Anda di halaman 1dari 222

122

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Silabus :

PSIKOLOGI SOSIAL : SEBUAH PENGANTAR

Pandeglang, 25 Februari 2020


Penyusun:

Darla Efendi, M.Pd

Mengetahui dan Menyetujui:


Ketua STISIP Banten Raya

Dr. H. Sugeng, M.Pd


NIDN. 0413045401

122
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT
hingga saat ini masih memberikan nafas kehidupan dan anugerah
akal, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan Modul ini
dengan tepat pada waktunya. Terimakasih pula kepada semua
pihak yang telah ikut membantu hingga dapat disusunnya Modul
ini.
Modul sederhana ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan
Mahasiswa dalam mata kuliah Pengantar Psikologi. Dalam Modul
ini membahas tentang: (1). Sejarah Psikologi Hubungan Psikologi
Sosial Dengan Ilmu -Ilmu Lainnya, (2). Teori-Teori Dalam
Psikologi Sosial, (3). Konsep Dasar Perilaku Sosial (Persepsi Dan
Kognisi Sosial), (4). Atribusi Sosial, (5). Kognisi Sosial, (6).
Sikap, (7). Prasangka, (8). Konsep Diri, (9). Hubungan
Antar Pribadi dan (10). Penelitian Sosial.
Modul Pengantar Psikologi ini di Buat dan dipergunakan
untuk lingkungan internal Kampus STISIP Banten Raya. Agar
mahasiswa memiliki kesadaran dalam membaca, Mahasiswa
dapat menjelaskan Pengertian Psikologi Sosial, menganalisis
Konsep dasar diri sendiri, tujuan dan ruang lingkup materi
Psikologi Sosial adalah Memahami teori dan Konsep Psikologi
Sosial, Memahami Dasar-dasar perilaku sosial. (Pendapat kaum
Stoic & Epicurean), serta teori dan konsep.
122
Akhirnya saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya
terhadap Modul ini, dan penulis berharap semoga Modul ini
bermanfaat bagi diri saya sendiri dan khususnya pembaca pada
umumnya. Akhirnya, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan
dan kekurangan. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan
kritik yang sifatnya membangun sangat saya harapkan dari para
pembaca guna peningkatan kualitas Modul ini dan Modul-Modul
lainnya pada waktu mendatang.
Pandeglang, 25 Februari 2020

Penyusun

122
BAB I
SEJARAH PSIKOLOGI HUBUNGAN PSIKOLOGI SOSIAL
DENGAN ILMU-ILMU LAINNYA

A. Sejarah Psikologi
1. Masa Prenatal (prakelahiran)
Cikal bakal kelahiran psikologi sosial mulai muncul,
ketika Lazarus & Steindhal (1860) mempelajari Bahasa adat dan
institusi masyarakat yang bertujuan untuk menemukan “human
mind” yang berbeda dari “jiwa individual” (Bonner, 1953). Pada
tahun 1879 di Leipzig. Wundt (1872) mendirikan laboratorium
psikologi yang pertama di dunia dan menandakan ilmu psikologi
sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari Ilmu Filsafat.
Pada tahun 1880, ia mempelajari psikologi rakyat. Eksperimennya
antara lain, untuk menemukan proses mental yang lebih tinggi
(higher mental process), hal-hal yang ia teliti tentang bahasa,
tradisi, agama, seni dan hukum.
Sebagai seorang elementaris yaitu penelitian dengan cara
menguraikan dan mempelajari bagian-bagian (elemen) dari jiwa.
Ia berusaha menjelaskan psikologi rakyat ke dalam elemen-
elemen masyarakat.
Menurutnya, masyarakat (rakyat/kelompok) memiliki
“jiwa” yang berbeda dengan “jiwa individu”. Pandangan ini
122
kemudian mempengaruhi pendapat Emile Durkheim (seorang
sosiolog terkemuka) yang terkenal dengan teorinya “prilaku
masyarakat” (jiwa kolektif). Menurut Durkheim, masyarakat itu
terdiri dari kelompok manusia yang hidup secara kolektif.
Pengertian dan tanggapan-tanggapan bersifat kolektif tidak
individual. Jadi kehidupan kolektiflah yang dapat menerangkan
gejala-gejala sosial atau gejala-gejala kemasyarakatan.
2. Masa Awal
Terbitnya dua buku psikologi sosial (1908) oleh: W.Mc
Doughall (ahli psikologi) dan Ross (sosiologi). Ross
berpandangan bahwa manusia berprilaku sosial diakibatkan oleh
tata aturan yang disepakati di masyarakat yang mesti diikuti, ia
menerangkan perilaku sosial dengan teori struktur sosial. 
Menurut F. Allport (1924): Perilaku sosial bukan hanya
disebabkan instink (yang bersifat biologik dan berlaku bagi setiap
orang), juga bukan hanya karena dipengaruhi oleh struktur sosial.
Perilaku sosial terjadi pada individu karena berbagai faktor
yang beragam mempengaruhi individu. Ia menggunakan
pendekatan individual dalam memahami perilaku sosial.
3. Masa Perang Dunia I dan II
Pada masa ini perhatian psikologi sosial berpindah ke arah
studi

122
tentang otoritarianisme (kekuasaan) (Baron & Byrne,
1994). Setelah usai perang dunia, pandangan psikologi sosial
beralih ke proses individual dan psikologi sosial mulai mengkaji
proses interaksi sosial. Maka muncullah psikologi gestalt di
Jerman (W. Kohler, K. Koffka dan M. Wertheimer) serta K.
Lewin tokoh psikologi lapangan. Mereka lari dari kejaran Nazi ke
Amerika. Pelarian tokoh-tokoh psikologi ini menginspirasi
penelitian tentang proses kesadaran (kognitif) dan pengaruhnya
terhadap perilaku sosial individu. 
4. Masa Kini
Pada tahun 1970-1980, Psikologi sosial menghasilkan
beragam penelitian yang sangat penomenal dan bermanfaaat, yaitu
berbagai penelitian mengenai: atribusi, agresi, altruisme, sikap
(attitude), gender (perbedaan jenis kelamin), diskriminasi seksual,
psikologi lingkungan, psikologi massa dan lain-lain. Juga
berkembang psikologi terapan (applied psychology), seperti:
psikologi kesehatan, psikologi hukum, psikologi paedagogik,
psikologi kepolisian dan sebagainya.
5. Masa Akan Datang
Psikologi lintas budaya (Cross Culture Psychology)
menjadi jawaban yang komprehensif dalam beragam penelitian
dan penerapan psikologi sosial di berbagai belahan dunia yang
memang memiliki kultur yang berbeda antara satu negara dengan
122
negara lainnya, oleh karenanya perspektif teori-teori psikologi
ketika memandang budaya negara lain, bersifat universal
terbantahkan, seperti kritik Malinowski terhadap teori oedipus
complex dari Freud yang pada waktu itu dianggap berlaku
universal, bahwa anak laki-laki menaruh benci terhadap ayahnya,
ternyata tidak berlaku di kepulauan Trobriand, Papua Niugini
dimana anak-anak menaruh rasa benci terhadap paman mereka
dari pihak ibu, bukan terhadap ayahnya seperti yang ditemukan
Freud di Wina. menurut  Malinowski bahwa rasa benci anak laki-
laki remaja di Wina terhadap ayahnya bukan disebabkan
persaingan demi memperoleh rasa cinta ibu (oedipus complex)
melainkan karena figur ayah adalah penegak disiplin seperti
halnya figur paman adalah penegak disiplin bagi anak di
Kepulauan Trobriand.
Munculnya Psikologi lintas budaya yang menggunakan
perspektif kultural sosial yang multi dimensional dan
kemajemukan sosial sebagai kritik terhadap keuniversalan teori-
teori psikologi Barat. Teori-teori psikologi yang pada awalnya
dianggap bersifat universal, tidak bisa digunakan ketika
dihadapkan pada budaya dan kultur negara lain.
Manusia dimanapun dia berada, tidak dapat dipisahkan
dari lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, sejak dahulu orang
sudah menaruh minat yang besar pada tingkah laku manusia
122
dalam lingkungan sosialnya. Minat yang besar ini tidak hanya
muncul dari pengamat-pengamat awam, tapi juga dikalangan para
sarjan dan cendekiawan.
Sekalipun demikian, psikologi social, sebagai ilmu khusus
yang mempelajari tingkah laku manusia dalam lingkungan
sosialnya baru timbul kurang dari 100 tahun yang lalu (Mc.
Dougall, 1908 ; Ross,1908). Sebelum itu gejala perilaku manusia
dalam masyarakat dipelajari oleh antropologi dan sosiologi.
Peranan antropologi dan sosiologi dalam psikologi social
antara lain adalah untuk mengurangi atau setidak-tidaknya
menjelaskan bias (penyimpangan0 yang terdapat dalam penelitian
psikologi social sebagai akibat pengaruh kebudayaan dan kondisi
masyarakat disekitar manusia yang diteliti.
Sasaran penelitian psikologi social sendiri adalah tingkah
laku manusia sebagai individu. Inilah yang membedakan
psikologi social dari antropologi dan sosiologi yang mempelajari
tingkah laku manusia sebagai bagian dari masyarakatnya.
6. Definisi Psiologi Social
Bila dilihat dari sudut terminology maka kata psikologi
terdiri dua macam kata yakni psyche berarti jiwa dan logos yang
kemudian menjadi logi berarti ilmu. Maka Kata Psikologi
(psychology) berari ilmu pengetahuan tentang jiwa, tidak terbatas

122
pada jiwa manusia saja akan tetapi termasuk juga jiwa binatang
dan sebagainya.
Dikalangan ahli psikologi pengertian dari kata psikologi
tidak terdapat perbedaan, akan tetapi mereka berbeda dalam
memberikan batasan atau definisi psikologi. Perbedaan definisi
yang diberikan oleh para ahli psikologi terhadap psikologi adalah
akibat dari perbedaan sudut pandangan yang berasaskan pada
perbedaan aliran-aliran paham dalam psikologi itu sendiri.
“Psikologi” berasal dari bahasa Yunani “Psyche” yang
artinya jiwa, dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi
secara etimologi (menurut arti kata) Psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam
gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya. Dengan singkat
disebut ilmu jiwa.
Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita dapat
membedakan antara nyawa dan jiwa. Nyawa adalah daya
jasmaniah yang keberadaannya tergantung pada hidup jasmani
dan menimbulkan perbuatan badaniah organic behavior. Sedang
jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang
menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan pribadi
(personal behavior) dari hidup tingkat tinggi dan manusia.
Secara umum psikologi diartikan ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia.atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-
122
gejala jiwa manusia. Karena para ahli jiwa mempunyai penekanan
yang berbeda maka definisi yang dikemukakan juga berbeda.
Diantara pengertian yang dirumuskan oleh para ahli itu antara lain
sebagai berikut:
a. Menurut Dr. Singgih dirgagunarsa: psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia.
b. Plato dan aristotelea, berpendapat psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta
prosesnya samoai akhir.
c. John Broadus Watson, memandang psikologi sebagai ilmu
pengetahuan yang mempejari tingkah laku tampak (lahiriah)
dengan menggunakan metodi observasi yang objektif terhadap
rangsangan dan jawaban (respons)
Definisi psikologi social yang diberikan oleh para sarjan
psikologi social menunjukan ruang lingkup psikologi social.
Beberapa definisi diantaranya sebagai berikut:
a. “Social psychology is scientific study of the experience and
behavior individuals in relation to social stimulus situations”
(sheriff & sheriff, 1956,hlm.4)
b. “Social psychology can be defined as the scientific study of
human interaction” (Watson ,1966,hlm. 1)

122
c. “Social psychology is the study of the individual human being
as the interacts, largely symbolically, with his environment”
(Dewey & Humber,1966,hlm,3)
Dari definisi tersebut diatas, kita dapat membedakan tiga
wilayah study psiologi social sebagai berikut:
a. Studi tentang pengaruh social terhadap proses individual,
misalnya studi tentang persepsi, motivasi, proses belajar,
atribusi (sifat).
b. Studi tentang proses-proses individual bersama, seperi bahasa,
sikap social dean sebagainya.
c. Studi tentang interaksi kelompok, misalnya kepemimpinan,
komunikasi, otoriter, konformitas (keselarasan), kerja sama.
Persaingan, peran dan sebagainya.
Adapun Psikologi Social dapat didefinisikan sebagai
berikut “ilmu yang mempelajari tingkah laku individu sebagai
fungsi dari rangsang-rangsang social”
Dengan “ilmu pengetahuan” dimaksudkan bahwa
psikologi sosial hanya mempelajari suatu gejala kondisi-kondisi
yang terkontrol. Spekulasi-spekulasi yang bersifat armchair
(didasarkan pada perkiraan-perkiraan saja) tidak berlaku untuk
menyusun menyusun teori-teori social.

122
Istilah individu dalam definisi diatas menunjukan bahwa
unit analisis dari psikologi social adalah individu, bukan
masyarakat atau kebudayaan.
Akhirnya, yang dimaksud dengan rangsangan-rangsangan
social manusia dan seluruh hasil karya manusia yang ada disekitar
individu. Termasuk dalam karya-karya manusia ini antara lain
adalah norma-norma, kelompok social, dan produk-produk social
lainnya.
7. Ruang lingkup psikologi social
Ditinjau dari segi objeknya, psikologi dapat dibedakan
dalam dua golongan besar, yaitu:
a. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari manusia
b. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari hewan, yang
umumnya lebih tegas disebut psikologi hewan
Kesulitan lain dalam pembentukan teori psikologi social
adalah menentukan ruang lingkup suatu teori seperti berikut ini:
a. Jangkauan penerapan (comprehensiveness), yaitu untuk berapa
banyak (macam) fenomena atau kepribadian teori ini dapat
diterapkan.
b. Keterbatasan, yaitu sampai dimana perlu diberikan prasyarat
pada kondisi dimana fenomena itu timbul agar suatu teori dapat
dinyatakan berlaku.

122
c. Keumuman (generality), sampai dimana teori bias diperluas
untuk mencakup situasi-situasi yang tidak tercakup dalam
fenomena awal yang dijadikan dasar untuk penyusunan teori
yang bersangkutan.
Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, psikologi social
bertujuan untuk mengerti suatu gejala atau fenomena. Dengan
mengerti suatu fenomena, kita dapat membuat peramalan-
peramalan tentang kapan akan terjadinya fenomena tersebut dan
bagaimana hal itu akan terjadi. Selanjutnya, dengan pengertian
dan kemampuan peramalan itu, kita dapat mengendalikan
fenomenaitu sampai batas-batas tertentu. Inilah sebetulnya tujuan
dari ilmu, termasuk psikologi social, tentu saja tidak selalu kalau
kita bisa mengontrol suatu gejala maka kita sudah mengerti betul
tentang gejala itu. Seorang pengemudi mobil misalnya, dapat
mengendalikan mobilnya tanpa ia mengrti betul tentang
mekanisme yang menggerakkan mobil tersebut).
Psikologi yang dipelajari secara praktis dapat dipraktekan
dalam bermacam-macam bidang, misalnya dalam bidang
pendidikan, dalam bidang indrusti atau perusahaan dan
sebagainya. Psikologi yang berusaha mempelajari jiwa manusia,
ternyata banyak mendapat kesulitan, oleh karena objek
penyelidikannya adlah abstrak, yang tidak dapat diselidiki secara
langsung, tetapi diselidiki keaktifannya yang terlibat melalui
122
manifestasi tingkah laku atau perbuatan. Dapat dimisalkan bila
kita mempelajari tentang angina, objeknya sendiri secara langsung
tidak dapat dilihat, namun dari keaktifannya, bila ada daun yang
bergerak atau debu beterbangan, maka jelas ada, seperti itu
pulalah bila kita mempelajari jiwa.
Jadi dalam mempelajari psikologi ini, kita akan membatasi diri
pada tingkah laku manusia,karena manusia adalah makhluk tuhan
tertinggi derajatnya diantara makhluk-makhluk yang lain.

B. Hubungan Psikologi Sosial dengan Ilmu-Ilmu Lainnya


Psikologi sosial lebih berpusat pada usaha memahami
bagaimana seseorang bereaksi terhadap situasi sosial yang terjadi.
Psikologi sosial mempelajari perasaan subyektif yang biasanya
muncul dalam situasi sosial tertentu, dan bagaimana perasaan itu
mempengaruhi perilaku. Situasi interpersonal apa yang
menimbulkan perasaan marah, dan meningkatkan atau
menurunkan kemungkinan munculnya perilaku agresi? Sebagai
contoh, salah satu prinsip dasar psikologi sosial adalah bahwa
situasi frustasi akan membuat orang marah, yang memperbesar
kemungkinan timbulnya mereka melakukan perilaku agresi.
Akibat situasi yang menimbulkan frustasi ini merupakan
penjelasan alternative mengenai sebab timbulnya kejahatan.
Hubungan itu tidak hanya menjelaskan mengapa perilaku agresif
122
terjadi dalam situasi tertentu, tetapi juga menjelaskan mengapa
faktor ekonomi dan kemasyarakatan menimbulkan kejahatan.
Misalnya, orang miskin berduyun-duyun dating ke kota akan
mengalami frustasi; mereka ternyata sulit mencari pekerjaan,
mereka tidka dapat membeli apa yang mereka inginkan, tidak
dapat hidup layak seperti yang mereka bayangkan dan frustasi ini
merupakan sebab utama munculnya sebagian besar perilaku
criminal. Psikologi sosial biasanya juga menyangkut perasaan-
perasaan subyektif yang ditimbulkan situasi interpersonal, yang
kemudian mempengaruhi perilaku individu, dalam contoh ini
situasi frustasi menimbulkan kemarahan, yang kemudian
menyebabkan timbulnya perilaku agresif.
Hakikat ilmu sebenarnya dari satu sumber, kemudian
untuk memperdalam bahasanya, ilmu-ilmu tersebut dibagi.
Namun, pembagian itu tidak boleh dikatakan sebagai dikotomi
antar ilmu pengetahuan, justru untuk menguatkan dan mendukung
serta menopang ilmu-ilmu untuk digunakan kepada kebaikan
manusia. Berikut dijelaskan hubungan psikologi dengan ilmu-
ilmu lain yang saling lengkap-melengkapi, tidak sebaliknya,
saling dikotomis dan menghancurkan, sebagai berikut:

122
1. Hubungan psikologi dengan Fisiologi
Fisiologi (ilmu tentang tubuh manusia) dapat dihubungkan
dengan ilmu psikologi untuk memperoleh kejelasan tentang
bagaimana sebenarnya proses tingkah laku.
2. Hubungan Psikologi dengan ilmu sosiologi
Untuk dapat mengetahui pola-pola reaksi manusia, sehingga
individu menjadi objek penyelidikan psikologi. Sosiologi
adalah ilmu yang berpengaruh pada psikologi Sosial.
Sosiologi adalah suatu bidang ilmu yang terkait dengan
perilaku hubungan antar individu, atau antara individu dengan
kelompok, atau antar kelompok (interaksionisme) dalam
perilaku sosialnya.
3. Hubungan Psikologi dengan IPA (Ilmu Pengetahuan
Alam)
Keduanya memiliki persamaan metode, yaitu metode induktif.
Penyelidikan psikologi sejalan dengan metodologi riset dalam
periode hipotesis dan eksperimen, dimana kebenaran
diperoleh melalui proses pengajuan hipotesis yang dilanjutkan
dengan pengujian melalui eksperimen-eksperimen. Hubungan
Psikologi dan Ilmu Alam Pada permulaan abad ke-19
psikologi dalam penelitiannya banyak terpengaruh oleh ilmu
alam. Psikologi disusun berdasarkan hasil eksperimen Objek
penelitian psikologi: manusia dan tingkah lakunya yang selalu
122
hidup dan berkembang Objek penelitian ilmu alam: benda
mati. Ilmu pegetahuan alam mempunyai pengaruh yang besar
terhadap perkembangan psikologi. Dengan memisahkan diri
dari filsafat, ilmu pengetahuan alam mengalami kemajuan
yang cukup cepat, hingga ilmu pengetahuan alam menjadi
contoh bagi perkembangan ilmu-ilmu lain, termasuk
psikologi, khususnya metode ilmu pengetahuan
mempengaruhi perkembangan metode dalam psikologi.
Karenanya sebagian ahli berpendapat, kalau psikologi ingin
mendapatkan kemajuan haruslah mengikuti cara kerja yang
ditempuh oleh ilmu pengetahuan alam. Psikologi merupakan
ilmu yang berdiri sendiri terlepas dari filsafat, walaupun pada
akhirnya, metode ilmu pengetahuan alam tidak seluruhnya
digunakan dalam lapangan psikologi. Oleh karena perbedaan
dalam obyeknya. Sebab ilmu pengetahuan alam berobyekkan
pada benda-benda mati. Sedangkan psikologi berobyekan
pada manusia hidup, sebagai makhluk yang dinamik,
berkebudayaan, tumbuh, berkembang dan dapat berubah
setiap saat. Sebagaimana diungkapkan diatas bahwa psikologi
menyelidiki dan mempelajari manusia sebagai makhluk
dinamis yang bersifat kompleks, maka psikologi harus bekerja
sama dengan ilmu-ilmu lain. Tapi sebaliknya, setiap cabang
ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia akan
122
kurang sempurna apabila tidak mengambil pelajaran dari
psikologi. Dengan demikian akan terjadi hubungan timbal
balik.
4. Hubungan Psikologi dengan Ilmu-Ilmu keguruan
Mendidik dan mengajar yang berhasil diantaranya harus
menyesuaikan diri dengan keadaan jiwa anak, dan itu semua
memerlukan psikologi. Hubungan Psikologi dengan Ilmu
Pendidikan Ilmu Pendidikan: bertujuan memberikan
bimbingan hidup manusia sejak lahir sampai mati. Pendidikan
tidak akan berhasil dengan baik bilamana tidak didasarkan
pada psikologi perkembangan. Hubungan kedua disiplin ilmu
ini melahirkan Psikologi Pendidikan Fireworks.
5. Hubungan Psikologi dengan ilmu antropologi
Adapun antropologi adalah ilmu yang memfokuskan pada
perilaku sosial dalam suprastruktur budaya tertentu. Psikologi
Sosial mempelajari perilaku individu yang bermakna dalam
hubungan dengan lingkungan atau rangsang sosialnya.
Perbedaan psikologi sosial dengan sosiologi adalah fokus
studinya.   Fokus perhatian studi psikologi sosial adalah
perilaku Individu sedangkan sosiologi fokus pada sistem dan
struktur sosial yang dapat berubah atau konstan tanpa
bergantung pada individu atau lebih memfokuskan pada
masyarakat dan budaya yang melingkupi individu. Tiga
122
masalah yang menjadi fokus perhatian antropologi adalah
kepribadian bangsa, peranan individu dalam proses perubahan
adat istiadat dan nilai universal.  Dalam persoalan
‘kepribadian bangsa’ sesudah perang Dunia ke-1
menunjukkan bahwa hubungan antar bangsa kian intensif,
perhatian penjajah terhadap kepribadian bangsa jajahan. Fokus
studi antropologi awal tahun 1920-an adalah antropologi
tertarik pada lingkungan dan kebudayaan dari bayi dan anak-
anak, masa itu dianggap penting bagi pembentukan
kepribadian dewasa yang khas dalam suatu masyarakat.
Hampir semua penelitian yang mendalami “kepribadian
bangsa” menyimpulkan bahwa ciri-ciri kepribadian yang
tampak berbeda pada bangsa-bangsa di dunia ini bersumber
pada cara pengasuhan pada masa kanak-kanak. Misalnya
orang jepang yang dewasa menjadi bersifat memaksakan
kehendaknya, karena ketatnya latihan mengenai cara
membuang air pada masa kanak-kanak perkembangannya.
Saat ini kesimpulan di atas tidak bisa diandalkan lagi. Dalam
perkembangannya, fokus pendekatan psikologis pada
keanekaragaman kebudayaan, berubah. Minat terhadap
hubungan pengasuhan semasa anak-anak dan kepribadian
setelah dewasa, tetap dipertahankan, namun beberapa ahli
antropologi mulai meneliti faktor-faktor determinan yang
122
mungkin jadi penyebab dari kebiasaan pengasuhan anak yang
beragam.  Kebudayaan tertentu menghasilkan karakteristik
psikologi tertentu dan menimbulkan ciri budaya lainnya.
Kesimpulan mengenai pendekatan psikologis dalam
antropologi budaya adalah bahwa dengan menghubungkan
variasi dalam pola budaya dengan masa pengasuhan anak,
kepribadian, kebiasaan, dan kepercayaan yang mungkin
menjadi konsekuensi dari faktor psikologis dan prosesnya. 
Anthropology in mental health, memfokuskan diri pada aspek
sosial budaya yang mempengaruhi kondisi/ gangguan mental
pada diri individu.
6. Hubungan Psikologi dengan llmu Politik
Psikologi merupakan ilmu yang mempunyai peranan penting
dalam bidang polotik, “massa psikologi penting bagi politisi
untuk menyelami gerakan jiwa dari rakyat pada umumnya,
golongan tertentu pada khususnya. Psikologi sosial dapat
menjelaskan bagaimana sikap dan harapan masyarakat dapat
melahirkan tindakan serta tingkah laku yang berpegang teguh
pada tuntutan masyarakat.
7. Hubungan Psikologi dan Ilmu Komunikasi
Banyak disiplin ilmu yang terlibat dalam studi komunikas
Dalam perkembangannya ilmu komunikasi melakukan
“perkawinan’ dengan berbagai ilmu lai Sub-disiplin:
122
komunikasi politik, sosiologi komunikasi masa, psikologi
komunikas Psikologi komunikasi: ilmu yang berusaha
menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa
mental dan behavioral dalam komunikasi.
8. Hubungan Psikologi dengan Biologi
Mempelajari benda-benda hidup, sedangkan psikologi
mempelajari dan meneliti tingkah laku manusia (benda hidup)
dalam hubunganya dengan lingkungan Objek Formal
Psikologi: tingkah laku manusia Biologi: fisik Psikologi ilmu
subjektif. Mempelajari penginderaan dan persepsi manusia,
menganggap manusia sebagai subjek (pelaku) Psikologi
mempelajari nilai yang berkembang dari persepsi subjek.
Psikologi mempelajari perilaku secara ‘molar’ (perilaku
penyesuaian diri secara menyeluruh Biologi ilmu Objektif
Mempelajari manusia sebagai jasad/objek Mempelajari fakta
yang diperoleh dari penelitian terhadap jasad manusia
Mempelajari perilaku manusia secara molekular. Mempelajari
molekul-molekul dari perilaku berupa gerakan, refleks, proses
ketubuhan. Biologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang
kehidupan, semua benda yang hidup menjadi obyek biologi,
dan cukup banyak ilmu-ilmu yang tergabung didalamnya.
Baik psikologi dan biologi sama-sama membicarakan
manusia. Sekalipun masing-masing ilmu tersebut meninjau
122
dari sudut yang berlainan, namun dati segi-segi tertentu kedua
ilmu itu ada titik-titik pertemuan. Biologi maupun psikologi
mempelajari perihal proses-proses kejiwaan. Seperti telah
dikemukakan diatas, bahwa disamping adanya hal yang sama-
sama dipelajari oleh kedua ilmi tersebut, misalnya soal
keturunan. Ditinjau dari segi biologi adalah hal yang
berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan yang turun
temurun dari suatu generasi ke generasi lain. Soal keturunan
juga dibahas oleh psikologi, misalnya tentang sifat,
intelegensi, dan bakat. Karena itu kurang sempurna kalau kita
mempelajari psikologi tanpa mempelajari biologi.
9. Hubungan Psikologi dengan Filsafat 
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat segala
sesuatu. Karena itu, filsafat juga mempelajari masalah-
masalah hakikat jiwa, hakikat hidup, hubungan antara jiwa
dan Tuhan sebagai penciptanya dan lain sebagainya. Filsafat
adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamny Dalam penyelidikannya
filsafat berangkat dari apa yang dialami manusia Ilmu
psikologi menolong filsafat dalam penelitiannya. Pada
awalnya ilmu psikologi adalah bagian dari ilmu filsafat.
Meskipun psikologi memisahkan diri dari filsafat, namau
psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan filsafat,
122
karena kedua ilmu ini memiliki ilmu obyek yang sama yaitu
manusia sebagai makhluk hidup. Namun berbeda dalam
pengkajiannya. Dalam ilmu psikologi, yang dipelajari dari
manusia adalah mengenai jiwa / mental, tetapi tidak dipelajari
secara langsung karena bersifat abstrak dan membatasi pada
manifestasi dan ekspresi dari jiwa. yakni berupa tingkah laku
dan proses kegiatannya. Sedangkan dalam ilmu filsafat yang
dibicarakan adalah mengenai hakikat dan kodrat manusia dan
tujuan hidup manusia.

122
BAB II
TEORI-TEORI DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
A. Teori Genetik
Teori Sttrata Genetik

Teori ini menekankan kualitas pembawaan sejak lahir atas


tingkah laku sosial. Bahwa "manusia adalah binatang sosial"
menjadi inti dan teori genetik dan sekaligus menjadi dasar
asumsinya, bahwa komponen-komponen dari tingkah laku sosial
dihubungkan dengan atau mempunyai akar pada penyebab genetik
yang tidak dipelajari. Misalnya Konrad Lorenz (dalam Dayakisni,
2006:14), seorang ahli etiologi, yang mempelajari gejala sosial
pada binatang. Lorenz berpendapat bahwa tingkah laku agresi
adalah perwujudan dan insting agresi yang dibawa sejak lahir dan
berasal dan kebutuhan untuk melindungi diri.
Ahli yang lainnya William Mc Douglas (dalam Dayakisni,
2006:14) juga mendasarkan pada konsep-konsep genetik pada
tingkah laku sosial. Douglas berpendapat bahwa banyak sifat dan
122
tingkah laku spesifik dapat dijelaskan dalam istilah insting,
tingkah laku yang memiliki tujuan langsung yang tidak dipelajari.
Douglas menuliskan seperangkat insting yang diperkirakan
medasari sejumlah tingkah laku. Misalnya apabila seorang ibu
melindungi anaknya maka hal tersebut dinamakan tingkah laku
"parental insting" (insting orang tua) sedangkan jika dikenakan
kepada orang yang berhungan dengan orang-orang lainnya maka
hal tersebut dianggap karena adanya "insting untuk berkumpul".
Namun sebagian ahli psikologi sosial menolak pendapat bahwa
resting merupakan mekanisme penjelasan tingkah laku manusia
karena tasting diangap tidak dapat menjelaskan alasan dibalik
tingkah laku dan tidak dapat memberikan prediksi yang akurat
atas tingkah laku individu di masa yang akan datang. Jadi dapat
disimpulkan bahwa dalam teori genetik mengabaikan peranan
faktor situasional dan lingkungan dalam menelaah tingkah laku
sosial. Oleh karenanya teori ini kurang populer untuk dipakai
dalam mengkaji fenomena-fenomena psikologi sosial.

B. Teori Stimulus - Respons


Prinsip teori ini menyatakan bahwa: "Kalau stimulus
memberikan akibat yang positif atau memberi reward maka
respons terhadap stimulus tersebut akan diulangi pada kesempatan
lain dimana stimulus yang sama timbul. Sebaliknya apabila
122
respons memberikan akibat yang negatif (hukuman dan
sebagainya) hubungan antara stimulus - respons tersebut akan
dihindari pada kesempatan lain". 
Beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam teori ini
adalah stimulus, respons, dorongan, reinforcement faktor penguat.
Stimulus adalah peristiwa yang terjadi baik di luar maupun di
dalam tubuh manusia yang menyebabkan timbulnya suatu
perubahan tingkah laku. Respons adalah perubahan yang
disebabkan oleh adanya stimulus.

