28 Ok Kolera
28 Ok Kolera
KAJIAN PUSTAKA
oleh Vibrio cholerae. Dalam bentuknya yang berat, penyakit ini ditandai oleh
diare yang hebat dengan tinja menyerupai air cucian beras (rice water), yang
kolera sudah diketahui sejak abad yang lalu (Lesmana, 2004; Ryan and Ray,
2004).
Epidemi kolera di seluruh dunia terjadi pada tahun 1800-an dan awal
1900-an. Biotipe klasik biasa ditemukan hingga awal 1960-an, sedangkan biotipe
El-Tor yang ditemukan tahun 1905, menjadi banyak ditemukan pada akhir 1960an
dan menyebabkan pandemik di Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Dimulai tahun
Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Jutaan manusia menderita kolera pada
pandemik ini. Penyakit ini jarang terjadi di Amerika Utara sejak pertengahan
1800-an, tetapi terdapat fokus endemik di pantai teluk Louisiana dan Texas
Kolera bersifat endemik di India dan Asia Tenggara, dari pusat-pusat ini,
kolera dibawa melalui jalur pelayaran, jalan perdagangan, dan perjalanan haji
10
9
(Brooks et al., 2013). Di Irian Jaya pernah terjadi wabah kolera yang berkaitan
dengan upacara duka di rumah penderita kolera yang meninggal dunia, beberapa
orang terinfeksi setelah melayat ke rumah wanita yang meninggal akibat kolera
Telah diketahui bahwa penyebaran kolera secara primer melalui air minum
produk perikanan seperti kerang, tiram dan remis, serta udang dan kepiting, dapat
juga menjadi sumber penularan yang penting untuk infeksi Vibrio cholerae (Chen
et al., 2004; Hill et al., 2011; Sathiyamurthy et al., 2013). Beberapa dari jenis
hewan laut ini bahkan hidup jauh di tengah laut. Ini menandakan bahwa Vibrio
penderita kolera juga menunjukkan adanya derajat infeksi asimtomatik yang tinggi
yang dominan sangat sulit karena banyak faktor yang berperan, seperti imunitas,
infeksi asimtomatik, rute penyebaran yang multipel dan berbagai faktor lainnya
(Lesmana, 2004).
2.2 Vibrio cholerae
Phylum : Proteobacteria
: Gamma
Class
Proteobacteria
11
Order : Vibrionales
Family : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Species : V. cholera
Pada isolasi yang pertama, V. cholerae berbentuk koma, batang bengkok
kira-kira 2-4 µm panjangnya. Bakteri ini sangat aktif bergerak dengan memakai
satu kutub flagel (monotrik). Pada biakan yang lama, Vibrio dapat menjadi batang
lurus yang menyerupai bakteri enterik Gram Negatif (Karsinah et al., 2010).
Gambar 2.1.
Bakteri V. cholera (Madigan et al., 2015).
2.2.2 Sifat biakan
bergranula pada sinar cahaya. V. cholerae dan sebagian besar Vibrio lainnya
tumbuh dengan baik pada suhu 37oC pada berbagai perbenihan, termasuk
sumber karbon dan nitrogen. V. cholerae tumbuh dengan baik pada agar
bakteri enterik gram-negatif lain yang tumbuh pada agar darah. Ciri khasnya,
12
organisme ini tumbuh pada pH yang sangat tinggi (8,5-9,5) dan dengan cepat
Gambar 2.2.
Koloni V. cholerae pada Media TCBS (Brooks et al., 2013).
mengandung triptofan dan nitrat) akan membentuk indol, yang dengan asam sulfat
akan membentuk warna merah (tes indol positif) (Karsinah et al., 2010). Uji
oksidase yang positif merupakan langkah awal kunci identifikasi awal V. cholerae
dan Vibrio lainnya (Sousa et al., 2004). Reaksi uji biokimia V. cholerae tercantum
Tabel 2.1.
