Anda di halaman 1dari 17

TUGAS INDIVIDU

FILSAFAT PANCASILA
MAKALAH STUDI KASUS

KOALISI SAVE IBU NURIL CERMINKAN BANGSA YANG GOTONG


ROYONG TERHADAP KRIMINALISASI DI NEGERI INI

Disusun oleh :

Septyoko Wirantono
NIM : 51418047

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
MADIUN
2018
ABSTRAK

Kasus yang menimpa seorang karyawan honorer korban kekerasan seksual Kepala
Sekolah di Mataram, Baiq Nuril, harus menelan pil pahit Putusan Kasasi No.
574K/Pid.Sus/2018 september lalu. Dia terjerat Pasal 27 ayat 1 UU ITE tahun
2016 atas tindak pidana “mendistribusikan atau mentransmisikan konten
kesusilaan” setelah setahun sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri
Mataram. Putusan kasasi tersebut mengundang gejolak masyarakat hingga
terbentuknya petisi #AmnestiUntukNuril dengan 100.000 dukungan dalam waktu
1 hari. Jumlah dukungan yang sangat fantastis untuk hitungan waktu yang singkat.
Namun, petisi ini mampu menunjukkan sisi positif Indonesia, yaitu bahwa gotong
royong masih mendarahdaging di bangsa ini.
BAB I

PENDAHULUAN

Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula
dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum dan keadilan bagi
warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat
perlengkapan negara atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian
akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya (Abdul, 2011).

Hukum harus menjadi “tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat.


Untuk melaksanakan tujuan tersebut perkembangan hukum harus mampu
mengiringi perkembangan masyarakat. Di era sekarang ini, teknologi informasi
memegang peran penting, sehingga dunia firtual menjadi dunia kedua setelah
dunia nyata sebagai fasilitas yang digunakan untuk berbagai tujuan. Oleh karena
itu, disusunlah Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Pembuatan undang-undang tersebut sebagai langkah nyata
perlindungan terhadap kepentingan rakyat.

Konsekuensi Negara Indonesia sebagai Negara hukum ialah adanya


lembaga peradilan. Hadirnya lembaga peradilan tersebut dimaksudkan untuk
mengawasi dan melaksanakan aturan-aturan hukum atau Undang-Undang Negara
atau dengan kata lain untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Simanihuruk, 2011). Sebagai salah
satu lembaga peradilan, pengadilan seharusnya menjadi tempat mencari solusi
atas masalah yang ada. Tapi yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir justru
sebaliknya. Putusan-putusan pengadilan malah menjadi sumber masalah baru dan
menambah rumit konflik di masyarakat.

Salah satu kasus yang masih hangat hingga saat ini adalah korban
pelecehan yang dipidanakan. Baiq Nuril sedianya adalah korban pelecehan
seksual dalam kasus ini. Namun, dia dijerat UU ITE hingga divonis bersalah oleh
Makamah Agung dan menerima hukuman penjara 6 bulan serta denda 500 juta
karena memiliki rekaman pelecehan seksual yang dilakukan atasannya. Padahal
sebelumnya, Nuril sudah dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri
Mataram. Saat ini kesan profesionalisme putusan hakim dalam memberikan
putusan juga menurun. Hakim, yang harusnya dalam membuat putusan menggali,
menemukan, dan mengikuti cita keadilan masyarakat, justru berjarak dengan cita
keadilan masyarakat itu sendiri, sebagaimana tercermin dalam kasus ini.

Masyarakat Indonesia kemudian tidak tinggal diam mendengar adanya sisi


kemanusiaan yang dilanggar dalam kasus Baiq Nuril tersebut. Merasa bahwa
terjadi pelanggaran dalam hal kemanusiaan dan juga keadilan, beberapa kelompok
masyarakat kemudian angkat suara mengenai kasus ini mulai dari menunjukkan
rasa simpati hingga kegeramannya. Seluruh respon masyarakat ini telah sampai
pada terbentuknya koalisi Save Ibu Nuril yang menyerahkan petisi
#AmenstiUntukNuril yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi
sebagai upaya untuk meminta pengampunan terhadap Baiq Nuril.

