Anda di halaman 1dari 37

Bab 1

A. Pendahuluan
STEMI merupakan rusaknya bagian otot jantung secara
permanen akibat trombus arteri koroner. Terjadinya
trombus disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian di
ikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. STEMI
umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun
secara mendadak. Infark mokard akut dengan elevasi
ST (ST elevation myiocardinal infrarction/STEMI)
merupakan bagian dari spektrum koroner akut (SKA)
yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa
elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST (Sutoyo, 2006).
Penyakit STEMI disebabkan karena oklusi total
trombus kaya fibrin di pembuluh koroner epikardial.
Oklusi ini akan mengakibatkan berhentinya aliran darah
(perfusi) ke jaringan miokard. Tujuan pengobatan
pasien miokard infark akut dengan penyakit ini adalah
untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat
metabolik akibat oklusi trombotik persisten di arteri
koroner. Sehingga kerusakan otot jantung yang lebih
luas dapat dihindari. Strategi pengobatan STEMI
sangat berkaitan dengan masa awitan (time onset) dan
memerlukan pendekatan yang berbeda di masing-
masing pusat pelayanan kardiovaskular demi
mendapatkan tatalaksana yang tepat, cepat dan agresif.
Pengobatan utama adalah untuk secara cepat membuka
arteri yang tersumbat dengan terapi reperfusi dalam
waktu 12 jam setelah onset nyeri dada yang merupakan
periode yang paling penting sebagai masalah terus AMI
menyebabkan cedera miokardium karena tidak
mendapatkan cukup O2. Hal ini tidak hanya seorang
dokter, tetapi juga seorang perawat yang mengambil
bagian dalam perawatan pasien sebelum dan sesudah
intervensi reperfusi. Perawat mengkaji pasien untuk
faktor risiko, menilai nyeri dada, EKG menafsirkan,
memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan
perawat mereka, dan mencegah perkembangan faktor
risiko tambahan dan komplikasi pengobatan seperti
syok kardiogenik atau hematoma. Infark Miokard Akut
Elevasi Segmen ST (IMAEST) merupakan suatu bagian
Sindroma Koroner Akut yang terjadi karena
penyumbatan total arteri koroner oleh trombus yang
terbentuk atau terlepas sebagai respon tubuh terhadap
ruptur plak arteroskelosis, IMAEST dapat berakibat
pada kematian mendadak bahkan sebelum sempat
dibawa ke pelayanan kesehatan. maupun Kejadian
Kardiovaskular Mayor (KKvM) setelah dan selama
perawatan. Bahkan sekarang ini angka KKvM pada
populasi penderita IMAEST adalah berkisar 10,3%,
cukup besar untuk populasi penderita IMAEST yang
telah menjalani tindakan reperfusi dini. STEMI
merupakan bagian dari penyakit akut sindrome
cardiovaskuler yang dapat mengancam nyawa dan
merupakan penyebab kematian apabila tidak
mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat.
Penatalaksanaannya yang telah distandarkan oleh AHA
yaitu STEMI Chain of Survival (Ornato, 2007) yang
meliputi rangkaian early symptom recognition & call
for help, EMS evalution & treatmetment, Emergency
departement evalution & treatment, Reperfusion
therapi. Penatalaksanaan yang terpadu dari STEMI
Chain of Survival dapat memberikan hasil yang
maksimal. The American Heart Association
memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta penduduk
Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan
lebih dari 1 juta orang yang diperkirakan mengalami
serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya
lebih sering pada pria dengan umur antara 45-65 tahun
dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65
tahun. Penyakit jantung koroner juga merupakan
penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika.
Data yang dilaporkan oleh AHA 2013 Menyebutkan
bahwa Insiden penerimaan rumah sakit, pasien dengan
AMI dengan ST-segmen elevasi (STEMI) bervariasi
antara setiap negara, antara lain di Swedia, di mana
angka insiden 66 pasien STEMI /100.000/tahun. Angka
serupa juga dilaporkan di Republik Ceko, Belgia, dan
Amerika Serikat: tahun 1997 dan 2005 angka kejadian
(per 100.000) dari STEMI menurun 121-77 kasus,
sedangkan tingkat insiden non-STEMI meningkat
sedikit dari 126 ke 132. Dengan demikian, kejadian
STEMI tampaknya meningkat dibandingkan dengan
kejadian non-STEMI. Di Indonesia menurut data
Depkes RI tahun 2008 angka kematian mencapai 25%
akibat serangan jantung. Sementara itu pada tahun 2008
terdapat 2446 kasus, tahun 2009 terdapat 3862 kasus,
dan pada tahun 2010 terdapat 2529 kasus yang
didiagnosa Acute Coronary Syndrome (ACS) di UGD
(Unit Gawat Darurat) Pusat Jantung dan Pembuluh
Darah Nasional Harapan Kita Jakarta (Priyanto, 2011).
Berdasarkan penelitian dalam Journal of Sakon Nakhon
Hospital dilaksanakan Studi kasus komparatif: Tiga
pasien STEMI dengan angina pektoris dirawat di rumah
sakit. Dua pasien yang didiagnosis dengan infark
miokard dinding anterior (AWMI) sementara yang lain
didiagnosis dengan rendah infark miokard dinding
(IWMI). Semua dari mereka menerima perawatan
jantung darurat (ECC) dengan waktu tidak lebih dari 90
menit. Penderita IMAEST memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard, yang dapat dilakukan dengan terapi
fakmakologis (agen fibrinolitik) atau secara mekanis
yaitu Intervensi Koroner Perkutan (IKP) primer. Terapi
reperfusi IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk
semua pasien dengan onset gejala yang timbul dibawah
12 jam.2,3 Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan
(RSHAM) tindakan reperfusi dini dilakukan 91%
dengan fibrinolitik4, namun angka keberhasilan serta
follow up KKvM jangka panjang pasien pasca
fibrinolitik belum pernah diteliti sebelumnya, pertama
hal ini terkait dengan kriteria keberhasilan fibrinolitik
yang seperti dijelaskan pada panduan tentang reperfusi
pada pasien IMAEST onset dibawah 12 jam, yakni
berkurangnya nyeri dada, penurunan elevasi segmen ST
lebih dari 50% dan dijumpainya irama accelerated
idioventricular, sayangnya dari ketiga kriteria tersebut
hanya irama accelerated idioventricular yang dapat
dinilai secara objektif, sementara penurunan elevasi ST
tidak dijelaskan apakah jika sudah terbentuk gelombang
Q patologis, penurunan tersebut masih tetap bermakna.
Elektrokardiogram 12 sadapan (EKG) sampai saat ini
masih dianggap bagian penting dalam penegakkan
diagnosis dan evaluasi dini pada pasien dengan
IMAEST. EKG merupakan standar baku emas dalam
mengidentifikasi lokasi IMAEST bahkan lebih banyak
informasi bisa didapatkan dari EKG meliputi ukuran
infark dan prognosis penderita IMAEST.5,6 Pada
IMAEST dapat dijumpai gambaran khas elevasi segmen
ST pada area infark dan disertai dengan gambaran
depresi segmen ST (DSST) pada area sadapan di arah
yang berlawanan dari area infark (area noninfark)
dengan prevalensi sekitar 54% hingga 82%.7,8,9 DSST
lebih sering terjadi pada IMAEST inferior (72%)
dibandingkan dengan IMAEST anterior (37%). DSST
juga lebih sering pada IMAEST dengan komplikasi dan
dengan adanya elevasi segment ST yang cukup besar.10
Pada awalnya DSST di sadapan resiprokal area infark
pada IMAEST dianggap sebagai benign electrical
phenomenon.11,12 Dengan berkembangnya teknik
angiografi koroner dan pencitraan jantung noninvasif.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari STEMI
2. Untuk mengetahui etiologi STEMI
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari STEMI
4. Untuk mengetahui faktor penyakit jantung dari
STEMI
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari STEMI
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari
STEMI
BAB II
Tinjauan Teori

