Anda di halaman 1dari 19

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
• Nama : Ny. S
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Umur : 42 tahun
• Alamat : Leuwiliang
• Pekerjaan : ibu rumah tangga
• Agama : Islam
• Tgl. Masuk RS :
• Tgl. Pemeriksaan :

ANAMNESIS
• Keluhan Utama :
Demam sejak 6 hari SMRS.
• Keluhan Tambahan :
Sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, lemas, belum BAB, nyeri
perut, pegal-pegal.
• Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Leuwiliang dengan keluhan demam sejak 6 hari
SMRS. Demam timbul secara perlahan-lahan, dirasakan tinggi pada sore dan
malam hari. Menurut pasien, demam sempat turun bila minum obat penurunan
panas, tetapi kurang lebih 4 jam kemudian demam timbul lagi. Pasien mengeluh
adanya keluhan sakit kepala terutama dibagian depan. Pasien mengaku ada
keluhan mual dan muntah sebanyak 2 kali sehari berisi makanan dan minuman
yang dimakannya, yang lama kelamaan berupa cairan warna kuning. Pasien juga
mengaku nafsu makan menjadi menurun, badan terasa lemas dan pegal-pegal.
Sudah 6 hari ini, pasien belum BAB selama 4 hari. BAK tidak ada keluhan. Pasien
mengeluh seluruh perut terasa nyeri. Menurut pasien, kurang lebih seminggu
sebelum timbul gejala, pasien makan karedok yang dibeli dipinggir jalan, tidak
jauh dari rumahnya. Riwayat tetangga yang mengalami keluhan demam mendadak
tinggi disangkal. Keluhan mimisan atau gusi berdarah disangkal.

1
• Riwayat Penyakit Dahulu :
1. Pasien mengaku belum pernah mengalami gejala yang sama sebelumnya.
2. Riwayat gastritis sejak 1 tahun yang lalu

• Riwayat Penyakit Keluarga :


1. Tidak terdapat riwayat penyakit seperti ini pada keluarga.
2. Riwayat asma, tb paru, DM, HT, dan penyakit jantung disangkal.

• Riwayat Pengobatan :
1. Pasien sudah berobat ke Puskesmas untuk keluhan sekarang, diberi obat
sanmol, antasid, dan antibiotik, tetapi keluhan tidak membaik.

• Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi makanan, obat-obatan, debu, dan
cuaca.

• Riwayat Psikososial :
1. Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal, tetapi suami pasien perokok,
biasanya merokok 1 bungkus/hari.
2. Riwayat makan karedok yang dibeli dipinggir jalan, tidak jauh dari rumahnya,
kurang lebih seminggu yang lalu.
3. Sebelum sakit makan biasanya 3 kali sehari.
4. Aktivitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga
5. Ventilasi udara dirumah baik.

PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan umum: tampak sakit sedang
• Kesadaran : compos mentis
• Tanda-tanda vital :
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 38,70C
• Antropometri :

2
BB sebelum sakit : 45 kg
BB sesudah sakit : 44 kg
TB : 150 cm
IMT : 44/ 2.25 = 19.5 (Normoweight)

Status Generalis
• Kepala : normocepal, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah rontok.
• Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek cahaya (+/+), pupil isokor.
• Hidung : septum deviasi (-), sekret -/-, epistaksis -/-.
• Telinga : bentuk normotia, serumen -/-, otorhea -/-.
• Mulut : mukosa bibir kering (+), lidah kotor (+), tremor (-), stomatitis (-), sianosis
(-), perdarahan gusi (-).
• Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-).
• Paru
I : normochest, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-).
P : vokal fremitus kanan dan kiri sama (+), nyeri tekan (-).
P : sonor pada kedua lapang paru.
A : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
• Jantung
I : ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula sinistra.
P : ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra.
P : batas atas di ICS II linea parasternalis dextra, batas kanan di ICS IV linea
sternalis dextra, batas kiri di ICS V linea midclavicula sinistra.
A : BJ I dan II murni reguler, gallop (-), murmur (-).
• Abdomen
I : datar.
A : bising usus (+) normal.
P : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan limpa tidak teraba.
P : timpani pada 4 kuadran abdomen.
• Ekstremitas
Atas : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-, tourniquet test (-).
Bawah : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-.