Pancasila sebagai filsafat dan dasar negara Indonesia yang telah diketahui
oleh seluruh warga negara Indonesia untuk kemudian nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya dihormati, dihargai, dijaga, dan dijalankan di kehidupan sehari-hari.
Hal ini dilakukan agar nilai tersebut tidak hanya menjadi nilai tertulis atau nilai
simbolik semata, melainkan menjadi acuan bentuk dalam menjalankan proses
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai sistem filsafat di Indonesia, tentu
saja Pancasila memegang peranan yang sangat penting bagi paradigma dan arah
hidup bangsa Indonesia sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan,
juga sebagai alat pemersatu dalam kehidupan berbangsa, serta sebagai pandangan
hidup untuk kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari.

Kasus Baiq Nuril adalah duka yang mampu menyulut persatuan bangsa ini
dalam menuntut keadilan dan kemanusiaan yang beradab. Baiq Nuril hanya
seorang ibu dari tiga orang anak yang bekerja sebagai pagawai honorer di sebuah
sekolah negeri di Mataram, tanpa bantuan dari masyarakat Indonesia mungkin
akan sulit baginya untuk bisa mendapatkan keadilan. Berdasarkan respon
masyarakat Indonesia terhadap kasus Baiq Nuril hingga dapat membuat petisi
untuk kasus ini, sangat mencerminkan bagaimana benar nila ekasila Pancasila,
gotong royong, telah mendarahdaging dalam jiwa bangsa ini. Hal ini
menunjukkan pengakuan, penerimaan, dan penghargaan Pancasila sebagai sesuatu
yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku dan
perbuatan bangsa Indonesia (Dewantara, 2017). Untuk bisa menelisik kasus ini
lebih dalam, mengupas bagaimana proses pelanggaran sila kedua kemanusiaan
yang adil dan beradab, serta menilai petisi yang berasal dari koalisi sipil yang
menamai diri koalisi Save Ibu Nuril sebagai penggambaran ekasila,
kegotongroyongan, yang nyata dihidupi oleh masyarakat Indonesia akan dibahas
dalam Bab selanjtnya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KASUS

Baiq Nuril Maqnun (40) merupakan seorang mantan tenaga honorer di


SMA Negeri 7 di Mataram yang menjadi korban pelecehan seksual oleh M
yang merupakan kepala sekolah tempat dirinya bekerja. Kasus ini mulai
mencuat ke publik pada 2016. Waktu itu M, yang menjabat Kepala SMAN
7 Mataram, memperkarakan Baiq Nuril sebagai staf honorer tata usaha
bagian keuangan di sekolah yang sama. Baiq Nuril dilaporkan karena
merekam percakapan dirinya dengan M yang bermuatan asusila melalui
sambungan ponsel. Kepsek M waktu itu menceritakan hubungan badannya
dengan wanita lain yang merupakan atasan Baiq Nuril di bagian keuangan
SMAN 7 Mataram. Kasus lalu berlanjut ke penyidikan hingga
persidangan.

Di Pengadilan Negeri Mataram, pada Juli 2017, Nuril divonis bebas. Di


tingkat kasasi, majelis kasasi MA yang diketuai hakim agung Sri
Murwahyuni, dengan anggota majelis hakim agung Maruap Dohmatiga
Pasaribu dan hakim agung Eddy Army, memvonis Nuril 6 bulan penjara
dan denda Rp 500 juta. Putusan kasasi Nomor 574K/Pid.Sus/2018 itu
diketuk pada 26 September 2018 atas tindak pidana "mendistribusikan
atau mentransmisikan konten kesusilaan" sebagaimana tertera dalam pasal
27 ayat 1 UU ITE Tahun 2016.

B. KRIMINALISASI UNDANG-UNDANG ITE


1. Kriminalisasi

Istilah “kriminalisasi” populer di kalangan masyarakat dewasa ini.


Sayangnya, pengertian “kriminalisasi” dalam pengertian populer ini
sendiri sepertinya belum terlalu konkrit sehingga pencarian definisi ini
menjadi penting agar lebih jelas apa sebenarnya yang dimaksud
dengan “kriminalisasi”. ”Kriminalisasi” pada dasarnya adalah istilah
yang digunakan oleh masyarakat atas penegakan hukum yang
dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Penggunaan kewenangan-kewenangan penegakan hukum yang seolah-
olah bertujuan untuk menegakan hukum namun sebenarnya semata-
mata hanyalah untuk merugikan orang yang dikehendaki untuk
menjadi Tersangka. Sedemikian terasanya itikad buruk tersebut
sehingga penegakan hukum tersebut bukannya mendapatkan dukungan
dari masyarakat, namun justru kecaman dan perlawanan (PSHK et al,
2015).

Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau


penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang
oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai
perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana membuat
suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat
dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya (Soekanto,
1981). Dalam perspektif labeling, kriminalisasi adalah keputusan
badan pembentuk undang-undang pidana memberi label terhadap
tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau tindak pidana.

