Anda di halaman 1dari 12

DEMOKRATISASI DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Sabtu, 01 Mei 2010 | By Pendidikan Kewargenegaraan dan Kepribadian


Oleh Mulyadi, M.Pd. Pemerhati Pendidikan dan Moral Anak (PPMA) tinggal di Samarinda
Dimuat harian Swara Kaltim bagian DIKNAS berseri pada tanggal 9, 10, 11, Oktober 2003
Pada saat sekarang ini telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara baik sebagai akibat konstelasi politik dalam negeri
maupun politik global. Demokrasi dan hak asasi manusia merupakan isu sentral yang
diperbincangkan sebagai wacana yang telah mempengaruhi pola pikir masyarakat dan bangsa
Indonesia. Implementasi demokrasi dalam suatu negara sangat memerlukan sikap demokratis
dari setiap warga negaranya. Oleh karena itu, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk
mengembangkan sikap demokratis dalam berbagai kehidupan. Untuk melaksanakan demokrasi
di Indonesia saat ini terdapat berbagai tantangan. Tantangan itu adalah kurangnya kesadaran
kemajemukan yang mengakibatkan terjadinya fenomena disintegrasi. Di samping itu tantangan
yang lain adalah ketidakmampuan untuk bermusyawarah, praktik-praktik tujuan yang
menghalalkan segala cara, kurangnya permusyawaratan yang jujur dan sehat, terjadinya krisis
ekonomi dan tidak ada kepercayaan antarwarga masyarakat. Hal ini diperkuat hasil survey dari
National Survey of Voter Education" (Asia Foundation, 1998) menunjukkan bahwa lebih dari
60% dari sampel nasional mengindikasikan belum mengerti tentang apa, mengapa, dan
bagaimana demokrasi. Tantangan tersebut harus segera diatasi oleh seluruh lapisan masyarakat
baik itu elit politik maupun rakyat. Upaya dan strategi untuk mengatasi tantangan itu melalui
pendidikan khususnya pendidikan demokrasi. Salah satu tempat yang strategis untuk
menanamkan sikap demokratis adalah di lingkungan sekolah. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan memiliki tanggung jawab untuk membentuk generasi muda yang beriman, bertaqwa,
berilmu, bermoral dan memiliki sikap demokratis. Secara khusus mata pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan berusaha untuk menanamkan nilai, norma, dan moral, kepada
peserta didik dengan tujuan agar memiliki pengetahuan tentang hukum, politik, moral, dan sikap
demokratis. Namun kenyataannya, berdasarkan berbagai penelitian yang dihimpun oleh Djahiri
(1998) menunjukkan bahwa praksis pendidikan demokrasi, dalam hal ini melalui
PMP/PPKn/Penataran P-4 cenderung menitikberatkan pada penguasaan aspek pengetahuan dan
mengabaikan pengembangan sikap dan keterampilan kewarganegaraan, dengan menggunakan
pendekatan ekspositori yang cenderung indoktrinatif. Hal ini kurang memberi kesempatan secara
luas kepada siswa untuk menyampaikan ide-ide, mengembangkan pengalaman dan potensi yang
dimiliknya. Akibatnya siswa memiliki pengetahuan tentang demokrasi tetapi tidak
mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari dan siswa kurang kritis dan kreatif terhadap suatu
permasalahan. Di samping itu metode mengajar guru selama ini lebih banyak menggunakan
ceramah, yang hanya mentransfer pengetahuan (transfer of knowlage) kepada siswa. Hal ini
mengakibatkan situasi belajar membosankan, siswa pasif, dan kurang mendukung untuk
pembentukan sikap demokratis. Strategi pembelajaran guru tersebut harus direformasi dengan
strategi pembelajaran yang mengakibatkan siswa dapat mengembangkan potensi yang dimiliki.
Dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi guru harus secara teratur menggunakan berbagai
strategi pembelajaran interaktif seperti diskusi masalah-masalah aktual, sosial, dan membahas
suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Model dan strategi mengajar guru dialog-interaktif
yang bersifat partisipatoris tersebut akan mengakibatkan interaksi antara siswa dengan guru dan
antara siswa sendiri. Metode ini supaya berjalan dengan baik harus dikembangkan sikap
menghargai perbedaan pendapat, toleransi terhadap orang lain, kemampuan berpikir kritis,

5
musyawarah yang sehat dan jujur, menyampaikan pendapat yang santun, dan saling
mempercayai. Siswa sebagai salah satu komponen generasi muda, harus terus-menerus dibina
dan dikembangkan sikap dimokratisnya, untuk itu perlu pendekatan dan strategi. Pendekatan dan
strategi secara rinci yang dapat dilakukan guru agar siswa dapat mengembangkan sikap
demokratis adalah sebagai berikut: Pertama, merencana dengan baik rencana pembelajaran yang
akan digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru sebelum mengajar seharusnya
membuat rencana pelajaran yang dapat menciptakan iklim kondusif yang dijadikan rujukan
untuk mengajar di dalam kelas. Pada umumnya guru tidak mempersiapkan dengan baik,
kalaupun ada biasanya rencana pengajaran yang digunakan berupa foto copy yang dibuat oleh
orang lain sehingga guru dalam kelas tidak bisa menerapkan dan mengembangkan secara
maksimal dan belum tentu rencana pelajaran tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi siswa
yang di ajarnya. Kedua, menggunakan strategi dialog interaktif.dengan berbagai metode
mengajar yang dapat menciptakan siswa mengembangkan sikap demokratis. Metode tersebut