3
PEMERIKSAAN PENUNJANG

…..-…-2020

Pemeriksan Hasil Satuan


Hemoglobin 13,4 g/dL
Leukosit 7.800 /µL
Hematokrit 39,2 %
Trombosit 197.000 /µL
Widal
S. Typhosa H 1/160
S. Typhosa O 1/320
S. Paratyphosa AH NEG
S. Paratyphosa BH NEG
S. Paratyphosa AO 1/160
S. Paratyphosa BO 1/320

RESUME
Pasien perempuan usia 42 tahun, datang dengan keluhan demam intermitten sejak
6 hari SMRS, disertai dengan sakit kepala bagian depan, nausea, vomitus, anoreksia,
malaise, mialgia, nyeri abdomen, konstipasi, perut kembung dan terasa penuh, kadang
suka sendawa, dan perih ulu hati. Menurut pasien, kurang lebih seminggu sebelum
timbul gejala, pasien makan karedok yang dibeli dipinggir jalan, tidak jauh dari
rumahnya.

Pemeriksaan fisik :
• TD : 110/80 mmHg
• Nadi : 88 x/menit
• Pernapasan : 18 x/menit
• Suhu : 38,70C
• Coated tongue (+), nyeri tekan epigastrium (+).
Pemeriksaan penunjang :
• Uji Widal S. Typhosa O 1/320 (+).

DAFTAR MASALAH
• Demam tifoid + Dispepsia (active)diagnosis klinis.

PEMBAHASAN
DEMAM TIFOID
4
Pada kasus ini didapatkan : demam intermitten, anoreksia, sakit kepala, nausea,
vomitus, konstipasi, nyeri epigastrium, riwayat makan karedok yang dibeli dipinggir
jalan, tidak jauh dari rumahnya, kurang lebih seminggu yang lalu, coated tongue, uji
widal S. Typhosa O 1/320.
Tidak didapatkan gejala : hepatomegali, splenomegali, bradikardi relatif, perdarahan
spontan.

PLANNING
Planning Diagnostik
• Diagnostik etiologik :
- Kultur darah atau bone marrow atau feses, uji Tubex, uji IgM
Salmonella (dipstick).
• Diagnostik komplikasi :
- SGOT, SGPT, bilirubin, foto thoraks, darah lengkap, urine lengkap.
• Diagnostik komorbid : -
• Diagnostik gawat darurat : -

Planning Terapi
• Klasifikasi perawatan
- Perawatan biasa.
Karena tidak ada kegawatan, KU baik, TTV baik.
• Hidrasi
- Parenteral : IVFD RL 20 tpm
• Oksigenasi
• Nutrisi
- Rendah selulose (rendah serat).
- Diet bertahap : buburtimnasi.
• Farmakologi
- Ceftriaxone 2 x 1 gr, IV selama 5 hari.
- Ondansetron 2 x 4 mg, IV (bila perlu).
- Paracetamol 3 x 500 mg, PO (bila perlu).

DISPEPSIA

5
Pada kasus ini didapatkan : nyeri epigastrium, nausea, vomitus, perut kembung dan
terasa penuh, kadang suka sendawa, perih ulu hati.
Tidak didapatkan gejala : hematemesis, melena.

PLANNING
Planning Diagnostik
• Diagnostik etiologik :
- Endoskopi.
• Diagnostik komplikasi :
- Darah lengkap, urine lengkap, tinja, petanda tumor (CA 19-9), USG.
• Diagnostik komorbid : -
• Diagnostik gawat darurat : -

Planning Terapi
• Klasifikasi perawatan
- Perawatan biasa.
Karena tidak ada kegawatan, KU baik, TTV baik.
• Hidrasi
- Parenteral : IVFD RL.
• Oksigenasi

• Nutrisi
- Diet lunakporsi kecil dan berulang kali.
• Farmakologi
- Antasida doen syrup 3 x 1 a.c., PO (bila perlu).
- Ranitidin 1 x 150 mg, PO (bila perlu).
- Domperidon 1 x 10 mg, PO (bila perlu).