Unsur motif merupakan unsur yang paling penting untuk menentukan


apakah ini “Kriminalisasi” atau bukan. Secara garis besar motif
“Kriminalisasi” pada dasarnya adalah untuk merugikan korban secara
tidak sah atau tidak patut. Motif ini bisa beragam, mulai dari sekedar
merusak reputasi korban, menghalang-halangi korban melakukan
aktivitasnya, teror kepada pihak lain, kepentingan politik, hingga motif
ekonomi. Pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus
aparat penegak hukum, namun bisa saja pihak tersebut adalah pihak
lain, seperti pelapor atau orang lain yang menyuruh pihak penegak
hukum (PSHK et al, 2015).

2. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pada dewasa ini, perkembangan teknologi informasi telah


menyebabkan dunia menjadi tanpa batas. Sehingga dibutuhkan hukum
yang dapat mengatur dan melindungi hak rakyat dalam perkembangan
dunia teknologi informasi. Pada dasarnya setiap undang-undang yang
dibuat oleh pembuat undang-undang merupakan jawaban hukum
terhadap persoalan masyarakat pada waktu dibentuknya undang-
undang tersebut (Suhariyanto, 2012). Hal tersebutlah yang mendasari
terbentuknya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dalam Pasal 1 mencantumkan


pengertian dari Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, tetapi tidak terbataspada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,
dan/atau media elektronik lainnya. Sedangkan Teknologi Informasi
adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan
informasi.

Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi


Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan
pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai
informasi dan transaksi elektronik dimaksudkan untuk mengakomodir
kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya
guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi
elektronik. Sementara beberapa materi perbuatan yang dilarang
(cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain: 1. konten ilegal,
yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian,
penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan
(Pasal27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE); 2. akses ilegal (Pasal 30); 3.
intersepsi ilegal (Pasal 31); 4.gangguan terhadap data (data
interference, Pasal 32 UU ITE); 5. gangguan terhadap sistem (system
interference, Pasal 33 UU ITE); 6. penyalahgunaan alat dan perangkat
(misuse of device, Pasal 34 UU ITE) (DPR RI, 2015).

3. Kronologis Kasus Baiq Nuril

Kepsek M sering kali mengajak Baiq Nuril berkencan hingga larut


malam. Menurut pengakuan Baiq Nuril, sejak M menjadi Kepala
SMAN 7 Mataram, keakraban Nuril didasari hubungan kerja antara
atasan dan bawahan. Sejak Tahun 2014 M sudah mulai curhat kepada
Baiq Nuril terkait M yang sudah memilki hubungan spesial dengan
wanita lain yang merupakan atasan Baiq Nuril di bagian keuangan
sekolah tempatnya bekerja. Lama kelamaan obrolan M kepada Baiq
Nuril semakin menjurus. Karena merasa tidak nyaman dengan obrolan
mesum itu, Baiq Nuril pun merekam percakapan melalui saluran
ponsel antara Baiq Nuril dan M (Harianto, 2018).

Rekaman percakapan dirinya dengan M tersebut hanya ditujukan


semata-mata sebagai alat bukti pembela diri serta menjaga hubungan
rumah tangga dengan Isnaini (40), suami Nuril yang sudah mulai
curiga karena Nuril kerap pulang malam. "Soalnya suami saya tahu
kalau saya suka pulang larut malam. Waktu itu si kecil (anak bungsu)
masih menyusui. Tapi si kepala sekolah ini dulu tetap dia ajak saya
pulang malam," cerita Nuril (Harianto, 2018).

Kasus ini mulai mencuat ke publik pada 2016. Baiq Nuril dilaporkan
karena merekam percakapan dirinya dengan M melalui sambungan
ponsel. Di Pengadilan Negeri Mataram, pada Juli 2017, Nuril divonis
bebas (Harianto, 2018). Joko Jumadi, selaku kuasa hukum dari Baiq
Nuril menjelaskan argumentasinya bahwa Nuril tidak melanggar UU
ITE dan hal ini juga dikuatkan dalam fakta sidang dan putusan di PN
Mataram (Karina & Krisiandi, 2018).

