Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2018 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai
penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai
adanya hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif
serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran
napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Empisema dan
bronchitis tidak dimasukkan definisi PPOK karena bronchitis merupakan
diagnosis klinis dan empisema diagnosis patologi.
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya (PDPI (Persatuan Dokter Paru Indonesia), 2003),
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sebagai penyakit yang dapat
dicegah dan diobati, disertai manifestasi ekstrapulmoner yang mempengaruhi
tingkat keparahan penyakit, ditandai dengan keterbatasan aliran udara paru
yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan merupakan respons
inflamasi abnormal akibat partikel toksik dan gas beracun (kalbemed, 2014).

2.2 Epidemiologi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian
keempat tersering di dunia dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian
ketiga tersering tahun 2020. Pada tahun 1990 angka kematian akibat PPOK di
dunia adalah 2,2 juta dan diperkirakan meningkat menjadi 4,7 juta pada tahun
2020 (Kalbemed, 2014).
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada
setiap studi. Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay,

2
Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5 Pada studi
BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi padalaki-laki lebih tinggi yaitu
11,8% dan 8,5% pada perempuan. Data di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar
3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan
lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%) (Soeroto,
2014).

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor Exposure
Merokok, hiperaktivitas saluran napas, pekerjaan, polusi lingkungan. Di
seluruh dunia, merokok merupakan faktor risiko PPOK yang paling sering
dikenal. Perokok memiliki prevalensi gejala pernafasan dan kelainan fungsi
paru yang lebih tinggi, tingkat FEV1 menurun dan tingkat kematian COPD
yang lebih besar daripada non-perokok. Jenis tembakau lainnya (pipa, cerutu,
pipa air) dan ganja juga merupakan faktor risiko COPD. Merokok selama
kehamilan dapat menimbulkan risiko bagi janin, dengan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan paru di dalam rahim, dan juga
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh.

Faktor Host (penjamu)


Factor risiko PPOK yang meliputi faktor genetic, hiperresponsive napas.
Dan pertumbuhan paru. Faktor genetic yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang
merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat
muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan
diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika,
dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada
kromosom 2q.

3
Hiperresponsif jalan nafas akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pada
pertumbuhan paru yang dikaitkan dengan masa kehamilan, berat lahir dan
pajanan semasa anak-anak memiliki kaitan terhadap fungsi paru (VEP1)
sehingga memiliki resiko yang tinggi untuk mendapatkan PPOK (Depkes,
2008).

Faktor Lingkungan
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar dan lain-lain. Polusi di luar ruangan
meliputi gas buangan industry, kendaraan bermotor, debu jalanan serta polusi
ditempat kerja meliputi bahan kimia, dwbu/zat iritasi, dan gas beracun.
Pajanan yang terus-menerus oleh zat dari lingkungan tersebut akan
menyebabkan penuruna faal paru dan berisiko untuk terjadinya PPOK
(Depkes, 2008).

Usia dan Jenis Kelamin


Usia sering terdaftar sebagai faktor risiko PPOK. Penyebab nya tidak jelas
apakah penuaan sehat seperti menyebabkan PPOK atau jika usia
mencerminkan jumlah eksposur kumulatif sepanjang hidup. Diketahui bahwa
pada usia lanjut diikiti juga dengan perubahan structural dari saluran udara
dan parenkim paru. Di masa lalu, sebagian besar penelitian telah melaporkan
bahwa prevalensi dan mortalitas PPOK lebih besar di antara laki-laki
daripada perempuan, namun data terbaru dari negara-negara berkembang
telah melaporkan bahwa prevalensi PPOK sekarang hampir sama pada pria
dan wanita, mungkin mencerminkan pola perubahan merokok (GOLD, 2018).

Infeksi Saluran Napas


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam pathogenesis dan progresivitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan
secara bermakna menimbulkan eksaserrbasi. Infeksi saluran napas berat pada
saat anak, akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan

4
gejala respirasi pada saat dewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang
dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya kejadian infeksi
berat pada anak sebah=gai penyebab dasar timbulnya hiperaktivitas bronkus
yang merupakan faktor resiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir rendah
akan mengakibatkan infeksi virus yang juga merupakan faktor risiko PPOK
(gold, 2018).