antara lain diskusi, Value Technik clarifikasi, sosio drama, liputan, bermain peran, analisi nilai,
dilema moral dsb. Metode mengajar yang digunakan guru selama ini lebih banyak ceramah yang
mengakibatkan siswa pasif, tidak kreatif, dan tidak inovatif. Ketiga, menggunakan berbagai
media pengajaran. Pada hakikatnya pembelajaran adalah suatu proses komunikasi. Proses
komunikasi harus diwujudkan melalui kegiatan penyampaian dan tukar menukar informasi yang
berupa pengetahuan, keahlian, skill, ide, pengalaman, dan sebagainya. Melalui proses
komunikasi, pesan atau informasi dapat diserap dan dihayati orang lain. Agar tidak terjadi
kesesatan dalam proses komunikasi perlu digunakan sarana yang membantu proses komunikasi
yang disebut media. media pembelajaran memiliki fungsi sebagai berikut: Membangkitkan
motivasi belajar, mengulang apa yang telah dipelajari, menyediakan stimulus belajar,
mengaktifkan respon peserta didik, memberi balikan dengan segera, menggalakkan latihan yang
serasi Keempat, mengangkat isu-isu yang aktual di kelas. Guru harus kreatif untuk mencari
masalah-masalah yang aktual di lingkungan sekolah, daerah, nasional, maupun global. Dengan
membawa isu-isu aktual di dalam kelas diharapkan akan menambah kegairahan, semangat,
motivasi, dan minat siswa untuk mengikuti pelajaran. Kelima, guru bertindak sebagai fasilitator,
dinamisator dan mediator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai
dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim proses pembelajaran yang dialogis dan
berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau
arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan
dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu Keenam, menciptakan situasi
kelas yang kondusif dan lebih longgar. Dalam situasi kelas yang kondusif, terbuka dan longgar,
guru akan membawab “ contraversial issue” ke dalam kelas untuk didiskusikan dan dikaji oleh
siswa. Siswa memiliki kesempatan seluas-lusanya untuk menyampaikan pendapat dan
mempertahankannya, tetapi siswa akan belajar untuk menghargai pendapat orang lain, meskipun
pendapat tersebut berbeda dengan apa yang dimiliki, bahkan apa yang diyakini. Ketujuh,
memposisikan atau menempatkan siswa sebagai subjek bukan obyek. Siswa adalah manusia
yang memiliki potensi, kewajiban guru mengembangkan potensi yang ada dalam diri siswa.
Dalam hal ini siswa lebih aktif, kreatif dan enovatif, sedangkan guru memposisikan diri sebagai
fasilitator, mediator, motivator. Kedelapan, keteladanan guru dalam bertindak baik di kelas
maupu di luar kelas. Pengaruh guru dalam sosialisasi nilai-nilai demokrasi pada tingkat sekolah
menengah sangat ditentukan oleh kridibelitas guru itu sendiri. Kalau di mata murid merupakan

5
sosok yang dapat dipercaya, mampu dan dapat dijadikan model bagi para siswa maka pengaruh
guru cukup besar. Sebaliknya kalau guru yang tidak dapat dipercaya, tidak mampu, dan tidak
dapat dijadikan model, pengaruh guru dalam mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi sangat
kecil. Hal ini akan menghambat penanaman sikap demokratis itu sendiri.
Peranan Keluarga dalam Menentukan Tingkat Disiplin Anak
A. Posisi Keluarga Dalam Menentukan Tingkat Disiplin Pada Anak
Esensi pendidikan umum adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang memungkinkan
sebanyak mungkin subyek didik memperluas dan memperdalam makna-makna esensial untuk
mencapai kehidupan yang manusiawi. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kesengajaan
atau kesadaran untuk mengundangnya melakukan tindak belajar yang sesuai dengan tujuan.
Dengan demikian, esensi pendidikan umum, mencakup dua dimensi yaitu dimensi pedagogis dan
dimensi subtantif. Dimensi pedagogis adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang
sebanyak mungkin anak didik terundang untuk memperluas dan memperdalam dimensi
substansif.
Pendidikan umum dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.  Dengan
demikian, keluarga merupakan salah satu lembaga yang mengembang tugas dan tanggung jawab 
dalam pencapaian tujuan pendidikan umum.
Tujuan esensial pendidikan umum adalah mengupayakan subyek didik menjadi pribadi yang
utuh dan terintegrasi. Untuk mencapai tujuan ini, tugas dan tanggung jawab keluarga (orang tua)
adalah menciptakan situasi dan kondisi yang memuat iklim yang dapat dihayati anak-anak untuk
memperdalam dan memperluas makna-makna esensial.
Orang tua dapat melaksanakan dengan cara menciptakan situasi dan kondisi yang dihayati oleh
anak-anak agar memiliki dasar-dasar dalam mengembangkan disiplin.
Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai
moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang
mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang
bersangkutan.
Anak yang berdisiplin memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya,  aturan-
aturan  pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri,
masyarakat bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab orang tua adalah mengupayakan agar
anak disiplin  diri untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan yang menciptakannya, dirinya
sendiri, sesama manusia, dan lingkungan alam dan makhluk hidup lainnya berdasarkan nilai
moral.