Karakteristik Biokimia V. cholerae
Test % Positive
Oxidase 100
String test 100
Kligler’s iron agar K/A, no gas, no H2s
Triple sugar iron agar A/A, no gas, no H2s
a
Glucose (acid production) 100
Glucose (gas production) 0
13
Voges-Proskauera 75c
a
Modified by the addition of 1% NaCl.
b
Nutrient broth base (Difco Laboratories)
c
Most isolates of V. cholerae serotype O1 biotype El Tor are positive in the VP test, whereas
biotype classical strains are negative.
yang resisten terhadap O/129. Kebanyakan spesies Vibrio tahan terhadap garam,
Aeromonas adalah Vibrio dapat tumbuh pada kaldu yang mengandung 6% NaCl,
H dan antigen somatik O. Antigen flagel H bersifat heat labile dan antibodi
terhadap antigen H tidak bersifat protektif. Pada uji aglutinasi berbentuk awan
serologik (Brooks et al., 2013). Hingga saat ini V. cholerae diketahui memiliki
206 variasi O antigen (Olaniran et al., 2011). V. cholerae O1 dapat diuji lebih jauh
menurut serotipenya. Ada 3 serotipe V. cholerae O1, yaitu (i) Ogawa, (ii) Inaba,
dan (iii) Hikojima. Serotipe Hikojima jarang dijumpai dan tidak stabil, dan pada
umumnya diabaikan, sehingga hanya Ogawa dan Inaba saja yang sering
frekuensi sekitar 98% dari seluruh isolat yang didapatkan pada pasien-pasien
klasik dan El Tor. Biotipe El Tor menghasilkan hemolisin, bereaksi positif pada
Dinding sel bakteri Gram negatif pada permukaannya terdiri dari tiga lapis
yaitu sitoplasmik atau inner membrane (IM), outer membrane (OM) dan ruang
periplasmik antara IM dan OM (Nandi et al., 2005). ompW merupakan salah satu
faktor virulensi yang dimiliki oleh V. cholerae yang diketahui dapat menginduksi
respon imun. Selain itu, ompW memegang peran penting pada patogenesis karena
menjadi resisten terhadap faktor pertahanan host, material toksik seperti garam
Outer membrane protein W disandi oleh gen ompW yang terletak pada
22kDa (Jalajakumari and Manning, 2000). Ekspresi gen ompW telah banyak
dipelajari oleh peneliti. Pada tahun 2000, Nandi et al. membuat primer yang
menjadikan gen ompW sebagai target identifikasi spesies spesifik dari V. cholerae.
spesifisitas sebesar 100% untuk seluruh strain V. cholerae yang diuji dan metode
cholerae karena metode identifikasi secara biokimia memberikan hasil yang bias,
hal ini disebabkan oleh kesamaan sifat biokimia pada beberapa spesies Vibrio.
Tamrakar et al. (2009) mengkarakterisasi V. cholerae yang berasal dari air tanah
pada area endemik di India dan menemukan semua isolat yang di PCR positif gen
ditemukan pada manusia, namun peranan serta kemaknaannya secara klinis dan
epidemiologik masih tidak jelas dan kontroversial (Lesmana, 2004). Namun pada
tahun 2011 peranan V. cholerae non O1/O139 sebagai penyebab wabah telah
berat molekul kira-kira 84.000 Dalton yang terdiri atas subunit A dan subunit B
(Brooks et al., 2013). CTX merupakan toksin yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya kolera. CTX yang dimiliki oleh V. cholerae ini disandi oleh gen ctxA
dan ctxB. Kedua subunit ini memiliki fungsi yang berbeda, subunit B memiliki
cyclase pada sel epitel usus halus (Maheshwari et al., 2011a). Subunit A terbagi
menjadi A-1 chain dan A-2 chain, antara subunit A dan subunit B dihubungkan
Gambar 2.3.
Struktur tiga dimensi cholerae toxin (CTX) (Wernick et al., 2010).
cholerae antara lain ToxR regulator, cholera toxin (ctxA dan ctxB),
occludens toxin (Zot) (Reidl and Klose, 2002; Waturangi et al., 2013;
oleh ToxR regulatory cascade yang bergantung pada kondisi lingkungan (Schild
et al., 2008).
Secara in vivo, sinyal yang dapat mengaktifkan gen ToxR belum diketahui,
namun induksi in vitro melalui sinyal lingkungan seperti pH, osmolaritas dan
temperatur. Sinyal ini akan menjadi aktivator transkripsi positif dari ToxRS dan
18
mengaktifkan biogenesis gen TCP serta ekspresi ctxAB yang disandi oleh dua
Gambar 2.4.
Mekanisme aktivasi gen ctxAB (Raskin et al., 2004).
tentunya toksin tersebut harus dapat disekresikan ke luar. Sebagian besar bakteri
2012; Green and Mecsas, 2016). Sistem T2S terdiri dari dua jalur utama yaitu
menggunakan sistem T2S dalam proses translokasi cholerae toxin. Dalam proses
transport sekresi ctx menggunakan T2S melalui dua langkah utama yaitu
Gambar 2.5.
Mekanisme sekresi menggunakan sistem T2S (Douzi et al., 2012).
Seseorang yang memiliki asam lambung normal harus menelan 10 8-1010 organisme
dalam air untuk dapat terinfeksi dan menjadi sakit, sebab bakteri ini sangat sensitif
pada suasana asam. Jika mediatornya makanan, sebanyak 102-104 bakteri yang
pengobatan dan keadaan yang dapat menurunkan kadar asam dalam lambung
2013).
invasif atau menyebabkan perubahan struktural dari epitel (Lesmana, 2004). Efek
utama dari infeksi V. cholerae adalah meningkatnya secara aktif sekresi klorida,
20
sodium, potasium, bikarbonat dan air. Peristiwa ini terjadi melalui aktivitas
berkaitan dengan siklus hidup dan patogenesis penyakit kolera yaitu N-acetyl-
permukaan kitin dan juga pada mucin yang melapisi sel epitel usus (Kirn et al.,
proteolitik yang dapat melisiskan substrat yang ada pada lingkungan usus seperti
penetrasi lebih dalam, mendegradasi lapisan mukus dari usus sehingga cholerae
toxin dapat menempel dengan reseptor GM1 ganglioside, serta untuk proses
Cholerae toxin lengkap yang terdiri dari subunit A dan B dikeluarkan oleh
di permukaan mukosa epitel intestinal dan subunit A yang merupakan bagian aktif
Selanjutnya cAMP menyebabkan sekresi aktif dari sodium (Na+), klorida (Cl-),
potassium (K+), bikarbonat (HCO3-), dan air (H2O) keluar dari sel menuju lumen
Thiagarajah and Verkman, 2005; Lima and Fonteles, 2015). Gen penyandi untuk
Gambar 2.6.
Mekanisme kerja cholerae toxin (Ryan and Ray, 2004).
Mekanisme lain selain peningkatan konsentrasi intraseluler dari cAMP
yang juga dianggap berperan di dalam sekresi cairan intestinal pada kolera adalah
tinja penderita kolera. Gambaran klinis kolera yang paling menyolok adalah
22
produksi tinja cair yang jumlahnya besar dan terjadinya dehidrasi sebagai akibat
dari kehilangan cairan melalui tinja. Masa inkubasi kolera dapat berkisar antara
beberapa jam sampai beberapa hari tergantung kepada jumlah inokulum. Awal
terjadinya gejala penyakit dapat mendadak, dengan diare air yang hebat atau
mungkin didahului oleh perasaan tidak enak perut, mual, dan diare ringan.
Mulamula tinja masih mengandung masa dan berwarna kuning cokelat, tetapi
dengan berkembangnya penyakit, tinja akan menjadi lebih encer dan berwarna
abu-abu pucat, dan selanjutnya akan menyerupai air cucian beras. Tinja kolera ini
tidak mengandung sel-sel radang atau eritrosit dan hampir tidak ada protein. Tidak
adanya sel-sel leukosit, eritrosit, dan protein ini mencerminkan penyakit yang
yang menular melalui air yang terkontaminasi. Kolera juga bisa menular melalui
makanan termasuk di dalamnya seafood (Hill et al., 2013). Hasil studi terbaru
menunjukkan bahwa insidens Vibrio spp. yang berasal dari seafood berkontribusi
kolera. Hewan laut itu dapat terkontaminasi oleh V. cholerae melalui air di mana
bakteri itu secara persisten sudah berada di sana, atau karena air terkontaminasi
23
oleh tinja manusia. Di beberapa tempat, ikan dan kerang-kerangan dimakan dalam
Meksiko, dilaporkan sebagai akibat dari konsumsi makanan laut (seafood) yang
tidak dimasak dengan benar (Hlady and Klontz, 1996; Altekruse et al., 2000).