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan
4. Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan
secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)),
kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory
Volume in one second (FEV1 )), dan rasio kedua pengukuran tersebut
(FEV1/FVC).1 Pada tabel 1 diperlihatkan klasifikasi tingkat keparahan
keterbatasan aliran udara pada pasien PPOK.

2.5 Pathogenesis dan Patofisiologi


Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan
inflamassi di saluran napas dan pau seperti yang terkihat pada pasien PPOK.
Respons inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim
yang mengakbatkan emfisema dan mengganggu mekanisme pertahanan yang
mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis
menyebabkan udara terperangkap dan keterbatasan aliran udara progressif.

5
Patologi
Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas,
parenkim dan vascular paru. Perubahan patologis akibat inflamasi kronis
terjadi karena peningkatan sel inflamasi kronis di berbagai bagian paru yang
menimbulkan kerusakan dan perubahan structural akibat cedera dan
perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan structural saluran
napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya oenyakit walaupun
sudah berhenti merokok.

Walaupun COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali


memberikan kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang
menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang
berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya otot-
otot polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga menyebabkan
hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan
inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas
paru-paru yang berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah
dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Gangguan ventilasi yang
berhubungan dengan obstruksi jalan napas mengakibatkan hiperventilasi
(napas lambat dan dangkal) sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan
menyebabkan hiperkapnia (CO2 di dalam darah/cairan tubuh lainnya
meningkat).

Pada orang noirmal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang


menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran pernapasan
bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita COPD saluran saluran
pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat
cepatnya saluran pernapasan menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan
menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung dari
kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi
perfusi baik, sehingga penyebaran pernapasan udara maupun aliran darah ke
alveoli, antara alveoli dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).

6
Timbul hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.

Perjalanan klinis penderita PPOK terbentang mulai dari pink puffers


sampai blue bloaters adalah timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dan
produksi sputum yang berarti. Biasanya dispnea mulai timbul antara usia 30
sampai 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit lanjut,
pasien mungkin begitu kehbisan napas sehingga tidak dapat makan lagi dan
tubuhnya tampak kurus tak berotot. Pada perjalanan penyakit lebih lanjut,
pink puffers dapat berlanjut menjadi bronktis kronis sekunder. Dada pasien
berbentuk tong, diafragma terletak rendah dan bergerak tak lancar.
Polisitemia dan sianosis jarang ditemukan, sedangkan kor pulmonal (penyakit
jantung akibat hipertensi pulmonal dan penyakit paru) jarang ditemukan
sebelum penyakit sampai pada tahap terakhir. Gangguan keseimbangan
ventilasi dan perfusi minimal, sehingga dengan hiperventilasi penderita pink
puffers biasanya dapat mempertahankan gas-gas darah dalam batas normal
sampai penyakit ini mencapai tahap lanjut. Paru biasanya membesar sekali
sehingga kapasitas paru total dan volume residu sangat meningkat.

Pada keadaan PPOK ekstrim yang lain didapatkan pasien-pasien blue


bloaters (bronchitis tanpa bukti-bukti emfisema obstuktif yang jelas). Pasien
ini biasanya menderita batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi
pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak
gangguan fungsi. Akan tetapi, akhrnya timbul gejala dipsnea pada waktu
pasien melakukan kegiatan fisik. Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala
berkurangnya dorongan untuk bernapas; mengalami hipoventilasi dan
menjadi hipoksia dan hiperkapnia. Rasio ventilasi/perfusi juga tampak sangat
berkurang. Hipoksia yang kronik merangsang ginjal untuk memproduksi
eritrropoetin, yang akan merangsang peningkatan pembentukan sel-sel darah
merah, sehingga terjadi polisitemia sekunder. Kadar hemoglobin dapat
mencapai 20gram/ 100 ml atau lebih, dan sianosis mudah tampak karena Hb
dapat tereduksi mudah mencapai kadar 5 gram/100ml walaupun hanya

7
sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada dalam bentuk Hb tereduksi. Pasien-
pasien ini tidak mengalami dispnea sewaktu istirahat sehingga mereka
tampak sehat. Biasanya berat tubuh tidak banyak menurun dan bentuk tubuh
normal. Kapasitas paru total normal dan diafrgma berada pada posisi normal.
Kematian biasanya terjadi akibat kor pulmonal atau akibat kegagalan
pernapasan.

