Anda di halaman 1dari 9

PT Freeport Indonesia

PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper &
Gold Inc. dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (Inalum). PT Freeport Indonesia
menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga,
emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi
Papua, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas
dan perak ke seluruh penjuru dunia.

PT Freeport Indonesia

Jenis : PMA

Industri : Pertambangan

Didirikan : 7 April 1967

Kantor pusat : Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia

Tokoh : Tony Wenas, Direktur Utama. Richard Carl Adkerson, Presiden Komisaris.

Sejarah

Awal mula PT Freeport Indonesia berdiri, dimulai pada tahun 1904-1905 saat suatu lembaga swasta
dari Belanda Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga
Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan
utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua.

Catatan pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang dalam
perjalanan dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun 1623 di perairan sebelah
selatan Tanah Papua, tiba-tiba jauh di pedalaman melihat kilauan salju dan mencatat di dalam buku
hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang suatu pegunungan yang “teramat tingginya” yang
pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju. Catatan Carsztensz ini menjadi cemoohan kawan-
kawannya yang menganggap Carstensz hanya berkhayal.

Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-
sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar Belanda terhadap
daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada
tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para
ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju.

Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. H. A. Lorentz dan Kapten A. Franzen
Henderschee. Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak Wilhelmina (Puncak
Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz belakangan diabadikan untuk nama
Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di pantai selatan.

Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah pegawai
perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka untuk mencapai
puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah pertama bagi pembukaan
pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.

Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut gunung bijih, lalu
data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama bertemulah seorang Jan van
Gruisen – Managing Director perusahaan Oost Maatchappij, yang mengeksploitasi batu bara di
Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson, seorang kepala
eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah
menambang belerang di bawah dasar laut. Kemudian van Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk
mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisisnya serta
melakukan penilaian.

Pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera
melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan
kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera
mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1/1967).

Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat peluang
untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia bertemu Julius Tahija yang pada zaman Presiden Soekarno
memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan Jenderal Ibnu Sutowo, yang pada
saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan
tersebut adalah permohonan agar Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil
pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk
meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I).
Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk memperkenalkan
Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal
Asing ke Australia.

Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai beroperasi, banyak
penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke wilayah sekitar tambang Freeport
sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat. Tahun 1970 pemerintah dan Freeport secara
bersama-sama membangun rumah-rumah penduduk yang layak di jalan Kamuki. Kemudian
dibangun juga perumahan penduduk di sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota
Timika.
Pada tahun 1971 Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan, kemudian juga
membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke tambang dan juga jalan-jalan di daerah terpencil
sebagai akses ke desa-desa Tahun 1972, Presiden Soeharto menamakan kota yang dibangun secara
bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama Tembagapura. Pada tahun 1973 Freeport menunjuk
kepala perwakilannya untuk Indonesia sekaligus sebagai presiden direktur pertama Freeport
Indonesia. Adalah Ali Budiarjo, yang mempunyai latar belakang pernah menjabat Sekretaris
Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional pada tahun 1950-an, suami dari Miriam Budiarjo
yang juga berperan dalam beberapa perundingan kemerdekaan Indonesia, sebagai sekretaris
delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota delegasi dalam Perjanjian Renville.

Kontrak karya
Sejarah kontrak karya

1936 – Jacques Dozy menemukan cadangan ‘Ertsberg’.

1960 – Ekspedisi Forbes Wilson untuk menemukan kembali ‘Ertsberg’.

1967 – Kontrak Karya I (Freeport Indonesia Inc.) berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi
tahun 1973.

1988 – Freeport menemukan cadangan Grasberg. Investasi yang besar dan risiko tinggi, sehingga
memerlukan jaminan investasi jangka panjang.

1991 – Kontrak Karya II (PT Freeport Indonesia) berlaku 30 tahun dengan periode produksi akan
berakhir pada tahun 2021, serta kemungkinan perpanjangan 2x10 tahun (sampai tahun 2041).

Luas wilayah

Eksplorasi KK-A = 10.000 Ha

Eksplorasi KK-B = 202.950 Ha

Total Wilayah = 212.950 Ha

Luas wilayah KK Blok B terakhir seluas 212.950 hektare tersebut hanya tinggal 7,8% dari total luas
wilayah eksplorasi pada tahun 1991.

1991 = 2,6 juta Ha

2012 = 212.950 Ha

Investasi
8,6 miliar dengan perkiraan tambahan investasi sebesar USD 16-18 Miliar untuk pengembangan
bawah tanah ke depan.

