakit polio yang dapat mengakibatkan kelumpuhan tetap
sepanjang hayat dan dapat melahirkan generasi yang lemah di masa mendatang.
37
Aditya Eka Prawira, 2015, Op.cit.
38
MYS, 2012, Menjadikan Fiksi Hukum Tak Sekadar Fiksi,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ffe7ed9ac70f/menjadikan-fiksi-hukum-tak-sekadar-fiksi,
diakses tanggal 28 Juni 2015.
11
dampak wabah penyakit polio. Oleh karena itu, perlu diwadahi dalam suatu
kebijakan dan regulasi. Permasalahan bioteknologi yang multidimensi terkadang
memberikan jarak antara perkembangan hukum, kemajuan teknologi, dan antisipasi
masyarakat yang kurang dan risiko serta kerusakan yang tidak bisa diprediksi.39
Penulis mencoba menganalisis pernyataan dari dr. Elizabeth Jane mengenai
seorang ibu yang tidak memberi imunisasi pada anak dianggap tindak pidana sesuai
Permenkes tentang imunisasi yang merupakan turunan dari Undang-Undang
Kesehatan. Hasil dari analisis penulis terhadap pernyataan dari dr. Elizabeth Jane
adalah pernyataan tersebut kabur dan tidak berdasar. Alasannya sebagai berikut:
1. Tidak dibenarkan Peraturan Menteri (Permenkes) mengatur sanksi pidana
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan “Materi muatan
mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang,
Peraturan Daerah Provinsi; atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”. Sanksi
pidana hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang, Perda Provinsi, Kota, atau
Kabupaten. Lalu setelah penulis membaca Permenkes tentang imunisasi secara
keseluruhan, memang di dalamnya tidak ada ketentuan sanksi pidana.
2. Tidak ada sanksi pidana bagi Ibu yang tidak memberikan imunisasi pada anak
berdasarkan Undang-Undang Kesehatan
Penulis mencoba mencari makna dari suatu peraturan dan mulai dari
peraturan hukum yang paling tinggi tingkatnya atau yang dikenal sebagai
kegiatan mencari ratio legis. Penulis berharap bisa menemukan pengertian yang
lebih luas, lebih umum jangkauannya dari yang semula,40 yaitu dengan melihat
dan menganalisis Undang-Undang Kesehatan. Penulis berharap dengan
menemukan ratio legis, bisa menyusun suatu bangunan tatanan lebih lanjut yang
konsisten dengan Peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya.41
Setelah penulis membaca seluruh ketentuan dari Undang-Undang Kesehatan,
ternyata juga tidak ada sanksi pidana bagi Ibu yang tidak memberikan imunisasi
pada anak. Penulis hanya menemukan dalam Pasal 132 ayat (3) Undang-Undang
Kesehatan dinyatakan “Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai
39
Wahyu Yun Santoso, 2015, Op.cit.
40
Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.46.
41
Ibid., hlm.47.
12
dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat
dihindari melalui imunisasi”, tetapi tidak ada sanksi pidana bagi yang melanggar
jika anak tidak memperoleh imunisasi dasar.
13
penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi dan ketentuan lebih lanjut
ditetapkan dengan Peraturan Menteri”. Kemudian pada Pasal 133 dinyatakan:
“Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk
diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya”.
Permenkes tentang Imunisasi pada bagian mengingat yang merupakan dasar
hukum (landasan yuridis) pada angka 3 merujuk pada Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kini telah dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya
disebut Undang-Undang Perlindungan Anak). Hal ini tentu bersesuaian dengan
konsideran dan Pasal yang ada pada Undang-Undang Kesehatan, yaitu
penekanannya pada anak. Dimana setiap anak berhak memperoleh imunisasi dan
setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk
diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.
Sementara pada bagian mengingat Undang-Undang Kesehatan, tidak secara
eksplisit merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, sehingga harus
dicari terlebih dahulu melalui penemuan hukum. Kemudian penulis membaca
seluruh ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan tetap tidak
ditemukan pengaturan sanksi pidana bagi orang tua yang tidak memberikan
imunisasi pada anak. Namun jika dilakukan analisis lebih mendalam, maka
sebenarnya ada Pasal yang terkait, yaitu Pasal 46 yang dinyatakan: “Negara,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Orang Tua wajib
mengusahakan agar Anak yang lahir terhindar dari penyakit yang
mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan”. Pada
penjelasannya dinyatakan penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan
menimbulkan kecacatan, misalnya HIV atau AIDS, TBC, kusta, dan polio.”