Perjalanan klinis PPOK yang khas berlangsung lama, dimulai pada usia
20-30 tahun dengan batuk “merokok”, atau “pagi” disertai pembentukan
sedikit sputum mukoid. Infeksi pernapasan ringan cenderung berlangsung
lebih lama dari biasanya pada pasien-pasien ini. Meskipun mungkin terdapat
penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini tidak
diketahui karena berlangsung dalam jangka waktu lama. Akhirnya, serangan
bronchitis akut makin sering timbul terutama pada musim dingin dan
kemampuan kerja pasien berkurang, sehingga waktu mencapai usia 50-60an
pasien mungkin harus berhenti bekerja. Pada pasien dengan tipe emfisema
tosa yang mencolok perjalanan klinis tampaknya tidak begitu lama yaitu
tanpa riwayat batuk produktif dan dalam beberapa tahun timbul dipsnea yang
membuat pasien menjadi sangat lemah. Bila timbul hiperkapnia, hipoksemia
dank or pulmonal prognosisnya buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa
tahun sesudah timbul penyakit. Gabungan gagal napas dan gagal jantung
yang dipercepat oleh pneumonia merupakan penyebab kematian yang lazim.

2.6 Manifestasi klinis


Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas.
Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena
terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi
komplain ketika FEV1 <60% prediksi (soeroto, 2014).
Gejala untuk mendiagnosis PPOK adalah sesak dan wheezing, batuk
kronik, batuk kronik berdahak, riwayat terpajan faktor risiko, riwayat
keluarga menderita PPOK dan pemeriksaan spirometri juga termasuk untuk
menegakkan diagnosis yaitu jika nilai FEV1 <0,70 (GOLD, 2018).

8
2.7 Diagnosis
Riwayat Penyakit (soeroto, 2014 dan GOLD, 2018).
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka
riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
• Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan.

9
• Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis,
polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan penyakit
respirasi lainnya.
• Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
• Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
• Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
• Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan aktivitas,
pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
• Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
• Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan merokok

Pemeriksaan Fisik (Soeroto, 2014)


Pada awal perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan kelainan
saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya
didapatkan bunyi mengi dan ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan
fisik. Tanda hiperinflasi seperti barrel chest juga mungkin ditemukan.
Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed lips breathing
(mulut setengah terkatup/mencucu) biasa muncul pada pasien dengan PPOK
sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti muscle wasting,
kehilangan berat badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan tanda-tanda
saat progresifitas PPOK. Clubbing finger bukan tanda yang khas pada PPOK,
namun jika ditemukan tanda ini maka klinisi harus memastikan dengan pasti
apa penyababnya. Palpasi, pada emfisema sela iga melebar dan fremitus
melemah. Perkusi pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafrragma rendah, serta hati terdorong kebawah. Auskultasi, suara
napas vesikuler normal atau melemah, terdapat rhonki atau mengi pada saat
bernapas biasa atau saat ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung
terdengar jauh.