Menurut Keller & Schoenfeld (Wibowo,1988:127) stimulus


mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu: 
1. Pembangkitan: stimulus yang membangkitkan, adalah stimulus
yang langsung memberikan suatu respons. Misalnya makanan
langsung menimbulkan air liur orang yang melihatnya pada
saat lapar terutama. 
2. Diskriminasi: stimulus yang diskriminatif, adalah stimulus
yang tidak langsung menimbulkan respons tetapi hanya
merupakan pertanda adanya stimulus pembangkit. Misalnya
mendengar ada tukang siomay lewat. Saat barn mendengar
122
belum ada reaksi apapun dan diri orang tersebut, barulah
setelah melihat sang penjual menyajikan sepiring di depannya
keluarlah air liurnya. 
3. Reinforcement: adalah stimulus yang menimbulkan
konsekuensi yang positif atau negatif pada terbentuknya
respons. Reinforcement positif adalah stimulus yang jika
diberikan akan memperkuat tingkah laku respons. Misalnya
seorang anak yang menolong orang lain kemudian mendapat
pujian dan hadiah, maka ia akan cenderung mengulangi
tingkah laku menolongnya di kemudian hari. Reinforcement
negatif adalah stimulus yang jika tidak diberikan atau
dihentikan pem-beriannya, akan memperkuat terjadinya
respons. Misalnya seorang anak yang kegemukan dan gelalu
diejek oleh temannya, tidak lagi diejek oleh temannya
manakala dia berprestasi di kelas/menjadi juara kelas. Maka ia
akan mengulangi dan meningkatkan prestasi akademiknya
tersebut. 
Dorongan adalah suatu kekuatan dalam din seseorang
yang jika telah mencapai kekuatan yang maksimum akan
menyebabkan orang tersebut melakukan sesuatu. Menurut Dollard
& Miller (dalam Wibowo, 1988:1.27) terdapat 2 (dua) macam
dorongan pada manusia yaitu dorongan primer dan dorongan
sekunder. Dorongan primer adalah dorongan bawaan seperti lapar,
122
haus, sakit dan seks. Dorongan sekunder adalah dorongan yang
bersifat sosial dan dipelajari misalnya dorongan untuk mendapat
upah, pujian, perhatian dan sebagainya.

C. Teori kognitif
Pokok pikiran dalam pendekatan kognitif adalah bahwa
perilaku individu tergantung pada caranya mengamati situasi
sosial. Secara spontan dan otomatis orang akan
mengorganisasikan persepsi, pikiran dan keyakinannya tentang
situasi sosial ke dalam bentuk yang sederhana dan bermakna,
seperti yang mereka lakukan terhadap objek. Bagaimanapun
rancunya situasi orang akan mengadakan pengaturan dan
pengorganisasian ini (persepsi dan pengartian lingkungan) akan
mempengaruhi perilaku individu dalam situasi sosial.
Terdapat beberapa prinsip dasar dalam teori ini yaitu (Sears.,
1985:17-18): 
1. Individu cenderung mengelompokkan dan mengkategorikan
objek secara spontan. Individu tidak melihat objek secara
tersendiri melainkan sebagai bagian dari sekelompok benda
atau hal-hal lain di sekitarnya. Oleh karenanya individu
cenderung mengelompokkan objek ini dengan beberapa prinsip
sederhana misalnya karena kesamaan, kedekatan atau
pengalaman masa lalu. 
122
2. Individu dapat memperhatikan objek dengan mengamati
sesuatu sesuatu sebagai hal yang menyolok (figure) dan yang
lain sebagai latar belakang (ground). Biasanya rangsangan
yang bergerak, berwama, bersuara, unik, dekat, merupakan
figure. Sedangkan rangsangan yang lembut, tidak menarik,
tidak bergerak, tidak bersuara, umum, jauh, merupakan
ground. 

Teori kognitif mempunyai tekanan yang berbeda dengan teori


belajar yaitu: 
1. Teori kognitif memusatkan dan pada interpretasi dan organisasi
perseptual mengenai keadaan seseorang, bukan keadaan masa
lalu. 
2. Teori kognitif mencari sebab-sebab perilaku pada persepsi atau
interpretasi individu terhadap situasi dan tidak pada realita
situasinya. Interpretasi individu terhadap situasi merupakan hal
yang lebih penting daripada bagaimana sebenarnya situasi itu.

122
D. Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
 Pokok pemikiran dalam pendekatan belajar adalah bahwa
perilaku individu ditentukan oleh apa yang telah dipelajari
sebelumnya. Dalam situasi tertentu seseorang mempelajari
perilaku tertentu sebagai kebiasaan dan bila menghadapi situasi
itu kembali oarang tersebut akan cenderung untuk berperilaku
sesuai dengan kebiasaannya itu. Pendekatan dengan belajar
populer di tahun 1920-an dan merupakan dasar Behaviorisme.
Dalam kehidupan manusia ada 2 (dua) pengertian belajar
yaitu belajar secara fisik misalnya belajar menari, naik sepeda dan
lain-lain, dan belajar psikis yaitu mempelajari perannya dan peran
orang lain dalam konteks sosial. Menurut Dollard & Miller ada 4
(empat) prinsip dalam belajar yaitu dorongan, isyarat, respons dan
reward. Pengertian dorongan dan respons sudah dijelaskan
sebelumnya. Reward sebenarnya sama dengan reinforcement
yaitu stimulus yang menetapkan perlu diulangi atau tidak suatu
respons pada kesempatan lain. Isyarat adalah stimulus yang
menentukan kapan dan dimana suatu respOns akan timbul dan
respons apa yang akan timbul. Isyarat bisa disamakan dengan
stimulus diskriminatif. Mekanisme belajar dapat dibagi dalam
tiga mekanisme umum (Sears, dkk., 1985:13-14) yaitu:
1. Asosiasi (Classical Conditioning) yaitu kita belajar
berperilaku dengan mengasosiasikan kata-kata, suara-suara,
122
warna-warna dan sebagainya atau fenomena yang terjadi
disekitar kita. Misalnya mengasosiasikan kata "Tsunami"
dengan hal-hal atau bencana yang mengerikan.
2. Reinforcement, yaitu orang belajar menampilkan perilaku
tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang
menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka
belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang
tidak menyenangkan). Misalnya seorang mahasiswa yang
belajar untuk tidak menentang profesor pengajarnya di ruang
terbuka karena ketika hal tersebut dilakukan sang profesor
selalu mengerutkan dahi, marah dan membentaknya kembali.

3. Imitasi adalah proses dimana orang mempelajari sikap dan


perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang
menjadi model. Misalnya anak-anak yang menirukan hal-hal
yang dilakukan oleh orang tuanya atau orang dewasa di
sekitarnya. Cara yang penting dalam belajar sosial adalah
tingkah laku imitasi.
Dollard & Miller (dalam Wibowo,1988: I.28-I.29)
menyatakan terdapat 3 (tiga) mekanisme imitasi:
122
1. Tingkah Laku Sama, Terjadi bila 2 (dua) atau lebih orang
memberikan respon karena terstimulus oleh isyarat yang sama.
Misalnya sesama penumpang angkutan umum dengan jurusan
yang sama, tidak lantas perbuatan ini dianggap sebagai tiruan.
2. Tingkah Laku Tergantung, Timbul dalam hubungan antara dua
pihak dengan keadaan pihak yang satu adalah lebih pandai,
lebih tua atau lebih mampu dari pihak lain. Maka pihak lain
akan menyesuaikan tingkah lakunya dan akan tergantung pada
pihak pertama. Misalnya seorang kakak yang menjemput dan
membawakan tas ayahnya pada saat sang ayah pulang kerja
maka ia akan diberikan sebatang coklat. Dia menganggap deru
mobil sang ayah di halaman pada sore hari adalah isyarat sang
ayah datang dan biasanya akan memberinya coldat, maka ia
berlari menghamhirinya. Bagi adiknya yang pada saat itu barn
melihat kejadian tersebut, gerak lari kakaknyalah yang
merupakan isyarat baginya sehingga ia meniru (imitasi)
tingkah laku kakaknya di lain kesempatan karena dengan
begitu ia akan mendapat reward sebatang coklat dan ayahnya.
3. Tingkah Laku Salinan (Copying), Persamaan antara tingkah
laku tergantung dengan tingkah laku salinan adalah keduanya
sama-sama menggunakan isyarat dan tingkah laku model
(orang yang ditiru). Perbedaannya terletak pada jika dalam
tingkah laku tergantung seseorang merespons hanya terhadap
122
isyarat dari model, sedangkan dalam copying orang yang
bersangkutan akan merespons tingkah laku yang menunjukkan
kesamaan dan perbedaan antara responnya dengan respons si
model (orang yang ditiru). Misalnya A biasanya akan
memperlambat laju mobilnya jika lampu kuning menyala.
Suatu hari pada saat lampu kuning menyala ia melihat B
pengendara mobil lainnya yang justru mempercepat laju
kendaraannya dan ia terhindar dari lampu merah. Maka pada
kesempatan lain, jika ada lampu kuning menyala A akan
mempercepat laju kendaraannya.
Terdapat beberapa ciri khusus dalam pendekatan belajar yaitu
(Sears., 1985:14):
4. Sebab-sebab perilaku diduga terletak terutama pada
pengalaman belajar individu di masa lampau. Para ahli teori
belajar mengaitkan diri pada pengalaman masa lalu dan kurang
memperdulikan seluk beluk situasi yang sedang terjadi.
5. Pendekatan belajar cenderung menempatkan penyebab perilaku
terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengartian
subjektif individu terhadap apa yang terjadi. Pendekatan ini
menekankan kejadian eksternal yang telah diasosiasikan
dengan stimulus atau reinforcement yang telah dikaitkan
dengan timbulnya tanggapan atau model peran yang pernah
diternui. Semua ini bersifat eksternal bagi individu. Sebagai
122
sebab-sebab terjadinya perilaku pendekatan belajar tidak
menekankan keadaan subjektif misalnya persepsi terhadap
situasi dan emosi.
6. Biasanya diarahkan untuk menjelaskan perilaku yang nyata dan
bukan pada keadaan subjektif atau psikologis.

E. Teori Psikoanalisa
Tokoh dan teori ini adalah Freud. Alasan teori ini dipakai
untuk menelaah tingkah laku sosial adalah adanya pendapat dan
Freud bahwa terdapat pertentangan yang mendasar antara
pemuasan keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan
individual dengan kesiapan masyarakat dalam memenuhi semua
kebutuhan tersebut. Menurut teori ini pula perkembangan individu
menuju kedewasaan adalah melalui serangkaian tahapan yaitu
tahap oral, anal, phallic dan genital. (dalam Wibowo, 1.14-1.15)
Secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tahap Oral: Bayi barn lahir s/d 1 atau 1,5 tahun.
Pengalamannya hanya kenikmatan, kesakitan dan perubahan-
perubahan ketegangan.
2. Tahap Anal: Berlangsung dari usia 1 atau 1,5 tahun — 4 tahun.
Perkembangan ego ditandai dengan kemampuan untuk
menguasai obyek, mengantisipasi hal-hal yang terjadi dengan
imaginasi; sadar dan toleransi terhadap kecemasan;
122
perkembangan kemampuan berbicara dan berpikir; tumbuhnya
kemampuan untuk menunda respons.
3. Tahap Phallic: Mulai terjadi setelah usia 3 — 4 tahun.
Perkembangan yang penting adalah meningkatnya minat pada
seks (dalam keluarga berupa kompleks oedipus, jika anak laki-
laki dengan ayahnya dan anak perempuan dengan ibunya; serta
dalam dirinya berupa fantasi-fantasi tertentu), proses
pertunibuhan super ego, serta makin banyak menggunakan
mekanisme pertahanan diri. Ditandai dengan meningkatnya
keinginan untuk bermasturbasi; meningkatnya keinginan untuk
bersentuhan tubuh dengan anggota keluarga yang berlawanan
jenis; meningkatnya kecenderungan ekshibisionis
(menunjukkan alat kelamin kepada orang lain).
4. Tahap Laten: Merupakan masa konsolidasi dalam
perkembangan, menyesuaikan did dengan lingkungan di luar
keluarga. Hasrat seksual kepada orang tua disublimasikan
menjadi rasa menghormati dan menghargai. Merupakan masa
persiapan untuk remaja (pubertas).
5. Tahap Genital: Secara psikologis ditandai dengan ciri-ciri
antara lain hasrat untuk mandiri, lebih menghargai aturan-
aturan dari teman sebaya, pemberontakan melawan orang tua,
pikiran-pikiran bingung dan lain-lain.

122
Menurut konsep Freud ada 3 (tiga) sistem yang membentuk
struktur kepribadian:

1. Id adalah sumber energi psikis, merupakan sub sistem dan


kepribadian. Id seringkali dilukiskan sebagai pengharapan-
pengharapan yang berasal dari insting-insting psikologi yang
dipunyai setiap orang sejak lahir. Id adalah sesuatu yang tidak
disadari maka semua ketidaksadaran berlaku bagi id misalnya
amoral, tidak terpengaruh oleh waktu, tidak mempedulikan
realitas, bekerja atas dasar kesenangan, tidak terbelenggu
moral, etik, alasan dan logika. Id secara tetap merupakan upaya
untuk mendapatkan kesenangan, penghargaan dan pemuasan.
Upaya ini secara pokok diwujudkan lewat libido dan agresi
(dalam Gerungan, 2004). Libido mengarah pada hubungannya
dengan keinginan seksual, kesenangan-kesenangan termasuk di
dalamnya kehangatan, makanan dan kenyamanan
(comfortable). Agresi mendorong Id ke arah kerusakan
termasuk diantaranya keinginan perang, berkelahi, berkuasa
dan semua tindakan-tindakan yang bersifat merusak. Walaupun
122
demikian Id tetap diakui sebagai kekuatan yang mendorong
sepanjang kehidupan ini dan merupakan sumber yang amat
penting dari daya berpikir dan upaya bertindak. Id pada
akhirnya hams dihubungkan dengan realitas yang tidak bisa
diabaikan begitu saja, oleh karena itu sebagai penghubung
timbul sistem "ego".
2. Ego berfungsi untuk menghadapi realitas dan menerjemahkan
untuk id. Ego beroperasi berdasarkan proses berpikir. Ego
merupakan sumber rasa sadar. Ia mewakili loglka dan yang
dihubungkan dengan prinsip-prinsip realitas. Ego merupakan
sub sistem yang berfungsi ganda yaitu melayani dan sekaligus
mengendalikan dua sistem lainnya (Id dan Super-Ego) dengan
cara berinteraksi dengan dunia luar atau lingkungan luar
(external environment). Ego dapat mengembangkan suatu
fasilitas penalaran untuk menimbang dan belajar guna
menyesuaikan dan bertindak sesuai dengan lingkungannya.
Namun pada gilirannya situasi konflik antara Id dan Ego tidak
dapat dihindarkan, dimana di satu pihak Id menuntut
dipenuhinya kesenangan dengan cepat dan di pihak lain Ego
berusaha menekan, menolak atau menundanya untuk
mencarikan waktu dan tempat yang lebih sesuai untuk
memenuhi kesenangan tersebut. Agar Ego dapat mengatasi

122
konflik dengan Id maka is banyak mendapat bantuan dari
Super-Ego.
3. Super-Ego: adalah sistem moral dan kepribadian atau kekuatan
moral dari personalitas. Sistem ini berisi norma-norma budaya,
nilai-nilai sosial dan tata cara yang sudah diserap ke dalam
jiwa. Super ego berprinsip mencari kesempurnaan. Ia adalah
sumber norma yang memungkinkan Ego memutuskan apakah
sesuatu benar atau salah. Teori psikoanalisa juga
memperkenalkan konsep ketidaksadaran sebagai bagian
kepribadian, dimana terletak keinginan-keinginan, impuls-
impuls dan konflik-konflik yang dapat mempunyai pengaruh
langsung terhadap tingkah laku. Pada dasarnya tingkah laku
individu dipengaruhi atau dimotivasi oleh determinan
kesadaran maupun ketidaksadaran (Dayakisni, 2006:19).
Contoh dalam proses-proses ketidaksadaran misal-nya tingkah
laku agresi dipandang sebagai suatu manifestasi pembawa-an
sejak lahir, yaitu yang disebut sebagai insting mati dalam
ketidak-sadaran.
F. Teori Peran
Pengertian Peran (Role) biasanya didefinisikan sebagai
serangkaian tingkah laku atau fungsi-fungsi yang dikaitkan
dengan posisi khusus dalam hubungan tertentu. Menurut Bidle &

122
Thomas (Wibowo, 1988:1.21) ada 4 (empat) istilah tentang
perilaku dalam kaitannya dengan peran:
1. Harapan (expectation).
2. Norma (norm).
3. Wujud Perilaku (performance).
4. Penilaian (evaluation) dan Sanksi (sanction).
Peran (Role) Dapat dijelaskan secara singkat sebagai
berikut:
1. Hrapan Terbentunya Peran
Harapan tentang Peran, adalah harapan-harapan orang lain
pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas yang
seyogyanya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai
peran tertentu.
2. Harapan Masyarakat
Contoh harapan dari masyarakat umum terhadap public
servant yang bersih dan bebas KKN.
3. Norma
Norma merupakan salah satu bentuk harapan. Menurut Secord
& Backman (Wibowo, 1988:L21-L22) jenis jenisharapan
adalah:
a. Harapan yang bersifat meramalkan (predicted role
expectation) yaitu harapan tentang suatu perilaku yang
akan terjadi. 
122
b. Harapan Normatif (prescribed role expectation) adalah
keharusan-keharusan yang menyertai suatu peran. Ada 2
jenis yaitu pertama harapan yang terselubung (covert)
adalah harapan-harapan yang ada tanpa harus diucapkan
misalnya dokter hams menyembuhkan pasiennya. Kedua
yaitu harapan terbuka (overt) adalah harapan- harapan
yang diucapkan (role demand). Misalnya orang tua yang
meminta agar anaknya rajin belajar dan bertanggung
jawab atas tugas-tugasnya.
4. Wujud Perilaku dalam Peran
Wujud Perilaku dalam Peran Peran diwujudkan dalam
perilaku nyata, bukan sekedar harapan. Misalnya peran ayah
adalah mendisiplinkan anaknya, maka ada ayah yang
menggunakan hukuman-hukuman fisik sedangkan ayah
lainnya hanya memberi nasehat raja. Kapan peran perlu
ditunjukkan/ menjadi penting? Perwujudan peran bisa
bermacam-macam. Misalnya pendapat Sarbin (dalam
Wibowo, 1988:1.23) dimana perwujudan peran terdiri dan
tingkatan intensitas dan yang terendah sampai yang tertinggi.
Contoh seorang pemain musik di kafe yang menjadi tugasnya
setiap malam maka karena terlalu biasa ia bisa bermusik
sambil mengobrol dengan temannya.

122
Sementara ada seorang pianis yang menggelar konser
tunggalnya maka akan mempersiapkan performanya dengan
penuh konsentrasi. Goffman (dalam Wibowo, 1988:1.23)
meninjau dari sudut lain yaitu dari permukaan (front), yaitu
untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang
diekspresikan secara khusus agar orang mengetahui secara
jelas prilakunya. Contoh seorang profesor akan memajang rak
buku-buku ilmiahnya di ruang tamu, sehingga tamunya akan
mendapat kesan tentang apa dan bagaimana peran profesor
tersebut. Inilah yang dimaksud dengan "front". Namun ada
juga hal yang disukai sang profesor tetapi tidak ditunjukkan
yaitu kegemarannya membaca komik yang disimpannya
dengan rapi di kamar pribadinya.
5. Penilaian dan Sanksi.
Menurut Biddle & Thomas (dalam Wibowo, 1988 :
1.24) penilaian peran adalah pemberian kesan positif atau
negatif yang didasarkan pada harapan masyarakat terhadap
peran dimaksud. Sanksi adalah usaha orang untuk
mempertahankan suatu nilai positif atau agar perwujudan
peran diubah sedemikian rupa sehingga yang tadinya dinilai
negatif menjadi positif. Menurut Merton & Kitt (dalam
Wibowo, 1988:1.25)

122
Setiap orang memerlukan kelompok rujukan (reference
group) tertentu yang mempunyai fungsi, pertama fungsi
normatif, dimana kelompok mendesakkan suatu standar
tertentu bagi perilaku dan keyakinan atau kepercayaan
anggotanya.
Terlepas benar atau salahnya standar itu, kelompok
mempunyai cukup kekuatan atas individu sehingga individu
mau tidak mau mengikuti standar tersebut. Misalnya aturan-
aturan yang dibuat orang tua hams diikuti anaknya karena
anak adalah anggota keluarga. Jika norma ini diserap
(diinternalisasikan) maka terbentuklah nilai dalam diri
individu itu yang selanjutnya menjadi pedoman bagi tingkah
laku dan kepercayaannya. Kedua adalah fungsi komparatif
/perbandingan dimana kelompok hanya dijadikan alat
pembanding bagi individu untuk mengetahui apakah perilaku
atau kepercayaannya sudah benar atau masih salah.
Perbandingan ini bisa dilakukan dengan melibatkan diri atu
tidak terhadap kelompok tersebut. Kelompok hanya dijadikan
alat untuk tujuan informatif saja.

122
BAB III
KONSEP DASAR PERILAKU SOSIAL
(PERSEPSI DAN KOGNISI  SOSIAL)

A. Persepsi
1. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang
menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-
masukan informasi dan pengalaman- pengalaman yang ada
dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan
keseluruhan gambaran yang berarti.
2. Proses Persepsi
Proses persepsi melalui tiga tahap, yaitu:
a. Tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik
maupun stimulus sosial melalui alat indera manusia,
yang dalam proses ini mencakup pula pengenalan dan
pengumpulan informasi tentang stimulus yang ada
b. Tahap pengolahan stimulus sosial melalui proses
seleksi serta pengorganisasian informasi.
c. Tahap perubahan stimulus yang diterima individu
dalam menanggapi lingkungan melalui proses kognisi
yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, serta
pengetahuan individu.
122
3. Sifat Persepsi
Menurut Newcomb (dalam Arindita, 2003;132), ada tiga
sifat yang menyertai proses persepsi, yaitu:
a. Konstansi (menetap) adalah Dimana individu
mempersepsikan seseorang sebagai orang itu sendiri
walaupun perilaku yang ditampilkan berbeda-beda.
b. Selektif adalah persepsi dipengaruhi oleh keadaan
psikologis si perseptor. Dalam arti bahwa banyaknya
informasi dalam waktu yang bersamaan dan
keterbatasan kemampuan perseptor dalam mengelola
dan menyerap informasi tersebut, sehingga hanya
informasi tertentu saja yang diterima dan diserap.
c. Proses organisasi yang selektif: beberapa kumpulan
informasi yang sama dapat disusun ke dalam pola-pola
menurut cara yang berbeda-beda.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Ada sejumlah faktor yang bekerja untuk membentuk dan
terkadang memutar-balikkan persepsi. Faktor-faktor
tersebut antara lain :
a. Pelaku persepsi (perceiver)
b. Objek atau yang dipersepsikan
c. Konteks dari situasi dimana persepsi itu dilakukan

122
5. Aspek-aspek Persepsi
Pada hakekatnya sikap adalah merupakan suatu interelasi
dari berbagai komponen, dimana komponen-komponen
tersebut menurut Allport (dalam Mar’at, 1991) ada tiga
yaitu:
a. Komponen Kognitif, Yaitu komponen yang tersusun
atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki
seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan
ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu
tentang obyek sikap tersebut.
b. Komponen Afektif, Afektif berhubungan dengan rasa
senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif yang
berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau
sistem nilai yang dimilikinya.

c. Komponen Konatif, Yaitu merupakan kesiapan


seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan
dengan obyek sikapnya.

B. Kognisi Sosial
1. Pengertian Kognisi Sosial
Menurut Baron & Byrne (2000;132) kognisi sosial
merupakan cara individu untuk menganalisa, mengingat
122
dan menggunakan informasi mengenai kejadian atau
peristiwa-peristiwa sosial. Dalam menganalisa suatu
peristiwa, terdapat 3 proses, Persepsi Sosial, yaitu:
a. attention : proses pertama kali terjadi dimana individu
memperhatikan gejala-gejala sosial yang ada
disekelilingnya
b. encoding : memasukkan apa yang diperhatikan ke
dalam memorinya dan menyimpannya
c. retrieval : apabila kita menemukan gejala yang mirip
kita akan mengeluarkan ingatan kita dan
membandingkan apabila ternyata sama maka kita bisa
mengatakan sesuatu mengenai gejala tersebut atau bisa
juga individu mengeluarkan ingatannya ketika akan
menceritakan peristiwa yang dialami.
2. Skema Kognisi Sosial
Dalam kognisi sosial dikenal istilah skema yang
merupakan semacam kerangka atau gambaran yang
membantu individu dalam mengorganisasikan informasi-
informasi suatu fenomena yang diperhatikan individu.
Terdapat 3 macam jenis skema, yaitu:
a. Person : gambaran mengenai atribut-atribut atau ciri-
ciri dari individu lain atau diri individu itu sendiri

122
b. Roles : gambaran mengenai tugas dan peranan
individu-individu di sekeliling kita
c. Events : gambaran mengenai peristiwa-peristiwa sosial
yang dialami atau dilihat individu sehari-hari.

C. Pengukuran dalam psikologi sosial


Harapan dari pengukuran Psikologi sosial adalah
kemampuan untuk menjawab berbagai pertanyaan seputar
perilaku sosial dan pemikiran sosial, dengan menggunakan
metode metode penelitian tertentu. Salah satu teknik dasar untuk
mempelajari perilaku sosial adalah Observasi Sistematis
(Systematic observation), yaitu mengamati dan mencatat secara
sistematis perilaku yang ada dengan dilengkapi pengukuran yang
akurat dan teliti. Misalnya seorang psikolog sosial ingin meneliti
seberapa sering orang saling bersentuhan di berbagai situasi yang
berbeda. Peneliti dapat mencari datanya dengan pergi ke pusat
keramaian seperti pasar, pusat perbelanjaan, Bandar udara,
kampus dan lain sebagainya, untuk mencari tahu tentang siapa
menyentuh siapa, bagaimana cara bersentuhan, dan seberapa
sering itu terjadi. Penelitian semacam ini menggunakan metode
yang dinamakan dengan Observasi Alamiah (Naturalistic
Observation), yaitu observasi terhadap perilaku dalam situasi
alami. Dalam hal ini peneliti tidak melakukan intervensi atau
122
melakukan apapun untuk mengubah perilaku orang orang yang
sedang diamati. Teknik lain yang sering digunakan dalam judul
observasi sistematis adalah Metode Survei (survey method), yaitu
peneliti meminta sejumlah besar partisipan untuk merespon
pertanyaan pertanyaan tentang sikap atau perilaku mereka dalam
sebuah situasi sosial. Kadang metode ini digunakan untuk
mengukur sikap individu terhadap isu isu khusus. Survey
memiliki banyak keuntungan. Informasi dapat diperoleh dari atau
bahkan ratusan ribu orang dengan relatif mudah. Selanjutnya
karena survey dapat dipersiapkan dengan cepat, maka opini publik
tentang isu isu baru dapat diperoleh secara cepat pula segera
setelah isu yang bersangkutan muncul. Namun agar survey dapat
berguna sebagai alat penelitian, maka harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu :
1. Orang orang yang berpartisipasi harus mewakili populasi
(representative) yang lebih besar, dimana penyimpulan akan
digeneralisasikan pada populasi tersebut. Hal ini merupakan
isu sampling (teknik pemilihan responden penelitian yang
diambil dari populasi untuk mewakili populasi tersebut).
2. Isu lain sehubungan dengan survey yang juga perlu
diperhatikan adalah cara butir-butir pertanyaan disusun ke
dalam kalimat akan berpengaruh terhadap hasil yang didapat.
Pada berbagai kesempatan telah banyak peristiwa yang
ternyata berhubungan satu sama lain; ketika yang satu berubah, 122
yang lain berubah juga. Ketika dua peristiwa berhubungan seperti
itu maka disebut berkorelasi. Istilah korelasi mengacu pada
kecenderungan berubahnya satu peristiwa sewaktu peristiwa lain
berubah. Para psikolog sosial menyebut aspek aspek alami yang
bisa berubah nilainya tersebut sebagai variabel. Korelasi antara
dua variabel bisa menjadi sangat berguna karena bisa meramalkan
satu variabel berdasarkan informasi dari satu atau lebih variabel
lainnya. Fakta fakta dasar ini mengarahkan pada satu metode
penelitian yang penting yang kadang digunakan oleh psikolog
sosial, yaitu Metode Korelasional (Correlational Method). Pada
pendekatan ini, ilmuwan secara sistematis mengobservasi dua atau
lebih variabel untuk menentukan apakah perubahan yang terjadi
pada salah satu variabel disertai oleh perubahan variabel lainnya.
Adanya korelasi yang kuat sekalipun antara variabel variabel tidak
menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara variabel
variabel tersebut. Semua penelitian yang dilakukan didasarkan
atas adanya Hipotesis (hypothesis), yaitu sebuah prediksi yang
belum diverifikasi berdasarkan suatu teori.
Seperti penjelasan yang telah diberikan sebelumnya,
bahwa metode penelitian korelasional sangat berguna untuk
memenuhi salah satu tujuan ilmu pengetahuan yaitu mampu
membuat peramalan yang akurat. Namun metode ini kurang
berguna bila dilihat dari tujuan yang lain yaitu member
penjelasan. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan “mengapa?”.
Untuk mencapai tujuan memberikan penjelasan, umumnya para
psikolog sosial menggunakan metode penelitian yang dikenal
sebagai Eksperimentasi (experimentation) atau Metode
122
Eksperimen (Experimental Method), yaitu metode penelitian
dimana satu faktor atau lebih (variabel bebas) yang iubah secara
sistematis untuk menentukan apakah suatu variabel
mempengaruhi satu atau lebih faktor yang lain (variabel terikat).
Ciri dasar dari metode eksperimen adalah memiliki dua tahap
yaitu :
1. Variabel bebas (independent variable) yaitu variabel secara
sistematis diubah (divariasikan) dalam sebuah eksperimen.
2. Variabel terikat (dependent variable) yaitu variabel yang
diukur dalam eksperimen.
Terdapat 2 syarat agar metode eksperimen berhasil yaitu :
1. Randomisasi penempatan partisipan secara acak dalam kondisi
eksperimen, atau tiap partisipan mempunyai kesempatan yang
sama untuk ditempatkan dalam tiap level variabel terikat.
2. Sebisa mungkin semua faktor selain variabel bebas yang
mungkin berpengaruh pada perilaku partisipan harus dijaga
supaya tetap konstan (dikontrol).
Pengaruh eksperimenter terjadi bila peneliti secara tidak
sengaja mempengaruhi tingkah laku partisipan. Pengaruh seperti
ini dapat dihilangkan atau diminimalisasi dengan prosedur
Double Blind, yaitu peneliti yang terlibat kontak dengan
partisipan tidak mengetahui hipotesis penelitian.
Setelah suatu penelitian selesai, psikolog sosial harus
mengubah fokus perhatian mereka kepada satu tugas penting,
yaitu mengintepretasikan hasil penelitian tersebut. Untuk
menjawab pertanyaan, psikolog sosial biasanya menggunakan
Statistik Inferensial (Inferential Statistics), yaitu suatu formula
122
matematika khusus yang dapat membantu peneliti menguji untuk
mengevaluasi kemungkinan apakah suatu pola hasil penelitian
tertentu terjadi akibat adanya faktor kebetulan. Jika psikolog
sosial dikonfrontasikan oleh hasil penelitian yang berbeda, maka
untuk menjawabnya dapat menggunakan suatu teknik yang
dikenal dengan nama Meta Analisis yaitu teknik statistic untuk
menggabungkan data dari studi studi yang berbeda untuk
menentukan apakah variabel tertentu (atau interaksi antar
variabel) memiliki efek yang signifikan antar hasil penelitian
tersebut. Yang terakhir ada satu aspek dalam penelitian psikologi
sosial yang harus dicermati sebelum membuat kesimpulan, yaitu
melibatkan adanya suatu konstruksi Teori (theory) sebagai
kerangka kerja yang dibangun para ilmuwan untuk menjelaskan
mengapa kejadian atau proses tertentu terjadi.