Bernhard menyatakan tujuan disiplin diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan
mengembangkan anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga dan
warga negara yang baik.
Selanjutnya indikasi bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan
adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang
membuat anak merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh karena itu,
anak yang merasa diterima oleh orang tua memungkingkan mereka untuk memahami, menerima,
dan menginternalisasi “pesan” nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan  berdasarkan
kata hati.[1]
B. Makna Keluarga Bagi Anak
Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam
dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah

5
antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan
menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga
merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan antara interaksi
dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun di antara mereka tidak
terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga
psikologis dan keluarga pedagogis.
Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang  yang hidup bersama dalam
tempat tinggal dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi
saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam
pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang
antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang dimaksud untuk
saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri
itu terkadang perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua.
Dalam berbagai dimensi dan pengertian keluarga tersebut, esensi keluarga (ibu dan ayah) adalah
kesatuan dan ke satu tujuan adalah keutuhan dalam mengupayakan anak untuk memiliki dan
mengembangkan sikap disiplin.
Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu
anak untuk memiliki dan mengembangkan sikap disiplin. Keluarga yang “utuh” memberikan
peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya yang
merupakan unsur esensial dalam membantu anak memiliki dan mengembangkan sikap disiplin.
Kepercayaan dari orang tua yang dirasakan oleh anak akan mengakibatkan arahan, bimbingan,
dan bantuan orang tua yang diberikan kepada anak dan “menyatu” dan memudahkan anak untuk
menangkap makna dari upaya yang dilakukan.
Sesungguhnya dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw bersama dengan istrinya yang
tercinta terdapat nilai-nilai pendidikan/bimbingan yang sangat mendasar untuk dijadikan
pedoman dalam rumah tangga bagi segenap masyarakat muslim guna mencapai kehidupan
keluarga yang ideal dan sakinah. Semakin dikaji tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah
Saw, maka semakin nampak pula pelajaran yang berharga bagi kita dalam upaya membina
sebuah keluarga.
Jika rumah tangga, masyarakat dan sekolah adalah sendi bimbingan insani, maka rumah tangga
merupakan pemberi pengaruh utama yang lebih kuat di samping di sekolah atau dalam
masyarakat. Sebagai pemimpin, orang tua harus mampu menuntun, mengarahkan, mengawasi,
mempengaruhi dan menggerakkan si anak agar penuh dengan gairah untuk memberikan motivasi
pada anak. Sebaiknya orang  tua harus mampu berkomunikasi sehingga muncul kepercayaan
timbal balik dengan anak.[2]
Sebenarnya orang tua tahu persis tentang anaknya. Dari pengalaman sejak bayi lahir hingga
masa anak-anak kita sudah mengetahui kelebihan dan kekurangannya,  jadi diperlukan
keluwesan untuk mengubah tingkah laku agar mau berprestasi. Orang tua  harus terus menerus
memperhatikan perkembangan anak.
Keluarga dapat menciptakan suasana nyaman di rumah agar anak merasa betah berada di dekat
pemimpinnya. Ciptakan rasa aman dalam dirinya, jangan sampai anak kita merasa lebih aman
berada di lingkungan teman-temannya  ketimbang di lingkungan keluarganya.[3]
C. Proses Pembentukan Disiplin Dalam Diri Anak
Disiplin diri anak merupakan produk disiplin. Disiplin memerlukan proses belajar. Pada awal
proses belajar perlu adanya upaya orang tua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara (1) Melatih.  

5
(2) Membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasarkan acuan moral.  Jika anak
telah terlatih dan terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral maka, (3) perlu adanya
kontrol orang tua untuk mengembangkannya.
Ketiga upaya ini dinamakan kontrol eksternal. Kontrol yang demokrasi dan keterbukaan ini
memudahkan anak untuk menginternalisasi nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat
menciptakan dunia kebersamaan yang menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan bersama
antara orang tua dan anak. Dengan demikian disiplin diri merupakan perilaku yang dapat
dipertanggungjawabkan karena dikontrol oleh nilai-nilai moral yang terinternalisasi.
Dalam konteks ini, upaya orang tua untuk menumbuhkan kontrol diri anak yang didasari nilai-
nilai moral agama seyokyanya seperti diartikan di dalam nilai-nilai moral lainnya (nilai sosial,
ekonomi, ilmiah/belajar, demokrasi, kebersihan dan keteraturan). Dengan kata lain, semua nilai
moral tersebut sedapat mungkin merupakan cerminan dari nilai-nilai agama karena memberikan
arah yang  jelas kepada anak dan mencerminkan disiplin diri yang bernuansa agamis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manakala setiap orang tua dalam membantu anak
untuk memiliki kontrol diri, berarti mereka benar-benar telah mampu: (1) membantu anak untuk
memiliki manajemen diri, (2) melakukan intervensi pada diri anak, (3) memberikan nilai positif
kepada anak, (4) memberikan hukuman yang tepat.
Dengan demikian, setiap upaya yang dilakukan dalam membantu anak mutlak didahului oleh
tampilnya:
Pertama. Perilaku yang patut dicontoh.  Artinya, setiap perilakunya tidak sekedar perilaku  yang 
bersifat  mekanik, tetapi harus didasarkan  pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan
lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anak. Oleh karena itu, pengaktualisasiannya harus
senantiasa  ditujukan pada ketaatan  nilai-nilai moral terutama pada saat pertemuan dengan anak-
anak.