terjadi secara periodik di Malaysia dan ini merupakan masalah kesehatan yang
Penelitian mengenai distribusi spesies Vibrio patogen pada ikan segar yang dijual
di pasar di Malaysia antara Juli 1998 sampai Juni 1999 telah berhasil diisolasi 97
strain V. cholerae dari berbagai seafood dan 2 diantaranya positif membawa gen
ctx (Chen et al., 2004). Pada tahun 2010 telah terjadi outbreak di Haiti, kemudian
berhasil diisolasi V. cholerae yang berasal dari air dan seafood yang membawa
gen ctx dan identik dengan V. cholerae penyebab outbreak (Hill et al., 2011).
Tamil Nadu, India yang dilakukan oleh Sathiyamurthy et al. (2013) berhasil
menemukan V. cholerae yang positif membawa gen ompW dan ToxR. Di Bali
telah telah berhasil dilakukan isolasi V. cholerae yang berasal dari produk
perikanan dengan prevalensi 7,4 % dengan metode fenotipik dan belum diketahui
apakah membawa gen yang berperan terhadap timbulnya penyakit terutama gen
nukleotida tertentu secara in vitro yang telah dikenal sebagai suatu metode biologi
molekuler (Elza dan Solachuddin, 1998; Yuwono, 2006). Metode ini pertama kali
CETUS Corporation. Metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai
macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal perkembangannya metode ini
Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu
fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu
atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polymerase, yaitu enzim
yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga
penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006; Joshi and Deshpande, 2010).
denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda
denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (95oC) selama 1-2 menit,
(annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan
25
efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37 oC), tetapi biasanya akan
terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu
yang lebih tinggi (55oC), spesifitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi
PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan
salah satu rantai DNA pada ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua
identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses
72oC selama 1,5 menit. Pada suhu ini DNA polymerase akan melakukan proses
polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada cetakan.
Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan
hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya
ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil
menjadi 95oC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai
Aplikasi teknik PCR telah secara luas diterapkan, untuk penelitian di laboratorim,
PCR digunakan untuk diagnosis penyebab infeksi serta studi epidemiologi. PCR
antara lain; Nested PCR, Real Time PCR, Reverse Transcriptase-PCR, Duplex
pengembangan dari PCR yang mana dapat mendeteksi berbagai jenis gen dalam
satu kali running. Metode ini lebih praktis, hemat waktu dan biaya jika
mendiagnosis penyakit yang berbeda dalam sampel yang sama, serta mampu
mendeteksi patogen yang berbeda dalam sampel tunggal, selain itu juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi urutan ekson dan intron dalam gen tertentu.
ukuran amplikon yang dihasilkan pada masing - masing primer harus dapat
peningkatan ukuran amplikon berkisar 20% antar band yang berdekatan (Elnifro
et al., 2000). Beberapa peneliti menggunakan duplex PCR untuk deteksi patogen,
misalnya Yasmon et al. (2010) menggunakan duplex PCR untuk deteksi secara
Jakarta. Thanananta and Thanananta (2008) mendeteksi E. coli yang berasal dari
air menggunakan duplex PCR dengan target gen lacZ dan uidA.
al., 1998; Nandi et al., 2000; Tarr et al., 2007). Misalnya, Nandi et al. (2000)
target gen ompW dan mendeteksi gen ctxA. Chomvarin et al. (2007)
target gen tcpA dan ctxA pada sampel air. Mehrabadi et al. (2012) yang
ompW) yang dimiliki oleh V. cholerae dengan teknik ini dapat dideteksi 10-100
CFU V. cholerae dan 8.5-85 pg DNA genomik. Imani et al. (2013) menggunakan
PCR untuk mendeteksi gen virulensi dan regulator (hlyA, ctxB, tcpI) yang berasal
membutuhkan waktu yang lebih singkat serta memiliki sensitifitas dan spesifisitas
(Kharirie, 2013).