BAB IV
ATRIBUSI SOSIAL
122
A. Pengertian Atribusi
Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan
orang lain itu berperilaku tertentu. Menurut Myers (1996),
kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan
manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang
ada dibalik perilaku orang lain. Attribution theory (teori sifat)
merupakan posisi tanpa perlu disadari pada saat melakukan
sesuatu menyebabkan orang-orang yang sedang menjalani
sejumlah tes bisa memastikan apakah perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan orang lain dapat merefleksikan sifat-sifat
karakteristik yang tersembunyi dalam dirinya, atau hanya berupa
reaksi-reaksi yang dipaksakan terhadap situasi tertentu.
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Frizt
Heider (1958). Menurut Heider, setiap individu pada dasarnya
adalah seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist) yang berusaha
untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan
dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka
tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab
orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu
selalu berusaha untuk mencari sebab mengapa seseorang berbuat
dengan cara-cara tertentu. Misalkan kita melihat ada seseorang

122
melakukan pencurian. Sebagai manusia kita ingin mengetahui
penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian.
Dua fokus perhatian di dalam mencari penyebab suatu
kejadian, yakni sesuatu di dalam diri atau sesuatu di luar diri.
Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena sifat dirinya
yang memang suka mencuri, atau kah karena faktor di luar
dirinya, dia mencuri karena dipaksa situasi, misalnya karena dia
harus punya uang untuk membiayai pengobatan anaknya yang
sakit keras. Bila kita melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu
melakukan suatu tindakan karena sifat-sifat kepribadiannya (suka
mencuri) maka kita telah melakukan atribusi internal (internal
attribution). Tetapi jika kita melihat atau menyimpulkan bahwa
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh tekanan
situasi tertentu (misalnya mencuri untuk membeli obat) maka kita
melakukan atribusi eksternal (external attribution).
Proses atribusi telah menarik perhatian para pakar
psikologi sosial dan telah menjadi objek penelitian yang cukup
intensif dalam beberapa dekade terakhir. Cikal bakal teori atribusi
berkembang dari tulisan Fritz Heider (1958) yang berjudul
“Psychology of Interpersonal relations). Dalam tulisan tersebut
Heider menggambarkan apa yang disebutnya “native theory of
action”, yaitu kerangka kerja konseptual yang digunakan orang
untuk menafsirkan, menjelaskan, dan meramalkan tingkah laku
122
seseorang. Dalam kerangka kerja ini, konsep intensional (seperti
keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk mencoba dan tujuan)
memainkan peran penting.
Menurut Heider (2001;23) ada dua sumber atribusi
tingkahlaku: (1). Atribusi internal atau atribusi disposisional. (2).
Atribusi eksternal atau atribusi lingkungan. Pada atribusi internal
kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan
oleh sifat-sifat atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului
tingkah laku). Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan bahwa
tingkah laku seseorang disebabkan oleh situasi tempat atau
lingkungan orang itu berada.
Dua teori yang paling menonjol dari segi konsep dan
penelitian, yaitu teori inferensi terkait (correspondence inference)
dari Jones dan Davis (1965) dan teori ko-variasi Kelley (Kelly’s
covarioance Theory) yang dirumuskan oleh Harlod Kelley (1972).

B. Atribusi
Atribusi merupakan proses-proses untuk mengidentifikasi
penyebab-penyebab perilaku orang lain dan kemudian diketahui
tentang sifat-sifat menetap dan disposisi mereka Baron dan Byrne,
(2003:49). Atribusi juga dapat diartikan dengan upaya kita untuk
memahami penyebab dibalik perilaku orang lain, dan dalam
beberapa kasus juga penyebab perilaku kita sendiri. Untuk
122
mengetahui tentang orang-orang yang ada di sekitar kita dapat
melalui beberapa macam cara:
1. Melihat apa yang tampak (fisik). Misalnya cara berpakaian,
cara penampilan diri.
2. Menanyakan langsung kepada yang bersangkutan, misalnya
tentang pemikiran, tentang motif.
3. Dari perilaku yang bersangkutan. Hal ini merupakan sumber
yang penting.

C. Teori Inferensi Terkait (Correspondence Inference


Theory)
Analisis tentang bagaimana orang menyimpulkan disposisi
dari tingkah laku dilakukan oleh Jones and Davis (1965;78).
Mereka melihat putusan-putusan dari intensi sebagai syarat dari
putusan-putusan tentang disposisi. Akan tetapi studi lebih
diarahkan kepada faktor disposisional. Teori ini dikembangkan
oleh Jones and Davis bermula dari asumsi bahwa seseorang
mengobservasi perilaku orang lain dan kemudian menarik
kesimpulan tentang disposisi kepribadian orang lain tersebut.
Dengan kata lain, teori ini membicarakan tentang bagaimana kita
menarik kesimpulan tentang sifat kepribadian orang lain melalui
observasi terhadap perilaku orang tersebut. Dan sifat kepribadian
tersebut (disposisi) diasumsikan keberadaannya stabil pada diri
122
orang itu dan berlaku dari satu situasi ke situasi lainnya. (Jones &
Davies) ada beberapa faktor yang dapat dijadikan faktor untuk
menarik kesimpulan tentang apakah suatu perbuatan disebabkan
oleh sifat kepribadian atau disebabkan oleh faktor tekanan situasi.
Bila diantara ketiga faktor tersebut di bawah ini ada disaat
seseorang melakukan suatu perbuatan, maka tindakan orang
tersebut disebabkan oleh sifat kepribadian (disposisional) orang
tersebut.
1. Non Common Effect: Situasi dimana penyebab dari tindakan
yang dilakukan seseorang adalah sesuatu yang tidak disukai
oleh orang pada umumnya. (misal: Seorang pria menikah
dengan seorang wanita yang kaya, pintar tetapi tidak cantik
dan sudah tua. Sifat-sifat yang tidak umum ini (Tua dan tidak
cantik) inilah yang disebut sebagai non common effect. Orang
akan segera saja menyimpulkan bahwa pria itu memiliki sifat-
sifat kepribadian yang meterialistic. Mengapa demikian?
Sebab umumnya pria tidak menyukai menikah dengan wanita
yang buruk rupa dan tua usianya. Sebaliknya pria umum
menyukai menikah dengan wanita yang elok parasnya, banyak
hartanya, muda usianya, sehat tubuhnya dan sebagainya.
2. Freely Choosen Act : Banyak tindakan yang dilakukan oleh
orang dikarenakan oleh paksaan situasi. (misalnya: seorang
wanita muda harus menikah dengan seorang duda kaya yang
122
berusia tua. Wanita itu menikah karena dipaksa oleh orang
tuanya. Dari peristiwa itu, sangatlah sulit bagi kita untuk
mengatakan bahwa wanita tersebut adalah seorang yang
materialistik yang mengejar harta si duda. Tetapi kalau dia
sendiri yang ingin menikah dengan duda tersebut sedangkan
orang tuanya tidak menyarankan maka dengan mudah kita
menarik kesimpulan bahwa wanita itu materialistik. Sebab
tindakan untuk menikah dengan duda adalah tindakan atas
pilihannya sendiri, bukan tekanan situasi.
3. Low Social Desirability (menyimpang dari kebiasaan): Kita
akan dengan mudah menarik kesimpulan bahwa seseorang
memiliki kepribadian tertentu yang tidak wajar bila orang itu
menyimpang dari kebiasaan umum. (misal : Jika seseorang
menghadiri upacara kematian biasanya orang harus
menujukkan roman muka yang sedih dan berempati pada
ahlul duka. Kalau orang yang melayat menujukkan hal yang
demikian akan sulit bagi kita unyuk mengatribusikan bahwa
orang itu orang yang empatik, karena memang begitulah
seharusnya. Tetapi bila orang layat lalu menujukkan
kegembiraan dengan tertawa terbahak-bahak di saat orang
lain, maka mudah untuk kita simpulkan bahwa kepribadian
orang tersebut agak kurang beres.
D. Teori ko-variasi Kelley (Kelley’s covaration Theory)
122
Harlod Kelley dalam teorinya menjelaskan tentang
bagaimana orang menarik kesimpulan tentang “apa yang menjadi
sebab” apa yang menjadi dasar seseorang melakukan suatu
perbuatan atau memutuskan untuk berbuat dengan cara-cara
tertentu. Menurut Kelley ada tiga faktor yang menjadi dasar
pertimbangan orang untuk menarik kesimpulan apakah suatu
perbuatan atau tindakan itu disebabkan oleh sifat dari dalam diri
(disposisi) ataukah disebabkan oleh faktor di luar diri.
Pertimbangan tersebut yaitu:
1. Konsensus (consencus): Situasi yang membedakan perilaku
seseorang dengan perilaku orang lainnya dalam menghadapi
situasi yang sama. Bila seseorang berperilaku sama dengan
perilaku orang kebanyakan, maka perilaku orang tersebut
memiliki konsensus yang tinggi. Tetapi bila perilaku
seseorang tersebut berbeda dengan perilaku kebanyakan orang
maka berarti perilaku tersebut memiliki konsensus yang
rendah. (misalkan pak Amin adalah penyuka lawakan yang
dimainkan oleh group lawakan Srimulat. Setiap menonton
pertunjukan Srimulat pak Amin selalu tertawa terpingkal-
pingkel dan orang lain pun juga tertawa. Dalam contoh ini
dapat kita katakan bahwa perilaku pak Amin dalam hal tertawa
menonton lawakan Srimulat berkonsensus tinggi (high
consencus). Tetapi bila hanya pak Amin saja yang tertawa
122
sedangkan orang lain tidak tertawa, maka perilaku pak Amin
tersebut memiliki konsensus yang rendah.
2. Konsistensi (consistency) adalah sesuatu yang menunjukan
sejauh mana perilaku seseorang konsisten (ajeg) dari satu
situasi ke situasi lain. Dalam contoh di atas, jika pak Amin
selalu tertawa menonton Srimulat pada hari ini atau kapanpun
pak Amin menonton Srimulat selalu tertawa, maka perilaku
pak Amin tersebut memiliki konsistensi yang tinggi (high
consistency). Semakin konsisten perilaku seseorang dari hari
ke hari maka semakin tinggi konsistensi perilaku orang
tersebut.
3. Keunikan (distinctivenss) menunjukan sejauh mana seseorang
bereaksi dengan cara yang sama terhadap stimulus atau
peristiwa yang berbeda. Dalam contoh di atas, kalau pak Amin
tertawa menonton lawakan Srimulat, juga tertawa menonton
lawakan lainnya (lawakan Tukul Arwana, extra vaganza, dll)
maka dapat dikatakan perilaku pak Amin memiliki keunikan
yang rendah (low distinctivess), tetapi kalau pak Amin hanya
tertawa ketika menonton lawakan Srimulat sedangkan terhadap
lawakan lainnya pak Amin tidak tertawa, maka perilaku pak
Amin memiliki keunikan tinggi (high distictiveness). Mengapa
demikian? Karena pak Amin konsisten hanya tertawa pada

122
Srimulat, kepada lawakan lainnya meskipun lucu, pak Amin
tidak tertawa.
Co-variasi antara ketiga faktor diatas akan menentukan
apakah perlaku seseorang akan diatribusikan secara atribusi
internal ataukah akan diatribusikan secara ekternal. Perilaku
seseorang akan diatribusikan sebagai atribusi internal bila perilaku
tersebut memiliki konsensus yang rendah, konsistensi tinggi dan
keunikan yang rendah. Perhatikan situasi berikut: saya tertawa
menonton srimulat-orang lain tidak tertawa menonton srimulat
(konsesnsus rendah), saya selalu tertawa kapanpun saja saya
menonton srimulat (konsistensi tinggi), dan saya selalu saja
tertawa menonton pertunjukan lawak, tidak hanya dagelan
srimulat (keunikan rendah).

E. Distorsi Kognitif
Dalam versi ini, teori atribusi menguraikan proses yang
sangat rasional dan pada pokoknya secara logis. Teori atribusi
mengasumsi bahwa orang awam memproses informasi secara
rasional, sehingga mereka menilai informasi secara cukup
objektif, demikian pula dalam mengkombinasikannya untuk
memperoleh kesimpulan.
Kita akan mulai mempertimbangkan berbagai proses
kognitif yang berasal dari kecenderungan menanggapi stimuli
122
yang lebih menonjol atau yang merupakan tokoh dibandingkan
dengan stimuli latar belakang, dan untuk menyederhanakan
persepsi melalui pengembangan kesan yang dirancang dengan
penuh arti.
1. Penonjolan
Satu cara kita menyederhanakan pemrosesan kognitif
adalah dengan memberikan reaksi terlalu banyak kepada stimuli
yang menonjol. Distorsi ini akan mengarahkan kita untuk
mengamati stimuli yang paling menonjol sebagai suatu yang
sangat berpengaruh. Dengan mulus Taylor dan Fiske (1975)
menguji gagasan ini: yakni, apa saja yang nampak menonjol akan
terlihat sebagai penyebab yang dominan. Dua pasangannya
berlaku sebagai “aktor”. Mereka terlibat dalam sebuah percakapan
sambil duduk berhadapan. Para subjek biasa merupakan
“pengamat” yang duduk di belakang para pasangan atau di
sebelah mereka. Para pasangan melakukan percakapan yang sudah
ditentukan selama lima menit, bersenda gurau seakan-akan
mereka baru saja bertemu. Mereka saling bertukar informasi
tentang recana kerja, kampung halaman, keluarga, dll.
Kemudian para subjek ditanyai tentang persepsi sebab-
akibat mereka. Penemuan bahwa penonjolan yang terlihat
menyebabkan peranan sebab-akibat seseorang berlebihan,
nampaknya sudah menjadi hal umum.
122
2. Pemberian Atribusi yang berlebihan kepada Disposisi
Salah satu konsekuensi distorsi ini adalah bahwa kita
cenderung menjelaskan perilaku orang lain sebagai akibat
disposisi yang merupakan ciri kepribadian umum atau sikap
mereka, sementara kita cenderung mengabaikan pentingnya
situasi di mana mereka berada. Jika kita meminta informasi lewat
jendela gedung dan karyawannya nampak bersikap kaku, kasar,
dan tidak membantu, maka kita akan menganggapnya orang yang
dingin, dan tidak ramah. Kita cenderung menyangkal kenyataan
pada saat ia juga bisa berdalih bahwa dia adalah mahasiswa yang
tidak dikenal di kampus. Lebih daripada sekedar pribadinya
bahwa hal itu barangkali telah menjadi situasi pekerjaannya yang
khusus. Yang paling mungkin membuat ia bertindak dengan
kasar. Pemberian atribusi secara berlebihan kepada pembawaan,
serta terlalu meremehkan situasi boleh dianggap sudah sangat
umum sehingga Ross (1977) mengacunya sebagai kekeliruan
atribusi fundamental.
3. Aktor lawan pengamat
Para aktor agaknya lebih mengagungkan peranan faktor
ekstern. Kedua kelompok secara kausal menjelaskan perilaku
yang sama, namun dengan atribusi yang masing-masing berlainan.
Contohnya, ada orang tua yang membuat peraturan keras kepada
anak-anaknya yang beranjak dewasa, sehingga mereka diijinkan
122
pergi berkencan hanya pada malam minggu saja. Para
“pengamat”, anak-anak remaja, sering memandang peraturan
tersebut sebagai akibat disposisi mereka sendiri, yaitu: Orang tua
yang kejam, otoriter, dan kuno. Para “aktor” sendiri, orang tuanya,
sering cenderung mejelaskan perilaku mereka sesuai dengan
situasi.
Bagaimana kedua belah pihak menginterpretasikannya jika
para remaja berulang kali melanggaat peraturan? Para “pengamat”
yang kali ini adalah orang tuanya, menginterpretasikannya
berdasarkan disposisi, yakni: Para remaja tersebut suka
memberontak, tidak bertanggung jawab, dsb. Para “aktor” kali ini
terdiri dari remaja, menginterpretasikan perilaku mereka sendiri
sebagai hasil penyebab situasional, yaitu: Pesta yang mereka
hadiri menyenangkan sehingga mereka enggan pulang, orang tua
tidak memahami mereka, dsb.
4. Distorsi aktor-pengamat
Pengaruh actor terhadap pengamat, dapat dihasilkan
semata-mata melalui titik pandang berbeda, yang dimiliki aktor
terhadap pengamat. Boleh jadi, masing-masing menjadi lebih
penting dalam kondisi yang berbeda. Umumnya, jika faktor
historik atau keadaan intern merupakan penentu utama adalah
munculnya perilaku, maka para aktor akan menjadi atributor yang
lebih akurat. Akan tetapi, jika perilaku dipengaruhi oleh keadaan
122
eksternnya maka teori perbedaan-perspektif akan lebih sesuai
untuk perbedaan atribusi di antara aktor terhadap pengamat
(Monson & Snyder, 1977;79).
5. Terlampau meremehkan Informasi yang Berdasarkan
Konsensus
Salah satu pelindung terhadap kekeliruan atribusi
fundamental seharusnya atas dasar konsensus. Dengan konsensus
tinggi, kita harus membuat atribusi situasional. Jika kita tahu
bahwa hampir setiap orang memberikan respons yang sama
kepada suatu kesatuan tertentu dalam konteks tertentu, maka
atribusi berdasarkan disposisi akan menjadi tidak tepat.
Contohnya jika kita tahu bahwa hampir setiap orang berpikir
bahwa ilmu hitung itu sukar, maka kita tidak akan
mengatribusikan kesulitan Karman dalam ilmu hitung dengan
kemampuan atau usaha yang kurang. Kita pasti akan
mengatribusikannya kepada situasi yang sulit.
Akan tetapi, orang cenderung meremehkan penggunaan
informasi yang berdasarkan konsensus, kejelasan, dan konsistensi
terhadap informasi selalu dipergunakan secara sama. Dari
ketiganya, tidak ada yang dipandang lebih informatif dari yang
lain.

122
F. Distorsi Motivasional
Kategori distorsi umum akan muncul dari usaha manusia
untuk memuaskan kebutuhan serta motivasi mereka sendiri.
Manusia mempunyai berbagai kebutuhan antara lain seperti;
mencintai, balas dendam, harga diri, prestise, materi, dsb.
Banyak sekali yang tidak dapat kita nilai seandainya
faktor-faktor ini kita abaikan dan faktor-faktor tersebut
memainkan peranan penting dalam mencapai atribusi sebab-
akibat.
1. Distorsi yang Berjalan Sendiri
Distorsi yang berjalan sendiri menggambarkan atribusi
yang mengagung-agungkan ego atau mempertahankan penilaian
terhadap diri sendiri. Sebagai contoh yang sederhana, kita
cenderung mengatribusikan keberhasilan yang kita capai kepada
penyebab intern seperti kemampuan kita, kerja keras atau
keutamaan lainnya. Kita cenderung menyalahkan kegagalan kita
kepada faktor-faktor ekstern seperti nasib buruk, struktur politik
yang menekan, dsb.
2. Ilusi Kendali
Orang tidak hanya melihat dunia sebagai lebih teratur dari
keadaan sebenarnya. Mereka memutar balikannya ke arah yang
lebih dapat dikendalikan. Secara sistematik mereka menilai secara
berlebihan kendali mereka atas berbagai peristiwa, dan
122
merendahkan peranan yang bersifat kebetulan atau faktor yang
tidak dapat dikendalikan. Secara konsisten orang senantiasa
melebih-lebihkan sumbangannya kepada kegiatan gotong-royong.

G. Aplikasi Teori Atribusi


1. Atribusi dan Depresi
Depresi adalah gangguan psikologi yang hampir dialami
setiap manusia. Individu yang depresi cenderung
mempunyai pikiran yang bertentangan dengan bias
mengutamakan diri sendiri. Kalau hasilnya bagus, maka
itu merupakan keberhasilan yang didapat dari intervensi
orang lain. Namun, jika kegagalan yang terjadi hal itu
merupakan kesalahan mutlak dari dirinya sendiri sehingga
orang akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki arti dan
akhirnya mudah menyerah dalam hidupnya.
2. Atribusi dan Prasangka
Harga sosial yang mesti dibayar ketika mempertanyakan
diskriminasi. Misalnya seseorang pada ras minoritas tidak
menerima tidak diterima dalam pekerjaan, dia
berprasangka bahwa tidak diterimanya dia karena dia
berasal dari minoritas. Tetapi, setelah dipikir-pikir lagi,
maka akan muncul bahwa dia memang tidak cocok dengan

122
pekerjaan itu dan dia hanya mengeluh saja, dan justru
muncul pemikiran negatif kita terhadap orang tersebut.
3. Teori Atribusi Dalam Psikologi Sosial
Atribusi adalah kesimpulan yang dibuat oleh seseorang
untuk menerangkan mengapa orang lain melakukan suatu
perbuatan. Penyebab yang dimaksud biasanya adalah
disposisi pada orang yang bersangkutan. Dengan demikian
teori-teori atribusi adalah usaha untuk menerangkan
bagaimana suatu sebab menimbulkan perilaku tertentu.

H. Theory of Correspondent Inferences


Dikembangkan oleh Edward James dan Keith Davis
(1982;79). Apabila perilaku berhubungan dengan sikap atau
karakteristik personal berarti dengan melihat perilakunya dapat
diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang tersebut.
Hubungan yang demikian adalah hubungan yang dapat
disimpulkan (correspondent inference). Ini berbeda dengan
keadaan, banyak orang melakukan hal yang sama. Misalnya;
seorang yang menyampaikan rasa simpati terhadap suatu musibah
belum bisa dikatakan sebagai orang yang simpatik, sebab
sebagian orang memang melakukan hal yang serupa, bagaimana
mengetahui bahwa perilaku berhubungan dengan karakteristik

122
atau sikap simpati itu terbentuk, ada beberapa cara untuk
melihatnya:   
1. Dengan melihat kewajaran perbuatan atau perilaku. Orang
yang bertindak wajar sesuai dengan keinginan masyarakat
(social desirability), sulit untuk dikatakan bahwa tindakannya
itu cerminan dari karakternya. Sebaliknya, akan lebih mudah
untuk menebak bahwa perilakunya merupakan cerminan dari
karakternya bila melakukan sesuatu yang kurang wajar.
Contohnya: orang yang berjalan sesuai dengan jalur, sulit
untuk ditebak bahwa perilaku itu mencerminkan karakternya.
Namun bila dijumpai ada seseorang yang berjalan menerabas
atau tidak sesuai aturan baru akan Nampak bahwa perbuatan
itu adalah cerminan dari karakternya, yaitu tidak patuh pada
aturan.
2. Pengamatan terhadap perilaku yang terjadi pada situasi
yang memunculkan beberapa pilihan. Pada situasi yang tidak
memberikan alternatif lain, atau karena terpaksa, tidak
mungkin bisa memprediksikan bahwa perilaku tersebut
merupakan cerminan dari karakternya.
3. Memberikan peran yang berbeda dengan peran yang sudah
biasa dilakukan. Misalnya : seorang juru tulis diminta untuk
menjadi juru bayar. Dengan peran yang baru ini, akan tampak

122
keasliannya, perilaku yang merupakan gambaran dari
karakternya.

I. Model of Scientific Reasoner


Teori ini dikembangkan oleh Harold Kelly. Ia mengajukan
konsep untuk memahami penyebab perilaku seseorang dengan
memandang pengamat seperti ilmuwan, yang disebut sebagai
ilmuwan naïf. Untuk sampai pada suatu kesimpulan atribusi
seseorang, diperlukan tiga informasi penting :
1. Distinctiveness
Konsep ini merujuk pada bagaimana seseorang berperilaku
dalam kondisi yang berbeda-beda. Distinctiveness yang tinggi
terjadi apabila orang yang bersangkutan mereaksi secara khusus
atau berbeda pada suatu peristiwa. Misalnya: ia hanya tertawa
ketika nonton film komedi X, namun ketika nonton film komedi
lainnya ia tidak pernah tertawa. Sedangkan distinctiveness yang
rendah terjadi apabila orang yang bersangkutan
merespon/mereaksi secara sama terhadap stimulus yang berbeda.
Misalnya : seseorang yang selalu tertawa bila melihat film
komedi. 
2. Konsistensi
      Konsep ini menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan
dengan suatu peristiwa. Konsistensinya dikatakan tinggi apabila
122
orang yang bersangkutan mereaksi yang sama untuk stimulus
yang sama, pada waktu yang berbeda. Misalnya: orang yang
selalu tertawa bila melihat lelucon dari pelawak Tessy, baik dulu
maupun sekarang, disebut memiliki konsistensi yang tinggi.
Sedangkan bila orang tersebut hanya kadang-kadang saja
tertawa terhadap lelucon Tessy, ia memiliki konsistensi yang
rendah. Konsistensi dikatakan rendah jika orang yang
bersangkutan merespon berbeda atau tidak sama terhadap
stimulus yang sama pada waktu yang berbeda.
3. Konsensus
Konsep tentang konsensus selalu melibatkan orang lain,
sehubungan dengan stimulus yang sama. Apabila orang lain tidak
bereaksi sama dengan seseorang berarti konsensusnya rendah, dan
sebaliknya jika orang lain juga melakukan hal sama dengan
dirinya berarti konsensusnya tinggi. Dari ketiga informasi
tersebut, dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelly
ada tiga, yaitu :
a. Atribusi internal, yaitu perilaku seseorang merupakan
gambaran dari karakternya apabila distinctiveness-nya rendah,
konsensusnya rendah dan konsistensinya tinggi.
b. Atribusi eksternal, dikatakan demikian apabila ditandai oleh
distinctiveness-nya tinggi, konsensusnya tinggi dan
konsistensinya juga tinggi.
122
c. Atribusi internal-eksternal, hal ini ditandai oleh distinctiveness-
nya tinggi, konsensusnya rendah dan konsistensinya juga
tinggi.

J. Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan


Dua teori atribusi di atas bisa diterapkan secara lebih
umum daripada teori yang akan dibicarakan pada bagian ini.
Weiner dan Weiner mengkhususkan diri berteori tentang atribusi
dalam kaitannya dengan keberhasilan dan kegagalan. Untuk
menerangkan proses atribusi tentang keberhasilan atau kegagalan
seseorang maka perlu memahami dimensinya. Terdapat dua
dimensi pokok memberi atribusi. Pertama, keberhasilan dan
kegagalan memiliki penyebab internal dan eksternal (mirip
konsep dari Kelley atau locus of control). Dimensi kedua,
memandang dari segi stabilitas penyebab, stabil atau tidak stabil.
Berdasarkan pada prinsif di atas, maka dapat dilakukan
kategorisasi atau atribusi seseorang. Misalnya mahasiswa yang
berhasil menempuh ujian akhir kemungkinan karena selama
kuliah memang selalu mendapat nilai baik dan dia memiliki
kesanggupan untuk menyelesaikan tugas dengan baik, maka dia
bisa disebut sebagai orang yang cerdas, berbakat atau
berkemampuan tinggi.

122
Orang yang demikian bisa diberi atribusi internal-stabil.
Bisa juga bukan karena kemampuannya yang memadai, tetapi
karena tugas yang dibebankan relatif mudah, berarti atribusinya
eksternal-stabil. Contoh atribusi internal-tidak stabil adalah pada
kasus orang yang memiliki bakat tetapi keberhasilannya
tergantung pada besarnya usaha, sehingga kadang-kadang berhasil
tetapi tidak jarang pula gagal. Atribusi eksternal-tidak stabil,
contohnya adalah orang yang mendapat undian berhadaih.
Konsep atribusi ini tidak hanya terbatas untuk melihat
keberhasilan, tetapi dengan analogi yang sama bisa juga untuk
memberi atribusi kegagalan. Contohnya adalah orang pandai,
yang biasanya sukses, suatu ketika mengalami kegagalan karena
tugas yang dibebankan terlalu berat untuk ditanggung sendirian
(eksternal-stabil).
Pada tahun 1982, Weiner memperluas model atribusinya
dengan menambahkan satu dimensi lagi didalam dimensi
penyebab internal-eksternal, yaitu dimensi dapat atau tidaknya
penyebab itu terkontrol (controllable). Contohnya: untuk atribusi
internal-stabil tak terkontrol adalah sukses karena bakat yang luar
biasa sehingga jarang mengalami kegagalan.

122
K. Bisa dalam Atribusi
Seringkali proses atribusi menjadi bias karena faktor
pengamat sebagai ilmuwan naïf menggunakan konsep dirinya ke
dalam proses tersebut dan juga karena faktor-faktor yang
berhubungan dengan orientasi pengamatan. Beberapa bias yang
dikenal dalam atribusi adalah:
1. Bias Fundamental Attribution
Dalam memberikan atribusi pada pelaku, pengamat sering
terlalu banyak menekankan factor disposisi daripada factor
situasi. Penekanan yang tidak seimbang dari dua sisi akan
menyebabkan bias dalam kesimpulan. Di sisi lain focus
pengamatan memang lebih banyak pada perilaku, tetapi bukan
berarti factor situasional kurang berperan. Bias atribusi
fundamental ini pertama kali dikemukakan oleh Lee Ross.
2. Bias Self-Serving
Ada kecenderungan umum pada setiap orang untuk
menghindari celaan karena kesalahannya. Sayangnya cara
yang dipilih untuk menghindari keadaan itu sering tidak tepat,
yaitu dengan menimpakan pada situasi di luar dirinya.
Seorang yang gagal menjadi juara sering menimpakan
kesalahan pada panitia atau arena. Sedangkan bila mendapat
keberhasilan dia lebih menekankan bahwa hal itu adalah
karena kemampuannya.
122
3. Efek  Pelaku – Pengamat
Bias ini terutama muncul pada hubungan antara perilaku dan
pengamat yang sudah terjalin baik. Pertama kali, teori ini
dikemukakan oleh Jones dan Nisbet. Pelaku akan menekankan
pada faktor situasional. Sedangkan menurut pengamat,
perubahan perilaku lebih banyak dipengaruhi faktor disposisi.
Contohnya adalah hubungan antara seorang guru dengan
siswa. Ketika suatu saat guru memberi nilai jelek pada hasil
karangan murid, kedua orang ini memiliki sudut pandang yang
berbeda dalam menilai kegagalan. Bagi murid kegagalan
tersebut disebabkan oleh kesibukannya, gangguan dari teman,
ruang yang panas, atau yang lain. Sedangkan guru cenderung
menimpakan keadaan ini kepada kondisi murid itu sendiri,
misalnya kurang membaca bahan, kurang teliti, kurang ada
kemauan dan sebagainya.
4. Menyalahkan diri sendiri
Tidak jarang pula ditemui seorang yang terlalu menyalahkan
diri sendiri, terutama bila mengalami kegagalan. Orang yang
sering menyalahkan diri sendiri, akan sulit untuk secara
objektif memberi penilaian, sehingga dalam proses atribusi
juga sering menyebabkan kebiasaan.

122
5. Hedonic Relevance
Pengamat sering kurang objektif dalam memberikan penilaian
terhadap peristiwa yang menyangkut dirinya. Apabila
peristiwa itu menguntungkannya, maka akan menyebabkan
penilaian lebih positif. Sebaliknya bila peristwa tersebut
kurang menguntungkan dirinya, penilaian menjadi condong
negatif.
6. Bias Egosentris
Sering dijumpai pula bahwa orang menilai dengan
menggunakan dirinya sebagai referensi, atau beranggapan
bahwa orang pada umumnya akan berbuat seperti dirinya.
Apabila standar diri ini diterapkan dalam memberi atribusi,
maka bias sulit untuk dihindarkan.

L. Macam Atribusi
Menurut Heider (dalam Sarlito Wirawan, 1999: 102), Atribusi
dapat dibedakan menjadi:
1. Atribusi Internal
Jika perilaku seseorang yang diamati disebabkan oleh factor-
faktor internal, misal sikap, sifat-sifat tertentu, ataupun aspek-
aspek internal yang lain. Contoh, jika anak memperoleh nilai
raport yang jelek, maka sebabnya dapat saja karena anak itu
malas, terlalu banyak main, atau bodoh.
122
2. Atribusi Eksternal
Jka perilaku sosial yang diamati disebabkan oleh keadaan atau
lingkungan di luar diri orang yang bersangkutan. Contoh, jika
anak memperoleh nilai raport yang jelek, maka sebabnya
dapat saja karena ada masalah dengan lingkungannya, orang
tuanya bercerai, hubungan yang jelek dengan orang tua,
ditekan oleh teman-teman, ataupun gurunya yang tidak
menarik.