Kedua, kesadaran diri ini juga harus ditularkan pada anak-anaknya dengan mendorong mereka
agar perilaku kesehariaannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, orang tua senantiasa
membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik
secara verbal maupun non verbal tentang perilaku taat moral. Karena dengan komunikasi yang
dialogis ini akan menjembatani kesenjangan,  keinginan dan tujuan di antara dirinya dan anak-
anaknya, yang sering kali menjadi pemicu anak berperilaku agresif atau tidak berdisiplin.
Ketiga. Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang
berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahan, berkenaan
dengan nilai-nilai moral. Ini berarti mereka telah mampu melakukan intervensi damai terhadap
kesalahan atau penyimpangan  perilaku yang tidak taat nilai moral serta telah melakukan upaya
bagaimana meningkatkannya. Dengan kata lain, orang tua telah mampu melakukan kontrol
terhadap perilaku  anak-anaknya agar mereka tetap memilki dan meningkatkan nilai-nilai moral
sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin.
Melalui kontrol tersebut, berarti orang tua telah melakukan pengawasan dan bimbingan kepada
anaknya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Kontrol tersebut juga mengandung
kontrol orang tua terhadap pergaulan anak dengan teman sebayanya agar tidak melakukan dialog
dengan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai moral agama. Dalam mengontrol perilaku
anak, orang tua dapat memberikan hukuman,  jika hal tersebut dirasakan sangat perlu untuk
menyadarkan anak terhadap perilaku-perilakunya yang menyimpang sehingga dapat meluruskan
kembali.

5
Keempat, upaya selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap  nilai –nilai moral
dapat diaktualisasikannya dalam menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik.  Hal ini
dapat mendukung terciptanya iklim yang mengundang anak yang berdialog terhadap nilai-nilai
moral yang dikemasnya  misalnya, adanya hiasan dinding, mushalla, lemari atau rak-rak buku
yang berisi kitab-kitab agama yang mencerminkan nafas agama, ruangan yang bersih, teratur,
dan barang-barang  yang  tertata  rapi mencerminkan nafas keteraturan dan kebersihan,
pengaturan tempat belajar dan suasana sunyi yang mencerminkan  nafas  kenyamanan  dan
ketenangan dalam melakukan belajar;  pemilihan tempat  tinggal dapat mengaktifkan anak 
dengan nilai-nilai moral.
Kelima, penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya akan
menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai moral dan semakin terundang
untuk meningkatkannya. Hal tersebut terjadi jika orang tua dapat mengupayakan anak-anak
untuk semakin dekat  dan akrab  dengan nilai moral. Upaya dapat diaktualisasi dengan menata
lingkungan sosial karena dalam penataannya dapat dikemas nilai  moral dalam pola hubungan 
antar  keluarga,  cara berkomunikasi,  kekompakan dan adanya indikasi-indikasi pendidikan. 
Penataan ini merupakan realisasi  orang tua dalam  mempertanggungjawabkan perannya, yaitu
memberikan bantuan untuk menumbuhkan kontrol diri anaknya. Sehubungan dengan itu, dalam
menata lingkungan sosial, orang tua dituntut  untuk  menciptakan adanya pola komunikasi antar
anggota keluarga  yang  bermuatan nilai-nilai moral. Pola komunikasi ini dapat melakukan
melalui gerak, sentuhan, belaian, senyuman, mimik, atau ungkapan kata.
Pola komunikasi tersebut dapat membuat anggota keluarga menjadi lebih akrab,  saling
memiliki, dan merasa aman dalam keluarga.
Keenam, penataan lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi kebersamaan  antara anak-anak
dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan syarat utama bagi terciptanya penghayatan
dan pertemuan antara orang tua dan anak-anak.
Ketujuh, penataan lingkungan pendidikan akan semakin bermakna  bagi anak jika mampu
menghadirkan iklim yang mendorong kejiwaannya  untuk  mempelajari  nilai-nilai  moral.
Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah menata suasana psikologis dalam keluarga.
Penataan suasana psikologis dalam keluarga menyentuh dimensi emosional dan suasana
kejiwaan yang menyertai dan dirasakan dalam kehidupan keluarga.
Kedelapan, penataan penataan suasana  psikologis semakin kokoh jika nilai-nilai moral secara
transparan dijabarkan dan diterjemahkan menjadi tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan
keluarga.
Berdasarkan  upaya  di atas  sangat  diperlukan sebagai panduan dalam  membuat  perubahan dan
pertumbuhan anak, memelihara harga diri,  dan dalam menjaga hubungan erat antara orang tua
dengan anak.  Dari  ketiga panduan ini lahir strategi yang mengharuskan orang tua memiliki
kemampuan mengatur (manajemen) anak,  mengendalikan anak, serta merangsang anak-anak
untuk berperilaku sesuai dengan acuan moral yang secara esensial bermakna dengan tindakan
pendidikan.  Selanjutnya  Combs menyatakan bahwa bantuan yang diberikan  orang tua kepada 
anak-anak bagi kepemilikan disiplin diri, sehingga mampu membantu mereka agar dapat:
mempersepsi kebermaknaan nilai moral bagi dirinya, memiliki pandangan yang positif  terhadap 
dirinya,  membaca  kesuksesan yang telah diraih dan memberikan motivasi-motivasi untuk
meningkatkannya, dan membina rasa kebersamaan antara dirinya dengan anak-anak.[4]
D. Pola Pembinaan Keluarga

5
Pembinaan anak adalah tugas yang sangat mulia. Orang tua memegang peranan penting dalam
membina anak di lingkungan rumah tangga, sebab orang tua yang hampir setiap hari berada di
rumah.  Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama  dan utama,  orang tua haruslah
menjadi tokoh utama di dalam pekerjaan membina anaknya. Dalam pergaulan bersama dengan
anak-anaknya, teristimewa ketika mereka masih kecil, maka orang tua haruslah senantiasa
menjadi pembimbing dan teman mereka yang baik pula.