A. Definisi
Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (ST
Elevation Myocardial Infarction, STEMI) adalah
sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala
iskemia miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran
EKG berupa elevasi ST yang persisten diikuti pelepasan
biomarker nekrosis miokard. STEMI merupakan
rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat
trombus arteri koroner. Strategi pengobatan STEMI
sangat berkaitan dengan masa awitan (time onset) dan
memerlukan pendekatan yang berbeda di masing-
masing pusat pelayanan kardiovaskular demi
mendapatkan tatalaksana yang tepat, cepat dan agresif
STEMI merupakan penyakit kegawatan pada jantung,
dimana terdapat oklusi di arteri koroner yang mendadak
akibar thrombus yang mengakibatkan daerah miokard
yang didarahi oleh pembuluh akan mengalami iskemia,
sehingga menimbulkan nyeri dada dan perubahan
EKG..
B. Etiologi
Penyakit STEMI disebabkan karena oklusi total
trombus kaya fibrin di pembuluh koroner epikardial.
Oklusi ini akan mengakibatkan berhentinya aliran darah
(perfusi) ke jaringan miokard. Tujuan pengobatan
pasien miokard infark akut dengan penyakit ini adalah
untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat
metabolik akibat oklusi trombotik persisten di arteri
koroner. Sehingga kerusakan otot jantung yang lebih
luas dapat dihindari Strategi pengobatan STEMI sangat
berkaitan dengan masa awitan (time onset) dan
memerlukan pendekatan yang berbeda di masing-
masing pusat pelayanan kardiovaskular demi
mendapatkan tatalaksana yang tepat, cepat dan agresif.
Pengobatan utama adalah untuk secara cepat membuka
arteri yang tersumbat dengan terapi reperfusi dalam
waktu 12 jam setelah onset nyeri dada yang merupakan
periode yang paling penting sebagai masalah terus AMI
menyebabkan cedera miokardium karena tidak
mendapatkan cukup O2. Hal ini tidak hanya seorang
dokter, tetapi juga seorang perawat yang mengambil
bagian dalam perawatan pasien sebelum dan sesudah
intervensi reperfusi. Perawat mengkaji pasien untuk
faktor risiko, menilai nyeri dada, EKG menafsirkan,
memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan
perawat mereka, dan mencegah perkembangan. faktor
risiko tambahan dan komplikasi pengobatan seperti
syok kardiogenik atau hematoma.
C. Manisfestasi klinis
Tanda dan gejala yang yang dialami oleh pasien yang
perlu diperhatikan pada pasien STEMI adalah nyeri
dada, rasa tertekan dan sesak di dada yang menjalar
sampai ke leher, rahang, lengan, punggung atau ke satu
bagian tangan atau ke kedua bagian tangan. Selain itu
dengan intensitas nyeri yang berat kadang nyeri juga
dirasakan di perut, mual, dan atau muntah yang
berkaitan dengan ketidaknyamanan di dada dan
Persistent shortness of breath (Natarajan
D. Patofisiologi
Patofisiologi pada infark miokard dengan ST elevasi
terjadi oklusi di arteri koroner yang mendadak akibat
thrombus. Akibatnya daerah miokard yang didarahi
oleh pembuluh tadi akan mengalami iskemia, sehingga
menimbulkan nyeri dada dan perubahan EKG. Nekrosis
kemudian akan terjadi mulai di daerah endokardial
sampai ke permukaan epikardial. Proses ini jika
berlangsung terus akan menimbulkan infark transmural.
Percobaan pada binatang menunjukkan hubungan yang
kuat antara lamanya oklusi dengan luasnya nekrosis.
Kematian sel dimulai setelah 20 menit oklusi dan
mencapai puncaknya setelah 6 jam. Proses ini
dipengaruhi oleh oleh beberapa faktor seperti ada atau
tidaknya reperfusi intermiten, kolateral dan iskemia
prekondisioning. Mortalitas dan morbiditas tergantung
pada luasnya daerah infark, sehingga semakin cepat
pemulihan aliran darah arteri koroner maka diharapkan
akan memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan harapan
hidup penderita (Firman, 2010)
E. Faktor terjadinya penyakit jantung
Faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner yang
tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah peningkatan
usia penderita (Ignativicius & Workman, 2010). Laki-
laki memiliki peluang dua kali lebih tinggi untuk
menderita PJK dibandingkan dengan wanita dan laki-
laki dapat menderita PJK 10 tahun lebih awal
dibandingkan perempuan. Sebelum menderita
menopause wanita memiliki resiko lebih rendah
mengalami infark miokard, karena estrogen endogen
berperan sebagai pelindung terhadap serangan PJK.
Tetapi apabila wanita sudah mengalami menopause
maka maka wanita memiliki resiko yang sama dengan
laki-laki (Gray, et.al. 2005). Adanya keluarga dengan
hubungan darah langsung yang memiliki riwayat
mengalami PJK yang berusia kurang dari 70 tahun
merupakan faktor independen terjadinya PJK, dengan
odd rasio 2-4 kali lebih besar dari populasi kontrol
(Gray, et.al. 2005).
Sedangkan faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner
yang dapat dimodifikasi diantaranya kadar kolesterol total
yang tinggi. LDL merupakan pembawa kolesterol utama
dalam darah. Tinggi kadar LDL akan memicu
arterosklerosis karena LDL merupakan kolesterol pada
dinding pembuluh darah, (Lemone & Burke, 2008).
Sekitar 24% kematian akibat PJK pada laki-laki dan
11% perempuan disebabkan kebiasaan merokok. Orang
yang merokok 20 batang atau lebih per hari memiliki
peluang 2-3 kali lebih besar mengalami PJK, (Gray et.
al., 2005). Tekanan darah yang tinggi akan merusak sel-
sel endotel arteri melalui tekanan yang berlebihandan
mengubah karakteristik aliran darah. Kerusakan ini
dapat menstimulasi perkembangan plak aterosklerosis,
(Lemone & Burke, 2008). Hiperglikemi menyebabkan
peningkatan agregasi trombosit, yang dapat
menyebabkan pembentukan trombus. Kontrol hipertensi
dan faktor resiko lainnya seperti obesitas, akan
menurunkan faktor resiko PJK, (Lemone & Burke,
2008). Selain itu faktor lain seperti obesitas, kurangnya
aktivitas fisik dan stres dapat memicu terjadinya PJK.
F. Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan
dalam menentukan terapi karena bukti kuat
menunjukan gambaran ST elevasi dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk
dilakukan terapi reperfusi. Pemeriksaan EKG 12
sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai
STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di
IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan
terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,
EKG serian dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara
2. Pemeriksaan repurfusi
3. Pemeriksaan rongsen dada
4. Terapi laboratorium
Pemeriksaan penunjang melalui pemeriksaan
laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh
menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang
dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan
cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang
dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB. Terapi reperfusi
diberikan segera mungkin pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung
pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai
enzim diatas dua kali nilai batas atas normal
menunjukkan adanya nekrosis jantung (Farissa,
2006).
5. Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis
secara cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai
dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang
mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti
platelet, memberi obat penunjang. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana
IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun
2013 dan ESC tahun 2012, tetapi perlu disesuaikan
dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing
tempat dan kemampuan ahli yang ada.
BAB III