M. Teori-teori Atribusi
1. Teori Correspondent Inference (penyimpulan terkait)
Teori ini dikemukakan oleh Jones dan Davis (dalam
Baron dan Byrne, 2003: 49-51). Menurut teori ini
perlunya memusatkan perhatian pada perilaku yang dapat
memberikan informasi, yaitu:
a. Perilaku yang timbul karena kemauan orang itu sendiri
atau orang itu bebas memilih kelakuannya sendiri
perlu lebih diperhatikan dari pada perilaku karena
peraturan atau ketentuan atau tata cara atau perintah
orang lain. Misalnya, kasir yang cemberut atau satpam
yang tersenyum lebih mencerminkan keadaan dirinya
dari pada kasir yang harus tersenyum atau satpam yang
harus galak. Demikian juga mertua yang baik kepada
122
menantu (walaupun ia dapat saja galak) atau orang
yang memberi tempat duduk pada wanita tua di bus
yang penuh sesak (walaupun ia dapat saja tetap duduk)
benar-benar mencerminkan atribusinya sendiri karena
merekamempunyai pilihan sendiri.
b. Perilaku yang membuahkan hasil yang tidak lazim
lebih mencerminkan atribusi pelaku dari pada yang
hasilnya yang berlaku umum. Misalnya, wanita yang
mau dengan pria yang gendut, jelek, miskin, tapi
penuh perhatian, lebih dapat diandalkan cintanya dari
pada wanita yang suka kepada pria ganteng, kaya, dan
berpendidikan tinggi. Contoh lainnya, seorang lulusan
SMA yang pandai dan dapat diterima di fakultas
Kedokteran atau fakultas Ekonomi, tetapi Ia justru
memilih jurusan Ilmu Purbakala, lebih jelas
motivasinya dari pada siswa yang prestasinya rata-rata,
tetapi bersikeras masuk ke fakultas Kedokteran atau
ekonomi
c. Perilaku yang tidak biasa lebih mencerminkan atribusi
dari pada perilaku yang umum. Misalnya, seorang
pelayan toko menunjukkan toko lain kepada
pelanggannya yang menanyakan barang yang tidak
tersedia di toko tersebut. Contoh lainnya, seorang pria
122
muda yang mencintai wanita setengah baya yang
belum menikah.
2. Teori sumber perhatian dalam kesadaran (conscious
resources)
Teori ini menekankan proses yang terjadi dalam kognisi
orang yang melakukan persepsi (pengamatan). Gilbert
dkk. (dalam Sarlito Wirawan, 1999: 104-105)
mengemukakan bahwa atribusi harus melewati kognisi,
dan dalam kognisi melewati tiga tahap, yaitu:
a. Kategorisasi. Dalam tahap ini, pengamat
menggolongkan dulu perilaku orang yang diamati
(pelaku) dalam jenis atau golongan tertentu sesuai
denggan bagan atau skema yang sudah terekam dalam
kognisi pengamat (dinamakan skema kognisi).
Misalnya, dalam skema kognisi john sudah ada
golongan-golongan perilaku, yaitu ramah, bersahabat,
curang, mau menang sendiri dan sebagainya. Pada
awalnya john menggolongkan perilaku Wayan dalam
ramah dan bersahabat, tapi sejak Wayan membawa
kemenakannya tanpa persetujuannya, perilaku wayan
dikategorikan sebagai curang, dan tidak
memperhatikan teman.

122
b. Karakterisasi. Pengamat membuat atribusi kepada
pelaku berdasarkan kategorisasi tersebut. Jadi, John
memberi sifat baik hati dan bersahabat kepada Wayan
ketika Ia berada di Bali, sementara waktu di Jakarta
John mengatribusikannya sebagai curang, dan tidak
memperhatikan teman karena membawa
kemenakannya tanpa izin.
c. Koreksi. Tahap yang terakhir adalah mengubah atau
memperbaiki kesimpulan yang ada pada pengamat
tentang pelaku. Dalam kasus John, ia mengoreksi
simpulannya tentang Wayan dari orang yang ramah
dan bersahabat menjadi orang yang curang dan tidak
memperhatikan teman sejak John mendapat informasi
baru tentang perilaku Wayan selama Ia dan
kemenakannya berada di Jakarta.

N. Teori atribusi internal dan eksternal dari Kelly (1972;


Kelly & Michela, 1980)
Menurut teori ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk
menetapkan apakah perilaku beratribusi internal atau
eksternal, yaitu:
1. Konsensus. Consensus merupakan derajat kesamaan
reaksi orang lain terhadap stimulus atau peristiwa tertentu
122
dengan orang yang sedang kita observasi. Apakah suatu
perilaku cenderung dilakukan oleh semua orang pada
situasi yang sama. Makin banyak yang melakukannya,
makin tinggi consensus, dan sebaliknya.
2. Konsistensi. Konsisten adalah derajat kesamaan reaksi
seseorang terhadap stimulus atau peristiwa yang sama
pada waktu yang berbeda. Apakah pelaku yang
bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama di
masa lalu dalam situasi yang sama. Kalau “ya”,
konsistensinya tinggi, kalau “tidak”, konsistensinya rendah
3. Distingsi atau kekhususan. Distingsi merupakan
derajat perbedaan reaksi seseorang terhadap berbagai
stimulus atau peristiwa yang berbeda-beda. Apakah pelaku
yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang
sama di masa lalu dalam situasi yang berbeda-beda. Bila
seseorang memberikan reaksi yang sama terhadap stimulus
yang berbeda-beda, maka dapat dikatakan orang yang
bersangkutan memiliki distingsi yang rendah

O. Atribusi karena faktor lain (Baron & Byrne, 1994)


Kalau seorang ibu marah-marah kepada anaknya, atribusi
yang mungkin diberikan oleh orang yang menyaksikan
(pengamat) adalah bahwa ibu itu (pelaku) galak kepada
122
anaknya. Apalagi, jika marah-marah itu dilakukan di depan
orang lain yang seharusnya tidak menyaksikan perilaku seperti
itu (misalnya di hadapan guru anaknya), kesan atribusi
internal (ibu itu memang galak) akan lebih kuat lagi. Akan
tetapi, jika ibu itu marah karena tiba-tiba anaknya
menyeberang jalan sekenanya dan hampir tertabrak mobil,
simpulan pengamat cenderung pada atribusi eksternal dari
pada internal (pantas ibu itu marah-marah karena anaknya
nakal, melakukan hal yang berbahaya).

P. Kesalahan Atribusi
Bagaimanapun juga, pemberian atribusi bisa salah. Kesalahan
itu menurut Baron & Byrne (dalam Sarlito Wirawan Sarwono,
1999: 109-112) dapat bersumber dari beberapa hal, yaitu:
1. Kesalahan atribusi yang mendasar (fundamental
error)
Yaitu kecenderungan untuk selalu memberi atribusi
internal. Menurut Robert A. Baron dan Donn Byrne (2003:
58)  kesalahan atribusi fundamental merupakan
kecenderungan yang terlalu berlebihan dalam
memperhitungkan pengaruh faktor disposisi pada perilaku
seseorang. Padahal ada kemungkinan besar pula perilaku

122
perilaku disebabkan oleh faktor eksternal (adat, tradisi,
kebiasaan masyarakat, dan sebagainya).
2. Efek pelaku pengamat
Kesalahan ini adalah kecenderungan mengatribusi perilaku
kita yang disebabkan oleh faktor eksternal, sedangkan
perilaku orang lain disebabkan oleh faktor internal.
Misalnya, jika ada orang lain yang jatuh terpeleset, kita
katakana dia tidak hati-hati. Akan tetapi, jika kita sendiri
yang terpeleset dan jatuh, kita katakan bahwa lantainya
yang licin. Hal ini disebabkan karena kita memang
cenderung lebih sadar pada faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi perilaku kita dari pada yang mempengaruhi
perilaku orang lain. Oleh karena itu kita cenderung menilai
perilaku kita disebabkan faktor eksternal dari pada
internal. Proses persepsi dan atribusi sosial tidak hanya
berlaku dalam hubungan antar pribadi, melainkan juga
terjadi dalam hubungan antar kelompok, karena pada
hakikatnya prinsip-prinsip yang terjadi di tingkat individu
dapat digeneralisasikan ke tingkat antar kelompok.
3. Pengutamaan diri sendiri (self-serving biss)
Kesalahan mengutamakan diri sendiri adalah
kecenderungan mengatribusi perilaku kita yang positif
pada faktor-faktor internal, dan mengatribusi perilaku
122
yang negative pada faktor-faktor eksternal. Misalnya, jika
kita mengerjakan tugas dan mendapatkan pujian “tugas
yang luar biasa” mungkin kita akan menjabarkan dengan
faktor-faktor internal (kita berbakat, kita mengerjakannya
dengan serius, dan lain sebagainya), tetapi jika sebaliknya,
tugas kita mendapat celaan “tugas yang sangat buruk”
maka kemungkinan besar kita akan mengatakan bahwa
penyebabnya adalah faktor-faktor eksternal (dosen tidak
adil dalam memberi nilai, kita tidak punya cukup waktu
untuk mengerjakan, dan lain-lain).   Setiap orang
cenderung untuk membenarkan diri sendiri dan
menyalahkan orang lain. Dalam hubungan antarpribadi,
kecenderungan untuk memberi atribusi internal maupun
eksternal pada hal-hal yang negatif ini dipengaruhi oleh
kepribadian pengamat.

Q. Aplikasi Teori Atribusi


1. Atribusi dan depresi
Depresi adalah gangguan psikologis yang paling umum,
yang sering disebabkan oleh pola atribusi untuk
menyalahkan diri sendiri (self-defeating). Biasanya orang
depresi mengatribusi hasil-hasil negative dari prilaku
mereka yaitu faktor-faktor internal seperti sifat dan
122
ketidakmampuan. Sebaliknya hasil-hasil positif dinilai
sebagai hal yang bersifat temporer dan berasal dari faktor
eksternal seperti nasib baik atau pertolongan orang
lain.hasilnya orang tersebut tidak merasa memiliki, atau
sedikit sekali, kontrol atas hal-hal yang terjadi pada
dirinya. Akhirnya mereka menjadi demikian depresi dan
cenderung mudah menyerah dalam hidup.
Berbagai teknik terapi yang bertujuan untuk membuat
orang yang depresi merubah atribusinya yaitu dengan
mulai memberi nilai tambah personal pada kesuksesan
mereka, berhenti menyalahkan diri sendiri atas setiap
kegagalan, dan mencoba memandang beberapa kegagalan
tersebut sebagai faktor eksternal yang ada diluar
jangkauan mereka. Terapi seperti ini tidak mengeksplorasi
lebih dalam tentang berbagai hal seperti kehendak yang
terpendam, konflik pribadi, atau peristiwa-peristiwa
traumatik yang terjadi semasa kecil.
2. Atribusi dan prasangka
Misalnya, ketika ada seorang berasal dari dari kelompok
minoritas yang melamar pekerjaan kemudian ditolak.
Orang itu berprasangka bahwa ia ditolak karena dia
berasal dari kelompok minoritas.

122
R. Kesalahan Atribusi
Menurut Baron dan Byrne (1994) kesalahan bersumber pada
beberapa hal, yaitu:
1. Kesalahan atribusi yang mendasar (the fundamental
attribution error)
Kesalahan atribusi yang mendasar ini diakibatkan
kecenderungan untuk selalu memberi internal dalam
melihat perilaku seeorang. Misalnya di kantor akademik
fakultas dakwah dan ilmu komunikasi, salah seorang
petugasnya marah pada salah seorang mahasiswa yang
ingin urusannya serba cepat, atau lebih dulu diselesaikan.
Oleh karena itu mahasiswa tersebut tidak mematuhi
aturan-aturan yang ada, petugas akademik tersebut marah.
Orang akan mengambil kesimpulan bahwa pegawai
kelurahan merupakan orang yang pemarah, tidak sabar,
dan sebagainya. Cara mengatribusi seperti diatas mungkin
tidak tepat, karena ada kemungkinan bahwa orang tersebut
marah karena memang didorong oleh factor situasi atau
factor eksternal, jadi bukan semata-mata factor internalnya
saja.
2. Efek pelaku-pengamat (the actor-observer effect)
Proses persepsi dan atribusi sosial tidak hanya berlaku
dalam hubungan antarpribadi, melainkan juga terjadi
122
dalam hubungan antar kelompok, karena pada hakikatnya
prinsip-prinsip yang terjadi ditingkat individu dapat
digeneralisasikan ke tingkat antar kelompok. Kesesatan
disini adalah orang melihat prilaku orang lain hanya dari
factor dalam, sedangkan kalau perilakunya sendiri hanya
dilihatnya dari luar. Misalnya A melihat si B jatuh, si A
beranggapan si B jatuh karena tidak hati-hati. Sedangkan
apabila si A sendiri yang jatuh, si A akan mengatakan dia
jatuh karena jalannya licin, sepatunya rusak, dan
sebagainya.
3. Pengutamaan diri sendiri (the self-serving bias)
Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri sendiri
dan menyalahkan orang lain. Bila orang mengalami
keberuntungan, maka orang akan mengatakan itu
disebabkan factor internal, sedangkan kegagalan dirinya
disebabkan factor eksternal. Misalnya si B berhasil
mendapatkan nilai yang bagus, si A akan menunjukkan
bahwa si B berhasil karena si B rajin belajar,
intelegensinya tinggi, dan sebagainya. Sebaliknya jika A
yang mendapatkan nilai yang buruk, si A akan
menunjukkan bahwa nilainya jelek diakibatkan soalnya
terlalu sulit, dosennya pelit dan sebagainya. Maka
timbullah pertanyaan dibenak kita, mengapa dia
122
melakukan demikian? Dalam menjawab pertanyaan ini,
ada beberapa pendapat, yaitu:
a. Orang mengambil sikap demikian untuk
mempertahankan harga dirinya, yaitu bahwa seakan-
akan sesuatu yang tidak baik itu disebabkan dari factor
luar dirinya. Dengan demikian harga dirinya tidak
jatuh.
b. Orang mengambil sikap itu, orang lain akan tetap
respek padanya, karena hal-hal yang tidak baik itu
disebabkan oleh factor-faktor luar dirinya, sehingga
dengan demikian masyarakat akan tetap
menghargainya, dan ini disebut self-presentation.

122
BAB V
KOGNISI SOSIAL

Kognisi social adalah tata cara di mana kita


menginterpretasi, menganalisa, mengingat, dan menggunakan
informasi tentang dunia social. Kognisi social dapat terjadi secara
otomatis. Contonya, saat kita melihat seseorang dari suatu ras
tertentu (Cina, misalnya), kita seringkali secara otomatis langsung
berasumsi bahwa orang tersebut memiliki ciri/sifat tertentu.
Kapasitas kognitif kita juga terbatas. Selain itu, terdapat suatu
hubungan antara kognisi dan afeksi (bagaimana kita berpikir dan
bagaimana kita merasa).

A. Skema
Komponen dasar kognisi social adalah skema (schema).
Skema (schema) adalah sruktur mental yang membantu kita
mengorganisasi informasi social dan menuntun pemrosesannya.
Skema berkisar pada suatu subyek atau tema tertentu.. dalam otak
kita, skema itu seperti scenario, yang memiliki alur. Skema di
otak kita terbenuk berdasarkan pengalaman yang pernah kita
alami sendiri atau diceritakan oleh orang lain. Contohnya, skema
kita tentang McD membuat kita tau bagaimana cara untuk makan
di McD sehingga begitu kita datang ke McD kita langsung ke
122
kasir untuk memesan makanan. Skema yang kita miliki akan
mempengaruhi sikap kita pada sesuatu.
Skema menimbulkan efek yang kuat terhadap 3 proses
dasar: perhatian atau atensi (attention), pengkodean
(encoding), dan mengingat kembali (retrieval). Skema terbukti
berpengaruh terhadap semua aspek dasar kognisi social (Wyer &
Srull, 1994). Dalam hubungannya dengan atensi, skema sering
kali berperan sebagai penyaring: informasi yang konsisten dengan
skema lebih diperhatikan dan lebih mungkin untuk masuk ke
dalam kesadaran kita. Informasi yang tidak cocok dengan skema
kita seringkali diabaikan (Fiske, 1993), kecuali iinformasi itu
sangat ekstrem. Pengkodean informasi apa yang dimasukkan ke
dalam ingatan informasi yang menjadi focus atensi lebih mungkin
untuk disimoan dalam ingatan jangka panjang. Mengingat
kembali informasi (retrieval) informasi apa yang paling siap
untuuk diingat secara umum, orang melaporkan informasi yang
konsisten dengan skema mereka, namun kenyataannya, informasi
yang tidak konsisten dengan skema juga dapat secara kuat muncul
dalam ingatan.
Skema juga memiliki kelemahan (segi negative). Skema
mempengaruhi apa yang kita perhatikan, apa yang masuk dalam
ingatan kita, dan apa yang kita ingat, sehingga terjadi distorsi pada
pemahaman kita terhadap dunia social. Skema memainkan peran
122
penting dalam pembentukan prasangka, dalam pembentukan satu
komponen dasar pada stereotip tentang kelompok-kelompok
social tertentu. Skema seringkali sulit diubah skema memiliki
efek bertahan (perseverance effect), tidak berubah nahan ketika
menghadapi informasi yang kontradiktif.
Kadang skema bisa memberikan efek pemenuhan
harapan diri (self-fulfilling) yaitu skema membuat dunia social
yang alami menjadi konsisten dengan skema yang kita miliki.
Contoh efek bertahan, ketika kita gagal kita berusaha menghibur
diri sendiri dengan berkata, “kamu hebat kok, ini karena
pertandingan yang tidak adil”, dsb. contoh ramalan yang
mewujudkan dirinya sendiri (self-full-filling Prophecy)
ramalan yang membuat ramalan itu sendiri benar-benar terjadi,
Skema guru untuk siswa yang minoritas yang menyebabkan guru
memperlakukan siswa minoritas itu secara berbeda (kurang
positif) sehingga menyebabkan prestasi siswa minoritas ini
menurun. Stereotip tidak hanya memiliki pengaruh namun bisa
melalui efek pemaastian dirinya, stereotip juga membentuk
realitas social.

B. Heuristic
Kejenuhan informasi (information overloaded) adalah
suatu keadaan di mana pengolahan informasi kita telah berada di
122
luar kapasitas kemampuan yang sesungguhnya sehingga menuntut
system kognitif yang lebih besar daripada yang bisa diolah.
Berbagai strategi untuk melebarkan kapasitas kognitif harus
memenuhi 2 persyaratan, yaitu: harus menyediakan cara yang
cepat dan sederhana untuk dapat mengolah informasi social dalam
jumlah yang banyak, dan harus dapat digunakan harus berhasil.
Namun, yang paling berguna adalah Heuristic yaitu aturan
sederhana untuk membuat keputusan kompleks atau untuk
menarik kesimpulan secara cepat dan seakan tanpa usaha yang
berarti. Heuristic ada 2 macam:
1. Heuristic keterwakilan (heuristic representativeness) yaitu
sebuah strategi untuk membuat penilaian berdasarkan pada
sejauh mana stimuli atau peristiwa tersebut mempunyai
kemiripan dengan stimuli atau kategori yang lain. Contoh: kita
mengenal Ratna sebagai pribadi yang teratur, ramah, rapi,
memiliki perpustakaan di rumahnya dan sedikit pemalu.
Namun kita tidak mengetahui pekerjaannya. Mungkin kita
langsung menilainya sebagai pustakawan. Dengan kata lain,
kita menilai berdasarkan: semakin mirip seseorang dengan
ciri-ciri khas orang-orang dari suatu kelompok, semakin
mungkin ia merupakan bagian dari kelompok tersebut.
2. Heuristic ketersediaan (availability heuristic) yaitu sebuah
strategi untuk membuat keputusan berdasarkan seberapa
122
mudah suatu informasi yang spesifik dapat dimunculkan
dalam benak kita. Heuristic ini dapat mengarahkan kita untuk
melebih-lebihkan kemungkinan munculnya peristiwa
dramatis, namun jarang, karena peristiwa itu mudah masuk ke
pikiran kita. Contoh: banyak orang merasa lebih takut tewas
dalam kecelakaan pesawat daripada kecelakaan di darat. Hal
ini karena fakta bahwa kecelakaan pesawat jauh lebih dramatis
dan menyedot lebih banyak perhatian media. Akibatnya,
kecelakaan pesawat lebih mudah terpikir sehingga
berpengaruh lebih kuat dalam penilaian individu. Heuristic ini
berhubungan dengan proses pemaparan awal (priming)
meningkatnya ketersediaan informasi sebagai hasil dari sering
hadirnya rangsangan atau peristiwa-peristiwa khusus.
Pemaparan awal bisa muncul bahkan ketika individu tidak
sadar akan adanya rangsangan yang telah dipaparkan
sebelumnya disebut juga pemaparan awal otomatis.
Cara lainnya adalah dengan pemrosesan otomatis
(automatic processing) yang terjadi ketika, setelah
berpengalaman melakukan suatu tugas atau mengolah suatu
onformasi tertentu yang seakan tanpa perlu usaha yang besar,
secara otomatis dan tidak disadari. Contohnya: saat pertama kali
belajar sepeda, kita memerlukan perhatian khusus dalam
mengendarainya. Seiring dengan berkembangnya keahlian
122
bersepeda kita, kita dapat melakukan tugas-tugas lain seperti
berbicara sambil bersepeda. Begitu teraktivasi, skema dapat
menimbulkan efek perilaku yang otomatis.

C. Sumber-Sumber yang Berpotensi Menimbulkan


Kesalahan dalam Kognisi Social
1. Bias negativitas, yaitu kecenderungan memberikan
perhatian lebih pada informasi yang negative
dibandingkan dengan informasi positif, satu saja informasi
negative akan memiliki pengaruh yang lebih kuat. Contoh:
kita diberitahu bahwa dosen yang akan mengajar nanti
adalah orang yang pintar, masih muda, ramah, baik hati,
cantik, namun diduga terlibat skandal seks. Bias negative
menyebabkan kita justru terpaku pada hal yang negative
dan mengabaikan hal-hal positif.
2. Bias optimistic, yaitu suatu predisposisi untuk
mengharapkan agar segala sesuatu dapat berakhir baik.
Kebanyakan orang percaya bahwa mereka memiliki
kemungkinan yang lebih besar dari orang lain untuk
mengalami peristiwa negative dan kemungkinan lebih
kecil untuk mengalami peristiwa negative. Contoh:
pemerintah seringkali mengumumkan rencana yang terlalu
optimis mengenai penyelesaian proyek-proyek besa jalan,
122
bandara baru, dsb. hal ini mencerminkan kesalahan
perencanaan. Namun, ketika individu memperkirakan akan
menerima umpan balik atau informasi yang mungkin
negative dan memiliki konsekuensi penting, tampaknya ia
justru sudah bersiap menghadapi hal yang buruk (brancing
of loss) dan menunjukkan kebalikan dari pola optimistic:
mereka menjadi pesimis.
3. Kerugian yang mungkin terjadi akibat terlalu banyak
berpikir. Terkadang terlalu banyak berpikir dapat
menyeret kita ke dalam kesulitan kognoitif yang serius.
Mencoba berpikir sistematis dan rasional mengenai hal-hal
penting adalah penting.
4. Pemikiran konterfaktual, yaitu memikirkan sesuatu yang
berlawanan dari keadaan sekarang. Efek dari memikirkan
“apa yang akan terjadi seandainya”. Contoh: ketika
selamat dari kecelakaan pesawat, Andi justru memikirkan,
“bagaimana bila saya tidak langsung terjun tadi, saya
sudah mati pastinya, lalu bagaimana nasib keluarga saya
sepeninggalan saya?”, dsb. pemikiran konterfaktual dapat
secara kuat berpengaruh terhadap afeksi kita. Inaction
inertia kelambanan apatis muncul ketika individu
memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu sehingga

122
kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hasil yang
positif.
5. Pemikiran magis, yaitu berpikir dengan melibatkan
asumsi yang tidak didasari alasan yang rasional. Contoh:
supaya ujian lulus, “Raju” berdoa banyak-banyak dan
memakai banyak cincin.
6. Menekan pikiran, yaitu usaha untuk mencegah pikiran-
pikiran tertentu memasuki alam kesadaran. Proses ini
melibatkan 2 komponen, yaitu: proses pemantauan yang
otomatis yang mencari tanda-tanda adanya pemikiran yang
tidak diinginkan yang memaksa untul muncul kealam
kesadaran. Ketika pikiran tersebut terdeteksi, proses kedua
terjadi, yaitu mencegah agar pikiran tersebut tetap berada
di luar kesadaran tanpa mengganggu pikiran yang lain.
Contoh: “Anti” yang ikut program diet menekan
pikirannya akan makanan-makanan manis.

D. Afeksi dan Kognisi


Perasaan kita dan suasana hati memiliki pengaruuh yang
kuat terhadap beberapa aspek kognisi, dan kognisi juga berperan
kuat pada perasaan dan suasana hati kita. Suasana hati saat ini
dapat secara kuat mempengaruhi reaksi kita terhadap rangsang
yang baru pertama kali kita temui.
122
Contoh: ketika kita sedang bergembira karena berkenalan
dengan orang baru, penilaian kita terhadap orang tersebut pastinya
lebih baik dibanding saat kita berkenalan dengannya, ketika kita
bersedih. Pengaruh afek lainnya adalah pengaruh pada ingatan.
Ingatan yang bergantung pada suasana hati (Mood-Dependent
Memory) yaitu apa yang kita ingat saat berada dalam suasana hati
tertentu, sebagian besar ditentukan oleh apa yang kita pelajari
sebelumnya ketika kita berada dalam suasana hati tersebut.
Pengaruh kedua dikenal dengan efek kesesuaian suasana hati
(mood-congruence effects) yaitu kecenderungan untuk
menyimpan atau mengingat informasi positif ketika berada dalam
suasana hati positif dan informasi negattif ketika berada dalam
suasana hati yang negative. Suasana hati saat ini juga berpengaruh
pada komponen kognisi lain yaitu kreativitas. Informasi yang
emosional (emotional contamination) yaitu suatu proses penilaian,
emosi atau perilaku kita dipengaruhi oleh pemrosesan mental
yang tidak disadari dan tidak terkontrol (Wilson & Brekke, 1994).
Kognisi juga dapat mempengaruhi afeksi yang dijelaskan
oleh teori emosional dua factor (two-factor theory of emotion)
(Schachter, 1964) yang menjelakan bahwa kita sering tidak
mengetahui perasaan atu sikap kita sendiri. Sehingga, kita
menyimpulkannya dari lingkungan dari situasi di mana kita
mengalami reaksi-reaksio internal ini. Contohnya: ketika kita
122
mengalami perasaan tertentu atas kehadiran seseorang yang
menarik, kita menyimpulkan bahwa kita sedang jatuh cinta. Selain
itu, kognisi bisa mempengaruhi emosi melalui aktivitas skema
yang di dalamnya terdapat komponen afektif yang kuat. Skema
atau stereotip yang teraktivasi dengan kuat dapat sangat
berpengaruh pada perasaan atau suasana hati kita saat ini. Selain
itu, Pikiran bisa mempengaruhi afeksi melibatkan usaha kita
dalam mengatur emosi kita.

122
BAB VI
SIKAP

A. Pengertian, Definisi dan Faktor yang Mempengaruhi


W.J Thomas (dalam Ahmadi, 1999), yang memberikan
batasan sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat
positif maupun negatif, yang berhubungan dengan obyek
psikologi. Obyek psikologi di sini meliputi : simbol, kata-kata,
slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya.

B. Terori Sikap
Allport (dalam Hogg, 2004) mendefinisikan sikap sebagai
sebuah kecendrungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu
dalam situasi sosial. Sikap merujuk pada evaluasi individu
terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi
tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu terhadap
isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek (Baron, 2004).
Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk
munculnya suatu tindakan. Fenomena sikap adalah mekanisme
mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai
perasaan, dan akan ikut menetukan kecendrungan perilaku kita
terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi, bahkan terhadap
diri kita sendiri. Pandangan dan perasaan kita terpengaruh oleh
122
ingatan akan masa lalu, oleh apa yang kita ketahui dan kesan kita
terhadap apa yang sedang kita hadapi saat ini (Azwar, 2005).
Azwar (2005:27), menggolongkan definisi sikap dalam
tiga kerangka pemikiran :
1. Pertama, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi
perasaan. Berarti sikap seseorang terhadap suatu objek adalah
perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable)
pada objek tersebut.
2. Kedua, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi
terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu.
3. Ketiga skema triadik (triadic schema).
Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi
komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi
didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu
objek.
Para ahli Psikologi sosial mengklasifikasikan pemikiran
tentang sikap, dalam dua pendekatan. Pendekatan yang pertama
memandang sikap sebagai kombinasi reaksi aktif, perilaku, dan
kognitif terhadap suatu objek (Breckler, 1984; Katz &Stotland,
1959; Rajecki, 1982; dalam Brehm & Kassin, 1990; dalam Azwar,
2005). Di sini Secord dan Bacman (1964) membagi sikap menjadi
tiga komponen yaitu Komponen kognitif, adalah komponen yang
122
terdiri dari pengetahuan. Komponen afektif, adalah komponen
yang berhubungannya dengan perasaan senang atau tidak senang,
sehingga bersifat evaluatif. Komponen konatif, adalah komponen
sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berperilaku yang
berhubungan dengan objek sikap. Pendekatan kedua ialah
pendekatan yang timbul karena adanya ketidakpuasan atas
penjelasan mengenai inkonsistensi yang terjadi diantara ketiga
komponen kognitif, afektif, dan perilaku dalam membentuk sikap
(Brehm & Kassian, 1990).
Psikolog sosial memandang sikap sebagai hal yang
penting bukan hanya kerena sikap itu sulit untuk diubah, tetapi
karena sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial individu
meskipun sikap tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang
tampak dan juga karena sikap seringkali mempengaruhi tingkah
laku individu terutama terjadi saat sikap yang dimiliki kuat dan
mantap (Baron, 2004).
Berdasarkan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan
kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil
interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang
saling bereaksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku
terhadap suatu objek.

122
C. Definisi Sikap
Menurut Sarnoff (dalam Sarwono, 2000)
mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi
(disposition to react) secara positif  (favorably) atau secara negatif
(unfavorably) terhadap obyek – obyek tertentu. D. Krech dan R.S
Crutchfield (dalam Sears, 1999) berpendapat bahwa sikap sebagai
organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional,
emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia
individu.
Sedangkan La Pierre (dalam Azwar, 2003) memberikan
definisi sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan
antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi
sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli
sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Soetarno (1994)
memberikan definisi sikap adalah pandangan atau perasaan yang
disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu.
Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap
tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang,
peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.
Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi
berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia
yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan
122
sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek
situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga
memberikan kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau
negatif terhadap obyek atau situasi.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap


Proses belajar sosial terbentuk dari interaksi sosial. Dalam
interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap
berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai
faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah:
1. Pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi dasar
pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus meninggalkan
kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk
apabila pengalaman pribadi tersebut melibatkan faktor
emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan
akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama
berbekas.
2. Kebudayaan. B.F. Skinner (dalam, Azwar 2005) menekankan
pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam
membentuk kepribadian seseorang. Kepribadian tidak lain dari
pada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan
sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang dimiliki.

122
Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku
tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.
3. Orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu
bersikap konformis atau searah dengan sikap orang orang
yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain
dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan
untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap
penting tersebut.
4. Media massa. Sebagai sarana komunikasi, berbagai media
massa seperti televisi, radio, mempunyai pengaruh besar
dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Adanya
informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.
Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila
cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam
mempersepsikan dan menilai sesuatu hal sehingga
terbentuklah arah sikap tertentu.
5. Institusi Pendidikan dan Agama. Sebagai suatu sistem,
institusi pendidikan dan agama mempunyai pengaruh kuat
dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan
dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara

122
sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6. Faktor emosi dalam diri. Tidak semua bentuk sikap
ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi
seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan
pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat
sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan
tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan
lebih tahan lama. contohnya bentuk sikap yang didasari oleh
faktor emosional adalah prasangka.

E. Komponen Sikap
Sikap dibagi menjadi tiga komponen yaitu kognitif,
afektif, dan konatif. Komponen kognitif, adalah komponen yang
terdiri dari pengetahuan. Komponen afektif, adalah komponen
yang berhubungannya dengan perasaan senang atau tidak senang,
sehingga bersifat evaluatif.
Komponen konatif, adalah komponen sikap yang berupa
kesiapan seseorang untuk berperilaku yang berhubungan dengan
objek sikap (dalam Azwar, 2005:37).

122
Mann (dalam Azwar, 2005) menjelaskan bahwa
komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotype
yang dimilki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen
kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama
apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.
Kompoenen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek
sikap dan menyangkut masalah emosi.
Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling
dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling
bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan
mengubah sikap seseorang. Komponen perilaku berisi tendensi
atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap
sesuatu dengan cara-cara tertentu.

F. Pembentukan Sikap
Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami oleh
individu. Sikap dibentuk sepanjang perkembangan hidup manusia.
Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sosialnya,
seseorang membentuk sikap tertentu. Dalam interaksi sosial
terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang
satu dengan yang lain. Melalui interaksi sosialnya individu
bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap objek psikologis
yang dihadapinya (Azwar, 2005).
122
G. Sikap dan Perilaku
Sikap menjadi perilaku dapat dilihat dalam dua pendekatan.
Pertama, teori perilaku beralasan mengatakan bahwa seseorang
akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan
itu positif dan ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia
melakukannya.
Kedua, teori perilaku terencana menyatakan keyakinan-
keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu,
pada norma-norma subjektif, dan pada control perilaku yang
dihayati. Sikap terhadap sutu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan
bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang
diinginkan atau tidak diinginkan.