Orang tua mempunyai hak untuk dihormati oleh anak-anaknya, yang demikian itu dapat
dipahami dari Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ ayat 23 – 24
Tuhanmu telah menetapkan,  janganlah kamu menyembah selain Dia dan berbuat baiklah
kepada ibu bapakmu.  Jika salah seorang diantara mereka atau keduanya berusia lanjut, maka
janganlah kamu berkata   “cis/ah”  kepada mereka dan janganlah pula kamu membantahnya.
Tetapi katakanlah kepada mereka ucapan-ucapan mulia.  Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka dengan sikap merendah karena kasih sayang dan berdoalah “wahai Tuhanku, kasih
sayangilah mereka seperti mereka telah mengasihi sayangiku semasa kecil.[5]
Orang tua yang harus dihormati bukanlah orang tua yang tidak pernah menanamkan pendidikan
keagamaan, tidak pernah memberikan contoh tauladan yang baik, tidak pernah menganjurkan
anak-anaknya untuk belajar agama dalam kehidupan sehari-hari dan tidak  pernah mencerminkan
syiar-syiar  Islam. Pokoknya dengan kata lain selaku orang tua tidak menanamkan pendidikan
keagamaan kepada anak-anaknya yang mengarah untuk mengenal sekaligus berbakti kepada
Allah SWT,  dan berbakti kepada orang tuanya. Ibarat memelihara binatang, cukup tiap harinya
diberi makan dan minum, sandang sudah cukup mewah,  sementara  rohaninya kosong dari nilai-
nilai keagamaan. Kalau memang demikian keadaannya, janganlah mengharapkan si orang tua itu
harus dihormati. Bagaimana anak harus berbakti, dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya harus
berbakti, bagaimana anak mengajarkan shalat, kalau orang tuanya sendiri tidak pernah
memberikan contoh mengajarkan shalat kepada anaknya, demikian seterusnya.
Anak adalah titipan  Ilahi yang harus dipelihara dan ditunaikan hak-haknya, sebab kelak pada
hari perhitungan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban dari amanah yang dititipkan
itu. Jadi selaku orang tua, kalau ia mengharapkan harus ditaati olehnya anaknya, maka terlebih
dahulu para orang tua harus menanamkan modal dasar pendidikan hak-hak dari anak-anaknya
(dalam hal ini minta dihormati), maka laksanakanlah dahulu kewajiban itu sebagai orang tua.
Ibu adalah orang pertama yang dikejar oleh anak. Perhatian, pengharapan dan kasih sayangnya,
Sebab ia merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak. Ia menyusukannya dan ia mengganti
pakaiannya,  artinya ialah yang memenuhi kebutuhannya akan makanan dan kebutuhan untuk
menghindari rasa sakit akibat basah. Lambat laun wajah ibu menjadi bergandengan dengan
pemenuhan kebutuhan primer penting tersebut, yang harus dipenuhi oleh anak sehingga sesudah
itu  anak  menginginkan  supaya  ibunya senantiasa ada untuk dirinya.[6]
Ibu sebagai pembimbing dan pengatur rumah tangga, baik buruknya bimbingan itu terhadap
anaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan watak dan karakter anaknya di kemudian
hari.
Cara yang paling baik untuk membina anak supaya dapat berkembang watak dan karakternya
adalah dengan memberi teladan kepada mereka.  Pengendalian diri juga sangat perlu diajarkan
seorang ibu kepada  anak  di dalam rumah tangga, karena seorang anak yang dapat
mengendalikan  diri, berarti pintu kebahagiaan akan terbuka baginya.
Itulah sebabnya seorang ibu harus membina anaknya untuk mengendalikan tingkah lakunya
melalui bimbingan yang dimulai dari keluarganya.  Sebab  anak  yang  tidak dibina pola tingkah

5
lakunya dan tidak mampu mengendalikan diri, maka kelak akan mengalami kesulitan hubungan
sosialnya dalam pergaulan di masyarakat.
Bagi setiap ibu,  mendidik anak-anaknya itu bukan saja setelah lahir sampai beranjak dewasa,
namun harus di mulai sejak dalam kandungan dengan jalan memelihara dirinya dari setiap
pengaruh kejiwaan yang negatif,  sebab  hal  itu akan banyak memberi pengaruh pula terhadap
faktor si anak yang berada di dalam kandungannya.
Suatu anggapan bahwa pekerjaan ibu di rumah tangga nilainya kecil adalah keliru.
Sesungguhnya, tugas mendidik anak bukanlah soal kecil. Biarlah setiap ibu insyaf akan kesucian
tanggung jawabnya. Tiada pekerjaan lain yang bisa disamakan dengan pekerjaan pembentukan
tabiat.