LEMBAR DOKUMENTASI PENGKAJIAN KEPERAWATAN IGD

Nama Mahasiswa : Diah Ayu Malinda_________________________________________


NIM : SK 116012_____________________________________
RS : Rsud Ungaran __________________________________________

Tanggal dan jam datang :  

Klasifikasi : Trauma : -  

Non trauma  

DATA PASIEN

ALERGI
IDENTITAS PASIEN OBAT
Nama/ Jenis kelamin : Tn. M   1    

Tgl. Lahir (Usia) : 59 Tahun   2    

No. RM : 9753200845   3    

Desa
Botomulyo
Alamat : Kec. Cepiring   4    

:
menika
Status perkawinan h Kawin  

Belum kawin  

Agama : Islam  

Pekerjaan : Buruh  

ANAMNESIS

Autoanamnesis   Aloanamnesis    
             

             

             

             

             

TANDA-TANDA VITAL

160/80 MMhG
Tekanan Darah : mmHg

110X/MENIT
Nadi : kali/menit

32X/MENIT
Frekuensi pernapasan : kali/menit
Suhu : 36,5 ⁰C

Skala nyeri
SURVEY PRIMER
A. Airway+ Controll Cervical
 Sumbatan: tidak ada ( ) , sputum ( ), darah ( ), benda padat, lainnya:………
 Suara napas : bersih (√ ), gurgling ( ), snoring ( ), stridor ( )
A. Breathing + Ventilasi
 Terpasang ventilator: ya ( )
 Mode...........FiO2.......I:E.......Rate.......IPL........TV........PEEP..... tidak ( √ )
 Pengembangan dada: ada/ simetris ( ), ada/ asimetris ( ), tidak ada( )
 Bradipnea (√ ), Tachipnea ( ), Cusmaul ( ), Cains Stock( ), Biot ( )
 Frekuensi :…….x/mt Reguler ( ), Ireguler ( )
 Menggunakan otot tambahan: ya ( √ ), tidak ( )
 Auskultasi paru: Vesiculer ( √ ), Ronkhi ( ), Weezing ( )
 Perkusi paru: Resonan ( ), Hiperesonan ( ), konsolidasi ( )
 Reflek batuk: ada ( √ ), tidak ( )
 Keluhan Sesak napas: ada ( √ ), tidak ada ( )
B. Circulation
 Nadi : 110 .X/mnt
 Irama Nadi: reguler (√ ), ireguler ( )
 Kekuatan: lemah (√ ), kuat ( )
 TD : 160/80 mmHg
 Akral : hangat (√ ), dingin ( )
 Warna kulit: cianosis ( √ ), pucat ( ), kemerahan ( )
 Capilleri refill : < 3 detik ( √ ), >3 detik ( )
 Saturasi O2 : ……%
 Nyeri dada : ya (√ ), tidak ( )
 Karakteristik : ditusuk-tusuk ( ), menyebar ( ), seperti terbakar ( ), tertimpa
benda keras ( √ )
 Perdarahan: ada ( ) di ……………………, tidak ada (√ )

C. Disability (deficit neurologis)


 Tingkat kesadaran (kualitatif): Composmentis (√ ), Apatis ( ), Somnolen ( ),
Soporus ( ), Coma ( )
 Tingkat Kesadaran (kuantitatif):
GCS = E :…..M:….V :….
 Pupil : isokor (√ ), un isokor ( ), Medriasis ( )
 Rangsang terhadap Cahaya: ka......./ki......
 Kejang ( )
 Pello ( )
 Disartria ( )
 Disfagia ( )
 Afasia ( )
 Nilai kekuatan otot :
D. Eksposure + Hipothermia Prevention
 Jejas: ada ( ) di ………………………………….., tidak ada (√ )
 Suhu........0C
E. Folley Cateter
 Keluar darah dari orivicium uretra : ya ( ), tidak (√ )
 Colok dubur ditemukan prostat melayang: ya ( ), tidak ( √ )
 Terpasang Kateter: ya ( ) hari ke…,tidak (√ )
F. Gastric Tube
 Keluar darah dari telinga ( ), hidung ( )
 Terdapat Battle signe ( ), tidak ( )
 Lebam area orbita ( ), tidak ( )
 Terpasang NGT: ya ( ) hari ke…..,tidak (√ )
G. Heart Monitor

EKG :
 Regularity: …………………..
 HR : ………x/menit
 Gelombang P: ……………….
 PR Interval : ………………..
 QRS komplek: ………………….
 Gel. Q:………………..
 Gel. T:……………….
 ST segmen:………………..
 Interpretas/kesimpulan: ……………………………..