H. Konsistensi Sikap-Perilaku
Sikap merupakan suatu respon evaluatif. Respon hanya
akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti
bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya
didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi
kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk,
positif-negatif, menyenangkantidak menyenangkan, yang
kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek
sikap. Potensi reaksi itu akhirnya dinytakan dalam bentuk reaksi
122
perilaku yang konsisten atau sesuai apabila individu dihadapkan
pada stimulus sikap.
Postulat konsistensi tergantung menyatakan bahwa
hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh factor-faktor
situasional/kondisi apa, waktu apa, dan situasi bagaimana saat
individu tersebut harus mengekspresikan sikapnya merupakan
sebagian dari determinan-determinan yang sangat berpengaruh
terhadap konsistensi antara sikap dengan pernytaannya dan antar
pernytaan sikap dan perilaku. Sikap seharusnya dipandang sebagai
suatu predisposisi untuk berprilaku yang akan tampak actual
hanya bila kesempatan untuk menyatakannya terbuka luas. Mann
(1969) mengatakan bahwa sekalipun sikap merupakan
predisposisi evaluative yang banyak menetukan bagaimann
individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali
jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya
ditentukan oleh sikap semata, akan tetapi oleh berbagai factor
eksternal lainnnya. Pada dasarnya, sikap memang lebih bersifat
pribadi sedangkan tindakan atau kelakuan lebih bersifat umum
atau social, karena itu tindakan lebih peka terhadap tekanan-tekan
sosial.

122
I. Perubahan Sikap
Proses perubahan sikap selalu dipusatkan pada cara-cara
manipulasi atau pengendalian situasi dan lingkungan untuk
menghasilkan perbahan sikap ke arah yang dikehendaki. Dasar-
dasar manipulasi diperoleh dari pemamahaman mengenai
organisasi sikap, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
dan proses perubahan sikap.
Pada teori Kelman (dalam Azwar, 2005) ditunjukkan
bagaimana sikap dapat berubah melaui tiga proses yaitu
kesediaan, identifikasi, dan internalisasi. Kesediaan terjadi ketika
individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau dari
kelompok lain dikarenakan individu berharap untuk memperolah
reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Identifikasi
terjadi saat individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau
sikap sekelompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan
apa yang dianggap individu sebagai bentuk hubungan yang
menyenangkan antara individu dengan pihak lain termaksud.
Internalisasi terjadi saat individu menerima pengaruh dan
bersedia bersikap menurut pengaruh itu dikarenakan sikap
tersebut sesuai dengan apa yang dipercayai individu dan sesuai
dengan sistem nilai yang dianutnya (Azwar, 2005).
Proses mana yang akan terjadi dari ketiga proses tersebut
banyak bergantung pada sumber kekuatan pihak yang
122
mempengaruhi, berbagai kondisi yang mengendalikan masing-
masing proses terjadinya pengaruh, dan implikasinya terhadap
permanensi perubahan sikap (Kelman, dalam Azwar 2005).

J. Definisi Disonansi Kognitif


Menurut Festinger (1957:3) disonansi kognitif adalah
ketidaksesuaian yang terjadi antara dua elemen kognitif yang
tidak konsisten yang menyebabkan ketidaknyamanan Psikologis
serta memotivasi orang untuk berbuat sesuatu agar disonansi itu
dapat dikurangi. Istilah disonansi/disonan berkaitan dengan istilah
konsonan dimana keduanya mengacu pada hubungan yang ada
antara elemen. Elemen-elemen yang dimaksud adalah elemen
kognitif (Festinger, 1957).
Hubungan antara elemen kognitif yang konsonan berarti
adanya suatu kesesuaian antara elemen kognitif manusia
(Festinger, 1957 dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006).
Sementara hubungan yang disonan seperti yang juga diungkapkan
oleh Festinger (1957) : “These two elements are in a dissonant
relation if, considering these two alone, the observe of one
element would follow from the other”
Contoh hubungan yang disonan antara elemen kognitif
menurut Festinger (1957:21) yaitu jika seseorang tahu bahwa ia
sedang terlilit hutang dan dia membeli sebuah mobil baru, maka
122
akan terjadi hubungan yang disonan antara kedua elemen kognitif
tersebut. Festinger juga menyatakan bahwa hubungan yang
konsonan antara elemen kognitif menghasilkan perasaan yang
menyenangkan, sementara hubungan yang disonan akan
menyebabkan perasaan yang tidak enak atau tidak nyaman pada
individu. Perasaan tidak nyaman yang terbentuk akibat hubungan
yang disonan tersebut memotivasi individu untuk melakukan
sesuatu agar disonansi itu dapat dikurangi sehingga mereka akan
merasa nyaman kembali (1957:22, dalam Breckler, Olson, &
Wiggins, 2006:33).
Setiap hubungan yang disonan tentu saja tidak sama
besarnya, dimana Festinger (dalam Breckler, Olson, & Wiggins,
2006) menyatakan bahwa tingkat kepentingan dari elemen-elemen
kognitif mempengaruhi besarnya disonansi yang terjadi. Semakin
penting atau semakin bernilainya suatu elemen kognitif akan
mempengaruhi besarnya hubungan yang disonan antara elemen
tersebut. Breckler, Olson, & Wiggins, (2006) juga menyatakan
bahwa disonansi antara elemenelemen kognitif yang penting akan
menyebabkan perasaan negatif yang lebih besar dibandingkan
disonansi pada elemen-elemen yang kurang penting. Sebagai
contoh yaitu, melukai perasaan sahabat akan lebih menimbulkan
disonansi yang besar dibanding ketika melukai perasaan orang
asing.
122
K. Sumber Disonansi Kognitif
Menurut Festinger (1957:22) sumber-sumber disonansi
kognitif, antara lain :
1. Inkonsistensi Logis (Logical Inconsistency)
Disonansi yang terjadi karena ketidak sesuaian elemen
kognitif dengan hal-hal logis yang ada. Contoh
inkonsistensi logis yang dikemukakan oleh Sarlito (1998)
keyakinan bahwa air membeku pada 0ºC, secara logis
tidak konsisten dengan keyakinan bahwa es balok tidak
akan mencair pada 40ºC.
2. Nilai-nilai Budaya (Culture Mores)
Perbedaan budaya yang menyebabkan terjadinya disonansi
kognitif. Contohnya: makan dengan tangan di pesta resmi
di Eropa menimbulkan disonansi, tetapi makan dengan
tangan di warung di Jakarta dirasakan sebagai konsonan
(Sarlito, 1998).
3. Pendapat Umum (Opinion Generality)
Disonansi dapat terjadi apabila pendapat yang dianut
banyak orang dipaksakan kepada pendapat perorangan.
Contohnya: seorang remaja yang senang menyanyi lagu
keroncong. Hal ini menimbulkan disonansi karena
pendapat umum percaya bahwa lagu keroncong hanya
merupakan kegemaran orang-orang tua (Sarlito, 1998).
122
4. Pengalaman Masa Lalu (Past Experience)
Jika kognisi tidak konsisten dengan pengetahuan pada
pengalaman masa lalu, maka akan muncul disonansi.
Contoh dari pengalaman masa lalu yang menjadi sumber
disonansi kognitif menurut Sarlito (1998) berdiri di hujan
tidak basah. Keadaan ini disonan karena tidak sesuai
dengan pengalaman masa lalu.

L. Cara Mengurangi Disonansi Kognitif


Adanya disonansi meningkatkan tekanan untuk
mengurangi atau bahkan mengeleminasi disonansi tersebut.
Semakin besar suatu disonansi kognitif yang terjadi, maka
intensitas perilaku yang dikeluarkan untuk mengurangi disonansi
tersebut akan semakin meningkat serta perilaku penghindaran
yang dapat meningkatkan disonansi juga akan semakin sering
dilakukan (Festinger, 1957).
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi
disonansi Kognitif menurut Festinger (1957) yaitu :
1. Mengubah Elemen Kognitif Tingkah Laku
Ketika disonansi terjadi antara elemen kognisi lingkungan
dengan elemen tingkah laku, disonansi dapat dihilangkan
dengan cara mengubah elemen kognisi tingkah laku agar
konsonan dengan elemen lingkungan. Sebagai contoh adalah
122
orang yang merokok dan dia tau bahwa rokok dapat
menyebabkan kanker paru-paru, akan berhenti merokok untuk
menghilangkan disonansi kognitif yang dia rasakan. Cara ini
paling sering dilakukan, tetapi tidak selalu dapat dilakukan
karena mengubah tingkah laku yang sudah menjadi kebiasaan
tidaklah mudah.
2. Mengubah Elemen Kognitif Lingkungan
Mengubah elemen lingkungan agar konsonan dengan elemen
kognitif tingkah laku dapat dilakukan untuk mengurangi atau
bahkan menghilangkan disonansi kognitif yang terjadi. Hal ini
tentu saja lebih sulit dibandingkan mengubah elemen tingkah
laku karena individu harus punya kontrol yang cukup terhadap
lingkungannya.
3. Menambah Elemen Kognitif yang Baru
Disonansi kognitif juga dapat dikurangi dengan cara
menambah elemen kognitif yang baru agar konsonan dengan
elemen kognitif yang lain. Dengan menambah elemen kognitif
yang baru maka disonansi kemungkinan akan berkurang
dengan menurunkan tingkatan dari pentingnya disonansi
tersebut. Contohnya orang yang merokok dan atau efek
negatif dari merokok akan mengurangi disonansi kognitif
yang terjadi dengan cara mencari informasi terkait perilaku
merokok yang dapat menurunkan disonansi kognitif secara
122
keseluruhan, seperti informasi bahwa konsumsi minuman
keras lebih mematikan dari pada perilaku merokok. Lewat
cara ini berarti individu juga secara aktif menghindari
informasi yang dapat meningkatkan disonansi kognitif yang
mereka alami. Menurut Breckler, Olson, & Wiggins, (2006;
172) cara mereduksi disonansi kognitif tersebut juga dapat
dilakukan lewat rasionalisasi, yaitu meyakinkan diri sendiri
bahwa perilaku yang dilakukan saat ini atau di masa lampau
semuanya masuk akal dan dapat diterima. Sedangkan menurut
Simon, Greenberg, & Brehm (1995, dalam Baron & Byrne,
2000) trivialization atau secara mental meminimalisir tingkat
kepentingan dari sikap atau perilaku yang tidak konsisten,
juga dapat dilakukan sebagai tehnik untuk mengurangi
disonansi kognitif yang dialami.

M. Pengertian Persepsi
Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin (1998:51), adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan
yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafslrkan
pesan. Menurut Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu proses
tentang petunjukpetunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman
masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan
kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu
122
situasi tertentu. Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard
(1991: 201) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana
kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam
lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan bahwa
persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh
seorang individu.
Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan
pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka
persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam
hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau
mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera
(Chaplin, 1989: 358)
Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya
respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang
sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian
diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit
baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard,
1991:209).
Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan stimulus
(inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau
penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang
dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga

122
orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai
dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986: 54).

N. Pembentukan Persepsi dan Faktor-Faktor yang


Menpengaruhi
Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi (dalam
Yusuf, 1991: 108) sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang
diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada
tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan
"interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses
seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka
akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan
yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi
ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan
yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung
ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap
informasi tersebut secara menyeluruh. Menurut Asngari (1984:
12-13) pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam atau
dahulu. memegang peranan yang penting.
Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi
seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-
hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal
(Rakhmat 1998:55). Selanjutnya Rakhmat menjelaskan yang
122
menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi
karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli.
Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang
mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut
pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986: 54). Selaras
dengan pernyataan tersebut Krech, dkk. (dalam Sri Tjahjorini
Sugiharto 2001: 19) mengemukakan bahwa persepsi seseorang
ditentukan oleh dua faktor utama, yakni pengalaman masa lalu
dan faktor pribadi. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
faktor pribadi adalah faktor insternal anggota Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM).

122
BAB VII
PRASANGKA

A. Pendahuluan
Dalam interaksi antara individu dalam suatu kelompok
atau masyarakat tertentu kadang-kadang dapat ditemukan orang-
orang yang menunjukkan prasangka terhadap individu atau
sekelompok orang tertentu. Prasangka adalah sikap nagatif
terhadap sesuatu. Objek prasangka dapat berupa individu
maupun suatu kelompok atau ras. Prasangka terhadap kelompok
disebut stereotip. Keduanya dapat mengakibatkan timbulnya
diskriminasi.
Prasangka dan diskriminasi merupakan dua istilah yang
sangat berkaitan. Seseorang yang mempunyai prasangka rasial
biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang
diprasangkainya. Meskipun demikian, bisa saja seseorang
bertindak diskriminatif tanpa didasari oleh suatu prasangka
ataupun sebaliknya, seseorang yang berprasangka dapat saja
bertindak tidak diskriminatif.
Prasangka adalah sikap, sedangkan diskriminasi
merupakan tindakan. Prasangka mengandung unsur emosi (suka-
tidak suka) dan pengambilan keputusan yang tergesa-gesa, tanpa
diawali dengan pertimbangan yang cermat. Biasanya ada unsur
122
ketidak adilan dalam prasangka, oleh karena keputusan yang
diambil didasarkan atas penilaian yang lebih subjektif atau
emosional dari pada  pertimbangan berdasarkan fakta objektif.
Tentu saja adanya prasangka ini dapat mengganggu interaksi
seseorang dengan orang yang diprasangkainya dan dapat
mengganggu interaksi dalam kelompok dimana mereka menjadi
anggota.

B. Pengertian Prasangka dan Diskriminasi


Prasangka adalah Sikap yang negatif terhadap sesuatu
tanpa ada alasan yang mendasar atas pribadi tersebut.
Diskriminasi adalah Pembedaan perlakuan terhadap sesama
warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi,
agama, dsb). Prasangka dan diskriminasi adalah stereotyping,
yaitu suatu kecenderungan untuk mengidentifikasi dan
mengeneralisasi setiap individu, benda dan sebagainya ke dalam
katagori-katagori yang sudah dikenal.
Prasangka dan diskriminasi berhubungan erat satu dengan
yang lainnya karena pada teorinya prasangka bersumber pada satu
sikap dan diskriminasi menunjuk pada satu sikap, prasangka dapat
menjadi dasar dari diskriminasi, dan pada akhirnya mereka akan
melakukan tindakan yang negatif. Contoh prasangka adalah
adanya persaingan antar individu secara berlebihan dalam suatu
122
lingkungan, misalnya persaingan antar karyawan dalam suatu
tempat kerja.
Sedangkan contoh diskriminasi adalah Cina sebagai
kelompok minoritas, sering menjadi sasaran rasial, walaupun
secara yuridis telah menjadi warga negara Indonesia dan dalam
UUD 1945 Bab X Pasal 27 dinyatakan bahwa semua warga
negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan. Apabila muncul suatu sikap berprasangka dan
diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau terhadap suku
bangsa , kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan
pertentangan-pertentangan yang lebih luas. Suatu contoh :
Beberapa peristiwa yang semula menyangkut berapa orang saja
bisa menjadi luas dan melibatkan sejumlah orang, misalnya akibat
berebut pacar antar geng motor bisa menyebabkan kerusuhan dan
meresahkan orang lain.
Prasangka merupakan sebuah tipe khusus dari sikap yang
cenderung kearah negatif sehingga konsekuensinya:
1. Berfungsi sebagai skema (kerangka pikir kognitif untuk
mengorganisasi, menginterpretasi dan mengambil informasi)
yang mempengaruhi cara memproses informasi.
2. Melibatkan keyakinan dan perasaan negatif terhadap orang
yang menjadi anggota kelompok sasaran prasangka.

122
C. Teori Prasangka
1. Teori Kategorisasi Sosial
Pembedaan kategorisasi bisa didasarkan pada persamaan
atau perbedaan. Misalnya persamaan tempat tinggal, garis
keturunan, warna kulit, pekerjaan, kekayaan yang relatif
sama dan sebagainya. Sedangkan perbedaan tempat
tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan, tingkat
pendidikan dan lainnya maka dikategorikan dalam
kelompok yang berbeda.
Mereka yang memiliki kelompok yang sama dalam satu
kelompok dikategorikan in group, sedangkan yang
berbeda kelompok dikategorikan out group.
Pengkategorian cenderung mengkontraskan antara kedua
pihak yang berbeda. Jika satu dinilai baik maka kelompok
lain cenderung dinilai buruk.
2. Teori Konflik-realistis
Teori ini memandang bahwa terjadinya kompetisi dan
konflik antar kelompok dapat meningkatkan
kecenderungan untuk berprasangka mendiskriminasi
anggota out group. Kompetisi yang terjadi antar dua
kelompok yang saling mengancam akan menimbulkan
permusuhan dan menciptakan penilaian yang negatif yang
bersifat timbal balik. Jadi prasangka merupakan
122
konsekuensi dari konflik nyata yang tidak dapat di
elakkan.
3. Teori Perbandingan Sosial
Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain
dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal hal yang
dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari
status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter
kepribadian, dan sebagainya. Konsekuensi dari
pembandingan adalah adanya penilain lebih baik atau
lebih buruk dari orang lain. Prasangka terlahir ketika orang
menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya
keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan
melahirkan prasangka (Myers 1999)
4. Teori Identitas Sosial
Berdasarkan teori ini, Henry Tajfel dan John Tunner
(1982) mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi
disebabkan oleh in group dan favoritsm yaitu
kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam
perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan in group
diatas out group. Orang memakai identitas sosialnya
sebagai sumber dari kebangggan diri dan harga diri.
Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat

122
identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat
harga diri.
5. Teori Deprivasi Relatif
Deprivasi Relatif adalah keadaan psikologis dimana
seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan atau
kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan
diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang lain
atau kelompok lain. Keadaan deprivasi bisa menimbulkan
persepsi adanya suatu ketidakadilan sehingga
menimbulkan terjadinya prasangka.
6. Teori Frustrasi-Agresi
Prasangka merupakan manifestasi dari displaced
aggrsion sebagai akibat dari frustrasi. Asumsi dasar dari
teori ini adalah jika tujuan seseorang dirintangi atau
dihalangi, maka individu tersebut akan mengalami
frustrasi. Frustrasi yang dialami akan membawa individu
tersebut pada perasaan bermusuhan terhadap sumber
penyebab frustrasi. Hal itulah yang menyebabkan individu
seringkali mengkambing hitamkan individu lain yang
kurang memiliki kekuasaan.
7. Teori Belajar Sosial
Menurut teori ini prasangka biasanya diperoleh anak-anak
melalui proses sosialisasi. Anak-anak banyak yang
122
menginternalisasikan norma norma mengenai stereotipe
dan perilaku antar kelompok yang ditetapkan oleh orang
tua dan teman sebaya. Selain dari orang tua dan teman
sebaya, media massa juga menjadi sumber anak untuk
mempelajari stereotipe dan prasangka.

D. Sumber Prasangka
Sebab-sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi :
Konflik langsung antar kelompok. Berdasarkan Teori Konflik
Realistik (Realistic Conflict Theory) di mana prasangka muncul
karena kompetisi antar kelompok social untuk memperoleh
kesempatan atau komoditas yang berharga yang berkembang
menjadi rasa kebencian, prasangka dan dasar emosi. Contoh:
konflik antara para migrant dengan masyarakat setempat,
masyarakat setempat cenderung memiliki prasangka terhadap para
migrant ini karena para migrant lebih mampu untuk survive dan
berhasil wilayah barunya sehingga menimbulkan rasa kebencian
pada diri masyarakat setempat terhadap para migrant. Hal ini
dapat dilihat pada konflik yang terjadi di Ambon, atau
Kalimantan.
Pengalaman awal. Berdasarkan Teori Pembelajaran Sosial
(Social Learning Theory), prasangka dipelajari dan dikembangkan
dengan cara yang sama serta melalui mekanisme dasar yang sama,
122
seperti sikap yang lain yakni melalui pengalaman langsung dan
observasi/vicarious. Contoh: Santi sejak kecil sering mendengar
orangtuanya melontarkan komentar-komentar negatif terhadap
orang dari golongan etnis Tionghoa, maka Santi juga akan ikut
meyakini pandangan negatif orang tuanya tentang etnis Tionghoa
tersebut. Selain itu, media massa juga memiliki peran dalam
pembentukkan prasangka.
Kategorisasi Sosial, yakni kecenderungan untuk membuat
kategori social yang membedakan antara in-group—“kita”—
dengan out-group—“mereka”. Kecenderungan untuk memberi
atribusi yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompoknya
sendiri dari pada anggota kelompok lain terkadang dideskripsikan
sebagai kesalahan atribusi utama (ultimate attribution error), yang
sama seperti self serving bias hanya saja terjadi dalam konteks
antar kelompok. Kategori social ini menjadi prasangka, dapat
dijawab berdasarkan Teori Identitas Sosial (Identitty Theory) dari
Tajfel. Teori ini mengatakan bahwa individu berusaha
meningkatkan self-esteem mereka dengan mengidentifikasikan
diri dengan kelompok social tertentu. Namun, hal ini terjadi hanya
bila orang tersebut mempersepsikan kelompoknya lebih superior
dari pada kelompok lain yang menjadi pesaingnya.
Stereotip, kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari
pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok social tertentu dan
122
traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi
anggota kelompok-kelompok ini. Ketika sebuah stereotip
diaktifkan, trait-trait ini lah yang dipikirkan. Stereotip
mempengaruhi pemrosesan informasi social (diproses lebih cepat
dan lebih mudah diingat), sehingga mengakibatkan terjadinya
seleksi pada informasi—informasi yang konsisten terhadap
stereotip akan diproses sementara yang tidak sesuai stereotip akan
ditolak atau diubah agar konsisten dengan stereorip. Reaksi lain
terhadap informasi yang tidak konsisten adalah membuat
kesimpulan implicit yang mengubah arti informasi tersebut agar
sesuai dengan stereotip. Stereotip seperti penjara kesimpulan
(inferential prisons): ketika stereotip telah terbentuk, stereotip
akan membangun persepsi kita terhadap orang lain, sehingga
informasi baru tentang orang ini akan diinterpretasikan sebagai
penguatan terhadap stereotip kita, bahkan ketika hal ini tidak
terjadi.
Mekanisme kognitif lain: ©. Ilusi tentang hubungan
(illusory correlation) yaitu kecenderungan melebih-lebihkan
penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang relatif kecil.
Efek ini terjadi karena peristiwa yang jarang terjadi
menjadikannya lebih menonjol dan dengan mudah diingat. ©.
ilusi homogenitas Out-Group (illution of out-group homogeneity)
yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan orang-orang dari
122
kelompok lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang
serupa. Lawan dari kecenderungan tersebut adalah perbedaan in-
group (in-group differentiation) yaitu kecenderungan untuk
mempersepsikan anggota kelompoknya dalam menunjukkan
keragaman yang lebih besar satu sama lain (lebih heterogen)
daripada kelompok-kelompok lain.

E. Mengatasi Dampak Prasangka


1. Perbaikan kondisi sosial ekonomi, dengan program
pemerataan pembangunan oleh pemerintah
2. Perluasan kesempatan belajar bagi seluruh warga
Indonesia, tidak hanya dinikmati oleh kalangan atas saja.
3. Sikap terbuka dan sikap lapang serta selalu menjalin
komunikasi dua arah agar tidak terjadi kecurigaan antara
satu orang dengan lainnya.

F. Prasangka Berdasarkan Gender


Selama ini perbedaan derajat antara laki laki dan
perempuan sering menjadikan seseorang melakukan tindakan
diskriminasi. Dalam pandangan stereotip masyarakat wanita itu
adalah makhluk yang lemah, hanya boleh mengerjakan pekerjaan
rumah seperti memasak, merawat anak, membersihkan rumah dan
pekerjaan sederhana lainnya. Sedangkan para wanita tentu saja
122
tidak menerima akan hal tersebut, apalagi di dukung dengan
istilah emansipasi wanita yang dipelopori oleh RA Kartini
membuat para wanita lebih berani untuk mensejajarkan posisinya
dengan laki laki.
Nanum sebenarnya instilah emansipasi ini kadang
menjadikan ajang balas dendam bagi para wanita yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada laki laki. Belakangan
ini timbul diskriminasi yang melibatkan kekerasan fisik atau
seksual terhadap laki laki, hal ini dikarenakan dia ingin diakui
derajatnya dan tidak ingin di hina oleh para laki laki seperti para
wanita terdahulu yang sering menjadi korban kekejaman laki laki.
Saat ini juga negara telah membuat undang- undang
khusus tentang perlindungan hak perempuan, yang lebih diatur
dalam sejumlah undang-undang, seperti UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, UU No 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban, serta UU No
21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Dengan demikian Prasangka menunjukkan pada aspek
sikap sedangkan diskriminasi padatindakan. Menurut Morgan
(1966) sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara
positif atau negarif terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap
122
seseorang barudiketahui setelah ia bertindak atau beringkah laku.
Oleh karena itu bisa saja bahwa sikap bertentangan dengan
tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka
merupakankecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak
lanjut nya timbul tindakan, aksiyang sifatnya realistis. Dengan
demikian diskriminatif merupakan tindakan yangrelaistis,
sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri
individu masing-masing.
Prasangka bisa diartikan suatu sikap yangtelampau tergesa-gesa,
berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan
dibarengi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap
sesuaturealita. Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak dimuati
emosi-emosi atauunsure efektif yang kuat.

122
BAB VIII
KONSEP DIRI

A. Pendahuluan
Sebagai sebuah konstruk psikologi, konsep diri
didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan Hoffnung
(1994), misalnya, mendefinisikan konsep diri sebagai “suatu
pemahaman mengenai diri atau ide tentang konsep diri.“ Santrock
(1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi
bidang tertentu dari konsep diri. Sementara itu, Atwater (1987)
menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran
diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang tentang diri,
perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan
dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas
tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya,
yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal
self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang
mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain
melihat dirinya.
Menurut Burns (1982), konsep diri adalah hubungan
antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Sedangkan
Pemily (dalam Atwater, 1984), mendefisikan konsep diri sebagai
sistem yang dinamis dan kompleks diri keyakinan yang dimiliki
122
seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi,
nilai-nilai dan tingkah laku yang unik dari individu tersebut.
Sementara itu, Cawagas (1983) menjelaskan bahwa konsep diri
mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya,
karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya,
kelebihannya atau kecakapannya, kegagalannya, dan sebagainya.
Berdasarkan pada beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang konsep
diri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian
seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas
bagaimana cara kita melihat konsep diri sebagai pribadi,
bagaimana kita merasa tentang konsep diri, dan bagaimana.
Kemampuan berpikr seseorang. Setelah ter-install, konsep
diri akan masuk ke pikiran bawah sadar dan akan berpengaruh
terhadap tingkat kesadaran seseorang pada suatu waktu. Semakin
baik atau positif konsep diri seseorang maka akan semakin mudah
ia mencapai keberhasilan. Sebab, dengan konsep diri yang
baik/positif, seseorang akan bersikap optimis, berani mencoba
hal-hal baru, berani sukses dan berani pula gagal, penuh percaya
diri, antusias, merasa diri berharga, berani menetapkan tujuan
hidup, serta bersikap dan berpikir secara positif. Sebaliknya,
semakin jelek atau negatif konsep diri, maka akan semakin sulit
seseorang untuk berhasil. Sebab, dengan konsep diri yang
122
jelek/negatif akan mengakibatkan tumbuh rasa tidak percaya diri,
takut gagal sehingga tidak berani mencoba hal-hal yang baru dan
menantang, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa diri tidak
berguna, pesimis, serta berbagai perasaan dan perilaku inferior
lainnya.

B. Dimensi Konsep Diri


Para ahli psikologi juga berbeda pendapat dalam
menetapkan dimensi-dimensi konsep diri. Namun, secara umum
sejumlah ahli menyebutkan 3 dimensi konsep diri, meskipun
dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda. Calhoun dan
Acocella (1990) misalnya, menyebutkan dimensi utama dari
konsep diri, yaitu: dimensi pengetahuan, dimensi pengharapan,
dan dimensi penilaian. Paul J. Cenci (1993) menyebutkan ketiga
dimensi konsep diri dengan istilah: dimensi gambaran diri (sell
image), dimensi penilaian diri (self-evaluation), dan dimensi cita-
cita diri (self-ideal). Sebagian ahli lain menyebutnya dengan
istilah: citra diri, harga diri dan diri ideal.
1. Dimensi Pengetahuan
Konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang konsep
diri atau penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi
gambaran tentang diri saya. Gambaran diri tersebut pada
gilirannya akan membentuk citra. diri. Gambaran diri
122
tersebut merupakan kesimpulan dari pandangan kita dalam
berbagai peran yang kita pegang, seperti sebagai orang tua,
suami atau istri, karyawan, pelajar, dan seterusnya;
pandangan kita tentang watak kepribadian yang kita
rasakan ada pada diri kita, seperti jujur, setia, gembira,
bersahabat, aktif, dan seterusnya; pandangan kita tentang
sikap yang ada pada diri kita; kemampuan yang kita
miliki, kecakapan yang kita kuasai, dan berbagai
karakteristik lainnya yang kita lihat melekat pada diri kita.
Singkatnya, dimensi pengetahuan (kognitif) dari konsep
diri mencakup segala sesuatu yang kita pikirkan tentang
diri kita sebagai pribadi, seperti “saya pintar”, “saya
cantik”, “saya anak baik”, dan seterusnya. Persepsi kita
tentang diri kita seringkali tidak sama dengan kenyataan
adanya diri yang sebenarnya. Penglihatan tentang diri kita
hanyalah merupakan rumusan, definisi atau versi subjektif
pribadi kito tentang diri kita sendiri. Penglihatan itu dapat
sesuai atau tidak sesuatu dengan kenyataan diri kita yang
sesungguhnya. Demikian juga, gambaran diri yang kita
miliki tentang diri kita seringkali tidak sesuai dengan
gambaran orang lain atau masyarakat tentang diri kita.
Sebab, di hadapan orang lain atau masyarakat kita
seringkali berusaha menyembunyikan atau menutupi segi-
122
segi tertentu dari diri kita untuk menciptakan kesan yang
lebih baik. Akibatnya, di masa orang lain atau masyarakat
kita kerap tidal, tampak sebagaimana kita melihat konsep
diri (Centi, 1993). Gambaran yang kita berikan tentang diri
kita juga tidak bersifat permanen, terutama gambaran yang
menyangkut kualitas diri kita dan membandingkannya
dengan kualitas diri anggota kelompok kita. Bayangkan
bila Anda memberi gambaran tentang diri Anda sebagai
“anak yang pandai” karena Anda memiliki nilai tertinggi
ketika lulus dari suatu SMA. Namun, ketika Anda
memasuki suatu perguruan tinggi yang sangat sarat dengan
persaingan dan merasakan diri Anda dikelilingi oleh
siswa-siswa dari sejumlah SMA lain yang lebih pandai,
maka tiba-tiba Anda mungkin merubah gambaran diri
Anda sebagai “mahasiswa yang tidak begitu pandai”.
2. Dimensi Harapan
Konsep diri adalah dimensi harapan diri yang dicita-
citakan dimasa depan. Ketika kita mempunyai sejumlah
pandangan tentang siapa kita sebenarnya, pada saat yang
sama kita juga mempunyai sejumlah pandangan lain
tentang kemungkinan menjadi apa diri kita di masa
mendatang. Gambaran umum kita yang mempunyai
pengharapan bagi diri kita sendiri. Pengharapan ini
122
merupakan diri-ideal (self-ideal) atau diri yang dicita-
citakan. Cita-cita diri (self-ideal) terdiri alas dambaan,
aspirasi, harapan, keinginan bagi diri kita, atau menjadi
manusia seperti apa yang kita inginkan. Tetapi, perlu
diingat bahwa cita-cita diri belum tentu sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya dimiliki seseorang. Meskipun
demikian, cita-cita diri Anda akan menentukan konsep diri
Anda dan menjadi faktor paling penting dalam
menentukan perilaku Anda. Harapan atau cita-cita diri
Anda akan membangkitkan kekuatan yang mendorong
Anda menuju masa depan dan akan memandu aktivitas
Anda dalam perjalanan hidup Anda. Apapun standar diri
ideal yang Anda tetapkan, sadar atau tidak Anda akan
senantiasa berusaha untuk dapat memenuhinya. Oleh
sebab itu, dalam menetapkan standar diri ideal haruslah
lebih realistis, sesuai dengan potensi atau kemampuan diri
yang dimiliki, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu
rendah. Adalah sangat tidak realistis.
3. Dimensi Penilaian
Konsep diri adalah penilaian kita terhadap diri kita sendiri.
Penilaian konsep diri merupakan pandangan kita tentang
harga atau kewajaran kita sebagai pribadi. Menurut
Calhoun dan Acocella (1990), setiap hari kita berperan
122
sebagai penilai tentang diri kita sendiri, menilai apakah
kita bertentangan: 1) pengharapan bagi diri kita sendiri
(saya dapat menjadi apa), 2) standar yang kita tetapkan
bagi diri kita sendiri (saya seharusnya menjadi apa). Hasil
dari penilaian tersebut membentuk apa yang disebut
dengan rasa harga diri, yaitu seberapa besar kita menyukai
konsep diri. Orang yang hidup dengan standar dan
harapan-harapan untuk dirinya sendiri—yang menyukai
siapa dirinya, apa yang sedang dikerjakannya, dan akan
kemana dirinya – akan memiliki rasa harga diri yang
tinggi (high self-esteem). Sebaliknya, orang yang terlalu
jauh dari standar dan harapan-harapannya akan memiliki
rasa harga diri yang rendah (lowself-esteem). Dengan
demikian dapat dipahami bahwa penilaian akan
membentuk penerimaan terhadap diri (self-acceptance),
serta harga diri (self-esteem) seseorang. Konsep diri kita
memang tidak pernah terumuskan secara jelas dan stabil.
Pemahaman diri selalu berubah-ubah, mengikuti
perubahan pengalaman yang terjadi hampir setiap saat.
Seorang siswa yang memiliki harga diri tinggi tiba-tiba
dapat berubah menjadi rendah diri ketika gagal ujian
dalam suatu mata pelajaran penting. Sebaliknya, ada siswa
yang kurang berprestasi dalam studi dan dihinggapi rasa
122
rendah diri, tiba-tiba merasa memiliki harga diri tinggi
ketika ia berhasil memenangkan suatu lomba seni atau
olah raga.