10
Spirometri
spirometri adalah ukuran pembatasan aliran udara yang paling mudah
direproduksi dan obyektif. Ini adalah tes noninvasif dan mudah didapat.
Meskipun sensitivitasnya bagus, pengukuran arus ekspirasi puncak (peak
flow meter) saja tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya tes diagnostik
karena spesifisitasnya yang lemah. Pengukuran spirometrik berkualitas baik
mungkin dilakukan di lingkungan kesehatan manapun dan semua petugas
kesehatan yang merawat pasien PPOK harus memiliki akses terhadap
spirometri. beberapa faktor yang dibutuhkan untuk mencapai hasil uji di
sumariasikan pada gambar
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis
PPOK seperti yang sudah dijelaskan, dimana hasil rasio pengukuran FEV1 /
FVC < 0,7. Selain spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk
mengetahui kadar pH dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk membantu
menentukan diagnosis PPOK, dan Computed Tomography (CT) Scan
dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada alveoli. Beberapa studi juga
menyebutkan bahwa kekurangan α-1 antitripsin dapat diperiksa pada pasien
PPOK maupun asma.

11
2.8 Assessment
Pengukuran gejala sesak napas secara sederhana dapat dilakukan dengan
menggunakan kuesioner Modified British Medical Research Council (nMRC).

Tes penilaian COPD (CAT)


Tes penilaian COPD (CAT) memiliki 8 item pernyataan tentang
kesehatam pasien PPOK. Skor berkisar antara 0-40, berkorelasi sangat erat
dengan SGRQ, dan telah banyak didokumentasikan dalam berbagai publikasi.
CAT memberikan ukuran dampak simtomatik PPOK tetapi tidak

12
mengkategorikan pasien ke dalam kelompok keparahan gejala untuk tujuan
pengobatan.
Kuesioner CAT menilai pegaruh PPOK terhadap kehidupan seseorang
dengan PPOK dan bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu. Skor <25
jarang terjadi dalam diagnosis PPOK, skor> 25 sangat jarang terjadi pada
orang sehat.

13
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis Gejala
PPOK Onset pada usia pertengahan.
Gejala progresif lambat.
Riwayat merokok yang lama.
Sesak saat aktivitas
Sebaggian besar hambatan aliran darah bersifat ireversibel
Asma Terdapat pada semua umur, lebih sering pada usia anak.
Gejala bervariasi dari hari ke hari.
Gejala pada mala/ menjelang pagi.
Dapat disertai dengan alergi. Rhinitis atau eksim.
Mempunyai riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara berssifat reversible.
Gagal Jantung Auskultasi, terdengar rhonki halus di bagian basal.
Kongestif Foto thoraks tampak jantung membesar, edema paru.
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi.
Bronkiektasis Sputum produktif dan purulent.
Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar rhonki kasar.
Foto thoraks/CT-scan toraks menunjukkan pelebaran dan
penebalan bronkus.
Tuberculosis Onset segala usia.
Foto toraks menunjukkan infiltrate di paru.
Konfirmasi mikrobiologi

Perbedaan PPOK dan Asma


Perbedaan Ppok Asma
Onset Biasanya >40 tahun semua umur, biasanya
anak-anak
Riwayat merokok Ada Biasanya tidak merokok
Riwayat keluarga Biasanya tidak ada ada
kecuali kekurangan alfa 1
antitripsin
Reversible saluran napas Tidak reversible penuh, Sangat reversible
hanya reversible sebagian Biasanya fungsi paru
dengan bronkodilator hamper normal
Berhenti merokok dapat
mengurangi fungsi paru
Pola gejala Biasanya kronik progresif Bervariasi dari hari
Lambat tidak spesifik kehari malam/
menjelamg pagi
Batuk (menonjol) Dini hari Malam/setelah latihan
Sputum purulen Khas jarang

14
Peningkatan IgE Jaramg Sering
Eosinophil Jarang serimg

2.10 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :


(SOEROTO, 2014 dan PDPI, 2016)

 Edukasi
 Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
 Berhenti Merokok
 Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi
dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan
toleransi aktivitas.
 Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung
beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
 Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik
dan emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari
 Terapi oksigen
 Ventilasi mekanis
 Nutrisi

Edukasi
Memberikan informasi dan nasehat, dan mengasumsikan pengetahuan akan
menyebabkan perubahan perilaku. Karena PPOK adalah penyakit kronik
yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Secara umum bahan edukasi yang diberikan adalah: pengetahuan dasar
tentang PPOK, obat-obatan , manfaat dan efek sampingnya, cara

15
pencegahan perburukan penyakit, menghindari pencetus (berhenti
merokok), penyesuaian aktivitas.