SURVEY SEKUNDER
 Kulit Kepala : luka ( ), perdarahan ( ), hematoma ( √ ), krepitasi ( )
 Wajah : Sembab mata ( ), cedera cornea ( ), krepitasi pada hidung
( ), krepitasi zygoma ( ), robek membrane timpani ( ), hemotimpanium ( ), luksasi
mandibula ( ), konjungtiva anemis (√ ).
 Leher: krepitasi servical ( ), peningkatan JVP ( )
 Cor : Inspeksi:
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
 Pulmo : Inspeksi:
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
 Abdomen: Inspeksi:
Auskultasi :
Perkusi :
Palpasi :
 VU : Distensi VU ( ), Nyeri ( )
 Pelvis : Krepitasi ( )
 Ekstremitas atas: Krepitasi (√ ), ), fraktur ( ), udema ( )
 Ekstremitas bawah: Krepitasi ( ), fraktur ( ), udema ( )
 Bagian punggung: Nyeri ( ), √ ), Krepitasi Vertebra ke…..( )
 Pemeriksaan penunjang:
USG ( ) hasil:……
Rongent ( ) hasil:……
CT Scan ( ) hasil:…….
EKG ( ) hasil : ada elevasi
MRI ( ) hasil:....

DECAP-BTLS (SIGN OF TRAUMA)

Deformities   Bleeding  

Contusions   Tenderness  

Abrasions   Lacerations  

Punctures   Swelling  
Penetrations Burns  

Lokasi adanya tanda-tanda trauma

             

Keluhan

             

           

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Laboratorium kimia darah : BGA :      

pH :      

p O2 :      
p CO2 :      

HCO3 :      

Kesimpulan :      

USG :  

Rontgen :  

CT-Scan :  

ASPEK MEDIS

Diagnosa Medis :

Nama Dosis Golongan obat Cara kerja obat


Obat
FORMAT DIAGNOSA KEPERAWATAN

Tanggal : 12
Agustus
2020
Nama Pasien :Tn. M
Umur :59 tahun
Ruang :mawar
MASALA DIAGNOSA
Ja ETIOLO
DATA FOKUS H KEPERAWATA
m GI
N
DS: Agen Nyeri Nyeri Akut
 Pasien cidera (00132)
mengata biologis
kan
nyeri
dada
sebelah
kiri
 Pasien
mengata
kan
nyeri
nya
seperti
tertindi
benda
berat
DO:
 Pasien
tampak
memega
ngi
dadanya
 Pasien
tampak
meringis
Kesakita
n

Sesak
Kesulitan nafas Ketidakefektifan
DS. bernafas pola nafas
 Klien
mengata
kan
sesak
nafas
berat
Do:
 Klien
terlihat
sangat
kesulita
n
bernafas
TTV :
 TD
160/80
MMhG
 Nadi
110x/me
nit
 RR
32x/men
it Ansietas
 Suhu
36,4 C

DS
Kien
mengatakan
cemas
DO :
Klien tampak
berkeringat
dingin
N Diagnosa Hasil (NOC) Rencana Intervensi
o (NIC)
Nyeri Setelah dilakukan Manajemet nyeri
Akut tindakan keperawatan (1400)
berhubung 1x24 jam diharapkan  Lakukan
an dengan nyeri teratasi dengan pengkajian
Agen kontrol nyeri (1605) nyeri scara
cidera Kriteria hasil : komprehensif
bilogis  Menggunakan  Jelaskan cara
( 00132 tindakan relaksasi
pemberian  Ajarkan
obat analgesik penggunaan
 Melaporkan teknik non
nyeri yang farmakologi
tidak relaksasi
terkontrol  Memotivasi FORMAT RENCANA
 Mengenali klien untuk ASUHAN
gejala nyeri menggnakan KEPERAWATAN
aplikasi
Tanggal : 12 Agustus 2020
teknik
Nama Pasien : Tn. M
Umur : 59 Tahun relaksasi
Ruang : mawar
Setelah dilakukan
 Memonitorin
Pola Nafas tindakan keperawatan g jumlah
Tidak
selama 1x24 jam pernafasan
Efektif
diharapkan nafas  Memonitor
klien dapat teratasi tanda-tanda
vital
sesuai kriteria hasil ::
 Kecepatan  Jelaskan pada
dan irama pasien untuk
mengurangi
pernafasan aktivitas
dalam batas
 Anjurkan
normal
pasien untuk
 Fungsi paru posisi fowler
dalam batas agar leher
tidak tertekuk
normal
 Tanda- tanda  Anjurkan
teknik
vital dalam
bernafas dan
batas normal relaksasi yang
benar

Ansietas Setelah dilakukan


Pengurangan
tindakan keperawatan kecemasan
selama 1x24 (3840)

diharapkan masalah  Jelaskan


BAB IV

(STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR CARA


MENGATASI NYERI )

1. Definisi : Suatu metodeuntuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan


perhatian pasien pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang
dirasakan
2. Tujuan : Untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri pada pasien