94% total investasi tambang tembaga di Indonesia

30% total investasi di Papua

5% total investasi di Indonesia

(Sumber: Data terakhir di MP3EI hingga tahun 2012)

Cadangan terbukti

2,52 Miliar ton bijih:

0,97 gram/ton tembaga

0,83 gram/ton emas

4,13 gram/ton perak

Penerimaan negara

PTFI telah membayar PPh Badan lebih tinggi dari tarif UU yang kini berlaku. Pembayaran ini
merupakan porsi terbesar dalam pembayaran ke penerimaan Negara. UU PPh Nasional 25%
sementara PPh Badan PTFI 35%. Sejak tahun 1999, PTFI secara sukarela telah melakukan
pembayaran royalti tambahan untuk tembaga, emas dan perak jika produksi melebih tingkat
tertentu yang disetujui.

Produksi

40% produk konsentrat PTFI dikirim ke PT Smelting Gresik PTFI membangun pabrik peleburan
tembaga (smelter) pertama di Indonesia, yaitu PT Smelting tahun 1998.

Divestasi Saham ke Pemerintah Indonesia


Pemerintah Indonesia mengincar kepemilikan mayoritas (51 %) di PT Freeport Indonesia (PTFI).

Berbagai langkah dan upaya dilakukan agar bisa mengambil hak divestasi yang sudah tertuang dalam
peraturan. Pemerintah melalui perusahaan BUMN, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau
Inalum, akhirnya bisa memegang 51,23% saham PTFI. Saham itu ditebus dengan harga US$3,85
miliar atau sekitar Rp56,1 triliun.[1]

Kronologis langkah-langkah divestasi saham PTFI yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah
sebagai berikut:
1967

Kontrak Karya I antara Freeport dan pemerintah Indonesia diteken pada April 1967 dengan masa
berlaku untuk 30 tahun. Dari kontrak ini ditentukan Freeport McMoRan memiliki 90,64% saham dan
pemerintah Indonesia dengan 9,36% saham di PT Freeport Indonesia. Freeport kemudian meminta
perpanjangan kontrak dan dikabulkan pemerintah dengan menerbitkan Kontrak Karya II pada 1991.

1991

Proses divestasi dimulai di sini, bermula dari Desember 1991 yakni saat ditekennya Kontrak Karya II
Freeport yang berlaku untuk 30 tahun ke depan. Pasal 24 kontrak mengatur jelas bahwa perusahaan
penambang mineral itu wajib melepas sahamnya ke pemerintah Indonesia sebanyak dua tahap.

Tahap pertama PTFI harus melepas sahamnya sebesar 9,36 persen dalam kurun waktu 10 tahun
sejak kontrak diteken. Selanjutnya, mulai tahun 2001 PTFI harus menawarkan 2% per tahun ke
pemerintah hingga kepemilikan nasional di perusahaan tambang asal Amerika itu mencapai 51%.

Divestasi tahap awal berjalan mulus, 9,36% saham dibeli oleh swasta nasional PT Indocopper
Investama Corporation. Perusahaan ini masih terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie.

1992

Tepat setahun setelah pembelian saham, tepatnya tahun 1992, PTFI justru mengakuisisi 49% saham
Indocooper. Ini artinya hampir separuh saham Indocopper milik Freeport, divestasi yang semula di
tangan nasional jadi setengah-setengah.

1994

Proses divestasi mulai berantakan ketika Presiden Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 20/1994 tentang pelaksanaan kegiatan usaha mineral dan batu bara. Dalam aturan disebut
perusahaan asing bisa memiliki saham hingga 100% dan diperbolehkan membeli saham perusahaan
yang sudah didirikan dalam rangka penanaman modal dalam negeri.

1997

Tahun 1997, Bakrie kembali menjual sisa sahamnya di Indocopper kepada PT Nusamba Mineral
Industri, perusahaan milik pengusaha Bob Hasan. Beraksi serupa dengan Bakrie, Nusamba Mineral
pun menjual saham ini kembali ke PTFI. Alhasil PTFI kembali memiliki saham sebanyak 90,64% di
tambang Grassberg, Mimika, Papua.

2009

Pemerintah menerbitkan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Dalam undang-undang ini
ditegaskan berbagai ketentuan yang wajib dilaksanakan pengusaha tambang mulai dari
pembangunan smelter, perubahan kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan(IUP)/Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK), dan penegasan soal kewajiban Divestasi 51%.

2010
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan PP No. 23/2010 tentang
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. PP ini diterbitkan karena
pemerintah tak mampu selesaikan target renegosiasi sebagaimana diatur oleh Undang-Undang
Minerba.

2011

Jika mengikuti ketentuan kontrak karya 1991, proses divestasi semestinya selesai pada tahun ini.

2014

Pemerintah menerbitkan revisi ketiga PP No. 23/2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan minerba. Mengatur para pemegang kontrak tambang bisa mendivestasikan
sahamnya hingga 20% setahun sejak aturan diterbitkan.