Vaksinasi
Influenza Vaccine
Vaksinasi influenza dapat mengurangi penyakit serius dan kematian pada
pasien COPD. Beberapa penelitian telah mengevaluasi eksaserbasi dan
mereka telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam jumlah total
eksaserbasi per subjek yang divaksinasi dibandingkan dengan mereka yang
menerima plasebo.

Pneumococcal vaccine
Vaksinasi pneumokokus, PCV13 dan PPSV23, direkomendasikan untuk
semua pasien> 65 tahun. PPSV23 juga direkomendasikan untuk pasien
PPOK yang lebih muda dengan kondisi komorbiditas yang signifikan
termasuk penyakit jantung kronis atau paru-paru. PPSV23 telah ditunjukkan
untuk mengurangi kejadian pneumonia yang didapat masyarakat pada
pasien PPOK <65 tahun, dengan perkiraan, atau komorbiditas FEV1 <40%
(terutama komorbiditas jantung. PCV13 telah ditunjukkan menunjukkan
setidaknya imunogenisitas yang sama atau lebih besar daripada PPSV23
sampai dua tahun setelah vaksinasi pada pasien PPOK.

Berhenti merokok
Penghentian merokok memiliki kapasitas terbesar untuk mempengaruhi
sejarah alami PPOK. jika sumber daya dan waktu yang efektif didedikasikan
untuk penghentian merokok, tingkat keberhasilan berhenti jangka panjang
hingga 25% dapat dicapai.

16
Farmakoterapi
Produk pengganti nikotin
Terapi penggantian nikotin (permen nikotin, inhaler, semprotan
hidung, patch transdermal, tablet sublingual) dapat meningkatkan tingkat
pantangan merokok jangka panjang dan secara signifikan lebih efektif
daripada plasebo.
Produk farmakologis
Varenicline, bupropion, dan nortryptilin telah ditunjukkan untuk
meningkatkan tingkat berhenti jangka panjang, namun harus selalu
digunakan sebagai komponen program intervensi yang mendukung dan
merupakan satu-satunya intervensi untuk penghentian merokok.

Therapy Farmakologi untuk PPOK Stabil


Terapi farmakologis untuk COPD digunakan untuk mengurangi
gejala, mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, dan
memperbaiki toleransi latihan dan status kesehatan. Sampai saat ini, tidak
ada bukti percobaan klinis yang meyakinkan bahwa setiap obat COPD
yang ada memodifikasi penurunan fungsi paru dalam jangka panjang.

Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk
meningkatkan FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara
mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas dan perbaikan aliran
ekspirasi mencerminkan pelebaran saluran udara daripada perubahan pada
rekurensi elastis paru-paru. Diberikan secara tunggal atau kombinasi
sesuai dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemillihanbentuk obat
diutamakan dalam bentuk inhalasi.
Terapi inhalasi pada PPOK harus diperhatikan terutama saat
menggunakan nebulizer, disamping kombinasi jenis obat, juga perlu
diperhatikan bentuk terapi inhalasinya, alat bantu serta pemilihan sumber
tenaga dari nebulisernya (tekanan aliran oksigen atau kompresor).

17
Pemilihan sumber tenaga terapi inhalasi harus berdasarkan pemeriksaan
analisa gas darah, karena pada PPOK sudah terjadi retensi CO2 sebelum
pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer.
Pemeberian nebulizer tidak dianjurkan untuk jangka panjang. Obat
bronkodilator pada PPOK paling sering diberikan sebagai basis jika
diperlukan atau regular untuk mencegah atau mengurangi gejala.
Penggunaan bronkodilator kerja pendek secara teratur umumnya tidak
direkomendasikan.
• β2Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-
AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi.
Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6
jam. Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan
gejala (Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro
renata pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator
tidak didukung bukti dan tidak direkomendasikan.
Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau
lebih. Ada agonis beta2 short-acting (SABA) dan long-acting (LABA).
Formoterol dan salmeterol adalah LABA dua kali sehari yang secara
signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health
related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan
(Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan
fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah
sakit (Evidence B). Indacaterol sekali sehari merupakan Long acting β2
agonist baru dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan
memperbaiki FEV1 , sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A).
Oladaterol dan vilanterol tambahan sekali sehari LABAs yang
memperbaiki fungsi paru dan gejalanya. Efek samping adanya stimulasi
reseptor β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat

18
dan mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic
merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat golongan ini.

• Antikolinergik
Obat antikolinergik menghambat efek bronchoconstrictor
acetylcholine pada reseptor muskarinik M3 yang diekspresikan pada otot
polos saluran napas. Antimuscarinics short-acting (SAMA), yaitu
ipratropium dan oxitropium dan antagonis antimuskarinik lama (LAMAs),
seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium bromide dan umeclidinium
pada reseptor dengan cara yang berbeda. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator
dari short acing anticholinergic inhalasi lebih lama dibanding short acting
β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi
kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki
gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas
rehabilitasi pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat
penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa
menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data yang dapat
membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat dan penggunaan
obat tersebut.
 Methylxanthine
Yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan
berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak

19
direkomendasikan jika obat lain tersedia. Teofilin, methylxanthine yang
paling umum digunakan, dimetabolisme dengan oksidasi fungsi sitokrom
P450. Pembersihan obat menurun seiring bertambahnya usia. Ada bukti
untuk efek bronkodilator sederhana dibandingkan dengan plasebo pada
COPD stabil. Penambahan teofilin pada salmeterol menghasilkan
peningkatan FEV1 yang lebih besar dan sesak napas daripada salmeterol
saja. Ada bukti terbatas dan kontradiktif mengenai efek teofilin dosis
rendah pada tingkat eksaserbasi. Efek samping. Toksisitas terkait dosis,
yang merupakan masalah khusus dengan turunan xantin karena rasio
terapeutiknya kecil dan sebagian besar manfaatnya terjadi bila dosis yang
mendekati toksik diberikan.
• Terapi Kombinasi bronkodilator
 Menggabungkan bronkodilator dengan mekanisme dan durasi tindakan
yang berbeda dapat meningkatkan tingkat bronkodilatasi dengan risiko
efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan meningkatkan
dosis satu bronkodilator tunggal.
 Kombinasi SABA dan SAMA lebih unggul dibandingkan dengan
pengobatan saja dalam memperbaiki FEV1 dan gejala.
 Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium pada inhaler terpisah
memiliki dampak lebih besar pada FEV1 daripada komponen baik saja.
 Ada banyak kombinasi dari LABA dan LAMA dalam satu inhaler yang
tersedia
 Dosis yang lebih rendah, rejimen dua kali sehari untuk LABA / LAMA
juga telah terbukti memperbaiki gejala dan status kesehatan pada pasien
COPD64
• Kortikosteroid inhalasi (ICS)
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat
memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 <60% prediksi.
 ICS dikombinasikan dengan terapi bronkodilator jangka panjang. Pada
pasien dengan COPD dan eksaserbasi yang sedang sampai sangat

20
parah, ICS dikombinasikan dengan LABA lebih efektif dalam
memperbaiki fungsi paru-paru, status kesehatan dan pengurangan
eksaserbasi.
 Efek samping. Ada bukti kualitas tinggi dari uji coba terkontrol secara
acak (RCT) yang digunakan ICS dikaitkan dengan prevalensi
kandidiasis oral yang lebih tinggi, suara serak, kulit yang memar dan
pneumonia.

• Triple terapi inhalasi


o Langkah pengobatan dengan menghirup ke LABA plus LAMA plus ICS
(triple therapy) bisa terjadi dengan berbagai pendekatan.
o Hal ini dapat memperbaiki fungsi paru-paru dan hasil yang dilaporkan
pasien.
o Menambahkan LAMA ke LABA / ICS yang ada memperbaiki fungsi
paru dan pasien, khususnya risiko eksaserbasi.
o Secara keseluruhan, diperlukan lebih banyak bukti untuk menarik
kesimpulan tentang manfaat triple terapi LABA / LAMA / ICS
dibandingkan dengan LABA / LAMA.