3. Prosedur dan penilaian :


RELAKSASI
NO. ASPEK YANG DINILAI NILAI
A TAHAP PRA INTERAKSI 0 1 2
1. Memvalidasi perlunya prosedur pada status medis atau
rencana keperawatan
2. Mempersiapkan diri perawat/mahasiswa : penguasaan
konsep dan precaution
3. Mencuci tangan
B TAHAP ORIENTASI
1. Memberikan salam, memastikan identitas pasien (ex:
nama, tanggal lahir), mengenalkan diri perawat
2. Menerangkan prosedur dan tujuan tindakan
3. Menyampaikan kontrak waktu
4. Memberikan kesempatan klien/keluarga untuk bertanya
5. Memastikan klien/keluarga telah menyetujui tindakan
yang akan diberikan (menanyakan kesediaan)
C TAHAP KERJA
1. Atur lingkungan sekitar tempat tidur/ menjaga privasi
klien (ex: menutup tirai)
2. Membina hubungan saling percaya
3. Mengatur posisi klien sedemikian rupa hingga rilexs
dapat duduk atau berbaring ( semyamannya klien )
4. Instruksikan pasien untuk menghirup nafas dalam
hingga rongga dada berisi udara bersih
5. Anjurkan pasien perlahan menghembuskan nafas dan
membiarkannya keluar dari semua bagian tubuh, saat itu
suruh pasien merasakan rasanya
6. Anjurkan pasien untuk memusatkan perhatian ‘betapa
nikmat rasanya’
7. Pasien bernafas normal beberapa sat (1-2 menit)
8. Anjurkan kembali pasien bernafas dalam dan
menghembuskan berlahan dan rasakan udara mengalir
dari tangan, kaki menuju ke paru-paru kemudian
dibuang.
9. ulangi lagi seperti tadi yang sudah diajarkan
10 Pasien diminta untuk memusatkan pehatian pada kaki-
tangan, udaa yang keluar dirasakan kehangatannya
11 Setelah klien rileks kemudian irama nafas ditambah
gunakan pernafasan dada dan abdomen
D TAHAP TERMINASI
1. Mengevaluasi respon pasien (subjektif dan objektif )
2. Memberikan reinforcement positif pada klien/keluarga