Joko mengatakan Nuril menyimpan rekaman itu dalam ponsel selama


satu tahun sebagai bukti bahwa dia tidak punya hubungan dengan
mantan kepala sekolah. "Rekaman itu tidak disebarluaskan," kata Joko.
Kemudian, handphone berisi rekaman itu diberikan kepada kakak
iparnya untuk digunakan. Joko mengatakan, rekan kerja Nuril yang
meminta rekaman itu untuk diadukan kepada DPRD dan kepala dinas.
Nuril dan rekan kerjanya akhirnya mengambil rekaman itu dari ponsel
yang dipegang kakak ipar Nuril. Rekan kerja Nuril sudah menyiapkan
laptop untuk memindahkan rekamannya (Karina & Krisiandi, 2018).

"Kemudian yang jadi perdebatan di pengadilan itu, siapa yang


nyolokin kabel datanya dari handphone ke laptop," ujar Joko. Orang
yang memasang kabel data ke ponsel dinilai sebagai penyebar. Joko
mengatakan, pemilik laptop memberi kesaksian bahwa Nuril yang
menyolok kabel data. Namun saksi lain mengatakan yang menyolok
kabel data adalah pemilik laptop tersebut. Dalam persidangan, terbukti
bahwa beberapa pihak yang memilki rekaman tersebut tidak
menerimanya dari Nuril, melainkan dari rekan kerja Nuril (Karina &
Krisiandi, 2018).

4. Diskusi

Berdasarkan kronologis permasalahan yang terjadi dapat kita ketahui


bahwa permasalahan ini sebenarnya bisa ditelusuri dari 2 sisi, yaitu
kekerasan yang berupa pelecehan seksual secara verbal dan
penyebaran konten pornografi. Ditinjau dari permasalahan pelecehan
seksual yang terjadi, maka Baiq Nuril adalah korban. Percakapan
Kepsek M yang membuka cerita hubungan seksual pribadinya dengan
pihak lain yang juga dikenal oleh Baiq Nuril akan sangat mengganggu
psikis seorang wanita, dalam hal ini Baiq Nuril. Oleh karena itu,
tindakan Kepsek tersebut sudah dapat dianggap pelanggaran terhadap
salah satu nilai Pancasila yaitu kemanusiaan. Perbuatan Kepsek
tersebut dapat dikatakan tidak beradab.

Dalam kasus ini jelas terdapat pula keadilan yang tidak ditegakkan,
dimana hukum hanya menelisik kasus dengan berat sebelah dan tajam
ke bawah. Kasus adanya dugaan kekerasan seksual sama sekali
diabaikan oleh pihak peradilan dan menutup mata bahwa si Terdakwa
dalam kasus ini juga merupakan korban. Selain itu, sebagai seorang
wanita, terdapat hal-hal khusus yang harus diperhatikan oleh lembaga
peradilan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga ke
persidangan seperti yang telah dinyatakan dalam PERMA NO 3 Tahun
2017 tentang perempuan berhadapan dengan hukum.

Menurut PERMA No. 3 Tahun 2017, dalam mengadili perempuan


yang berhadapan dengan hukum, hakim diharapkan dapat
mengidentifikasi dan mempertimbangkan fakta persidangan terkait
adanya ketidaksetaraan status sosial di masyarakat yang
mengakibatkan adanya ketimpangan gender antara perempuan dan
laki-laki. Selanjutnya, hakim juga diharapkan dapat mengidentifikasi
dan mempertimbangkan adanya relasi kuasa antara para pihak yang
berperkara yang mengakibatkan perempuan tidak berdaya. Selain itu,
hakim juga diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan
riwayat kekerasan yang dilakukan pelaku serta mempertimbangkan
dampak kerugian yang dialami korban dari ketidakberdayaannya
(Sukoyo, 2018).

Tanpa melihat statusnya sebagai korban, Baiq Nuril juga diduga


mengalami kriminalisasi di dalam kasusnya. Baiq Nuril tidak membuat
rekaman tersebut dengan niatan mencemarkan nama baik seseorang
dan dia juga bukanlah pihak yang menyebarkan rekaman tersebut. Hal
itu telah dibuktikan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram,
dimana seharusnya MA cukup menguatkan putusan Pengadilan Negeri
tersebut (Meutya, 2018 dalam Carina & Krisiandi, 2018). Secara
otomatis maka sebenarnya Baiq Nuril terbebas dari Pasal 27 ayat 1 UU
ITE yang menjeratnya. Menurut Peneliti Masyarakat Pemantau
Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI
FHUI), Bestha Inatsan Ashila, Hakim tidak mencermati secara jelas
unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut, dimana dalam pasal
tersebut yang seharusnya dinyatakan bersalah adalah orang yang
menyebarluaskan
Secara garis besar, dalam kasus Baiq Nuril, kita dapat melihat
bagaimana pengamalan sila kedua Pancasila adalah hal yang tidak
mudah. Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan
tanggungjawab bersama yang harus diperjuangkan. Bila kita
mengetahui saudara setanahair kita mengalami permasalahan
kemanusiaan dan ketidakadilan di negeri kita sendiri, maka sebagai
bangsa yang besar kita harus mampu memperjuangkannya. Masyarakat
Indonesia yang sarat dengan rasa peduli untuk saling membantu dan
negara yang difondasikan atas semangat kerja sama sebagai negara
gotong royong (Dewantara, 2017), maka tidak akan tinggal diam.
Dengan melakukan perjuangan bersama di dalam hukum, masyarakat
Indonesia membentuk koalisi sipil untuk tujuan membuat petisi
#AmnestiUntukNuril.

