Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kolera

Kolera merupakan suatu sindrom epidemiologik klinis yang disebabkan

oleh Vibrio cholerae. Dalam bentuknya yang berat, penyakit ini ditandai oleh

diare yang hebat dengan tinja menyerupai air cucian beras (rice water), yang

dengan cepat dapat menimbulkan dehidrasi. Kolera tetap merupakan masalah

utama kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang seperti Afrika, Asia

dan Amerika Selatan, walaupun secara epidemiologi dan bakteriologi penyakit

kolera sudah diketahui sejak abad yang lalu (Lesmana, 2004; Ryan and Ray,

2004).

Epidemi kolera di seluruh dunia terjadi pada tahun 1800-an dan awal

1900-an. Biotipe klasik biasa ditemukan hingga awal 1960-an, sedangkan biotipe

El-Tor yang ditemukan tahun 1905, menjadi banyak ditemukan pada akhir 1960an

dan menyebabkan pandemik di Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Dimulai tahun

1991, pandemik ketujuh menyebar ke Peru dan kemudian ke negara lain di

Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Jutaan manusia menderita kolera pada

pandemik ini. Penyakit ini jarang terjadi di Amerika Utara sejak pertengahan

1800-an, tetapi terdapat fokus endemik di pantai teluk Louisiana dan Texas

(Dziejman et al., 2002; Brooks et al., 2013).

Kolera bersifat endemik di India dan Asia Tenggara, dari pusat-pusat ini,

kolera dibawa melalui jalur pelayaran, jalan perdagangan, dan perjalanan haji
10

9
(Brooks et al., 2013). Di Irian Jaya pernah terjadi wabah kolera yang berkaitan

dengan upacara duka di rumah penderita kolera yang meninggal dunia, beberapa

orang terinfeksi setelah melayat ke rumah wanita yang meninggal akibat kolera

(Korthuis et al., 1998).

Telah diketahui bahwa penyebaran kolera secara primer melalui air minum

yang terkontaminasi, tetapi penelitian wabah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa

produk perikanan seperti kerang, tiram dan remis, serta udang dan kepiting, dapat

juga menjadi sumber penularan yang penting untuk infeksi Vibrio cholerae (Chen

et al., 2004; Hill et al., 2011; Sathiyamurthy et al., 2013). Beberapa dari jenis

hewan laut ini bahkan hidup jauh di tengah laut. Ini menandakan bahwa Vibrio

dapat mempertahankan siklus hidupnya tanpa harus melalui ekskreta manusia

secara terus menerus. Berbagai penelitian terhadap kontak di dalam keluarga

penderita kolera juga menunjukkan adanya derajat infeksi asimtomatik yang tinggi

di daerah-daerah endemik kolera. Meskipun telah banyak yang dipelajari

mengenai transmisi kolera, tetapi untuk menentukan cara penyebaran tunggal

yang dominan sangat sulit karena banyak faktor yang berperan, seperti imunitas,

infeksi asimtomatik, rute penyebaran yang multipel dan berbagai faktor lainnya

(Lesmana, 2004).
2.2 Vibrio cholerae

2.2.1 Taksonomi dan morfologi

Menurut Todar (2008) klasifikasi V. cholerae adalah sebagai berikut:


Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria
: Gamma
Class
Proteobacteria
11

Order : Vibrionales

Family : Vibrionaceae

Genus : Vibrio

Species : V. cholera
Pada isolasi yang pertama, V. cholerae berbentuk koma, batang bengkok

kira-kira 2-4 µm panjangnya. Bakteri ini sangat aktif bergerak dengan memakai

satu kutub flagel (monotrik). Pada biakan yang lama, Vibrio dapat menjadi batang

lurus yang menyerupai bakteri enterik Gram Negatif (Karsinah et al., 2010).

Gambar 2.1.
Bakteri V. cholera (Madigan et al., 2015).
2.2.2 Sifat biakan

V. cholerae membentuk koloni yang konveks, halus, bulat, opak dan

bergranula pada sinar cahaya. V. cholerae dan sebagian besar Vibrio lainnya

tumbuh dengan baik pada suhu 37oC pada berbagai perbenihan, termasuk

perbenihan khusus yang mengandung garam-garam mineral dan asparagin sebagai

sumber karbon dan nitrogen. V. cholerae tumbuh dengan baik pada agar

Thiosulfate Citrate Bilesalt Sucrose (TCBS), yang akan menghasilkan koloni

berwarna kuning. Vibrio bersifat oksidase positif, yang membedakannya dari

bakteri enterik gram-negatif lain yang tumbuh pada agar darah. Ciri khasnya,
12

organisme ini tumbuh pada pH yang sangat tinggi (8,5-9,5) dan dengan cepat

dibunuh dengan asam (Brooks et al., 2013).

Gambar 2.2.
Koloni V. cholerae pada Media TCBS (Brooks et al., 2013).

V. cholerae umumnya meragikan sukrosa dan manosa tetapi tidak

meragikan arabinosa. V. cholerae meragi nitrat, pada medium peptone (banyak

mengandung triptofan dan nitrat) akan membentuk indol, yang dengan asam sulfat

akan membentuk warna merah (tes indol positif) (Karsinah et al., 2010). Uji

oksidase yang positif merupakan langkah awal kunci identifikasi awal V. cholerae

dan Vibrio lainnya (Sousa et al., 2004). Reaksi uji biokimia V. cholerae tercantum

pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1.
Karakteristik Biokimia V. cholerae
Test % Positive
Oxidase 100
String test 100
Kligler’s iron agar K/A, no gas, no H2s
Triple sugar iron agar A/A, no gas, no H2s
a
Glucose (acid production) 100
Glucose (gas production) 0
13

Sucrose (acid production) 100


a
Lysine 99
Argininea 0
Ornithinea 99
b
Growth in O% NaCl 100
Growth in 1% NaClb 100

Voges-Proskauera 75c
a
Modified by the addition of 1% NaCl.
b
Nutrient broth base (Difco Laboratories)
c
Most isolates of V. cholerae serotype O1 biotype El Tor are positive in the VP test, whereas
biotype classical strains are negative.

(Sumber: CDC, 2010).

Spesies Vibrio peka terhadap senyawa O/129 (2,4-diamino-

6,7diisopropilpteridin fosfat), yang membedakannya dari spesies Aeromonas,

yang resisten terhadap O/129. Kebanyakan spesies Vibrio tahan terhadap garam,

dan pertumbuhannya dirangsang terhadap NaCl. Beberapa Vibrio bersifat halofilik

memerlukan NaCl untuk pertumbuhannya. Perbedaan lain antara Vibrio dan

Aeromonas adalah Vibrio dapat tumbuh pada kaldu yang mengandung 6% NaCl,

sedangkan Aeromonas tidak (Brooks et al., 2013).

2.2.3 Struktur antigen dan klasifikasi biologi

Vibrio cholerae dapat dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan

patogenisitasnya yaitu, V. cholerae serogroup O1/O139 dan V. cholerae serogroup

non-O1/non-O139 (Kharirie, 2013; Pal, 2014). V. cholera memiliki antigen flagel

H dan antigen somatik O. Antigen flagel H bersifat heat labile dan antibodi

terhadap antigen H tidak bersifat protektif. Pada uji aglutinasi berbentuk awan

(Karsinah et al., 2010).


14

Vibrio cholerae mempunyai lipopolisakarida O yang memberi ciri khas

serologik (Brooks et al., 2013). Hingga saat ini V. cholerae diketahui memiliki

206 variasi O antigen (Olaniran et al., 2011). V. cholerae O1 dapat diuji lebih jauh

menurut serotipenya. Ada 3 serotipe V. cholerae O1, yaitu (i) Ogawa, (ii) Inaba,

dan (iii) Hikojima. Serotipe Hikojima jarang dijumpai dan tidak stabil, dan pada

umumnya diabaikan, sehingga hanya Ogawa dan Inaba saja yang sering

dilaporkan serta dianggap signifikan. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir,

Ogawa dijumpai sebagai serotipe yang paling dominan di Indonesia, dengan

frekuensi sekitar 98% dari seluruh isolat yang didapatkan pada pasien-pasien

kolera (Lesmana, 1997; Amelia, 2005; Kharirie, 2013).