3. Kontrak untuk kegiatan selanjutnya


4. Mencuci tangan
5. Mendokumentasikan
BAB V

BAB 5

Jurnal Reading

Judul Artikel : PERUBAHAN GAMBARAN EKG PASIEN JANTUNG KORONER


SETELAH PEMBERIAN TE RAPI OKSIGEN DAN TERAPI FARMAKOLOGI
Penelis : Neni Ernawati, Joko Suwito, Siti Maemonah, Dhiana Setyorini
Nama Jurnal : Jurnal Keperawatan
Volume / Nomor : VOL. V NO. 2 Agustus 2012
Bulan / Tahun : Agustus 2012
Penerbit : Poltekkes Kemenkes Surabaya
Link Akses Jurnal : http:ojs unud id.artik elPDF PERUBAHAN GAMBARAN EKG
PASIEN JANTUNG KORONER
2. Isi Artikel :
1. Abstrak : EKG merupakan alat bantu dalam menegakkan diagnosa penyakit
jantung. Pada iskemia disertai perubahan EKG akibat perubahan elektrofisiologi
sel yaitu T inversi dan ST depresi. Sedangkan pada infark miokard akut
didapatkan perubahan EKG yaitu adanya ST elevasi. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif cross-sectional dengan melakukan observasi pada gambaran
EKG sebelum dan sesudah pemberian terapi oksigen dan terapi farmakologi di
HCU jantung RSUD Kabupaten.Hasil penelitian didapatkan gambaran EKG
sebelum pemberian terapi oksigen dan farmakologi sebanyak 40% adalah ST
elevasi. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi
nasal kanul 4 lpm dan terapi farmakologi didapatkan 70% adalah baik. Perubahan
gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi masker sederhana 8
lpm dan terapi farmakologi sebagian besar didapatkan perubahan gambaran EKG
baik.
2. Pendahuluan : Penyakit jantung koroner (PJK) adalah terjadinya
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan. Ketidakseimbangan ini dapat
terjadi akibat penyempitan arteri koroner, penurunan aliran darah/curah jantung
(cardiac output), peningkatan kebutuhan aliran di miokard, atau spasme arteri
koroner. Apabila keadaan plak ateroma pada arteria koronaria menjadi tidak
stabil, misalnya mengalami perdarahan, rupture atau terjadi fisura, akan terbentuk
thrombus di daerah plak yang menghambat aliran darah koroner maka terjadi
serangan PJK (Gray huon, 2002). Perubahan reversibel pada EKG dasar yang
terjadi saat episode nyeri dada (pergeseran segmen ST, inversi gelombang T
merupakan tanda penyakit oklusif koroner. Perubahan yang luas dikaitkan dengan
prognosis yang buruk karena berhubungan dengan penyakit koroner yang berat
dan difus. Iskemia merupakan manifestasi hemodinamika yang sering terjadi.
Respon tersebut merupakan kompensasi simpatis terhadap berkurangnya fungsi
miokardium. Iskemiabiasanya disertai oleh perubahan EKG berupa gelombang T
terbalik dan depresi segmen ST. Pada infark miokard akut didapatkan gambaran
EKG berupa elevasi segmen ST (Linsay, 2006). Tanda dan gejala yang paling
sering dijumpai pada penyakit kardiovaskuler adalah sesaknapas dan nyeri dada.
Keluhan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen yang berada di miokard. Terapi farmakologis untuk mengurangi gejala
dan iskemia. Gejala dan tanda angina pectoris yang disebabkaniskemia miokard
dapat berkurang dengan pemberian obat yang dapat menurunkan
kebutuhanoksigen dan atau meningkatkan aliran darah ke daerah yang iskemia.
Obat anti angina yang sering dipakai adalah β Blocker, calsium antagonis dan
nitrat organik. Pembuka kanal kalium mungkin dapat digunakan. Kini dapat juga
dipakai obat inhibisi nodus sino atrial dan agen metabolic (Anwar, 2004). Selain
itu terapi oksigen penting untuk memberikan transport O2 yang adekuat dalam
darah sambil menurunkan upaya bernapas dan mengurangi stres pada miokardium.
Pemberian terapi oksigen melalui kanula nasal menghantarkanoksigen
berkonsentrasi rendah (24-44 persen) dengan kecepatan aliran 2-6lpm. Akan tetapi
bila kecepatan diatas 6lpm, kemungkinan klien menelan udara dan mukosa faring
serta nasal menjadi teriritasi, dan FiO2 (fraksi oksigen) tidak meningkat.
Pemberian terapi oksigen lainnya menggunakan masker sederhana (simple face
mask) menghantarkan konsentrasi oksigen dari 40-60 persen dengan aliran 5-8
lpm secara berturut-turut (Berman, 2009; Potter dan Perry, 2005). Pemberian
terapi oksigen merupakan tindakan kolaboratif yang tentunya tanpa advice dari
dokter, perawat harus dapat memberikan terapi oksigen secara benar dan
mengetahui apakah pasien mengalami kekurangan oksigen. Kendala diHCU (High
Care Unit) Jantung RSUD Kabupaten Jombang dalam pemberian terapi oksigen
adalah pendokumentasian yang kurang terperinci tentang evaluasi pemberian
terapi oksigen sehingga sulit untuk menentukan keefektifan pemberian
terapioksigen. Evaluasi pemberian oksigen meliputi penilaian kardiopulmoner dan
penilaian analisa gas darah. Penilaian sistem kardiopulmoner meliputi kesadaran,
laju jantung, laju nadi, dan perfusi perifer serta tekanan darah ( Price, S.A and
Wilson L.M. 2003). Atas dasar inilah perawat di unit kritis harus mengetahui
tehnik dan rasional alat dalam pemberian oksigen dan perawat juga harus
mengembangkan kebiasaan memeriksa alat-alat inidan mengkaji pasien apakah
menunjukkan tanda dan gejala hipoksemia-takikardi, takipnea,berkeringat dan
kekacauan mental atau perilaku yang juga merupakan tanda-tanda
keracunanoksigen. Di HCU Jantung RSUD Kabupaten Jombang, pasien dengan
penyakit kardiovaskuler tercatat sebanyak 519 pasien pada tahun 2009 dan 481
pasien (93%) mendapatkan terapi oksigen. Terapi yang digunakan adalah nasal
kanul 2-4 lpm dan masker dengan dosis 6-10 lpm. Monitoring dari terapi oksigen
di HCU Jantung didokumentasikan dalam status pasien. Akan tetapi pada
pendokumentasian terapi oksigen kurang diperhatikan. Kurangnya evaluasi
efektifitas terapi oksigen pada HCU Jantung RSUD Kabupaten Jombang
disebabkan pemberian oksigen merupakan prosedur tetap yang dilakukan pada
pasien yang dirawat di HCU Jantung sehingga keadaan ini tidak terevaluasi oleh
perawat. Oksigen diberikan kemudian dicatat cara pemberian dan dosisnya akan
tetapi setelah itu tidak dievaluasi dan didokumentasikan secara rinci dan jelas
apakah pemberian terapi tersebut memberi reaksi pada pasien. Evaluasi pemberian
terapi oksigen inipenting dilaksanakan karena terapi oksigen dapat menimbulkan
efek samping dan komplikasi. Efek samping dan komplikasi dari pemberian terapi
oksigen adalah keracunan oksigen, CO2 narkosis, mikroatelektasis, aspirasi bila
pasien muntah, perut kembung dan infeksi.
3. Metode : Disain penelitian yang digunakan adalah deskriptif cross-sectional.
Populasi penelitian adalah semua pasien PJK yang dirawat di HCU Jantung
RSUD Kabupaten Jombang selama bulan Juli- Desember 2009 sebanyak 120
pasien. Sampel penelitian adalah pasien yang dirawat di HCU Jantung yang diberi
terapi oksigen. kriteria sampelpenelitian adalah :1)Pasien yang dirawat di HCU
Jantung RSUD Kabupaten Jombang; 2)Pasien yang mendapat terapi oksigen;
3)Pasien dengan diagnosa medis PJK; 4)Pasien dengan terapi farmakologi :
antiplatelet (aspilet dan atau plavix), nitrat (fasorbidtablet atau injeksi cedocard),
calcium antagonis (nifedipin, diltiazem), statin (simvastatin, cholestat), LMWH
(injeksi lovenox). Besar sampel sebanyak 25 sampel. Teknik pengambilan sampel
menggunakan consecutive sampling. Waktu penelitian adalah tanggal 1-14 Juli
2010 dan dilaksanakan di HCU Jantung RSUD Kabupaten Jombang. Alat
pengumpulan data adalah lembar observasi.
4. hasil : Karakteristik pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK) di HCU jantung
RSUD kabupaten Jombang sebagai berikut: 1. Pasien yang berjenis kelamin laki-
laki lebih banyak yaitu 17 orang (68%), sedangkan perempuan sebanyak 8 orang
(32%). 2. Pasien umur 25-44 tahun sebanyak 3 pasien (12%), 46-65 tahun ada
separuh lebih yaitu 17 orang (72%), dan > 65 tahun sebanyak 4 pasien (16%). 3.
Pasien dengan pendidikan tertinggi adalah SMA yaitu mencapai 11 orang atau
44% dari total pasien. 4. Karakteristik pasien dengan pekerjaan PNS, swasta dan
tani masing-masing terdapat 7 pasien (28%). 5. Pasien yang mendapat pemberian
terapi oksigen dengan nasal kanul 4 lpm adalah 20 orang (80%) sedangkan pada
pemberian terapi oksigen dengan masker sederhana 8 lpm sejumlah 5 orang
(20%). 6. Pasien PJK paling banyak mendapat Terapi farmakolgi terapi
farmakologi Nitrat, kombinasi Antiplatelet, Statin, ACE inhibitor dan Calcium
Antagonis sebanyak 8 orang (36%).
5. 5. Pembahasan : Gambaran EKG pasien PJK Sebelum dan setelah Diberikan
Terapi Oksigen Dan Terapi Farmakologi, Perubahan Gambaran EKG Setelah
Pemberian Terapi Oksigen Nasal Kanul 4Lpm Dan Pemberian Terapi
Farmakologi, Perubahan Gambaran EKG Setelah Pemberian Terapi Oksigen
Masker Sederhana 8 Lpm Dan Terapi Farmakologi, perubahan pada pasien atau
bahkan memburuk. Berdasar hasil uji statistik Kendall Tau Beta
6. menunjukkan bahwa terapi oksigen dan terapi farmakologi jika berdiri sendiri
tidak bermanfaat terhadap perubahan gambaran EKG, maka perlu diberikan terapi
oksigen dengan terapi farmakologi secara bersama-sama.
7. . Simpulan dan Saran : Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai
berikut : .
a. Gambaran EKG sebelum pemberian terapi oksigen dan terapi
farmakologi didapatkan sebanyak 40% mengalami gambaran
ST elevasi dan setelah pemberian oksigen dan terapi
armakologis didapatkan sebanyak 68% gambaran EKG-nya
membaik.
b. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian
terapi nasal kanul 4 lpm dan terapi farmakologi didapatkan
sebagian besar dengan perubahan gambaran EKG baik dan
sebagian kecil didapatkan perubahan gambaran EKG buruk.
Hal ini dikarenakan adanya perluasan infark, nekrosis miokard
dan adanya perubahan dari infark subendokard menjadi infark
transmural.
c. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian
terapi masker sederhana 8 lpm dan terapi farmakologi sebagian
besar didapatkan perubahan gambaran EKG baik. Hal
inidisebabkan oleh perluasan infark dan perubahan infark sub
endokard menjadi transmural.
Beberapa hal yang disarankan adalah:
d. .Perawat harus mengetahui kerja obat harus mampu
menganalisa hasil rekaman EKG sebelum dan sesudah
diberikan terapi oksigen dan terapi farmakologi.secara dini
mengetahui dan melaporkan perubahan pasien kepada dokter;
e. Bagi rumah sakit hendaknya menyediakan SOP pemberian
terapi oksigen sebagai aspek legal dalam melakukan tindakan
keperawatan; Pentingnya untuk disediakan trombolisis dalam
formularium obat, dan Mengadakan pelatihan tentang cara
menginterprestasikan EKG, reperfusi (trombolisis) pada
perawat IRD
BAB VI

Penutup
STEMI merupakan penyakit kegawatan pada jantung, dimana terdapat oklusi di
arterkoroner yang mendadak akibar thrombus yang mengakibatkan daerah miokard yang
didarahi oleh pembuluh akan mengalami iskemia, sehingga menimbulkan nyeri dada dan
perubahan EKG. Mencegah angka Mortalitas dan morbiditas pada STEMI berfokus pada
waktu dan ketepatan sesuai dengan penatalaksanaan STEMI Chain of Survival yang meliputi
early symptom recognition & call for help, EMS evalution & treatmetment, Emergency
departement evalutione& treatmetment, Reperfusion therapi. Dalam pelaksanaan STEMI
belum maksimal dengan melihat angka mortalitas yang cukup tinggi. Banyak masalah yang
terjadi dalam empat bagian dalam STEMI Chain of Survival.
Daftar pustaka
1. Marton Patricia Gonce, Fontaine Dorrie, Hudak Carolyn, Gallo Barbara. (2013).
Keperawatan Kritis Edisi 8. Jakarta : EGC
2. Morton, Fontaine, Hudak, And Gallo, Alih Bahasa , Nike Budi Subekti, Komara
Yudha, Devi Yulianti. (2011). Keperawatan Kritis Edisi 2 JAKARTA : EGC
3. Nursalam. ( 2014). Manajement Keperawatan : Aplikasi Dalam Praktik K eperawatan
Profesional Edisi 4. Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai