Kelompok 7 - Pengembangan PKN
Kelompok 7 - Pengembangan PKN
Oleh: Kelompok 7
1. Sovita Putri Yana NIM. 170210204002
2. Indah Purnamasari NIM.170210204010
3. Nabila Agata Amalia NIM. 170210204077
4. Tyas Prismania NIM. 170210204116
5. Diana Novita NIM. 170210204133
6. Nur Holila NIM. 170210204135
1. Kronologi
Mengutip Liputan 6.com, Kasus Ahok saat itu disebabkan adanya penistaan
terhadap agama dengan mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 yang diilustrasikan
sebagai isu SARA. Peristiwa kala itu terjadi saat Ahok sedang berpidato di
hadapan warga Kepulauan Seribu pada 30 September 2016. Peran Ahok yang kala
itu sebagai PLT Gubernur DKI Jakarta. Beberapa hari setelah pidatonya Ahok
dilaporkan oleh Habib Novel Chaidir Hasan pada kepolisian. Dengan laporan
Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim yang berisi laporan penistaan agama.
Pada proses laporan tersebut, sudah muncul demonstrasi dan desakan di kalangan
masyarakat di sejumlah wilayah yang puncaknya saat 4 November 2016.
Sebenarnya Ahok secara kooperatif besrsedia dan hadir dalam pemeriksaan Polisi.
Bahkan, Mantan Gubernur DKI Jakarta inipun berupaya untuk kalrifikasi dan
meminta maaf pada seluruh komponen masyarakat. Namun, yang terjadi gerakan
massa semakin massif dan membuat polisi bergerak karena adanya gangguan
keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). sebelas hari setelah aksi masa
polisi melakukan gelar perkara di Mabes Polri dengan terbuka, namun hanya
terbatas. Pada gelar perkara ini menghadirkan berbagai belah pihak seperti ketua
Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab yang selalu aktif memimpin aksi massa.
Sidang perdana mengagendakan pembacaan dakwaan terhadap Ahok. Ahok
digugat dengan dakwaan alternatif antara pasal !56 huruf a KUHP atau pasal 156
KUHP karena dugaan penodaan agama. Pihak Ahok juga mengajukan nota
keberatan atau eksepsi. Pada sidang ke-19, JPU menuntut Ahok bersalah, jaksa
penuntut meminta Ahok diadili selama 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2
tahun. Majelis kemudian memutuskan untuk mengadili Ahok dengan tuntutan 2
tahun penjara. Ahok dinyatakan telah terbukti bersalah karena melakukan
penodaan agama terhadap pidatonya yang mengutip surat Al-Maidah ayat 51.
2. Demokrasi Indonesia Saat Kasus Ahok
Kasus Ahok dibawa ke meja hijau, lantaran peran Ahok sebagai Gubernur
terkemuka yang dikenal oleh masyarakat luas. Pidato Ahok di Pulau Seribu yang
dianggap telah menodai agama islam dengan mengutip salah satu ayat. Peristiwa
ini menimbulkan kebencian atas nama agama atau hate spin. Kondisi ini tidak
baik untuk demokrasi Indonesia, justru menandakan adanya kemunduran dalam
demokrasi di Indonesia. Sedangkan pada waktu itu akan diadakannya Pilkada dan
juga Pilpres di tahun 2019. Hal tersebut dapat menjadi gambaran bahwa Isu
SARA mungkin menjadi celah untuk alat politik saja. Bagaimanapun kalangan
tertentu sudah pasti memanfaatkan ini untuk merekayasa dan memenangkan
pemilu. Kasus ini seakan-akan telah dibesar-besarkan sehingga menimbulkan
tendensi yang baru. Pidato Ahok menyulut unjuk rasa yang juga berakhir ricuh,
membawa kurang lebih ratusan ribu orang turun di Jakarta. Melihat dari
background Ahok sebagai non-muslim yang telah mengutip ayat Alqur’an dalam