Dua biotipe V. cholerae O1 penyebab epidemik telah diketahui, yaitu tipe

klasik dan El Tor. Biotipe El Tor menghasilkan hemolisin, bereaksi positif pada

uji Voges-Proskauer dan resisten terhadap polimiksin B. Penentuan serotipe dan

biotipe ini digunakan pada studi epidemiologi (Brooks et al., 2013).

2.2.4 Outer membrane protein W (ompW)

Dinding sel bakteri Gram negatif pada permukaannya terdiri dari tiga lapis

yaitu sitoplasmik atau inner membrane (IM), outer membrane (OM) dan ruang

periplasmik antara IM dan OM (Nandi et al., 2005). ompW merupakan salah satu

faktor virulensi yang dimiliki oleh V. cholerae yang diketahui dapat menginduksi

respon imun. Selain itu, ompW memegang peran penting pada patogenesis karena

berperan sebagai protective barrier bakteri terhadap lingkungan sekitarnya, hal

inilah yang menyebabkan adaptabilitas bakteri V. cholerae bergantung pada

ompW (Alizadeh et al., 2013). Komponen utama OM adalah fosfolipid,

lipopolisakarida (LPS), dan protein. Keberadaan OM menyebabkan organisme


15

menjadi resisten terhadap faktor pertahanan host, material toksik seperti garam

empedu dan antibiotik (Lin et al., 2002).

Outer membrane protein W disandi oleh gen ompW yang terletak pada

kromosom II dari V. cholerae (Heidelberg et al., 2000) dengan berat molekul

22kDa (Jalajakumari and Manning, 2000). Ekspresi gen ompW telah banyak

dipelajari oleh peneliti. Pada tahun 2000, Nandi et al. membuat primer yang

menjadikan gen ompW sebagai target identifikasi spesies spesifik dari V. cholerae.

Berdasarkan hasil penelitian ini, disebutkan bahwa primer ompW memiliki

spesifisitas sebesar 100% untuk seluruh strain V. cholerae yang diuji dan metode

ini sangat cocok digunakan sebagai penanda genetik untuk V. cholerae. de

Menezes et al. (2014) menggunakan gen ompW untuk konfirmasi spesies V.

cholerae karena metode identifikasi secara biokimia memberikan hasil yang bias,

hal ini disebabkan oleh kesamaan sifat biokimia pada beberapa spesies Vibrio.

Tamrakar et al. (2009) mengkarakterisasi V. cholerae yang berasal dari air tanah

pada area endemik di India dan menemukan semua isolat yang di PCR positif gen

ompW sebagai konfirmasi dari uji biokimia.

2.2.5 Cholerae Toxin (CTX)

Sebelum tahun 1992, hanya V. cholerae O1 enterotoxigenic yang

memproduksi toksin kolera (cholera toxin = CTX) dikenal menyebabkan kolera

endemik dan epidemik. Belakangan, V. cholerae O139 juga diketahui

memproduksi toksin dalam jumlah sebesar seperti serogrup O1 (Faruque, 1998;

Pal, 2014). Beberapa jenis V. cholerae tidak memproduksi cholera toxin

(nontoxigenic), terutama yang hidup di alam bebas sehingga dianggap tidak

patogen. Dalam waktu 20 tahun terakhir, V. cholerae O1 non-toxigenic ini juga


16

ditemukan pada manusia, namun peranan serta kemaknaannya secara klinis dan

epidemiologik masih tidak jelas dan kontroversial (Lesmana, 2004). Namun pada

tahun 2011 peranan V. cholerae non O1/O139 sebagai penyebab wabah telah

terbukti, di Amerika Serikat kasus kolera disebabkan oleh serogroup O75

(Onifade et al., 2011).