FOLLOW UP

6
Tgl 19-12-2015 (rawat hari ke-2)
S : Demam (+), mual (+), muntah (+) 1x, perih ulu hati (+), BAB (-), nafsu makan
menurun, sakit kepala (+), BAK tidak ada keluhan.
O : TD 100/70 mmHg
Nadi 84 x/menit
RR 18 x/menit
Suhu 38,8oC
Mulut: coated tongue (+)
Abdomen: nyeri tekan epigastrium (+)
A : Demam tifoid + Dispepsia.
P : IVFD RL 500 cc/8 jam 20 tpm.
Ondansetron 2 x 8 mg, IV.
Gastritidin 3 x 1 amp.
Ceftriaxone 2 x 1 gr, IV.
Antasida doen syrup 3 x 1.
Ulsicral 3 x 1.
Paracetamol 3 x 500 mg, PO (bila perlu).

Tgl 20-12-2015 (rawat hari ke-2)


S : Demam (+), mual (+), masih ada muntah 1x, perih ulu hati (+), BAB (-), nafsu
makan menurun, sakit kepala hilang timbul, BAK tidak ada keluhan.
O : TD 110/80 mmHg
Nadi 88 x/menit
RR 18 x/menit
Suhu 38,7oC
Abdomen: nyeri tekan epigastrium (+)
A : Demam tifoid + dispepsia dengan perbaikan.
P : Terapi lanjutkan!

KESIMPULAN
Diagnosa Utama : Typhoid fever + dispepsia dengan perbaikan.
Terapi pulang : Cefixime 2 x 100 mg, Antasida doen 3 x 1, Ulsicral 3 x 1,
Paracetamol 3 x 500 mg (bila perlu).
Rawat jalan : kontrol ke poli penyakit dalam

7
TINJAUAN PUSTAKA

Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit demam sistemik akut dan menyeluruh yang
disebabkan oleh Salmonella enterica subspesies enterica serotipe Typhi. Penyakit ini
awalnya diberi nama demam tifoid karena secara klinis mirip dengan penyakit tifus
meskipun secara patologis dapat dibedakan dengan jelas karena dihubungkan dengan
pembesaran plak Peyeri dan nodus limfa mesentrikus. Demam tifoid masih
merupakan masalah kesehatan yang penting terutama di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Gejala klinis penyakit ini bervariasi dari sakit ringan dengan
demam yang tidak tinggi, badan terasa tidak enak dan batuk kering hingga gejala
klinis yang berat dengan rasa tidak nyaman (nyeri) pada bagian abdomen dan
berbagai komplikasi lainnya (WHO, 2003).

Etiologi
Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae, merupakan
bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-3 ± 0,4 -
0,6 μm, bergerak dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang berarti bakteri ini
dapat tumbuh dalam kondisi ada dan tidak adanya oksigen. Salmonella tidak
membentuk spora, tidak memiliki kapsul dan tidak memfermentasikan laktosa, tetapi
bakteri ini memproduksi H2S (yang dapat digunakan sebagai identifikasi bakteri
tersebut di laboratorium). Salmonella, seperti Enterobacteriaceae lain, memproduksi
asam pada fermentasi glukosa, mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom
oksidase.
Anggota dari subspesies Salmonella diklasifikasikan ke dalam >2400 serotipe
berdasarkan antigen somatik O (komponen dinding sel lipopolisakarida (LPS)),
antigen permukaan Vi (yang hanya dimiliki S. Typhidan S. Paratyphi C) dan antigen
flagela H. Ketiga antigen ini penting untuk tujuan taksonomi dan epidemiologi dari
Salmonellayang masing-masing akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:

8
1. Antigen Somatik ( O )
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida dari dinding sel luar
bakteri yang tahan terhadap pendidihan, alkohol dan asam. Salmonella dibagi
menjadi kelompok A-I berdasarkan antigen somatik ini. Aglutinasi untuk antigen
O di dalam tubuh berlangsung lebih lambat dan bersifat kurang imunogenik namun
mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Titer antibodi yang timbul oleh antigen O
ini selalu lebih rendah dan titer antibodi H.
2. Antigen Flagel ( H )
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini
rusak dengan pendidihan dan alkohol tetapi tidak rusak oleh formaldehid. Terdapat
dua bentuk antigen H, fase 1 dan fase 2. Hanya salah satu dari kedua protein H ini
yang disintesis pada satu waktu. Hal ini tergantung dari rangkaian gen mana yang
ditranskripsikan menjadi mRNA.
3. Antigen Vi
Antigen Vi (polisakarida kapsul) adalah antifagosit dan faktor virulensi yang
penting untuk S. typhi. Antigen ini merupakan antigen permukaan dan bersifat
termolabil. Antigen ini digunakan untuk serotipe S. typhi di laboratorium klinis.
Antibodi yang terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi petunjuk
bahwa individu tersebut merupakan karier atau pembawa kuman. Selain S. typhi,
antigen ini juga terdapat pada S. paratyphi C dan S. dublin.

Demam tifoid disebabkan oleh penyebaran bakteri Salmonella enterica serotipe


Typhi, atau secara singkat dapat disebut Salmonella typhi. Nama S. typhi sendiri
diperoleh dari bahasa Yunani kuno, typhos, yang berarti asap atau kabut halus yang
dipercaya dapat menyebabkan penyakit dan kegilaan. Pada stadium lanjut dari demam
tifoid, tingkat kesadaran pasien memang benar akan menjadi berkabut (samar-samar)
(Brusch, 2012).
Salmonella typhi termasuk bakteri yang memproduksi endotoksin yang berarti
toksin baru dikeluarkan ketika bakteri ini mati dan dinding selnya luruh. Suhu
optimum yang dibutuhkan S. typhi untuk tumbuh yakni 37°C dengan pH antara 6-8.
Bakteri ini dapat dibunuh dengan pemanasan (suhu 60°C) selama 15-20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. S. typhi dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas, seperti di dalam air, es, sampah, debu dan (seperti telah
disebutkan sebelumnya) bakteri ini tidak memiliki reservoir lain selain manusia.

9
Transmisi dan Faktor Risiko Demam Tifoid
Salmonella typhi sangat beradaptasi dan hidup hanya pada manusia. Seseorang
yang menderita demam tifoid akan membawa bakteri tersebut di aliran darah dan
traktus intestinalnya. Sebagian kecil orang yang telah sembuh dari demam tifoid, yang
dinamakan karier, masih tetap membawa bakteri tersebut. Baik orang yang sakit dan
karier memiliki S. typhi di feses (tinja) mereka. Sekali S. typhi dimakan atau diminum,
bakteri ini akan berkembang biak dan menyebar hingga ke darah.
Penularan S. typhi terjadi paling sering yakni melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi oleh tinja pasien atau karier demam tifoid yang asimptomatik.
Makanan dan minuman ini juga dapat terkontaminasi urin pasien meskipun lebih
jarang terjadi. Transmisi dari tangan ke mulut akan terjadi jika seseorang
menggunakan toilet yang terkontaminasi dan mengabaikan higiene tangan setelahnya.
Transmisi secara seksual dengan sesama pasangan lelaki juga pernah dilaporkan.
Pekerja kesehatan terkadang tertular setelah terpapar dengan pasien yang terinfeksi
atau selama mengolah spesimen klinis dan kultur dari bakteri tersebut. Hasil
penelitian oleh Levine dkk. (2001) dalam Brusch memberikan hasil bahwa lebih dari
50% sukarelawan yang sehat terinfeksi oleh S. typhi ketika menelan sedikitnya
100.000 organisme.