C. Konsep Diri dan Perilaku


Konsep diri mempunyai peranan penting dalam
menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana seseorang
memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan
perilakunya. Artinya, perilaku individu akan selaras dengan
cara individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu
memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai
cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka
seluruh perilakunya Akan menunjukkan ketidak mampuan.
Menurut Felker (1974), terdapat tiga peranan penting konsep
diri dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu:
1. Self-Concept As Maintainer Of Inner Consistency.
Konsep diri memainkan peranan dalam mempertahankan
keselarasan batin seseorang. Individu senantiasa berusaha
untuk mempertahankan keselarasan batinnya. Bila
individu memiliki ide, perasaan, persepsi atau pikiran yang
tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi
situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk
menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu
122
mengubah perilaku atau memilih suatu sistem untuk
mempertahankan kesesuaian antara individu dengan
lingkungannya. Cara menjaga kesesuaian tersebut dapat
dilakukan dengan menolak gambaran yang diberikan oleh
lingkungannya mengenai dirinya atau individu berusaha
mengubah dirinya seperti apa yang diungkapkan likungan
sebagai cara untuk menjelaskan kesesuaian dirinya dengan
lingkungannya.
2. Self-Concept As An Interpretation Of Experience.
Konsep diri menentukan bagaimana individu memberikan
penafsiran atas pengalamannya. Seluruh sikap dan
pandangan individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan
pengalamannya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan secara
berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya,
karena masing-masing individu mempunyai sikap dan
pandangan yang berbeda terhadap diri mereka. Tafsiran
negatif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh
pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri.
Sebaliknya, tafsiran positif terhadap pengalaman hidup
disebabkan oleh pandangan dan sikap positif terhadap
dirinya.

122
3. Self-Concept As Set Of Expectations.
Konsep diri juga berperan sebagai penentu pengharapan
individu. Pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri.
Bahkan McCandless sebagaimana dikutip Felker (1974)
menyebutkan bahwa konsep diri seperangkat harapan-
harapan dan evaluasi terhadap perilaku yang merujuk pada
harapan-harapan tersebut. Siswa yang cemas dalam
menghadapi ujian akhir dengan mengatakan “saya
sebenamya anak bodoh, pasti saya tidak akan mendapat
nilai yang baik”, sesungguhnya sudah mencerminkan
harapan apa yang akan terjadi dengan hasil ujiannya.
Ungkapan tersebut menunjukkan keyakinannya bahwa ia
tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh nilai
yang baik, Keyakinannya tersebut mencerminkan sikap
dan pandangan negatif terhadap dirinya sendiri.
Pandangan negatif terhadap dirinya menyebabkan individu
mengharapkan tingkah keberhasilan yang akan dicapai
hanya pada taraf yang rendah. Patokan yang rendah
tersebut menyebabkan individu bersangkutan tidak
mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi yang
gemilang (Pudjijogyanti, 1988).

122
D. Konsep Diri dan Prestasi Belajar
Sejumlah ahli psikologi dan pendidikan berkeyakinan
bahwa konsep diri dan prestasi belajar mempunyai hubungan
yang erat. Nylor (1972) misalnya, mengemukakan bahwa
banyak penelitian yang membuktikan hubungan positif yang
kuat antara konsep diri dengan prestasi belajar di sekolah.
Siswa yang memiliki konsep diri positif, memperlihatkan
prestasi yang baik di sekolah, atau siswa yang berprestasi
tinggi di sekolah memiliki penilaian diri yang tinggi, serta
menunjukkan hubungan antarpribadi yang positif pula.
Mereka menentukan target prestasi belajar yang realistis dan
mengarahkan kecemasan akademis dengan belajar dengan
belajar keras dan tekun, serta aktivitas-aktivitas mereka selalu
diarahkan pada kegiatan akademis. Mereka juga
memperlihatkan kemandirian dalam belajar, sehingga tidak
tergantung kepada guru semata.
Untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan
prestasi belajar, Fink (dalam Burns, 1982) melakukan
penelitian dengan melibatkan sejumlah siswa laki-laki dan
perempuan yang dipasangkan berdasarkan tingkat inteligensi
mereka. Di samping itu mereka digolongkan berdasarkan
prestasi belajar mereka, yaitu kelompok berpretasi lebih
(overachievers) dan kelompok berprestasi kurang (un-
122
derachievers). Hal penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan konsep diri antara siswa yang tergolong
overachiever dan underachiever. Siswa yang overachiever
menunjukkan konsep diri yang lebih positif, dan hubungan
yang erat antara konsep diri dan prestasi belajar terlihat jelas
pada siswa laki-laki.
Penelitian Walsh (dalam Burns, 1982), juga
menunjukkan bahwa siswa-siswa yang tergolong
underchiever mempunyai konsep diri yang negatif, serta
memperlihatkan beberapa karakteristik kepribadian; 1)
mempunyai perasaan dikritik, ditolak dan diisolir; 2)
melakukan mekanisme pertahanan diri dengan cara
menghindar dan bahkan bersikap menentang; 3) tidak mampu
mengekspresikan perasaan dan perilakunya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut jelas
bahwa konsep dan prestasi belajar siswa di sekolah
mempunyai hubungan yang erat. Siswa yang berprestasi tinggi
cenderung memiliki konsep diri yang beda dengan siswa yang
berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan
memandang diri mereka sebagai orang yang tidak mempunyai
kemampuan dan kurang dapat melakukan penyesuaian diri
yang kuat dengan siswa lain. Mereka juga cenderung

122
memandang orang-orang di sekitarnya sebagai lingkungan
yang tidak dapat menerimanya.
Siswa yang memandang dirinya negatif ini, pada
gilirannya akan menganggap keberhasilan yang dicapai bukan
karena kemampuan yang dimilikinya, melainkan lebih mereka
kebetulan atau karena faktor keberuntungan saja. Lain halnya
dengan siswa yang memandang dirinya positif, akan
menganggap keberhasilan sebagai hasil kerja keras dan karena
faktor kemampuannya.

E. Karakteristik Perkembangan Konsep Diri Peserta Didik


Konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir.
Kita tidak dilahirkan dengan konsep diri tertentu. Bahkan
ketika kita lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak
memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak memiliki
pengharapan bagi diri kita sendiri, serta tidak memiliki
penilaian apa pun terhadap diri kita sendiri.
Dengan demikian, konsep diri terbentuk melalui proses
belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga
dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua
turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respons orang
tua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak
122
untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak yang tumbuh dan
dibesarkan dalam pola asuh yang keliru atau negatif, seperti
perilaku orangtua yang suka memukul, mengabaikan, kurang
memberikan kasih sayang, melecehkan, menghina, tidak
berlaku adil, dan seterusnya, ditambah dengan lingkungan
yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri
yang negatif. Hal ini adalah karena anak cenderung menilai
dirinya berdasarkan apa yang ia alami dan dapatkan dari
lingkungannya. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik
dan positif, maka anak akan merasa dirinya berharga, sehingga
berkembangan konsep diri yang positif.

F. Implikasi Perkembangan Konsep Diri  Peserta Didik


terhadap pendidikan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
konsep diri merupakan salah satu aspek penting dalam
perkembangan psikososial peserta didik. Konsep diri
memengaruhi perilaku peserta didik dan mempunyai
hubungan yang sangat menentukan proses pendidikan dan
prestasi belajar mereka. Peserta didik yang mengalami
permasalahan di sekolah pada umumnya menunjukkan tingkat
konsep diri yang rendah. Oleh sebab itu, dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, guru perlu
122
melakukan upaya-upaya yang memungkinkan terjadinya
peningkatan konsep diri peserta didik. Berikut ini akan
diuraikan beberapa strategi yang mungkin dapat guru
dilakukan guru dalam mengembangkan dan meningkatkan
konsep diri peserta didik.
1. Membuat siswa merasa mendapat dukungan dari
guru.
Dalam mengembangkan konsep diri yang positif, siswa
perlu mendapat dukungan dari guru. Dukungan guru uru.
ini dapat ditunjukkan dalam bentuk dukungan emosional
(emotional support), seperti ungkapan empati, kepedulian,
perhatian, dan umpan balik, dan dapat pula berupa
dukungan penghargaan (esteem support), seperti melalui
ungkapan hormat (penghargaan) positif terhadap siswa,
dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan
atau perasaan siswa dan perbandingan positif antara satu
siswa dengan siswa lain. Bentuk dukungan ini
memungkinkan siswa untuk maju membangun perasaan
memiliki harga diri, memiliki kemampuan atau kompeten
dan berarti.
2. Membuat siswa merasa bertanggungjawab.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat
keputusan sendiri atas perilakunya dapat diartikan sebagai
122
upaya guru untuk memberi tanggung jawab kepada siswa.
Tanggung jawab ini akan mengarahkan sikap positif siswa
terhadap konsep diri, yang diwujudkan dengan usaha
pencapaian prestasi belajar yang tinggi serta peningkatan
integritas dalam menghadapi tekanan sosial. Hal ini
menunjukkan pula adanya pengharapan guru terhadap
perilaku siswa, sehingga siswa merasa dirinya mempunyai
peranan dan diikutsertakan dalam kegiatan pendidikan.
3. Membuat siswa merasa mampu.
Ini dapat dilakukan dengan cara menunjukkan sikap dan
pandangan yang positif terhadap kemampuan yang
dimiliki siswa. Guru harus berpandangan bahwa semua
siswa pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya saja
mungkin belum dikembangkan. Dengan sikap dan
pandangan positif terhadap kemampuan siswa ini, maka
siswa juga akan berpandangan positif terhadap
kemampuan dirinya.
4. Mengarahkan Siswa untuk Mencapai Tujuan yang
Realistis.
Dalam upaya meningkatkan konsep diri siswa, guru harus
membentuk siswa untuk menetapkan tujuan yang hendak
dicapai serealistis mungkin, yakni tujuan yang sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya. Penetapan tujuan
122
yang realistis ini dapat dilakukan dengan mengacu pada
pencapaian prestasi di masa lampau. Dengan bersandar
pada keberhasilan masa lampau, maka pencapaian prestasi
sudah dapat diramalkan, sehingga siswa akan terbantu
untuk bersikap positif terhadap kemampuan dirinya
sendiri.
5. Membantu Siswa Menilai Diri Mereka Secara
Realistis.
Pada saat mengalami kegagalan, adakalanya siswa
menilainya secara negatif, dengan memandang dirinya
sebagai orang yang tidak mampu. Untuk menghindari
penilaian yang negatif dari siswa tersebut, guru perlu
membantu siswa menilai prestasi mereka secara realistis,
yang membantu rasa percaya akan kemampuan mereka
dalam menghadapi tugas-tugas sekolah dan meningkatkan
prestasi belajar di kemudian hari. Salain satu cara
membantu siswa menilai diri mereka secara realistis
adalah dengan membandingkan prestasi siswa pada masa
lampau dan prestasi siswa saat ini. Hal ini pada gilirannya
dapat membangkitkan motivasi, minat, dan sikap siswa
terhadap seluruh tugas di sekolah.

122
6. Mendorong siswa agar bangga dengan dirinya secara
realistis.
Upaya lain yang harus dilakukan guru dalam membantu
mengembangkan konsep diri peserta didik adalah dengan
memberikan dorongan kepada siswa agar bangga dengan
prestasi yang telah dicapainya. Ini adalah penting, karena
perasaan bangga atas prestasi yang dicapai merupakan
salah satu kunci untuk menjadi lebih positif dalam
memandang kemampuan yang dimiliki.

122
BAB IX
HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

A. Pendahuluan
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem
yang mengatur tentang tata cara manusia bergaul. Tata cara
pergaulan untuk saling menghormati biasa kita kenal dengan
sebutan sopan santun, tata krama, protokoler, dan lain-lain. Tata
cara pergaulan bertujuan untuk menjaga kepentingan komunikator
dengan komunikan agar merasa senang, tentram, terlindungi tanpa
ada pihak yang dirugikan kepentingannya dan perbuatan yang
dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku serta tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia secara umum. Tata cara
pergaulan, aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam
bermasyarakat dan menentukan nilai baik dan nilai tidak baik,
dinamakan etika.
Istilah etika berasal dari kata ethikus (latin) dan dalam
bahasa Yunani disebut ethicos yang berarti kebiasaan norma-
norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran baik dan
buruk tingkah laku manusia. Etika komunikasi adalah norma,
nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi di
suatu masyarakat. Beberapa pendpat para ahli mengenai
pengertian etika antara lain sebagai berikut; menurut Pendapat
122
Drs. D.P. Simorangkir, Etika atau etik adalah pandangan
manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
Sedangkan Pendapat Drs. Sidi Cjajalba, Etika ialah teori tentang
tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan
buruk sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.

B. Empat Etika Komunikasi yang Baik (Etiket), Teknik, dan


Implementasinya
Sebagai makhluk sosial, kita tentu tahu bahwa etika adalah
termasuk hal mendasar dalam kehidupan manusia. Terlebih lagi
kita sebagai orang Indonesia yang sedari kecil sudah biasa diajari
tentang sopan santun, tata krama, dan adat kebiasaan. Mengenai
bagaimana harus bersikap dengan orang lain, dan sebagainya.
Etika sendiri merupakan cabang utama ilmu filsafat yang
mempelajari mengenai nilai-nilai mengenai benar, salah, baik,
buruk, dan tanggung jawab yang menjadi standar dan penilaian
moral dalam masyarakat atau publik. Etika berasal dari bahasa
Yunani kuno, yaitu ethikos yang berarti timbul dari kebiasaan.
1. Etika Menurut Ahli
Meski kita sudah cukup familiar dengan etika, namun sebagai
cabang ilmu tentunya etika memiliki pengertian secara ilmiah.
Terdapat beberapa pengertian etika menurut para ahli, yaitu:

122
a. Prof. DR. Franz Magnis Suseno “Ilmu yang mencari
orientasi atau ilmu yang mmberikan arah dan pijakan
dalam tindakan manusia.”
b. James J. Spillane SJ “Etika adalah mempertimbangkan
dan memperhatikan tingkan laku manusia dalam
mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan moral,
yang mana lebih mengarah pada penggunaan akal budi
manusia untuk menentukan benar atau salah.”
c. Maryani dan Ludigd: “Seperangkat norma, aturan, atau
pedoman yang mengatur segala perilaku manusia, baik
yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan, yang
dianut oleh sekelompok masyarakat.
2. Jenis-Jenis Etika
Setelah memahami mengenai pengertian etika, selanjutnya
kita perlu memahami apa saja jenis-jenis etika. Secara garis
besar, etika dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
Sesuai dengan namanya, etika umum adalah etika yang
membahas mengenai kondisi dasar dan umum tindakan
manusia secara etis. Standar bertindak secara etis ini yang
kemudian dijadikan acuan untuk manusia dalam bertindak dan
bertingkah laku. Etika umum telah diterapkan sebagai tolak
ukur secara umum dalam menilai baik atau buruk dan benar
atau salah suatu hal atau tindakan. Beberapa standar yang
122
termasuk etika umum adalah adat-istiadat yang berlaku, norma
masyarakat, dan  norma agama.
3. Aliran Etika
Selain terbagi menjadi dua jenis, etika juga terbagi ke dalam
empat aliran. Aliran-aliran etika yaitu:
a. Deontologis,
Deontologis adalah etika yang memandang bahwa nilai
dari sebuah tindakan tidak dilihat dari tercapainya tujuan,
namun dari niat baik yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan tersebut.
b. Teologis.
Teologis Berbeda dengan etika deontologis yang tidak
mementingkan tujuan, etika ini memiliki tujuan atau akibat
dari sesuatu. Jadi etika ini menyatakan bahwa walaupun
manusia sudah memilliki niat baik dalam bertindak, tetap
saja harus diiringi dengan tujuan akhir yang baik juga.
c. Egoisme.
Egoisme Dalam egoisme, manusia memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan diri dengan hal-hal
yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dan tidak
mempedulikan orang lain. Egoisme adalah mementingkan
kepentingan dan urusan pribadi diatas kepentingan orang
lain, untuk mengejar tujuan pribadi.
122
d. Utilitarisme. 
Utilitarisme diambil dari kata latin utilis yang artinya
bermanfaat, utilitarisme adalah tindakan yang dilakukan
manusia untuk memberi manfaat kepada orang lain, baik
di sekitarnya maupun cakupan masyarakat yang lebih luas
lagi.

C. Etika dalam Komunikasi


Sebagai makhluk sosial, tentunya komunikasi tidak lepas
dari kehidupan sehari-hari kita. Dan seperti yang telah diulas
sebelumnya, komunikasi sebagai bagian dari kehidupan juga
memiliki etika di dalamnya. Etika komunikasi merupakan salah
satu dari etika khusus, karena membahas bagian tertentu dari
kehidupan manusia. 
Etika sendiri merupakan nilai dan norma yang berlaku
untuk dijadikan pandangan dan standar manusia dalam bertindak
dan bertingkah laku. Dalam kaitannya dengan komunikasi, etika
komunikasi mencakup segala nilai dan norma yang menjadi
standar dan acuan manusia dalam berkomunikasi dengan orang
lain. Etika komunikasi menilai mana tindakan komunikasi yang
baik dan buruk berdasarkan standar yang berlaku.
Karena komunikasi merupakan salah satu hal yang krusial
dalam kehidupan manusia, maka penting bagi kita untuk
122
memahami mengenai etika komunikasi. Tanpa adanya etika
komunikasi, dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti
kesalahpahaman, pertengkaran, perselisihan, dan lain sebagainya.
Selain itu, etika komunikasi yang tidak diketahui dan diterapkan
akan menyebabkan hubungan kita dengan orang lain jadi buruk.
Tentunya itu akan berakibat tidak baik, karena bagaimanapun juga
kita adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan dan
dibutuhkan orang lain.
Guna menghindari terjadinya hal-hal seperti itu, kita akan
membahas lebih lanjut mengenai etika komunikasi apa saja yang
penting dan mendasar dalam kehidupan sehari-hari.
Etika dalam komunikasi ada beragam dan tentunya tidak
akan cukup jika dibahas semua disini. Pada tulisan ini, kita akan
membahas beberapa etika dalam komunikasi yang sering kita
lakukan dan temui sehari-hari. 
1. Memulai Pembicaraan
Dalam keseharian, tentunya kita pernah bertemu dengan
keadaan  yang membuat kita harus atau ingin memulai
pembicaraan dengan orang lain. Namun ada hal-hal yang
harus diperhatikan, yaitu:
a. Lihat keadaan calon lawan bicara.
Apakah dia terlihat sedang sibuk atau terburu-buru? Kalau
iya, mungkin kita harus mencoba berbicara lain kali.
122
Karena nanti kita justru akan mengganggu orang itu dan
membuatnya tidak nyaman.
b. Ramah dan sopan.
Sapa lah lawan bicara anda dengan ramah dan sopan,
namun tidak terkesan dibuat-buat. Kita bisa mengajukan
pertanyaan basa-basi untuk pembuka seperti apa kabar,
mau kemana, dari mana, dan semacamnya.
c. Jangan hanya bicara, dengarkan juga.
Kebanyakan orang mengasumsikan komunikasi selalu
berkaitan dengan bicara, padahal tidak hanya itu.
Mendengarkan juga salah satu bagian dari komunikasi,
dan hal ini sangat penting untuk dilakukan. Ketika kita
terlalul sibuk bicara dan tidak memperhatikan apa yang
diucapkan lawan bicara, kita seperti tidak menghargainya.
2. Komunikasi Tatap Muka
Komunikasi tatap muka bisa dibilang komunikasi yang hampir
setiap hari kita lakukan. Berikut beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam komunikasi tatap muka atau langsung:
a. Tatap mata lawan bicara.
Hal yang pertama harus dilakukan adalah menatap lawan
bicara kita. Jangan sampai kita malah melihat ke arah yang
lain dan membuat lawan bicara terganggu atau merasa
tidak diperhatikan. Jika kesulitan menatap langsung pada
122
mata lawan bicara, kita bisa melihat ke arah garis tengah
antara kedua matanya (yang sejajar dengan hidung).
b. Jaga intonasi dan kecepatan bicara.
Bicaralah dengan suara yang stabil, tidak terlalu pelan atau
terlalu tinggi. Keduanya bisa menyebabkan orang salah
mengerti dan tidak paham apa yang kita bicarakan. Selain
itu, bicaralah dengan kecepatan normal supaya dapat
disimak dengan baik.
c. Lontarkan pertanyaan.
Sekali lagi, jangan hanya sibuk bicara dan tidak menyimak
apa yang dibicarakan lawan bicara kita. Dengarkanlah baik
apa yang dikatakan lawan bicara, dan sahutilah dengan
melontarkan pertanyaan atau pernyataan.
3. Komunikasi Lewat Media
Seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi,
komunikasi melalui media bisa dibilang sebagai komunikasi
yang paling sering kita lakukan. Berikut hal-hal yang perlu
diperhatikan:
a. Perhatikan gaya tulisan dan tanda baca.
Karena komunikasi lewat media kebanyakan
mengandalkan tulisan, kita harus lebih berhati-hati dengan
gaya bahasa yang kita tulis. Apakah sudah tepat, atau
seperti orang marah? Selain itu, penggunaan tanda baca
122
juga sangat penting terutama tanda seru. Sebaiknya kita
meminimalisir penggunaan tanda seru atau huruf besar
semua, karena cenderung membuat orang berpikir kalau
kita marah.
b. Atur intonasi (jika menelpon).
Menelpon memang terdengar suara, namun mimik dan
ekspresi wajah tidak dapat terlihat. Karena itu kita perlu
mengatur intonasi suara kita ketika sedang menelpon. 
c. Pikirkan apa yang ingin ditulis.
Komunikasi lewat media memungkinkan kita untuk
berpikir sedikit lebih lama mengenai apa yang akan kita
komunikasikan. Gunakan kesempatan itu untuk
mengkomunikasikan hal-hal dengan lebih baik dan
menyortir kalimat yang tidak patut. Tidak perlu terburu-
buru, orang juga tahu kalau mengetik itu membutuhkan
waktu lebih lama daripada bicara langsung. Tapi jangan
juga membiarkan pesan orang tidak dibalas lama, karena
itu akan membuat orang bertanya-tanya dan salah paham.
4. Menyambut Tamu
Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyambut
tamu:

122
a. Berpakaian yang rapi dan pantas.
Meskipun berada di rumah sendiri, dalam menyambut
tamu kita seharusnya memakai pakaian yang pantas. Tentu
tidak akan enak dilihat tamu jika kita hanya berpakaian
daster atau baju yang kotor.
b. Menyuguhkan minuman.
Terkadang tamu akan bilang tidak usah jika ditawari
minuman, namun meski begitu kita perlu
menyediakannya. Bisa jadi si tamu malu atau basa-basi
saja. Tidak perlu memaksakan menyuguhkan yang
berlebihan, namun setidaknya minuman yang minimal ada.
c. Sampaikan terima kasih.
Tamu bertandang ke rumah kita dengan menempuh
perjalanan dan menyisihkan waktunya untuk bertemu kita.
Karena itu, sampaikanlah ungkapan penghargaan kita pada
tamu karena telah berkunjung.

D. Teknik Komunikasi yang Baik


Sebagai hal yang selalu dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari, komunikasi harus dilakukan dengan baik. Berikut adalah
beberapa teknik komunikasi yang baik:
1. Bicara dengan jelas.

122
Komunikasi intinya adalah menyampaikan pesan kepada
lawan bicara, dan tugas kita adalah bagaimana agar pesan
tersebut sampai sesuai dengan keinginan kita. Yang paling
penting adalah bicara apa yang kita maksudkan dengan
jelas, supaya tidak ada kesalahpahaman. 
2. Mendengarkan dengan baik.
Seperti yang telah diulas sebelumnya, mendengarkan
adalah hal yang sangat penting dalam komunikasi. Tanpa
kita berusaha mendengarkan baik, komunikasi yang
terjalin tidak akan efektif. Kita tidak memperhatikan apa
yang dibicarakan orang lain dan membuat komunikasi jadi
terhambat.
3. Perhatikan lawan bicara.
Kita berkomunikasi dengan lawan bicara, maka kita harus
perhatikan lawan bicara kita. Dengan begitu, lawan bicara
merasa dihargai dan komunikasi berjalan lebih lancar.
Kalau sudah begitu, hubungan yang terjalin dengan lawan
bicara pun akan terus terjalin dengan baik.
4. Konfirmasi jika merasa salah paham.
Dalam berkomunikasi, kita tidak dapat terhindar dari
adanya kesalahpahaman. Kesalahpahaman bisa terjadi
karena berbagai hal, misalnya gangguan lingkungan atau
ketidakfokusan kita dalam menyimak. Karena itu, perlu
122
dikonfirmasikan langsung hal yang disalahpahami guna
meluruskan keadaan.
5. Perhatikan komunikasi non-verbal.
Seperti yang dibahas sebelumnya, komunikasi bukan
hanya soal bicara atau verbal. Ada juga aspek-aspek
komunikasi non-verbal dan justru peranannya jauh lebih
besar dibanding komunikasi verbal. Contoh dari
komunikasi non-verbal adalah gestur tubuh, mimik wajah,
penampilan, tanda baca, dan lain sebagainya.

E. Etiket Komunikasi
Etiket dikenal juga sebagai tata krama, yang mengatur sikap
dan tindakan manusia dalam bergaul dengan manusia lain
berdasarkan standar sopan santun dan adab. Etiket sebenarnya
secara sadar atau tidak sudah banyak kita pelajari dan pahami
sedari kecil. Namun untuk lebih jelasnya lagi, berikut adalah
contoh dari etiket komunikasi:
1. Pengunaan bahasa yang baik dan intonasi yang sesuai.
2. Mengucapkan permisi ketika lewat di depan orang lain.
3. Mengucapkan tolong ketika minta bantuan.
4. Mengucapkan terima kasih ketika mendapat bantuan.
5. Mengucapkan maaf ketika melakukan kesalahan.
6. Menghormati orang-orang yang lebih tua.
7. Mengurangi kebiasaan menyela ucapan orang lain.
122
F. Manfaat Mempelajari Etika Komunikasi
Setelah membahas berbagai hal mengenai etika komunikasi,
berikut adalah manfaat dari mempelajari etika komunikasi:
1. Melancarkan komunikasi dengan orang lain.
2. Memahami apa yang dikomunikasikan orang lain.
3. Diterima dalam sosial masyarakat karena mengikuti etika
yang berlaku.
4. Memperkuat hubungan yang terjalin dengan orang lain.
5. Pesan yang disampaikan dapat diterima dengan lebih baik.
6. Dihargai orang lain karena kita menghargai mereka juga.
7. Tidak bertindak sembarangan dan seenaknya dalam
berkomunikasi

RINGKASAN

A. Etika Komunikasi
Etika komunikasi adalah norma, nilai, atau ukuran tingkah
laku baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat
1. Etika komunikasi antar pribadi adalah bentuk komunikasi dari
perhatian penuh untuk hubungan antara individu. Komunikasi
antar pribadi menemukan identitas dalam perintah yang etis
untuk melindungi dan mempublikasikan dengan baik dari
hubungan yang terjalin. Interaksi tidak lagi memelihara
122
hubungan antar pribadi dengan komunikasi lain yang
komunikatif interaksi.
2. Komunikasi antar pribadi menimbulkan suatu tanggung jawab
terhadap hubungan yang memiliki perasaan diri sendiri.
Misalnya Penceramah menyampaikan pngetahuan didepan
Audience
Tiga kiasan-kiasan etika komunikasi praktis:
1. Communication-works adalah hubungan antar pribadi dengan
baik dari hubungan antara jumlah kecil ke yang besar (dua
sampai empat).
2. Distance-provides adalah komunikatif dengan mitra untuk
berperan dan jalinan hubungan harapan dapat penjelasan.
3. Responsibility-begins adalah hubungan antar pribadi dengan
masing-masing individu berupa kesanggupan untuk aktif dan
peduli terhadap individu yang ada dan memelihara dengan
dukungan dari individu lain.
Jarak pada akhirnya mengubah hubungan yang efektif
sehinga mengubah perwujudan komunikasi dari ikatan yang
sesuai ke pada kelompok baru.

122
B. Komunikasi Antar Pribadi
1. Komunikasi antar pribadi kisaran dari menutup dan
menyentuh hati antara Pribadi dengan individu lain yang
belum dikenal tapi menyerupai, misal :
a. Pegawai Fotocopy yang ditanya headcopy yang asli
oleh Orang yang memfotocopy
b. Individu yang melihat individu lain melambaikan
tangannya seolah pada dirinya, kenyataannya dalah ke
individu belakangnya.
2. Leslie Baxter dan Barbara Montgomery (1996) tawarkan
diskusi dan kritik penuh pengertian dari pendekatan
kepada yang memiliki hubungan antar pribadi adalah suatu
risert/penelitian;
a. Menetukan subjek
b. sumber berita
c. Tokoh Opini

C. Komunikasi melalui pendekatan tradisional


Komunikasi bekerja dengan suatu himpunan yang
minimal dari berbagai sudut didalam suatu diskusi komunikasi
antar pribadi:
1. Menjaga hubungan antar pribadi karena adanya
sejarah/latar belakang
122
2. Adanya ketergantungan kepada individu/kelompok lain
Pandangan komunikasi antar pribadi memiliki tiga
dasar asumsi-asumsi, antara lain :
1. Ketika hubungan itu adalah primer yang dilakukan antar
pribadi dengan pemandu pertemuan, tetapi jika terjalin
baik komunikatif, seperti ceramah diarahkan terhadap satu
gol dalam organisatoris primer
2. Karena komunikasi antar pribadi dapat memelihara
hubungan untuk tanggung jawab terletak pada orang,
bukan kepada karier lebih lanjut atau agenda advance
politis
3. Pengenalan bahwa ada berbagai jalan cara untuk belajar
komunikasi antar pribadi dalam disiplin komunikasi.

D. Jarak
Sifat yang terbentuk adalah hubungan dan konstitusinya,
seperti :
1. Apakah jenis dan bentuk komunikasi. Satu meta-
communication yang utama asumsi etika adalah bahwa
satu komunikasi tidak bisa memaksakan suatu wujud yang
bentuk tunggal komunikasi di semua interactions-not pada
semua peristiwa komunikasi dan konteks yang sama ?

122
2. Apakah Salah satu cara praktis untuk mengurangi
dorongan keinginan untuk melakukan hubungan antar
pribadi adalah jarak.
Seperti Burung, Martin Buber (1966;77) menjelaskan,
waspada kepada siapa yang membanjiri kenyataan.
“Overrunning” kenyataan mencoba metode semestinya
semakin dekat dibanding waktu, interaksi, dan minat.