Freeport sempat mengajukan agar divestasi dilakukan dengan cara IPO.

2016

PTFI mengajukan nilai divestasi untuk 10,64% saham sebesar US$ 1,7 miliar sementara pemerintah
menawar lebih dari separuh yakni US$ 630 juta dengan alasan sesuai Permen ESDM Nomor 27
Tahun 2013.

Isu pembentukan holding BUMN tambang mulai hangat.

2017

Pada 10 Januari 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat tertutup memberikan arahan
untuk meningkatkan kepemilikan negara di Freeport menjadi 51 persen dari saat itu sebesar 9,36
persen.

Pada 11 Januari 2017, Kementerian ESDM menerbitkan PP No. 1/2017 yang merupakan perubahan
keempat PP No. 23/2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara,
yang di antaranya memuat tentang:

- Perubahan ketentuan tentang divestasi saham sampai dengan 51 persen secara bertahap

- Kewajiban pemegang Kontrak Karya (KK) untuk merubah izinnya menjadi rezim Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK).

Selanjutnya pada Januari hingga Agustus, pemerintah gencar melakukan renegosiasi antara Freeport
McMoRan (FCX), pemilik 90,64 persen PTFI, dan pemerintah berlangsung untuk memastikan
operasional PTFI dalam jangka panjang.

Renegosiasi mencakup 4 hal yaitu divestasi 51 persen, kelanjutan operasi PTFI hingga 2041 melalui
perubahan KK menjadi IUPK, Jaminan investasi jangka panjang terkait dengan perpajakan,
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan jaminan regulasi Pembangunan smelter dengan
deadline operasional pada 12 Januari 2022.
Usai renegosiasi, pada 18 April tahun yang sama dilakukan Memorandum of Understanding (MoU)
antara FCX and pemerintah untuk memberikan jaminan KK akan tetap berlaku hingga ada IUPK yang
disetujui bersama beserta jaminan stabilitas investasi.

Belum sampai di situ, pada 27 Agustus di mana pemerintah dan FCX mencapai kesepahaman untuk
PTFI merubah Kontrak Karya (KK) ke IUPK dan mendapatkan jaminan operasi, pemerintah
memberikan jaminan fiskal dan regulasi untuk operasional PTFI.

Pada 27 agustus juga dicapai kesepakatan, PTFI akan membangun smelter dalam jangka waktu 5
tahun, FCX bersedia mengurangi kepemilikan saham di PTFI sehingga entitas Indonesia bisa memiliki
51 persen saham di PTFI, Setelah 4 butir diatas disepakati maka PTFI akan mendapatkan
perpanjangan masa operasi 2x10 tahun hingga 2041

Pada September hingga November, kemudian dilakukan perundingan Pemerintah RI, Inalum, FCX
dan Rio Tinto terkait struktur divestasi. Selanjutnya pada 18 Desember, Kementerian Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) secara resmi menugaskan Inalum untuk membeli saham divestasi PTFI hingga
saham yang dimiliki peserta Indonesia di PTFI mencapai 51 persen.

2018

Babak baru di mulai pada 12 Januari 2018 pemerintah pusat mengalokasikan 10 persen dari saham
PTFI untuk Pemda Papua dan Mimika. Kemudian pada 18 Februari Pembahasan hasil due diligence
dan valuasi oleh Danareksa, PwC, Morgan Stanley dan Behre Dolbear Australia terkait divestasi
saham PTFI dilakukan.

Pada 28 Februari hingga 11 Juli terus berlangsung perundingan terkait harga dan struktur transaksi
antara Inalum, FCX dan Rio Tinto.

Pada 12 Juli, diakukan penandatanganan Head of Agreement (HoA) antara Inalum, FCX dan Rio Tinto
terkait dengan harga dan struktur transaksi.

Pada 13 Juli hingga 25 September dilakukan penyelesaian proses divestasi saham, pemberian
jaminan fiskal dan regulasi, detail terkait pembangunan smelter, dan tindak lanjut dari HoA.

Lalu di 27 September, dilakukan penandatanganan perjanjian terkait divestasi saham PTFI yang
terdiri dari:

1. Perjanjian Divestasi PTFI

2. Perjanjian Jual Beli Saham PT Rio Tinto Indonesia

3. Perjanjian Pemegang Saham PTFI

Selanjutnya, 15 November dana hasil penerbitan obligasi sebesar USD 4 miliar sudah masuk ke
rekening Inalum.