pidatonya yang menimbulkan banyak kesalahpahaman. Bahkan Ahok yang
dikenal sebagai keturunan etnis Tionghoa pun juga dibawa-bawa dalam isu SARA
ini. Meskipun Ahok telah menjalani hukumannya, tidak menutup kemungkinan
peristiwa ini akan menimbulkan demokrasi yang tidak sehat. Akibatnya
Perpecahan sudah timbul di kalangan masyarakat dengan melabeli siapun
berdasarkan agama, suku, atau etnis. Kasus Ahok ini mungkin telah menjadi
preseden berbahaya bagi kaum minoritas dalam hak berdemokrasi di negara yang
mayoritas muslim seperti di Indonesia. Momentum Ahok saat diangkat sebagai
Gubernur DKI Jakarta yang memiliki kesempatan untuk maju kembali, dianggap
positif bagi keterwakilan etnis minoritas pada kancah politik di Indonesia. Namun
demonstrasi dan unjuk rasa pada 4 November itu, membelokkan ke isu yang
mengarah pada kebencian terhadap etnis Tionghoa. Termasuk Ahok dituding telah
memangku kepentingan bisnis Tiongkok.
2. Pemilu 2009
Tingkat partisipasi dalam pemilu 2009, baik dalam pemilu legislatif maupun
pemilihan umum angka golput justru semakin naik dari pada era awal reformasi
pada tahun 2004. Akan tetapi, GOLPUT pada era ini sedikit berbeda dengan
pemilu sebelumnya. Jika pada masa Orba dan awal reformasi lebih didominasi
fenomena sikap politik seseorang yang kritis terhadap sistem politik yang ada,
maka banyak yang berpendapat jika tingginya angka GOLPUT pada Pemilu 2009
lebih disebabkan persoalan administrasi belaka. Tingginya angka GOLPUT yang
terjadi dalam pemilu 2009 banyak disebabkan karena lemahnya kinerja KPU
sebagai penyelenggara dalam penyususnan DPT (Daftar Pemilih Tetap).
Angka GOLPUT terus meningkat pasca reformasi, pada pemilu 1999 sudah
mencapai 10,4%, pemilu 2004 sebesar 23,34%. Selain hal itu pemilu 2009 angka
pemilihan legislative mencapai 29,01% dan pemilihan presiden mencapai 27,77%.
Menurut data tersebut selama reformasi angka GOLPUT mampu melebihi partai
pemenang pemilu, baik pemilu legislatif maupun presiden.
Sikap sebagian masyarakat menjadi GOLPUT atau golongan putih dalam
pemilu dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya seperti sikap apatis,
politik uang, atau kurangnya pendidikan. Baik dari semua aspek tersebut
sebenarnya semua saling berhubungan terhadap penyebab melambatnya
demokrasi. Pemilu digunakan bukan hanya sebagai ajang formalitas politik
semata. Namun juga sebagai tempat untuk menuangkan aspirasi dan patisipasi
politik masyarakat. Partisipasi masayarakat dalam pemilu dilakukan dengan
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa atau mempengaruhi seleksi
pejabat-pejabat negara dan atau tindakan yang diambil oleh mereka dan secara
langsung atau tidak mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam hal ini bisa
diartikan jika partispasi dapat bersifat otonom. Namun partispasi masyarakat juga
dapat dimobilisasi dengan menggerakkan keikutsertaan masyarakat melalui
imbalan berupa materi atau mungkin ancaman.
a. Apatis
Sikap apatis dapat juga bergulir menjadi mistrust (ketidakpercayaan) dan
juga cynicism. Apatisnya masyarakat terhadap pemilihan umum muncul karena
merasa sudah dikecewakan berkali-kali. Pergantian kepemimipinan bisa saja
dirasa kurang karena tidak membawa perubahan yang berdampak secara meluas.