122
BAB X
AGRESI

A. Pengertian Agresi
Agresi adalah segala bentuk perilaku yang disengaja
terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak
yang dilukai tersebut berusaha untuk menghindarinya. Definisi
tersebut terdapat empat masalah penting dalam agresi.
1. Pertama, agresi merupakan perilaku.
2. Kedua, ada unsur kesengajaan.
3. Ketiga, sasarannya adalah makhluk hidup, terutama
manusia.
4. Keempat, ada usaha menghindar pada diri korban.1
Secara umum, agresi memiliki dua sisi, yakni positif dan
negatif, dimana keduanya dimaksudkan untuk memperkuat
kesadaran diri. Sisi positifnya kerap disebut “pernyataan diri”
(assertiveness), yakni memperkuat kesadaran diri tanpa
merugikan atau melukai diri orang lain. Sedangkan sisi negatifnya
kita namakan tindak kekerasan (violence), yang lebih berpusat
pada perampasan hak-hak atau kesadaran diri orang lain.2

1 Faturochman, Pengantar Psikologi Sosial, Yogyakarta,


Pustaka, 2006, hal. 82
2 C. George Boeree, Pssikologi Sosial, Yokyakarta,
Prismasophie, 2008, hal. 167 122
Terjadinya agresi (negatif) dalam kehidupan manusia itu
dikarenakan tidak adanya mekanisme biologis dalam diri manusia
untuk menghambat sikap agresif tersubut. Selain itu problematika
manusia berbuat agresi (negatif) adalah ia tidak hanya hidup di
dunia “nyata”, tetapi juga di dunia simbolis. Dengan kata lain, kita
telah memperluas “ego” melebihi diri kita sendiri dan dari segala
apa yang kita cintai kepada sesuatu yang bersifat simbolik.

B. Proses Agresi
Agresi merupakan perilaku melukai orang lain, perilaku
tersebut pastilah terjadi melalui proses. Proses tersebut antara lain:
Melalui pemodelan, dengan melihat berbagai kejadian yang
menstimulasi agresi, orang bisa menjadi agresif. Proses meniru
seperti itu biasa disebut sebagai pemodelan atau imitasi. Salah
satu karakteristik penting dalam proses modeling ini adalah
adanya hubungan emosional yang kuat antara model dengan
peniru.
Biasanya orang yang ditiru adalah orang yang dikagumi 3.
Belajar sosial yang paling banyak berpengaruh akhir-akhir ini
adalah media televisi. Sering terjadi bahwa proses peniruan
memang tidak didasari oleh rasionalitas, sehingga orang yang
menyaksikan kekerasan di televisi bisa menjadi ikut-ikutan

3 Opcit, Faturochman, hal. 85 122


agresif. Bahwa dengan melakukan peniruan itu, peniru merasa
diberi reward dari orang yang ditirunya. Meskipun para pakar
psikologi masih mempertanyakan sejauh mana TV dan bioskop
mempengaruhi perilaku manusia, sebagian besar peneliti
memberikan kesimpulan “bahwa menonton kekerasan memang
meningkatkan agresi antar pribadi, terutama dikalangan anak
kecil”. Kekerasan dalam film dapat menimbulkan perilaku agresif
melalui beberrapa cara:
1. Dengan mengajarkan gaya tindakan agresif.
2. Dengan meningkatkan keterbangkitan.
3. Dengan membuat orang tidak peka terhadap kekerasan.
4. Dengan mengurangi kendala pada perillaku agresif.
5. Dengan mengubah tentang cara penyelesaian konflik.4      
6. Melalui pembelajaran
Dalam proses pemodelan, meakipun peniru merasa
mendapatkan hadiah dengan melakukan hal yang sama dengan
pelaku, sebenarnya antara peniru dan yang ditiru memiliki
hubungan yang jelas dalam konteks prosesnya. Disisi lain, sering
ada kesengajaan seseorang meminta orang lain melakukan suatu
perbuatan dengan memberi imbalan apabila orang tersebut mau
melakukan. Contah yang ekstrim dalam hal ini adalah eksekutor

4 Opcit, George Boeree, hal 170 122


yang bekerja sebagai tukang jagal. Hubungan inilah yang
biasanya disebut sebagai proses belajar terkondisi.5

C. Faktor-faktor agresi
Agresi adalah tingkah laku yang dapat menyakiti orang
lain. dalam agresi terdapat beberapa faktor dan tiap faktor agresi
dapat berbeda dengan tindakan agresi yang satu dengan agresi
yang lainnya tergantung dari  tindakan agresi itu sendiri dan
dimana tindakan agresi itu terjadi. Akhir-akhir ini tindakan agresi
banyak terjadi di lingkup sosial baik di sekolah maupun lingkup
sosial lainnya. Di bawah ini ada beberapa faktor penyebab
terjadinya Agresi atau Agresivitas:
1. Faktor Biologis,
Faktor Biologis Ada beberapa faktor biologis yang
mempengaruhi perilaku agresi:
a. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem
neural otak yang mengatur  perilaku agresi.
b. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat
memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang
mengendalikan agresi.

5 Opcit, Faturchman, hal. 86 122


c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang
sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat
mempengaruhi perilaku agresi.
2. Faktor Naluri atau Insting
Menurut Sigmund Freud, bahwa dalam diri manusia terdapat
dua jenis insting yakni eros (naluri kehidupan ) dan thanatos
(naluri kematian) agresi adalah ekspresi dari naluri kematian
(thanatos). Agresi dapat diarahkan kepada orang lain atau
sasaran-sasaran lain (eksternal) dan dapat pula pada diri
sendiri (internal).
3. Faktor Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas
sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan
tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya
kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga
tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang,
meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya
timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan
maka terjadilah perilaku agresi.
4. Faktor Frustrasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal
dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan,
pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah
122
satu cara berespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang
nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan
banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan
adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit
sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan
berperilaku agresi.
5. Faktor sosial learning (peran belajar model kekerasan)
Faktor sosial learning (peran belajar model kekerasan),
Dewasa ini tindakan agresi dapat di contoh dari beberapa
media anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan
adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun
mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang
menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat
ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari
film kartun, sinetron, sampai film laga.6

D. Cara mengurangi perilaku agresif


Perilaku agresif merupakan masalah utama dalam
masyarakat manusia. Kejahatan individual dan kekerasan sosial
dalam skala besar sangat merugikan dan membayakan
kesejahteraan individu maupun struktur sosial secara umum.

6 http://smileandsprit blogspot. Com /2011/ 03/factor-faktor-


agresi. Html. Minggu, 18 Maret 2012 jam 10.00 wib. 122
Karena itu pemahaman tentang cara mereduksi agresifitas
merupakan hal yang sangat penting.
Dalam situasi tertentu orang akan melakukan agresi atau
tidak, ditentukan oleh tiga variabel:
1. Intensitas amarah seseorang, yang sebagian ditentukan oleh
taraf frustasi atau serangan yang menimbulkannya, dan
sebagian ditentukan oleh tingkat persepsi individu  terhadap
frustasi yang menimbulkan amarah ini.
2. Kecenderungan untuk mengekspresikan amarah, yang pada
umumnya dientukan oleh apa yang telah dipelajari seseorang
tentang agresivitas, dan pada khususnya ditentukan oleh sifat
situasi ini.
3. Kekerasan dilakukan karena alasan lain yang lebih bersifat
instrumental.
Adapun cara untuk mengurangi perilaku agresif antara lain:
1. Mengurangi frustrasi
Orang dapat diajar untuk tidak melakukan agresi dalam situasi
tertentu, atau dapat belajar untuk menekan agresivitas pada
umumnya. Misalnya, anak belajar untuk tidak berkelahi dalam
kelas, dan pada umumnya juga diajari untuk berhati-hati agar
tidak saling melukai.

122
2. Panismen
Memberi hukuman atau pembalasan, rasa takut terhadap
hukuman atau pembalasan bisa menekan perilaku agresif.7
Kesimpulan
Agresi adalah segala bentuk perilaku yang disengaja terhadap
makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak yang
dilukai tersebut berusaha untuk menghindarinya. Agresi dapat
terjadi melalui dua proses yaitu melalui pemodelan dan
pembelajaran.
Adapun periku agresif itu sendiri dikarenakan berbagai faktor,
antara lain:
1. Faktor Biologis
2. Faktor Naluri atau Insting
3. Faktor Amarah
4. Faktor Frustrasi
5. Faktor sosial learning (peran belajar model kekerasan)
Perilaku agresif merupakan masalah utama dalam
masyarakat manusia. Oleh karena itu perilaku agresi perlu
dikurangi dengan cara mengurangi frustasi, mengajari anak untuk
tidak berlaku agresi dan memberikan hukuman bagi pelaku agresi.
Dengan cara seperti itulah agresifitas akan berkurang.
BAB XI

7 David O. Sears, Jonathan L. Freenman & L. Anne Peplau,


Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 1994, hal. 19 122
PROSOSIAL BEHAVIOR

A. Pengertian Perilaku Prososial


Sebelum membahas mengenai pengertian perilaku sosial,
perlu diketahui bahwa perilaku prososial agaknya sama dengan
altruisme. Altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan
seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain
tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali mungkin perasaan
telah melakukan kebaikan.8 Artinya Altruisme itu sendiri dapat
didefinisikan sebagai hasrat untuk menolong orang lain tanpa
memikirkan kepentingan sendiri.
Dari definisi diatas, dikatakan tindakan altruistik atau tidak
itu tergantung pada tujuan sipenolong. Misalnya ada orang yang
tidak dikenal yang mempertarukan nyawanya sendiri untuk
menolong korban dari mobil yang terbakar, dan kemudian
menghilang begitu saja, merupakan tindakan altruistik.
Untuk pengertian Perilaku Prososial mencakup kategori
yang lebih luas: meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan
atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa
memperdulikan motif-motif si penolong.9

B.     Faktor-Faktor yang Mendasari Perilaku Prososial

8 Michael Adriyanto, Psikologi Sosial, Jilid V,Erlangga,1985, hlm 47


9 Michael Adriyanto, Psikologi Sosial, Jilid V,Erlangga,1985, hlm 47 122
Beberapa penilitian psikologi sosial memperlihatkan
bahwa perilaku prososial dipengaruhi oleh karakteristik situasi,
karakteristik penolong, dan karakteristik orang yang
membutuhkan pertolongan.
1. Situasi
Faktor utama, yang harus diperhatikan oleh penelitian
psikologi sosial adalah apakah berpengaruh pada perilaku
menolong atau tidaknya tergantung pada adanya orang lain yang
kebetulan berada bersama ditempat kejadian (bystenders).
Semakin banyak orang lain, semakin kecil kecenderungan orang
untuk menolong. Sebaliknya, orang yang sendirian cenderung
lebih bersedia menolong.
Orang yang paling altruis sekalipun cenderung tidak
memberikan bantuan dalam situasi tertentu. Penelitian yang telah
dilakukan membuktikan makna penting beberapa faktor
situasional, yang meliputi kehadiran orang lain, sifat lingkungan,
fisik, dan tekanan keterbatasan waktu.
2. Kehadiran Orang Lain
Sebuah Hipotesis diajukan oleh Psikolog sosial Bibb
Latane dan John Darley (1970). Mereka mengemukakan bahwa
kehadiran orang lain yang begitu banyak mungkin telah menjadi
alasan bagi tiadanya usaha untuk memberikan pertolongan.
Misalnya Orang-orang yang menyaksikan sebuah tragedi
122
pembunuhan disuatu tempat, mungkin menduga bahwa orang lain
sudah menghubungi polisi, sehingga kurang mempunyai
tanggungjawab pribadi untuk turun tangan.
Untuk menguji gagasan bahwa jumlah saksi
mempengaruhi pemberian bantuan, Darley, dan latene ( 1968 )
merancang penelitian laboraturium. Para mahasiswa yang
mendengar adanya ” keadaan darurat ” lebih cenderung
memberikan reaksi bila mereka sendirian ketimbang bila mereka
mempunyai anggapan bahwa orang lain juga mengetahui situasi
tersebut. Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil
kemungkinan seseorang benar-benar memberikan pertolongan,
dan semakin besar rata-rata tentang waktu pemberian bantuan.
Darley menamakannya efek Penonton (bystender Effect).
3. Kondisi Lingkungan
Keadaan fisik juga mempengaruhi kesediaan untuk
menolong. Kalau orang merasa mampu, ia akan cenderung
menolong, sedangkan kalau merasa tidak mampu ia tidak
menolong.
Efek cuaca terhadap pemberian bantuan diteliti dalam dua
penelitian lapangan yang dilakukan oleh Cunningham (1979 ).
Dalam penelitian pertama, para pejalan kaki dihampiri diluar
rumah dan diminta untuk membantu peneliti dengan melengkapi
quisoner. Orang lebih cenderung membantu bila hari cerah dan
122
bila suhu udara cukup menyenangkan (relatif hangat di musim
dingin dan relatif sejuk di musim panas). Dalam penelitian kedua
yang mengamati bahwa para pelanggan memberikan tip yang
lebih banyak bila hari cukup cerah. Penelitian yang lain
menyatakn bahwa orang lain cenderung menolong pengendara
motor yang mogok dalam cuaca cerah daipada dalam cuaca
mendung. Singkatnya cuaca memang benar-benar menimbulkan
perbedaan pemberian bantuan, meskipun para pakar psikologi
masih memperdebatkan alasan yang tepat untuk efek ini.
4. Tekanan waktu
Biasanya orang-orang yang sibuk dan tergesa-gesa
cenderung untuk tidak menolong, sedangkan orang yang santai
lebih besar kemungkinannya untuk memberi pertolongan kepada
yang memerlukannya. Darley & Batson (1973) mengadakan
percobaan dengan mahasiswa-mahasiswa Teologia Universitas
Princenton, Nj. Para mahasiswa itu dibagi dalam dua kelompok.
Kedua kelompok diberi kuliah tentang perilaku menolong.
Setelah kuliah, mereka diminta ke ruang lain untuk menyaksikan
pemutaran video. Pada kelompok 1 di beri tahu bahwa mereka
harus cepat-cepat karena mereka sudah terlambat,sedangkan pada
kelompok 2 diberitahu bahwa mereka masih mempunyai banyak
waktu karena persiapan alat video. Ada seorang pria tua terbatuk-
batuk berat. Ternyata, hanya 10 % dari kelompok 1 yang
122
menawarkan bantuan, sementara dari kelompok 2,2/3 diantaranya
menawarkan bantuan kepada pria tua itu.10
Dari penelitian diatas hasilnya sudah memperlihatkan
bahwa siswa yang tergesa-gesa mempunyai kecenderungan yang
lebih kecil untuk menolong dibanding mereka yang tidak
mengalami tekanan waktu.
5. Kemampuan yang Dimiliki
Faktor situasional dapat meningkatkan atau menurunkan
kecenderungan orang untuk melakukan tindakan proposial.
Namun, yang juga diperlihatkan penelitian-penelitian ini adalah
bahwa beberapa orang tetap memberikan pertolongan meskipun
kekuatan situasional menghambat pemberian bantuan, dan yang
lain tidak memberikan bantuan meskipun berada dalam kondisi
yang sangat baik. Ada perbedaan individual.
Kalau orang merasa mampu akan cenderung menolong
sedangkan kalau merasa tidak mampu ia tidak menolong. Di
taiwan terdapat norma masyarakat yang mengharuskan anak-anak
yang sudah dewasa untuk mendukung ekonomi orang tuanya yang
sudah lanjut usia, tetapi hanya orang-orang yang kemampuan
ekonominya cukup yang melaksanakan ketentuan itu.11

10 Michael Adriyanto, Psikologi Sosial, Jilid V,Erlangga,1985, hlm 65


11 Sarlito Wirawan Sarwo. Psikologi Sosial.Jakarta : Balai Pustaka, 2002, hlm
340-341. 122
Mengapa ada perbedaan individual. Dalam usaha
memahami mengapa ada orang yang lebih mudah menolong
dibandingkan orang lain, para peneliti menyelidiki karakteristik
keoribadian yang relatif menetap maupun suasana hati dan
psikologis yang lebih mudah berubah.

B. Cara Meningkatkan Perilaku Prososial


Meningkatkan prilaku menolong secara teoretis juga dapat
diusahakan walaupun dalam kenyataannya belum ditemukan suatu
cara yang paling ampuh. Secara umum berbagai upaya yang di
kemukakan dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu
mengurangikendala yang menghambat altruisme dan
memasyarakatkan altruisme itu sendiri.
1. Mengurangi kendala
Ada beberapa cara untuk mengurangi kendala yang
menghambat prilaku menolong.
a. Mengurangi keraguan atau ketidakjelasan (ambiguitas)
dan meningkatkan tanggungjawab. Misalnya,kalau di
tokoh swalayan ada orang yang mencuri (ngutil)
biasanya pengunjung lain akan pura-pura tidak tahu
karena ragu apakah orang mengutil betul-betul atau
pegawai yang sedang memeriksa barang-barang dan
pengunjung lain itupun tidak merasa ikut bertanggung
122
jawab. Lain halnya ada orang berteriak, “hei, orang itu
mencuri!”, pengunjung lain akan segera breaksi karena
mereka tidak ragu-ragu lagi dan merasa terpicu untuk
ikut bertanggungjawab.
b. Peningkatan rasa tanggung jawab dapat di pancing
dengan ajakan secara pribadi (foss,1978). Sewaktu
penulisan sendiri aktif dalam gerakan sukarelawan
konsultasi lewat telepon (hotline service), baik untuk
remaja (1983-1986) maupun untuk penderita AIDS
(1995-1996), sebagian sukarelawan bersedia untuk
berpatisipasi karena ajakan pribadi penulis. Ketika
penulis dan beberapa aktivis inti tidak lagi tidak terlibat
dalam gerakan itu, sukarelawan juga ikut menghilang.
Cara lain adalah mempribadikan hubungan dengan cara
menyebut lawan bicara kita. Daripada kita panggil
lawan bicara kita denga bapak, ibu, atau saudara, lebih
baik kita memanggilnya dengan Pak Sanusi, Ibu Titi,
atau Pak Kamso. Orang yang diajak terlibat secara
pribadi cenderung lebih menolong daripada yang
sekadar di anggap sebagai orang lain saja (Solomon
dkk, 1981) (Catatan: kasir bank atau petugas pasasir di
Bandara dapat mengetahui nama pelanggan atau
penumpang setelah membaca namanya di kertas cek
122
atau tiket dan selanjutnya memanggil pelanggan atau
penumpang dengan namanya. Di pihak lain, banyak ibi-
ibu yang mau meminta tolong kepada anaknya atau
pembantunya tanpa memanggil namanya, tetapi hanya
menyebut “Hei” atau “Ssst”).
c. Kendala pada prilaku menolong dapat di turunkan
dengan meningkatkan rasa bersalah. Caranya adalah
dengan mengingatkan seseorang tentang kesalahannya.
Dengan demikian, orang itu cenderung lebih mau
menolong untuk menebus kesalahannya itu.
d. Cara lain untuk menurunkan kendala adalah dengan
memanipulasi gengsi atau harga diri seseorang. Kalau
kita mau meminta sumbangan Rp.10.000,00 kita
mengatakan dahulu bahwa kita perlu sumbangan
sebesar Rp 50.000,00. Orang yang di mintai sumbangan
mungkin akan berkata, “Ah, kalau uang sebanyak saya
tidak punya” dan anda menjawab,”kalau begitu berapa
saja bolehlah, sekadarnya saja. Sepuluh ribu juga tidak
apa-apa”. Kemumgkinan juga orang itu akan
menjawab, “kalau sepuluh ribu si biarin deh, itung-
itung sedekah”. Gengsi orang itu tertolong dengan
adanya sumbangan yang Rp 10.000,00, sehingga ia
ikhlas menyumbang walaupun seandainya ia langsung
122
di mintai Rp 10.000,00 ke mungkinan ia sudah
menjawab tidak punya juga.
2. Memasyarakatkan altruism
a. Mengajarkan inklusi moral
Mengajarkan inklusi moral,yaitu adalah orang lain
golongan kita. Inklusi moral meningkatkan prilaku
menolong (Fogelman, 1994). Di pihak lain perlu di
upayakan menghindari eksklusi moral (dalam dialek
betawi: elo-elo, gue-gue) karena eksklusi moral
merupakan sumber diskriminasi,bahkan member
peluang saling membunuh (Staub, 1990; Opotou,
1990; Tyler & Lind, 1990). Selain itu, perlu juga di
ajarkan altruisme melalui model di keluarga
(keluarga), sekolah (guru-guru) dan di kalangan teman
(Staub, 1998, 1991, 1992), atau lewat televisi
(Hearold, 1986), Misalnya film “lassie” (Spratkin,
Liebert &Poulus, 1975) atau film “Mister Rogers”,
Neighborhood” dan “Sesame Street” (forge &
Phemister, 1987) yang sudah terbukti sangat
berpengaruh pada prilaku menolong kepada anak-
anak.

122
b. Memberikan atribusi
Memberikan atribusi “menolong” pada prilaku altruis
seorang yang sudah membantu orang lain, kemudian di
beri ucapan “terima kasih atas pertolongan anda”
merasa bahwa prilakunya betul-betul membantu orang
lain sehingga ia cenderung mengulanginya pada
kesempatan lain. Kepuasan semacam ini tidak terdapat
prilaku menolong itu di beri imbalan uang (Batson
dkk., 1978, 1979).
c. Member pelajaran dengan altruisme
Orang yang tahu bahwa keberadaan orang lain akan
menghambat prilaku menolong akan tetap menolong
walaupun di tempat itu banyak orang lain. Sebaliknya,
orang yang tidak tahu akan berlalu begitu saja
(Beamen dkk., 1978).

122
BAB XII
PENGUKURAN DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

A. Kajian Psikologi Sosial


1. Latar belakang
Psikologi Sosial (Social Psychology) adalah bagian
dari Ilmu Psikologi yang mempelajari tentang bagaimana
individu berperilaku, berpikir dan berperasaan tertentu
dalam konteks situasi sosial. Yang dimaksud dengan
Situasi Sosial adalah kehadiran orang lain secara nyata
maupun secara imajinasi. Saat ini Psikologi Sosial telah
mendapatkan posisi yang penting dalam psikologi modern,
setelah sebelumnya dianggap tidak terlalu berperan. Hal
ini disebabkan karena Psikologi sosial telah memberikan
pencerahan bagaimana pikiran manusia berfungsi dan
memperkaya jiwa dari masyarakat.
Melalui berbagai penelitian laboratorium dan
lapangan yang dilakukan secara sistematis dan empiris,
para psikolog sosial telah menunjukkan bahwa untuk dapat
memahami perilaku manusia, kita harus mengenali
berbagai peranan situasi, permasalahan dan budaya.
Bagaimana pengaruh variabel variabel situasional dalam
mentransformasikan perilaku melalui cara yang tidak bisa
122
diprediksi hanya dengan memahami apa yang ada di
‘dalam’ individu. Para psikolog sosial telah menunjukkan
bahwa terkadang intuisi manusia seringkali tidak tepat.
Berbeda dengan bidang bidang psikologi lainnya yang
berfokus pada individu sebagai unit analisanya, maka para
psikolog sosial lebih banyak membahas manusia dari
konteks sosialnya, dan dalam pola pola hubungan antar
pribadi, serta dalam dinamika kelompoknya. Hal ini telah
membuat para psikolog sosial memperkaya khasanah
peradaban manusia dengan mencari tahu bagaimana
manusia dan situasi berinteraksi sehingga terbentuk
pikiran, perasaan dan tindakan.
Psikologi Sosial merupakan ilmu pengetahuan.
Istilah ilmu pengetahuan disini tidak mengacu pada
sekelompok bidang tertentu yang sangat maju. Untuk
menentukan apakah suatu bidang merupakan ilmu
pengetahuan atau bukan, maka mengacu pada 2 hal yaitu
sekumpulan nilai dan beberapa metode yang dapat
digunakan untuk mempelajari bermacam macam topik.
Nilai nilai tersebut adalah :
a. Akurasi
Akurasi suatu komitmen untuk mengumpulkan dan
mengevaluasi informasi tentang dunia (termasuk
122
perilaku dan pemikiran sosial) secara teliti, tepat, dan
sebisa mungkin bebas dari kesalahan.
b. Objektivitas
Objektivitas suatu komitmen untuk mendapatkan dan
mengevaluasi informasi tentang dunia dengan sedapat
mungkin terbebas dari bias.
c. Skeptisisme
Skeptisisme suatu komitmen untuk menerima hasil
atas penelitian sebagai suatu yang benar hanya bila
hasil tersebut telah di verifikasi atau diuji berulang
kali.
d. Berpikiran terbuka
Berpikiran terbuka suatu komitmen untuk mengubah
pandangan seseorang bahkan pandangan yang telah
tertanam dengan kuat bila terbukti bahwa pandangan
tersebut tidak benar.
e. Bersifat Terikat
Psikologi Sosial sebagai sebuah bidang sangat terikat
pada nilai nilai ini dan menerapkannya sebagai usaha
memahami hakikat dari perilaku dan pemikiran sosial.
2. Permasalahan
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Psikologi Sosial
merupakan ilmu pengetahuan. Dalam mempertahankan
122
eksistensinya sebagai ilmu pengetahuan maka Psikologi
Sosial telah berusaha melakukan pendekatan ilmiah
dengan cara memenuhi 4 nilai sebagai persyaratan untuk
dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan. Lantas
mengapa dalam Psikologi sosial perlu menggunakan
pendekatan ilmiah tersebut mengingat adanya anggapan
bahwa Psikologi Sosial hanya merupakan aplikasi dari
akal sehat saja? Dalam melakukan pendekatan ilmiah
tersebut harus diuji secara nyata dan empiris, maka
bagaimana cara melakukan pengukuran dalam Psikologi
Sosial?
3. Maksud dan Tujuan
Tulisan ini dibuat agar para kaum intelektual akademis
khususnya mahasiswa Sekolah Tinggi Sosial dan Ilmu
Politik mampu memahami secara mendalam mengenai
kajian dalam ilmu Psikologi sosial, baik dari materi
mengenai objek pengamatan yang dilakukan dalam ilmu
tersebut yaitu individu dengan konteks sosialnya, berikut
segala bentuk metode yang memenuhi syarat reliabilitas
dan validitas sebagai perangkat ukur untuk melakukan
penelitian di bidang ilmu Psikologi Sosial itu sendiri.
Sehingga nantinya para mahasiswa psikologi tidak hanya
memahami psikologi secara teoritis, melainkan juga
122
mampu membuat nilai diagnostik dan prediktif atas sebuah
fenomena perilaku dan pikiran individu dalam situasi
sosial secara luas dan signifikan.
4. Kerangka Teori
Pertama kali yang dirasakan amat penting adalah terlebih
dahulu memaparkan informasi yang melatar belakangi
Psikologi Sosial yaitu ruang lingkup, karakteristik, dan
metode metode yang digunakan dalam pengukuran
Psikologi Sosial. Mengapa? Karena hasil penelitian
psikologi menunjukkan bahwa kemungkinan seseorang
untuk lebih mampu memahami, mengingat dan
menggunakan informasi baru akan lebih tinggi bila
seseorang terlebih dahulu diberikan kerangka untuk
mengorganisasikan informasi tersebut.
Masyarakat boleh saja memiliki pandangan yang berbeda
tentang beberapa aspek perilaku sosial, namun tetap dibuat
sebuah kesepakatan bahwa sebuah perilaku itu dilakukan
oleh, dan pemikirannya muncul dalam diri individu.
Karena fakta mendasar inilah fokus Psikologi Sosial
dibatasi pada individu. Minat utama bidang ini terletak
pada pemahaman faktor faktor yang membentuk perilaku
dan pemikiran individu dalam konteks sosial. Minat ini
berbeda dengan bidang ilmu yang lain, misalnya dengan
122
ilmu sosiologi. Sosiologi mempelajari beberapa topik yang
sama seperti Psikologi Sosial, namun tidak memperlajari
perilaku dan pemikiran individu melainkan memfokuskan
pada kelompok kelompok besar atau masyarakat sebagai
satu keutuhan. Contohnya Psikologi Sosial dan Sosiologi
sama sama mempelajari topik tentang kekerasan. Dalam
Psikologi Sosial akan memfokuskan pada faktor faktor
yang menyebabkan orang orang tertentu melakukan
perilaku terebut, sedangkan Sosiologi akan melihat
perbandingan angka kekerasan pada berbagai lapisan
dalam satu kelompok masyarakat berdasarkan stimulus
terjadinya.
Dalam Psikologi Sosial, aspek yang terpenting adalah
mencoba memahami berbagai faktor dan kondisi yang
membentuk perilaku dan pemikiran sosial pada individu,
yaitu tentang perilaku, perasaan, keyakinan, ingatan dan
penyimpulan mereka tentang orang lain. Jadi perilaku
orang lain merupakan faktor penting yang berpengaruh
dalam perilaku dan pemikiran sosial seseorang. Seseorang
bisa merasa nyaman dan tertarik atau tidak dengan orang
lain tergantung dari persepsi yang diterimanya atas diri
orang lain tersebut. Hal ini sesuai dengan teori dari
McCall, Twenge & Manis yang mengatakan bahwa
122
seseorang akan bereaksi terhadap karakteristik orang lain
yang kasat mata, seperti penampilannya. Demikian juga
menurut Hassin & Trope menunjukkan bahwa seseorang
tidak dapat mengabaikan penampilan orang lain, bahkan
ketika secara sadar seseorang mencoba untuk
mengabaikannya.
Reaksi seseorang terhadap perilaku dan penampilan orang
lain juga dapat didasarkan atas beberapa hal yaitu:
a. Proses proses kognitif
Reaksi seseorang terhadap orang lain yang sangat
tergantung pada ingatannya tentang perilaku orang lain
tersebut di masa lalu dan kesimpulan tentang
kebenaran alasannya. Hal ini sesuai dengan pendapat
dari Killeya & Johnson dan Swann & Gill yang
menyatakan bahwa proses proses kognitif memainkan
peran penting dalam memahami perilaku dan
pemikiran manusia di dalam situasi sosial. Para
psikolog sosial menyebutnya dengan istilah
Construals (pemahaman).
b. Variabel variabel lingkungan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan fisik
berpengaruh terhadap perasaan, pikiran dan perilaku
seseorang sehingga variabel ekologis juga menjadi
122
bahasan dalam psikologi sosial modern. Hal ini
menjadi titik pandang para ahli sosial untuk
menyatakan pendapatnya seperti teori dari Rotton &
Kelley yang menyatakan bahwa manusia lebih rentan
terhadap perilaku impulsive yang tidak terkendali pada
saat bulan purnama dibandingkan pada saat saat lain.
Atau teori dari Anderson, Bushman & Groom yang
berpendapat bahwa seseorang menjadi lebih mudah
marah dan agresif ketika cuaca sedang panas dan
lembab daripada ketika sedang sejuk dan nyaman.
c. Konteks budaya
bahwa pengaruh faktor budaya meningkat dan menjadi
semakin penting dalam Psikologi Sosial sejalan dengan
usaha bidang ini untuk juga mempertimbangkan
perbedaan budaya yang semakin besar diantara banyak
Negara. Seperti pendapat Smith & Bond yang
berpendapat bahwa istilah budaya mengacu pada
sistem yang dibagi atau dipahami bersama, persepsi,
dan keyakinan yang dimiliki oleh orang orang dalam
kelompok tertentu.
d. Faktor faktor biologis
Para psikolog mengatakan bahwa perilaku sosial tidak
dipengaruhi oleh faktor faktor genetik dan proses
122
proses biologis. Namun sekarang kenyataan berkata
lain. Bush & Nisbett mengatakan bahwa pilihan,
perilaku, reaksi emosi dan bahkan sikap sampai batas
tertentu dipengaruhi oleh bawaan biologis. Pandangan
bahwa faktor biologis memainkan peran penting dalam
perilaku sosial datang dari bidang Psikologi
Evolusioner (Evolutionary Psychology) menurut Bush
& Shackelford. Cabang psikologi ini menyatakan
bahwa manusia dan makhluk lain di bumi ini
mengalami proses evolusi biologis selama sejarah
keberadaannya, dan hasil dari proses ini adalah bahwa
manusia memiliki sejumlah besar mekanisme
psikologis yang membantunya untuk mempertahankan
hidup (survival).
a. Semua yang terjadi dalam situasi sosial tersebut
juga memerlukan pengukuran untuk menentukan
nilai diagnostik atau prediktif dari objek yang di
tes, yang dalam hal ini adalah mencakup perilaku
individu dalam konteks sosialnya. Dari segi istilah,
menurut Anne Anastasi, test adalah alat pengukur
yang mempunyai standar obyektif sehingga dapat
digunakan secara meluas, serta dapat betul betul
digunakan dan membandingkan keadaan psikis
122
atau tingkah laku individu. Sedangkan menurut
F.L. Geodenough, test adalah suatu rangkaian
tugas yang diberikan kepada individu atau
sekelompok individu dengan maksud untuk
membandingkan kecapan antara satu dengan yang
lain. Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa
TES adalah cara yang dapat digunakan atau
prosedur yang dapat ditempuh dalam rangka
pengukuran dan penilaian yang dapat berbetuk
pemberian tugas, atau serangkaian tugas sehingga
dapat dihasilkan nilai yang dapat melambangkan
prestasi.
b. Terdapat syarat utama yang harus dipenuhi sebuah
tes psikologi agar bisa menyempurnakan
standarisasinya yaitu bahwa tes psikologi harus
memenuhi unsur Validitas dan Reliabilitas.
Validitas adalah sejauh mana sebuah tes berhasil
mengukur apa yang hendak diukurnya. Sedangkan
Reliabilitas lebih merujuk pada konsistensi skor
yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka
diuji ulang dengan tes yang sama namun pada
kesempatan yang berbeda. Demikian juga untuk
melakukan pengukuran dalam aspek aspek
122
Psikologi sosial, kedua syarat tersebut harus
dipenuhi dalam prakteknya.