C. PETISI #AmnestiUntukNuril

Petisi adalah pernyataan warganegara yang disampaikan kepada


pemerintah untuk meminta agar pemerintah mengambil tindakan terhadap
suatu hal. Dengan kata lain petisi merupakan bentuk dari partisipasi politik
warganegara untuk mempengaruhi kebijakan/keputusan negara/pemerintah
terkait isu-isu/kebijakan publik, atau bisa dikatakan sebagai permintaan
kepada otoritas publik, biasanya institusi pemerintahan atau parlemen
(Lindner dan Riehm, 2011). Bahkan Gabriel Almond dalam Wening
Mustikaningsih (2016) menguraikan petisi adalah salah satu bentuk
partisipasi politik non-konvensional.

Mulai menyempitnya ruang publik yang efektif sehingga dengan kemajuan


teknologi informasi, masyarakat menggeser ruang publik kedalam dunia
maya atau ruang publik virtual. Perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi menghasilkan petisi online sebagai bentuk baru dari petisi
tradisional. Kehadiran petisi online ini tidak mengubah fungsi petisi
tradisional, tetapi menawarkan jangkauan akses yang lebih luas dalam
periode waktu yang lebih singkat. Dalam hal ini, baik petisi online
ataupun tradisional sama-sama memiliki tujuan antara lain untuk
mengubah kebijakan publik atau mendorong tindakan tertentu oleh
institusi publik (Lindner dan Riehm, 2011).

Panagiotopoulos dan Al-dedei (2010) menjelaskan “petisi online


adalah salah satu aksi kolektif yang muncul dari pengguna internet
melalui lailing lists atau website dan secara teknis website”.
Munculnya Petisi online memberikan ruang bagi masyarakat untuk
menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka terkait kebijakan tertentu.
Ada banyak pesan moral yang disampaikan oleh aksi-aksi masa dalam
ruang virtual, substansi dari gerakan ini yaitu gugatan terhadap realitas.
Panagiotopoulos dkk (2010) menjelaskan bagaimana kelompok jejaring
sosial muncul untuk mendukung proses pengajuan petisi online. Saebo
dkk (2009, dalam Panagiotopoulos dkk, 2010) mengamati peran
jejaring sosial dan peningkatan potensi partisipasi online dimana
jejaring sosial memungkinkan penyebaran ide dan isu serta mencoba
memengaruhi agenda politik. Situs www.change.org telah tumbuh
menjadi wadah pemberdayaan petisi online terbesar di dunia. Situs ini
memberikan platform petisi online sehingga memudahkan masyarakat
dalam mengajukan petisi untuk menggalang dukungan tanpa perlu
menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan biaya, membuat masyarakat
semakin terhubung, sehingga kepedulian mereka atas isu tertentu
menjadi lebih mudah dan lebih cepat tersebar, serta dukungan atas
kepedulian tersebut menjadi lebih mudah diperoleh.

Ada sebuah kekecewaan besar dari masyarakat sipil terhadap


berjalannya kasus Baiq Nuril. Hal ini kemudian menggugah beberapa
kalangan masyarakat untuk membentuk suatu bantuan nyata yang
sekiranya dapat membantu Baiq Nuril mendapatkan keadilan, yaitu dengan
cara mengumpulkan dukungan dalam sebuah gerakan pembentukan petisi
online #AmnestiUntukNuril : Jangan Penjarakan Korban! Para pendukung
petisi kemudian menamai diri mereka sebagai koalisi Save Ibu Nuril.