• Glukokortikoid oral
o Glukokortikoid oral memiliki banyak efek samping, termasuk miopati
steroid yang dapat menyebabkan kelemahan otot, penurunan fungsi,
dan gagal napas pada subjek dengan COPD yang sangat parah.
o Sementara glukokortikoid oral berperan dalam pengelolaan akut
eksaserbasi, mereka tidak memiliki peran dalam perawatan sehari-hari
kronis pada PPOK karena kurangnya manfaat seimbang terhadap
tingkat komplikasi sistemik yang tinggi.

• Penghambat Fosfodiesterase-4 (PDE4)


o Phosphodiesterase-4 inhibitor Mekanisme dari obat ini adalah untuk
mengurangi inflamasi dengan menghambat pemecahan intraselular C-

21
AMP. Roflumilast mengurangi eksaserbasi sedang dan berat yang
diobati dengan kortikosteroid sistemik pada pasien dengan bronkitis
kronis, COPD parah sampai sangat parah, dan sejarah eksaserbasi.
o Efek samping. Penghambat PDE4 memiliki efek yang lebih buruk
daripada obat inhalasi untuk COPD.84 Yang paling sering adalah mual,
berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, sakit perut, diare,
gangguan tidur, dan sakit kepala.

• Antibiotik
o Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik macrolide secara teratur dapat mengurangi tingkat
eksaserbasi.

• Mucolytic (mucokinetics, mucoregulators) dan agen antioksidan (NAC,


carbocysteine)
o Pada pasien COPD yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi,
perawatan rutin dengan mucolytics seperti carbocysteine dan N-
acetylcysteine dapat mengurangi eksaserbasi dan dengan sederhana
memperbaiki status kesehatan.

22
23
Non- Farmakologi

Algoritma Pengobatan Farmakologi


Di versi terakhir dari Laporan GOLD, rekomendasi hanya diberikan untuk
terapi awal. Namun, banyak pasien PPOK yang sudah menjalani pengobatan
dan kembali dengan gejala persisten setelah terapi awal, atau kurang umum
dengan beberapa gejala yang mungkin memerlukan sedikit terapi. Oleh
karena itu, sekarang kami menyarankan strategi eskalasi (dan de-eskalasi).
Rekomendasi yang dibuat didasarkan pada kemanjuran dan data keselamatan
yang tersedia. Kami sepenuhnya menyadari bahwa peningkatan pengobatan
belum diuji secara sistematis; Uji coba de-eskalasi juga terbatas dan hanya
mencakup ICS.

24
Grup A
- Semua kelompok A pasien harus diberi perawatan bronkodilator
berdasarkan efeknya pada sesak napas. Ini bisa berupa bronkodilator
jangka pendek atau panjang
- ini harus dilanjutkan jika manfaat simtomatik didokumentasikan.

Grup B
- Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja yang panjang.
bronkodilator inhalasi jangka panjang lebih unggul daripada bronkodilator
short-acting yang dibutuhkan sesuai kebutuhan, yaitu pratau prn dan
direkomendasikan.
- Tidak ada bukti untuk merekomendasikan satu kelas bronkodilator jangka
panjang di atas yang lain untuk menghilangkan gejala awal pada kelompok
pasien ini. Pada pasien individual, pilihannya harus bergantung pada
persepsi pasien terhadap gejala kelegaan.

25
- Untuk pasien dengan sesak nafas terus-menerus pada monoterapi
penggunaan dua bronkodilator direkomendasikan.
- Untuk pasien dengan terapi awal sesak napas parah dengan dua
bronkodilator dapat dipertimbangkan.
- Jika penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, sebaiknya
perawatan diturunkan lagi ke satu bronkodilator tunggal.
- Pasien kelompok B cenderung memiliki komorbiditas yang dapat
menambah simtomatologi mereka dan mempengaruhi prognosis mereka,
dan kemungkinan ini harus diselidiki.