B. Pengukuran dalam psikologi sosial


Apakah yang dimaksud dengan pengukuran dalam
psikologi sosial?
Hal ini berkaitan dengan menjawab berbagai
pertanyaan seputar perilaku sosial dan pemikiran sosial,
dengan menggunakan metode metode penelitian tertentu.
Satu teknik dasar untuk mempelajari perilaku sosial adalah
Observasi Sistematis (Systematic observation), yaitu
mengamati dan mencatat secara sistematis perilaku yang ada
dengan dilengkapi pengukuran yang akurat dan teliti.
Misalnya seorang psikolog sosial ingin meneliti seberapa
sering orang saling bersentuhan di berbagai situasi yang
berbeda.
Peneliti dapat mencari datanya dengan pergi ke pusat
keramaian seperti pasar, pusat perbelanjaan, Bandar udara,
kampus dan lain sebagainya, untuk mencari tahu tentang siapa
menyentuh siapa, bagaimana cara bersentuhan, dan seberapa
sering itu terjadi. Penelitian semacam ini menggunakan
metode yang dinamakan dengan Observasi Alamiah

122
(Naturalistic Observation), yaitu observasi terhadap perilaku
dalam situasi alami.
Dalam hal ini peneliti tidak melakukan intervensi atau
melakukan apapun untuk mengubah perilaku orang orang
yang sedang diamati.
Teknik lain yang sering digunakan dalam judul observasi
sistematis adalah Metode Survei (survey method), yaitu
peneliti meminta sejumlah besar partisipan untuk merespon
pertanyaan pertanyaan tentang sikap atau perilaku mereka
dalam sebuah situasi sosial. Kadang metode ini digunakan
untuk mengukur sikap individu terhadap isu isu khusus.
Survey memiliki banyak keuntungan. Informasi dapat
diperoleh dari atau bahkan ratusan ribu orang dengan relatif
mudah. Selanjutnya karena survey dapat dipersiapkan dengan
cepat, maka opini publik tentang isu isu baru dapat diperoleh
secara cepat pula segera setelah isu yang bersangkutan
muncul. Namun agar survey dapat berguna sebagai alat
penelitian, maka harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu :
1. Orang orang yang berpartisipasi harus mewakili populasi
(representative) yang lebih besar, dimana penyimpulan
akan digeneralisasikan pada populasi tersebut. Hal ini
merupakan isu sampling (teknik pemilihan responden

122
penelitian yang diambil dari populasi untuk mewakili
populasi tersebut).
2. Isu lain sehubungan dengan survey yang juga perlu
diperhatikan adalah cara butir butir pertanyaan disusun ke
dalam kalimat akan berpengaruh terhadap hasil yang
didapat.
Pada berbagai kesempatan telah banyak peristiwa yang
ternyata berhubungan satu sama lain; ketika yang satu
berubah, yang lain berubah juga. Ketika dua peristiwa
berhubungan seperti itu maka disebut berkorelasi . Istilah
korelasi mengacu pada kecenderungan berubahnya satu
peristiwa sewaktu peristiwa lain berubah. Para psikolog
sosial menyebut aspek aspek alami yang bisa berubah
nilainya tersebut sebagai variabel. Korelasi antara dua
variabel bias menjadi sangat berguna karena bisa
meramalkan satu variabel berdasarkan informasi dari satu
atau lebih variabel lainnya. Fakta fakta dasar ini
mengarahkan pada satu metode penelitian yang penting
yang kadang digunakan oleh psikolog sosial, yaitu Metode
Korelasional (Correlational Method). Pada pendekatan
ini, ilmuwan secara sistematis mengobservasi dua atau
lebih variabel untuk menentukan apakah perubahan yang
terjadi pada salah satu variabel disertai oleh perubahan
122
variabel lainnya. Adanya korelasi yang kuat sekalipun
antara variabel variabel tidak menunjukkan adanya
hubungan sebab akibat antara variabel variabel tersebut.
Semua penelitian yang dilakukan didasarkan atas adanya
Hipotesis (hypothesis), yaitu sebuah prediksi yang belum
diverifikasi berdasarkan suatu teori.
Seperti penjelasan yang telah diberikan
sebelumnya, bahwa metode penelitian korelasional sangat
berguna untuk memenuhi salah satu tujuan ilmu
pengetahuan yaitu mampu membuat peramalan yang
akurat. Namun metode ini kurang berguna bila dilihat dari
tujuan yang lain yaitu member penjelasan. Hal ini
berkaitan dengan pertanyaan “mengapa?”. Untuk
mencapai tujuan memberikan penjelasan, umumnya para
psikolog sosial menggunakan metode penelitian yang
dikenal sebagai Eksperimentasi (experimentation) atau
Metode Eksperimen (Experimental Method), yaitu metode
penelitian dimana satu faktor atau lebih (variabel bebas)
yang iubah secara sistematis untuk menentukan apakah
suatu variabel mempengaruhi satu atau lebih faktor yang
lain (variabel terikat). Ciri dasar dari metode eksperimen
adalah memiliki dua tahap yaitu :

122
a. Variabel bebas (independent variable) yaitu variabel
secara sistematis diubah (divariasikan) dalam sebuah
eksperimen.
b. Variabel terikat (dependent variable) yaitu variabel
yang diukur dalam eksperimen.
Terdapat 2 syarat agar metode eksperimen berhasil yaitu:
Randomisasi penempatan partisipan secara acak dalam
kondisi eksperimen, atau tiap partisipan mempunyai
kesempatan yang sama untuk ditempatkan dalam tiap level
variabel terikat. Sebisa mungkin semua faktor selain
variabel bebas yang mungkin berpengaruh pada perilaku
partisipan harus dijaga supaya tetap konstan (dikontrol).
Pengaruh eksperimenter terjadi bila peneliti secara tidak
sengaja mempengaruhi tingkah laku partisipan. Pengaruh
seperti ini dapat dihilangkan atau diminimalisasi dengan
prosedur Double Blind, yaitu peneliti yang terlibat kontak
dengan partisipan tidak mengetahui hipotesis penelitian.
Setelah suatu penelitian selesai, psikolog sosial
harus mengubah fokus perhatian mereka kepada satu tugas
penting, yaitu mengintepretasikan hasil penelitian tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan, psikolog sosial biasanya
menggunakan Statistik Inferensial (Inferential Statistics),
yaitu suatu formula matematika khusus yang dapat
122
membantu peneliti menguji untuk mengevaluasi
kemungkinan apakah suatu pola hasil penelitian tertentu
terjadi akibat adanya faktor kebetulan.
Jika psikolog sosial dikonfrontasikan oleh hasil
penelitian yang berbeda, maka untuk menjawabnya dapat
menggunakan suatu teknik yang dikenal dengan nama
Meta Analisis yaitu teknik statistic untuk menggabungkan
data dari studi studi yang berbeda untuk menentukan
apakah variabel tertentu (atau interaksi antar variabel)
memiliki efek yang signifikan antar hasil penelitian
tersebut. Yang terakhir ada satu aspek dalam penelitian
psikologi sosial yang harus dicermati sebelum membuat
kesimpulan, yaitu melibatkan adanya suatu konstruksi
Teori (theory) sebagai kerangka kerja yang dibangun para
ilmuwan untuk menjelaskan mengapa kejadian atau proses
tertentu terjadi.

Kesimpulan
Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa
Psikologi Sosial adalah sebuah bidang ilmiah yang mencoba
memahami karakteristik dan penyebab dari perilaku dan
pikiran individu dalam situasi sosial. Penyebab penting dari
perilaku dan pemikiran sosial adalah perilaku dan karakteristik
122
orang lain, proses kognitif, aspek lingkungan fisik, budaya
serta faktor biologis dan genetik. Psikologi Sosial bersifat
ilmiah karena mengambil nilai nilai dan metode metode yang
digunakan oleh bidang ilmu pengetahuan lain.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan seputar perilaku
sosial dan pemikiran sosial, maka para ilmuwan menggunakan
metode penelitian dalam Psikologi Sosial. Metode metode
tersebut banyak ragamnya, misalnya observasi sistematis,
metode survey, metode korelasional, metode eksperimen.
Kesemua metode tersebut pada akhirnya mempertanyakan
tentang validitas eksternalnya, yaitu sejauh mana hasil
penelitian dapat digeneralisasikan ke dalam situasi sosial yang
nyata dan pada orang yang berbeda. Eksperimen yang
dilakukan sebagai upaya untuk memberikan penjelasan atas
sebuah penelitian didasarkan atas adanya hipotesis sebagai
prediksi yang belum diverifikasi berdasarkan teori dengan
memperhatikan variabel bebas dan variabel terikat dalam
penelitian.
Setelah penelitian selesai, maka para ilmuwan akan
menggunakan statistik inferential sebagai salah satu formula
matematika khusus untuk menginterpretasikan hasil
penelitian, serta mengujinya untuk dievaluasi kemungkinan
apakah hasil penelitian terjadi berdasarkan faktor kebetulan
122
belaka. Untuk hasil yang berbeda maka ilmuwan akan
menggunakan teknik meta analisis untuk menggabungkan data
dari beberapa studi yang berbeda guna menentukan apakah
variabel tertentu memiliki efek yang signifikan antar hasil
penelitian. Terakhir sebelum membuat kesimpulan, ilmuwan
akan membangun kerangka teori untuk menjelaskan sebab dan
terjadinya sebuah fenomena yang diteliti.

122
LATIHAN SOAL

Sesungguhnya, apapun yang Anda perbuat, Tuhan Maha


Mengetahui.Karena itu, bekerjalah dengan jujur dan jangan
berlaku curang!
A. Soal Pilihan Ganda
Pilihlah Satu Jawaban yang Paling Tepat!
1. Objek studi Psikologi Sosial adalah semua kondisi psikologis
individu dalam masyarakat. Ini berarti bahwa Psikologi Sosial
merupakan Ilmu yang mempelajari….
A. hubungan-hubungan yang ada antara berbagai kondisi
sosial dengan kondisi psikologis dalam diri individu.
B. hubungan-hubungan yang menyebabkan terganggunya
jiwa individu.
C. hubungan-hubungan khusus yang dapat menimbulkan
gangguan sosial.
D. hubungan-hubungan yang tidak ada kaitannya dengan
disiplin ilmu pengetahuan sosial lainnya.
2. Aliran yang berpendapat bahwa perilaku dapat dibentuk atau
diubah sesuai dengan apa yang dikehendaki adalah aliran
A. behaviorisme.
B. psikoanalisa.
C. humanisme.
D. cognitif.
122
3. Proses hubungan yang saling mempengaruhi antara individu
satu dengan individu lain, individu dengan kelompok dan
kelompok dengan kelompok, disebut
A. interelasi.
B. komunikasi.
C. introyeksi.
D. interaksi.
4. Setelah melakukan analisis data, seorang peneliti sibuk
mencari informasi dengan cara mewawancarai para ahli dan
membaca buku-buku kepustakaan, sebab hasil penelitian tidak
sesuai dengan hipotesis yang diajukannya. Tingkah laku
penelitian ini didorong oleh….
A. disonansi kognitif.
B. harapan peran.
C. ketegangan yang menimbulkan lokomosi.
D. reinforcement negatif.
5. Secara psikologis, keadaan disonansi adalah keadaan yang
tidak nyaman. Berikut ini adalah bentuk-bentuk perilaku yang
dimaksud untuk mengurangi disonansi, kecuali
A. Ketika nilai ujian tengah semester Psikologi Sosial
diumumkan Suparmen dapat nilai D. Kepada teman-
temannya kemudian Supar menceritakan bahwa listriknya
padam semalam menjelang ujian.
122
B. Karena uangnya tidak cukup untuk membeli mobil baru,
Dani kemudian membeli mobil lama dengan merek yang
sama.
C. Setelah sepatu hak tingginya diolok-olok teman, kemudian
sepatu hak tinggi itu diberikan kepada tetangganya.
D. Karena sering diejek sebagai banci, Ganang meskipun
sebenarnya adalah lelaki tulen, tapi justru terus
mengenakan pakaian wanita.
6. Melalui musyawarah gang, remaja itu mufakat untuk
menetapkan standar perilaku yang harus diikuti setiap
anggotanya. Sebagai anggota baru, Bagong langsung
melaksanakan aturan itu, agar loyalitasnya tidak disangsikan
lagi. Bahkan bagi Bagong aturan itu sudah menjadi bagian
dari pribadinya, dan menjadi pedoman dalam setiap tingkah
lakunya. Proses yang terjadi pada bagong itu dikenakan
sebagai
A. internalisasi norma.
B. standar internal.
C. kelompok rujukan.
D. norma kelompok
7. Masalah persepsi yang sangat erat kaitannya dengan sikap dan
prasangka sosial adalah masalah
A. person perception.
122
B. intergroup perception.
C. social perception.
D. self perception.
8. Proses persepsi mengikuti sistematika sebagai berikut
A. penginderaan - seleksi - organisasi - penafsiran.
B. penginderaan - seleksi - penafsiran - organisasi.
C. seleksi - penginderaan - organisasi - penafisran.
D. seleksi - organisasi - penginderaan - penafsiran.
9. Urut-urutan proses berikut ini yang paling benar adalah
A. persepsi diri  konsep diri  harga diri  kepercayaan
diri.
B. kepercayaan diri  harga diri  persepsi diri  konsep
diri.
C. persepsi diri  harga diri  konsep diri  kepercayaan
diri.
D. konsep diri  kepercayaan diri  harga diri  persepsi
diri.
10. Mau menerima kritik apapun bentuknya, dan mau
menceritakan sebagian rahasia diri kita yang tidak penting,
adalah sangat bermanfaat bagi kita khususnya dalam
A. veridikalitas persepsi kita tentang self, yang berguna untuk
pengembangan diri guna membangun konsep diri kita
yang positif.
122
B. mengatasi hambatan yang ada pada diri kita, lewat usaha
pengembangan diri, hingga akhirnya didapatkan konsep
diri yang positif.
C. pengembangan kemampuan self disclosure, yang sangat
penting bagi nilai sosial individu.
D. pengembangan tema sentral kepribadian kita dalam rangka
interaksi kita dengan lingkungan.
11. Persepsi sosial dengan komunikasi mempunyai kaitan yang
sangat erat. Warna dan corak hubungan itu akan tergantung
kepada hal tertentu, khususnya di dalam
A. menafsirkan dan memberi makna pada informasi.
B. pemenuhan kebutuhan rasa ingin tahu.
C. cara berkomunikasi yang sopan biasanya dipersepsikan
sebagai sesuatu yang baik.
D. pemberian informasi yang terus menerus dapat mengubah
warna dan corak persepsi.
12. Dalam memahami motivasi, psikologi sosial lebih
menekankan pembahasan tentang
A. sifat motivasi sebagai bawaan biologis atau bukan
biologis.
B. asal motivasi dari dalam (internal) atau dari luar
(eksternal) diri manusia.

122
C. bagaimana individu belajar untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan atau menyalurkan motivasinya.
D. jenis-jenis motivasi yang dimiliki manusia.
13. Perbedaan utama pandangan kaum Stoik dan kaum Epicurean,
tentang prinsip motivasi adalah dalam hal
A. arah orientasi pemenuhan kebutuhan.
B. tujuan dibentuknya masyarakat.
C. perlunya tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan.
D. Stoik dan Epicurean tidak berbicara masalah kebutuhan
masyarakat.
14. Ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi
manusia lainnya) yang mencerminkan pendapat Hobbes,
mewakili pandangan bahwa manusia
A. mengutamakan kepentingan dan kelangsungan hidupnya
sendiri.
B. merupakan bagian masyarakat yang rasionak dan alamiah.
C. memikul tanggung jawab untuk membantu orang lain.
D. berusaha menyeimbangkan kepentingan diri sendiri dan
orang lain.
15. Dalam psikologi dikenal adanya kaidah yang berbunyi:
sesuatu yang menyenagkan cenderung untuk didekati, dan
sesuatu yang tidak menyenangkan cenderung untuk dihindari.

122
Kaidah tersebut amat sesuai dengan prinsip dasar yang
dikemukakan oleh teori
A. Exchange dan Inscentive.
B. Lapangan dan Insentive.
C. Drive dan Instinks.
D. Instinks dan Exchange.
16. Apabila individu mengalami konflik approach-approach,
akibatnya individu berada dalam keadaan yang tidak
seimbang, Untuk mencapai kondisi yang seimbang, menurut
Lewin akan tergantung kepada
A. nilai kepentingan dan kekuatan region.
B. veridikalitas persepsi.
C. life spacenya.
D. valensinya.
17. Teori Leon Festinger menyatakan bahwa besarnya disonansi
kognitif merupakan fungsi dari
A. ada tau tidaknya konsistensi atau kesesuaian antara dua
kognisi.
B. kemauan orang yang mengalami dosonansi kognitif untuk
memecahkan masalahnya.
C. pengalaman orang yang mengalami disonansi kognitif dan
bagaimana ia memandang disonansi tersebut.

122
D. jumlah kognisi yang disonan dibandingkan yang konsonan
serta kepentingan kognisi-kognisi tersebut.
18. Menurut Harry C. Triandis, sikap dapat didefinisikan sebagai
A. suatu keyakinan terhadap objek psikologis tertentu yang
mengarahkan perilaku seseorang terhadap objek tersebut.
B. suatu ide yang bermuatan emosi dan menjadi predisposisi
tingkah laku dalam menghadapi suatu situasi.
C. suatu keyakinan yang dipakai sebagai acuan untuk
menginterpretasi, mengevaluasi, dan mengantisipasi suatu
situasi baru.
D. suatu ide yang bermuatan emosi yang membantu orang
untuk memecahkan masalah di lingkungan sekitarnya.
19. Perbedaan batasan sikap antara Allport dengan Krech dan
Crutchfield terletak pada penekanan pengaruh
A. masa lalu dan masa sekarang.
B. faktor situasional.
C. organisme aktif.
D. dimensi sikap.
20. Dalam pengertian sikap terkandung adanya beberapa
komponen sikap, yaitu
A. perasaan dan tingkah laku.
B. pikiran dan kecenderungan tingkah laku.
C. perasaan, pikiran dan tingkah laku.
122
D. perasaan, pikiran dan kecenderungan tingkah laku.
21. Yang dapat dijadikan objek sikap adalah
A. apa saja yang dapat dikenai pendapat.
B. apa saja yang dapat diamati oleh indera.
C. apa saja yang berhubungan dengan manusia.
D. apa saja yang tercakup dalam dunia psikologis seseorang
yang dibatasi oleh pengalaman hidupnya.
22. Apabila sikap telah tertanam kuat dalam diri seseorang,
kemudian oleh suatu sebab tertentu orang tersebut harus
mengubah sikapnya, maka menurut Osgood dan Tannenbaum
individu tersebut akan mengalami
A. penyesuaian baru terhadap objek.
B. disorentasi sikap.
C. incongruence dalam dirinya.
D. kondisi yang balance.
23. Ketika pak Camat menghadiri penyuluhan KB, hampir seluruh
warga yang hadir menunjukkan sikap positifnya dalam
melaksanakan KB. Namun ketika PLKB datang ke rumah
mereka untuk menagih janji, hanya 36% jumlah warga yang
melaksanakan KB. Sikap dan perilaku warga ini dapat
dijelaskan lewat
A. sikap bersifat tidak konsisten.
B. adanya sifat differensiasi dari sikap.
122
C. pengaruh kehadiran pak Camat.
D. sikap hanyalah kecenderungan tingkah laku.
24. Nining dan Nunung adalah saudara kembar yang kuliah di
STISIP BR. Mereka hampir tidak pernah terpisahkan satu
dengan yang lain. Pada suatu hari ditanya bagaimana sikap
mereka seandainya mempunyai pacar seorang pecandu
narkotika. Nining menjawab lebih baik putus, dan Nunung
menjawab “lihat dulu, masih mungkin ngak disembuhkan”.
Sikap mereka yang berbeda itu dapat terjadi karena adanya
perbedaan pada
A. pengalaman mereka.
B. dunia psikologis.
C. pergaulan mereka.
D. pengetahuan mereka.
25. Kegiatan persuasif tidak selalu berhasil karena tidak semua
orang mudah dipengaruhi orang-orang yang tidak mudah
dipengaruhi adalah orang-orang yang
A. menunjukkan kecenderungan mengasing-kan diri dari
pergaulan sosial.
B. memberikan respon dengan tegas terhadap suatu
hal/kejadian.

122
C. mempunyai rasa rendah diri karena merasa masih banyak
kekurangan pada dirinya dan karena keadaan sosialnya
yang tidak mengijinkan.
D. mempunyai orientasi kelompok.
26. Penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh
tingkah pendidikan terhadap kemampuan menggunakan
bahasa Indonesia yang baku dan benar di sebuah propinsi,
paling tepat mengunakan metode pengambilan sampel
A. statified proportional random sampling.
B. statified proportional non-random sampling.
C. statified proportional purposive sampling.
D. statified proportionalinsidental sampling.
27. Adanya usaha pemenuhan kebutuhan manusia biasanya
mendorong terbentuknya persekutuan. Agar tujuan dan
kerjasama persekutuan tercapai secara efektif dan efisien perlu
adanya pembagian tugas. Pembagian tugas pada organisasi
yang telah berkembang dengan struktur resmi, menimbulkan
A. strukturisasi.
B. pembagian peran.
C. status sosial.
D. koordinasi.

122
28. Salah satu ciri yang tidak memungkinkan kreativitas dapat
berkembang dengan baik pada orang bertipe kepribadian
Apolonian, adalah
A. keras kepala.
B. berpenampilan tenang.
C. tidak pernah ekstrim.
D. mudah bingung dan kacau.
29. Dalam suatu keluarga yang “broken home” biasanya terjadi
disintegrasi yang disebabkan adanya pelanggaran terhadap
hakikat organisasi sosial, namun biasanya masih ada satu
hakikat organisasi sosial yang masih melekat padanya, yaitu
A. norma yang diakui oleh anggota.
B. homogenitas anggota.
C. peranan setiap anggota.
D. intensitas hubungan antar naggota.
30. Tema kesetiakawanan sosial sering muncul menjadi tema
sentral pembicaraan yang hangat diantara para pejabat
maupun ilmuwan. Melihat ciri-ciri kelompok masyarakat yang
ada, nampaknya tujuan antara yang dapat digunakan sebagai
batu loncatan dalam mencapai terbentuknya masyarakat yang
mempunyai kesetiakawanan sosial yang tinggi adalah
A. membership group.
B. reference group.
122
C. primary group.
D. secondary group.
31. Yang dimaksud dengan kepemimpinan adalah
A. kualitas pribadi individu sehingga pantas disebut
pemimpin.
B. cara-cara pemimpin menjalankan fungsi-fungsi dan
peranannya.
C. siatuasi dalam kelompok yang menentukan interkasi
anggota.
D. cara-cara pemilihan sehinga terpilih seorang pemimpin.
32. Kesimpulan perumusan konsep “kelompok” yang
dikemukakan Lewin, Cattell, Proshansky dan Seindenberg
terkandung pengetian bahwa kelompok paling tidak
mempunyai ciri-ciri
A. saling ketergantungan antaranggota; untuk memperoleh
pemuasan kebutuhan; dan mempunyai aturan main yang
jelas dalam mencapai tujuan.
B. dua orang atau lebih individu yang saling tergantung,
untuk memperoleh pemuasan kebutuhan; dan terorganisir.
C. saling ketergantungan antaranggota; terdiri dua orang atau
lebih sebagai sarana memperoleh pemuasan kebutuhan.
D. adanya saling ketergantungan antar-anggota; sebagai
sarana uantuk memperoleh pemuasan kebutuhan.
122
33. Meskipun antok menjadi ketua mahasiswa pecinta alam di
Fisip UT, namun dalam setiap proses pengambilan keputusan
dan pengaruhnya terhadap anggota, nampaknya Hari yang
menjabat seksi latihan dan perbekalan lebih dapat diunggulkan
daripada Antok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
A. antok adalah pemimpin informal dan Hari adalah
pemimpin formal.
B. Hari pemimpin informal dan antok pemimpin formalnya.
C. Antok dan Hari keduanya adalah pemimpin formal.
D. Antok dan Hari keduanya adalah pemimpin informal.
34. Contoh aplikasi dari hasil studi Jenkins 1947 tentang
kepemimpinan adalah
A. Yana kemudian menjadi kreatif setelah diangkat menjadi
kepala bagian pemasaran.
B. meski telah dipromosikan sebagai kepala pusat penelitian,
Lili tetap menerapkan sifat-sifat kepemimpinannya yang
sama dengan jabatan yang dipangku sebelumnya.
C. dalam kedudukannya sebagai direktris PT Pemulung Jaya,
Ani lebih menekankan pentingnya aneka macam variasi
kebijakan dalam menekankan pentingnya aneka macam
variasi kebijakan dalam menghadapi berbagai situasi yang
berbeda.

122
D. setiawan menjunjung tinggi rasa humor, kreativitas,
inisiatif, dan semangat kerja yang tinggi, setelah diangkat
sebagai manajer produksi.
35. Banyak masyarakat awam dan juga beberapa orang ahli
menilai bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX (almarhum),
memang dilahirkan dengan sejumlah bakat dan sifat
memimpin, dan mampu memimpin dalam perbagai situasi.
Pernyataan ini sesuai dengan teori
A. tokoh besar.
B. perilaku.
C. sifat.
D. situasional.
36. Perkembangan motorik adalah ....
A. Gerakan yang dilakukan oleh seluruh tubuh
B. Perkembangan dari unsur kematangan dan pengendalian
gerakan tubuh
C. Berkembang sejalan dengan kematangan saraf dan otot
D. Hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian
dan sistem di dalam tubuh yang dikontrol otak
37. Ada lima pusat kontrol yang mengatur setiap gerak anak.
Salah satunya yaitu bagian yang mengatur pergerakkan
seluruh tubuh dan koordinasi gerakan tubuh, adalah  
A. Cerebral cortex
122
B. Batang otak
C. Cerebellum
D. Basal ganglia
38. Karakteristik perkembangan motorik halus anak usia 4-5
tahun  
A. Menggambar dengan gerakan naik turun bersambung
(seperti gunung atau bukit)
B. Menggambar garis lingkaran dan garis silang (garis tegak
dan datar)
C. Menggambar garis lurus
D. Menggambar coret-coretan
39. Karakteristik perkembangan motorik kasar anak usia 5-6
tahun  
A. Melompat-lompat dengan kaki bergantian
B. Melompat dengan dua kaki sekaligus di atas bak/
hamparan pasir
C. Melompati parit
D. Melompat dengan satu kaki
40. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan fisik-
motorik  
A. Kematangan dan pengendalian gerakan tubuh
B. Melibatkan fungsi-fungsi atau modalitas otak lainnya

122
C. Keterampilan dan kemampuan mengingat gerak yang
sesuai dengan urut-urutan tumbuh kembang otak
D. Sifat dasar genetik termasuk bentuk tubuh dan kecerdasan
41. Perkembangan sosial adalah….
A. Penerimaan sosial yang sesuai dengan tuntutan kelompok
B. Perolehan kemajuan berperilaku yang sesuai dengan
tuntutan sosial
C. Belajar bergaul dengan orang lain atau anak
D. Penyesuaian sosial sebagai anggota kelompok sosial
42. Proses sosialisasi adalah…
A. Menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat
diterima setiap kelompok sosial
B. Memainkan peran sosial yang dapat diterima setiap
kelompok sosial
C. Belajar berperilaku yang dapat diterima setiap kelompok
sosial
D. Belajar berperilaku yang sesuai dengan standar perilaku
yang diterima
43. Bagaimanakah gambaran orang yang sosial?  
A. Orang yang menginginkan kehadiran orang lain
B. Orang yang kesepian jika berada seorang diri di suatu
tempat

122
C. Orang yang merasa puas semata-mata karena berada
bersama orang lain
D. Orang yang perilakunya mecerminkan keberhasilan dalam
proses sosialisasi
44. Kesadaran individu akan adanya orang lain atau perilaku
orang lain yang terjadi di sekitarnya disebut dengan
A. Persepsi kognisi
B. Persepsi kedalaman
C. Persepsi social
D. Pesepsi individu
Answer: C
45. Impression formation saat perkenalan terjadi pada….
A. Pertengahan hubungan
B. Awal perkenalan
C. Akhir hubungan
D. Sepanjang hubungan
Answer: B
46. Assumed similarity dalam persepsi sosial terjadi pada….
A. Persepsi kolektif
B. Persepsi kelompok
C. Persepsi tunggal
D. Persepsi diri
Answer: D
122
47. Assumed similarity biasanya bersifat
A. Positif
B. Negatif
C. Kadang negatif kadang positif
D. Tidak dapat diperkirakan
Answer: A
48. Yang disebut sebagai faktor internal sumber atribusi adalah
A. Daya lingkungan
B. Daya kehendak
C. Daya pribadi
D. Daya kognisi
Answer: C
49. Hallo effect dalam daya tarik interpersonal terjadi melalui
A. Kesamaan sikap
B. Momen yang ada
C. Respon afektif pada pihak orang lain
D. Daya tarik fisik
Answer: D
50. Pendidikan dapat menjadi salah satu faktor yang penting
dalam daya tarik interpersonal dalam hal….
A. Kesamaan sikap
B. Momen yang ada
C. Respon afektif pada orang lain
122
D. Daya tarik fisik
Answer: A

B. Soal Essay
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan singkat
dan jelas. Tulisan yang rapi dan mudah di baca.
1. Jelasakan bagimanakah kedudukan ilmu psikologi sosial di
antara ilmu-ilmu sosial lainnya, terutama ilmu sosiologi
dan antrolpologi.
2. Jelaskan bagimana obyek formal dan obyek material dari
masing-masing ilmu tersebut pada soal nomor 1.
3. Hampir semua ahli psikologi sosial modern
mendefinisikan psikologi sosial adalah ilmu yang terkait
dengan dinamika “SITUASI SOSIAL” Jelaskan apa yang
dimaksud dengan situasi sosial itu.
4. Sekitar Tahun 1924 Floyd Allport memunculkan gagasan
tentang masalah perilaku sosial. Jelaskan bagaimana
konsep pemikiran Floyd Allport tentang masalah perilaku
sosial tersebut
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Persepsi Sosial
6. Bagaimana peranan impresi sosial dalam pembentukan
hubungan sosial.

122
7. Faktor-faktor apa yang berperanan dalam mempengaruhi
persepsi sosial.
8. Pada dasarnya peneliti bidang psikologi sosial dapat
menggunakan hampir semua jenis metode penelitian yang
ada. Anda sebutkan dan anda jelaskan metode penelitian
yang paling populer digunakan dalam riset-riset psikologi
soial.
9. Apa yang dimaksud dengan natural setting eksperimental
reaserch dalam penelitian psikologi sosial.
10. Perdebatan tentang sumber penyebab perilaku sosial telah
berlangsung cukup lama. Seymour Epstein mendiskusikan
tiga pendekatan yang saling mengaku bahwa pendekatan
merekalah yang paling benar. Anda sebutkan dan anda
jelaskan ketiga pendekatan yang dimaksud

122

Anda mungkin juga menyukai