Presiden Jokowi menegaskan bahwa saham PT Freeport Indonesia sudah dikuasai Indonesia sebesar
51,2 persen dan resmi beralih ke PT Inalum.
"Saya baru saja menerima laporan dari seluruh menteri yang terkait dari dirut PT Inalum dan dari
CEO dari dirut PT freeport. Disampaikan bahwa saham PT Freeport sudah 51,2 persen sudah beralih
ke PT Inalum dan sudah lunas dibayar," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (21/12)

Menurut Jokowi, hari ini juga merupakan momen yang bersejarah, setelah PT Freeport berorasi di
indonesia sejak 1973 dan kepemilikan mayoritas ini digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.

Sah Jadi Milik Inalum, Kontrak Karya PT Freeport Berubah Jadi IUPK

Siaran pers Kementerian ESDM menyebutkan, INALUM telah membayar 3,85 miliar dollar AS kepada
Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto, untuk membeli sebagian saham FCX dan hak partisipasi
Rio Tinto di PTFI sehingga kepemilikan INALUM meningkat dari 9,36% menjadi 51,23%. “Kepemilikan
51,23% tersebut nantinya akan terdiri dari 41,23% untuk INALUM dan 10% untuk Pemerintah
Daerah Papua. Saham Pemerintah Daerah Papua akan dikelola oleh perusahaan khusus PT Indonesia
Papua Metal dan Mineral (IPMM) yang 60% sahamnya akan dimiliki oleh INALUM dan 40% oleh
BUMD Papua,” jelas siaran pers Kementerian ESDM, Jumat (21/12) 2018.

Ketenagakerjaan
Kebijakan PTFI adalah untuk memberikan kesempatan bekerja yang sama kepada seluruh
masyarakat. PT Freeport Indonesia juga menjunjung tinggi hak pekerja sesuai dengan hukum yang
berlaku di Indonesia. PTFI juga memiliki komitmen untuk melindungi hak asasi manusia dan sudah
secara tegas memberlakukan dan menegakkan kebijakan hak asasi manusia di dalam perusahaan.

PTFI memiliki Komitmen dan Kebijakan yang kuat dan tegas terhadap Hak Asasi Manusia. Komitmen
untuk menyediakan peluang bagi pembangunan sosial, pendidikan, dan ekonomi yang dinyatakan
melalui peraturan ketenagakerjaan sosial dan kebijakan Hak Asasi Manusia.

Pada tahun 2012 PT Freeport Indonesia mempekerjakan lebih dari 11.700 karyawan langsung dan
lebih dari 12.400 karyawan kontraktor.

Jumlah karyawan langsung PTFI: 64,04% Non Papua, 34,63% Papua, dan 1,33% Asing.

Jumlah karyawan PTFI + Perusahaan mitra dan kontraktor, termasuk Institut Pertambangan
Nemangkawi (IPN): 97,8% Indonesia, 2,20% Asing.

Sejak tahun 1996 perusahaan telah menggandakan jumlah karyawan Papua. Dalam 10 tahun, jumlah
karyawan Papua di tingkat staff meningkat 4 kali lipat, jumlah staf karyawan Papua di tingkat
supervisor 6x lipat.
Karyawan Papua memegang fungsi strategis manajemen di PTFI: 5 Vice President dan 36 Jajaran
Manajerial.

Pada tahun 2003 dibangun Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN) untuk memberikan
kesempatan mengembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap maupun perilaku yang
profesional di bidang operasi dan penunjangnya. Program magang 3 tahun dengan 4 bulan masa
belajar off job dan 8 bulan on job. IPN mengikuti standar nasional dan peraturan dari ESDM serta
standar internasional lainnya.

3.800 Siswa magang

20 Jenis keterampilan

90% siswa asli Papua

1800 Siswa sudah bekerja di PTFI dan kontraktornya

Meningkatkan karyawan staff wanita di PTFI dan kontraktor: 12% tahun 2003 dan meningkat
menjadi 13,5% pada tahun 2012

PTFI berupaya menciptakan lingkungan kerja yang aman dan kami menjadikan “Keselamatan sebagai
budaya” dalam organisasi PTFI. PTFI memiliki satu catatan terbaik dalam industry sumber daya alam,
tapi yang terpenting bagi PTFI adalah tidak terjadinya kecelakaan.

Kontribusi Freeport Indonesia


Sebagai mitra jangka panjang Indonesia yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional dan komunitas lokal, Freeport Indonesia telah berinvestasi sebesar US$7,7 miliar
dalam infrastruktur selama 45 tahun di Indonesia.

Berdasarkan riset yang diadakan oleh Universitas Indonesia, sampai saat ini usaha PTFI mewakilkan
1,59% dari semua kegiatan ekonomi di Indonesia dengan 300.000 karyawan Indonesia dan
keluarganya bergantung pada PTFI untuk kelangsungan hidup mereka. PTFI juga berkeinginan untuk
terus berinvestasi dan menjadi bagian dari Indonesia untuk jangka waktu yang lama.

Anda mungkin juga menyukai