Setiap banyaknya orang di dunia ini yang tidak menyadari cinta dan pengorbanan ibunya,
demikian pula bahwa bukan sedikit kaum ibu yang  tidak  melakukan kewajiban sebagaimana
mestinya terhadap keturunan mereka.  Bukan sedikitnya  anak-anak  muda yang akhirnya
menjadi rusak karena tidak merasakan cinta ibu dalam rumah tangganya.  Perasaan  kurang
perhatian  dari  orang  tua menyebabkan anaknya gelisah dan kurang puas.
Di dalam kehidupan sehari-hari, dapat dilihat adanya hubungan yang  terus-menerus  antara  ibu
dengan  anaknya.  Dengan sendirinya hal ini menimbulkan hubungan timbal balik, yang secara
berangsur-angsur akan menumbuhkan perasaan  kasih  sayang antara kedua belah pihak.  Sifat
hubungan itu dan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak di kemudian hari.[7]
Dalam membicarakan tentang pemimpin rumah tangga tentunya  tidak  terlepas  dari  masalah
perkawinan. Sebab perkawinan merupakan fitrah manusia yang dianungerahi oleh Allah SWT
kepada hamba-Nya sebagai amal terjadinya ikatan batin, cinta dan kasih sayang (mawaddah
warahmah).  Cinta dan kasih sayang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Dalam membina
rumah tangganya yang mendapat bimbingan langsung dari Allah SWT sebagai mana dalam
firmannya dalam Q.S. Ar-Ruum (30) : 21 yang berbunyi :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t?#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø?r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygø?s9Î) ?@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨?uq¨B ºpyJômu?ur 4 ¨bÎ) ?Îû y7Ï9ºs? ;M»t?Uy 5Qöqs)Ïj9
tbrã©3xÿtGt? ÇËÊÈ
Terjemahannya :
Dan diantaranya tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih sayang.[8]
Berdasarkan  firman Allah SWT di atas, maka dapat memahami bahwa yang menjadi  landasan
dasar pembinaan rumah tangga adalah cinta dan kasih sayang yang telah diajarkan oleh Allah
SWT dalam firman-Nya tersebut.
Jikalau seorang ibu sudah mendidik anak-anaknya tentang bagaimana menghormati, menuruti,
mengendalikan diri, dan mempunyai tabiat yang jujur, berarti seorang ibu sudah mempersiapkan
anak-anaknya  yang tangguh dan berkepribadian yang tulus ikhlas, berpendidikan yang luhur dan
siap bergaul di dalam masyarakat.
Dalam masyarakat kita, sering ada anggapan bahwa tugas ibu adalah memelihara dan tugas ayah
bekerja mencari uang. Seorang ayah tidak pantas membuat atau menyediakan susu botol,
menggendong,  memandikan  dan mengganti pakaian, dengan kata lain terdapat pembagian tugas
dan kewajiban yang ketat antara ayah dan ibu. Untuk  perkembangan  anak  atau  demi
keharmonisan rumah tangga, anggapan bahwa  semacam itu sebetulnya merugikan. Seorang
ayah sampai batas-batas tertentu harus melibatkan diri dalam kehidupan keluarga sehari-hari.

5
Merawat bayi dan anak bukanlah monopoli kaum ibu.  Dengan sekali-kali ikut menyediakan
susu bayi,  memandikan dan sebagainya. Di samping akan menambah rasa hormat istri pada
suami, juga akan terbina ikatan emosional antara ayah dan anak.[9]
Untuk menjalankan kepemimpinan dan pengawasan dalam rumah tangga  diperlukan  kesabaran,
ketabahan, keadilan dan wibawa yang tinggi.
Hasil penelitian yang ada hingga sekarang telah membuktikan bahwa faktor ayah merupakan
faktor yang sangat penting dalam pembentukan pribadi anak.  Menurut teori psikoanalisis
bahwa: “Ayah merupakan tokoh identifikasi (di samping ibu) bagi anak, sementara anak
menjadikan pribadi ayah sebagai tolak ukur atau bandingan bagi perilakunya sendiri.”
Selain itu, ayah juga merupakan tokoh pelindung, yang di mata anak merupakan orang yang
akan menyelamatkan dirinya, jika sewaktu-waktu ada bahaya mengancam. Jelaslah, bahwa jika
ayah melakukan peranannya dengan baik, anak akan tumbuh menjadi orang yang
berkepribadian  mantap.  Sebaliknya jika ayah kurang berperan dalam kehidupan anak, maka si
anak akan kehilangan pegangan dan selalu merasa ragu-ragu di samping kurang adanya rasa
percaya diri.[10]
Dalam pembinaan anak, diperlukan adanya tanggung jawab orang tua harus ditempuh meliputi :
-         Memperlakukan anak-anak secara lembut dan penuh kasih sayang
-         Menanamkan rasa cinta kasih
-         Menanamkan akidah dan tauhid
-         Mendidik akhlak
-         Menyuruh berpakaian taqwa
-         Mendidik bertetangga dan bermasyarakat
-         Mencegah atau melarang pergaulan bebas
-         Mengajarkan Al-Qur’an
-         Mengajarkan halal dan haram
-         Menjauhkan hal-hal yang porno
Sebagai orang tua yang bertanggung  jawab atas masa depan dan perkembangan anak-anaknya,
sudah sewajarnya mengetahui hal-hal yang dapat dikerjakan oleh anak,  agar anak selamat dunia
dan akhirat.
Anak memerlukan perhatian yang terus menerus, dan ini hanya dapat diberikan oleh ibu, karena
ibulah yang sejak awal kelahiran sang anak, telah mengenal karakteristik psikologi dan
kecenderungan anak tersebut.
Seorang ibu yang mengerti dunia anak, tentulah tidak heran bila anaknya selalu melontarkan
berbagai macam pertanyaan dan ini adalah merupakan pertanda bahwa anak memiliki rasa ingin
tahu yang lebih banyak. Adalah tindakan yang salah bila mencela kebiasaan anak untuk
bertanya, sebab tindakan tersebut dapat memadamkan rasa ingin anak sekaligus mematikan
kreativitasnya. Justru seorang ibu haruslah bangga dan bersyukur karena mempunyai anak yang
memiliki rasa ingin tahu yang besar yang terpupuk sejak kecil, sehingga kelak mereka dapat aktif
belajar tanpa diperintah.
Memupuk rasa ingin tahu anak,  memang bukan hal yang mudah,  sebab dibutuhkan kesabaran
yang tinggi. Dalam menjawab pertanyaan  anak  ibu  harus menunjukkan perhatian dan jawaban
yang sungguh-sungguh, walaupun jawaban yang diberikan tidak panjang  apalagi berbelit-belit
dan sulit dimengerti oleh anak, akan tetapi cukup dengan jawaban pendek yang disesuaikan
dengan pemahaman anak.

5
Sekilas anak-anak itu seperti bodoh dan tak tahu apa-apa tentang alam beserta kehidupannya
tetapi mereka sebenarnya memiliki daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari
perkiraan kita.   Dari sekian  banyak  tanya yang mereka ajukan dalam sehari, pasti ada yang
masuk dan direkam baik-baik dalam otaknya.
Seorang anak yang memiliki umur di bawah lima tahun (balita) sebenarnya memilki daya
tangkap dan daya ingat serta kemampuan menghafal yang hebat. Ini wajar karena otak mereka
belum pernah digunakan untuk memikirkan hal-hal yang lain. Olehnya itu pendidikan pada anak
sebenarnya bukan hanya dimulai pada umur tujuh tahun ke atas tapi justru ketika anak tersebut
masih balita. Sehingga dalam pendidikan Islam, untuk mengembangkan dan membimbing dasar
kemampuan anak dibagi dalam 4 periode, yaitu :
1. Periode Pertama  (sejak lahir-6 tahun).  Pada periode ini anak harus dibiasakan pekerjaan
yang baik serta harus dijaga dari kebiasaan yang buruk dan dapat merusak akhlaknya.
2. Periode Kedua (6-10 tahun). Pada periode ini anak dididik dalam hal kesosialan di mana
anak tersebut mulai belajar memahami aspek-aspek penting dari sosialisasi tersebut,
seperti :
-         Belajar mematuhi aturan-aturan kelompok
-         Belajar setia kawan
-         Belajar tidak bergantung pada orang lain
-         Belajar bekerja sama
-         Belajar menerima tanggung jawab
-         Belajar bersaing dengan orang lain secara sehat
-         Mempelajari olah raga dan permainan kelompok
-         Belajar arti keadilan, demokrasi, kejujuran dan keikhlasan
-         Mempelajari perilaku yang dapat diterima oleh lingkungannya.
Mengingat pentingnya nilai-nilai yang bakal diterima dari proses ini, maka pengembangan
pendidikan secara normal dan kondusif sangatlah diperlukan.
1. Periode Ketiga (10-13 tahun). Pada periode ini adalah masa peralihan dari masa kanak-
kanak menuju ke masa remaja di mana anak mulai mandiri dalam berperilaku.
Salah satu arti yang terpenting pada masa ini adalah ukuran dan berat badan si anak makin
bertambah dan tersebut mempunyai vitalitas dan gairah yang tinggi pula selain itu, wawasan
pengetahuan dan pemahaman anak semakin luas.
Dengan melihat potensi yang amat besar ini maka pendidikan harus diarahkan pada kegiatan-
kegiatan praktis dan berkaitan dengan nilai-nilai Islam.
1. Periode Keempat (13 tahun ke atas). Pada periode ini anak mulai matang dalam berfikir
karena itu ahli psikologi perkembangan menetapkan bahwa ciri terpenting  pada masa ini
adalah terjadinya perkembangan fisik yang cukup pesat dan muncul kelenjar-kelenjar
baru yang menghasilkan hormon pertumbuhan pada diri anak yang sedang menginjak
remaja.
Pentingnya Disiplin bagi Anak
Disiplin secara luas dapat diartikan sebagai semacam pengaruh yang dirancang untuk membantu
anak agar mampu menghadapi tuntutan dari lingkungan. Disiplin tumbuh dari kebutuhan untuk
menjaga keseimbangan antara kecenderungan dan keinginan individu untuk berbuat sesuatu
yang dapat dan ingin diperoleh dari orang lain atau karena situasi kondisi tertentu, dengan
pembatasan peraturan yang diperlukan oleh lingkungan.

5
Tujuan disiplin bukan untuk melarang kebebasan atau mengadakan penekanan, melainkan
memberikan kebebasan dalam batas kemampuan anak. Sebaliknya, bila berbagai larangan itu
amat ditekankan, maka anak akan merasa terancam dan frustrasi serta memberontak, bahkan
akan mengalami rasa cemas yang menjadi suatu gejala yang kurang baik bagi pertumbuhan anak.
