Anda di halaman 1dari 2

Keresan, Tradisi Maulid Nabi

Oleh: Helmy Bastian *)

Suka cita, akulturasi agama dan budaya sangat kental


terasa dalam peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Maulid Nabi dirayakan dengan berbagai tradisi di berbagai
daerah. Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi
Mulia itu dalam syairnya yang indah:  “Telah dilahirkan seorang
Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun tersenyum dan
memuji”.

Menjelang peringatan Maulid Nabi 12 Rabiul Awal 1440 H (9/11/2019),


Keresan merupakan tradisi yang dijalankan dan dinikmati banyak orang. Sholawat
nabi dan ribuan warga yang berebut aneka hasil bumi atau pakaian, selalu menjadi
puncak acara Maulid Nabi di Dusun Mangelo, Desa/Kecamatan Sooko,
Kabupaten Mojokerto. Perpaduan Islam dan tradisi Jawa sangat kental terasa
dalam tradisi Keresan. Keresan berasal dari kata pohon “keres” (bahasa Indonesia:
kersen atau ceri asam). Pohon Keres dengan banyak buah menyimbolkan
kelahiran Nabi Muhammad yang membawa berkah untuk umat. Tradisi keresen
juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur atas lahirnya Nabi Muhammad,
pemberi petunjuk ke jalan yang benar, yakni ajaran Islam. Adapun berbagai
hadiah melambangkan bahwa semua pohon di muka bumi sedang berbuah
menyambut kelahiran Nabi Muhammad. Keresan seolah menunjukkan, bahwa
agama dan budaya bisa berakulturasi dengan harmonis. Ini konsep para Wali
Songo, agar masyarakat bisa menerima agama Islam dengan mudah. Konsep itu
membahasakan ajaran Islam dengan budaya lokal.
Tradisi Keresan diawali dengan pawai keliling kampung dan pengajian
umum di masjid Dusun Mengelo. Namun yang menjadi fokus utama dalam tradisi
ini adalah pohon kersen yang ditancapkan di jalan desa. Pohon yang daunnya
sudah kering itu kemudian dipenuhi dengan berbagai barang. Mulai dari pangkal
pohon, hingga bagian rantingnya.
Usai doa dilantunkan, ratusan orang yang berkumpul di lokasi serentak
menyerbu pohon kersen. Tak hanya kaum pria, anak-anak hingga ibu-ibu juga tak
mau ketinggalan berebut aneka hadiah. Tak sedikit dari warga yang nekat
memanjat pohon kersen hingga beberapa rantingnya patah. Tak pelak sejumlah
orang terjatuh dari pohon tersebut. Demi mendapatkan sebanyak mungkin barang
berharga, mereka mengabaikan keselamatan. Tak sampai 30 menit, ratusan
pakaian, sandal, sepatu dan barang berharga lainnya di pohon kersen habis
diambil warga. Berbagai hadiah yang dipasang di pohon kersen merupakan hasil
iuran warga Mangelo. Sebagian besar sepatu, sandal dan pakaian merupakan
produk industri rumahan warga setempat.
Menyandingkan dengan Sekaten di Yogyakarta, tradisi keresan turun-
temurun sejak Wali Songo. Metode penyebaran Islam masa itu beragam, melalui
kesenian dan kebudayaan, juga melalui hubungan perkawinan. Salah satu yang
unik adalah penyebaran agama Islam melalui kesenian dan kebudayaan
melahirkan tradisi-tradisi. Ketika itu, para sunan dan wali melihat masyarakat
Jawa menyukai perayaan, keramaian dan berhubungan dengan sebuah upacara.
Timbul dari gagasan Sunan Kalijaga, untuk menyelenggarakan sebuah perayaan
untuk menyambut dan menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada
Rabiul Awal. Berawal dari situ, akhirnya sistem perayaan ini sampai ke wilayah
Majapahit.
Tradisi berebut hasil bumi (sesaji) atau barang berharga lainnya sudah
dikenal masyarakat Jawa turun-temurun. Dalam literatur dan kaidah kebudayaan
Jawa (Kejawen) tidak ditemukan adanya aturan dalam kalimat doa serta tata cara
baku menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha
Segalanya dan kekuasaan-Nya tiada terbatas. Sama juga dalam kejawen, karena
bukanlah agama, maka dalam falsafah kejawen, yang ada hanyalah wujud laku
spiritual dalam tataran batiniahnya serta laku ritual dalam tataran lahiriahnya.
Sesaji atau sajen, jika dipandang dari perspektif agama, terkadang
dianggap berkonotasi negatif, yakni sebagai biang kemusyrikan (penyekutuan
Tuhan). Alangkah baiknya janganlah terjebak oleh keterbatasan akal budi
dan nafsu golek menange dhewe (mencari menangnya sendiri) dan golek benere
dhewe (mencari benarnya sendiri). Dalam ilmu kejawen, maksud sesaji
sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi melalui jalan spiritual yang
kreatif. Hal itu ditujukan untuk menyelaraskan dan menghubungkan antara daya
aura magis manusia dengan seluruh ciptaan Tuhan. Khususnya kekuatan alam dan
makhluk gaib.
Dengan kata lain, sesaji merupakan penyeimbangan manusia dalam hal
gaib terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Penyeimbangan diartikan sebagai
kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap sebagai makhluk paling mulia,
namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia di antara
makhluk lainnya. Sebab, kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan
akal budi dalam diri sendiri. Bila akal budi digunakan untuk kejahatan, maka
kemuliaan manusia menjadi bangkrut, bahkan bisa lebih hina dibandingkan
dengan binatang paling hina.
Nyatanya, upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di
Indonesia, diterima dengan baik atas dasar perasaan agama sebagai sesuatu yang
baik (taken for granted). Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW telah
membudaya bagi umat Islam di Indonesia. Semua golongan memperingati sejak
dari tingkat komunitas kecil (kelompok pengajian/jam’iyyah pengajian), hingga
tingkat nasional. Tradisi Maulid Nabi di tanah Jawa merupakan salah satu bentuk
pengejewantahan rasa cinta umat kepada Rasul.
*) Pemerhati Budaya Jawa, tinggal di Mojosari

Anda mungkin juga menyukai