Dengan demikian, orang tua mempunyai kewajiban agar anak yang lahir
terhindar dari penyakit polio. Namun tetap tidak ada pengaturan sanksi pidana
bagi orang tua yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut. Satu-satunya sanksi
pidana yang dimungkinkan dapat dikenakan kepada orang tua yang tidak
memberikan vaksin polio kepada anak ada di dalam Pasal Pasal 76A huruf a,
yaitu “Setiap orang dilarang memperlakukan anak secara diskriminatif yang
mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga
14
menghambat fungsi sosialnya”. Sanksi pidananya menurut Pasal 77 berupa
pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00.-. Lalu apakah orang tua yang tidak memberikan imunisasi
vaksin polio kepada anak dapat dikategorikan sebagai perlakuan diskriminatif?
padahal yang dilakukan oleh orang tua tersebut atas dasar kepentingan yang
terbaik bagi anak mengingat penggunanan vaksin polio dianggap haram dan
dapat digantikan dengan tahnik, obat-obatan herbal, dan ASI.
Pasal 76A tidak memberikan penjelasan (cukup jelas) dan definisi dari
diskriminatif juga tidak ada di dalam Ketentuan Umum Undang-Undang
Perlindungan Anak.46 Menurut principles of legality atau asas legalitas, suatu
ketentuan Perundang-undangan harus dirumuskan secara cermat dan terperinci
atau lex certa. Perumusan ketentuan Perundang-undangan yang tidak jelas dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan kegagalan dalam Penuntutan pidana.47
Dengan demikian, pernyataan dr Elizabeth tidak didasarkan pada kajian yang
mendalam. Karena pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi
wajib pemberian vaksin polio masih kabur (banyak kekurangan dan kelemahan
di dalamnya) dan tidak berdasar, sehingga belum dapat diterapkan karena tidak
sesuai dengan asas legalitas, khususnya mengenai lex certa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
46
Ibid Pasal 76 A dan Pasal 77.
47
Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga,
Jakarta, hlm.26.
15
kompetitif, meningkatnya kepedulian dan komitmen komunitas dunia, dan
pertimbangan ekonomi (efektif, efisien, dan biaya murah).
2. Mengenai pro dan kontra halal atau haram pada pemberian vaksin polio, dalam
sudut pandang Islam (hukum asal) pada dasarnya dibolehkan dan dianjurkan
guna mencegah terjadinya penyakit Polio. Hal ini juga diperkuat dengan fatwa
dari MUI tentang dibolehkannya penggunaan vaksin polio IPV dan OPV serta
keterangan ilmiah dari PT. Bio Farma dan Ikatan Dokter Anak Indonesia yang
menyatakan pada produk final tidak ditemukan unsur tripsin (enzim babi).
Vaksin adalah suatu medikasi yang sifatnya urgent, bukan pilihan guna
mencegah penyakit polio yang dapat mengakibatkan kelumpuhan tetap
sepanjang hayat dan dapat melahirkan generasi yang lemah di masa mendatang.
3. Pengaturan sanksi pidana dalam penyelenggaraan imunisasi wajib pemberian
vaksin polio masih kabur dan tidak berdasar, sehingga tidak dapat diterapkan
pada peristiwa konkret karena tidak sesuai dengan asas legalitas. Menurut asas
legalitas atau principles of legality, suatu ketentuan Perundang-undangan harus
dirumuskan secara cermat dan terperinci atau lex certa. Perumusan ketentuan
Perundang-undangan yang tidak jelas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum
dan menghalangi keberhasilan dalam Penuntutan pidana
B. Saran
1. Sampai saat ini tidak ada satupun badan penelitian di dunia yang menyatakan
Air Susu Ibu (ASI), tahnik, gizi, dan obat-obatan herbal bisa menggantikan
imunisasi. Karena kekebalan yang dibentuk sangat berbeda dan spesifik terhadap
kuman tertentu yang berbahaya. Vaksin akan merangsang pembentukan
kekebalan yang spesifik (antibodi) terhadap kuman, virus atau racun kuman
tertentu untuk mencegah penularan penyakit yang berbahaya. Oleh karena itu
pencegahan penyakit polio secara efektif dan efisien hanya mungkin dilakukan
melalui imunisasi dengan vaksin polio dan mendukung Pemerintah dalam
program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
2. Agar Pemerintah melalui petugas-petugas teknis yang terkait dengan
penyelenggaran program imunisasi wajib harus giat melakukan sosialisasi
kepada masyarakat melalui posyandu, pertemuan dengan para tokoh atau
pemuka adat di daerah masing-masing dan memanfaatkan teknologi internet
16
guna penyebaran informasi yang cepat dan meluas. Lalu setiap informasi seperti
Fatwa MUI dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pusat
terkait penyelenggaraan imunisasi wajib disosialisasikan kepada masyarakat.
3. Agar Pejabat publik berhati-hati dalam membuat pernyataan ke publik terkait
suatu kebijakan yang memiliki dampak yang luas dan signifikan di masyarakat.
Pernyataan tersebut hendaknya dikaji terlebih dahulu secara mendalam melalui
tim atau tenaga ahli atau berkordinasi dengan pihak yang berkompeten.
Terhadap kebijakan yang sifatnya lintas bidang (antara kesehatan dan hukum),
Kementrian Kesehatan dapat meminta pendapat hukum terlebih dahulu kepada
Kejaksaan Agung. Supaya pernyataan tersebut tidak keliru dan berdampak pada
timbulnya kebingungan dan keresahan di masyarakat.
4. Jika Pemerintah ingin mengatur sanksi pidana bagi orang tua yang tidak
memberikan imunisasi polio pada anak, maka Pemerintah dan pembentuk
Undang-Undang (DPR) harus merevisi Undang-Undang kesehatan dan
memasukan rumusan perbuatan tersebut ke dalam suatu Pasal beserta sanksinya,
sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Namun apabila ingin
diatur di dalam Undang-Undang lain, maka pada bagian mengingat Undang-
Undang Kesehatan yang dijadikan landasan yuridis dalam penyelenggaraan
imunisasi wajib, harus dimasukan rujukan Undang-Undang terkait, misalnya
Undang-Undang Perlindungan Anak. Tujuannya agar suatu ketentuan
Perundang-undangan dirumuskan secara cermat, terperinci, dan saling terkait
antara Undang-Undang yang satu dan lainnya, sehingga ada kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Hiariej, Eddy O.S., 2009, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana,
Erlangga, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2014, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
17
B. Makalah
Marboen, Ayu Theresia, “PT. Bio Farma”, Makalah, 2014,
http://www.scribd.com/doc/240686657/Makalah-Pt-Bio-Farma#scribd, diakses
tanggal 25 Juni 2015.
C. Artikel Majalah
Yusuf, Abu Ubaidah bin Mukhtar as-Sidawi, 2008, Hukum Imunisasi (Kontroversi
Imunisasi Vaksin Polio yang Mengandung Babi), Majalah Al-Furqon Edisi 05.
D. Internet
Aditya Eka Prawira, 2015, “Orang Tua Bisa Kena Sanksi Bila Tak Beri Imunisasi Pada
Anak”, http://health.liputan6.com/read/2216822/orangtua-bisa-kena-sanksi-
bila-tak-beri-imunisasi-pada-anak, diakses 20 Juni 2015.
Merry Wahyuningsih, 2012, “Vaksin apa saja yang bersinggungan dengan babi”,
http://health.detik.com/read/2012/06/20/152505/1946278/775/vaksin-apa-saja-
yang-bersinggungan-dengan-babi, diakses 20 Juni 2015.
Samsuridjal Djauzi & Dirga Sakti Rambe (Satgas Imunisasi Dewasa Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia/PAPDI), 2013, “Imunisasi : Sejarah
dan Masa Depan”, http://www.kalbemed.com/Portals/6/24_205Opini-Imunisasi-
Sejarah%20dan%20Masa%20Depan.pdf, diakses 25 Juni 2015.
18
E. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5063).
F. Lainnya
Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Vaksin Polio Khusus tanggal 08
Oktober 2002.
Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Penggunaan Vaksin Polio Oral (OPV) tanggal 25 Juli 2005.
Wahyu Yun Santoso, 2015, Bahan Kuliah Teknologi dalam Hukum-Aspek Hukum
Terkait Bioteknologi, Magister Hukum Konsentrasi Hukum Litigasi, FH UGM,
Jakarta.
19