Tanpa disiplin, tanpa mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh, seorang anak pada
umumnya tidak akan survival dalam hidupnya. Ia akan berbuat semau gue tanpa peduli pada
lingkungan di sekitarnya. Melalui peraturan dan disiplin maka anak akan terhindar dari
konsekuensi bahaya yang berasal dari tindakannya pada saat tertentu. Peraturan juga akan
menjadi pegangan dalam hidup seseorang.
Bagi anak disiplin bersifat arbitrair, yaitu suatu konformitas pada tuntutan eksternal, namun bila
dilakukan dalam suasana emosional yang positif, maka akan menimbulkan keikhlasan dalam
dirinya untuk berbuat sesuai peraturan, tanpa merasa dirinya takut atau terpaksa. Dengan
demikian tidak terjadi yang dinamakan “disiplin bangkai” (cadaveric discipline) yaitu kepatuhan
yang ditaati karena takut dan merasa terpaksa. Disiplin membantu anak menyadari apa yang
diharapkan dan apa yang tidak diharapkan darinya, dan membantunya bagaimana mencapai apa
yang diharapkan darinya tersebut.
Disiplin di sekolah seharusnya merupakan tata peraturan yang meningkatkan kehidupan mental
yang sehat dan memberikan cukup kebebasan untuk berbuat secara bertanggung jawab sesuai
dengan kemampuan yang ada murid. Peraturan disiplin seperti ini akan menjadi kebiasaan-
kebiasaan yang baik, bahkan akan berkembang menjadi disiplin diri (self discipline) bila
peraturan itu dipegang secara konsisten (ajeg). Sebaliknya, disiplin sekolah yang membatasi
murid sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas, akan memupuk pola emosional yang tidak
sehat karena memperlakukan anak dengan cara-cara yang kurang tepat sehingga hasil belajar
siswa nya juga tidak akan maksimal. (disadur dari buku “Penerapan Pembelajarn Pada Anak”
oleh Conny R. Semiawan)
Pembelajaran Demokratis (democratic teaching)
Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran di persekolahan dan mata kuliah di
perguruan tinggi dengan koridor pendidikan nilai (value based educaton) yang bertujuan untuk
mempersiapkan warganegara muda agar mampu berpartisipasi secara efektif, demokratis dan
bertanggung jawab.
Sebagai mata pelajaran yang berupaya mewujudkan warga negara yang baik dan cerdas (good
and smart citizen), maka Pendidikan Kewarganegaraan harus dikemas dalam pembelajaran yang
memberikan keleluasaan pada siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran agar siswa
terbiasa berpartisipasi. Apabila hal itu terjadi, maka kebiasaan berperan aktif dan bersikap
demokratis di kelas akan terbawa pada lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 disebutkan
bahwa tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengembangkan kompetensi:
1)  Berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; 2)
berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi; 3) berkembang secara positif dan
demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar
dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; 4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain
dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.

5
Untuk itu diperlukan strategi dan pendekatan pembelajaran demokratis (democratic teaching),
Budimansyah (2002 : 5 – 7) mengatakan bahwa pembelajaran demokratis (democratic teaching)
adalah suatu bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan kehidupan demokrasi
melalui proses pembelajran yang demokratis. Secara singkat democratic teaching adalah proses
pembelajran yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan,
menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan, dan memperhatikan keragaman
perserta didik. Dalam prakteknya para pendidik hendaknya memposisikan peserta didik sebagai
insan yang harus dihargai kemampuannya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan
potensinya.
Untuk itu diperlukan suasana terbuka, akrab, dan saling menghargai, dan sebaliknya perlu
dihindari suasana belajar kaku, penuh dengan ketegangan, dan sarat dengan perintah dan
instruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami
kelelahan. Berdasarkan hasil penelitian Fahdita (2004 : 142) mengatakan bahwa Pembelajaran
akan mampu mengembangkan sikap demokratis apabila guru dalam proses pembelajaran
bersikap demokratis, suasana tidak tegang, menyenangkan, memberikan kesempatan kepada
siswa, memberikan reward, tidak ada keberpihakan atau menyudutkan kelompok tertentu,
sehingga guru berperan sebagai fasilitator, mediator, motivator dan evaluator
Disamping itu berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan oleh Tacman (2006) mengatakan
bahwa “ … the democratic attitudes of classrooms teachers which is important for improving
people’s democratic behaviors.” Artinya sikap demokratis yang ditampilkan guru di kelas dalam
proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap pengembangan sikap demokratis seseorang,
untuk itu dalam proses pembelajaran  harus dihindari suasana belajar kaku, penuh dengan
ketegangan, dan sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif
dan tidak berkembangnya sikap demokratis pada diri siswa. 
Dilain pihak mengatakan bahwa dalam upaya meningkatkan kultur dan nilai-nilai demokratis,
aspek sekolah dan program pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap demokratis , seperti
dikatakan Davis (2003) dan Blair (2003) dalam Karahan (2009 : 1)
to gain democratic life culture and democratic values, are important aspects of schools and
education programs. According to Davies (1999) development of democratic life culture
depends on the democratic education systems.
 Artinya pengembangan kultur hidup yang demokratis tergantung pada sistem pendidikan
demokratis yang diterapkan di lingkungan pendidikannya. Sekarang masalahnya adalah
bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan sekolah yang demokratis, agar nilai-
nilai demokrasi tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupan warganegara.

Anda mungkin juga menyukai