V. cholerae menghasilkan enterotoksin yang tidak tahan panas dengan

berat molekul kira-kira 84.000 Dalton yang terdiri atas subunit A dan subunit B

(Brooks et al., 2013). CTX merupakan toksin yang bertanggung jawab terhadap

terjadinya kolera. CTX yang dimiliki oleh V. cholerae ini disandi oleh gen ctxA

dan ctxB. Kedua subunit ini memiliki fungsi yang berbeda, subunit B memiliki

fungsi untuk menempel (bind) pada reseptor Manosialosyl Ganglioside (GM1

Ganglioside) dan subunit A merupakan subunit aktif yang mengaktifkan adenilate

cyclase pada sel epitel usus halus (Maheshwari et al., 2011a). Subunit A terbagi

menjadi A-1 chain dan A-2 chain, antara subunit A dan subunit B dihubungkan

dengan ikatan disulfide (Wernick et al., 2010).


17

Gambar 2.3.
Struktur tiga dimensi cholerae toxin (CTX) (Wernick et al., 2010).

Ekspresi dari gen virulensi merupakan faktor utama yang berkontribusi

terhadap patogenisitas V. cholerae. Beberapa faktor virulensi yang dimiliki V.

cholerae antara lain ToxR regulator, cholera toxin (ctxA dan ctxB),

toxincoregulated pilus subunit (TcpA), outer membrane protein U (ompU), outer

membrane protein W (ompW), accessory cholera enterotoxin (Ace), dan zonula

occludens toxin (Zot) (Reidl and Klose, 2002; Waturangi et al., 2013;

Ramazanzadeh et al., 2015). Ekspresi faktor virulensi V. cholerae dikendalikan

oleh ToxR regulatory cascade yang bergantung pada kondisi lingkungan (Schild

et al., 2008).

Secara in vivo, sinyal yang dapat mengaktifkan gen ToxR belum diketahui,

namun induksi in vitro melalui sinyal lingkungan seperti pH, osmolaritas dan

temperatur. Sinyal ini akan menjadi aktivator transkripsi positif dari ToxRS dan
18

TcpPH, yang kemudian mengaktivasi ekspresi toxT yang merupakan aktivator

transkripsi positif lainnya. ToxT adalah protein yang secara langsung

mengaktifkan biogenesis gen TCP serta ekspresi ctxAB yang disandi oleh dua

subunit CTX (Raskin et al., 2004).

Gambar 2.4.
Mekanisme aktivasi gen ctxAB (Raskin et al., 2004).

Setelah toksin berhasil diekspresikan, untuk dapat menimbulkan penyakit

tentunya toksin tersebut harus dapat disekresikan ke luar. Sebagian besar bakteri

Gram negatif menggunakan type II secretion (T2S) pathway untuk mengantarkan

protein yang berkontribusi terhadap munculnya suatu penyakit (Korotkov et al.,

2012; Green and Mecsas, 2016). Sistem T2S terdiri dari dua jalur utama yaitu

general secretion (Sec) dan twin arginine translocation (Tat) pathway

(Nivaskumar and Francetic, 2014; Green and Mecsas, 2016). V. cholerae

menggunakan sistem T2S dalam proses translokasi cholerae toxin. Dalam proses

transport sekresi ctx menggunakan T2S melalui dua langkah utama yaitu

translokasi melewati inner membrane melalui Sec pathway dan dilanjutkan


19

dengan transport folded/oligomeric cargo protein oleh T2S ke lingkungan

ekstraselular (Douzi et al., 2012; Green and Mecsas, 2016).

Gambar 2.5.
Mekanisme sekresi menggunakan sistem T2S (Douzi et al., 2012).

2.2.6 Patogenesis Vibrio cholerae

Dalam keadaan normal, V. cholerae hanya patogen untuk manusia.

Seseorang yang memiliki asam lambung normal harus menelan 10 8-1010 organisme

dalam air untuk dapat terinfeksi dan menjadi sakit, sebab bakteri ini sangat sensitif

pada suasana asam. Jika mediatornya makanan, sebanyak 102-104 bakteri yang

diperlukan karena kapasitas buffer yang cukup dari makanan. Beberapa

pengobatan dan keadaan yang dapat menurunkan kadar asam dalam lambung

membuat seseorang lebih sensitif terhadap infeksi V. cholerae (Brooks et al.,

2013).

Vibrio cholerae berkolonisasi di epitel intestinal tetapi tidak bersifat

invasif atau menyebabkan perubahan struktural dari epitel (Lesmana, 2004). Efek

utama dari infeksi V. cholerae adalah meningkatnya secara aktif sekresi klorida,
20

sodium, potasium, bikarbonat dan air. Peristiwa ini terjadi melalui aktivitas

cholarae toxin (Ryan and Ray, 2004).

Terdapat protein permukaan V. cholerae yang sangat penting yang

berkaitan dengan siklus hidup dan patogenesis penyakit kolera yaitu N-acetyl-

Dglucosamine binding protein (GbpA) dan hemagglutinin/protease (HapA).

GbpA berkaitan dengan kemampuan V. cholerae untuk menempel dengan

permukaan kitin dan juga pada mucin yang melapisi sel epitel usus (Kirn et al.,

2005). Berdasarkan analisis molekuler, GbpA memiliki 4 domain yang secara

umum berkaitan dengan kemampuan menempel pada chito-oligosakarida. Fungsi

tambahan domain 1 berkaitan dengan penempelan pada mucin sedangkan domain

2, 3 bersama domain 1 membantu bakteri untuk berkolonisasi pada usus halus

bayi tikus (Wong et al., 2012). Hemagglutinin/protease (HapA) berperan sebagai

proteolitik yang dapat melisiskan substrat yang ada pada lingkungan usus seperti

ovomucin, fibronectin, dan lactoferrin. HapA membantu V. cholerae untuk

penetrasi lebih dalam, mendegradasi lapisan mukus dari usus sehingga cholerae

toxin dapat menempel dengan reseptor GM1 ganglioside, serta untuk proses

detachment (Sikora, 2013).

Cholerae toxin lengkap yang terdiri dari subunit A dan B dikeluarkan oleh

V. cholerae kemudian subunit B mengikatkan diri pada reseptor GM1 ganglioside

di permukaan mukosa epitel intestinal dan subunit A yang merupakan bagian aktif

secara enzimatis mengkatalisis ADP-ribosilasi dari protein G (stimulatory) dan

mengubahnya menjadi aktif. Protein Gs berperan dalam mengubah adenilate

cyclase (AC) inaktif menjadi aktif, peningkatan aktivitas AC akan meningkatkan

konsentrasi siklik adenosine 3’5’-monofosfat (cAMP) sepanjang membran sel.


21

Selanjutnya cAMP menyebabkan sekresi aktif dari sodium (Na+), klorida (Cl-),

potassium (K+), bikarbonat (HCO3-), dan air (H2O) keluar dari sel menuju lumen

usus sehingga mengakibatkan hilangnya cairan dalam jumlah besar dan

ketidakseimbangan elektrolit (Ryan and Ray, 2004;

Thiagarajah and Verkman, 2005; Lima and Fonteles, 2015). Gen penyandi untuk

CTX terletak pada kromosom bakteri tersebut (Brooks et al., 2013).

Gambar 2.6.
Mekanisme kerja cholerae toxin (Ryan and Ray, 2004).
Mekanisme lain selain peningkatan konsentrasi intraseluler dari cAMP

yang juga dianggap berperan di dalam sekresi cairan intestinal pada kolera adalah

meningkatnya kadar prostaglandin. Prostaglandin meningkatkan sekresi cairan

intestinal secara in vitro dan meningkatnya prostaglandin dapat dijumpai di dalam

tinja penderita kolera. Gambaran klinis kolera yang paling menyolok adalah
22

produksi tinja cair yang jumlahnya besar dan terjadinya dehidrasi sebagai akibat

dari kehilangan cairan melalui tinja. Masa inkubasi kolera dapat berkisar antara

beberapa jam sampai beberapa hari tergantung kepada jumlah inokulum. Awal

terjadinya gejala penyakit dapat mendadak, dengan diare air yang hebat atau

mungkin didahului oleh perasaan tidak enak perut, mual, dan diare ringan.

Mulamula tinja masih mengandung masa dan berwarna kuning cokelat, tetapi

dengan berkembangnya penyakit, tinja akan menjadi lebih encer dan berwarna

abu-abu pucat, dan selanjutnya akan menyerupai air cucian beras. Tinja kolera ini

tidak mengandung sel-sel radang atau eritrosit dan hampir tidak ada protein. Tidak

adanya sel-sel leukosit, eritrosit, dan protein ini mencerminkan penyakit yang

sifatnya non-inflamatorik dan non-invasif. Diare sering diikuti muntah, terutama

pada awal penyakit (Lesmana, 2004).

2.3 Peranan Seafood dalam Penularan V. cholerae

Epidemi kolera yang terjadi disebabkan oleh strain toxigenic V. cholerae

yang menular melalui air yang terkontaminasi. Kolera juga bisa menular melalui

makanan termasuk di dalamnya seafood (Hill et al., 2013). Hasil studi terbaru

menunjukkan bahwa insidens Vibrio spp. yang berasal dari seafood berkontribusi

terhadap terjadinya sporadik dan epidemik outbreak diare pada manusia

(Arunagiri et al., 2013).

Ikan dan kerang-kerangan telah lama diketahui berperan dalam transmisi

kolera. Hewan laut itu dapat terkontaminasi oleh V. cholerae melalui air di mana

bakteri itu secara persisten sudah berada di sana, atau karena air terkontaminasi
23

oleh tinja manusia. Di beberapa tempat, ikan dan kerang-kerangan dimakan dalam

keadaan mentah sehingga menyebabkan terjadinya infeksi. Kejadian infeksi

Vibrio di beberapa tempat di Amerika Serikat, seperti di Florida dan Teluk

Meksiko, dilaporkan sebagai akibat dari konsumsi makanan laut (seafood) yang

tidak dimasak dengan benar (Hlady and Klontz, 1996; Altekruse et al., 2000).

Outbreak kolera yang disebabkan oleh V. cholerae O1 biotipe El Tor telah

terjadi secara periodik di Malaysia dan ini merupakan masalah kesehatan yang

disebabkan oleh seafood yang terkontaminasi oleh toxigenic V. cholerae.

Penelitian mengenai distribusi spesies Vibrio patogen pada ikan segar yang dijual

di pasar di Malaysia antara Juli 1998 sampai Juni 1999 telah berhasil diisolasi 97

strain V. cholerae dari berbagai seafood dan 2 diantaranya positif membawa gen

ctx (Chen et al., 2004). Pada tahun 2010 telah terjadi outbreak di Haiti, kemudian

berhasil diisolasi V. cholerae yang berasal dari air dan seafood yang membawa

gen ctx dan identik dengan V. cholerae penyebab outbreak (Hill et al., 2011).

Penelitian mengenai prevalensi V. cholerae pada air dan produk perikanan di

Tamil Nadu, India yang dilakukan oleh Sathiyamurthy et al. (2013) berhasil

menemukan V. cholerae yang positif membawa gen ompW dan ToxR. Di Bali

telah telah berhasil dilakukan isolasi V. cholerae yang berasal dari produk

perikanan dengan prevalensi 7,4 % dengan metode fenotipik dan belum diketahui

apakah membawa gen yang berperan terhadap timbulnya penyakit terutama gen

ctx (Widyastana et al., 2015). Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan

betapa pentingnya melakukan surveilans terhadap V. cholerae untuk mencegah

terjadinya outbreak di kemudian hari, mengingat Sulawesi, Indonesia pernah

menjadi sumber pandemik ketujuh V. cholerae (Faruque et al., 1998).


24

2.4 Polymerase Chain Reaction

Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah

suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen

nukleotida tertentu secara in vitro yang telah dikenal sebagai suatu metode biologi

molekuler (Elza dan Solachuddin, 1998; Yuwono, 2006). Metode ini pertama kali

dikembangkan tahun 1985 oleh Kary B. Mullis, seorang peneliti perusahaan

CETUS Corporation. Metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai

macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal perkembangannya metode ini

hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian

dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan

dan melakukan kuantitas molekul mRNA (Yuwono, 2006).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu

fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu

sekuens oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk

mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri

atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polymerase, yaitu enzim

yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga

penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006; Joshi and Deshpande, 2010).

Reaksi penggandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan

denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda

(double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded)

denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (95oC) selama 1-2 menit,

kemudian suhu diturunkan menjadi 55oC sehingga primer akan menempel

(annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan
25

membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang

komplementer dengan sekuen primer. Suhu 55oC yang digunakan untuk

penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih

efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37 oC), tetapi biasanya akan

terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu

yang lebih tinggi (55oC), spesifitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi

secara keseluruhan efisiensinya akan menurun. Primer yang digunakan dalam

PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan

salah satu rantai DNA pada ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua

identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses

annealing biasanya dilakukan selama 1-2 menit. Setelah dilakukan annealing

oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi

72oC selama 1,5 menit. Pada suhu ini DNA polymerase akan melakukan proses

polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada cetakan.

Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan

hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya

ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil

polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi

menjadi 95oC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai

cetakan bagi reaksi polimerasi selanjutnya (Yuwono, 2006).

Aplikasi teknik PCR telah secara luas diterapkan, untuk penelitian di laboratorim,

PCR umumnya digunakan untuk kloning gen, southern blotting,


26

DNA sekuensing dan teknologi rekombinan. Untuk bidang mikrobiologi klinik,

PCR digunakan untuk diagnosis penyebab infeksi serta studi epidemiologi. PCR

juga digunakan dalam bidang forensik (Joshi and Deshpande, 2010).

Teknik PCR semakin berkembang, terdapat beberapa jenis variasi PCR

antara lain; Nested PCR, Real Time PCR, Reverse Transcriptase-PCR, Duplex

dan multiplex PCR. Duplex maupun multiplex PCR merupakan teknik

pengembangan dari PCR yang mana dapat mendeteksi berbagai jenis gen dalam

satu kali running. Metode ini lebih praktis, hemat waktu dan biaya jika

dibandingkan dengan single PCR. Metode ini dapat digunakan untuk

mendiagnosis penyakit yang berbeda dalam sampel yang sama, serta mampu

mendeteksi patogen yang berbeda dalam sampel tunggal, selain itu juga dapat

digunakan untuk mengidentifikasi urutan ekson dan intron dalam gen tertentu.

Duplex maupun multiplex PCR menitiberatkan pada pemilihan primer. Distribusi

ukuran amplikon yang dihasilkan pada masing - masing primer harus dapat

dibedakan dengan menggunakan gel agarosa, yang mana perbedaan minimum

peningkatan ukuran amplikon berkisar 20% antar band yang berdekatan (Elnifro

et al., 2000). Beberapa peneliti menggunakan duplex PCR untuk deteksi patogen,

misalnya Yasmon et al. (2010) menggunakan duplex PCR untuk deteksi secara

simultan Legionella species dan Legionella pneumophila pada sampel air di

Jakarta. Thanananta and Thanananta (2008) mendeteksi E. coli yang berasal dari

air menggunakan duplex PCR dengan target gen lacZ dan uidA.

Penggunaan PCR untuk mengidentifikasi V. cholerae telah banyak

dilakukan oleh peneliti. Beberapa peneliti telah mengembangkan duplex PCR

(dPCR) maupun multiplex PCR (mPCR) untuk diagnosis V. cholerae (Hoshino et


27

al., 1998; Nandi et al., 2000; Tarr et al., 2007). Misalnya, Nandi et al. (2000)

mengembangkan PCR untuk mendeteksi spesies spesifik V. cholerae dengan

target gen ompW dan mendeteksi gen ctxA. Chomvarin et al. (2007)

mengembangkan rapid deteksi V. cholerae menggunakan duplex PCR dengan

target gen tcpA dan ctxA pada sampel air. Mehrabadi et al. (2012) yang

mendeteksi virulence- and toxigenic-associated (VTA) genes (ctxA, tcpA dan

ompW) yang dimiliki oleh V. cholerae dengan teknik ini dapat dideteksi 10-100

CFU V. cholerae dan 8.5-85 pg DNA genomik. Imani et al. (2013) menggunakan

PCR untuk mendeteksi gen virulensi dan regulator (hlyA, ctxB, tcpI) yang berasal

dari V. cholerae kasus klinis. Penggunaan PCR dalam diagnosis V. cholerae

membutuhkan waktu yang lebih singkat serta memiliki sensitifitas dan spesifisitas

yang lebih tinggi daripada menggunakan metode konvensional (metode kultur)

(Kharirie, 2013).

Anda mungkin juga menyukai