Ada kemungkinan jika masyarakat berpikir bahwa siapapun pemimpin yang
terpilih terlihat tidak ada bedanya. Kondisi ini menjadikan masyarakat tidak
mudah percaya terhadap mana pemimpin yang jujur, amanah, bertanggung dan
layak dipercaya baik kalangan eksekutif, legislative, maupun yudikatif. Krisis
kepercayaan ini tentu tak lepas dari ulah partai yang menjadi kendaraan para elit
politik. Masyarakat justru semakin apatis dan kurang mengapresiasi kinerja partai
politik dalam mengartikulasi aspirasi mereka.
b. Politik Uang (money politics)
Politik uang telah menjadi wujud bagi para elit politik untuk melakukan cara
yang tidak adil dalam mendapatkan kekuasaan. Para oknum tentu memiliki modal
yang banyak sehingga memiliki peluang yang besar untuk memperoleh suara
rakyat. Dengan politik uang justru disebut-sebut akan menaikkan popularitas
seorang calon pemimpin, karena memberi tip. Menurut partai politik dan calon
dewan, politik uang msih dijadikan tempat sebagai sumber daya yang paling
ampuh untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya pada pemilu. Pada pemilu
legislatif 2014 berdasarkan jajak pendapat yang disurvey oleh LSN mengenai
politik uang menunjukkan dibawah 40% publik yang bersedia menerima uang.
Dari 1230 responden di 34 provinsi di Indonesia, hanya 30,9% yang menolak
pemberian uang dari partai atau caleg manapun(Tempo, 02 Juni 2020). Kebutuhan
ekonomi tetap menjadi alasan utama dalam memanfaatkan kontestasi pemilu yang
ada.
c. Pendidikan
Pengetahuan masyarakat hanya terbatas pada pengetahuan yang
dikonstruksi oleh calon pemimpin saja dengan menggunakan alat peraga
kampanye sehingga masyarakat yang otonom tidak bebas berfikir. Secara umum
masyarakat lebih terpengaruh pada pencitraan dan transaksi yang diberikan
semata. Biasanya pada golongan pemilih pemula menjadi incaran partai politik
dalam menggaet suara. Para pemilih pemula biasanya belum paham atau kurang
mendapat informasi yang memadai terhadap pendidikan politik itu sendiri.
Asumsi yang berkembang partai politik bisa saja memanfaatkan ini untuk
mengupayakan pemilih pemula bahkan dengan permainan politik uang. Tidak
hanya berfokus pada pemilih pemula, biasanya masyarakat yang telah terpengaruh
dengan adanya berita bohong atau hoax justru akan rentan terpancing dengan
berita yang ada karena kurangnya pengetahuan dalam menyaring informasi.
Akibatnya, bisa jadi tersebar kebencian atau ketidakpercayaan di lingkungan
masyarakat terhadap keadaan politik yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
3. Kesimpulan Diskusi:
Adanya demokrasi menjadikan semua elemen masyarakat Indonesia yang
notabennya memiliki pluralisme yang beragam dapat hidup berdampingan satu
sama lain. Ekspresi dalam mengemukakan sebuah pemikiran dan jajak
pendapat harus memperhatikan topik yang tidak menyinggung suatu kelompok
yang akan menimbulkan perpecahan. Begitu pula pada kasus Ahok seharusnya
dapat diselesaikan melalui hukum yang transparan, bukan unjuk rasa di jalanan
secara berlebih-lebihan. Begitu pula dengan sistem demokrasi pada pemilu
Indonesia yang masih diwarnai dengan tindakan GOLPUT dari masyarakat.
Jika GOLPUT masih memenuhi demokrasi di Indonesia. Bukan tidak mungkin
pemilu akan dimanfaatkan untuk memenangkan calon pemimpin yang tidak
layak bagi kesejahteraan Rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia harus
memiliki partisipasi politik untuk memperjuangkan hak-hak mereka.