Anda di halaman 1dari 4

BOLEH MEMBUKA IDENTITAS PASIEN CORONA ?

Oleh Muanam

Kerahasiaan Identitas Pasien


Pada dasarnya, setiap pasien mempunyai hak mendapatkan privasi dan kerahasiaan
penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya. Ini diatur dalam Pasal 32 huruf i Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 
 
Hak serupa juga diatur dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Kesehatan (“UU Kesehatan”) dan Pasal 17 huruf h angka 2 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (“UU KIP”) yang pada pokoknya
mengatur bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan dan setiap badan publik wajib
membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi
publik, kecuali, salah satunya, mengenai riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan
kesehatan fisik, dan psikis seseorang, karena bila dibuka dan diberikan kepada pemohon
informasi publik dapat mengungkapkan rahasia pribadi.
 
Masih menyangkut hak pasien dan kewajiban rumah sakit, setiap rumah sakit harus menyimpan
rahasia kedokteran, yang hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk
pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan
pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.1
 
Rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang ditemukan oleh
dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan dan dicatat dalam rekam medis yang dimiliki
pasien dan bersifat rahasia.2
 
Rumah sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan
dengan rahasia kedokteran.3
 
Kemudian, dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (“UU 29/2004”) disebutkan setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.
 
Selain itu, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia.4
 
Sedangkan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada
pasien.5
 
Dokumen rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter
gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.6
Sehingga bisa disimpulkan, rekam medis merupakan rahasia kedokteran yang memuat identitas
pasien positif COVID-19 yang harus disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh rumah sakit atau
dokter yang bertugas.
 
Jerat Hukum bagi Penyebar Identitas Pasien
Patut dipahami bahwa salah satu kewajiban rumah sakit adalah menghormati dan melindungi
hak-hak pasien.7Pelanggaran atas kewajiban rumah sakit akan dikenakan sanksi admisnistratif
berupa teguran, teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin rumah sakit.8
 
Sehingga, jika rumah sakit tidak melindungi identitas pasiennya yang positif COVID-19, maka
rumah sakit dapat dikenai sanksi administratif tersebut.
 
Dalam hal pelaku penyebaran identitas pasien di atas adalah dokter atau dokter gigi yang dengan
sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 51 huruf c UU 29/2004,
maka dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50 juta berdasarkan Pasal 79 huruf
b dan c UU 29/2004 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 (hal. 120).
 
 
Di samping itu, bagi badan publik yang melanggar berlaku Pasal 54 ayat (1) UU KIP:
 
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau
memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b,
huruf d, huruf f, huruf g,  huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
 
Orang yang dimaksud adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum, atau badan
publik.[9]
 
Badan publik yang dimaksud adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”) dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (“APBD”), atau organisasi non pemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat,
dan/atau luar negeri.[10]
  

Sedangkan menurut Dewan Pakar PB IDI M Nasser menambahkan, memang ada kebijakan
pemerintah yang mengatakan rahasia pasien yang perlu dirahasiakan dan tidak bisa dibuka.
"Tetapi itu dalam kondisi umum. Kemudian ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi
terinfeksi virus itu kemudian ada indikasi pemerintah berubah, maka organisasi profesi kesehatan
segera menyampaikan pandangan," ujar pria yang juga Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan
Indonesia itu.
Ia menambahkan, meski kerahasiaan data pasien diatur dalam empat undang-undang (UU) Lex
Specialis yaitu pertama, pasal 48 UU Praktik Kedokteran, kedua Pasal 57 UU Kesehatan, ketiga
diatur pasal 38 UU RS, dan terakhir diatur di pasal 73 UU 36 tetapi peraturan menteri kesehatan
(permenkes) nomor 36 tahun 2012 yang menyatakan rahasia medis bisa dibuka atas nama
kepentingan umum. Karena itu IDI meminta pemerintah membuka identitas pasien untuk
kepentingan umum.

"Justru pembukaan data pasien (orang terknfeksi Covid-19) berupa nama dan alamat maka orang
kemudian tahu kalau sudah komunikasi (dengan orang positif Covid-19) maka akan sangat
mudah diketahui orang yang menjalin kontak dan ke rumah sakit. Jadi tidak memudahkan upaya
penularan," ujarnya. Apalagi, dia menambahkan, infeksi Covid-19 bukanlah sebuah keadaan
yang memalukan sehingga tidak akan mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat

Sedangkan menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi
Saputra, ancaman pidana ini berdasarkan Pasal 26 dan Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). "Bahwa tidak boleh orang sembarangan membeberkan data
pribadi ke publik tanpa izin. UU ini mengatur bila perbuatan melawan hukum itu terbukti, dapat
diancam hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 750 juta," kata Asep di Gedung Bareskrim
Polri, Jakarta Selatan, Kamis (5/3/2020).
Sayangnya, semua pasal tersebut merupakan delik aduan. Artinya, polisi baru dapat melakukan
penindakan bila korban melapor. Sejauh ini polisi belum menerima laporan terkait penyebar data
pribadi tersebut.

Menururt pendapat pribadi saya. Membuka identitas pasien corona diperbolehkan dikarenakan
untuk kepentingan umum. Dalam menangani penyakit corona, petugas diharuskan juga
memeriksa masyarakat yang telah terkontak dengan pasien. Selain itu karena di indonesia terjadi
pandemi yang lama. Diharapkan kesadaran dari masyarakat secara umum tentang pentingnya
kesehatan. Tetapi juga harus diawasi oleh petugas keamanan untuk menenangkan masyarakat.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;


2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Kesehatan;
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
 
Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007.

[1] Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU 44/2009

[2] Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU 44/2009

[3] Pasal 44 ayat (1) UU 44/2009

[4] Pasal 51 huruf c UU 29/2004

[5] Penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU 29/2004

[6] Pasal 47 ayat (2) UU 29/2004

[7] Pasal 29 ayat (1) huruf m UU 44/2009

[8] Pasal 29 ayat (2) UU 44/2009

[9] Pasal 1 angka 10 UU KIP

[10] Pasal 1 angka 3 UU KIP

Sumber :

1. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e7c4201bb923/jerat-hukum-bagi-
penyebar-identitas-pasien-positif-covid-19/
2. https://republika.co.id/berita/q7aalu384/idi-identitas-pasien-positif-covid19-boleh-diungkap
3. https://nasional.kompas.com/read/2020/03/06/07525711/ancaman-penjara-dan-denda-bagi-
penyebar-identitas-pasien-positif-corona?page=all

Anda mungkin juga menyukai