Tujuan petisi ini adalah meminta pengampunan terhadap Baiq Nuril. Oleh
sebab putusan bersalah diterima Baiq Nuril di tingkat kasasi, maka petisi
#AmnestiUntukNuril ini ditujukan kepada Presiden. Lewat laman
change.org, Koalisi Save Ibu Nuril berhasil mengantongi lebih dari 100
ribu dukungan petisi hanya dalam waktu satu hari setelah dimulai oleh
Erasmus Napitupulu.

Melihat begitu banyaknya dukungan yang dikantongin oleh koalisi


tersebut, kita bisa mengetahui seberapa besar kepedulian dan
kegotongroyongan yang ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia terhadap
suatu permasalahan terutama permasalahan terkait kemanusiaan dan
keadilan. Angka 100.000 dukungan yang diperoleh petisi tersebut hanya
didapat dalam kurun waktu 1 hari saja, maka tidak terbayang bila waktu
pengumpulan dukungan dilakukan selama seminggu. Hal ini
memperlihatkan seburuk-buruknya permasalahan di negeri ini terkait
persatuan bangsa, namun ketika kita melihat terdapat seorang saja yang
mengalami ketidakadilan dalam kasus kemanusiaan seperti Baiq Nuril,
tidak ada yang menghalangi persatuan bangsa ini terlebih karakter asli
bangsa ini, gotongroyong, kerja sama, saling menolong, tidak dapat
terbendung lagi. Hal ini juga bisa menunjukkan adanya perbaikan karakter
bangsa dari pernyataan Sutarto (2004 dalam Dewantara, 2017) bahwa
terdapat krisis terhadap nilai-nilai khas Indonesia, termasuk gotong
royong.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, A. H., 2011, Negara Hukum dan Demokrasi, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta.
Carina, S. dan Krisiandi, 2018, Anggota Komisi I: Kasus Baiq Nuril, Masalahnya
Bukan di UU ITE, Artikel Berita, Artikel Berita, diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/22/18284371/anggot
a-komisi-i-kasus-baiq-nuril-masalahnya-bukan-di-uu-ite , diakses
tanggal 30 November 2018.
Dewantara, A. W., 2017, Diskursus Filsafat Pancasila dan Negara Gotong
Royong, Kanisius, Yogyakarta.
DPR RI, 2015, UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, diakses dari http://referensi.elsam.or.id/2015/02/uu-nomor-11-
tahun-2008-tentang-informasi-dan-transaksi-elektronik/, diakses tanggal 1
Oktober 2018.
Harianto, 2018, Testimoni Nuril yang Dipenjara MA karena Rekam Perilaku
Mesum Kepsek, Artikel Berita, diakses dari
https://news.detik.com/berita/4302681/testimoni-nuril-yang-dipenjara-ma-
karena-rekam-perilaku-mesum-kepsek, diakses tanggal 2 Oktober 2018.
Lindner, R & Riehm, U. 2011, Broadening Partisipation Through E-Petitions? An
Empirical Study of Petitions to the German Parliament, Policy & Internet,
3(1), Article 4.
Mustikaningsih, W., 2016, Implikasi Petisi Online Terhadap Advokasi Kebijakan
Publik Tentang RUU Pilkada Langsung 2014-2015: Studi Kasus Platform
Digital Cahnge.org, Jurnal Review Politik.
Panagiotopoulos, Panagiotis dan Mutaz M. Al-Debei, 2010, Engaging with
citizens Online: Understanding the Role of ePetitioning in Local
Government Democracy, Paper Presented at Internet, Plitics, Policy
2010: An Impact Assessement, SSt Anne’s College, University Of Oxford.
PSHK, LeIP, LBH Jakarta, Kem itraan, KontraS, Mappi, YLBHI,KPA, LBH
Masy,Walhi, 2015, Kriminalisasi, diakses dari http://www.ylbhi.or.id/wp-
content/uploads/2015/05/kriminalisasi-materi-copy-final1.pdf, diakses
tanggal 2 Desember 2018.
Simanihuruk, A.P, 2011, Pelanggaran Miranda Rule dalam Praktik Peradilan di
Indonesia, diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/2574/2/1HK09758.pdf,
diakses tanggal 2 Desember 2018
Soekanto, S., 1981, Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Suhariyanto, B., 2012, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi
dan Pengaturan Celah Hukumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sukoyo, Y., 2018, Kasus Baiq Nuril Contoh Kriminalisasi Korban kekerasan,
Artikel Berita, diakses dari http://www.beritasatu.com/nasional/522826-
kasus-baiq-nuril-contoh-kriminalisasi-korban-kekerasan.html, diakses
tanggal 1 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai