Bab Ii Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi: The Global Initiative For Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
Bab Ii Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi: The Global Initiative For Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2018 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai
penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai
adanya hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif
serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran
napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Empisema dan
bronchitis tidak dimasukkan definisi PPOK karena bronchitis merupakan
diagnosis klinis dan empisema diagnosis patologi.
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya (PDPI (Persatuan Dokter Paru Indonesia), 2003),
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sebagai penyakit yang dapat
dicegah dan diobati, disertai manifestasi ekstrapulmoner yang mempengaruhi
tingkat keparahan penyakit, ditandai dengan keterbatasan aliran udara paru
yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan merupakan respons
inflamasi abnormal akibat partikel toksik dan gas beracun (kalbemed, 2014).
2.2 Epidemiologi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian
keempat tersering di dunia dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian
ketiga tersering tahun 2020. Pada tahun 1990 angka kematian akibat PPOK di
dunia adalah 2,2 juta dan diperkirakan meningkat menjadi 4,7 juta pada tahun
2020 (Kalbemed, 2014).
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada
setiap studi. Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay,
2
Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5 Pada studi
BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi padalaki-laki lebih tinggi yaitu
11,8% dan 8,5% pada perempuan. Data di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar
3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan
lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%) (Soeroto,
2014).
3
Hiperresponsif jalan nafas akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pada
pertumbuhan paru yang dikaitkan dengan masa kehamilan, berat lahir dan
pajanan semasa anak-anak memiliki kaitan terhadap fungsi paru (VEP1)
sehingga memiliki resiko yang tinggi untuk mendapatkan PPOK (Depkes,
2008).
Faktor Lingkungan
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar dan lain-lain. Polusi di luar ruangan
meliputi gas buangan industry, kendaraan bermotor, debu jalanan serta polusi
ditempat kerja meliputi bahan kimia, dwbu/zat iritasi, dan gas beracun.
Pajanan yang terus-menerus oleh zat dari lingkungan tersebut akan
menyebabkan penuruna faal paru dan berisiko untuk terjadinya PPOK
(Depkes, 2008).
4
gejala respirasi pada saat dewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang
dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya kejadian infeksi
berat pada anak sebah=gai penyebab dasar timbulnya hiperaktivitas bronkus
yang merupakan faktor resiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir rendah
akan mengakibatkan infeksi virus yang juga merupakan faktor risiko PPOK
(gold, 2018).
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan
4. Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan
secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)),
kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory
Volume in one second (FEV1 )), dan rasio kedua pengukuran tersebut
(FEV1/FVC).1 Pada tabel 1 diperlihatkan klasifikasi tingkat keparahan
keterbatasan aliran udara pada pasien PPOK.
5
Patologi
Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas,
parenkim dan vascular paru. Perubahan patologis akibat inflamasi kronis
terjadi karena peningkatan sel inflamasi kronis di berbagai bagian paru yang
menimbulkan kerusakan dan perubahan structural akibat cedera dan
perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan structural saluran
napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya oenyakit walaupun
sudah berhenti merokok.
6
Timbul hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
7
sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada dalam bentuk Hb tereduksi. Pasien-
pasien ini tidak mengalami dispnea sewaktu istirahat sehingga mereka
tampak sehat. Biasanya berat tubuh tidak banyak menurun dan bentuk tubuh
normal. Kapasitas paru total normal dan diafrgma berada pada posisi normal.
Kematian biasanya terjadi akibat kor pulmonal atau akibat kegagalan
pernapasan.
Perjalanan klinis PPOK yang khas berlangsung lama, dimulai pada usia
20-30 tahun dengan batuk “merokok”, atau “pagi” disertai pembentukan
sedikit sputum mukoid. Infeksi pernapasan ringan cenderung berlangsung
lebih lama dari biasanya pada pasien-pasien ini. Meskipun mungkin terdapat
penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini tidak
diketahui karena berlangsung dalam jangka waktu lama. Akhirnya, serangan
bronchitis akut makin sering timbul terutama pada musim dingin dan
kemampuan kerja pasien berkurang, sehingga waktu mencapai usia 50-60an
pasien mungkin harus berhenti bekerja. Pada pasien dengan tipe emfisema
tosa yang mencolok perjalanan klinis tampaknya tidak begitu lama yaitu
tanpa riwayat batuk produktif dan dalam beberapa tahun timbul dipsnea yang
membuat pasien menjadi sangat lemah. Bila timbul hiperkapnia, hipoksemia
dank or pulmonal prognosisnya buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa
tahun sesudah timbul penyakit. Gabungan gagal napas dan gagal jantung
yang dipercepat oleh pneumonia merupakan penyebab kematian yang lazim.
8
2.7 Diagnosis
Riwayat Penyakit (soeroto, 2014 dan GOLD, 2018).
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka
riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
• Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan.
9
• Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis,
polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan penyakit
respirasi lainnya.
• Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
• Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
• Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
• Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan aktivitas,
pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
• Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
• Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan merokok
10
Spirometri
spirometri adalah ukuran pembatasan aliran udara yang paling mudah
direproduksi dan obyektif. Ini adalah tes noninvasif dan mudah didapat.
Meskipun sensitivitasnya bagus, pengukuran arus ekspirasi puncak (peak
flow meter) saja tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya tes diagnostik
karena spesifisitasnya yang lemah. Pengukuran spirometrik berkualitas baik
mungkin dilakukan di lingkungan kesehatan manapun dan semua petugas
kesehatan yang merawat pasien PPOK harus memiliki akses terhadap
spirometri. beberapa faktor yang dibutuhkan untuk mencapai hasil uji di
sumariasikan pada gambar
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis
PPOK seperti yang sudah dijelaskan, dimana hasil rasio pengukuran FEV1 /
FVC < 0,7. Selain spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk
mengetahui kadar pH dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk membantu
menentukan diagnosis PPOK, dan Computed Tomography (CT) Scan
dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada alveoli. Beberapa studi juga
menyebutkan bahwa kekurangan α-1 antitripsin dapat diperiksa pada pasien
PPOK maupun asma.
11
2.8 Assessment
Pengukuran gejala sesak napas secara sederhana dapat dilakukan dengan
menggunakan kuesioner Modified British Medical Research Council (nMRC).
12
mengkategorikan pasien ke dalam kelompok keparahan gejala untuk tujuan
pengobatan.
Kuesioner CAT menilai pegaruh PPOK terhadap kehidupan seseorang
dengan PPOK dan bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu. Skor <25
jarang terjadi dalam diagnosis PPOK, skor> 25 sangat jarang terjadi pada
orang sehat.
13
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis Gejala
PPOK Onset pada usia pertengahan.
Gejala progresif lambat.
Riwayat merokok yang lama.
Sesak saat aktivitas
Sebaggian besar hambatan aliran darah bersifat ireversibel
Asma Terdapat pada semua umur, lebih sering pada usia anak.
Gejala bervariasi dari hari ke hari.
Gejala pada mala/ menjelang pagi.
Dapat disertai dengan alergi. Rhinitis atau eksim.
Mempunyai riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara berssifat reversible.
Gagal Jantung Auskultasi, terdengar rhonki halus di bagian basal.
Kongestif Foto thoraks tampak jantung membesar, edema paru.
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi.
Bronkiektasis Sputum produktif dan purulent.
Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar rhonki kasar.
Foto thoraks/CT-scan toraks menunjukkan pelebaran dan
penebalan bronkus.
Tuberculosis Onset segala usia.
Foto toraks menunjukkan infiltrate di paru.
Konfirmasi mikrobiologi
14
Peningkatan IgE Jaramg Sering
Eosinophil Jarang serimg
2.10 Penatalaksanaan
Edukasi
Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
Berhenti Merokok
Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi
dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan
toleransi aktivitas.
Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung
beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik
dan emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari
Terapi oksigen
Ventilasi mekanis
Nutrisi
Edukasi
Memberikan informasi dan nasehat, dan mengasumsikan pengetahuan akan
menyebabkan perubahan perilaku. Karena PPOK adalah penyakit kronik
yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Secara umum bahan edukasi yang diberikan adalah: pengetahuan dasar
tentang PPOK, obat-obatan , manfaat dan efek sampingnya, cara
15
pencegahan perburukan penyakit, menghindari pencetus (berhenti
merokok), penyesuaian aktivitas.
Vaksinasi
Influenza Vaccine
Vaksinasi influenza dapat mengurangi penyakit serius dan kematian pada
pasien COPD. Beberapa penelitian telah mengevaluasi eksaserbasi dan
mereka telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam jumlah total
eksaserbasi per subjek yang divaksinasi dibandingkan dengan mereka yang
menerima plasebo.
Pneumococcal vaccine
Vaksinasi pneumokokus, PCV13 dan PPSV23, direkomendasikan untuk
semua pasien> 65 tahun. PPSV23 juga direkomendasikan untuk pasien
PPOK yang lebih muda dengan kondisi komorbiditas yang signifikan
termasuk penyakit jantung kronis atau paru-paru. PPSV23 telah ditunjukkan
untuk mengurangi kejadian pneumonia yang didapat masyarakat pada
pasien PPOK <65 tahun, dengan perkiraan, atau komorbiditas FEV1 <40%
(terutama komorbiditas jantung. PCV13 telah ditunjukkan menunjukkan
setidaknya imunogenisitas yang sama atau lebih besar daripada PPSV23
sampai dua tahun setelah vaksinasi pada pasien PPOK.
Berhenti merokok
Penghentian merokok memiliki kapasitas terbesar untuk mempengaruhi
sejarah alami PPOK. jika sumber daya dan waktu yang efektif didedikasikan
untuk penghentian merokok, tingkat keberhasilan berhenti jangka panjang
hingga 25% dapat dicapai.
16
Farmakoterapi
Produk pengganti nikotin
Terapi penggantian nikotin (permen nikotin, inhaler, semprotan
hidung, patch transdermal, tablet sublingual) dapat meningkatkan tingkat
pantangan merokok jangka panjang dan secara signifikan lebih efektif
daripada plasebo.
Produk farmakologis
Varenicline, bupropion, dan nortryptilin telah ditunjukkan untuk
meningkatkan tingkat berhenti jangka panjang, namun harus selalu
digunakan sebagai komponen program intervensi yang mendukung dan
merupakan satu-satunya intervensi untuk penghentian merokok.
Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk
meningkatkan FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara
mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas dan perbaikan aliran
ekspirasi mencerminkan pelebaran saluran udara daripada perubahan pada
rekurensi elastis paru-paru. Diberikan secara tunggal atau kombinasi
sesuai dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemillihanbentuk obat
diutamakan dalam bentuk inhalasi.
Terapi inhalasi pada PPOK harus diperhatikan terutama saat
menggunakan nebulizer, disamping kombinasi jenis obat, juga perlu
diperhatikan bentuk terapi inhalasinya, alat bantu serta pemilihan sumber
tenaga dari nebulisernya (tekanan aliran oksigen atau kompresor).
17
Pemilihan sumber tenaga terapi inhalasi harus berdasarkan pemeriksaan
analisa gas darah, karena pada PPOK sudah terjadi retensi CO2 sebelum
pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer.
Pemeberian nebulizer tidak dianjurkan untuk jangka panjang. Obat
bronkodilator pada PPOK paling sering diberikan sebagai basis jika
diperlukan atau regular untuk mencegah atau mengurangi gejala.
Penggunaan bronkodilator kerja pendek secara teratur umumnya tidak
direkomendasikan.
• β2Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-
AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi.
Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6
jam. Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan
gejala (Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro
renata pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator
tidak didukung bukti dan tidak direkomendasikan.
Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau
lebih. Ada agonis beta2 short-acting (SABA) dan long-acting (LABA).
Formoterol dan salmeterol adalah LABA dua kali sehari yang secara
signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health
related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan
(Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan
fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah
sakit (Evidence B). Indacaterol sekali sehari merupakan Long acting β2
agonist baru dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan
memperbaiki FEV1 , sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A).
Oladaterol dan vilanterol tambahan sekali sehari LABAs yang
memperbaiki fungsi paru dan gejalanya. Efek samping adanya stimulasi
reseptor β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat
18
dan mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic
merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat golongan ini.
• Antikolinergik
Obat antikolinergik menghambat efek bronchoconstrictor
acetylcholine pada reseptor muskarinik M3 yang diekspresikan pada otot
polos saluran napas. Antimuscarinics short-acting (SAMA), yaitu
ipratropium dan oxitropium dan antagonis antimuskarinik lama (LAMAs),
seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium bromide dan umeclidinium
pada reseptor dengan cara yang berbeda. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator
dari short acing anticholinergic inhalasi lebih lama dibanding short acting
β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi
kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki
gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas
rehabilitasi pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat
penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa
menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data yang dapat
membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat dan penggunaan
obat tersebut.
Methylxanthine
Yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan
berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak
19
direkomendasikan jika obat lain tersedia. Teofilin, methylxanthine yang
paling umum digunakan, dimetabolisme dengan oksidasi fungsi sitokrom
P450. Pembersihan obat menurun seiring bertambahnya usia. Ada bukti
untuk efek bronkodilator sederhana dibandingkan dengan plasebo pada
COPD stabil. Penambahan teofilin pada salmeterol menghasilkan
peningkatan FEV1 yang lebih besar dan sesak napas daripada salmeterol
saja. Ada bukti terbatas dan kontradiktif mengenai efek teofilin dosis
rendah pada tingkat eksaserbasi. Efek samping. Toksisitas terkait dosis,
yang merupakan masalah khusus dengan turunan xantin karena rasio
terapeutiknya kecil dan sebagian besar manfaatnya terjadi bila dosis yang
mendekati toksik diberikan.
• Terapi Kombinasi bronkodilator
Menggabungkan bronkodilator dengan mekanisme dan durasi tindakan
yang berbeda dapat meningkatkan tingkat bronkodilatasi dengan risiko
efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan meningkatkan
dosis satu bronkodilator tunggal.
Kombinasi SABA dan SAMA lebih unggul dibandingkan dengan
pengobatan saja dalam memperbaiki FEV1 dan gejala.
Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium pada inhaler terpisah
memiliki dampak lebih besar pada FEV1 daripada komponen baik saja.
Ada banyak kombinasi dari LABA dan LAMA dalam satu inhaler yang
tersedia
Dosis yang lebih rendah, rejimen dua kali sehari untuk LABA / LAMA
juga telah terbukti memperbaiki gejala dan status kesehatan pada pasien
COPD64
• Kortikosteroid inhalasi (ICS)
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat
memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 <60% prediksi.
ICS dikombinasikan dengan terapi bronkodilator jangka panjang. Pada
pasien dengan COPD dan eksaserbasi yang sedang sampai sangat
20
parah, ICS dikombinasikan dengan LABA lebih efektif dalam
memperbaiki fungsi paru-paru, status kesehatan dan pengurangan
eksaserbasi.
Efek samping. Ada bukti kualitas tinggi dari uji coba terkontrol secara
acak (RCT) yang digunakan ICS dikaitkan dengan prevalensi
kandidiasis oral yang lebih tinggi, suara serak, kulit yang memar dan
pneumonia.
• Glukokortikoid oral
o Glukokortikoid oral memiliki banyak efek samping, termasuk miopati
steroid yang dapat menyebabkan kelemahan otot, penurunan fungsi,
dan gagal napas pada subjek dengan COPD yang sangat parah.
o Sementara glukokortikoid oral berperan dalam pengelolaan akut
eksaserbasi, mereka tidak memiliki peran dalam perawatan sehari-hari
kronis pada PPOK karena kurangnya manfaat seimbang terhadap
tingkat komplikasi sistemik yang tinggi.
21
AMP. Roflumilast mengurangi eksaserbasi sedang dan berat yang
diobati dengan kortikosteroid sistemik pada pasien dengan bronkitis
kronis, COPD parah sampai sangat parah, dan sejarah eksaserbasi.
o Efek samping. Penghambat PDE4 memiliki efek yang lebih buruk
daripada obat inhalasi untuk COPD.84 Yang paling sering adalah mual,
berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, sakit perut, diare,
gangguan tidur, dan sakit kepala.
• Antibiotik
o Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik macrolide secara teratur dapat mengurangi tingkat
eksaserbasi.
22
23
Non- Farmakologi
24
Grup A
- Semua kelompok A pasien harus diberi perawatan bronkodilator
berdasarkan efeknya pada sesak napas. Ini bisa berupa bronkodilator
jangka pendek atau panjang
- ini harus dilanjutkan jika manfaat simtomatik didokumentasikan.
Grup B
- Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja yang panjang.
bronkodilator inhalasi jangka panjang lebih unggul daripada bronkodilator
short-acting yang dibutuhkan sesuai kebutuhan, yaitu pratau prn dan
direkomendasikan.
- Tidak ada bukti untuk merekomendasikan satu kelas bronkodilator jangka
panjang di atas yang lain untuk menghilangkan gejala awal pada kelompok
pasien ini. Pada pasien individual, pilihannya harus bergantung pada
persepsi pasien terhadap gejala kelegaan.
25
- Untuk pasien dengan sesak nafas terus-menerus pada monoterapi
penggunaan dua bronkodilator direkomendasikan.
- Untuk pasien dengan terapi awal sesak napas parah dengan dua
bronkodilator dapat dipertimbangkan.
- Jika penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, sebaiknya
perawatan diturunkan lagi ke satu bronkodilator tunggal.
- Pasien kelompok B cenderung memiliki komorbiditas yang dapat
menambah simtomatologi mereka dan mempengaruhi prognosis mereka,
dan kemungkinan ini harus diselidiki.
Grup C
- Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator berakting tunggal. Dalam dua
perbandingan head-to-head, LAMA yang mencicipi lebih unggul dari
LABA mengenai pencegahan eksaserbasi, oleh karena itu kami
merekomendasikan untuk memulai terapi dengan LAMA di grup ini.
- Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat memperoleh manfaat dari
menambahkan kedua bronkodilator kerja lama (LABA / LAMA) atau
menggunakan kombinasi antagonis beta kerja lama dan kortikosteroid
inhalasi (LABA / ICS). Karena ICS meningkatkan risiko terkena
pneumonia pada beberapa pasien, pilihan utama kami adalah LABA /
LAMA.
Grup D
- Sebaiknya mulailah terapi dengan kombinasi LABA / LAMA karena:
Jika satu bronkodilator dipilih sebagai pengobatan awal, LAMA lebih
disukai untuk pencegahan eksaserbasi berdasarkan perbandingan dengan
LABAs
Kombinasi LABA / LAMA lebih unggul dari kombinasi LABA / ICS
dalam mencegah eksaserbasi dan hasil yang dilaporkan pasien lainnya
pada pasien kelompok D.
26
Pasien Grup D berisiko tinggi terkena pneumonia saat menerima
pengobatan dengan ICS
- Pada beberapa pasien therapuy awal dengan LABA / ICS mungkin menjadi
pilihan pertama. Jumlah eosinofil darah tinggi juga dapat dianggap sebagai
parameter untuk mendukung penggunaan ICS.
27
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi napas >20% dari nilai
dasar, atau frekuensi nadi >20% dari nilai dasar.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut :
- Eksaserbasi ringan: meningkatkan pemakaian bronkodilator
- Eksaserbasi sedang : menambahkan anibiotik atau kortikosteroid sistemik
atau keduanya
- Eksaserbasi berat: perawatan dirumah sakit.
Farmakologi
- Bronkodilator
- Glukokortikoid
- Antibiotic
- Terapi adjuvant
Respiratory support
- Oxygen therapy
- High flow oxygen therapy by nasal canul
- Ventillatory support
2.11 Prognosis
Tergantung pada :
- Beratnya obstruksi
- Adanya kor pulmonal
- Kegagalan jantung kongestif
- Derajat gangguan analisa gas
28