Patogenesis
Semua infeksi Salmonella dimulai dengan masuknya bakteri tersebut melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dosis yang dapat menginfeksi yakni
103-106colony-forming units. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung dan
sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka Salmonella akan menembus
sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria,
mikroorganisme ini akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Salmonella dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plak Peyeri
ileum distal. Salmonella memiliki
fimbrae yang terspesialisasi yang
menempel ke epitelium jaringan
limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat

10
utama dimana makrofag lewat dari usus ke sistem limfatik. Bakteri ini kemudian
dibawa ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus,bakteri yang terdapat didalam makrofag ini
masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik)
dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.
Pasien biasanya relatif tidak memiliki atau hanya sedikit gejala pada masa inkubasi
awal ini. Di organ-organ retikuloendotelial, Salmonella meninggalkan sel fagosit dan
kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai
dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Didalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah disekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neruopsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan
dan gangguan organ lainnya.

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi dari S. typhi rata-rata antara 10-14 hari tetapi bisa juga berjarak 3-
21 hari. Durasi waktu ini tergantung banyaknya terpajan S. typhi tersebut dan imunitas
serta kesehatan dari pejamu. Onset gejala lambat dengan demam dan konstipasi lebih
sering mendominasi dibandingkan diare dan muntah. Gejala yang paling terlihat yakni

11
demam terus-menerus (38,8°C - 40,5°C) yang bisa berlanjut hingga empat minggu
jika tidak diobati. Diare mungkin muncul pada awal onset tetapi biasanya hilang
ketika demam dan bakteremia muncul.
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut juga dengan sindrom demam tifoid.
Di bawah ini merupakan gejala klinis yang sering pada demam tifoid, diantaranya
adalah:
1. Demam
Pada awal onset, demam kebanyakan samar-samar, selanjutnya suhu tubuh
sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi.
Intensitas demam makin tinggi dari hari ke hari yang disertai gejala lain seperti
sakit kepala yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu berikutnya, intensitas demam
semakin tinggi bahkan terkadang terus-menerus. Bila pasien membaik maka pada
minggu ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir
minggu. Akan tetapi, demam khas tifoid seperti ini tidak selalu ada.
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada penderita sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam
yang lama. Bibir kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan
ditutupi oleh selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor tetapi pada
penderita anak jarang ditemukan. Penderita umumnya sering mengeluh nyeri perut,
terutama di regio epigastrik, disertai mual dan muntah. Pada awal sakit sering
terjadi meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang juga
timbul diare. Beberapa pasien mengalami diare encer yang buruk berwarna hijau
kekuningan (pea soup diarrhea). Pasien seperti ini bisa masuk kedalam keadaan
tifoid yang dikarakteristikkan dengan gangguan kesadaran.
3. Gangguan Kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut. Bila klinis berat, tidak jarang penderita sampai pada kondisi somnolen
dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada
penderita dengan tifoid toksik, gejala delirium lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri
tekan.

12
5. Bradikardia Relatif dan Gejala Lain
Bradikardia relatif tidak sering ditemukan. Gejala-gejala lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot (makula yang berwarna rose) yang
biasanya ditemukan di regio abdomen atas, batuk kering, serta gejala-gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot ini biasanya muncul
pada 30% pasien diakhir minggu pertama dan menghilang tanpajejak setelah 2-5
hari.
Relaps terjadi pada 5-10% pasien, biasanya dua sampai tiga minggu setelah
demam sembuh. Biasanya relaps ini lebih ringan dibandingkan gejala awalnya dan
S. typhi yang diisolasi dari pasien merupakan S. typhi dengan strain dan kerentanan
antibiotik yang sama. Sepuluh persen pasien demam tifoid yang tidak diobati akan
mengeksresikan S. typhi ditinja hingga 3 bulan mendatang dan 1-4% akan menjadi
pembawa kronis yang asimptomatik, yakni orang yang mengeksresikan S. typhi
baik di urin dan di tinja selama lebih dari 1 tahun.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik
• Demam yang tinggi.
• Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm
terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut
agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang berjumlah
kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat hari pada minggu
pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang
tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang
ditemukan pada orang Indonesia).
• Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.
• Bradikardia relatif.
• Hepatosplenomegali.
• Jantung membesar dan lunak.
• Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang
menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens muskuler
akibat rangsangan peritoneum.

13
• Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat
mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah
segar.
• Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak
distensi, bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi
timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya
kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah.
• Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah
diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik.

Laboratorium

Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik,


leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel
polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal,
walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam. Leukopenia
(<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian perforasi
usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi
pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan
keempat. Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90%
penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita.
Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman. Pembawa
kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih banyak daripada
wanita.

Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil
usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti
peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B. fragilis). Titer
aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik demam dan
memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena ada imunitas
silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap meninggi setelah
diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi
karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian antibodi
empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi sedikit
kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat akibat

14
pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal diambil, maka semakin
mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas meningkat
kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada diagnosis dini
infeksi.

1. Leukosit.
Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena
kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas
normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-
kadang dapat ditemukan leukositosis.
2. SGOT dan SGPT.
SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah
demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.
3. Biakan darah.
Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah ()
tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah
tergantung pada beberapa faktor, yaitu :
a. Teknik pemeriksaan laboratorium.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
c. Vaksinasi di masa lampau.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba.
4. Uji Widal.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen
yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum
pasien yang disangka menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium.
Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat
antibodi (aglutinin), yaitu :
a. Aglutinin O.
Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O
yang berasal dari tubuh kuman.
b. Aglutinin H.

15
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H
yang berasal dari flagela kuman.
c. Aglutinin Vi.
Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi
yang berasal dari simpai kuman.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien
menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer Uji Widal akan meningkat
pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari. Pembentukan
aglutinin terjadi pada akhir mingu pertama demam, kemudian meningkat secara
cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti
oleh agglutinin H, pada orang yang sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Oleh karena itu uji widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.

5. Kultur Gall (Gall Culture).


6. Tubex Tf
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit (Prasetyo, 2006).
Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada uji Widal.
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaannya yaitu :

16
1. Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah
terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien
dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
2. Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis airan parenteral
adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi,
dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal.
3. Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya
nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Diet harus mengandung kalori dan
protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah
komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet cair, bubur lunak (tim) dan nasi biasa
bila keadaan penderita baik. Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya
dimulai dengan bubur atau diet cair selanjutnya dirubah secara bertahap sampai
padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran
menurun diberi diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral di
pertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan dan atau perforasi.
4. Terapi
Kloramfenikol Dosis adalah 4 x 500 mg / hari, diberikan secara per
oral atau i.v; sampai dengan 7 hari bebas panas
Tiamfenikol Dosis 4 x 500 mg,

Kotrimoksazol Dosis dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung


sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim)
diberikan selama 2 minggu.
Ampisilin &amoksisilin Dosis 50-150 mg/kgBB dan selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi 3
Golongan florokuinolon Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.
Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari.
Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari.
Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.

17
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.
Kombinasi obat Kombinasi 2 antibiotik atau telah diindikasikan
antimikroba hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik
tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik,
yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organism
dalam kultur darah selain kuman Salmonella.

KOMPLIKASI
Intestinal • Perdarahan usus, perforasi, ileus paralitik, pankreatitis
Ekstra- • Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
intestinal • Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis.
• Paru: pneumonia, empiema, pleuritis.
• Hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
• Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
• Tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.
• Neuropsikiatrik/tifoid toksik.

PROGNOSIS
Gejala biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu pengobatan. Hasilnya
mungkin akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi lebih buruk
apabila timbulnya komplikasi. Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak
sepenuhnya sembuh dari infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

18
1. Panduan pelayanan medik, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, cetakan ke-3, 2009
2. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
3. Price A, Wilson L. 2009. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta: EGC
4. WHO. 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. Zimbabwe: The
Ministry of Health and Child Welfare

19

Anda mungkin juga menyukai