Grup C
- Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator berakting tunggal. Dalam dua
perbandingan head-to-head, LAMA yang mencicipi lebih unggul dari
LABA mengenai pencegahan eksaserbasi, oleh karena itu kami
merekomendasikan untuk memulai terapi dengan LAMA di grup ini.
- Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat memperoleh manfaat dari
menambahkan kedua bronkodilator kerja lama (LABA / LAMA) atau
menggunakan kombinasi antagonis beta kerja lama dan kortikosteroid
inhalasi (LABA / ICS). Karena ICS meningkatkan risiko terkena
pneumonia pada beberapa pasien, pilihan utama kami adalah LABA /
LAMA.

Grup D
- Sebaiknya mulailah terapi dengan kombinasi LABA / LAMA karena:
 Jika satu bronkodilator dipilih sebagai pengobatan awal, LAMA lebih
disukai untuk pencegahan eksaserbasi berdasarkan perbandingan dengan
LABAs
 Kombinasi LABA / LAMA lebih unggul dari kombinasi LABA / ICS
dalam mencegah eksaserbasi dan hasil yang dilaporkan pasien lainnya
pada pasien kelompok D.

26
 Pasien Grup D berisiko tinggi terkena pneumonia saat menerima
pengobatan dengan ICS
- Pada beberapa pasien therapuy awal dengan LABA / ICS mungkin menjadi
pilihan pertama. Jumlah eosinofil darah tinggi juga dapat dianggap sebagai
parameter untuk mendukung penggunaan ICS.

Penatalaksanaa pada Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK bearti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya yang mengakibatkan perubahan
terapi. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti
polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Pengobatan yang diberikan pada eksaserbasi akut antara lain
bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik. “Jika kasusnya berat, pasien
dapat diberi penunjang pernafasan, seperti masker oksigen atau alat bantu
nafas mekanik. Antibiotik harus diberikan pada pasien dengan tiga gejala
utama, yaitu sesak napas, banyaknya volume sputum, dan banyaknya
sputum purulen. Antibiotik diberikan jika ada peningkatan sputum purulen
disertai salah satu gejala lainnya. Selain itu, antibiotik diberikan pada
pasien yang memerlukan alat bantu nafas mekanik (invasif atau non-
invasif ). Alternatif antibiotic yang dapat digunakan adalah
fluoroquinolone (levofl oxacin, moxifl oxasin).
Gejala eksaserbasi :
- Sessak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum (menjadi purulent)
Eksaserbasi akut menurut kriteria Anthonisen 1987:
- Eksaserbasi berat, memiliki 3 gejala di atas
- Eksaserbasi sedang, memiliki 2 gejala diatas
- Eksaserbasi ringan, memiliki 1 gejala diatas ditambah infeksi saluran
anpas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,

27
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi napas >20% dari nilai
dasar, atau frekuensi nadi >20% dari nilai dasar.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut :
- Eksaserbasi ringan: meningkatkan pemakaian bronkodilator
- Eksaserbasi sedang : menambahkan anibiotik atau kortikosteroid sistemik
atau keduanya
- Eksaserbasi berat: perawatan dirumah sakit.
Farmakologi
- Bronkodilator
- Glukokortikoid
- Antibiotic
- Terapi adjuvant
Respiratory support
- Oxygen therapy
- High flow oxygen therapy by nasal canul
- Ventillatory support

2.11 Prognosis
Tergantung pada :
- Beratnya obstruksi
- Adanya kor pulmonal
- Kegagalan jantung kongestif
- Derajat gangguan analisa gas

Prognosis penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti


merokok, penurunan fungsi paru akan lebih cepat. Prognosis jangka
pendek dan jangka panjang tergantung pada usia dan gejala klinis.
Penderita dengan penyakit emfisema paru akan lebih baik dari pada
penderita bronchitis kronik.

28

Anda mungkin juga menyukai